Anda di halaman 1dari 10

Tugas UAS Legal Drafting

Dosen Pengampu
Yovita Indrayati, S.H. M.Hum
Oleh:
Amelya Matasik
22.C2.0017

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM KESEHATAN


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2023
Dalam sidang yang di gelar oleh Mahkama Konstitusi (MK) pada Kamis, 25
November 2021, Ketua MK Anwar Usman membacakan Putusan Nomor 91/PPU-
XVIII/2020 dalam perkara Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
1945. Yang mana yang mengajukan permohonan adalah Migrant CARE, Badan
Koordinasi Kerapatan Adat Nagari Sumatera Barat, Mahkamah Adat
Minangkabau, serta Muchtar Said.1
Salah satu proses konstitusional untuk membatalkan suatu Undang – Undang
yang bermasalah adalah dengan mengujinya di Mahkamah Konstitusi. Terdapat
dua jenis pengujian undang-undang yang dapat dilakukan oleh MK, yaitu
pengujian formil dan pengujian materiil. Pengujian formil adalah pengujian suatu
undang-undang dilihat dari proses/prosedur pembentukannya. Dalam jenis
pengujian ini MK menilai apakah pembentukan suatu undang-undang telah
mengikuti proses pembentukan undang-undang sebagaimana diatur oleh UUD
1945 dan undang-undang yang diperintahkan pembentukannya oleh Pasal 22A
UUD 1945. Beberapa ketentuan dalam UUD 1945 yang mengatur mengenai
proses pembentukan undang-undang adalah Pasal 5 ayat (2), Pasal 20, Pasal 22A,
dan Pasal 22D. Adapun pengujian materiil adalah pengujian materi atau norma
undang-undang yang dinilai apakah bertentangan dengan norma UUD 1945 atau
tidak. Jika bertentangan maka norma undang-undang dimaksud oleh MK akan
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Sebaliknya jika MK tidak menemukan adanya
pertentangan antara norma undang-undang yang diuji dengan norma UUD 1945
maka MK akan menyatakan menolak permohonan (para) Pemohon, yang artinya
norma undang-undang yang diuji tidak bertentangan dengan norma UUD 1945
dan karenanya tetap berlaku serta mengikat.2

Dalam Pengujian formil, UU Cipta Kerja dinyatakan cacat formil /cacat


prosedural karena tidak memenuhi ketentuan pembentukan Undang – Undang
berdasarkan UUD 1945 dan UU No. 12 Tahun 2011, Adapun alasan-alasan yang
terbukti pada sidang MK yaitu :
1. UU Cipta Kerja Melanggar Format Susunan Peraturan dalam UU Nomor 12
Tahun 2011
2. UU Cipta Kerja Bertentangan Dengan Asas Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011
3. Perubahan Materi Muatan Pasca Persetujuan Bersama DPR dan Presiden
Bertentangan Dengan Pasal 20 Ayat (4) UUD 1945 dan Pasal 72 Ayat (2) UU Nomor 12
Tahun 2011. 3

Dengan berbagai polemik pro kontra yang ditimbulkan, oleh Putusan


Mahkamah konstitusi ini menarik untuk mengetahui bagaimana cara yang benar
dan baik dalam proses pembentukan undang-undang.

Pembentukan peraturan perundang- undangan merupakan suatu rangkaian


proses yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Rangkaian tahapan tersebut
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2019.4

Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, materi muatan yang
harus diatur melalui UU adalah:
1. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD 1945;
2. perintah suatu UU untuk diatur dengan UU;
3. pengesahan perjanjian internasional tertentu;
4. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
5. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.5

Pembentukan Undang-Undang di Indonesia sebagai negara hukum


(Rechtsstaat)

Konsekuensi Indonesia sebagai negara hukum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945)
mengharuskan segala tindakan pemerintah selaku pemegang kekuasaan harus
didasarkan pada hukum atau peraturan yang berlaku. Hal tersebut sejalan dengan
pemikiran Frederich Julius Stahl tentang negara hukum (rechtsstaat) mencakup
empat elemen penting, yaitu: 1). Perlindungan hak-hak asasi manusia; 2).
pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu; 3).
Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan 4). Peradilan
administrasi dalam perselisihan.6
Sistem perundang-undangan di Indonesia hanya dikenal satu nama jenis
undang-undang, yaitu keputusan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), dengan persetujuan bersama Presiden, dan disahkan oleh Presiden.6

