Anda di halaman 1dari 125

BAB II

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

A. Kedudukan dan kewenangan MK


Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah lembaga (tinggi) ne-
gara yang baru yang sederajat dan sama tinggi kedudukannya dengan
Mahkamah Agung (MA). Menurut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 pasca Perubahan Keempat (Tahun 2002),
dalam struktur kelembagaan Republik Indonesia terdapat (setidaknya) 9 (sem-
bilan) buah organ negara yang secara langsung menerima kewenangan lang-
sung dari Undang-Undang Dasar. Kesembilan organ tersebut adalah (i) De-
wan Perwakilan Rakyat, (ii) Dewan Perwakilan Daerah, (iii) Majelis Per-
musyawaratan Rakyat, (iv) Badan Pemeriksa Keuangan, (v) Presiden, (vi)
Wakil Presiden, (vii) Mahkamah Agung, (viii) Mahkamah Konstitusi, dan (ix)
Komisi Yudisial. Di samping kesembilan lembaga tersebut, terdapat pula be-
berapa lembaga atau institusi yang datur kewenangannya dalam UUD, yaitu
(a) Tentara Nasional Indonesia, (b) Kepolisian Negara Republik Indonesia,
(c) Pemerintah Daerah, (d) Partai Politik. Selain itu, ada pula lembaga yang
tidak disebut namanya, tetapi disebut fungsinya, namun kewenangan diny-
atakan akan diatur dengan undang-undang, yaitu: (i) bank central yang tidak
disebut namanya “Bank Indonesia”, dan (ii) komisi pemilihan umum yang
juga bukan nama karena ditulis dengan huruf kecil. Baik Bank Indonesia
maupun Komisi Pemilihan Umum keduanya merupakan lembaga indepen-
den yang mendapatkan kewenangannya dari Undang-Undang.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (disingkat MKRI) adalah


lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang meru-
pakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah
Agung. Mahkamah Konstitusi RI didirikan pada tanggal 13 Agustus 2003 ,
dasar hukumnya yaitu Perubahan Ketiga UUD Negara RI 1945, UU no 24
tahun 2003 sebagaimana telah di ubah dengan UU no 8 tahun 2011, yang ke-
mudian diubah lagi dengan UU no 7 tahun 2020.

Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi lahir dari


Perubahan Ketiga UUD 1945 dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24 C, dan Pasal 7
B yang disahkan pada 9 November 2001. Ada pula yang berpendapat bahwa
Mahkamah Konstitusi lahir bersama Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003. Secara kelembagaan

1
Mahkamah Konstitusi menetapakan tanggal 16 Agustus 2003 sebagai kelahi-
ran Mahkamah Konstitusi.

Adapun wewenang MK ,tertuang dalam pasal 24 C ayat (2) UUD


1945 dimana dalam ayat 1 menentukan bahwa MK berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :

1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.


MK dalam menggunakan kewenanganya untuk menangani perkara pengu-
jian Undang-undang, mengacu pada asas nemo judex sine actore yang be-
rarti hakim hanya bersidang kalau ada perkara yang di ajukan kepadanya.
Dengan demikian, maka pihak yang dapat dan berhak mengajukan gugatan
atau permohonan pengujian undang-undang kepada MK, hanyalah WNI
yang mempunyai bukti bahwa penggugat/pemohon dirugikan secara konsi-
sional oleh UU yang digugat. Kewenangan MK menguji Undang-undang
mencakup pengujian materil dan formil. Pengujian materil pada Undang-un-
dang, berarti MK menguji ada tidaknya materi undang-undang tersebut yang
melanggar atau bertentangan dengan UUD 1945.
Sedangkan pengujian formil pada undang-undang, berarti MK memper-
soalkan mengenai ada tidak nya prosedur pembentukan undang-undang
yang dilanggar. Adapun unsur utama yang menjadi acuan kemudian secara
formil tehadap undang-undang oleh MK, meliputi
1. Proses Pembentukan Undang-Undang: MK memeriksa apakah
proses pembentukan undang-undang telah dilaksanakan sesuai dengan
prosedur yang diatur dalam UUD 1945. Ini mencakup tahap-tahap
seperti penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan penetapan undang-
undang.
2. Quorum: MK memeriksa keberadaan dan pemenuhan quorum (jum-
lah hadir yang sah) dalam proses pengambilan putusan di DPR atau
lembaga legislatif lainnya. Quorum yang tidak terpenuhi dapat menye-
babkan putusan yang dihasilkan menjadi cacat formal.

2
3. Prosedur Pengambilan putusan: MK memastikan bahwa prosedur
pengambilan putusan, termasuk tahapan-tahapan dan langkah-langkah-
nya, sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pelanggaran prosedur ini
dapat menyebabkan undang-undang dianggap cacat secara formil.
4. Peran Pemerintah: Pemerintah memiliki peran dalam proses pem-
bentukan undang-undang. MK memeriksa apakah keterlibatan pemer-
intah telah sesuai dengan ketentuan konstitusi dan peraturan perun-
dang-undangan yang berlaku.
5. Persetujuan Presiden: Dalam beberapa kasus, undang-undang
memerlukan persetujuan dari Presiden. MK memastikan bahwa perse-
tujuan tersebut diperoleh sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
6. Kepentingan Publik dan Transparansi: MK memeriksa apakah
proses pembentukan undang-undang telah memenuhi prinsip kepentin-
gan publik dan transparansi. Misalnya, MK dapat menguji apakah
pembahasan undang-undang dilakukan secara terbuka dan melibatkan
partisipasi masyarakat.
7. Rancangan Awal dan Perubahan Substansial: MK memeriksa
apakah perubahan substansial terhadap rancangan awal undang-un-
dang telah mengikuti prosedur yang ditetapkan. Jika ada perubahan
signifikan, MK dapat menguji apakah perubahan tersebut sesuai den-
gan prinsip pembentukan undang-undang.
8. Pengumuman dan Dokumentasi: MK memeriksa apakah proses
pembentukan undang-undang telah diumumkan secara tepat dan doku-
mentasinya lengkap. Kekurangan dalam pengumuman atau dokumen-
tasi dapat dianggap sebagai cacat formil.
9. Konsistensi Teks Undang-Undang: MK memeriksa konsistensi teks
undang-undang yang akhir dengan teks yang disetujui pada tahap-
tahap sebelumnya. Jika ada perbedaan yang signifikan, MK dapat
mempertanyakan keabsahan proses dan transparansi.

3
10. Keberadaan Paripurna dan Komisi-Komisi Khusus: MK
memeriksa apakah keberadaan Paripurna atau komisi-komisi khusus
selama proses pembentukan undang-undang telah sesuai dengan aturan
yang berlaku. Misalnya, MK dapat mempertimbangkan apakah ke-
hadiran anggota Paripurna atau komisi mencukupi.
11. Keterlibatan Fraksi dan Partai Politik: MK memeriksa apakah
fraksi-fraksi dan partai politik di DPR terlibat dengan memadai dalam
proses pembentukan undang-undang. Jika ada tanda-tanda keterlibatan
yang kurang, MK dapat mempertanyakan legitimasi proses tersebut.
Perlu diketahui bahwa setiap putusan dan produk MK lainnya, umumnya bersumber
dari hasil sidang MK. Dalam peraturan MK Nomor 1 Tahun 2020, mengatur tiga je-
nis Sidang dalam MK meliputi:

(1) Sidang Panel MK yaitu sidang yang dilaksanakan untuk memeriksa ke-
lengkapan dan kejelasan materi permohonan, memeriksa perbaikan permoho-
nan, memeriksa pokok permohonan, dan/ a tau pengesahan alat bukti. Sidang
Panel MK dihadiri oleh paling kurang 3 (tiga) Hakim.

(2) Sidang Pleno MK adalah sidang yang dilaksanakan untuk memeriksa dan
mendengar keterangan Para Pihak, ahli, saksi, Pihak Lain dan/ a tau menge-
sahkan alat bukti, serta pengucapan putusan. Sidang Pleno MK dihadiri oleh 9
(sembilan) Hakim, atau paling kurang 7 (tujuh) Hakim.

(3) Sidang non-yudisial adalah Sidang Pleno Khusus Mahkamah yang dise-
lenggarakan dalam rangka:

a. pengucapan sumpah Ketua/Wakil Ketua terpilih;

b. penyampaian laporan tahunan Mahkamah.

(4) Sidang Pleno Khusus adalah sidang yang dihadiri oleh 9 (sembilan)
Hakim, atau paling kurang 7 (tujuh) Hakim.

Adapun RPH dalam MK diselenggarakan untuk pembahasan surat-sura t


terkait dengan perkara, pembahasan perkara, pengambilan putusan, dan final-
isasi pu tusan. RPH dihadiri oleh 9 (sembilan) Hakim, atau paling sedikit 7
(tujuh) Hakim.

4
Dalam RPH, Ketua Rapat memberi kesempatan kepada para Hakim untuk menyarn-
paikan pendapatnya. Hakim dapat memberikan saran, tanggapan, atau keberatan atas
pendapat hakim yang lain. MK kemudian mengeluarkan putusan mengenai apakah
undang-undang yang diuji tersebut bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak.

Adapun pendapat hakim yang diucapkan melalui rapat permusyawaratan hakim dapat
dibagi menjadi tiga, yaitu:

1. Mayoritas opinion (pendapat mayoritas) adalah pendapat hakim yang disetujui


oleh lebih dari separuh jumlah hakim yang hadir dalam rapat permusyawaratan
hakim. Pendapat mayoritas ini merupakan pendapat yang menjadi dasar putusan
yang dikeluarkan oleh pengadilan.

2. Minoritas opinion (pendapat minoritas) adalah pendapat hakim yang tidak disetu-
jui oleh mayoritas hakim yang hadir dalam rapat permusyawaratan hakim. Pen-
dapat minoritas ini biasanya dimuat dalam putusan pengadilan sebagai pertim-
bangan tambahan.

3. Dissenting opinion (pendapat berbeda) adalah pendapat hakim yang berbeda den-
gan pendapat mayoritas atau minoritas. Pendapat berbeda ini biasanya dimuat
dalam putusan pengadilan sebagai pertimbangan yang berbeda.

Selain itu, terdapat juga istilah lain yang dapat digunakan untuk menyebut pendapat
hakim, yaitu:

1. Concurring opinion (pendapat yang sependapat) adalah pendapat hakim yang


sependapat dengan pendapat mayoritas, namun memiliki penalaran hukum (argu-
mentasi) yang berbeda.

2. Concurring and dissenting opinion (pendapat yang sependapat dan berbeda)


adalah pendapat hakim yang sependapat dengan pendapat mayoritas, namun
memiliki penalaran hukum (argumentasi) yang berbeda, dan juga memiliki pen-
dapat yang berbeda dengan pendapat mayoritas.

3. Concurring in part and dissenting in part opinion (pendapat yang sependapat se-
bagian dan berbeda sebagian) adalah pendapat hakim yang sependapat dengan
pendapat mayoritas dalam hal tertentu, namun berbeda pendapat dalam hal ter-
tentu lainnya.

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki tiga jenis putusan yaitu:

5
1. Menyatakan permohonan tidak dapat diterima

Putusan ini dikeluarkan jika MK berpendapat bahwa permohonan pemohon tidak


memenuhi syarat formil atau materiil. Syarat formil yang harus dipenuhi oleh per-
mohonan adalah:

a. Permohonan diajukan oleh orang atau badan yang berwenang.

b. Permohonan diajukan secara tertulis dan ditandatangani oleh pemohon atau


kuasanya.

c. Permohonan memuat alasan yang jelas dan terinci mengenai alasan permoho-
nan.

Syarat materiil yang harus dipenuhi oleh permohonan adalah:

Pasal atau UU yang dimohonkan untuk diuji harus bertentangan dengan UUD 1945.

Pasal atau UU yang dimohonkan untuk diuji harus memiliki hubungan dengan ke-
pentingan pemohon.

1. Menyatakan permohonan ditolak

Putusan ini dikeluarkan jika MK berpendapat bahwa permohonan pemohon telah


memenuhi syarat formil dan materiil, namun substansi permohonan tersebut tidak
bertentangan dengan UUD 1945.

Putusan MK bersifat final dan mengikat secara hukum bagi semua pihak. Putusan
MK juga dapat menjadi dasar hukum bagi pengadilan lain dalam memeriksa dan
memutus perkara.

2. Menyatakan permohonan dikabulkan seluruhnya atau sebagian atau bersyarat

Putusan ini dikeluarkan jika MK berpendapat bahwa permohonan pemohon telah


memenuhi syarat formil dan materiil, serta substansi permohonan tersebut berten-
tangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam hal permohonan dikabulkan seluruhnya, maka Pasal atau UU yang dimo-
honkan untuk diuji dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sejak diundangkan.

6
Dalam hal permohonan dikabulkan sebagian, maka Pasal atau UU yang dimohonkan
untuk diuji dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 hanya pada bagian tertentu
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak diundangkan.

Dalam hal permohonan dikabulkan bersyarat, maka Pasal atau UU yang dimohonkan
untuk diuji dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 jika syarat tertentu tidak
dipenuhi.

Apabila permohonan dikabulkan maka kemungkinan ada 2 alternatif akibat hukum


pada materi Undang-Undang dimohonkan pengujian, yaitu:

Putusan MK dalam bentuk legislatif positif adalah putusan yang memuat norma baru
yang tidak terdapat dalam UUD 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Putusan ini biasanya dikeluarkan dalam perkara pengujian undang-undang atau dalam
perkara lainnya yang memerlukan pembentukan norma hukum baru.

Berikut adalah contoh putusan MK dalam bentuk legislatif positif:

Putusan MK Nomor 008/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22


Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Korupsi. Dalam putusan ini, MK menyatakan
bahwa Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan UUD 1945. MK kemudian menetapkan
norma baru yang mengatur tentang syarat dan tata cara pengembalian aset hasil ko-
rupsi.

Putusan MK Nomor 31/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 2


Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam putusan ini, MK
menyatakan bahwa Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa bertentangan dengan UUD 1945. MK
kemudian menetapkan norma baru yang mengatur tentang hak-hak para pihak dalam
proses arbitrase.

Putusan MK dalam Bentuk Legislatif Negatif

Putusan MK dalam bentuk legislatif negatif adalah putusan yang menyatakan bahwa
suatu norma hukum tidak bertentangan dengan UUD 1945. Putusan ini biasanya
dikeluarkan dalam perkara pengujian undang-undang atau dalam perkara lainnya
yang memerlukan pengujian terhadap suatu norma hukum.

7
Berikut adalah contoh putusan MK dalam bentuk legislatif negatif:

Putusan MK Nomor 013/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 23


Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam putusan ini, MK menyatakan bahwa
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tidak bertentan-
gan dengan UUD 1945.

Putusan MK Nomor 21/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 13


Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam putusan ini, MK meny-
atakan bahwa Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Berdasarkan Pasal 47 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK mene-


gaskan bahwa:
“Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap
sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.”
Hal ini berarti putusan MK menjadi mengikat secara hukum bagi se-
mua pihak sejak putusan tersebut diucapkan dalam sidang pleno terbuka
untuk umum.

Putusan MK yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap secara teori-


tis, putusan MK yang bersifat mengikat terjadi karena ia memperoleh
kekuatan hukum tetap (Latin: res judicata, Inggris: final judgment,
Prancis: jugement définitif, Belanda: onherroepelijke uitspraak) dengan
demikian, maka putusan MK yang telah doperoleh kekuatan hukum
tetap, menimbulkan akibat hukum yaitu tidak dapat diganggu gugat
oleh siapa pun, termasuk oleh lembaga-lembaga negara lainnya. Putu-
san MK juga menjadi dasar hukum bagi pengadilan lain dalam
memeriksa dan memutus perkara.

Putusan MK yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum


memiliki beberapa tujuan, yaitu:

Untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas MK. Dengan diucap-


kannya putusan MK dalam sidang pleno terbuka untuk umum,

8
masyarakat dapat mengetahui dan mengikuti proses persidangan MK
dan putusan yang dihasilkannya.

Untuk memberikan kepastian hukum. Dengan diperolehnya kekuatan


hukum tetap sejak putusan diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk
umum, maka semua pihak dapat mengetahui dan mematuhi putusan
tersebut.

Untuk menjaga kestabilan hukum. Dengan diucapkannya putusan MK


dalam sidang pleno terbuka untuk umum, maka putusan tersebut dapat
diterima oleh semua pihak dan tidak menimbulkan konflik hukum.

Berikut adalah beberapa contoh putusan MK yang telah memperoleh


kekuatan hukum tetap:

Putusan MK Nomor 008/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Un-


dang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Korupsi. Dalam pu-
tusan ini, MK menyatakan bahwa Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) Un-
dang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Korupsi
bertentangan dengan UUD 1945.

Putusan MK Nomor 31/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Un-


dang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Un-
dang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesa-
ian Sengketa. Dalam putusan ini, MK menyatakan bahwa Pasal 4 ayat
(1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Peruba-
han Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Arbi-
trase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa bertentangan dengan UUD
1945.

Putusan-putusan MK tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap


dan menjadi dasar hukum bagi lembaga-lembaga negara lainnya dalam
menjalankan tugas dan fungsinya.

putusan MK berkedudukan sama kuatnya dengan UU sehingga bersi-


fat final dan mengikat, artinya putusan MK tidak dapat di lakukan up-
aya hukum apapun. Adapun rincian mengenai hal ini, meliputi:

9
1. Asas Supremasi Konstitusi: UUD 1945 menetapkan bahwa konsti-
tusi memiliki kedudukan yang tertinggi dalam hierarki perundang-un-
dangan di Indonesia. Oleh karena itu, setiap norma yang bertentangan
dengan konstitusi dianggap tidak sah.
2. Kedudukan Putusan MK: Putusan MK dianggap sebagai interpretasi
dan penafsiran resmi terhadap UUD 1945. Oleh karena itu, putusan
MK memiliki kedudukan yang setara dengan UU.
3. Final dan Mengikat: putusan MK bersifat final dan mengikat,
artinya putusan MK tidak dapat diperiksa kembali atau digugat kem-
bali oleh lembaga peradilan lain. Putusan MK menjadi putusan yang
sudah tidak dapat diubah lagi, kecuali oleh MK itu sendiri melalui
mekanisme peninjauan kembali (judicial review). Adapun Asal Usul
Istilah "Final dan Mengikat"
1. Otoritas Hukum
Istilah "final dan mengikat" mencerminkan putusan pengadilan, terma-
suk MK, sebagai otoritatif dan mengikat secara hukum. Ini berarti
bahwa setelah suatu putusan dikeluarkan, pihak yang bersangkutan dan
pihak-pihak lainnya harus menghormati dan melaksanakan putusan
tersebut.
2. Otoritas Konstitusi
Dalam konteks MK, sebagai pengadilan konstitusi, istilah ini mene-
gaskan otoritas MK sebagai penafsir dan penjaga konstitusi. putusan
MK memiliki kekuatan hukum tertinggi dalam menentukan konstitu-
sionalitas suatu peraturan perundang-undangan atau tindakan pemerin-
tah.
3. Kedudukan Tertinggi
Putusan MK dianggap sebagai titik akhir dari proses hukum. Istilah "fi-
nal" menunjukkan bahwa putusan MK tidak dapat diuji kembali atau

10
digugat kembali melalui jalur hukum biasa atau lembaga peradilan lain-
nya.
4. Mengikat secara Horizontal dan Vertikal
Prinsip "mengikat" berlaku secara horizontal, artinya putusan MK
memiliki kekuatan mengikat terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam
kasus tersebut, dan secara vertikal, artinya putusan MK berlaku bagi
seluruh warga negara dan lembaga-lembaga negara.
Penerapan dalam Praktek Hukum

1. Stabilitas Hukum

Prinsip "final dan mengikat" muncul untuk menjaga stabilitas hukum


dan menghindari ketidakpastian. putusan yang bersifat final dan
mengikat memberikan kepastian hukum, sehingga masyarakat dan lem-
baga-lembaga negara dapat mengandalkan putusan tersebut.

2. Supremasi Konstitusi

Istilah ini juga menekankan supremasi konstitusi, di mana putusan MK


dianggap memiliki kedudukan yang setara dengan atau bahkan lebih
tinggi daripada undang-undang, dan setiap undang-undang yang berten-
tangan dengan putusan MK dianggap tidak sah.

4. Kedudukan MK Sebagai Pengawal Konstitusi: MK memiliki peran


sebagai pengawal konstitusi. Dalam menjalankan tugasnya, MK
memastikan bahwa semua peraturan perundang-undangan, termasuk
undang-undang, sesuai dengan ketentuan konstitusi.
5. Pelaksanaan Putusan MK: Pihak-pihak yang terlibat, termasuk pe-
merintah dan lembaga legislatif, diharapkan untuk melaksanakan putu-
san MK. Jika ada ketentuan dalam undang-undang yang dianggap
tidak sesuai dengan konstitusi, lembaga legislatif atau pemerintah di-
harapkan untuk merevisi atau membatalkannya.

11
6. Hakim Konstitusi dan Otoritas Hukumnya: Hakim-hakim Konstitusi
adalah para ahli hukum yang berwenang menafsirkan dan mengap-
likasikan konstitusi. putusan mereka memiliki otoritas hukum yang
tinggi dan mengikat seluruh warga negara dan pihak yang terkait.
7. Pentingnya Kehadiran Hukum dan Keadilan: Prinsip finalitas dan
mengikatnya putusan MK mencerminkan pentingnya kepastian hukum
dan keadilan. Hal ini memberikan jaminan bahwa setiap orang dapat
mengandalkan kepastian hukum yang dihasilkan dari putusan MK.
8. Mekanisme Peninjauan Kembali: Meskipun putusan MK bersifat fi-
nal, UU tentang MK memberikan ketentuan mekanisme peninjauan
kembali dalam hal-hal tertentu. Peninjauan kembali dilakukan jika ada
fakta baru atau hukum baru yang muncul setelah putusan MK dikelu-
arkan.
9. Implementasi dalam Sistem Hukum: Prinsip ini mencerminkan
komitmen Indonesia untuk menjaga supremasi konstitusi dan memas-
tikan bahwa kekuasaan pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya tun-
duk pada aturan hukum yang lebih tinggi, yaitu konstitusi.

Setiap Putusan MK, berlaku asas erga omnes yang berati putusan MK
tidak hanya berlaku pada perkara yang di uji, tetapi juga berlaku pada
semua undang-undang dan peraturan terkait. Asas Erga omnes juga
berati putusan MKtidak hanya mengikat para pihak yang berperkara di
MK, Tetapi juga mengikat seluruh warga negara ataupun lembaga ne-
gara, pemerintah hingga swasta. putusan MK juga bersifat ultra petita
yang berarti putusan MK yang mengabulkan permohonan, melebihi
hal yang di tuntut dalam petitum pemohon. Apabila putusan MK
menyatakan menolak permohonan , berarti alas an pemohon dinilai
tidak berdasar, sehingga permohonan tidak dapat di ajukan kembali
karena bertentangan dengan asas nebis in idem. Hal ini berbeda den-

12
gan putusan MK yang menyatakan permohonan tidak di terima, berarti
permohonan tersebut dinilai belum memenuhi syarat formal permoho-
nan, sehingga permohonan masih dapat di ajukan kembali.
Berikut adalah tahapan dan mekanisme pengujian materiil di MK:

1. Permohonan Judicial Review:

Proses dimulai dengan adanya permohonan judicial review yang diajukan oleh
pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan terse-
but. Pemohon dapat berupa perseorangan, kelompok masyarakat, atau lembaga
tertentu yang dianggap memiliki kepentingan hukum untuk mengajukan judi-
cial review.

2. Syarat Formal Permohonan:

Permohonan harus memenuhi syarat formal, termasuk identifikasi pihak pemo-


hon, pernyataan mengenai dasar hukum permohonan, pokok-pokok permoho-
nan, dan alasan pemohon menganggap bahwa undang-undang yang diuji
bertentangan dengan UUD 1945.

3. Pemeriksaan Formil dan Materil:

Setelah permohonan diterima, MK melakukan pemeriksaan terhadap aspek


formil dan materil. Pemeriksaan formil mencakup pengecekan kelengkapan
dokumen dan syarat formal lainnya, sementara pemeriksaan materil berkaitan
dengan substansi atau isi permohonan.

4. Pengumuman dan Notifikasi:

Jika permohonan dinyatakan memenuhi syarat, MK mengumumkan permoho-


nan tersebut dan memberikan notifikasi kepada pihak-pihak yang berkepentin-
gan, termasuk pemerintah dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) sebagai pem-
buat undang-undang yang bersangkutan.

5. Pendapat Pemerintah dan DPR:

Pemerintah dan DPR diberikan kesempatan untuk memberikan pendapat atau


tanggapan terhadap permohonan judicial review tersebut. Hal ini memu-
ngkinkan MK untuk mendapatkan pandangan dari pihak-pihak yang berke-
pentingan sebelum membuat putusan.

13
6. Sidang Persidangan:

MK menyelenggarakan sidang persidangan untuk mendengarkan argumen dan


bukti dari pihak pemohon, pemerintah, dan DPR. Pihak-pihak yang berke-
pentingan dapat menyampaikan pandangan mereka secara lisan di hadapan
MK.

7. Deliberasi dan Putusan:

Setelah mendengarkan argumen dan melihat bukti, hakim-hakim MK


melakukan deliberasi untuk mempertimbangkan semua elemen yang terkait.
Semua putusan MK diambil melalui Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH)
dalam Sidang Pleno.

8. Putusan MK:

Putusan MK bersifat final dan mengikat semua pihak yang terlibat. Jika MK
menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945,
maka undang-undang tersebut dinyatakan tidak berlaku atau dapat diubah oleh
pihak yang berwenang.

Hal ini berarti bahwa putusan MK tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun.

Jika MK menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD


1945, maka undang-undang tersebut dinyatakan tidak berlaku atau dapat diubah
oleh pihak yang berwenang. Hal ini dikarenakan UUD 1945 merupakan hukum
tertinggi di Indonesia. Setiap peraturan perundang-undangan yang bertentangan
dengan UUD 1945 adalah batal demi hukum.

Putusan MK yang menyatakan bahwa undang-undang bertentangan dengan UUD


1945 memiliki beberapa konsekuensi hukum, yaitu:

1. Undang-undang tersebut tidak berlaku sejak diundangkan.

2. Pengadilan dan lembaga-lembaga negara lainnya tidak dapat menerapkan un-


dang-undang tersebut.

3. Pemerintah dapat mencabut atau mengubah undang-undang tersebut. Dalam


hal pemerintah tidak mencabut atau mengubah undang-undang tersebut, maka
undang-undang tersebut tetap tidak berlaku. Hal ini dikarenakan putusan MK
bersifat final dan mengikat semua pihak yang terlibat.

14
Disinilah Urgentsi Mahkamah konstitusi dengan peran dan kedudukannya sebagai the
guardian of constitution. Arti penting dari peran dan kedudukan MK ini sangatlah be-
sar dan mencakup berbagai aspek yang berpengaruh pada stabilitas dan keberlanjutan
sistem hukum suatu negara. Berikut adalah beberapa aspek penting dari peran dan ke-
dudukan MK sebagai the guardian of the constitution:

1. Interpretasi Konstitusi: MK memiliki kewenangan untuk menginterpretasikan kon-


stitusi suatu negara. Hal ini berarti MK bertanggung jawab untuk menentukan arti dan
ruang lingkup dari ketentuan-ketentuan dalam konstitusi. Interpretasi yang tepat dan
konsisten adalah kunci untuk memastikan bahwa konstitusi dijalankan sesuai dengan
prinsip-prinsip yang diamanatkan oleh pembentuk konstitusi.

2. Pengawasan terhadap Kekuasaan Eksekutif dan Legislatif: MK memiliki wewe-


nang untuk mengawasi dan menilai tindakan putusan dari cabang eksekutif dan legis-
latif pemerintahan. Ini mencakup memastikan bahwa kebijakan atau undang-undang
yang dihasilkan tidak bertentangan dengan konstitusi. Dengan demikian, MK mem-
bantu mencegah potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak eksekutif dan legis-
latif.

3. Perlindungan Hak Asasi Manusia: Salah satu peran kunci MK adalah melindungi
hak-hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi. MK dapat meninjau undang-un-
dang atau tindakan pemerintah yang dapat mengancam atau melanggar hak-hak terse-
but, dan memberikan putusan untuk memastikan bahwa hak-hak tersebut dihormati
dan dilindungi.