Pasal 20 ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa, “Setiap rancangan
undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama”. Bukan tanpa sebab mengapa pembentukan
undang-undang harus mendapatkan persetujuan DPR. Tidak lain karena DPR
yang merupakan lembaga legislatif yang merupakan representasi dari rakyat
Indonesia yang memiliki fungsi legislasi diamanatkan oleh Pasal 20 ayat (1) UUD
1945 yaitu, “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk
undang-undang.” Sehingga setiap pembentukan Undang-Undang harus melalui
DPR sebagai lembaga legislatif yang diberi kewenangan dalam membentuk
undang-undang.7

Pembentukan undang-undang juga sangat dipengaruhi oleh politik hukum


(legal policy) pembentuk undang-undang. Sebagai legal policy, arti politik hukum
adalah arah atau keinginan yang dimaksud oleh pembuat UUD/UU ketika isi
UUD/UU itu dibuat melalui perdebatan di lembaga yang membuatnya untuk
kemudian dirumuskan dalam kalimat- kalimat hukum.6

Terdapat sekurang-kurangnya 3 (tiga) karakteristik yang melekat, sine qua


non, tidak boleh tidak dalam konsep rechtsstaat tatkala yang harus diterapkan
dalam kehidupan berbangsa, salah satu karakteristik tersebut menurut pendapat
Wignjosoebroto adalah sebagai berikut: Pertama ialah, bahwa apa yang disebut
‘hukum’ dalam negara hukum itu harus dibentuk dalam wujudnya yang positif.
Kedua, apa yang disebut hukum (yang telah selesai bentuknya yang preskriptif
positif itu, dan boleh disebut ius constitutum atau lege alias undang-undang) harus
merupakan hasil proses kesepakatan kontraktual antara golongan partisan dalam
suatu negeri, langsung ataupun melalui wakil-wakilnya, melalui suatu proses yang
disebut ‘proses legislasi’. Ketiga, hukum yang telah diwujudkan dalam bentuk
undang-undang dan bersifat kontraktual itu akan mengikat seluruh warga bangsa
secara mutlak mengalahkan aturan-aturan normatif macam apa pun, yang lokal
ataupun yang sektarian, namun yang belum disepakati melalui proses legislatif
agar diberlakukan sebagai bagian dari hukum nasional. Ketiga kriteria tersebut
menggambarkan bahwa pembentukan hukum/undang-undang tersebut dilakukan
melalui lembaga legislatif yang mewakili golongan-golongan partisan membentuk
suatu kesepakatan. Hal ini sejalan dengan pembentukan undang-undang di
Indonesia yang melalui parlemen (DPR-RI).6

Menurut Tongam Renikson Silaban salah satu tahapan yang paling krusial
dalam pembentukan undang-undang adalah tahapan perencanaan. Pembentukan
peraturan yang baik (Good Process). Tahapan ini menentukan penting atau
tidaknya suatu undang-undang untuk dibentuk, di tahap perencanaan dan
penyusunan inilah suatu rancangan undang-undang ditentukan prioritas atau
tidaknya untuk dibentuk kemudian dibahas bersama antara pemerintah dan
lembaga legislatif. Tahap perencanaan adalah tahap dimana DPR dan Presiden
(serta DPD terkait RUU tertentu) menyusun daftar RUU yang akan disusun ke
depan. Proses ini umumnya dikenal dengan istilah penyusunan Program Legislasi
Nasional (Prolegnas). Hasil pembahasan tersebut kemudian dituangkan dalam
Keputusan DPR. Ada dua jenis Prolegnas, yakni yang disusun untuk jangka waktu
5 tahun (Prolegnas Jangka Menengah/ProlegJM) dan tahunan (Prolegnas Prioritas
Tahunan/ProlegPT). Sebelum sebuah RUU dapat masuk dalam Prolegnas tahunan,
DPR dan/Pemerintah sudah harus menyusun terlebih dahulu Naskah Akademik
dan RUU tersebut.Hal tersebut merupakan bagian dari gambaran tahap
perencanaan pembentukan undang-undang. Tahapan tersebut belum melingkupi
tahapan pembahasan secara menyeluruh hingga tahapan pengudangan. Hal
tersebut memberikan gambaran betapa panjangnya proses pembentukan suatu
undang- undang.6

Rancangan undang-undang (RUU) yang telah disusun dalam Prolegnas Jangka


Menengah dan Prolegnas Prioritas tahunan diurutkan prioritas pembahasannya.
Pimpinan DPR akan memberitahukan adanya RUU dan membagikan RUU
kepada seluruh anggota DPR dalam rapat paripurna. DPR dalam rapat paripurna
berikutnya memutuskan RUU tersebut berupa persetujuan, persetujuan dengan
perubahan, atau penolakan. Selanjutnya RUU ditindaklanjuti dengan dua tingkat
pembicaraan. Pembicaraan tingkat I dilakukan dalam rapat komisi, rapat
gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia
khusus. Kegiatan dalam pembicaraan tingkat I dilakukan dengan pengantar
musyawarah, pembahasan daftar inventarisasi masalah, dan penyampaian
pendapat mini fraksi. Pembicaraan tingkat II dilakukan dalam rapat paripurna.
Dalam rapat paripurna berisi: a. penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat
mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil Pembicaraan Tingkat I; b. pernyataan
persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan yang
diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan c.pendapat akhir Presiden yang
disampaikan oleh menteri yang mewakilinya. Bila tidak tercapai kesepakatan
melalui musyawarah mufakat, keputusan diambil dengan suara terbanyak.
Rangkaian proses pembahasan rancangan undang-undang ini merupakan suatu
rangkaian panjang dalam waktu yang lama tanpa adanya kepastian waktu

pengesahan.6

Melalui perdebatan politik dalam pembicaraan atau pembahasan suatu


rancangan undang- undang inilah suatu undang-undang dihasilkan. Perdebatan
yang menyangkut kepentingan terhadap suatu ketentuan yang akan diatur akan
tetapi terkadang tidak mudah untuk mendapat suatu kesepakatan diantara
pembahas undang-undang. Ketidaksatuan atau perbedaan pendapat inilah turut
mempengaruhi cepat atau lambatnya pembentukan suatu undang-undang.
Bagaimanapun juga untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik peran
politik hukum tentu sangat diperlukan. Politik hukum menurut Soedarto yaitu,
usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan
dan situasi pada suatu waktu. Sedangkan Satjipto Rahardjo mendefinisikan politik
hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai

tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat. Pada dasarnya politik hukum
dibutuhkan untuk mengetahui penting atau tidaknya suatu hukum (aturan) untuk
diberlakukan.6

Adapun teknik penyusunan naskah akademik rancangan undang- undang,


diatur pada lampiran I UU No.12 Tahun 2011 dan Teknik penyusunan peraturan
perundang-undangan mengenai sitematika kerangka peraturan undang-undang
diatur dalam lampiran II UU No.12 Tahun 2011.5

Dalam prosedur mekanisme yang harus di penuhi yaitu :


1. Dasar hukum pembentukan peraturan perundang-undangan,
2. Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan,
3. Pembentukan Peraturan perundang-undangan,
4. Partisipasi Masyarakat,
5. Ketentuan Lain-lain, dan
6. Teknik pembentukan peraturan8

Konsep Omnibus Law

Istilah omnibus law tidak mengacu pada jenis peraturan tertentu, melainkan
penyebutan bagi suatu aturan yang disusun dengan metode tertentu (omnibus).
Omnibus law berarti satu aturan atau undang-undang yang berisi banyak muatan.9

Gunter menulis bahwa omnibus berasal dari terminologi bahasa latin yang
berarti untuk segalanya‘, yang dalam konteks hukum diartikan sebagai suatu
dokumen tunggal yang menaungi berbagai topik pembahasan atas dasar beberapa
kriteria.10

O‘Brien dan Bosc kemudian memberi pengertian omnibus law sebagai


undang-undang yang mengubah, mencabut, atau memberlakukan beberapa
ketentuan dalam berbagai undang-undang.11

Berdasarkan penjelasan Adam M. Dodek, dapat dipahami bahwa kelebihan


metode omnibus law adalah dari sisi efisiensinya, dikarenakan pemerintah dapat
menyusun paket perubahan sejumlah besar undang-undang secara ringkas, hanya
melalui satu peraturan saja. Lebih lanjut ia menambahkan bahwa jika substansi
undang-undang yang diubah tersebut masih berkaitan satu sama lain, maka dapat
mengakomodasi seluruh pembahasan antara pemerintah dan parlemen secara
sekaligus. Sebaliknya, jika ternyata substansi pembahasan sangat luas atau bahkan
sama sekali tidak saling berkaitan, maka akan menimbulkan masalah dari
perspektif demokrasi.12