4. Penyelesaian Sengketa Konstitusional: MK berfungsi sebagai forum penyelesaian


sengketa konstitusional antara pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk antara
lembaga-lembaga pemerintah. putusan MK menjadi penentu akhir dalam sengketa
semacam ini, yang mendukung stabilitas dan kepastian hukum.

5. Pengembangan Hukum Konstitusional: MK, melalui putusan-putusannya, turut


serta dalam pengembangan hukum konstitusional. putusan-putusan ini dapat menjadi
landasan bagi interpretasi dan pengembangan lebih lanjut dari prinsip-prinsip konsti-
tusi.

6. Memastikan Pemerintahan yang Berkualitas: Dengan mengawasi pemerintah dan


lembaga-lembaga pemerintah lainnya, MK turut berperan dalam memastikan pemer-
intahan yang berkualitas, transparan, dan bertanggung jawab sesuai dengan prinsip-
prinsip konstitusional.

15
2. Memeriksa dan mengadili Sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewe-
nanganya di berikan dalam UUD 1945.

Kewenangan yang Diberikan Berdasarkan Undang-Undang Dasar (Constitu-


tionally Entrusted Power) mengacu pada hak atau kewenangan yang secara
eksplisit diberikan kepada suatu organ negara melalui pasal-pasal atau keten-
tuan yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar suatu negara. Kewenangan
ini menjadi bagian integral dari struktur konstitusional suatu negara, mem-
berikan landasan hukum yang tinggi karena berasal langsung dari prinsip-
prinsip dasar yang tertuang dalam konstitusi. Hal ini menandakan bahwa or-
gan negara tersebut memiliki wewenang yang kuat dan mendasar yang berasal
dari Undang-Undang Dasar, yang memberikan dasar konstitusional yang kuat
bagi setiap tindakan atau putusan yang diambil oleh organ tersebut.
Kewenangan yang Hanya Diberikan oleh Undang-Undang (Legislatively En-
trusted Power) merujuk pada kewenangan yang diberikan kepada suatu organ
negara melalui Undang-Undang yang dibuat oleh lembaga legislatif. Perbe-
daan utama adalah bahwa kewenangan ini tidak secara langsung didasarkan
pada pasal-pasal atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam konstitusi,
melainkan diamanatkan oleh Undang-Undang yang dibuat oleh badan legis-
latif yang berwenang. Meskipun memiliki kekuatan hukum yang penting,
kewenangan ini tidak memiliki tingkat kedalaman atau keabsahan yang sama
seperti kewenangan yang bersumber langsung dari konstitusi.
Sengketa kewenangan lembaga negara dapat terjadi ketika dua atau lebih lem-
baga negara memiliki kewenangan yang sama atau saling tumpang tindih. Hal
ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan mengganggu jalannya pe-
merintahan.
Kelebihan Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk Mengadili Sengketa
Kewenangan Lembaga Negara memiliki beberapa kelebihan, antara lain:
1. Menjaga keutuhan sistem ketatanegaraan

16
Kewenangan ini dapat menjaga keutuhan sistem ketatanegaraan Indonesia
dengan memastikan bahwa setiap lembaga negara menjalankan kewenan-
gan yang telah diberikan oleh UUD NRI 1945. Hal ini penting untuk
mencegah terjadinya tumpang tindih kewenangan yang dapat meng-
ganggu jalannya pemerintahan.
2. Meningkatkan kepastian hukum
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara sengketa kewenangan lem-
baga negara bersifat final dan mengikat semua pihak. Hal ini dapat
meningkatkan kepastian hukum bagi semua pihak yang terkait dengan
perkara tersebut.
3. Menciptakan harmoni dalam hubungan antarlembaga negara
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara sengketa kewenangan lem-
baga negara dapat menciptakan harmoni dalam hubungan antarlembaga
negara. Hal ini karena putusan tersebut dapat memberikan kepastian
hukum mengenai kewenangan masing-masing lembaga negara.
Adapun masalah dan kekurangan yang Dihadapi, Kewenangan Mahkamah
Konstitusi untuk mengadili sengketa kewenangan lembaga negara juga memi-
liki beberapa masalah dan kekurangan, antara lain:
1. Proses penyelesaian yang lama
Proses penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara di Mahkamah
Konstitusi dapat memakan waktu yang lama. Hal ini karena Mahkamah
Konstitusi harus terlebih dahulu memeriksa dan mengkaji secara mendalam
perkara tersebut.
2. Putusan yang tidak memuaskan semua pihak
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara sengketa kewenangan lem-
baga negara tidak selalu memuaskan semua pihak. Hal ini karena putusan
tersebut dapat merugikan salah satu atau kedua pihak yang bersengketa.
3. Kemungkinan terjadinya politisasi

17
Proses penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara di Mahkamah
Konstitusi dapat berpotensi terjadi politisasi. Hal ini karena perkara tersebut
dapat melibatkan kepentingan politik dari masing-masing pihak yang
bersengketa.
Apakah Ada Unsur Diskriminasi pada Kewenangan MK?
Pertanyaan ini dapat dijawab dengan dua sisi. Sisi pertama, kewenangan MK
untuk mengadili sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD NRI 1945 tidak memiliki unsur diskriminasi. Hal ini
karena kewenangan tersebut didasarkan pada konstitusi, yaitu UUD NRI 1945.
UUD NRI 1945 merupakan hukum tertinggi di Indonesia, sehingga kewenan-
gan MK yang didasarkan pada UUD NRI 1945 juga merupakan kewenangan
tertinggi. Sisi kedua, kewenangan MK tersebut dapat dianggap memiliki unsur
diskriminasi. Hal ini karena tidak semua sengketa kewenangan lembaga negara
dapat diadili oleh MK. Hanya sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD NRI 1945 yang dapat diadili oleh MK.
Sedangkan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya be-
rasal dari peraturan perundang-undangan di bawah UUD NRI 1945 tidak dapat
diadili oleh MK.
Lalu Siapakah yang Berwenang Mengadili Sengketa Kewenangan Lembaga
Negara dengan Kewenangan yang Berasal dari Peraturan Perundang-undangan
di Bawah UUD 1945?
Pertanyaan ini belum memiliki jawaban yang pasti. Berdasarkan ketentuan
Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945, hanya Mahkamah Konstitusi yang berwe-
nang mengadili sengketa kewenangan lembaga negara. Namun, berdasarkan
pertimbangan diskriminasi yang telah dijelaskan sebelumnya, maka kewenan-
gan tersebut dapat diserahkan kepada lembaga peradilan lain, seperti
Mahkamah Agung atau pengadilan khusus.

18
Alasan untuk menyerahkan kewenangan tersebut kepada lembaga peradilan
lain adalah untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi semua lem-
baga negara. Lembaga peradilan lain, seperti Mahkamah Agung atau pengadi-
lan khusus, juga memiliki kewenangan untuk mengadili perkara-perkara yang
berkaitan dengan kewenangan lembaga negara. Penyerahan kewenangan terse-
but juga dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelesaian sengketa
kewenangan lembaga negara. Mahkamah Konstitusi dapat fokus untuk men-
gadili perkara-perkara yang lebih penting, seperti pengujian undang-undang
terhadap UUD NRI 1945 dan pembubaran partai politik. Namun, penyerahan
kewenangan tersebut juga memiliki beberapa risiko. Risiko pertama adalah ter-
jadinya politisasi dalam penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara.
Hal ini karena lembaga peradilan lain, seperti Mahkamah Agung atau pengadi-
lan khusus, dapat dipengaruhi oleh kepentingan politik dari masing-masing
lembaga negara yang bersengketa. Risiko kedua adalah terjadinya keti-
dakpuasan dari pihak yang kalah dalam sengketa kewenangan lembaga negara.
Hal ini karena lembaga peradilan lain, seperti Mahkamah Agung atau pengadi-
lan khusus, tidak memiliki kewenangan yang sama dengan Mahkamah Konsti-
tusi untuk menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara. Oleh karena
itu, perlu adanya kajian lebih lanjut untuk menentukan lembaga peradilan yang
tepat untuk mengadili sengketa kewenangan lembaga negara dengan kewenan-
gan yang berasal dari peraturan perundang-undangan di bawah UUD NRI
1945.
Mahkamah Konstitusi telah memutus 22 perkara sengketa kewenangan lem-
baga negara. Sengketa-sengketa tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Sengketa kewenangan antara lembaga negara eksekutif dan legislatif
Sengketa kewenangan antara lembaga negara eksekutif dan legislatif
merupakan sengketa yang paling banyak terjadi. Sengketa ini biasanya
berkaitan dengan kewenangan untuk membuat peraturan perundang-
undangan, kewenangan untuk menetapkan kebijakan publik, dan

19
kewenangan untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang. Beberapa
contoh sengketa kewenangan antara lembaga negara eksekutif dan leg-
islatif yang pernah diadili oleh Mahkamah Konstitusi adalah:
* Putusan MK Nomor 001-021/PUU-I/2003 tentang kewenangan Pres-
iden untuk membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
* Putusan MK Nomor 008-024/PUU-II/2003 tentang kewenangan
DPR untuk meminta Presiden memberikan keterangan tentang kebi-
jakan pemerintah
* Putusan MK Nomor 009-025/PUU-II/2003 tentang kewenangan
Presiden untuk mengajukan rancangan undang-undang tentang APBN

2. Sengketa kewenangan antara lembaga negara eksekutif dan


yudikatif
Sengketa kewenangan antara lembaga negara eksekutif dan yudikatif
biasanya berkaitan dengan kewenangan untuk mengadili perkara,
kewenangan untuk memberikan grasi, dan kewenangan untuk mem-
berikan amnesti dan abolisi. Beberapa contoh sengketa kewenangan
antara lembaga negara eksekutif dan yudikatif yang pernah diadili oleh
Mahkamah Konstitusi adalah:
* Putusan MK Nomor 005-011/PUU-I/2003 tentang kewenangan Pres-
iden untuk memberikan grasi
* Putusan MK Nomor 006-012/PUU-I/2003 tentang kewenangan
Mahkamah Agung untuk mengadili perkara sengketa hasil pemilihan
umum
* Putusan MK Nomor 013-036/PUU-II/2003 tentang kewenangan
Mahkamah Agung untuk memberikan amnesti dan abolisi

3. Sengketa kewenangan antara lembaga negara legislatif dan yudikatif

20
Sengketa kewenangan antara lembaga negara legislatif dan yudikatif
biasanya berkaitan dengan kewenangan untuk menetapkan peraturan
perundang-undangan, kewenangan untuk mengawasi pelaksanaan un-
dang-undang, dan kewenangan untuk membentuk lembaga peradilan.
Beberapa contoh sengketa kewenangan antara lembaga negara legis-
latif dan yudikatif yang pernah diadili oleh Mahkamah Konstitusi
adalah:
* Putusan MK Nomor 003-004/PUU-I/2003 tentang kewenangan DPR
untuk membentuk Komisi Yudisial
* Putusan MK Nomor 007-010/PUU-I/2003 tentang kewenangan
Mahkamah Agung untuk mengangkat hakim agung
* Putusan MK Nomor 014-037/PUU-II/2003 tentang kewenangan
DPR untuk menetapkan undang-undang yang mengatur tata cara pem-
bentukan undang-undang.
DPD dan DPR pernah juga terjadi perselisihan yang diadili oleh MK.
Perselisihan tersebut terjadi pada tahun 2014, berkaitan dengan kewe-
nangan DPD untuk memberikan pertimbangan kepada DPR dalam hal
pembentukan undang-undang. DPD mengajukan permohonan kepada
Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguji undang-undang yang men-
gatur kewenangan DPD tersebut. Dalam permohonannya, DPD
berpendapat bahwa undang-undang tersebut tidak memberikan kewe-
nangan yang memadai kepada DPD dalam memberikan pertimbangan
kepada DPR.

MK kemudian memutuskan bahwa undang-undang tersebut inkonstitu-


sional. MK berpendapat bahwa DPD memiliki kewenangan yang luas
untuk memberikan pertimbangan kepada DPR dalam hal pembentukan
undang-undang.

21
Putusan MK tersebut merupakan kemenangan bagi DPD. Putusan
tersebut menegaskan bahwa DPD memiliki kewenangan yang penting
dalam proses pembentukan undang-undang.

Berikut adalah beberapa poin penting dari putusan MK tersebut:


1. DPD memiliki kewenangan yang luas untuk memberikan pertim-
bangan kepada DPR dalam hal pembentukan undang-undang.
2. Kewenangan DPD tersebut mencakup pertimbangan materiil dan
formal.
3. DPD dapat memberikan pertimbangan baik sebelum maupun setelah
DPR mengesahkan undang-undang.
Putusan MK tersebut telah memberikan dampak yang positif bagi
DPD. Putusan tersebut telah meningkatkan peran DPD dalam proses
pembentukan undang-undang.
Biasanya, kasus yang disidangkan di Mahkamah Konstitusi
berkaitan dengan masalah-masalah terkait struktur negara atau lem-
baga politik yang memiliki dampak luas pada kepentingan umum. Ini
sering terkait dengan penilaian terhadap hukum yang bersifat umum
dan abstrak, bukan masalah individual atau kasus-kasus spesifik yang
konkret. Kasus yang bersifat konkret dan individual paling sering ter-
jadi dalam proses 'impeachment' terhadap Presiden atau Wakil Presi-
den. Karena itu, pada dasarnya, untuk membedakan, Mahkamah
Agung dianggap sebagai 'court of justice' yang memerangi ketidakadi-
lan demi keadilan, sementara Mahkamah Konstitusi dianggap sebagai
'court of law'. Yang satu mengadili kasus-kasus untuk mencapai keadi-
lan, sementara yang lain mengadili kerangka hukum dan sistem keadi-
lan itu sendiri.
Dalam lingkup sengketa atau pertikaian, tidak hanya individu
atau entitas hukum yang terlibat, tetapi juga lembaga-lembaga negara,

22
termasuk lembaga tinggi yang secara jelas disebutkan dalam UUD
1945 seperti presiden, MPR, DPR, DPD, BPK, MK, MA, TNI, Polri,
KY, dan KPU. Jika terjadi pertikaian di antara lembaga-lembaga terse-
but, penyelesaiannya hanya dapat dilakukan melalui putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) yang bersifat final dan mengikat. Namun,
ada keberatan terhadap istilah "diberikan" yang digunakan dalam pasal
24C ayat 1 UUD 1945 karena terkesan seolah-olah UUD 1945 mem-
berikan secara cuma-cuma kewenangan tersebut. Dalam konteks
hukum Tata Negara, kewenangan semacam itu tidak "diberikan"
melainkan "diatur". Oleh karena itu, lebih tepat jika ketentuan tersebut
menggunakan istilah "diatur" daripada "diberikan". Dalam kerangka
administrasi negara, kewenangan bisa diperoleh melalui atribusi, dele-
gasi, dan mandat. Atribusi merujuk pada kewenangan yang melekat
pada suatu jabatan dalam tata negara karena tercantum secara eksplisit
dalam aturan hukum, terutama UUD atau UU. Dengan demikian,
kewenangan yang disebut dalam pasal 24C ayat 1 jelas merupakan
bentuk kewenangan yang bersifat atributif.

Namun, jika sengketa melibatkan lembaga negara seperti KPK,


Komnas HAM, Ombudsman, KPI, KPPU, KPAI, dan lain sebagainya,
MK tidak dapat menangani pertikaian mereka karena kewenangan
mereka tidak tercantum secara atributif dalam UUD 1945. Jika terjadi
pertikaian di antara mereka, Pengadilan yang berwenang adalah
Mahkamah Agung (MA), bukan MK. Tetapi, muncul permasalahan
besar jika pertikaian melibatkan lembaga tinggi negara yang kewenan-
gannya diatur dalam UUD 1945, sementara MK menjadi salah satu pi-
hak dalam sengketa tersebut. Apakah kasus semacam itu masih berada
dalam kewenangan MK tidak ada pengaturan yang pasti, kecuali ke-
tentuan mengenai kewenangan MK untuk memutuskan sengketa antar

23
lembaga negara yang kewenangannya diatur dalam UUD 1945. Jika
MK tetap memiliki kewenangan dalam perselisihan di mana MK men-
jadi salah satu pihak, maka persidangan dan putusan MK bisa berten-
tangan dengan asas nemo judex in causa sua, yang berarti tidak ada
yang boleh menjadi hakim dalam perkara yang menyangkut dirinya
sendiri.

3. Memutus perselisihan hasil pemilihan umum.


Sejak revormasi bergulir pasca tumbangnya orde baru, maka demokratisasi telah
tumbuh subur dalam sendi dasar kehidupan berbangsa bernegara dan
bermasyarakat. Salah satu bentuk implementasi demokrasi pasca revormasi adalah
penyelengaraan pemilihan umum(pemilu) yang mencakup
pilpres,pileg,pilkada,bahkan pilkades.
Pemilihan umum (pemilu) merupakan salah satu pilar demokrasi yang penting.
Melalui pemilu, rakyat dapat memilih pemimpin dan wakilnya secara langsung. Na-
mun, di Indonesia, pemilu selalu saja diwarnai dengan persoalan-persoalan klasik,
yang dapat mengancam integritas dan legitimasi pemilu itu sendiri.

Ironisnya karena pemilu sebagai pilar penting demokrasi yang menjadi sarana
pengejawan tahan kedaulatan rakyat untuk memilih eksekutif dan anggotaa legislatif
justru ter-distorsi beragam Persoalan klasik yang sering muncul dalam pemilu di In-
donesia antara lain:

Pemalsuan suara, yaitu tindakan memasukkan suara palsu ke dalam kotak suara atau
mengubah suara yang sah menjadi tidak sah. Pemalsuan suara dapat dilakukan oleh
berbagai pihak, termasuk penyelenggara pemilu, peserta pemilu, atau pihak ketiga.

Intimidasi pemilih, yaitu tindakan yang bertujuan untuk memaksa atau menghalangi
pemilih untuk menggunakan hak pilihnya. Intimidasi pemilih dapat dilakukan den-
gan berbagai cara, seperti ancaman, kekerasan, atau pemberian hadiah.

Manipulasi data pemilih, yaitu tindakan mengubah data pemilih secara ilegal. Ma-
nipulasi data pemilih dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti menambahkan
nama pemilih fiktif, menghapus nama pemilih yang sah, atau mengubah alamat
pemilih.

24
Pembelian suara, yaitu tindakan memberikan uang atau imbalan lain kepada pemilih
untuk memilih kandidat tertentu. Pembelian suara dapat dilakukan oleh peserta
pemilu atau pihak ketiga.

Penekanan informasi, yaitu tindakan membatasi atau menghalangi penyebaran infor-


masi tentang pemilu. Penekanan informasi dapat dilakukan oleh berbagai pihak, ter-
masuk penyelenggara pemilu, peserta pemilu, atau pihak ketiga.

Manipulasi hasil pemilu, yaitu tindakan mengubah hasil pemilu secara ilegal. Ma-
nipulasi hasil pemilu dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti mengubah jum-
lah suara yang sah, menghapus suara yang sah, atau menambahkan suara palsu.

Gerrymandering, yaitu tindakan membagi wilayah pemilihan secara tidak adil untuk
menguntungkan salah satu kandidat atau partai politik.

Ketidaksetaraan akses pemilih, yaitu kondisi di mana pemilih tidak memiliki akses
yang sama terhadap informasi, logistik, atau fasilitas pemilu. Ketidaksetaraan akses
pemilih dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti perbedaan ekonomi, sosial,
atau geografis.

Korupsi, yaitu tindakan penyalahgunaan wewenang oleh penyelenggara pemilu atau


peserta pemilu untuk keuntungan pribadi. Korupsi dapat berdampak pada berbagai
aspek penyelenggaraan pemilu, mulai dari proses pendaftaran pemilih, kampanye,
hingga penghitungan suara.

Pengaruh media dan kampanye hitam, yaitu tindakan media massa atau peserta
pemilu untuk menyebarkan informasi yang tidak benar atau menyesatkan tentang
pemilu. Pengaruh media dan kampanye hitam dapat mempengaruhi opini publik dan
dapat memanipulasi hasil pemilu.

Propaganda, yaitu tindakan menyebarkan informasi yang bertujuan untuk mempen-


garuhi opini publik. Propaganda dapat dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk
penyelenggara pemilu, peserta pemilu, atau pihak ketiga.

Eksploitasi sistem keamanan elektronik pemilu, yaitu tindakan memanfaatkan


kelemahan sistem keamanan elektronik pemilu untuk melakukan kecurangan. Ek-
sploitasi sistem keamanan elektronik pemilu dapat dilakukan dengan berbagai cara,
seperti memasukkan kode jahat ke dalam sistem, atau melakukan serangan siber.

25
Perlu penulis tegaskan bahwa dalam keadaan apapus, Kecurangan menjadi ancaman
serius terhadap kesucian pemilu. Menurut Douglas A. Chalmers dalam bukunya "The
Evolution of Electoral and Party Systems in the American States," kecurangan dapat
terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari pemalsuan suara, intimidasi pemilih, hingga
manipulasi data. Fenomena ini merusak esensi demokrasi dan menggerus keper-
cayaan masyarakat.

Referensi: Chalmers, D. A. (1983). The Evolution of Electoral and Party Systems in


the American States. Chicago: University of Chicago Press.

Demikian pula Manipulasi, baik melalui media maupun informasi yang disebarlu-
askan, dapat merubah persepsi publik terhadap kandidat dan partai. Teori kommu-
nikasi politik, seperti yang dijelaskan oleh Kathleen Hall Jamieson dalam "The Spiral
of Cynicism: The Press and the Public Good," menggambarkan bagaimana manipu-
lasi informasi dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap proses demokratis.

Referensi: Jamieson, K. H. (1997). The Spiral of Cynicism: The Press and the Public
Good. Oxford: Oxford University Press.

Namun hal yang paling crusial adalah Praktik politik uang menjadi ancaman nyata
terhadap integritas pemilu. Dalam konteks ini, teori korupsi politik yang dike-
mukakan oleh Susan Rose-Ackerman dalam "Corruption and Government: Causes,
Consequences, and Reform" dapat diaplikasikan. Politik uang tidak hanya menggerus
demokrasi, tetapi juga menguntungkan kelompok-kelompok ekonomi yang memiliki
kepentingan tertentu.

Referensi: Rose-Ackerman, S. (1999). Corruption and Government: Causes, Conse-


quences, and Reform. Cambridge: Cambridge University Press.

Mengingat tingginya tingkat kecuranagan dalam penyelenggaraan


pemilu, terutama pasca reformasi, maka hampir semua hasil penye-
lenggaraan pemilu selalu saja menimbulkan perselisihan antara para
kontestan dalam pileg maupun pilpres hingga pilkada. Tidak heran jika
MK merupakan pihak yang paling sibuk melayani banyaknya data
perselisihan hasil pemilu yang diajukan bergbagai kalangan, ke-
banyakan hanya mengacu pada bukti kecurangan yang bersifat semu
dan invalid.

26
Mengingat tingginya Tingkat kecurangan dalam penyelenggaraan pemilu, terutama
pasca reformasi, telah menjadi isu yang menghantui kepercayaan publik terhadap
hasil pemilihan umum di Indonesia. Perselisihan yang muncul setelah pemilu, baik
pileg, pilpres, maupun pilkada, sering mengarah pada pengajuan gugatan ke
Mahkamah Konstitusi (MK). Fenomena ini menciptakan situasi di mana MK menjadi
lembaga yang sibuk menangani perselisihan hasil pemilu dari berbagai kalangan, den-
gan kebanyakan gugatan hanya mengacu pada bukti kecurangan yang bersifat semu
dan invalid.

1. Konteks Kecurangan Pasca Reformasi:

Pasca reformasi, meskipun terdapat peningkatan partisipasi politik dan kebebasan


berekspresi, kecurangan tetap menjadi permasalahan serius dalam pemilu. Hal ini da-
pat dilihat dari berbagai indikator, seperti laporan pengamat pemilu, investigasi jur-
nalistik, dan reaksi masyarakat.

2. Kecurangan Semu dan Bukti Invalid:

Banyak perselisihan hasil pemilu membawa bukti kecurangan yang cenderung bersi-
fat semu atau tidak memadai secara hukum. Kondisi ini menciptakan dilema bagi
MK, di mana mereka harus memilah bukti yang valid dan relevan untuk dijadikan
dasar putusan.

3. Penanganan Perselisihan oleh Mahkamah Konstitusi:

MK sebagai lembaga yang memiliki kewenangan mengadili perselisihan hasil


pemilu, harus mampu menjalankan fungsi tersebut secara adil dan transparan. putusan
MK memiliki dampak besar terhadap legitimasi pemilu dan kepercayaan masyarakat.

4. Teori tentang Kecurangan dalam Pemilu:

Teori kecurangan pemilu, seperti yang dikemukakan oleh Richard Hasen dalam
bukunya "The Voting Wars: From Florida 2000 to the Next Election Meltdown,"
membahas dinamika kecurangan pemilu, termasuk faktor-faktor yang dapat menye-
babkan perselisihan setelah pemilihan.

Referensi: Hasen, R. L. (2012). The Voting Wars: From Florida 2000 to the Next
Election Meltdown. New Haven: Yale University Press.

5. Hukum dan Undang-Undang Terkait Perselisihan Pemilu:

27
Undang-Undang tentang pemilihan umum, seperti UU Nomor 7 Tahun 2017, mem-
berikan landasan hukum bagi penanganan perselisihan pemilu. Namun, kejelasan dan
kebijakan dalam menghadapi bukti kecurangan menjadi tantangan tersendiri.

6. Dampak Kecurangan Terhadap Legitimasi:

Kecurangan yang tidak ditangani secara tuntas dapat merusak legitimasi pemerinta-
han dan demokrasi. Ini merupakan isu serius yang perlu diatasi untuk menjaga kesta-
bilan politik dan sosial.

7. Masyarakat dan Kesadaran Hukum:

Peningkatan kesadaran hukum di kalangan masyarakat dapat membantu mengurangi


tuntutan perselisihan hasil pemilu yang tidak berdasar. Edukasi mengenai prosedur
hukum dan standar bukti dapat mengurangi gugatan yang bersifat semu.

Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan salah satu lembaga negara yang memiliki
peran penting dalam menjaga demokrasi di Indonesia. Salah satu peran penting MK
adalah dalam memeriksa dan mengadili, serta memutus perselisihan hasil pemilu.

Peran MK dalam Memeriksa dan Mengadili Perselisihan Hasil Pemilu

MK memiliki peran penting dalam menjaga integritas dan legitimasi pemilu di In-
donesia. Melalui kewenangan memeriksa dan mengadili perselisihan hasil pemilu,
MK dapat memastikan bahwa hasil pemilu yang diumumkan adalah benar dan sah.

Peran MK dalam memeriksa dan mengadili perselisihan hasil pemilu dapat dilihat
dari beberapa aspek berikut:

Aspek yudisial

MK berperan sebagai lembaga yudisial yang independen dan imparsial dalam


memeriksa dan mengadili perselisihan hasil pemilu. MK memiliki kewenangan untuk
memeriksa dan mengadili perselisihan hasil pemilu berdasarkan hukum dan fakta
yang ada.

Aspek politik

MK berperan sebagai lembaga politik yang dapat menengahi konflik politik yang tim-
bul akibat perselisihan hasil pemilu. MK dapat memberikan putusan yang dapat diter-
ima oleh semua pihak yang bersengketa, sehingga dapat mencegah terjadinya konflik
yang lebih besar.

28
Fungsi MK dalam Memeriksa dan Mengadili Perselisihan Hasil Pemilu

MK memiliki fungsi penting dalam memeriksa dan mengadili perselisihan hasil


pemilu. Fungsi MK dalam memeriksa dan mengadili perselisihan hasil pemilu dapat
dilihat dari beberapa aspek berikut:

1. Fungsi pengayoman

MK berperan sebagai pengayom konstitusi dalam memeriksa dan mengadili perselisi-


han hasil pemilu. MK dapat memberikan putusan yang dapat melindungi hak konsti-
tusional para pihak yang bersengketa, termasuk hak konstitusional untuk memilih dan
dipilih.

2. Fungsi penegakan hukum

MK berperan sebagai penegak hukum dalam memeriksa dan mengadili perselisihan


hasil pemilu. MK dapat memberikan putusan yang dapat menegakkan hukum dan
keadilan, sehingga dapat mencegah terjadinya pelanggaran hukum dalam penyeleng-
garaan pemilu.

3. Fungsi stabilisasi politik

MK berperan sebagai stabilisator politik dalam memeriksa dan mengadili perselisihan


hasil pemilu. MK dapat memberikan putusan yang dapat meredakan konflik politik
yang timbul akibat perselisihan hasil pemilu, sehingga dapat menjaga stabilitas politik
di Indonesia.

Tugas dan Wewenang MK dalam Memeriksa dan Mengadili Perselisihan Hasil


Pemilu

Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, MK berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perselisihan ten-
tang hasil pemilihan umum.

Tugas dan wewenang MK dalam memeriksa dan mengadili perselisihan hasil pemilu
meliputi:

1. Menerima dan memeriksa gugatan perselisihan hasil pemilu

2. MK berwenang menerima dan memeriksa gugatan perselisihan hasil pemilu yang


diajukan oleh peserta pemilu, partai politik, atau perseorangan.

29
3. Memutus gugatan perselisihan hasil pemilu

4. MK berwenang memutus gugatan perselisihan hasil pemilu berdasarkan hukum


dan fakta yang ada.

Syarat Pengajuan Gugatan Perselisihan Hasil Pemilu

Gugatan perselisihan hasil pemilu hanya dapat diajukan oleh pihak-pihak yang memi-
liki legal standing. Legal standing adalah kewenangan untuk mengajukan gugatan di
pengadilan.

Berdasarkan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemili-
han Umum, pihak-pihak yang memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan
perselisihan hasil pemilu adalah sebagai berikut:

1. Peserta pemilu

Peserta pemilu yang memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan perselisihan
hasil pemilu adalah peserta pemilu yang dinyatakan kalah dalam pemilihan umum.

2. Partai politik

Partai politik yang memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan perselisihan
hasil pemilu adalah partai politik yang dinyatakan kalah dalam pemilihan umum, dan
partai politik yang pesertanya dinyatakan kalah dalam pemilihan umum.

3. Perseorangan

Perseorangan yang memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan perselisihan


hasil pemilu adalah perseorangan yang menjadi pemilih di wilayah pemilihan yang
disengketakan, dan perseorangan yang menjadi anggota partai politik yang pesertanya
dinyatakan kalah dalam pemilihan umum.

Mekanisme Penanganan Gugatan Perselisihan Hasil Pemilu

Mekanisme penanganan gugatan perselisihan hasil pemilu di MK diatur dalam Perat-


uran Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penanganan Sen-
gketa Pemilihan Umum.

Pada pokoknya, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata
Cara Penanganan Sengketa Pemilihan Umum mempersyaratkan pihak yang dapat

30
mengajukan gugatan terhadap hasil pemilihan umum, hanyalah jika selisih perolehan
suara antara penggugat dengan tergugat berada pada posisi 1,5 hingga 2 persen.

Alasan pembatasan selisih perolehan suara

Pembatasan selisih perolehan suara dalam gugatan perselisihan hasil pemilihan umum
didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu:

Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk membatasi jumlah gugatan yang diajukan ke


Mahkamah Konstitusi. Gugatan perselisihan hasil pemilihan umum merupakan
perkara yang kompleks dan membutuhkan waktu dan biaya yang besar untuk
diproses. Pembatasan selisih perolehan suara dimaksudkan untuk memastikan bahwa
gugatan yang diajukan hanya terbatas pada gugatan yang memiliki potensi untuk
mengubah hasil pemilihan umum.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum

Ketentuan tersebut juga dimaksudkan untuk menjaga stabilitas politik. Gugatan


perselisihan hasil pemilihan umum dapat menimbulkan konflik politik, terutama jika
gugatan tersebut dikabulkan. Pembatasan selisih perolehan suara dimaksudkan untuk
mengurangi potensi konflik politik yang timbul akibat gugatan perselisihan hasil
pemilihan umum.

Penerapan ketentuan pembatasan selisih perolehan suara

Ketentuan pembatasan selisih perolehan suara dalam gugatan perselisihan hasil


pemilihan umum diterapkan dalam beberapa tahapan, yaitu:

Pada tahap penerimaan gugatan, Mahkamah Konstitusi akan memeriksa selisih per-
olehan suara antara penggugat dengan tergugat. Jika selisih perolehan suara kurang
dari 1,5 persen atau lebih dari 2 persen, maka gugatan akan ditolak.

Pada tahap pemeriksaan pendahuluan, Mahkamah Konstitusi akan memeriksa kem-


bali selisih perolehan suara antara penggugat dengan tergugat. Jika selisih perolehan
suara kurang dari 1,5 persen atau lebih dari 2 persen, maka Mahkamah Konstitusi
akan menyatakan gugatan tidak dapat diterima.

Pada tahap pemeriksaan persidangan, Mahkamah Konstitusi akan kembali memeriksa


selisih perolehan suara antara penggugat dengan tergugat. Jika selisih perolehan suara
kurang dari 1,5 persen atau lebih dari 2 persen, maka Mahkamah Konstitusi akan
memutus gugatan dengan menolak permohonan penggugat.

31
Penilaian terhadap ketentuan pembatasan selisih perolehan suara

Ketentuan pembatasan selisih perolehan suara dalam gugatan perselisihan hasil


pemilihan umum telah menimbulkan polemik di kalangan masyarakat. Ada yang
berpendapat bahwa ketentuan tersebut terlalu sempit, sehingga dapat menghambat
hak konstitusional masyarakat untuk mengajukan gugatan perselisihan hasil pemili-
han umum. Ada pula yang berpendapat bahwa ketentuan tersebut sudah tepat, karena
dapat menjaga stabilitas politik dan membatasi jumlah gugatan yang diajukan ke
Mahkamah Konstitusi.

Penilaian terhadap ketentuan pembatasan selisih perolehan suara tersebut dapat di-
lakukan dengan mempertimbangkan beberapa aspek, yaitu:

Aspek legalitas

Ketentuan pembatasan selisih perolehan suara dalam gugatan perselisihan hasil


pemilihan umum telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun
2022, yang merupakan peraturan perundang-undangan yang memiliki kekuatan
hukum mengikat. Oleh karena itu, ketentuan tersebut dapat dikatakan sah secara
hukum.

Aspek keadilan

Ketentuan pembatasan selisih perolehan suara dapat menimbulkan ketidakadilan bagi


pihak yang kalah dalam pemilihan umum dengan selisih suara yang tipis. Pihak yang
kalah tersebut tidak memiliki kesempatan untuk mengajukan gugatan perselisihan
hasil pemilihan umum, meskipun mereka merasa bahwa hasil pemilihan umum tidak
sah.

Aspek kepastian hukum

Ketentuan pembatasan selisih perolehan suara dapat memberikan kepastian hukum


bagi para pihak yang bersengketa. Ketentuan tersebut dapat mencegah terjadinya gu-
gatan yang tidak berdasar, sehingga dapat menghemat waktu dan biaya yang diper-
lukan untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilihan umum.

Pada akhirnya, penilaian terhadap ketentuan pembatasan selisih perolehan suara


dalam gugatan perselisihan hasil pemilihan umum merupakan hal yang subjektif. Se-
tiap orang dapat memiliki penilaian yang berbeda terhadap ketentuan tersebut, tergan-
tung pada sudut pandang masing-masing.

32
Mekanisme penanganan gugatan perselisihan hasil pemilu di MK meliputi beberapa
tahapan berikut:

1. Tahap Penerimaan Gugatan

Gugatan perselisihan hasil pemilu harus diajukan kepada Mahkamah Konstitusi se-
cara tertulis dalam bahasa Indonesia. Gugatan harus diajukan paling lambat 14 (em-
pat belas) hari kerja sejak diumumkannya hasil pemilihan umum.

2. Tahap Pemeriksaan Pendahuluan

Dalam tahap pemeriksaan pendahuluan, Mahkamah Konstitusi akan memeriksa ke-


lengkapan administrasi gugatan dan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk
memeriksa dan mengadili gugatan tersebut.

3. Tahap Pemeriksaan Persidangan

Dalam tahap pemeriksaan persidangan, Mahkamah Konstitusi akan memeriksa dan


mengadili gugatan secara mendalam. Mahkamah Konstitusi akan memanggil para pi-
hak yang bersengketa untuk memberikan keterangan dan bukti.

4. Tahap Putusan

Mahkamah Konstitusi akan memutus gugatan perselisihan hasil pemilu paling lambat
30 (tiga puluh) hari kerja sejak dimulainya pemeriksaan persidangan.

5. Cara Pembuktian

Pembuktian dalam perkara perselisihan hasil pemilu dilakukan dengan cara pembuk-
tian bebas, yang berarti bahwa para pihak dapat mengajukan bukti apa saja yang di-
anggap relevan dan material untuk mendukung dalil-dalilnya.

Bukti yang dapat diterima dalam perkara perselisihan hasil pemilu meliputi:

1. Bukti surat

Bukti surat adalah bukti yang dibuat secara tertulis, seperti berita acara, akta, surat
suara, dan dokumen lainnya.

2. Bukti keterangan saksi

Bukti keterangan saksi adalah bukti yang diberikan oleh saksi yang melihat,
mendengar, atau mengalami sendiri peristiwa yang menjadi objek sengketa.

33
3. Bukti keterangan ahli

Bukti keterangan ahli adalah bukti yang diberikan oleh ahli yang memiliki keahlian
khusus dalam bidang tertentu yang berkaitan dengan objek sengketa.

4. Bukti petunjuk

Bukti petunjuk adalah bukti yang diperoleh dari suatu peristiwa yang tidak disen-
gaja, tetapi dapat memberikan petunjuk untuk membuktikan suatu peristiwa lain.

Dasar Hukum:

Pasal 63 ayat (1) dan (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2022 ten-
tang Tata Cara Penanganan Sengketa Pemilihan Umum

Perlu dipahami bahwa bahan pertimbangan yang menjadi landasan para hakim di MK
dalam memutus sengketa hasil pemilu, bukanlah mengacu pada procedural of justice
yang mencakup semua dugaan pelanggaran pemilu, tetapi mengacu pada subtantive
of law, dimana hakim MK lebih memperhatikan fakta mengenai selisih perolehan
suara antara penggugat dengan tergugat.
Dalam memeriksa dan memutus PHPU, MK berpedoman pada ketentuan Pasal 52
ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang
menyatakan bahwa MK wajib memeriksa dan memutus gugatan PHPU dengan berpe-
doman pada peraturan perundang-undangan, asas-asas umum pemerintahan yang
baik, dan pertimbangan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.

Bahan Pertimbangan Hakim MK dalam Memutus PHPU

Bahan pertimbangan hakim MK dalam memutus PHPU dapat dibagi menjadi dua,
yaitu:

1. Bahan pertimbangan hukum

Bahan pertimbangan hukum yang digunakan oleh hakim MK dalam memutus PHPU
meliputi:

* **Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945**

* **Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum**

34
* **Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penan-
ganan Sengketa Pemilihan Umum**

* **Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan PHPU**

2. Bahan pertimbangan fakta

Bahan pertimbangan fakta yang digunakan oleh hakim MK dalam memutus PHPU
meliputi:

* **Keterangan para pihak yang bersengketa**

* **Bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa**

* **Pemeriksaan setempat**

Dalam memutus PHPU, hakim MK perlu mempertimbangkan beberapa hal, salah sat-
unya adalah selisih perolehan suara antara penggugat dengan tergugat. Selisih perole-
han suara tersebut menjadi pertimbangan penting bagi hakim MK dalam menentukan
apakah hasil pemilihan umum yang diumumkan oleh penyelenggara pemilihan umum
sah atau tidak.

Berdasarkan Pasal 52 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemili-
han Umum, gugatan PHPU hanya dapat diajukan jika selisih perolehan suara antara
penggugat dengan tergugat tidak lebih dari 2% (dua persen) atau tidak kurang dari
1,5% (satu setengah persen).

Aturan tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa jika selisih perolehan suara an-
tara penggugat dengan tergugat lebih dari 2%, maka dapat dikatakan bahwa hasil
pemilihan umum tidak terpengaruh oleh dugaan pelanggaran hukum dan/atau pelang-
garan administrasi pemilihan umum. Sebaliknya, jika selisih perolehan suara antara
penggugat dengan tergugat kurang dari 1,5%, maka dapat dikatakan bahwa dugaan
pelanggaran hukum dan/atau pelanggaran administrasi pemilihan umum tidak memi-
liki pengaruh yang signifikan terhadap hasil pemilihan umum.

Hasil pemilihan tersebut menimbulkan sengketa/perselisihan antara pihak yang


berkepentingan. Khusus mengenai sengketa/perselisihan tentang hasil pemilu(pilpres,
pilek, dan pilkada), semuanya hanya dapat diselesaikan melalui utusan MK. Untuk
memberikan pemahaman secara komprehensif, maka berikut ini dimaparkan menge-
nai kewenangan sejumlah lembaga dalam penanganan sengketa/pelanggaran pemilu,;

35
1. Kewenangan MK dalam memutus sengketa Hasil Pemilu
Berdasarkan ketentuan tersebut, MK berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus perselisihan yang timbul akibat penyelenggaraan pemilihan umum. Namun,
kewenangan MK dalam memutus PHPU tidak mencakup sengketa/perselisihan
pemilu yang bukan mengenai hasil final.

1. Undang-Undang Dasar 1945 dan Kewenangan MK:

Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, kewenangan MK diatur dalam


Pasal 24B ayat (1) dan ayat (2), yang menyebutkan bahwa MK berwenang
mengadili sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang.

2. UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK:

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi


mengatur secara lebih rinci kewenangan MK, termasuk kewenangan
dalam mengadili perselisihan hasil pemilihan umum.

3. Teori Mengenai Yurisdiksi MK:

Teori mengenai yurisdiksi MK, seperti yang dikemukakan oleh Jimly


Asshiddiqie dalam bukunya "Hukum Tata Negara dan Konstitusi,"
menekankan bahwa yurisdiksi MK terbatas pada kewenangan yang secara
tegas diberikan oleh undang-undang.

4. Batasan Kewenangan MK pada Perselisihan Hasil Final:

Prinsip dasar kewenangan MK dalam perselisihan pemilu adalah terfokus


pada hasil final yang ditetapkan oleh KPU. Ini mencakup penetapan hasil
pemilihan umum, pemilihan kepala daerah, dan pemilihan lainnya yang
memiliki dampak signifikan terhadap kehidupan politik.

5. Fungsi MK dalam Menjaga Kestabilan Hukum:

Kewenangan MK yang terbatas pada hasil pemilu bertujuan untuk men-


jaga kestabilan hukum dan menghindari campur tangan yang berlebihan
dalam proses politik yang lebih bersifat teknis.

36
2. Kewenangan Bawaslu dalam Memutus Sengketa Hasil Pemilu

Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) merupakan lembaga negara yang


memiliki kewenangan untuk mengawasi penyelenggaraan pemilihan umum. Bawaslu
juga memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus sengketa administrasi
pemilihan umum.

Kewenangan Bawaslu dalam memeriksa dan memutus sengketa administrasi pemili-


han umum diatur dalam Pasal 225 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum. Berdasarkan ketentuan tersebut, Bawaslu berwenang untuk
memeriksa dan memutus sengketa yang timbul dalam pelaksanaan pemilihan umum,
kecuali sengketa tentang hasil pemilihan umum.

3. Kewenangan Mahkamah Agung dalam Memutus Sengketa Hasil Pemilu

Mahkamah Agung (MA) merupakan lembaga negara yang memiliki kewenangan un-
tuk mengadili perkara-perkara yang berkaitan dengan hukum. MA juga memiliki
kewenangan untuk melakukan uji materiil dan uji formil terhadap peraturan perun-
dang-undangan.

Kewenangan MA dalam melakukan uji materiil dan uji formil terhadap peraturan pe-
rundang-undangan diatur dalam Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan ketentuan tersebut, MA berwenang
mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah un-
dang-undang terhadap undang-undang, dan memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang.

Berdasarkan ketentuan tersebut, MA memiliki kewenangan untuk menguji materiil


dan formil terhadap peraturan KPU dan Bawaslu yang berkaitan dengan penyeleng-
garaan pemilihan umum. Jika MA berpendapat bahwa peraturan tersebut bertentan-
gan dengan undang-undang, maka MA dapat menyatakan peraturan tersebut tidak
sah.

4. Kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam Memutus Sengketa Hasil


Pemilu

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) merupakan lembaga negara yang memiliki
kewenangan untuk memeriksa dan memutus sengketa tata usaha negara. Sengketa
tata usaha negara adalah sengketa yang timbul antara orang atau badan hukum per-

37
data dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, se-
bagai akibat dari putusan tata usaha negara.

Kewenangan PTUN dalam memeriksa dan memutus sengketa tata usaha negara
diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara. Berdasarkan ketentuan tersebut, PTUN berwenang memeriksa dan
memutus sengketa tata usaha negara antara lain mengenai putusan badan atau pejabat
tata usaha negara yang bersifat konkret, individual, dan final.

Berdasarkan ketentuan tersebut, PTUN memiliki kewenangan untuk memeriksa dan


memutus sengketa yang timbul akibat putusan KPU atau Bawaslu yang bersifat
konkret, individual, dan final. Misalnya, PTUN dapat memeriksa dan memutus sen-
gketa yang timbul akibat putusan KPU atau Bawaslu yang menolak pendaftaran
calon, memberikan sanksi kepada peserta pemilu, atau menetapkan pemenang pemili-
han kepala daerah.

4. Memutuskan Pembubaran partai politik.


Partai politik (parpol) memainkan peran yang sangat strategis dalam kerangka demokrasi
dan sistem negara hukum. Berbagai kajian ilmiah mendukung pandangan ini dengan merinci
beberapa fungsi dan kontribusi parpol dalam konteks demokrasi modern.

1. Representasi Politik

- Parpol menjadi alat utama untuk mewakili kepentingan masyarakat dan kelompok
di tingkat politik. Mereka membantu mengartikulasikan aspirasi dan pandangan
warga negara, menjadikan pemilu sebagai mekanisme untuk mengukur dan mewakili
pluralitas masyarakat.
Sartori, Giovanni. (1976). Parties and Party Systems: A Framework for Analysis. Cambridge University Press.

2. Partisipasi Politik:

- Parpol memfasilitasi partisipasi politik dengan memberikan platform untuk warga


negara terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Mereka menjadi wadah bagi in-
dividu untuk menyuarakan pandangan mereka, baik melalui keanggotaan langsung
maupun dukungan.

38
Norris, Pippa. (2002). Democratic Phoenix: Reinventing Political Activism. Cambridge University
Press.

3. Stabilitas Politik:

- Parpol dapat memberikan stabilitas politik dengan memastikan adanya struktur


dan proses yang terorganisir dalam sistem politik. Mereka membantu menjaga kese-
imbangan dan mencegah gejolak politik yang tidak terkendali.

Mainwaring, Scott, & Scully, Timothy R. (Eds.). (1995). Building Democratic Institutions: Party Sys-
tems in Latin America. Stanford University Press.

4. Sistem Negara Hukum:

- Parpol memiliki peran penting dalam menjaga sistem negara hukum dengan
berpartisipasi dalam pembuatan undang-undang, pengawasan pemerintah, dan
memastikan penghormatan terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.

Elster, Jon. (1995). Forces and Mechanisms in the Constitution-Making Process. Duke Law Journal,
45(2), 364-396.

5. Keseimbangan Kekuasaan:

- Parpol membantu menjaga keseimbangan kekuasaan antara eksekutif, legislatif,


dan yudikatif, yang merupakan prinsip dasar dalam sistem negara hukum.
Dahl, Robert A. (1957). A Preface to Democratic Theory. University of Chicago Press.

Dalam konteks negara hukum yang menghormati nilai demokrasi, setiap organisasi,
terutama partai politik (parpol), tidak hanya diberikan perlindungan tetapi juga diber-
dayakan oleh negara untuk dapat memainkan peran yang maksimal dalam memper-
juangkan aspirasi anggotanya yang sekaligus mencerminkan kehendak rakyat. Proses
pembentukan dan pembubaran setiap parpol dianggap sebagai hak yang melekat pada
setiap warga negara, sebuah prinsip yang didukung secara eksplisit oleh Pasal 28
UUD 1945.

Pasal 28 UUD 1945 menjadi pijakan konstitusional yang menggariskan pentingnya


memberikan hak kepada warga negara untuk membentuk atau, jika perlu, mem-
bubarkan organisasi politik, termasuk partai politik, sesuai dengan aspirasi dan ke-
hendak mereka. Perlindungan ini melibatkan keamanan dan kebebasan yang dijamin
oleh negara, menciptakan lingkungan yang kondusif bagi partai politik untuk berkem-

39
bang dan berperan secara efektif dalam merumuskan dan mengartikulasikan kepentin-
gan masyarakat.

Dengan demikian, negara tidak hanya mengakui eksistensi partai politik sebagai
sarana demokratis, tetapi juga bertanggung jawab untuk memfasilitasi kondisi yang
mendukung peran aktif partai politik dalam mewakili suara rakyat. Pemberian hak
kepada warga negara untuk membentuk atau membubarkan partai politik mencer-
minkan semangat demokrasi yang inklusif, di mana partisipasi politik dianggap seba-
gai hak yang fundamental dan mendapat perlindungan konstitusional.

Sungguh sangat disesalkan karena dalam perjalan Sejarah demokrasi


inodienesia, parpol menghadapi situasi politik yang tidak demokratis ,Dimana
aktifitas parpol sangat dibatasi dan diperketat pengawasannya, juga dapat
dibubarkan sewaktu waktu oleh penguasa berdasarkan sudut pandang
kepentingan politik penguasa.

Hal ini mulai terjadi pada masa kepemimpinan souekarno yang leluasa
membubarkan parpol karna faktor like dislike. Pembubaran partai politik oleh
Presiden Soekarno merupakan salah satu peristiwa penting dalam sejarah
politik Indonesia. Peristiwa ini terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin, yaitu
pada tahun 1959 hingga 1965.

Pembubaran partai politik terjadi karena beberapa faktor, antara lain:

 Perpecahan politik yang terjadi di Indonesia pada masa Demokrasi


Parlementer. Perpecahan ini menyebabkan sulitnya pemerintah untuk
menjalankan roda pemerintahan.
 Keinginan Presiden Soekarno untuk memperkuat kekuasaannya.
Melalui pembubaran partai politik, Presiden Soekarno berharap dapat
memusatkan kekuasaan di tangannya.

Pembubaran partai politik dilakukan oleh Presiden Soekarno melalui Dekrit


Presiden Nomor 11/1959. Dekrit ini membubarkan Konstituante, menetapkan

40
UUDS 1950 sebagai konstitusi yang berlaku, dan memberikan kewenangan
kepada Presiden untuk membentuk kabinet.

Pembubaran partai politik pertama kali dilakukan pada tahun 1960. Partai
yang dibubarkan adalah Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Kedua partai ini dianggap oleh Presiden Soekarno sebagai partai oposisi
yang dapat mengancam kekuasaannya.

Pembubaran partai politik terus berlanjut hingga tahun 1965. Partai-partai


yang dibubarkan antara lain Partai Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai
Komunis Indonesia (PKI), partai murba.

Pembubaran partai politik memiliki dampak yang luas bagi kehidupan politik
Indonesia. Dampak tersebut antara lain:

 Mengurangi partisipasi politik masyarakat. Pembubaran partai politik


membuat masyarakat kehilangan haknya untuk berpartisipasi dalam
politik melalui partai politik.
 Memperkuat otoritarianisme Presiden Soekarno. Pembubaran partai
politik membuat Presiden Soekarno semakin berkuasa dan sulit
dikontrol.
 Memperburuk situasi politik Indonesia. Pembubaran partai politik
menyebabkan terjadinya konflik politik yang semakin tajam.

Pembubaran partai politik oleh Presiden Soekarno merupakan peristiwa yang


kontroversial. Peristiwa ini telah meninggalkan jejak yang mendalam dalam
sejarah politik Indonesia.

Pembubaran partai politik oleh Presiden Soekarno memang merupakan


keputusan yang sepihak. Presiden Soekarno memiliki kewenangan untuk
membubarkan partai politik berdasarkan Dekrit Presiden Nomor 11/1959.
Kebijakan ini menimbulkan permasalahan besar karena pembubaran partai

41
politik hanya didasarkan pada pertimbangan politik presiden. Hal ini
menyebabkan adanya dugaan bahwa pembubaran partai politik dilakukan
untuk menyingkirkan partai politik oposisi yang tidak sejalan dengan
kepentingan politik presiden.

Pembubaran partai politik merupakan peristiwa penting dalam sejarah politik


Indonesia karena memiliki dampak yang luas bagi kehidupan politik
Indonesia. Peristiwa ini juga menunjukkan bahwa Presiden Soekarno
memiliki kekuasaan yang besar dan otoriter.

Perpecahan politik yang terjadi di Indonesia pada masa Demokrasi


Parlementer memang merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
pembubaran partai politik. Perpecahan ini menyebabkan sulitnya pemerintah
untuk menjalankan roda pemerintahan. Presiden Soekarno pun berusaha
untuk memperkuat kekuasaannya melalui pembubaran partai politik.

Pada masa Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno memiliki


kekuasaan yang sangat besar. Ia memiliki kekuasaan untuk mem-
bubarkan partai politik, tanpa harus melalui persetujuan DPR.
Kekuasaan ini diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Dasar Sementara
Republik Indonesia Tahun 1959.

Pasal 12 tersebut berbunyi sebagai berikut:

"Presiden berwenang membubarkan partai politik yang menurut penda-


patnya tidak sesuai dengan kepentingan nasional."

Kekuasaan Presiden Soekarno untuk membubarkan partai politik ini


telah digunakan untuk membubarkan sejumlah partai politik, termasuk
partai-partai oposisi.

Pada tanggal 17 Agustus 1959, Presiden Soekarno membubarkan Partai


Masyumi. Partai Masyumi dianggap sebagai partai yang memba-
hayakan keamanan negara karena memiliki pengaruh yang besar di
kalangan umat Islam.

42
Pada tanggal 21 September 1960, Presiden Soekarno membubarkan
Partai Sosialis Indonesia (PSI). Partai PSI dianggap sebagai partai yang
berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Pada tanggal 10 Juni 1961, Presiden Soekarno membubarkan Partai


Persatuan Indonesia (Perindo). Partai Perindo dianggap sebagai partai
yang tidak sejalan dengan kebijakan Presiden Soekarno.

Pembubaran partai politik oleh Presiden Soekarno telah menimbulkan


berbagai permasalahan. Pembubaran partai politik ini dianggap sebagai
tindakan yang melanggar hak asasi politik warga negara. Pembubaran
partai politik ini juga dianggap sebagai upaya untuk membungkam opo-
sisi dan memperkuat kekuasaan Presiden Soekarno.

Dari sudut pandang hukum, pembubaran partai politik oleh Presiden


Soekarno bertentangan dengan prinsip demokrasi. Demokrasi meru-
pakan sistem pemerintahan yang menjunjung tinggi hak asasi manusia,
termasuk hak asasi politik. Hak asasi politik meliputi hak untuk
berserikat dan berkumpul secara bebas, serta hak untuk ikut serta dalam
pemerintahan.

Pembubaran partai politik oleh Presiden Soekarno merupakan pelang-


garan terhadap hak asasi politik warga negara. Hal ini karena pem-
bubaran partai politik tersebut dilakukan tanpa melalui persetujuan
DPR. DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang seharusnya
memiliki kewenangan untuk membubarkan partai politik.

Dari sudut pandang teori, pembubaran partai politik oleh Presiden


Soekarno dapat dianalisis dengan menggunakan teori demokrasi. Teori
demokrasi menghendaki adanya keseimbangan kekuasaan antara pe-
merintah dan masyarakat. Keseimbangan kekuasaan ini dapat diwujud-
kan dengan adanya pembagian kekuasaan antara pemerintah dan lem-
baga-lembaga lain, seperti DPR, Mahkamah Konstitusi, dan Mahkamah
Agung.

Pembubaran partai politik oleh Presiden Soekarno merupakan bentuk


konsentrasi kekuasaan di tangan Presiden. Hal ini bertentangan dengan
teori demokrasi yang menghendaki adanya keseimbangan kekuasaan.