Dengan Teknik Omnibus Law, sekitar 80 UU dan lebih 1200 pasal bisa
direvisi sekaligus hanya dengan satu UU Cipta kerja yang mengatur multisektoral.
Ada pun tujuan UU Cipta Kerja adalah mendorong investasi, menciptakan
lapangan kerja, penyederhanaan perizinan berusaha, menyederhanakan dan
mengintegrasikan perizinan dasar, menyederhanakan dan mengintegrasikan
perizinan sektor, peningkatan ekosistem investasi diberbagai sektor, persyaratan
investasi dipermudah karena lebih sederhana, percepatan proses izin berusaha,
pengembangan bisnis halal, adanya perlindungan dan jaminan bagi pekerja,
memberi kemudahan berusaha bagi UMK (Usaha Mikro dan Kecil), pemerintah
bisa menugaskan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) untuk mendukung riset dan
inovasi di pusat dan daerah, reformasi perpajakan untuk meningkatkan daya tarik
investor ke dalam negeri, mengoptimalkan Kawasan ekonomi, percepatan
pengadaan tanah, menciptakan standardisasi administrasi pemerintah, dan
memberikan batasan yang jelas antara sanksi pidana dengan administratif.13

Dari membaca hasil putusan MK Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dan


uraiaan diatas secara pribadi saya setuju dengan putusan MK yang menyatakan
pembentukan UU Cipta kerja bertentangan dengan UUD 1945 dari proses
pembentukannya yang tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan diamana
sistematikanya tidak sesuai dengan aturan baku, kemudian kurangnya partisipasi
masyarakat dalam pembentukannya, namun karena tujuan pembentukan
omnibuslaw dibentuk dengan tujuan yang baik maka sangatlah bijaksana
keputusan MK diberikan kesempatan waktu 2 tahun untuk melakukan perbaikan
sesuai UU yang berlaku.
Daftar Pustaka

1. Tresna,Nano. Lulu A., 2021, Berita: MK; Inkonstitusional Bersyarat, UU


Cipta Kerja Harus Diperbaiki dalam Jangka Waktu Dua Tahun. Mahkamah
Konstitusi; Jakarta https://www.mkri.id/index.php?
page=web.Berita&id=17816
2. Wibowo, Ahmad Ilham. Andy Omara.2022. Rekonseptualisasi Hukum Acara
Pengujian Formil Undang – Undang di Mahkamah Konstitusi. Tesis Magister
Hukum Bisnis dan Kenegaraan. Universitas Gajah Mada. Jogyakarta.
3. Mahkama Konstitusi RI. 2020. Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Jakarta.

4. Pemerintah Indonesia. 2019. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 15


Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang -Undang Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang – Undangan. Kesekretariatan
Negara; Jakarta.
5. Pemerintah Indonesia. 2011. Undang -Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang – Undangan. Kesekretariatan Negara;
Jakarta.
6. Fadli,Muhammad. 2018. Pembentukan Undang – Undang Yang Mengikuti
Perkembangan Masyarakat. Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 15 (1); 49-58.
https://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/viewFile/12/pdf
7. Pemerintah Indonesia. 1945. Undang – Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Sekretariat Negara; Jakarta.
8. Indrayati,Yovita. 2022. Materi 2 Legal Drafting Mekanisme Pembentukan
Peraturan Perundang- Undangan. Materi Kuliah Magister Hukum UNIKA.
Semarang.
9. Christiawan, Rio. 2021, Omnibus Law: Teori dan Penerapannya. Sinar
Grafika; Jakarta, hlm. 1.
10. Muladi, 2019. RKUHP Sebagai Omnibus Law, Harian Kompas, 27
November, 2019, hlm 6.
11. O‘Brien, Audrey. "Marc Bosc, eds. 2009." House of Commons Procedure and
Practice. hlm. 724.
12. Dodek, Adam M. "Omnibus bills: Constitutional constraints and legislative
liberations." Ottawa L. Rev. 48 (2016): 1. hlm. 9.
13. Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia. 2020.
Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. https://dikti.kemdikbud.go.id/wp-
content/uploads/2020/10/Booklet-UU-Cipta-Kerja.pdf

Anda mungkin juga menyukai