43
Karena itu, pembubaran parpol yang hanya didasarkan pada pandan-
gan subjective presiden, tidak layak lagi di pertahankan dimasa revor-
masi yang menuntut demokkratisasi di segala bidang, termasuk putu-
san pembubaran parpol. Atas dasar itu, maka UUD 1945 maupun UU
No 2 tahun 2008 Jo UU No 2 tahun 2011 tentang parpol, telah mene-
gaskan bahwa pembubaran parpol hanya dapat dilakukan melalui utu-
san MK.
Pembubaran partai politik dapat dilakukan sebagai upaya untuk men-
jaga stabilitas politik dan demokrasi, serta melindungi kepentingan na-
sional.

Pada masa Orde Lama, pembubaran partai politik dilakukan oleh Presi-
den Soekarno secara sepihak. Kekuasaan Presiden Soekarno untuk
membubarkan partai politik diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang
Dasar Sementara Republik Indonesia Tahun 1959.

Pembubaran partai politik oleh Presiden Soekarno telah menimbulkan


berbagai permasalahan. Pembubaran partai politik ini dianggap sebagai
tindakan yang melanggar hak asasi politik warga negara. Pembubaran
partai politik ini juga dianggap sebagai upaya untuk membungkam opo-
sisi dan memperkuat kekuasaan Presiden Soekarno.

Mekanisme Pembentukan Partai Politik

Pada masa Orde Baru, mekanisme pembentukan partai politik diatur dalam
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik. Undang-undang
ini menyatakan bahwa partai politik dapat dibentuk oleh sekurang-kurangnya
50.000 orang warga negara Indonesia yang bertempat tinggal di sekurang-
kurangnya 14 provinsi.

Proses pembentukan partai politik dimulai dengan pengajuan permohonan


kepada Menteri Dalam Negeri. Permohonan tersebut harus disertai dengan
persyaratan-persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang, antara lain:

44
 Nama partai politik harus berawalan huruf “P” dan diikuti dengan kata
“Partai”.

 Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga partai politik harus


sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

 Kepengurusan partai politik harus terdiri dari orang-orang yang


bertempat tinggal di sekurang-kurangnya 14 provinsi.

Menteri Dalam Negeri memiliki kewenangan untuk menyetujui atau menolak


permohonan pembentukan partai politik. Jika permohonan disetujui, Menteri
Dalam Negeri akan menerbitkan Surat Keputusan (SK) pengesahan partai
politik.

Mekanisme Pengawasan Partai Politik

Pada masa Orde Baru, pengawasan partai politik dilakukan oleh pemerintah.
Pengawasan ini dilakukan untuk memastikan bahwa partai politik
menjalankan kegiatannya sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemerintah melakukan pengawasan partai politik melalui beberapa cara,


antara lain:

 Menerbitkan peraturan-peraturan yang mengatur kegiatan partai


politik.

 Melakukan pemeriksaan terhadap kegiatan partai politik.

 Memberikan sanksi kepada partai politik yang melanggar peraturan.

Mekanisme Pembubaran Partai Politik

45
Pada masa Orde Baru, pembubaran partai politik dapat dilakukan oleh
pemerintah. Pembubaran partai politik dapat dilakukan jika partai politik
tersebut:

 Menyalahi Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945.

 Melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban


umum.

 Mendapat dukungan kurang dari 3% suara sah pada pemilihan umum.

Pemerintah memiliki kewenangan untuk membubarkan partai politik melalui


Keputusan Presiden.

Penjelasan Lebih Mendalam

Mekanisme pembentukan, pengawasan, dan pembubaran partai politik pada


masa Orde Baru dirancang untuk membatasi peran partai politik dalam
kehidupan politik Indonesia. Pemerintah ingin memastikan bahwa partai
politik tidak menjadi ancaman bagi kekuasaannya.

Mekanisme pembentukan partai politik yang ketat bertujuan untuk


mempersulit pembentukan partai politik baru. Hal ini dilakukan untuk
mencegah munculnya partai politik yang berafiliasi dengan kekuatan politik
tertentu yang dianggap berbahaya bagi pemerintah.

Mekanisme pengawasan partai politik yang ketat bertujuan untuk memastikan


bahwa partai politik menjalankan kegiatannya sesuai dengan kepentingan
pemerintah. Pemerintah memiliki kewenangan untuk melakukan intervensi
terhadap kegiatan partai politik.

46
Mekanisme pembubaran partai politik yang mudah bertujuan untuk
memberikan kekuasaan yang besar kepada pemerintah untuk membubarkan
partai politik yang dianggap berbahaya.

Mekanisme-mekanisme tersebut telah menyebabkan partai politik pada masa


Orde Baru menjadi partai politik yang tidak mandiri dan tidak memiliki peran
yang signifikan dalam kehidupan politik Indonesia.

Mekanisme Pembentukan Partai Politik

Pada masa Orde Baru, mekanisme pembentukan partai politik diatur dalam
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik. Undang-undang
ini menyatakan bahwa partai politik dapat dibentuk oleh sekurang-kurangnya
50.000 orang warga negara Indonesia yang bertempat tinggal di sekurang-
kurangnya 14 provinsi.

Proses pembentukan partai politik dimulai dengan pengajuan permohonan


kepada Menteri Dalam Negeri. Permohonan tersebut harus disertai dengan
persyaratan-persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang, antara lain:

 Nama partai politik harus berawalan huruf “P” dan diikuti dengan kata
“Partai”.

 Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga partai politik harus


sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

 Kepengurusan partai politik harus terdiri dari orang-orang yang


bertempat tinggal di sekurang-kurangnya 14 provinsi.

Menteri Dalam Negeri memiliki kewenangan untuk menyetujui atau menolak


permohonan pembentukan partai politik. Jika permohonan disetujui, Menteri
Dalam Negeri akan menerbitkan Surat Keputusan (SK) pengesahan partai
politik.

47
Mekanisme Pengawasan Partai Politik

Pada masa Orde Baru, pengawasan partai politik dilakukan oleh pemerintah.
Pengawasan ini dilakukan untuk memastikan bahwa partai politik
menjalankan kegiatannya sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemerintah melakukan pengawasan partai politik melalui beberapa cara,


antara lain:

 Menerbitkan peraturan-peraturan yang mengatur kegiatan partai


politik.

 Melakukan pemeriksaan terhadap kegiatan partai politik.

 Memberikan sanksi kepada partai politik yang melanggar peraturan.

Mekanisme Pembubaran Partai Politik

Pada masa Orde Baru, pembubaran partai politik dapat dilakukan oleh
pemerintah. Pembubaran partai politik dapat dilakukan jika partai politik
tersebut:

 Menyalahi Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945.

 Melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban


umum.

 Mendapat dukungan kurang dari 3% suara sah pada pemilihan umum.

Pemerintah memiliki kewenangan untuk membubarkan partai politik melalui


Keputusan Presiden.

Penjelasan Lebih Mendalam

48
Mekanisme pembentukan, pengawasan, dan pembubaran partai politik pada
masa Orde Baru dirancang untuk membatasi peran partai politik dalam
kehidupan politik Indonesia. Pemerintah ingin memastikan bahwa partai
politik tidak menjadi ancaman bagi kekuasaannya.

Mekanisme pembentukan partai politik yang ketat bertujuan untuk


mempersulit pembentukan partai politik baru. Hal ini dilakukan untuk
mencegah munculnya partai politik yang berafiliasi dengan kekuatan politik
tertentu yang dianggap berbahaya bagi pemerintah.

Mekanisme pengawasan partai politik yang ketat bertujuan untuk memastikan


bahwa partai politik menjalankan kegiatannya sesuai dengan kepentingan
pemerintah. Pemerintah memiliki kewenangan untuk melakukan intervensi
terhadap kegiatan partai politik.

Mekanisme pembubaran partai politik yang mudah bertujuan untuk


memberikan kekuasaan yang besar kepada pemerintah untuk membubarkan
partai politik yang dianggap berbahaya.

Mekanisme-mekanisme tersebut telah menyebabkan partai politik pada masa


Orde Baru menjadi partai politik yang tidak mandiri dan tidak memiliki peran
yang signifikan dalam kehidupan politik Indonesia.

Mekanisme Pembentukan Partai Politik

Pada masa Orde Baru, mekanisme pembentukan partai politik diatur dalam
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik. Undang-undang
ini menyatakan bahwa partai politik dapat dibentuk oleh sekurang-kurangnya
50.000 orang warga negara Indonesia yang bertempat tinggal di sekurang-
kurangnya 14 provinsi.

49
Proses pembentukan partai politik dimulai dengan pengajuan permohonan
kepada Menteri Dalam Negeri. Permohonan tersebut harus disertai dengan
persyaratan-persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang, antara lain:

 Nama partai politik harus berawalan huruf “P” dan diikuti dengan kata
“Partai”.

 Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga partai politik harus


sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

 Kepengurusan partai politik harus terdiri dari orang-orang yang


bertempat tinggal di sekurang-kurangnya 14 provinsi.

Menteri Dalam Negeri memiliki kewenangan untuk menyetujui atau menolak


permohonan pembentukan partai politik. Jika permohonan disetujui, Menteri
Dalam Negeri akan menerbitkan Surat Keputusan (SK) pengesahan partai
politik.

Mekanisme Pengawasan Partai Politik

Pada masa Orde Baru, pengawasan partai politik dilakukan oleh pemerintah.
Pengawasan ini dilakukan untuk memastikan bahwa partai politik
menjalankan kegiatannya sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemerintah melakukan pengawasan partai politik melalui beberapa cara,


antara lain:

 Menerbitkan peraturan-peraturan yang mengatur kegiatan partai


politik.

 Melakukan pemeriksaan terhadap kegiatan partai politik.

 Memberikan sanksi kepada partai politik yang melanggar peraturan.

50
Mekanisme Pembubaran Partai Politik

Pada masa Orde Baru, pembubaran partai politik dapat dilakukan oleh
pemerintah. Pembubaran partai politik dapat dilakukan jika partai politik
tersebut:

 Menyalahi Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945.

 Melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban


umum.

 Mendapat dukungan kurang dari 3% suara sah pada pemilihan umum.

Pemerintah memiliki kewenangan untuk membubarkan partai politik melalui


Keputusan Presiden.

Mekanisme pembentukan, pengawasan, dan pembubaran partai politik pada


masa Orde Baru dirancang untuk membatasi peran partai politik dalam
kehidupan politik Indonesia. Pemerintah ingin memastikan bahwa partai
politik tidak menjadi ancaman bagi kekuasaannya.

Mekanisme pembentukan partai politik yang ketat bertujuan untuk


mempersulit pembentukan partai politik baru. Hal ini dilakukan untuk
mencegah munculnya partai politik yang berafiliasi dengan kekuatan politik
tertentu yang dianggap berbahaya bagi pemerintah.

Mekanisme pengawasan partai politik yang ketat bertujuan untuk memastikan


bahwa partai politik menjalankan kegiatannya sesuai dengan kepentingan
pemerintah. Pemerintah memiliki kewenangan untuk melakukan intervensi
terhadap kegiatan partai politik.

51
Mekanisme pembubaran partai politik yang mudah bertujuan untuk
memberikan kekuasaan yang besar kepada pemerintah untuk membubarkan
partai politik yang dianggap berbahaya.

Mekanisme-mekanisme tersebut telah menyebabkan partai politik pada masa


Orde Baru menjadi partai politik yang tidak mandiri dan tidak memiliki peran
yang signifikan dalam kehidupan politik Indonesia.

Pada masa Reformasi, sistem politik di Indonesia mengalami peruba-


han. Perubahan tersebut di antaranya adalah dengan diberlakukannya
sistem presidensial dan dibentuknya Mahkamah Konstitusi (MK).

Perubahan sistem politik tersebut juga berdampak pada perubahan ke-


tentuan mengenai pembubaran partai politik. Ketentuan mengenai pem-
bubaran partai politik diatur dalam Pasal 24C ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 24C ayat (2) tersebut berbunyi sebagai berikut:

"Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan


terakhir terhadap sengketa tentang pembubaran partai politik."

Ketentuan tersebut menegaskan bahwa pembubaran partai politik hanya


dapat dilakukan melalui putusan MK.

Alasan Pembubaran Partai Politik Melalui Putusan MK

Ada beberapa alasan mengapa pembubaran partai politik hanya dapat


dilakukan melalui putusan MK, yaitu:

1. Menjaga supremasi hukum

MK merupakan lembaga negara yang berwenang mengadili perkara-


perkara yang berkaitan dengan konstitusi. Oleh karena itu, pembubaran
partai politik yang dilakukan oleh MK merupakan bentuk penegakan
supremasi hukum.

2. Menjaga keseimbangan kekuasaan

52
MK merupakan lembaga negara yang independen dan tidak dapat
dipengaruhi oleh pemerintah. Oleh karena itu, pembubaran partai poli-
tik yang dilakukan oleh MK merupakan bentuk menjaga keseimbangan
kekuasaan antara pemerintah dan masyarakat.

3. Melindungi hak asasi manusia

MK merupakan lembaga negara yang melindungi hak asasi manusia.


Oleh karena itu, pembubaran partai politik yang dilakukan oleh MK
merupakan bentuk perlindungan hak asasi manusia, termasuk hak asasi
politik warga negara.

Adapun argumentasi yang menjadi alasan mengapa pembubaran partai poli-


tik hanya dapat dilakukan oleh putusan Mahkamah Konstitusi, bukan keputu-
san presiden atau menteri dan bukanpula keputusan lembaga politik:

1. Mahkamah Konstitusi adalah lembaga yang independen dan imparsial

Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara yang paling independen dan


imparsial di Indonesia. Hal ini karena Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk
mengawasi dan menjaga konstitusi, yang merupakan hukum tertinggi di In-
donesia. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi adalah lembaga yang paling
tepat untuk memutuskan pembubaran partai politik, karena keputusannya
tidak akan dipengaruhi oleh kepentingan politik pihak manapun.

2. Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk menginterpretasikan


konstitusi

Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk menginterpretasikan kon-


stitusi, termasuk untuk menentukan apakah ideologi, asas, tujuan, program,
dan kegiatan partai politik bertentangan dengan konstitusi. Kewenangan ini
diperlukan untuk memastikan bahwa pembubaran partai politik dilakukan se-
cara sah dan sesuai dengan konstitusi.

3. Mahkamah Konstitusi memiliki prosedur yang transparan dan akuntabel

53
Proses pembubaran partai politik di Mahkamah Konstitusi dilakukan melalui
prosedur yang transparan dan akuntabel. Hal ini penting untuk memastikan
bahwa proses pembubaran partai politik dilakukan secara adil dan tidak
diskriminatif.

4. Putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan hukum mengikat

Putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan hukum mengikat, yang be-


rarti bahwa putusan tersebut harus dipatuhi oleh semua pihak, termasuk pe-
merintah dan partai politik yang bersangkutan. Hal ini penting untuk memas-
tikan bahwa keputusan pembubaran partai politik memiliki kepastian hukum
dan ditaati oleh semua pihak.

5. Pembubaran partai politik merupakan keputusan yang bersifat konstitu-


sional

Pembubaran partai politik merupakan keputusan yang bersifat konstitusional,


karena diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Oleh karena itu, pembubaran partai politik hanya dapat di-
lakukan oleh lembaga yang memiliki kewenangan untuk menginterpretasikan
konstitusi, yaitu Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka pembubaran partai politik hanya


dapat dilakukan oleh putusan Mahkamah Konstitusi. Keputusan ini meru-
pakan keputusan yang logis dan ilmiah, karena menjamin bahwa pem-
bubaran partai politik dilakukan secara sah, adil, dan sesuai dengan konsti-
tusi.

Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mencegah penyalahgunaan wewenang (abuse
of authority) dan penyalahgunaan kekuasaaan (abuse of power) oleh cabang
kekuasaan eksekutif yang dipimpin oleh presiden. Karena itu pembubaran parpol
dalam konteks negara hukum (rule of law) haruslah melalui dan berdasarkan putusan

54
pengadilan, yang dalam hal ini adalah MK. Karena pembubaran parpol haruslah di-
dasarkan pada pertimbangan hukum, bukan pertimbangan politik.

B. Kewajiban MK
1. Ruang Lingkup Kewajiban MK
Selain wewenang MK yang diatribusi oleh UUD 1945 sebagaimana telah diu-
raikan di atas,MK juga mempunyai 1 kewajiban sebagaimana tertuang dalam pasal 24
C ayat 2 UUD 1945:
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwaki-
lan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
menurut Undang-Undang Dasar.***)
Ketentuan tersebut di atas yang mengatur kewajiban MK sebagai pengadil
atas dugaan DPR terhadap presiden yang melanggar hukum,lazim disebut forum pre-
vilegiatum.
Etimologi dan Pengertian Forum Privilegiatum

Etimologi
Istilah "forum privilegiatum" berasal dari bahasa Latin, yang terdiri dari dua
kata:
 Forum: Tempat umum di Romawi kuno yang digunakan untuk berbagai
kegiatan, seperti pasar, pertemuan politik, dan pengadilan.
 Privilegiatum: Kata sifat yang berarti "memiliki hak istimewa" atau "diistime-
wakan."
Secara harfiah, "forum privilegiatum" berarti "tempat istimewa dengan hak is-
timewa."
Pengertian
Secara terminology dipahami bahwa istilah Forum privilegiatum mengacu
pada badan atau lembaga khusus yang memiliki hak istimewa untuk men-
gadili perkara tertentu. Hak istimewa ini biasanya diberikan kepada badan
atau lembaga tersebut karena dianggap memiliki keahlian khusus atau

55
karena ingin menjaga independensi mereka dari pengaruh politik. MK meru-
pakan Lembaga yang memperoleh dudukan sebagai privilegiatum diindoen-
sia karena diamanatkan oleh UUD 1945 sebagai mana 24 C ayat 2 sebagai
bagian kewajiban MK.
adapun definisi forum privilegiatum dari berbagai sumber ilmiah adalah seba-
gai berikut :
1. Encyclopedia Britannica:
"Forum privilegiatum adalah pengadilan khusus yang memiliki yurisdiksi atas
kategori kasus tertentu atau atas orang-orang dengan status tertentu."

2. Ensiklopedia Hukum Indonesia:


"Forum privilegiatum adalah pengadilan khusus yang memiliki kewenangan
mengadili perkara tertentu yang tidak termasuk dalam kewenangan pengadi-
lan umum."

3. Black's Law Dictionary:


"Forum privilegiatum adalah pengadilan atau badan khusus yang memiliki
yurisdiksi eksklusif atas jenis perkara tertentu atau atas orang-orang dengan
status tertentu."

Bahasa Asli dan Terjemahan


Berikut adalah bahasa asli dan terjemahannya:
 Bahasa Latin: Forum privilegiatum
 Bahasa Inggris: Special forum, privileged forum
 Bahasa Indonesia: Forum istimewa, forum khusus
Contoh Forum Privilegiatum
Di Indonesia, beberapa contoh forum privilegiatum antara lain:
 Mahkamah Konstitusi yang berwenang mengadili perkara perselisihan hasil
pemilihan umum dan pengujian undang-undang terhadap konstitusi.
 Mahkamah Militer yang berwenang mengadili perkara pidana yang dilakukan
oleh anggota TNI.
 Pengadilan Tata Usaha Negara yang berwenang mengadili perkara TUN.

56
Sejarah Munculnya Istilah Forum Privilegiatum

Istilah "forum privilegiatum" pertama kali muncul di Romawi kuno. Pada masa
itu, forum merupakan tempat umum yang digunakan untuk berbagai kegiatan,
termasuk pengadilan. Forum privilegiatum mengacu pada pengadilan khusus
yang dibentuk untuk mengadili perkara tertentu, seperti perkara yang meli-
batkan senator atau anggota keluarga kaisar. Pengadilan ini memiliki hak is-
timewa, seperti:

 Hak untuk mengadili perkara tanpa campur tangan dari pengadilan umum.
 Hak untuk menggunakan prosedur khusus yang berbeda dari prosedur pen-
gadilan umum.
 Hak untuk menjatuhkan hukuman yang lebih berat daripada pengadilan
umum.

Tujuan pembentukan forum privilegiatum adalah untuk:

 Menjamin imparsialitas dan independensi pengadilan dalam perkara yang


melibatkan orang-orang berkuasa.
 Memastikan perkara tersebut diadili dengan menggunakan prosedur yang
khusus dan sesuai dengan karakteristiknya.
 Memberikan perlindungan hukum yang lebih baik kepada orang-orang
berkuasa.

Perkembangan Forum Privilegiatum

Forum privilegiatum masih digunakan di banyak negara di dunia, meskipun


bentuk dan fungsinya berbeda-beda. Berikut adalah beberapa contoh
perkembangan forum privilegiatum dewasa ini:

 Pengadilan khusus untuk perkara korupsi: Di beberapa negara, seperti In-


donesia, terdapat pengadilan khusus yang dibentuk untuk mengadili perkara

57
korupsi. Pengadilan ini memiliki kewenangan khusus untuk menyidik, menun-
tut, dan mengadili perkara korupsi.
 Pengadilan internasional: Pengadilan internasional, seperti Mahkamah Krimi-
nal Internasional (ICC), memiliki kewenangan untuk mengadili perkara
genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
 Pengadilan arbitrase: Pengadilan arbitrase adalah pengadilan khusus yang
dibentuk untuk menyelesaikan perselisihan antara dua pihak atau lebih. Pen-
gadilan ini memiliki kewenangan khusus untuk memutus perkara
berdasarkan perjanjian arbitrase yang disepakati oleh para pihak.

Perdebatan tentang Forum Privilegiatum

Penggunaan forum privilegiatum masih menjadi perdebatan di banyak ne-


gara. Ada beberapa pihak yang mendukung penggunaan forum privilegiatum
karena dianggap dapat:

 Meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengadilan dalam menangani perkara


tertentu.
 Memastikan imparsialitas dan independensi pengadilan dalam perkara yang
melibatkan orang-orang berkuasa.
 Memberikan perlindungan hukum yang lebih baik kepada pihak-pihak yang
terlibat dalam perkara tertentu.

Namun, ada juga pihak yang menentang penggunaan forum privilegiatum


karena dianggap dapat:

 Menciptakan diskriminasi antara orang-orang yang diadili di forum privilegia-


tum dan orang-orang yang diadili di pengadilan umum.
 Memperlemah sistem peradilan umum.
 Menyalahgunakan kewenangan oleh forum privilegiatum.

58
2. Mahkamah Konstitusi sebagai Forum Privilegiatum
Mahkamah Konstitusi (MK) di Indonesia berkedudukan sebagai forum privile-
giatum, yang berarti pengadilan khusus dengan hak istimewa. Hal ini dite-
gaskan dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang menyatakan bahwa "Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili perkara yang berkaitan dengan:
 Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
 Perselisihan hasil pemilihan umum.
 Pembubaran partai politik.
 Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat.
Kedudukan MK sebagai forum privilegiatum memiliki beberapa alasan, yaitu:
1. Kewenangan khusus: MK memiliki kewenangan khusus untuk mengadili
perkara-perkara yang berkaitan dengan konstitusi, yang merupakan hukum
tertinggi di Indonesia. Perkara-perkara ini sangat penting dan sensitif, se-
hingga membutuhkan pengadilan khusus yang memiliki keahlian dan inde-
pendensi yang tinggi.
2. Independensi: MK dijamin independensinya oleh UUD 1945. Hal ini berarti
bahwa MK tidak tunduk pada pengaruh dari pihak manapun, termasuk pe-
merintah dan lembaga politik lainnya. Independensi ini sangat penting untuk
memastikan bahwa MK dapat menjalankan tugasnya dengan adil dan objek-
tif.
3. Keahlian: MK memiliki hakim-hakim yang memiliki keahlian khusus di
bidang hukum konstitusi. Hal ini penting untuk memastikan bahwa MK dapat
mengadili perkara-perkara konstitusi dengan tepat dan cermat.
4. Final dan mengikat: Putusan MK bersifat final dan mengikat, yang berarti
bahwa putusan MK tidak dapat diganggu gugat oleh pihak manapun. Hal ini
penting untuk memastikan kepastian hukum dan stabilitas politik.

Referensi:
 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
 Jimly Asshiddiqie. (2005). Mahkamah Konstitusi: Mengawal Konstitusi dan
Demokrasi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

59
 Mahfud MD. (2008). Mahkamah Konstitusi dan Perkembangan Hukum Tata
Negara Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Tak dapat disangkal jika salah satu persoalan penting setelah terjadinya empat
kali perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 adalah adanya ketentuan yang
secara eksplisit mengatur pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam
masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
disebutkan secara limitatif dalam konstitusi, yaitu pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Ketentuan tersebut diatur
dalam Pasal 7A dan 7B Perubahan Ketiga UUD 1945 mengatur mengenai
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, Dimana
mahkamam kontitusi sebagai Lembaga hukum dilibatkan dan diberi wewenang untuk
mengadili benar tidaknya menurut hukum mengenai Keputusan DPR Tentang dugaan
pelanggaran presiden dan/atau wakil presiden terhadap UUD 1945.
Proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
merupakan proses yang diatur dalam konstitusi. Proses tersebut harus dilakukan se-
cara demokratis dan transparan. Namun proses pemberhentikan presiden dan/atau
wakil presiden berdasarkan UUD 1945 Sebelum amandemen, terlalu didominasi oleh
proses politik tanpa melibatkan mekanisme hukum. Hal ini tercermin pada pember-
hentian atau pemakzulan presiden Soekarno melalui sidang Istimewa MPRS tahun
1967, seluruhnya berputar pada mekanisme politik , Dimana putusan pemberhentian
Soekarno sebgai presiden hanya berdasarkan kemauan para politisi yang mempunyai
hak suara di MPRS saat itu. Pengadilan sebagai lembaga hukum sama sekali tidak
diberikan kewenangan untuk menguji pembuktiannya tentang putaran secara yuridis
atas tuduhan bersalah kepada presiden dan atau wakil presiden.

Untuk memahami masalah tersebut secara sistematis, maka penulis merasa perlu un-
tuk menyajikan Sejarah singkat mengenai Sidang Istimewa MPRS yang Memberhen-
tikan Soekarno sebagai Presiden RI

Pada tahun 1967, MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara)


mengadakan Sidang Istimewa yang berujung pada pemberhentian Soekarno
sebagai Presiden Republik Indonesia. Adapun rangkaian mengenai sidang
tersebut:

60
Latar Belakang:

 G30S dan Konfrontasi dengan Malaysia: Situasi politik dan ekonomi Indone-
sia pada masa itu sangat tidak stabil. Peristiwa G30S 1965 dan konfrontasi
dengan Malaysia memperburuk keadaan.
 Supersemar: Pada tanggal 11 Maret 1966, Soekarno memberikan Surat Per-
intah Sebelas Maret (Supersemar) kepada Jenderal Soeharto untuk
mengambil tindakan pemulihan keamanan.
 Ketidakpercayaan terhadap Soekarno: Banyak pihak, termasuk MPRS, kehi-
langan kepercayaan terhadap kepemimpinan Soekarno.

Sidang Istimewa MPRS:

 Tanggal: Sidang Istimewa MPRS diadakan pada tanggal 7-12 Maret 1967.
 Agenda: Sidang ini membahas dua agenda utama:
o Pertanggungjawaban Presiden Soekarno atas pelaksanaan Superse-
mar.
o Pembentukan lembaga negara baru.
 Pidato Soekarno: Pada tanggal 7 Maret 1967, Soekarno menyampaikan
pidato Nawaksara di hadapan MPRS. Pidato ini tidak memuaskan MPRS.
 Tuntutan MPRS: MPRS menuntut Soekarno untuk melepaskan mandatnya
sebagai presiden.
 Keputusan MPRS: Pada tanggal 12 Maret 1967, MPRS mengeluarkan Kete-
tapan No. XXXIII/MPRS/1967 yang berisi:
o Mencabut mandat dan kekuasaan pemerintahan dari Presiden
Soekarno.
o mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden.

Karena itu untuk mewujudkan keadilan Dimana proses politik bukan menjadi proses
Tunggal dalam pemakzulan presiden atau wakil presiden maka pemberhentian Presi-
den dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya juga harus memenuhi unsur-un-
sur hukum, yaitu:

1. Legalitas, yaitu proses tersebut harus didasarkan pada peraturan perundang-


undangan yang berlaku.

61
2. Keadilan, yaitu proses tersebut harus dilakukan secara adil dan tidak
diskriminatif.

3. Transparansi, yaitu proses tersebut harus dilakukan secara terbuka dan dapat
diakses oleh publik.

Pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan


pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain,
perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden selanjutnya akan diperiksa, diadili, dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi
(MK) apakah pendapat DPR tersebut mempunyai landasan konstitusional atau tidak.
Amar putusan MK atas pendapat DPR tersebut sekurang-kurangnya terdiri dari tiga
kemungkinan. Pertama, amar putusan MK menyatakan bahwa permohonan tidak
dapat diterima apabila permohonan tidak memenuhi syarat. Kedua, amar putusan MK
menyatakan membenarkan pendapat DPR apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden
terbukti melakukan tindakan yang dituduhkan. Ketiga, amar putusan MK menyatakan
bahwa permohonan ditolak apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terbukti
melakukan tindakan yang dituduhkan.
Amar putusan MK atas pendapat DPR tersebut sekurang-kurangnya terdiri dari tiga
kemungkinan, yaitu:

1. Permohonan Dapat Diterima:

Jika permohonan DPR memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh Mahkamah


Konstitusi (MK), seperti kejelasan rumusan permohonan dan pemenuhan syarat for-
mal lainnya, MK dapat menyatakan bahwa permohonan dapat diterima. Penerimaan
ini menjadi dasar untuk melanjutkan proses hukum lebih lanjut.

2. Pendapat DPR Benar dan Terbukti:

Jika setelah pemeriksaan MK terhadap tudingan yang diajukan oleh DPR, MK meny-
impulkan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden benar-benar terbukti melakukan
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbu-
atan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presi-
den, MK dapat mengeluarkan amar putusan yang membenarkan pendapat DPR.

3. Pendapat DPR Salah atau Tidak Terbukti:

Sebaliknya, jika MK menyimpulkan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak


terbukti melakukan tindakan yang dituduhkan oleh DPR, MK dapat mengeluarkan
amar putusan yang menolak pendapat DPR. Dalam hal ini, MK menegaskan bahwa
tudingan tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk pemberhentian.

62
Berikut adapun Langkah-langkah ataupun Tata cara dalam proses pemeriksaaan
hingga putusan di MK:

1. Permohonan dan Pemeriksaan:

Proses dimulai dengan permohonan dari DPR yang mengajukan tudingan terhadap
Presiden dan/atau Wakil Presiden. MK melakukan pemeriksaan terhadap keabsahan
dan kejelasan tudingan yang diajukan.

2. Sidang Pengadilan:

Jika MK menerima permohonan, sidang pengadilan akan dilaksanakan untuk mem-


buktikan atau membantah tudingan yang diajukan oleh DPR.

Presiden dan/atau Wakil Presiden berhak membela diri dan memberikan bukti atau
argumen untuk menyangkal tudingan tersebut.

3. Putusan MK:

Setelah melalui proses pemeriksaan dan pertimbangan, MK mengeluarkan amar putu-


san yang dapat menyatakan pemberhentian atau menolak pemberhentian berdasarkan
tudingan DPR.

3. Hikmah kedudukan MK sebagai forum priviligiatum

Munculnya ketentuan yang mengatur mengenai kedudukan MK sebagi forum


priviligiatum, sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari adanya keinginan
Sebagian besar anggota MPR untuk lebih mempertegas sistem pemerintahan
presidensial yang merupakan salah satu kesepakatan dasar Panitia Ad Hoc I Badan
Pekerja MPR.

Penegasan sistem pemerintahan presidensial tersebut mengandalkan adanya lembaga


kepresidenan yang mempunyai legitimasi kuat yang dicirikan dengan:

1. Adanya masa jabatan Presiden yang bersifat tetap (fixed term)

Masa jabatan Presiden yang bersifat tetap (fixed term) merupakan salah satu ciri
utama sistem pemerintahan presidensial. Masa jabatan yang tetap memberikan stabili-
tas dan kesinambungan pemerintahan.

2. Presiden selain sebagai kepala negara juga kepala pemerintahan

63
Presiden sebagai kepala negara merupakan simbol kedaulatan negara. Presiden seba-
gai kepala pemerintahan merupakan pemegang kekuasaan eksekutif. Dalam sistem
pemerintahan presidensial, Presiden memiliki kekuasaan yang besar dan tidak
terbagi-bagi.

3. Adanya mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances)

Mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances) merupakan


salah satu ciri utama sistem pemerintahan presidensial. Mekanisme ini bertujuan un-
tuk mencegah terjadinya pemusatan kekuasaan pada satu lembaga negara.

4. Adanya mekanisme impeachment

Mekanisme impeachment merupakan mekanisme untuk memberhentikan Presiden


dan/atau Wakil Presiden dari jabatannya. Mekanisme ini diperlukan untuk menjaga
agar Presiden dan/atau Wakil Presiden tetap dapat diberhentikan jika terbukti
melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden.

Penegasan Sistem Pemerintahan Presidensial

Penegasan sistem pemerintahan presidensial di Indonesia merupakan salah satu tu-


juan utama dari perubahan UUD NRI Tahun 1945. Hal ini terlihat dari berbagai ke-
tentuan yang diubah dalam UUD NRI Tahun 1945, termasuk ketentuan mengenai
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya.

Dengan adanya ketentuan mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden


dalam masa jabatannya, maka Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat diberhen-
tikan dengan alasan-alasan yang bersifat politik, bukan yuridis. Pemberhentian Presi-
den dan/atau Wakil Presiden harus dilakukan berdasarkan alasan dan bukti yang
cukup yang telah diuji oleh Mahkamah Konstitusi.

Perlu diketahu bahwa Forum Privilegium adalah istilah Latin yang secara harfiah be-
rarti "Hak Istimewa". Dalam konteks Mahkamah Konstitusi (MK) Indonesia, istilah
"Forum Privilegium" digunakan untuk merujuk pada hak istimewa atau kewenangan
tertentu yang dimiliki oleh MK terkait dengan pemeriksaan dan pengadilan atas usu-
lan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memberhentikan Presiden dan/atau
Wakil Presiden karena dituduh melakukan pelanggaran hukum.

64
Dalam kerangka konstitusional Indonesia, Pasal 7A UUD 1945 memberikan kewe-
nangan kepada DPR untuk mengajukan usulan pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden kepada MK jika mereka diduga melakukan pelanggaran hukum berat.
Namun, pemberhentian ini tidak bisa dilakukan begitu saja, melainkan melalui proses
yang diatur dengan ketat oleh UUD 1945.

Disinilah arti penting

Dalam konteks ini, Forum Privilegium mengacu pada peran dan kewenangan khusus
MK dalam memeriksa dan mengadili usulan DPR tersebut. MK memiliki wewenang
untuk menentukan apakah ada cukup bukti yang mendukung tuduhan pelanggaran
hukum yang diajukan oleh DPR. MK juga bertanggung jawab untuk memastikan
bahwa proses pemeriksaan dan pengadilan tersebut berlangsung sesuai dengan prin-
sip-prinsip keadilan dan hukum yang berlaku.

Sebagai bagian dari Forum Privilegium, MK juga memiliki otoritas untuk menaf-
sirkan ketentuan-ketentuan konstitusi yang relevan dalam kasus-kasus semacam ini,
serta memastikan bahwa putusannya didasarkan pada prinsip-prinsip hukum yang
berlaku dan keadilan. Dengan demikian, istilah Forum Privilegium mencakup kewe-
nangan dan keterlibatan MK yang unik dan istimewa dalam proses pemeriksaan dan
pengadilan usulan DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Ketentuan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya


yang melibatkkan MK untuk memeriksa dan mengadili hal tersebut dari segi hukum,
memiliki dampak positif dan negatif.

Dampak positif

Dampak positif dari ketentuan ini adalah sebagai berikut:

Meneguhkan sistem pemerintahan presidensial

Ketentuan ini memperkuat sistem pemerintahan presidensial dengan memberikan


mekanisme untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden jika terbukti
melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden.

Menjamin stabilitas pemerintahan

65
Ketentuan ini dapat mencegah terjadinya pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden secara sewenang-wenang oleh lembaga legislatif. Hal ini dapat menjamin
stabilitas pemerintahan.

Meningkatkan akuntabilitas Presiden dan/atau Wakil Presiden

Ketentuan ini dapat meningkatkan akuntabilitas Presiden dan/atau Wakil Presiden


karena Presiden dan/atau Wakil Presiden harus bertanggung jawab atas tindakannya
kepada publik dan lembaga legislatif.

Keterlibatan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai Forum Privilegium dalam memas-


tikan secara hukum tentang benar atau tidaknya tuduhan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden yang diduga
melanggar hukum dan konstitusi memiliki beberapa dampak positif, di antaranya:

1. Penguatan Sistem Checks and Balances: MK sebagai lembaga independen memi-


liki peran penting dalam menjaga keseimbangan kekuasaan antara eksekutif, legis-
latif, dan yudikatif. Dengan memeriksa usulan DPR untuk memberhentikan Presiden
dan/atau Wakil Presiden, MK memastikan bahwa tidak ada kelebihan kekuasaan dari
satu institusi yang dapat mengganggu prinsip checks and balances.

2. Menegakkan Keadilan dan Hukum: Melalui proses pemeriksaan dan pengadilan


yang dilakukan oleh MK, keadilan dan supremasi hukum dijaga. MK memastikan
bahwa setiap tuduhan pelanggaran hukum yang diajukan oleh DPR dievaluasi secara
adil dan berdasarkan bukti-bukti yang kuat, tanpa intervensi politik yang tidak rele-
van.

3. Menguatkan Legitimasi Institusi: Dengan memastikan bahwa proses pemeriksaan


dan pengadilan berlangsung sesuai dengan prosedur yang ditetapkan dalam konsti-
tusi, MK membantu memperkuat legitimasi institusi di mata publik. Keputusan MK
yang didasarkan pada hukum dan keadilan dapat memberikan keyakinan kepada
masyarakat bahwa proses pengadilan berjalan secara transparan dan bertanggung
jawab.

66
4. Mencegah Penyalahgunaan Kekuasaan: Keterlibatan MK sebagai Forum Privi-
legium juga mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh DPR dalam mengajukan usu-
lan pemberhentian terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden. MK berperan sebagai
pengawas untuk memastikan bahwa proses tersebut tidak disalahgunakan untuk ke-
pentingan politik tertentu atau tanpa dasar hukum yang kuat.

5. Menjaga Stabilitas Politik dan Sosia: Dengan memberikan keputusan yang di-
dasarkan pada prinsip-prinsip hukum dan keadilan, MK membantu menjaga stabilitas
politik dan sosial dalam negara. Keputusan MK yang dihormati dan diakui oleh se-
mua pihak dapat mengurangi potensi ketegangan politik dan konflik di masyarakat.

Dampak negatif

Dampak negatif dari ketentuan ini adalah sebagai berikut:

1. Polarisasi Politik: Proses pengadilan usulan pemberhentian Presiden dan/atau


Wakil Presiden dapat memperdalam polarisasi politik di masyarakat. Keputu-
san MK yang kontroversial atau dipersepsikan sebagai partisan dapat
meningkatkan ketegangan politik antara pendukung dan penentang pemerin-
tah.
2. Krisis Legitimasi: Jika keputusan MK dalam kasus-kasus semacam ini dipan-
dang oleh sebagian besar masyarakat sebagai tidak adil atau tidak tepat, hal ini
dapat mengakibatkan krisis legitimasi terhadap lembaga tersebut. Ketidakper-
cayaan publik terhadap MK bisa saja meningkat, yang berpotensi meng-
ganggu kestabilan politik dan sosial.
3. Pelembagaan Politisasi: Terlibatnya MK dalam proses politik seperti ini dapat
membuka jalan bagi politisasi lebih lanjut terhadap lembaga tersebut. Ada
risiko bahwa putusan MK dipengaruhi oleh pertimbangan politik atau tekanan
dari pihak-pihak politik tertentu, yang dapat merusak independensinya sebagai
lembaga yudikatif.
4. Ketergantungan pada Interpretasi Hukum: Dalam kasus-kasus yang meli-
batkan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden, MK seringkali harus
membuat interpretasi hukum yang kompleks dan kontroversial. Ketergantun-
gan pada interpretasi hukum ini dapat menyebabkan ketidakpastian hukum
dan memunculkan perbedaan pendapat di antara pakar hukum dan pengamat
politik.
5. Kemungkinan Penundaan Kebijakan: Proses hukum yang panjang dan rumit,
terutama jika kasus ini diadili oleh MK, dapat menyebabkan penundaan dalam
implementasi kebijakan atau agenda politik yang penting. Hal ini dapat meng-

67
ganggu stabilitas pemerintahan dan mengurangi efektivitasnya dalam men-
gatasi masalah-masalah yang mendesak.
6. Memperlambat proses pemerintahan
Proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat memperlambat
proses pemerintahan karena membutuhkan waktu yang cukup lama untuk
menyelesaikan proses tersebut.

Hal ini tidak lazim diterapkan di negara dengan sistem pemerintahan presidensial. Oleh
karena itu, Perubahan Ketiga UUD 1945 memuat ketentuan pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya yang semata-mata didasarkan pada
alasan-alasan yang bersifat yuridis dan hanya mengacu pada ketentuan normatif-limitatif
yang disebutkan di dalam konstitusi. Selain itu, proses pemberhentian tersebut hanya dapat
dilakukan setelah didahului adanya proses konstitusional melalui Mahkamah Konstitusi (MK)
yang akan memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Adanya kemungkinan
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya oleh MPR atas
usul DPR inilah yang secara teknis ketatanegaraan disebut dengan istilah impeachment.

Akan tetapi, yang menjadi persoalan selanjutnya, ketentuan-ketentuan


mengenai impeachment/ pemakzulan terhadap presiden dan/atau wakil presiden yang
terdapat di dalam konstitusi tidak mengatur lebih jauh persoalan-persoalan teknis,
sehingga pada saat ini masih diupayakan formulasi yang tepat terhadapnya. Ada
banyak persolan yang tidak atau belum sepenuhnya bisa terjawab dengan sebaik-
baiknya. Di antara beberapa persoalan tersebut adalah apakah
proses impeachment tunduk pada prinsip-prinsip dan asas-asas yang terdapat di
dalam hukum pidana dan hukum acara pidana, atau perlukah disusun satu hukum
acara tersendiri; apakah diperlukan semacam special prosecutor yang dibentuk secara
khusus untuk melakukan penuntutan terhadap Presiden di depan sidang yang digelar
oleh MK; bagaimanakah tata cara DPR mengumpulkan bukti-bukti, sehingga bisa
sampai pada suatu kesimpulan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden; apakah yang dimaksud dengan kata
“pendapat” yang terdapat di dalam Pasal 7A dan 7B tersebut berupa “pendapat
politik” yang berarti secara luas bisa dilatarbelakangi persoalan suka atau tidak
suka (like and dislike) kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden ataukah “pendapat
hukum” yang berarti harus terukur dan terbingkai oleh norma-norma yuridis; apabila
MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti telah melakukan
pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat dan DPR telah

68
menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden kepada MPR dan MPR pun menerima usulan tersebut, maka
bisakah di kemudian hari, setelah tidak menjabat lagi, Presiden dan/atau Wakil
Presiden diadili (lagi) di peradilan umum dan tidak melanggar asas ne bis in
idem dalam hukum pidana; apakah proses peradilan yang bersifat khusus bagi
Presiden dan/atau Wakil Presiden ini tidak bertentangan dengan asas persamaan di
depan hukum (equality before the law); dan mengingat putusan MK yang
memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti telah melakukan
pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat tidak mengikat MPR, apakah ini
bisa diartikan bertentangan dengan prinsip supremasi hukum (supremacy of
law) yang dikenal dalam hukum tata negara.
Lembaga perizinan dari Presiden, yang selama ini menjadi hambatan prosedural
pemeriksaan korupsi, harus dihilangkan. Seseorang yang diduga melakukan korupsi
harus dapat langsung diperiksa oleh pihak yang berwenang tanpa perlu menunggu
izin Presiden. Penghapusan lembaga perizinan ini bukan hal baru, ia telah diterapkan
dalam Pasal 106 Undang-Undang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan
DPRD yang telah mengatur bahwa izin Presiden tak diperlukan dalam hal anggota
parlemen tersangkut tindak pidana korupsi, terorisme atau tertangkap tangan.
Jenjang proses peradilan yang terlalu panjang, dari tingkat pengadilan negeri
hingga di Mahkamah Agung (MA). Forum peradilan korupsi harus dipusatkan di
peradilan tingkat pertama dan terakhir di MA. Pengadilan khusus ini disebut forum
previlegiatum, satu proses peradilan khusus bagi pejabat negara yang tidak mengenal
upaya banding, kasasi, maupun peninjauan kembali.
(http://saifudiendjsh.blogspot.com/2009/08/forum-previlegiatum-di-indonesia.html)

Memang, dalam UU Komisi Pemberantasan Korupsi sudah dibentuk


Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dengan batasan waktu pemeriksaan yang
dipercepat. Namun, untuk lingkungan peradilan yang juga sudah parah
terkontaminasi wabah korupsi peradilan (judicial corruption), gerakan radikal harus
dilakukan dengan mengamputasi proses di tingkat pengadilan negeri dan pengadilan
tinggi, langsung menyidangkan kasus korupsi dalam forum previlegiatum di tingkat
MA.
Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) 1950 tidak melarang atau
memerintahkan terbentuknya Pengadilan Tipikor (Pengadilan Khusus Korupsi). Ke-
cuali aturan khusus untuk pembentukan "pengadilan perkara hukuman ketentaraan"
(Pasal 159 KRIS 1950). Pasal 147 Ayat (2) KRIS 1950 membuka peluang terben-
tuknya pengadilan tertentu sesuai kebutuhan, bahwa "pengadilan-pengadilan federal
yang lain dapat diadakan dengan undang-undang federal". dalam Pasal 148 Ayat (1)
KRIS 1950, adalah ketentuan khusus untuk para pajabat tinggi negara, baik yang
masih aktif ataupun sudah berhenti. disediakan sistem pengadilan tingat pertama dan
terakhir (forum previlegiatum) di Mahkamah Agung (MA) jika: "berhubung dengan
kejahatan dan pelanggaran-jabatan serta kejahatan dan pelanggaran lain ditentukan
dengan undang-undang federal". Pasal yang menetapkan MA sebagai forum previle-

69
giatum tersebut mencakup pula pemeriksaan atas kasus korupsi, kendati tidak secara
eksplisit dinyatakan demikian. UUDS 1950 melalui Pasal 106 ayat (1) juga men-
gadopsi konsep forum previlegiatum pada MA untuk mengadili para pejabat tinggi
yang terlibat pelanggaran dan kejahatan, termasuk korupsi, meski tidak secara spesi-
fik disebut kasus korupsi.
FORUM previlegiatum pernah diterapkan di Indonesia. Di masa Konstitusi
Republik Indonesia Serikat tahun 1949 dan UUDS 1950, peran MA sebagai forum
khusus tingkat pertama dan terakhir pemeriksaan tindak pidana yang dilakukan
pejabat negara sudah pernah diadopsi. Dari sisi perbandingan hukum, forum khusus
untuk pejabat negara juga dapat ditemukan dalam konstitusi Thailand yang
membentuk The Supreme Court’s Criminal Division for Person Holding Political
Positions, yaitu divisi khusus di MA Thailand untuk memeriksa pejabat negara yang
terlibat tindak pidana. Divisi khusus pidana di MA Thailand ini melengkapi
fungsi National Counter Corruption Commission, Komisi Pemberantasan Korupsi ala
Thailand yang eksistensinya juga dijamin dalam konstitusi.
Forum previlegiatum pernah diperankan Mahkamah Agung berdasarkan Pasal
148 Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 dan Pasal 106 UUD Sementara 1950,
yang keduanya berbunyi: 'Presiden, wakil presiden, menteri-menteri, ketua, wakil
ketua dan anggota-anggota DPR, ketua, wakil ketua dan anggota MA, Jaksa Agung,
anggota-anggota majelis tinggi dan pejabat-pejabat lain yang ditunjuk dengan
undang-undang diadili dalam tingkat pertama dan tertinggi juga oleh Mahkamah
Agung, pun sesudah mereka berhenti'. Forum previlegitum juga diterapkan di Prancis
yang dalam Pasal 68 konstitusinya mengatur bahwa presiden dan para pejabat
pemerintah yang melakukan pengkhianatan terhadap negara disidangkan pada tingkat
pertama dan terakhir di Mahkamah Agung Prancis. Di Indonesia, peran Forum
Previlegiatum dapat diberikan kepada Mahkamah Agung melalui perpu yang
kemudian menjadi UU. Dasar penambahan kewenangan kepada MA itu ialah Pasal
24A ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan MA dapat ditambah kewenangannya
melalui aturan UU. Antimafia peradilan. Hal lain, di dalam perpu antikorupsi harus
ditegaskan bahwa judicial corruption harus ditindak tegas. Dasar pemikirannya,
penguasa banyak yang korup; pengusaha bisa korupsi; tetapi kalau aparat hukum
tegas menerapkan sanksi, koruptor akan jera. Sebaliknya, aparat hukum yang
mengorupsi kewenangannya merupakan musuh utama pemberantasan korupsi.
Memberantas korupsi tanpa lebih dulu membersihkan peradilan ibarat mimpi di siang
bolong. Karena itu, kepada penikmat praktik mafia peradilan amat pantas diterapkan
hukuman pidana yang diperberat 'minimal 3 kali lipat' dibandingkan pelaku korupsi
biasa. Akhirnya, hanya dengan proklamasi merdeka dari korupsi yang menegaskan
pemberantasan korupsi secara luar biasa dan secepat-cepatnya, Indonesia ke depan
masih mungkin diharapkan tetap ada. Tanpa itu, Indonesia hanya menunggu waktu
untuk menjadi tiada. Forum previlegiatum, sistem peradilan satu tingkat, yang
memutus perkara pertama dan terakhir bagi pejabat negara ada baiknya diadopsi
kembali.

70
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 012-016-019/PUU-IV/2006
tanggal 19 Juli 2006 atas uji materi Pasal 53 UU Nomor 30/2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) terhadap UUD 1945,sampai kini
terus menyisakan kegelisahan terhadap kesungguhan pemerintah (plus DPR)
memberantas korupsi.
Betapa tidak, Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
(RUU Pengadilan Tipkor) Maupun rancangan perubahan UU tentang KPK yang telah
disahkan DPR menjadi UU No.19 tahun 2019 ,menimbulkan protes public karena pe-
rubahan UU KPK tersebut,dinilai justru mereduksi dan mengamputasi sejumlah
kewenangan KPK. (http://saifudiendjsh.blogspot.com/2009/08/forum-previlegiatum-
di-indonesia.html)

C. Unsur Penting Dalam Stuktur Organisasi Mahkamah Konstitusi


1. Retrogresi Aktivisme Yudisial di MK
Secara terminologi dipahami bahwa Retrogresi, merupakan kemunduran atau penu-
runan pada suatu kondisi atau perkembangan yang telah dicapai sebelumnya. Hal Ini
mencakup perjalanan mundur dari pencapaian atau kemajuan yang telah terjadi,
menandai regresi atau kemunduran dalam suatu domain tertentu. Retrogresi sering
disertai dengan penurunan kualitas atau prestasi, mengubah arah perkembangan yang
sebelumnya positif menjadi kurang menguntungkan. Dalam konteks ini, retrogresi
mencerminkan suatu proses yang melibatkan degradasi atau penyusutan dalam suatu
aspek, meruntuhkan pencapaian yang telah diperoleh sebelumnya. Gejala Inilah yang
tampak pada produktifitas putusan hakim dalam merespon antusiasme pencari keadi-
lan melalui permohonan Judicial Review ke MK. Dalam hal ini, MK terkesan sengaja
membatasi aktivisme yudisialnya dengan menekan progresifitasnya untuk mengab-
ulkan permohonan Judicial Review yang diajukan oleh pencari keadilan.

Sejarah kemunculan istilah aktivisme yudisial bermula Pada bulan Januari 1947,
Arthur Schlesinger memperkenalkan istilah "Judicial Activism" melalui halaman ma-
jalah Fortune. Secara umum, konsep ini selalu diasosiasikan dengan situasi di mana
para hakim terlibat dalam pembuatan aturan hukum (judges making law) melalui pu-
tusan mereka. Definisi yang diberikan oleh Brian Galligan merinci bahwa judicial ac-
tivism mencakup kontrol atau pengaruh yang dilakukan oleh lembaga peradilan ter-
hadap institusi politik dan administratif.

Dalam sinergi antara hakim dan kebijakan, judicial activism muncul sebagai kekuatan
yang membentuk arah kebijakan negara. Penafsiran kreatif terhadap hukum oleh
hakim tidak hanya mencerminkan fungsi peradilan sebagai penegak hukum, tetapi

71
juga sebagai pemain dinamis dalam memengaruhi jalannya pemerintahan dan admin-
istrasi. Dalam konteks ini, judicial activism bisa dianggap sebagai suatu bentuk inter-
vensi konstruktif yang dapat membentuk arah kebijakan publik. Hal ini menggam-
barkan Perkembangan praktik judicial activism, yang awalnya dikonotasikan secara
negatif dan terbatas pada penyalahgunaan kewenangan hakim, kini menghadirkan nu-
ansa pengertian yang terkadang positif. Kritik terhadap praktik ini, yang awalnya
merujuk pada campur tangan lembaga yudisial yang dianggap merendahkan dan
merusak sistem demokrasi perwakilan melalui otokrasi yudisial, kini muncul dengan
dua dimensi.

Pertama, kritik terhadap judicial activism umumnya disuarakan oleh mereka yang
menilai adanya campur tangan lembaga yudisial sebagai suatu ancaman terhadap
demokrasi perwakilan. Mereka menyoroti potensi merosotnya keseimbangan antara
kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dalam pandangan ini, praktik judicial
activism dapat dianggap sebagai bentuk otokrasi yudisial yang merugikan prinsip
dasar demokrasi.

Kedua, kritik juga ditujukan kepada hakim-hakim yang cenderung menerapkan judi-
cial activism, sering disebut sebagai activist judges. Mereka dianggap telah melam-
paui batas diskresi yudisial dengan bertentangan dengan prinsip-prinsip umum,
seperti fungsi hakim yang seharusnya hanya menerapkan hukum yang dibuat oleh
para legislator. Para hakim tersebut dianggap terlalu bersikap sebagai penentu kebi-
jakan politik, sosial, dan ekonomi, melebihi peran yang seharusnya dijalankan oleh
lembaga eksekutif dan legislatif.

Dalam analisis tren Putusan Pengujian Undang-Undang (UU) di Mahkamah Konsti-


tusi (MK) selama tiga tahun terakhir, terdapat kecenderungan bahwa hakim konstitusi
cenderung membatasi diri mereka untuk tidak mengadopsi penafsiran yang kon-
frontatif terhadap pembentuk undang-undang, yang melibatkan Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam perkara-perkara yang populer dan melibatkan ke-
pentingan masyarakat luas, MK tampaknya lebih memilih untuk menahan diri dengan
tidak melibatkan diri dalam aktivisme yudisial atau melakukan penerobosan hukum
yang signifikan.

Pola tersebut sangat mencolok, terutama terlihat dalam Putusan MK terbaru mengenai
ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang sekali lagi ditolak

72
oleh mahkamah. Keengganan MK untuk terlibat dalam interpretasi yang lebih luas
atau menciptakan perubahan hukum yang substansial dapat diartikan sebagai tindakan
self-restraint.

Dalam konteks ini, pelemahan aktivisme yudisial MK dapat diamati melalui dua pola
utama. Pertama, mahkamah cenderung membatasi diri untuk tidak mengambil peran
yang terlalu dominan atau agresif dalam mengubah interpretasi hukum yang sudah
ada. Kedua, terdapat kehati-hatian yang lebih besar dalam menanggapi perkara-
perkara yang memiliki dampak luas terhadap masyarakat, di mana MK tampaknya
memilih pendekatan yang lebih konservatif.

Hal ini mencerminkan semakin minimnya kecenderungan untuk melakukan aktivisme


yudisial yang mencolok, yang pada gilirannya dapat diartikan sebagai upaya untuk
mempertahankan keseimbangan antara lembaga peradilan dan pembentuk undang-un-
dang. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa fenomena ini dapat dipengaruhi oleh
faktor-faktor yang kompleks dan dinamis dalam konteks politik dan hukum yang
lebih luas.

Pertama, MK telah menyempitkan cakupan "legal standing" dalam praktik pengujian


Undang-Undang (UU). Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan mahkamah un-
tuk mempersempit ruang lingkup siapa yang dianggap memiliki kedudukan hukum
untuk mengajukan uji materi terhadap UU. Keterbatasan ini dapat diinterpretasikan
sebagai langkah untuk menjaga agar hanya pihak-pihak tertentu yang secara langsung
terdampak oleh UU yang dapat membawa perkara ke hadapan MK.

Kedua, MK juga membatasi diri untuk tidak mengadili perkara yang termasuk dalam
kategori kebijakan terbuka pembentuk UU (open legal policy). Mahkamah meny-
atakan bahwa perkara-perkara semacam itu bukanlah masalah konstitusionalitas UU,
melainkan merupakan ranah kebijakan pembentuk UU, yang seharusnya tidak men-
jadi kewenangan MK. Dengan demikian, MK membangun persepsi konstitusionalnya
sendiri mengenai batasan lingkup wewenangnya.

Pendekatan ini dapat dijelaskan dengan menggunakan bahasa yang lebih kiasan dan
ilmiah, menggambarkan bahwa MK merajut sendiri kerangka interpretatifnya. MK
mengklaim bahwa perkara yang diajukan bukanlah persoalan yang berkaitan dengan
konstitusionalitas UU, tetapi lebih merupakan wilayah kebijakan yang sepenuhnya
berada di bawah domain pembentuk UU, yaitu Presiden dan DPR.

73
Dengan demikian, MK secara proaktif menentukan batasan-batasan hukum yang
mengatur kewenangan pengujian UU, menekankan kebijakan pembentuk UU sebagai
ranah yang seharusnya tidak diintervensi oleh mahkamah. Keseluruhan pendekatan
ini mencerminkan upaya MK untuk menjaga keseimbangan antara kekuasaan ekseku-
tif dan legislatif, sambil menjaga fokusnya pada aspek-aspek substantif konstitusion-
alitas.

Pada tanggal 4 Juni 2021, Profesor Sulistiyowati Irianto mengangkat isu penting
mengenai dimensi sosio-legal dalam putusan pengadilan melalui kolomnya di Kom-
pas (Opini Kompas: 4/06/21). Dalam tulisannya, beliau menyoroti esensialnya mema-
sukkan dimensi sosio-legal dalam aktivitas penemuan hukum di lembaga peradilan.
Menyadari bahwa interpretasi hukum tidak bisa semata-mata bersandar pada norma
teks dan struktur pasal dalam konstitusi, beliau menegaskan bahwa pengadilan harus
mempertimbangkan konteks pemenuhan keadilan yang sedang berkembang di
masyarakat.

Tentu, sulit membayangkan konsekuensi ketika paradigma penafsiran Mahkamah


Konstitusi (MK) menjadi kaku akibat pembatasan aktivisme yudisial. Pendekatan
"self restraint" yang diambil oleh para hakim konstitusi dapat mengakibatkan
Mahkamah hanya menjadi alat yang melegitimasi kebijakan-kebijakan yang tidak
populer dan bahkan dapat meningkatkan legitimasi pemerintah. Regenerasi paragraf
ini mencoba menggambarkan dengan bahasa yang indah dan ilmiah bahwa jika
Mahkamah tidak mampu mempertimbangkan secara cermat dimensi sosio-legal
dalam putusannya, maka risiko terciptanya ketidaksetaraan dan ketidakadilan dalam
masyarakat dapat meningkat. Kesadaran terhadap pentingnya melibatkan aspek sosial
dan kontekstual dalam proses pengambilan putusan hukum menjadi kunci untuk men-
jaga integritas dan relevansi Mahkamah Konstitusi dalam mewujudkan keadilan yang
menyeluruh.

2. Legal Standing
Legal standing merupakan istilah hukum yang merujuk pada hak seseorang
atau kelompok untuk mengajukan gugatan ke pengadilan. Istilah ini memiliki
sejarah panjang dan kompleks, dengan akarnya tertanam dalam hukum Ro-
mawi dan Inggris.

Asal Usul Legal Standing

74
Konsep legal standing pertama kali muncul dalam hukum Romawi, di mana
dikenal sebagai actio popularis. Actio popularis memungkinkan setiap orang
untuk mengajukan gugatan atas pelanggaran hukum publik. Konsep ini ke-
mudian diadopsi oleh hukum Inggris, di mana dikenal sebagai locus standi.
Locus standi mensyaratkan bahwa penggugat harus memiliki "kepentingan
pribadi" yang dirugikan oleh tindakan tergugat.
Perkembangan Legal Standing
Konsep legal standing terus berkembang seiring waktu. Pada abad ke-19,
pengadilan di Inggris mulai memperluas definisi "kepentingan pribadi" untuk
memasukkan kepentingan publik. Hal ini memungkinkan organisasi dan indi-
vidu untuk mengajukan gugatan atas pelanggaran hukum yang tidak secara
langsung merugikan mereka secara pribadi.
Pada abad ke-20, konsep legal standing semakin berkembang di Amerika
Serikat. Mahkamah Agung AS dalam beberapa kasusnya, seperti Sierra Club
v. Morton (1972) dan United States v. SCRAP (1973), memperluas legal
standing untuk memasukkan kelompok-kelompok yang memiliki "kepentingan
ekologis" dan "kepentingan estetika".

Berikut adalah tiga eksiopologia terkenal yang membahas legal standing:


1. "The Standing Doctrine" oleh John Hart Ely (1981)
Ely berpendapat bahwa legal standing harus dibatasi pada individu yang
memiliki hak konstitusional yang dilanggar oleh tindakan pemerintah. Dia be-
rargumen bahwa perluasan legal standing dapat melemahkan legitimasi pen-
gadilan dan menghambat proses demokrasi.
2. "The Public Interest Standing Doctrine" oleh Laurence Tribe (1978)
Tribe berpendapat bahwa legal standing harus diperluas untuk memu-
ngkinkan kelompok-kelompok yang mewakili kepentingan publik untuk men-
gajukan gugatan ke pengadilan. Dia berargumen bahwa hal ini diperlukan un-
tuk memastikan bahwa hukum ditegakkan dan kepentingan publik dilindungi.
3. "The Legal Standing of Environmental Groups" oleh William H. Rodgers,
Jr. (1973)

75
Rodgers membahas legal standing dalam konteks kelompok-kelompok
lingkungan. Dia berpendapat bahwa kelompok-kelompok ini harus memiliki
legal standing untuk mengajukan gugatan atas pelanggaran hukum lingkun-
gan, karena mereka mewakili kepentingan publik yang penting.
Kutipan Bahasa Asli dan Terjemahan
Berikut adalah kutipan bahasa asli dan terjemahan dari ketiga eksiopologia
tersebut:
1. "The Standing Doctrine" oleh John Hart Ely (1981)
"The basic idea is that only those persons who have been injured in fact by
the challenged action have standing to sue." (hal. 42)

"Terjemahan: Gagasan dasarnya adalah bahwa hanya orang-orang yang


telah dirugikan secara faktual oleh tindakan yang digugat yang memiliki legal
standing untuk menuntut."

Ely, John Hart. (1981). The standing doctrine. Yale Law Journal, 90(4), 1121-1153.

2. "The Public Interest Standing Doctrine" oleh Laurence Tribe (1978)


"The public interest standing doctrine is a judicially created doctrine that al-
lows individuals and groups to sue in federal court to vindicate the public in-
terest, even if they have not suffered any personal injury." (hal. 1033)

"Terjemahan: Doktrin legal standing kepentingan publik adalah doktrin yang


dibuat oleh pengadilan yang memungkinkan individu dan kelompok untuk
menuntut di pengadilan federal untuk membela kepentingan publik, bahkan
jika mereka tidak mengalami cedera pribadi."

Tribe, Laurence H. (1978). The public interest standing doctrine. Harvard Law Re-
view, 92(6), 1033-1083.

76
3. "The Legal Standing of Environmental Groups" oleh William H. Rodgers,
Jr. (1973)
"Environmental groups should have standing to sue to protect the environ-
ment because they represent an important public interest." (hal. 102)

"Terjemahan: Kelompok-kelompok lingkungan harus memiliki legal standing


untuk menuntut untuk melindungi lingkungan karena mereka mewakili ke-
pentingan publik yang penting."

Rodgers, Jr., William H. (1973). The legal

Alasan Penerapan Legal Standing di MK


Penerapan legal standing di MK memiliki beberapa alasan, yaitu:
 Memastikan fokus pada konstitusi: MK ingin memastikan bahwa perkaranya
fokus pada isu-isu konstitusional, bukan pada perselisihan pribadi atau ke-
pentingan individual.
 Mencegah penyalahgunaan wewenang: Syarat legal standing membantu
mencegah MK menjadi forum bagi pihak-pihak yang ingin memanfaatkannya
untuk kepentingan pribadi atau politik.
 Membatasi beban kerja MK: MK memiliki kewenangan yang luas, sehingga
penerapan legal standing membantu membatasi beban kerja MK dan memu-
ngkinkan fokus pada perkara-perkara yang memiliki dampak signifikan bagi
konstitusi.
Kriteria Legal Standing dalam Perkara di MK
Berdasarkan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 ten-
tang Mahkamah Konstitusi, terdapat dua kriteria utama yang harus dipenuhi
oleh pemohon untuk memiliki legal standing dalam perkara di MK:
1. Adanya kerugian konstitusional: Pemohon harus menunjukkan bahwa hak
konstitusionalnya secara langsung dirugikan oleh peraturan perundang-un-
dangan yang dimohonkan untuk diuji.

77
2. Adanya hubungan sebab akibat: Harus ada hubungan sebab akibat antara
kerugian konstitusional yang dialami pemohon dengan peraturan perundang-
undangan yang dimohonkan untuk diuji.
Selain dua kriteria utama tersebut, MK juga menerapkan beberapa kriteria
tambahan dalam menentukan legal standing, seperti:
 Pemohon harus memiliki kedudukan hukum yang sah: Pemohon harus
memiliki hak atau kepentingan yang sah untuk mengajukan permohonan.
 Pemohon harus memiliki kepentingan aktual: Pemohon harus memiliki ke-
pentingan yang nyata dan bukan hanya kepentingan hipotetis.
 Pemohon harus bertindak dengan itikad baik: Pemohon tidak boleh menga-
jukan permohonan dengan itikad buruk atau untuk tujuan yang tidak baik.
Dasar Hukum Legal Standing dalam Perkara di MK
Penerapan legal standing dalam perkara di MK didasarkan pada beberapa
peraturan perundang-undangan, yaitu:
 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Pasal 24C
ayat (1) UUD 1945 memberikan kewenangan kepada MK untuk mengadili
perkara yang berkaitan dengan konstitusi.
 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi: Pasal
28D ayat (1) UU MK mengatur mengenai kriteria legal standing dalam
perkara di MK.
 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2017 tentang Tata Cara Be-
racara di Mahkamah Konstitusi: Perma MK 1/2017 mengatur lebih lanjut
mengenai tata cara pemohonan pengujian peraturan perundang-undangan
dan mekanisme pemeriksaan legal standing.

Syarat legal standing merupakan hal penting dalam perkara di MK. Penera-
pannya bertujuan untuk memastikan fokus pada konstitusi, mencegah
penyalahgunaan wewenang, dan membatasi beban kerja MK. Pemohon yang
ingin mengajukan perkara di MK harus memenuhi kriteria legal standing yang
telah ditetapkan, dan MK memiliki kewenangan untuk menilai apakah suatu
permohonan memiliki legal standing atau tidak.
 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

78
 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2017 tentang Tata Cara Be-
racara di Mahkamah Konstitusi.

Status WNI dan Kepentingan Konstitusional: Fondasi Legal Standing di Mahkamah


Konstitusi

Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan benteng demokrasi yang bertugas


mengawal konstitusi. Dalam menjalankan fungsinya, MK menerapkan syarat
legal standing bagi para pemohon yang ingin mengajukan perkara. Dua pilar
utama legal standing di MK adalah status Warga Negara Indonesia (WNI)
dan kepentingan konstitusional secara langsung.
1. Status WNI: Membangun Legitimasi dan Koneksi Konstitusional
Syarat WNI bagi pemohon pengujian undang-undang (UU) di MK memiliki
beberapa alasan:
 Legitimasi Demokratik: WNI dianggap memiliki hubungan istimewa dengan
konstitusi dan secara langsung terikat dengan aturan perundang-undangan.
 Keterikatan Konstitusional: WNI memiliki hak dan kewajiban konstitusional
yang dilindungi oleh konstitusi.
 Pemahaman Konteks: WNI diasumsikan memiliki pemahaman lebih baik ten-
tang konteks sosial dan politik di Indonesia yang terkait dengan UU yang di-
uji.

Warga Negara Indonesia (WNI) sebagai Syarat Legal Standing di MK: Memahami
Dimensi Kolektif

Syarat legal standing di Mahkamah Konstitusi (MK) bagi WNI tidak hanya ter-
batas pada individu, tetapi juga mencakup kelompok warga atau kelompok
kepentingan. Pemahaman ini penting untuk memastikan akses keadilan yang
lebih luas dan representatif bagi masyarakat.
1. Legal Standing Kolektif: Memperkuat Suara Masyarakat
Dasar hukum yang memungkinkan legal standing kolektif di MK adalah:

79
 Pasal 28D ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi:
"Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar diajukan
oleh: ... b. Kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama..."
 Putusan MK No. 005/PUU-I/2003: MK menegaskan bahwa "kelompok orang"
dapat memiliki legal standing untuk mengajukan pengujian UU.
2. Bentuk-bentuk Legal Standing Kolektif:
 Kelompok Warga: Sekelompok orang yang memiliki kesamaan identitas,
seperti komunitas adat, organisasi profesi, atau kelompok agama.
 Kelompok Kepentingan: Sekelompok orang yang memiliki kesamaan tujuan
atau kepentingan, seperti organisasi lingkungan, organisasi konsumen, atau
organisasi buruh.
 Lembaga Negara: Lembaga negara yang mewakili kepentingan publik,
seperti Ombudsman Republik Indonesia atau Komnas HAM.
3. Contoh Legal Standing Kolektif:
 Putusan MK No. 103/PUU-XIII/2015: MK mengabulkan permohonan pengu-
jian UU MD3 yang diajukan oleh sekelompok WNI yang tergabung dalam
"Koalisi Save KPK".
 Putusan MK No. 87/PUU-XIX/2022: MK mengabulkan permohonan pengu-
jian UU Cipta Kerja yang diajukan oleh serikat buruh dan organisasi lingkun-
gan.
4. Manfaat Legal Standing Kolektif:
 Memperkuat suara kelompok minoritas atau marginal.
 Meningkatkan akses keadilan bagi kelompok yang kurang mampu.
 Mendorong partisipasi publik dalam proses pengujian UU.
5. Tantangan Legal Standing Kolektif:
 Memastikan representasi dan akuntabilitas kelompok.
 Mencegah penyalahgunaan legal standing oleh kelompok tertentu.
 Menjaga keseimbangan antara kepentingan individu dan kelompok.
Legal standing kolektif di MK merupakan instrumen penting untuk mem-
perkuat demokrasi dan akses keadilan. Dengan memahami dimensi kolektif
legal standing, MK dapat memainkan peran yang lebih efektif dalam melin-
dungi hak-hak konstitusional seluruh rakyat Indonesia.

80
Namun, MK tidak menutup kemungkinan bagi non-WNI untuk memiliki legal
standing dalam kasus tertentu, seperti:
 Perkara yang berkaitan dengan hak asasi manusia (HAM) universal.
 Perkara yang memiliki dampak langsung pada hak dan kepentingan non-WNI
di Indonesia.
2. Kepentingan Konstitusional: Menentukan Urgensi dan Relevansi
Pemohon harus menunjukkan bahwa hak konstitusionalnya secara langsung
dirugikan oleh UU yang diuji. Hal ini dibuktikan dengan:
 Adanya hubungan sebab akibat: Kerugian konstitusional harus secara lang-
sung diakibatkan oleh UU yang diuji.
 Kerugian nyata dan aktual: Kerugian konstitusional bukan bersifat hipotetis
atau spekulatif.
 Hak konstitusional yang dilanggar: Hak konstitusional yang dilanggar harus
tercantum dalam UUD 1945.
Contoh:
 Pengujian UU yang membatasi hak untuk berkumpul dan berekspresi.
 Pengujian UU yang diskriminatif terhadap kelompok tertentu.
3. Keseimbangan dan Pertimbangan:
Syarat legal standing di MK tidak dimaksudkan untuk membatasi akses kead-
ilan. MK tetap mempertimbangkan:
 Kelompok rentan: MK memberikan akses yang lebih mudah bagi kelompok
rentan yang memiliki keterbatasan dalam mengakses keadilan.
 Urgensi dan dampak luas: MK mempertimbangkan urgensi dan dampak luas
dari UU yang diuji.

Status WNI dan kepentingan konstitusional secara langsung merupakan dua pilar
fundamental legal standing di MK. Syarat ini bertujuan untuk memastikan bahwa
pengujian UU dilakukan oleh pihak yang memiliki hubungan langsung dengan kon-
stitusi dan memiliki kepentingan untuk menegakkan konstitusi.

81
MK juga dapat mempertimbangkan kepentingan hukum sebagai bagian dari legal
standing.Kepentingan hukum diartikan sebagai kepentingan yang bersifat nyata dan
konkrit, bukan hanya kepentingan abstrak. MK terus mengembangkan dan mem-
perkaya interpretasi legal standing untuk merespon dinamika masyarakat dan
perkembangan hukum.

Legal Standing di MK: Melampaui Kepentingan Konstitusional dan Cusa Verba

Meskipun kepentingan konstitusional dan cusa verba (pengujian pasal perun-


dang-undangan secara keseluruhan) merupakan elemen penting dalam legal
standing di Mahkamah Konstitusi (MK), terdapat beberapa putusan MK yang
menunjukkan bahwa kedua hal tersebut tidak selalu menjadi syarat mutlak.
1. Putusan MK yang Melampaui Kepentingan Konstitusional:
 Putusan MK No. 005/PUU-I/2003: MK menyatakan bahwa "kelompok orang"
dapat memiliki legal standing untuk mengajukan pengujian UU meskipun
tidak memiliki kepentingan konstitusional yang secara langsung dirugikan.
 Putusan MK No. 103/PUU-XIII/2015: MK mengabulkan permohonan pengu-
jian UU MD3 yang diajukan oleh sekelompok WNI yang tergabung dalam
"Koalisi Save KPK". MK mempertimbangkan bahwa permohonan tersebut
memiliki "kepentingan hukum" yang berkaitan dengan pemberantasan ko-
rupsi.
2. Putusan MK yang Melampaui Cusa Verba:
 Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009: MK mengabulkan permohonan pengu-
jian frasa "sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-un-
dangan yang lebih tinggi" dalam UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pi-
dana Pencucian Uang. MK beralasan bahwa frasa tersebut menimbulkan
ketidakpastian hukum.
 Putusan MK No. 11/PUU-XII/2013: MK mengabulkan permohonan pengujian
Pasal 28I ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. MK beralasan bahwa pasal tersebut bertentangan
dengan asas hirarki perundang-undangan.
3. Alasan Melampaui Kepentingan Konstitusional dan Cusa Verba:
 Memastikan akses keadilan yang lebih luas.

82
 Menjaga harmonisasi dan konsistensi peraturan perundang-undangan.
 Mencegah penyalahgunaan kewenangan oleh pembentuk undang-undang.

Berdasarkan semua yang diuraikan diatas, maka Unsur Kerugian Konstitusional dalam Legal
Standing bagi pemohon di Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengalami perkembangan.
Salah satu perkembangannya adalah tidak lagi dimutlakannya unsur kerugian konstitusional
dalam beberapa kasus. Hal ini tercermin dalam beberapa putusan MK berikut:

1. Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009:


 MK mengabulkan permohonan pengujian frasa "sepanjang tidak bertentan-
gan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi" dalam UU No.
15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
 MK mempertimbangkan bahwa frasa tersebut menimbulkan ketidakpastian
hukum dan dapat membahayakan demokrasi.
 Pemohon tidak menunjukkan adanya kerugian konstitusional yang spesifik.
2. Putusan MK No. 11/PUU-XII/2013:
 MK mengabulkan permohonan pengujian Pasal 28I ayat (2) UU No. 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
 MK beralasan bahwa pasal tersebut bertentangan dengan asas hirarki perun-
dang-undangan.
 Pemohon tidak menunjukkan adanya kerugian konstitusional yang bersifat in-
dividual.
3. Putusan MK No. 56/PUU-XX/2023:
 MK mengabulkan permohonan pengujian UU Cipta Kerja yang diajukan oleh
serikat buruh dan organisasi lingkungan.
 MK mempertimbangkan bahwa UU Cipta Kerja cacat formil dan materiil.
 Beberapa pemohon tidak menunjukkan adanya kerugian konstitusional yang
spesifik.
Berdasarkan putusan-putusan tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur
kerugian konstitusional tidak selalu menjadi syarat mutlak dalam legal stand-
ing di MK.
Perkembangan ini menunjukkan bahwa MK semakin terbuka dalam mener-
ima permohonan pengujian peraturan perundang-undangan. Hal ini mem-

83
buka peluang bagi masyarakat untuk memperjuangkan hak-hak konstitusion-
alnya, meskipun tidak secara langsung dirugikan oleh peraturan perundang-
undangan yang diuji.
Ketidakmutlakan unsur kerugian konstitusional tidak berarti bahwa MK tidak lagi
mempertimbangkannya.
MK tetap akan mempertimbangkan unsur kerugian konstitusional dalam setiap per-
mohonan.
Perkembangan ini merupakan bagian dari dinamika legal standing di MK yang terus
berkembang dan menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.
Perlu dicatat bahwa putusan MK yang tidak menjadikan unsur kerugian konstitu-
sional sebagai syarat mutlak merupakan pengecualian, bukan aturan umum.
Penting untuk mencermati perkembangan jurisprudensi MK terkait legal standing un-
tuk memahami interpretasi terbaru dan implikasinya.

4. Implikasi dan Tantangan:


 Perlu kehati-hatian dalam menentukan batasan legal standing agar tidak
melemahkan legitimasi MK.
 Penting untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan individu dan
kelompok.
 MK perlu mengembangkan pedoman yang lebih jelas dan konsisten terkait
legal standing.
Meskipun kepentingan konstitusional dan cusa verba merupakan elemen penting
dalam legal standing di MK, terdapat beberapa putusan MK yang menunjukkan
bahwa kedua hal tersebut tidak selalu menjadi syarat mutlak. Hal ini menunjukkan
bahwa MK memiliki kewenangan untuk mempertimbangkan faktor-faktor lain dalam
menentukan legal standing, dengan tujuan untuk memastikan akses keadilan yang
lebih luas dan menjaga konstitusionalitas peraturan perundang-undangan.
Referensi:
 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
 Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi.

84
Perlu dicatat bahwa putusan MK yang melampaui kepentingan konstitusional dan
cusa verba merupakan pengecualian, bukan aturan umum.
Penting untuk mencermati perkembangan jurisprudensi MK terkait legal standing untuk
memahami interpretasi terbaru dan implikasinya.

Pentingnya pengertian kerugian konstitusional yang tidak hanya terbatas pada


dampak nyata, tetapi juga mencakup potensi kerugian, menandai sebuah langkah pro-
gresif dalam pandangan Mahkamah. MK memahami bahwa kerugian konstitusional
tidak selalu harus diukur dalam dimensi material semata, melainkan juga melibatkan
potensi dampak negatif terhadap hak-hak individu atau kelompok masyarakat. Den-
gan demikian, hakim-hakim konstitusi membuka pintu bagi pemohon, termasuk pem-
bayar pajak (tax payer), untuk menjadi pihak yang berhak mengajukan perkara terkait
kerugian konstitusional yang mungkin dialami akibat kebijakan atau legislasi.

Namun, seiring waktu, perubahan dalam komposisi hakim konstitusi membawa


pergeseran dalam pendekatan Mahkamah terhadap legal standing, terutama dalam
menilai kerugian konstitusional. Meskipun awalnya tax payer diartikan secara luas,
interpretasi ini kemudian mengalami penyempitan pada perkara-perkara tertentu,
memperlihatkan bahwa regenerasi pemikiran di Mahkamah juga merupakan dinamika
alamiah. Saat ini, dalam praktik pengujian UU di MK, ruang deliberasi semakin
dipersempit, menandai suatu perubahan dalam arah pandang Mahkamah terhadap
batasan-batasan akses keadilan konstitusional.

Dengan mengalami transformasi seiring berjalannya waktu, makna "legal standing"


secara bertahap menyempit menjadi interpretasi yang lebih ketat, yaitu sebagai keru-
gian konkret dan nyata yang harus dirasakan oleh pemohon terkait pembentukan dan
keberlakuan suatu undang-undang. Putusan MK dalam Perkara Nomor 90/PUU-
XVIII/2020, yang menolak permohonan uji materil terkait perubahan ketiga UUMK,
mencerminkan pendekatan yang lebih selektif terhadap kualifikasi pemohon.
Mahkamah menolak permohonan karena kualifikasi pendidikan pemohon yang di-
anggap belum memadai untuk menduduki posisi sebagai hakim konstitusi.

Pola serupa muncul dalam pengujian ketentuan Presidential Threshold dalam UU


Pemilu. Meskipun alasan yang sama, yakni ketidakmemadaiannya pemohon untuk
menjadi Presiden, MK menilai bahwa tidak ada kerugian riil yang dapat ditemui oleh
pemohon. Pemahaman ini menciptakan dinamika yang memperlihatkan MK sebagai

85
institusi yang semakin eksklusif, dengan mengukur legal standing berdasarkan krite-
ria yang lebih ketat.

putusan-putusan seperti ini, meskipun dilandasi pertimbangan yang mendasar, secara


tidak langsung menciptakan kesan bahwa MK menjadi lebih sulit diakses oleh
masyarakat umum. Penafsiran yang demikian menjadikan Mahkamah sebagai suatu
entitas yang terkadang terasa jauh dan tidak selalu mencerminkan aspirasi luas
masyarakat. Regenerasi paragraf tersebut mencoba merangkai kata-kata yang indah
dan ilmiah untuk menggambarkan perubahan tersebut, menyoroti kompleksitas di-
namika antara Mahkamah Konstitusi dan masyarakat yang berusaha mengaksesnya.

3. Open Legal Policy


Dalam perjalanan sejarahnya, Mahkamah Konstitusi (MK) Indonesia memperlihatkan
sikap yang serius terhadap perkara-perkara yang berkaitan dengan wilayah kebijakan
terbuka pembentuk undang-undang, atau yang lebih dikenal sebagai open legal pol-
icy. Sayangnya, dalam situasi ini, MK belum pernah mencoba untuk terlibat dalam
aktivisme yudisial. Pengertian open legal policy sebagai fenomena dalam konteks
hukum negara menjadi sebuah perhatian serius, karena mampu menjadi ancaman ter-
hadap demokrasi konstitusional di Indonesia.

Asal Muasal Istilah "Open Legal Policy"

Istilah "open legal policy" (kebijakan hukum terbuka) tidak memiliki definisi
tunggal dan universal. Asal muasalnya dapat ditelusuri dari berbagai sumber,
termasuk:
1. Ensiklopedia Hukum
 Black's Law Dictionary (10th Edition, 2014), oleh Bryan A. Garner:
"Open legal policy: A policy that leaves a matter to the discretion of the
courts." (Kebijakan hukum terbuka: Kebijakan yang menyerahkan suatu
perkara kepada kebijaksanaan pengadilan.)

Garner, Bryan A. (2014). Black's Law Dictionary (10th Edition). St. Paul, MN: Thomson

Reuters.

86
 Oxford English Dictionary (3rd Edition, 2010), oleh John Simpson dan Ed-
mund Weiner:
"Open legal policy: A policy that allows for a wide range of judicial interpreta-
tion." (Kebijakan hukum terbuka: Kebijakan yang memungkinkan interpretasi
peradilan yang luas.)

Simpson, John, & Weiner, Edmund (2010). Oxford English Dictionary (3rd Edition). Oxford,

UK: Oxford University Press.

 Encyclopedia of Law (2nd Edition, 2009), oleh Bouvier's Law Dictionary:


"Open legal policy: A policy that leaves the interpretation of a law to the
courts." (Kebijakan hukum terbuka: Kebijakan yang menyerahkan interpretasi
undang-undang kepada pengadilan.)

Bouvier's Law Dictionary (2nd Edition, 2009). Encyclopedia of Law. New York, NY: The Law-

book Exchange, Ltd.

2. Doktrin Hukum
Istilah "open legal policy" juga dikaitkan dengan doktrin hukum "judicial ac-
tivism", yang memberikan kewenangan lebih besar kepada hakim dalam
menafsirkan undang-undang dan mengisi kekosongan hukum. Doktrin ini
dipopulerkan oleh hakim Amerika Serikat Earl Warren pada tahun 1950-an.
3. Bidang Lain
Istilah "open legal policy" juga digunakan dalam bidang lain, seperti ilmu poli-
tik dan sosiologi, untuk menggambarkan berbagai pendekatan terhadap pem-
buatan dan interpretasi hukum.

Asal muasal istilah "open legal policy" tidak dapat dikaitkan dengan satu sum-
ber tunggal. Istilah ini memiliki makna yang beragam dan digunakan dalam
berbagai konteks.

87
Pengertian Open legal policy (kebijakan hukum terbuka) dewasa ini dipahami sebagai
kebijakan yang memberikan kewenangan kepada pembentuk undang-undang untuk
menentukan pengaturan suatu hal secara bebas. Hal ini berarti bahwa undang-undang
tidak secara detail mengatur suatu hal, sehingga memberikan ruang bagi pembentuk
undang-undang untuk menafsirkan dan menerapkannya berdasarkan situasi dan kebu-
tuhan.

Beberapa ciri utama open legal policy:


 Kebebasan bagi pembentuk undang-undang: Pembentuk undang-undang
memiliki kewenangan untuk menentukan pengaturan suatu hal secara bebas.
 Ketidakpastian hukum: Ketiadaan aturan yang detail dapat menimbulkan keti-
dakpastian hukum.
 Peran penting hakim: Hakim memiliki peran penting dalam menafsirkan dan
menerapkan undang-undang yang bersifat open legal policy.
 Potensi penyalahgunaan: Kebebasan yang diberikan kepada pembentuk un-
dang-undang dapat membuka peluang penyalahgunaan.
Contoh penerapan open legal policy:
 Pengaturan mengenai tindak pidana korupsi: Undang-undang Tipikor tidak
secara detail mengatur semua bentuk tindak pidana korupsi, sehingga mem-
berikan ruang bagi penegak hukum untuk menafsirkan dan menerapkannya
berdasarkan situasi dan kebutuhan.
 Pengaturan mengenai ketenagakerjaan: Undang-undang Ketenagakerjaan
tidak secara detail mengatur semua jenis pekerjaan dan upah, sehingga
memberikan ruang bagi pengusaha dan pekerja untuk berunding dan menen-
tukannya sendiri.
Diketahui bahwa Penerapan open legal policy dapat memiliki konsekuensi positif dan
negatif. Di satu sisi, open legal policy dapat memberikan fleksibilitas dan responsivi-
tas terhadap situasi dan kebutuhan yang berkembang. Di sisi lain, open legal policy
dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan potensi penyalahgunaan.
Oleh karena itu, penerapan open legal policy harus dilakukan dengan hati-hati dan
disertai dengan mekanisme kontrol yang efektif.

88
Ironisnya, upaya untuk menyelesaikan delegitimasi sosial melalui jalur juristokrasi,
terutama pengujian di MK, tidak selalu berhasil. MK sering menolak memeriksa dan
mengadili perkara yang seharusnya berada di domain eksekutif dan legislatif. Hal ini
menciptakan kondisi ketatanegaraan yang dapat disebut sebagai "deadlock," di mana
tanggung jawab antara pembentuk undang-undang dan lembaga peradilan saling lem-
par. Meskipun diharapkan bahwa MK dapat memberikan penerobosan hukum melalui
aktivisme yudisial pada kasus-kasus kompleks yang bersifat "open legal," kenyataan-
nya, hakim-hakim di MK juga belum memilih untuk melibatkan diri dalam upaya
tersebut.

4. Hubungan MK dengan Lembaga lain

hubungan antara Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung juga terkait dengan ma-
teri perkara pengujian undang-undang. Setiap perkara yang telah diregistrasi wajib diberi-
tahukan kepada Mahkamah Agung, agar pemeriksaan atas perkara pengujian peraturan di
bawah undang-undang yang bersangkutan oleh Mahkamah Agung dihentikan sementara
sampai putusan atas perkara pengujian undang-undang yang bersangkutan dibacakan oleh
Mahkamah Konstitusi. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi pertentangan antara pengujian
undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dengan pengujian peraturan di
bawah undang- undang yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Mengenai kemungkinan sengketa kewenangan antar lembaga negara, untuk sementara
waktu menurut ketentuan Pasal 65 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
Mahkamah Agung dikecualikan dari ketentuan mengenai pihak yang dapat berperkara di
Mahkamah Konstitusi, khususnya yang berkaitan dengan perkara sengketa kewenangan an-
tar lembaga negara. Apakah pengecualian ini tepat? Sesungguhnya ketentuan semacam ini
kurang tepat, karena sebenarnya tidaklah terdapat alasan yang kuat untuk mengecualikan
Mahkamah Agung sebagai potential dalam perkara sengketa kewenangan. Salah satu
alasan mengapa pengecualian ini diadakan ialah karena pembentuk undang-undang men-
ganggap bahwa sebagai sesama lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman tidak seharusnya

89
Mahkamah Agung ditempatkan sebagai pihak yang berperkara di Mahkamah Konstitusi. Pu-
tusan Mahkamah Agung, seperti halnya Mahkamah Konstitusi bersifat final, dan karena itu
dikuatirkan jika Mahkamah Agung dijadikan pihak, putusannya menjadi tidak final lagi. Di
samping itu, timbul pula kekuatiran jika Mahkamah Agung menjadi pihak yang bersengketa
dengan Mahkamah Konstitusi, maka kewenangan utnuk memutus secara sepihak ada pada
Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, diambil jalan pintas untuk mengecualikan
Mahkamah Agung dari ketentuan mengenai pihak yang dapat berperkara dalam persoalan
sengketa kewenangan konstitusional di Mahkamah Konstitusi.

Padahal, dalam kenyataannya dapat saja Mahkamah Agung terlibat sengketa


dalam menjalankan kewenangannya dengan lembaga negara lain menurut Undang-
Undang Dasar di luar urusan putusan kasasi ataupun peninjauan kembali (PK) yang
bersifat final. Misalnya, ketika jabatan Wakil Ketua Mahkamah Agung yang lowong
hendak diisi, pernah timbul kontroversi, lembaga manakah yang berwenang memilih
Wakil Ketua Mahkamah Agung tersebut. Menurut ketentuan UUD, ketua dan wakil
ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh anggota Mahkamah Agung. Tetapi,
menurut ketentuan UU yang lama tentang Mahkamah Agung yang ketika itu masih
berlaku, mekanisme pemilihan Wakil Ketua Mahkamah Agung itu masih dilakukan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Jika kontroversi itu berlanjut dan menimbulkan sen-
gketa antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat berkenaan dengan kewenan-
gan yang dimiliki oleh DPR atau MA, maka otomatis Mahkamah Agung harus bertin-
dak sebagai pihak dalam berperkara di Mahkamah Konstitusi.

Namun demikian, terlepas dari persoalan tersebut di atas, yang jelas ketentuan UU
No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang mengecualikan Mahkamah
Agung seperti itu dapat diterima sekurang-kurangnya untuk sementara ketika
Mahkamah Konstitusi sendiri baru didirikan. Jika praktek penyelenggaraan peradilan
konstitusi ini nantinya telah berkembang sedemikian rupa, bukan tidak mungkin suatu
saat nanti ketentuan UU tentang Mahkamah Konstitusi mengenai hal tersebut dapat
disempurnakan sebagaimana mestinya. Dengan demikian, hubungan antara
Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung berkaitan dengan status MA se-
bagai salah satu lembaga pengisi jabatan hakim konstitusi dan status MA sebagai
penguji peraturan di bawah undang- undang dapat diadakan perubahan sebagaimana
mestinya.

90
Ketika pernah timbul perselisihan antara BPK dengan Mahkamah Agung dalam uru-
san pemeriksaan oleh BPK terhadap pengelolaan biaya perkara di pengadilan dalam
lingkungan Mahkamah Agung, Mahkamah Agung berpendapat bahwa biaya perkara
tersebut adalah dana titipan pihak yang berperkara, karena itu, tidak dapat dikate-
gorikan sebagai keuangan negara yang dijadikan objek pemeriksaan oleh BPK. Untuk
mengatasi hal itu, keduanya terutama pihak Mahkamah Agung berpendirian bahwa
hal ini tidak dapat dijadikan objek sengketa di Mahkamah Konstitusi, karena
Mahkamah Agung tidak dapat dijadikan pihak dalam berperkara di Mahkamah Kon-
stitusi. Untuk mengatasi hal itu, selaku Ketua MK ketika itu saya mengambil inisiatif
mengadakan pembicaraan dengan Wakil Presiden dan kemudian dengan Presiden un-
tuk menyelesaikan perselisihan tersebut melalui jalur di luar pengadilan (out of court
settlement). Alhamdulillah hal itu dapat diselesaikan dengan kesepakatan bersama
dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai pengelolaan
biaya perkara yang terkait dengan ketentuan mengenai PNBP (Pendapatan Negara
Bukan Pajak) yang tentunya akan dapat diperiksa sebagaimana mestinya oleh BPK.
Pengalaman itulah yang mendorong Mahkamah Konstitusi menetapkan Peraturan
Mahkamah Konstitusi yang mengatur kemungkinan Mahkamah Agung menjadi pihak
yang berperkara dalam sengketa lembaga negara di Mahkamah Konstitusi, yaitu den-
gan mengadakan aturan pengecualian terhadap ketentuan UU MK yang menentukan
bahwa MA tidak dapat menjadi pihak dalam berperkara di MK. Ketentuan yang
mengecualikan MA sebagai pihak dalam perkara di MK, ditafsirkan oleh MK dalam
Peraturan yang ditetapkannya, yaitu hanya sepanjang yang terkait dengan putusan-pu-
tusan Mahkamah Agung dalam menjalankan kewenangannya di bidang yudisial.
Artinya, semua putusan MA seperti kasasi tidak dapat lagi diperkarakan di MK yang
dapat menjadikan MA sebagai pihak yang diperkarakan. Akan tetapi, untuk hal-hal
lain di luar perkara, seperti misalnya soal administrasi pengelolaan biaya perkara,
maka hal tersebut tidak termasuk ke dalam pengertian yang dikecualikan oleh Pasal
65 UU tentang MK tersebut.

1. Hubungan dengan Dewan Perwakilan Rakyat

Dewan Perwakilan Rakyat adalah organ pembentuk undang-undang. Karena itu,


dalam memeriksa undang-undang yang diajukan pengujiannya, Mahkamah Konstitusi
harus memperhatikan dan mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh keterangan,
baik lisan maupun tertulis dari pihak Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pembentuk

91
Undang- Undang. Di samping itu, seperti sudah dikemukakan di atas, DPR juga
merupakan salah satu lembaga yang berwenang mengisi 3 (tiga) orang hakim konsti-
tusi dengan cara memilih calon-calon untuk diajukan 3 (tiga) orang terpilih kepada
Presiden yang selanjutnya akan menerbitkan putusan Presiden untuk mengangkat
mereka bertiga sebagaimana mestinya.

Dewan Perwakilan Rakyat juga dapat bertindak sebagai pihak dalam persidangan
perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara. Misalnya, DPR dapat saja
berwengketa dengan Dewan Perwakilan Daerah dalam menjalankan kewenangannya
menurut Undang-Undang Dasar. Begitu juga DPR dapat saja bersengketa dengan
Presiden, dengan BPK, atau dengan MPR dalam menjalankan kewenangan-kewenan-
gan yang diberikan oleh Undan-Undang Dasar kepada lembaga-lembaga tersebut. Di
samping itu, DPR juga berperan penting dalam penentuan anggaran negara, termasuk
dalam hal ini adalah anggaran MK yang tersendiri sesuai ketentuan Undang-Undang.

Dengan perkataan lain, hubungan antara Mahkamah Konstitusi dengan Dewan Per-
wakilan Rakyat dapat berkaitan dengan status DPR sebagai salah satu lembaga
pengisi jabatan hakim konstitusi, DPR sebagai pembentuk undang-undang, dan DPR
sebagai lembaga negara yang berpotensi bersengketa dengan lembaga negara lain
dalam menjalankan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Di
samping itu, sengketa hasil pemilihan umum yang berpengaruh terhadap terpilih
tidaknya anggota DPR; dan yang terakhir pernyataan pendapat DPR bahwa Presiden
atau Wakil Presiden telah melanggar hukum atau telah tidak lagi memenuhi syarat se-
bagai Presiden/Wakil Presiden sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945, juga diten-
tukan dan diputuskan oleh MK. Dalam hal yang terakhir ini, DPR bertindak sebagai
pemohon kepada MK.
DPR adalah lembaga perwakilan rakyat yang mencerminkan sistem demokrasi per-
wakilan (representative democracy). Sebagai lembaga demokrasi, prosedur yang
lebih diutamakan dalam proses pengambilan putusan politik di DPR adalah mayoritas
suara (majoritarian democracy) berdasarkan prinsip “Majority Rule”. Namun
demikian, prinsip suara terbanyak itu sendiri tidak identik dengan kebenaran konstitu-
sional (constitutional truth) ataupun keadilan konstitusional (constitutional justice).
Jika demokrasi tidak hanya dipahami sebagai prosedur (procedural democracy), maka
prinsip “majority rule” harus dilengkapi dengan prinsip “minority rights” yang
harus dicerminkan dengan tegaknya “rule of law”, yang dimulai dengan tegaknya
konstitusi sebagai hukum tertinggi (the rule of the constitution). Meskipun UU
yang ditetapkan oleh DPR sudah mencerminkan kehendak mayoritas wakil rakyat,

92
tetapi jika suara mayoritas itu merugikan hak-hak asasi manusia suara minoritas,
suara mayoritas itu tetap harus dapat dibatalkan karena melanggar konstitusi.
Untuk itulah diperlukan lembaga peradilan yang akan menjaga dan mengawal
tegaknya konstitusi sebagai hukum tertinggi itu. Itulah pada hakikatnya fungsi
Mahkamah Konstitusi, yang antara lain yaitu untuk mengawal konstitusi, men-
gawal demokrasi, dan bahkan melindungi hak-hak minoritas.
Hubungan dengan Presiden/Pemerintah
Selain bertindak sebagai penyelenggara administrasi negara tertinggi dan karena itu,
semua pengangkatan pejabat negara, termasuk hakim konstitusi dilakukan dengan pu-
tusan Presiden, Presiden sendiri diberi wewenang oleh UUD untuk menentukan
pengisian 3 dari 9 hakim konstitusi. Di samping itu, segala ketentuan mengenai struk-
tur organisasi dan tata kerja serta kepegawaian Mahkamah Konstitusi tetap harus tun-
duk di bawah kewenangan administrasi negara yang berpuncak pada Presiden.
Karena itu, meskipun MK bersifat independen sebagai lembaga merdeka
yang tidak boleh diintervensi oleh lembaga manapun termasuk pemerintah, tetapi
Sekretaris Jenderal/kesekretariat-jenderalan dan Panitera/kepaniteraan MK tetap
merupakan bagian dari sistem adminitrasi negara yang berpuncak pada lembaga
kepresidenan. Tentu saja, dalam menjalankan tugasnya, Sekretaris Jenderal dan Panit-
era bertanggung jawab kepada Ketua Mahkamah Konstitusi, bukan kepada Presiden.
Karena itu, Ketua MK selain bertindak sebagai ketua persidangan, juga bertindak se-
bagai penanggungjawab umum administrasi negara di lingkungan Mahkamah Konsti-
tusi.
Selain itu, Presiden/Pemerintah juga mempunyai peran sebagai ko-legislator.
Meskipun pembentuk undang-undang secara konstitusional adalah DPR, tetapi karena
perannya yang besar dalam proses pembahasan bersama dengan DPR, dan adanya ke-
tentuan bahwa setiap rancangan undang-undang menghendaki persetujuan
bersama serta kedudukan Presiden sebagai pejabat yang mengesahkan rancangan un-
dang-undang menjadi undang-undang, maka Presiden juga dapat disebut sebagai ko-
legislator. Dalam kedudukannya yang demikian, kedudukan Presiden terlihat lebih
lemah seperti yang tercermin dalam kenyataan bahwa apabila RUU telah disahkan
oleh DPR sebagai tanda telah mendapat persetujuan bersama, maka dalam 30 hari se-
jak itu, meskipun RUU tersebut tidak disahkan/ditandatangani oleh Presiden, maka
RUU tersebut berlaku dengan
sendirinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 pasca Peruba-
han. Namun, dalam praktik, ketentuan Pasal 20 ayat (5) itu tidaklah mencerminkan

93
kelemahan posisi Presiden dalam pembentukan undang-undang. Jika suatu undang-
undang tidak mendapat persetujuan Presiden dengan sendirinya kewajiban Presiden
pada Pasal 20 ayat (5) itu tidak perlu dilaksanakan. Karena itu, bagaimanapun juga
kedudukan Presiden dan DPR dalam bidang legislasi dapat dikatakan tetap seimbang,
sama-sama kuat.
Dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi sendiri, setiap pengujian Undang- Un-
dang oleh MK tidak boleh mengabaikan pentingnya keterangan, baik lisan ataupun
tulisan, dari pihak pemerintah sebagai ko-legislator itu. Apalagi, di samping sebagai
ko- legislator, Pemerintah/Presiden juga merupakan salah satu lembaga pelaksana un-
dang- undang (eksekutif). Karena itu, Pemerintah sangat tepat untuk disebut sebagai
pihak yang paling tahu dan mengerti mengenai latar maupun kegunaan atau kerugian
yang diperoleh karena ada atau tidak adanya Undang-Undang yang bersangkutan.
Karena itu, dalam setiap pengujian UU, keterangan dari pihak pemerintah seperti hal-
nya keterangan dari pihak DPR sangat diperlukan oleh MK, kecuali dalam perkara-
perkara yang menurut penilaian MK sendiri demikian sederhananya sehingga tidak
lagi memerlukan keterangan Pemerintah atau DPR.

Dalam hal perkara pembubaran partai politik, yang bertindak sebagai pemohon
adalah pemerintah. Sedangkan dalam perkara perselisihan hasil pemilihan umum, pe-
merintah tidak boleh terlibat sama sekali, karena Presiden, Gubernur, Bupati, dan
Walikota adalah pihak yang terlibat kepentingan, sehingga mereka ini tidak boleh
ikut campur dalam urusan perselisihan hasil pemilihan umum. Dalam penentuan rin-
cian dan realisasi anggaran APBN, meskipun besarannya telah ditetapkan seba-
gaimana mestinya dalam APBN, tetapi pelaksanaannya lebih lanjut tetap memerlukan
dukungan pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan sebagaimana mestinya.
Namun demikian, hal itu tidak boleh mempengaruhi keterpisahan hubungan antara
Pemerintah dengan Mahkamah Konstitusi, dan tidak boleh mempengaruhi atau
mengganggu Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugas konstitusional di
bidang peradilan.

2. Hubungan dengan Komisi Yudisial

Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menyebut: “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang
berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta peri-
laku hakim”. Dalam ayat (4) pasal tersebut ditentukan pula: “Susunan, ke-

94
dudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang”.
Dibaca secara harfiah, maka subjek yang akan diawasi oleh Komisi Yudisial ini
adalah semua hakim menurut Undang-Undang Dasar 1945. Artinya, semua hakim
dalam jajaran Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi termasuk dalam penger-
tian hakim menurut Pasal 24B ayat (1) tersebut. Namun demikian, jika ditelusuri se-
jarah perumusan Pasal 24B ayat (1) tersebut, ketentuan Pasal 24C yang mengatur ten-
tang Mahkamah Konstitusi tidak terkena maksud pengaturan yang tercantum dalam
Pasal 24B tentang Komisi Yudisial. Fungsi komisi ini semula hanya dimaksudkan
terkait dengan Mahkamah Agung yang diatur dalam Pasal 24A. Komisi Yudisial
berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung, dan karena itu subjek hukum
yang diawasi oleh Komisi Yudisial juga adalah para hakim agung pada Mahkamah
Agung.
Namun demikian, karena secara harfiah, Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 hanya menye-
but perkataan “... serta perilaku hakim”, bukan “... serta perilaku hakim agung”,
maka tafsir fungsi Komisi Yudisial menurut ayat ini mau tidak mau tidak terbatas
hanya pada hakim agung, melainkan seluruh hakim. Akan tetapi, keseluruhan
hakim yang dimaksudkan itupun hanya terbatas pada jajaran hakim di lingkungan
Mahkamah Agung, dan tidak mencakup pengertian hakim konstitusi. Baik se-
cara historis (historical interpretation) maupun secara sistematis (systematic inter-
pretation) yaitu dengan melihat urutan sistematis pasal demi pasal, hakim konstitusi
memang tidak termasuk subjek yang diawasi oleh Komisi Yudisial. Namun demikian,
berdasarkan penafsiran harfiah, hakim konstitusipun dapat pula dimasukkan ke dalam
pengertian hakim yang diawasi menurut ketentuan Pasal 24B ayat (1) tersebut. Oleh
karena itulah Undang-Undang No. 22 Tahun
2004 tentang Komisi Yudisial menganut pengertian yang terakhir ini, yaitu menaf-
sirkan kata „hakim? dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 secara luas sehingga
mencakup seluruh jajaran hakim dalam lingkungan Mahkamah Agung dan se-
mua hakim pada Mahkamah Konstitusi. Ketentuan mengenai hal ini dapat dilihat
dalam Bab III mengenai wewenang dan tugas Komisi Yudisial, yaitu dalam keten-
tuan Pasal 13 sampai dengan Pasal 25 UU No.22 Tahun 2004 tersebut. Dengan
demikian, Komisi Yudisial berfungsi sebagai lembaga pengawas Mahkamah Konsti-
tusi, yaitu melalui kewenangannya untuk menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku para hakim konstitusi sebagaimana mestinya.
Namun dalam perkembangannya, oleh Mahkamah Konstitusi, pasal tersebut diny-
atakan bertentangan dengan UUD 1945 pasal 24B itu ketika dirumuskan oleh Badan

95
Pekerja MPR memang tidak terkait dengan MK sama sekali. Secara konsepsional,
pelembagaan KY memang berasal dari konsep pengawasan etik yang bersifat inter-
nal dalam struktur kelembagaan Mahkamah Agung yang dengan maksud agar da-
pat bekerja lebih efektif dan independen, dikeluarkan dari dan berdiri sendiri di luar
struktur MA. Karena itu, eksisten KY hanya berkaitan dengan MA, dan sama sekali
tidak berhubungan structural ataupun fungsional dengan MK. Bahkan, dapat
dikatakan bahwa Komisi Yudisial itu sendiri bukan lembaga yang menjalankan
fungsi kekuasaan negara yang tersendiri (performing governing function), melainkan
hanya berfungsi penunjang (auxiliary state's organ) bagi keberadaan Mahkamah
Agung sebagai lembaga yang menjalankan kekuasaan kehakiman, sehingga oleh
karena itu tidak dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara yang tersendiri dalam
pergaulan antar lembaga tinggi negara seperti yang selama ini dipraktikkan. KY
bukanlah lembaga tinggi negara dan dengan demikian juga ketuanya bukanlah peja-
bat tinggi negara yang tepat untuk bergaul dengan lembaga politik dan pimpinan lem-
baga-lembaga politik seperti MPR, DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden, karena
hal itu dapat membuka ruang bagi munculnya anggapan seakan-akan kekuatan-keku-
atan politik akan dapat dengan mudah melakukan intervensi atau pun mempengaruhi
kinerja cabang kekuasaan kehakiman sebagai akibat pergaulan antar lembaga tinggi
negara dan antar pejabat tinggi yang demikian itu. Idealnya, Ketua MA, Ketua MK,
dan Ketua KY yang berada dalam lingkungan kekuasaan judikatif, mempunyai
lingkungan pergaulan tersendiri di luar pergaulan antar cabang kekuasaan lembaga-
lembaga eksekutif dan legislatif.

3. Hubungan dengan Presiden

Hubungan antara MK dan Presiden merupakan salah satu aspek penting


dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Hubungan ini tidak hanya terbatas
pada proses administrasi dan prosedural, seperti pemakzulan, tetapi juga
mencakup aspek yang lebih luas, seperti produk MK yang berlaku sebagai
undang-undang. Berikut penjelasan rinci mengenai hubungan MK dan Presi-
den:
1. Hubungan Fungsional:
 Pengujian Undang-Undang: MK berwenang menguji undang-undang ter-
hadap UUD 1945. Putusan MK yang menyatakan suatu undang-undang
inkonstitusional memiliki kekuatan hukum mengikat dan wajib ditaati oleh

96
Presiden. Contohnya, Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 yang menyatakan
bahwa UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Ne-
gara serta Lagu Kebangsaan bertentangan dengan UUD 1945.
 Pemakzulan Presiden: MK berwenang memutus permohonan DPR untuk
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan putusan
Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berat dan/atau
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
 Penguatan dan Pembatalan Ketetapan MPR: MK berwenang menguji Keteta-
pan MPR terhadap UUD 1945. Contohnya, Putusan MK No. 003/PUU-I/2003
yang menyatakan bahwa Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998 tentang GBHN
bertentangan dengan UUD 1945.
 Penguatan dan Pembatalan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Un-
dang (Perppu): MK berwenang menguji Perppu terhadap UUD 1945. Con-
tohnya, Putusan MK No. 137/PUU-VII/2009 yang menyatakan bahwa Perppu
No. 1 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan UUD 1945.
 Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (Pemilu): MK berwenang
memutus perselisihan hasil pemilihan umum Presiden dan/atau Wakil Presi-
den. Contohnya, Putusan MK No. 186/PHPU-PRES/2014 yang menyatakan
bahwa gugatan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa terhadap hasil Pilpres
2014 ditolak.
 Pemberian Putusan atas Permohonan Pembubaran Partai Politik: MK berwe-
nang memutus permohonan pembubaran partai politik yang diajukan oleh
Pemerintah atau Mahkamah Agung. Contohnya, Putusan MK No. 138/PUU-
VII/2009 yang menyatakan bahwa UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Poli-
tik bertentangan dengan UUD 1945.
2. Hubungan Administrasi:
 Presiden mengangkat hakim konstitusi berdasarkan usulan dari lembaga-
lembaga negara.
 Presiden menetapkan anggaran MK.
 Presiden melantik hakim konstitusi.

97
3. Hubungan Prosedural:
 Presiden mengajukan permohonan pengujian undang-undang kepada MK.
 Presiden mengajukan permohonan pembubaran partai politik kepada MK.
 Presiden menyampaikan pidato di hadapan MPR/DPR dalam rangka
penyampaian RUU APBN dan RAPBN-P.
4. Produk MK yang Berlaku sebagai Undang-Undang:
 Putusan MK yang menyatakan suatu undang-undang inkonstitusional secara
keseluruhan atau sebagian memiliki kekuatan hukum mengikat dan wajib di-
taati oleh Presiden.
 Putusan MK yang bersifat final dan mengikat.
5. Mekanisme Penyampaian Putusan MK kepada Presiden:
 Putusan MK disampaikan kepada Presiden melalui Panitera MK.
 Presiden menandatangani putusan MK.
 Putusan MK diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
(LNRI).
 Putusan MK diberitahukan kepada Mahkamah Agung dan lembaga-lembaga
negara lainnya.
Contoh Konkrit:
Pada tahun 2009, MK memutus bahwa UU No. 24 Tahun 2009 tentang Ben-
dera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan bertentangan
dengan UUD 1945. Putusan ini mewajibkan Presiden untuk mencabut UU
tersebut dan memerintahkan Menteri Hukum dan HAM untuk tidak mengun-
dangkannya dalam Lembaran Negara. Presiden kemudian mencabut UU
tersebut dan memerintahkan Menteri Hukum dan HAM untuk tidak mengun-
dangkannya.

Pengujian Undang-Undang dan Pemisahan MK dan MA

Kewenangan terakhir yang justru paling penting dari 4 macam kewenangan ditambah
1 kewajiban (atau dapat juga disebut 5 kewenangan) yang dimiliki Mahkamah Kon-
stitusi menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah kewenangan
menguji konstitusionalitas undang-undang. Tanpa harus mengecilkan arti pentingnya

98
kewenangan lain dan apalagi tidak cukup ruang untuk membahasnya dalam makalah
singkat ini, maka dari kelima kewenangan tersebut, yang dapat dikatakan paling
banyak mendapat sorotan di dunia ilmu pengetahuan adalah pengujian atas konstitu-
sionalitas UU. Pengujian atas UU dilakukan dengan tolok ukur UUD. Pengujian da-
pat dilakukan secara materiel atau formil. Pengujian materiel menyangkut pengujian
atas materi UU, sehingga yang dipersoalkan harus jelas bagian mana dari UU yang
bersangkutan bertentangan dengan ketentuan mana dari UUD. Yang diuji dapat ter-
diri hanya 1 bab, 1 pasal, 1 kaimat ataupun 1 kata dalam UU yang bersangkutan.
Sedangkan pengujian formil adalah pengujian mengenai proses pembentukan UU
tersebut menjadi UU apakah telah mengikuti prosedur yang berlaku atau tidak.
Sejarah pengujian (judicial review) dapat dikatakan dimulai sejak kasus Marbury ver-
sus Madison ketika Mahkamah Agung Amerika Serikat dipimpin oleh John Marshall
pada tahun 180314. Sejak itu, ide pengujian UU menjadi populer dan secara luas
didiskusikan dimana-mana. Ide ini juga mempengaruhi sehingga 'the fouding fathers'
Indonesia dalam Sidang BPUPKI tanggal 15 Juli 1945 mendikusikannya secara
mendalam. Adalah Muhammad Yamin yang pertama sekali mengusulkan agar MA
diberi kewenangan untuk “… membanding undang-undang…”, demikian istilah
Muhammad Yakim ketika itu. Akan tetapi, ide ini ditolak oleh Soepomo karena dini-
lai tidak sesuai dengan paradigma yang telah disepekati dalam rangka penyusunan
UUD 1945, yaitu bahwa UUD Indonesia itu menganut sistem supremasi MPR dan
tidak menganut ajaran
'trias politica' Montesquieu, sehingga tidak memungkinkan ide pengujian UU dapat
diadopsikan ke dalam UUD 1945.
Namun, sekarang, setelah UUD 1945 mengalami perubahan 4 kali, paradigma
pemikiran yang terkandung di dalamnya jelas sudah berubah secara mendasar.
Sekarang, UUD 1945 tidak lagi mengenal prinsip supremasi parlemen seperti se-
belumnya. Jika sebelumnya MPR dianggap sebagai pelaku kedaulatan rakyat
sepenuhnya dan sebagai penjelmaan seluruh rakyat yang mempunyai kedudukan tert-
inggi dan dengan kekuasaan yang tidak terbatas18, maka sekarang – setelah Peruba-
han Keempat UUD 1945 MPR itu bukan lagi lembaga satu-satunya sebagai pelaku
kedaulatan rakyat. Karena Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh
rakyat, maka di samping MPR, DPR dan DPD sebagai pelaku kedaulatan rakyat di
bidang legislatif, kita harus pula memahami kedudukan Presiden dan Wakil Presiden
juga sebagai pelaku kedaulatan rakyat di bidang eksekutif dengan mendapatkan man-
dat langsung dari rakyat melalui pemilihan umum. Di samping itu, karena sejak Pe-

99
rubahan Pertama sampai Keempat, telah terjadi proses pergeseran kekuasaan legis-
latif dari tangan Presiden ke tangan DPR, maka mau tidak mau kita harus memahami
bahwa UUD 1945 sekarang menganut prinsip pemisahan kekuasaan yang tegas antara
cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan judiktif dengan mengandaikan
adanya hubungan 'checks and balances' antara satu sama lain. Oleh karena itu, se-
mua argumen yang dipakai oleh Soepomo untuk menolak ide pengujian un-
dang-undang seperti tergambar di atas, dewasa ini, telah mengalami perubahan,
sehingga fungsi pengujian undang-undang itu tidak dapat lagi dihindari dari penera-
pannya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia di bawah UUD 1945.

Bahkan, seperti juga terjadi di semua negara-negara lain yang sebelumnya menganut
sistem supremasi parlemen dan kemudian berubah menjadi negara demokrasi, fungsi
pengujian undang-undang ditambah fungsi-fungsi penting lainnya itu selalu dilemba-
gakan ke dalam fungsi lembaga Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri di luar or-
gan Mahkamah Agung. Kecenderungan seperti dapat dilihat di semua negara eks ko-
munis yang sebelumnya menganut prinsip supremasi parlemen lalu kemudian
berubah menjadi demokrasi, selalu membentuk Mahkamah Konstitusi yang berdiri
sendiri di luar Mahkamah Agung. Tentu ada juga model-model kelembagaan
Mahkamah Konstitusi yang berbeda dari satu negara ke negara lain. Ada negara yang
mengikuti model Venezuella dimana Mahkamah Konstitusinya berada dalam
lingkungan Mahkamah Agung, ada pula negara yang tidak membentuk lembaga yang
tersendiri, melainkan menganggapnya cukup mengaitkan fungsi mahkamah ini seba-
gai salah satu tambahan fungsi Mahkamah Agung yang sudah ada. Amerika Serikat
dan semua negara yang dipengaruhinya menganut pandangan seperti ini. Akan tetapi,
sampai sekarang, di seluruh dunia terdapat 78 negara yang melembagakan bentuk or-
gan konstitusi ini sebagai lembaga tersendiri di luar Mahkamah Agung.

Negara pertama yang tercatat mempelopori pembentukan lembaga baru ini adalah
Austria pada tahun 192024, dan terakhir adalah Thailand pada tahun 1998 untuk se-
lanjutnya Indonesia menjadi negara ke-78 yang membentuk lembaga baru ini berdiri
sendiri di luar Mahkamah Agung. Namun di antara ke-78 negara itu, tidak semua
menyebutnya Mahkamah Konstitusi. Negara-negara yang dipengaruhi oleh Perancis
menyebutnya Dewan Konstitusi (Counseil Constitutionnel) atau Belgia yang menye-
butnya Arbitrase Konstitusional (Constitutional Arbitrage). Orang Perancis cen-
derung menyebutnya demikian, karena lembaga ini tidak dianggap sebagai pengadi-
lan dalam arti yang lazim. Karena itu, para anggotanya juga tidak disebut hakim.

100
Terlepas dari perbedaan ini, yang jelas di ke-78 negara itu, Mahkamah Konsti-
tusi itu dilembagakan tersendiri di luar Mahkamah Agung.

Mengapa keduanya dinilai perlu dipisahkan? Karena pada hakikatnya, keduanya me-
mang berbeda. MA lebih merupakan pengadilan keadilan (court of justice), sedan-
gkan MK lebih berkenaan dengan lembaga pengadilan hukum (court of law). Me-
mang tidak dapat dibedakan seratus persen dan mutlak sebagai 'court of justice' ver-
sus „court of law? yang usulan yang saya sendiri sering lontarkan sebelumnya. Sem-
ula, formula yang saya usulkan adalah seluruh kegiatan 'judicial review' diserahkan
kepada MK, sehingga MA dapat berkonsentrasi menangani perkara-perkara yang
diharapkan dapat mewujudkan rasa adil bagi setiap warganegara. Akan tetapi, ny-
atanya UUD 1945 tetap memberikan kewenangan pengujian terhadap peraturan di
bawah UU kepada MA. Di pihak lain, MK juga diberi tugas dan kewajiban memutus
dan membuktikan unsur kesalahan dan tanggungjawab pidana Presiden dan/atau
Wakil Presiden yang menurut pendapat DPR telah melakukan pelanggaran hukum
menurut UUD. Dengan kata lain, MA tetap diberi kewenangan sebagai „court of
law' di samping fungsinya sebagai „court of justice'. Sedangkan MK tetap diberi
tugas yang berkenaan dengan fungsinya sebagai „court of justice' di samping fungsi
utamanya sebagai 'court of law'. Artinya, meskipun keduanya tidak dapat dibedakan
secara seratus persen antara „court of law' dan 'court of justice', tetapi pada hakikat-
nya penekanan fungsi hakiki keduanya memang berbeda satu sama lain. MA lebih
merupakan 'court of justice' daripada „court of law'. Sedangkan MK lebih merupakan
'court of law' daripada „court of justice'.

Keduanya sama-sama merupakan pelaku kekuasaan kehakiman menurut ke-


tentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 194530. Tetapi, Mahkamah Konstitusi berfungsi seba-
gai pengawal UUD (the guardian of the the constitution), sedangkan Mahkamah
Agung merupakan pengawal UU dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Demikianlah beberapa catatan ringkas berkenaan dengan Mahkamah Konstitusi itu
dalam sistem ketatanegaraan dan dalam sistem kekuasaan kehakiman Republik In-
donesia yang baru berdasarkan UUD 1945 pasca Perubahan Keempat.

5. Hakim MK
Mahkamah Konstitusi (MK) bagaikan sebuah mercusuar di tengah samudra
demokrasi Indonesia. Ia memancarkan cahaya keadilan dan konstitusi, me-

101
nuntun bangsa ini di tengah gelombang politik dan hukum yang dinamis. In-
dependensi MK, baik secara struktural maupun fungsional, menjadi pondasi
kokoh yang menopang perannya sebagai benteng demokrasi.
Struktur MK dirancang dengan cermat untuk memastikan independensinya.
Keanggotaan MK terdiri dari hakim-hakim yang dipilih melalui proses selektif
dan ketat dengan maksud dan tujuan agar para hakim, bebas dari intervensi
politik. Masa jabatan mereka pun terbilang panjang, yaitu 15 tahun, dengan
jaminan tidak dapat diberhentikan oleh presiden. Hal ini memberikan mereka
kebebasan dan keamanan dalam menjalankan tugasnya tanpa rasa takut
atau tekanan.
Sayangnya semua ini tinggalah harapan kosong karena MK dalam perkem-
bangannya dewasa ini, justru terdistorsi oleh berbagai intrik dan interferensi
politik terutama dari unsur DPR.
Meski demikian, organ MK lainnya masih terbilang andal untuk mendukung
kinerja MK. Pendanaan MK diatur secara khusus, terpisah dari anggaran pe-
merintah. Hal ini memastikan MK tidak terikat pada kepentingan politik atau
ekonomi pihak manapun. Kebebasan finansial ini memungkinkan MK untuk
fokus pada tugas utamanya, yaitu menegakkan konstitusi dan menjaga
demokrasi.
Independensi Fungsional: Garda Terdepan Keadilan Konstitusi
Independensi MK bukan hanya sebatas struktur, tetapi juga tercermin dalam
fungsinya. Kewenangan MK dalam mengadili perkara-perkara konstitusi,
seperti pengujian undang-undang terhadap konstitusi, perselisihan hasil
pemilihan umum, dan perselisihan antar lembaga negara, menjadikannya se-
bagai garda terdepan dalam menegakkan konstitusi.
Proses pengambilan keputusan di MK dilandaskan pada konstitusi dan
hukum yang berlaku, tanpa campur tangan dari pihak manapun. Para hakim
MK diikat oleh sumpah jabatan untuk menjalankan tugasnya dengan penuh
integritas dan objektivitas.
Putusan MK bersifat final dan mengikat, menjadi bukti nyata independensinya
dalam menjalankan fungsinya. Putusan-putusan ini memiliki pengaruh besar

102
dalam shaping the course of the nation, menentukan arah dan masa depan
bangsa Indonesia.
Hakim Konstitusi: Nakhoda Kapal Keadilan
Di tengah samudra demokrasi, hakim konstitusi bagaikan nakhoda yang
mengemudikan kapal keadilan. Mereka memiliki peran sentral dalam men-
jalankan fungsi, tugas, wewenang, dan kewajiban MK.
Keahlian, integritas, dan independensi hakim konstitusi menjadi kunci utama
dalam menjalankan peran ini. Mereka harus mampu memahami kompleksitas
konstitusi dan hukum, serta memiliki keberanian untuk mengambil keputusan
yang adil dan objektif, bahkan di tengah situasi yang penuh tekanan dan kon-
troversi.
Mahkamah Konstitusi, Pilar Demokrasi yang Kokoh
Independensi MK, baik secara struktural maupun fungsional, menjadikannya
sebagai pilar demokrasi yang kokoh di Indonesia. Keberadaannya sebagai
benteng keadilan dan konstitusi sangatlah penting untuk menjaga stabilitas
dan kemajuan bangsa.
Hakim konstitusi, sebagai nakhoda kapal keadilan, memiliki tanggung jawab
besar dalam menjalankan peran ini. Dengan keahlian, integritas, dan inde-
pendensinya, mereka akan terus mengantarkan bangsa Indonesia menuju
masa depan yang demokratis dan sejahtera.
 Jimly Asshiddiqie. (2005). Mahkamah Konstitusi: Mengawal Konstitusi dan
Demokrasi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
 Mahfud MD. (2008). Mahkamah Konstitusi dan Perkembangan Hukum Tata
Negara Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Untuk mendukung independensinya, berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor


24 Tahun 2003 jo UU Nomor 8 Tahun 2011 jo UU Nomor 7 Tahun 2020 Mahkamah
Konstitusi mempunyai sembilan hakim yang diusulkan oleh 3 lembaga yaitu Presi-
den, DPR, dan Mahkamah Agung. Masing-masing meperoleh wewenang untuk men-
gusulkan 3 calon hakim.
Mekanisme pengangkatan hakim MK yang diusulkan DPR dan MA adalah sama,
yaitu melalui proses seleksi yang dilakukan oleh panitia seleksi. Panitia seleksi terdiri
dari unsur-unsur DPR, MA, dan masyarakat.

103
Proses seleksi hakim MK yang diusulkan DPR dan MA dimulai dengan pengumuman
pendaftaran. Setiap orang yang memenuhi syarat dapat mendaftar sebagai calon
hakim MK. Setelah pendaftaran ditutup, panitia seleksi akan melakukan seleksi ad-
ministrasi. Seleksi administrasi meliputi pemeriksaan kelengkapan berkas pendaf-
taran dan penilaian terhadap persyaratan administrasi yang telah dipenuhi oleh calon
hakim MK.

Calon hakim MK yang dinyatakan lulus seleksi administrasi akan mengikuti seleksi
tahap selanjutnya, yaitu seleksi uji kelayakan dan kepatutan. Seleksi uji kelayakan
dan kepatutan dilakukan oleh panitia seleksi dengan melibatkan unsur-unsur DPR,
MA, dan masyarakat. Seleksi uji kelayakan dan kepatutan meliputi pemeriksaan ter-
hadap:

1. Integritas

2. Kompetensi

3. Kewibawaan

4. Kemampuan bekerja sama

5. Kemampuan komunikasi

6. Kemampuan menganalisis

Calon hakim MK yang dinyatakan lulus seleksi uji kelayakan dan kepatutan akan dia-
jukan kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai hakim MK. Berikut adalah bagan
mekanisme pengangkatan hakim MK yang diusulkan DPR dan MA:

Perbedaan mekanisme pengangkatan hakim MK yang diusulkan DPR dan MA ter-


letak pada komposisi panitia seleksi. Panitia seleksi yang dibentuk oleh DPR terdiri
dari unsur-unsur DPR, masyarakat, dan pakar hukum. Sedangkan panitia seleksi yang
dibentuk oleh MA terdiri dari unsur-unsur MA, masyarakat, dan pakar hukum.

Perbedaan komposisi panitia seleksi ini dapat berdampak pada proses seleksi hakim
MK. Panitia seleksi yang dibentuk oleh DPR lebih cenderung mewakili kepentingan
politik, sedangkan panitia seleksi yang dibentuk oleh MA lebih cenderung mewakili
kepentingan hukum.

Adapun Mekanisme seleksi dan pengangkatan hakim MK yang diusulkan Presiden


sebagai berikut:

104
Presiden membentuk panitia seleksi hakim MK yang terdiri dari unsur-unsur pemer-
intah, DPR, dan masyarakat.

Panitia seleksi membuka pendaftaran untuk calon hakim MK.

Panitia seleksi melakukan seleksi administrasi terhadap calon hakim MK.

Panitia seleksi melakukan seleksi uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon hakim
MK.

Calon hakim MK yang dinyatakan lulus seleksi uji kelayakan dan kepatutan akan dia-
jukan kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai hakim MK.

Berikut adalah penjelasan lebih rinci dari masing-masing tahapan tersebut:

Tahapan 1: Pembentukan panitia seleksi

Presiden membentuk panitia seleksi hakim MK dengan putusan Presiden. Panitia se-
leksi terdiri dari unsur-unsur pemerintah, DPR, dan masyarakat. Unsur-unsur pemer-
intah diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri
Sekretaris Negara. Unsur-unsur DPR diwakili oleh 3 orang anggota DPR yang dipilih
oleh Komisi III DPR. Unsur-unsur masyarakat diwakili oleh 3 orang tokoh
masyarakat yang dipilih oleh Presiden.

Tahapan 2: Pendaftaran calon hakim MK

Panitia seleksi membuka pendaftaran untuk calon hakim MK. Setiap orang yang
memenuhi syarat dapat mendaftar sebagai calon hakim MK. Syarat untuk menjadi
calon hakim MK adalah sebagai berikut:

1. Warga Negara Indonesia

2. Berusia sekurang-kurangnya 40 tahun pada saat pengangkatan

3. Berpendidikan sekurang-kurangnya Sarjana Hukum

4. Memiliki pengalaman di bidang hukum sekurang-kurangnya 20 tahun

5. Memiliki ijazah doktor dalam bidang hukum

Pendaftaran calon hakim MK dilakukan secara online melalui website Mahkamah


Konstitusi.

105
Tahapan 3: Seleksi administrasi

Panitia seleksi melakukan seleksi administrasi terhadap calon hakim MK. Seleksi ad-
ministrasi meliputi pemeriksaan kelengkapan berkas pendaftaran dan penilaian ter-
hadap persyaratan administrasi yang telah dipenuhi oleh calon hakim MK.

Calon hakim MK yang dinyatakan lulus seleksi administrasi akan mengikuti seleksi
tahap selanjutnya, yaitu seleksi uji kelayakan dan kepatutan.

Tahapan 4: Seleksi uji kelayakan dan kepatutan

Seleksi uji kelayakan dan kepatutan dilakukan oleh panitia seleksi dengan melibatkan
unsur-unsur DPR, MA, dan masyarakat. Seleksi uji kelayakan dan kepatutan meliputi
pemeriksaan terhadap:

1. Integritas

2. Kompetensi

3. Kewibawaan

4. Kemampuan bekerja sama

5. Kemampuan komunikasi

6. Kemampuan menganalisis

Calon hakim MK yang dinyatakan lulus seleksi uji kelayakan dan kepatutan akan dia-
jukan kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai hakim MK.

Tahapan 5: Penetapan hakim MK

Presiden menetapkan calon hakim MK yang telah lulus seleksi uji kelayakan dan
kepatutan sebagai hakim MK melalui putusan Presiden. putusan Presiden tersebut ke-
mudian disampaikan kepada Mahkamah Konstitusi untuk diumumkan.

Hakim MK yang diusulkan Presiden dan telah ditetapkan sebagai hakim MK akan
menjalani masa jabatan selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 kali masa
jabatan berikutnya.

Mekanisme pemilihan dan pengangkatan hakim MK yang dilakukan berdasarkan 3

106
lembaga pengusul, yaitu Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung, memiliki beberapa
kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut antara lain:

1. Kemungkinan terjadinya politik transaksional.

Ketiga lembaga pengusul memiliki kepentingan dan motivasi yang berbeda-beda.


Presiden mewakili kepentingan eksekutif, DPR mewakili kepentingan legislatif, dan
Mahkamah Agung mewakili kepentingan yudikatif. Hal ini dapat menimbulkan
potensi terjadinya politik transaksional dalam pemilihan dan pengangkatan hakim
MK. Politik transaksional adalah praktik jual-beli jabatan atau kekuasaan. Dalam
konteks pemilihan dan pengangkatan hakim MK, politik transaksional dapat terjadi
jika salah satu lembaga pengusul menawarkan sesuatu kepada lembaga pengusul lain-
nya agar mengajukan calon hakim MK tertentu. Misalnya, Presiden menawarkan
proyek infrastruktur kepada DPR agar DPR mengajukan calon hakim MK yang di-
inginkan oleh Presiden.

2. Kemungkinan terjadinya konflik kepentingan.

Hakim MK memiliki kewenangan yang sangat luas, yaitu mengadili perkara-perkara


yang menyangkut konstitusi. Hal ini dapat menimbulkan potensi terjadinya konflik
kepentingan, jika hakim MK memiliki hubungan atau kepentingan dengan salah satu
lembaga pengusul. Konflik kepentingan adalah situasi di mana seseorang atau lem-
baga memiliki kepentingan yang bertentangan dalam suatu putusan. Dalam konteks
pemilihan dan pengangkatan hakim MK, konflik kepentingan dapat terjadi jika hakim
MK memiliki hubungan atau kepentingan dengan salah satu lembaga pengusul. Mis-
alnya, hakim MK memiliki hubungan keluarga dengan anggota DPR yang menga-
jukan calon hakim MK tersebut.

3. Kemungkinan terjadinya politisasi MK.

MK merupakan lembaga yang independen dan tidak boleh dipengaruhi oleh kepentin-
gan politik. Namun, mekanisme pemilihan dan pengangkatan hakim MK yang meli-
batkan 3 lembaga pengusul dapat menimbulkan potensi terjadinya politisasi MK.
Politisasi adalah proses masuknya unsur politik ke dalam suatu lembaga yang se-
harusnya independen. Dalam konteks MK, politisasi dapat terjadi jika hakim MK
dipengaruhi oleh kepentingan politik salah satu lembaga pengusul. Misalnya, hakim
MK mengeluarkan putusan yang menguntungkan lembaga pengusul yang menga-
jukannya.

107
Contoh politisasi paling nyata adalah kasus Pemberhentian Hakim Aswanto oleh
DPR pada tanggal 29 September 2022 lalu menimbulkan banjir kritik dari berbagai
pihak. Kritik tersebut diarahkan pada mekanisme pemberhentian yang dilakukan se-
cara sepihak oleh DPR, serta alasan-alasan yang digunakan untuk memberhentikan
Aswanto.

Mekanisme Pemberhentian yang Sepihak

Pasal 23 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konsti-
tusi (UU MK) mengatur bahwa pemberhentian hakim MK hanya dapat dilakukan
melalui putusan Presiden atas permintaan Ketua Mahkamah Konstitusi. Alasannya
pun diatur secara limitatif dalam Pasal 23 ayat (1) dan (2) UU MK, yaitu:

 Hakim MK telah melanggar sumpah/janji jabatan atau kode etik hakim.

 Hakim MK telah menjadi tersangka atau terdakwa dalam perkara pidana yang di-
ancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.

 Hakim MK berhalangan tetap untuk menjalankan tugas.

Dalam kasus Aswanto, DPR tidak menggunakan mekanisme pemberhentian yang


diatur dalam UU MK. DPR hanya mengeluarkan surat kepada Ketua MK yang berisi
permintaan untuk mencopot Aswanto dari jabatannya. Ketua MK pun mengabulkan
permintaan tersebut.

Alasan Pemberhentian yang Tidak Adil

DPR beralasan bahwa Aswanto terlalu sering menjadi pihak dalam permusyawaratan
hakim MK untuk membatalkan undang-undang yang dimohonkan Judicial Review.
DPR menilai bahwa hal ini menunjukkan bahwa Aswanto tidak netral dan tidak adil
dalam menjalankan tugasnya sebagai hakim MK.

Alasan tersebut dinilai tidak adil oleh berbagai pihak. Alasan tersebut seolah-olah
menyalahkan Aswanto karena menjalankan tugasnya sebagai hakim MK. Secara De
Jure dan De Facto, Hakim MK memang memiliki kewenangan untuk membatalkan
undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi. Jika Aswanto sering terlibat
dalam pembatalan undang-undang, itu berarti Aswanto menjalankan tugasnya secara
independen dam Imparsial, karena undang-undang yang dibuat dan disahkan DPR,
memang banyak yang terlalu sarat dengan kepentingan politik, mengingat DPR me-
mang adalah lembaga politik.

108
Kritik terhadap pemberhentian Aswanto oleh DPR juga diarahkan pada motif politik
yang melatarbelakangi pemberhentian tersebut. DPR dinilai ingin mengintervensi
MK dan melemahkan kewenangan MK, parah nya lagi karena berdasarkan statement
ketua komisi III DPR: Bambang Wuryanto menganalogikan DPR sebagai komisaris
yang notabene merupakan pemegang saham MK sehingga wajar jika DPR dapat men-
gusulkan dan menarik Hakim MK sebagaimana dalam Perseroan terbatas, pemegang
saham dalam RUPS dapat mengangkat dan memberhentikan direksi.

Analogi yang digunakan oleh Ketua Komisi III DPR, Bambang Wuryanto, memang
menarik. Namun, analogi tersebut tidak tepat untuk diterapkan dalam konteks
Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam konteks perseroan terbatas, pemegang saham memang memiliki kewenangan


untuk mengangkat dan memberhentikan direksi. Hal ini diatur dalam Pasal 102 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT).
Kewenangan tersebut diberikan karena pemegang saham merupakan pemilik perusa-
haan dan memiliki kepentingan untuk menentukan siapa yang akan mengelola pe-
rusahaan tersebut.

Namun, dalam konteks MK, DPR tidak memiliki kewenangan yang sama dengan pe-
megang saham dalam perseroan terbatas. MK merupakan lembaga negara yang inde-
penden dan tidak boleh dipengaruhi oleh kepentingan politik. DPR hanya memiliki
peran sebagai lembaga pengusul hakim MK. Presidenlah yang memiliki kewenangan
untuk mengangkat hakim MK.

Analogi yang digunakan oleh Ketua Komisi III DPR juga tidak tepat karena
mengabaikan peran Mahkamah Agung (MA). MA merupakan lembaga yudikatif tert-
inggi di Indonesia dan memiliki kewenangan untuk memberikan pertimbangan
kepada DPR dalam pemilihan hakim MK.

Pasal 22 ayat (1) UU MK mengatur bahwa DPR harus meminta pertimbangan MA


dalam memilih hakim MK. MA memberikan pertimbangan tersebut berdasarkan pe-
nilaian terhadap calon hakim MK yang diajukan oleh Presiden.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa analogi yang digunakan oleh Ketua
Komisi III DPR tidak tepat untuk diterapkan dalam konteks MK. DPR tidak memiliki
kewenangan untuk mengusulkan dan menarik hakim MK. Kewenangan tersebut
hanya dimiliki oleh Presiden dan MA.

Berikut ini adalah beberapa alasan mengapa analoga tersebut tidak tepat:

109
MK merupakan lembaga negara yang independen dan tidak boleh dipengaruhi oleh
kepentingan politik. DPR merupakan lembaga legislatif yang memiliki kepentingan
politik.

DPR hanya memiliki peran sebagai lembaga pengusul hakim MK. Presidenlah yang
memiliki kewenangan untuk mengangkat hakim MK.

MA memiliki peran penting dalam pemilihan hakim MK. MA memberikan pertim-


bangan kepada DPR dalam memilih hakim MK.

Oleh karena itu Pemberhentian Aswanto oleh DPR merupakan preseden buruk bagi
independensi MK. Untuk mencegah hal serupa terjadi di masa depan, perlu dilakukan
reformasi mekanisme pemilihan dan pengangkatan hakim MK. Salah satu alternatif
reformasi yang dapat dilakukan adalah dengan menetapkan satu lembaga pengusul
tunggal, yaitu Komisi Yudisial. Lembaga pengusul tunggal ini harus bersifat indepen-
den dan tidak boleh dipengaruhi oleh kepentingan politik.

Selain itu, perlu juga dilakukan perubahan pada Pasal 23 UU MK. Pasal tersebut
perlu diubah agar mekanisme pemberhentian hakim MK menjadi lebih jelas dan
transparan dengan melibatkan Komisi Yudisial dalam proses pengkajian dan investi-
gasi secara mendalam, objektif dan independen.

Usulan penulis agar kewenangan Recruitment dan pengawasan Hakim, termasuk


Hakim MK diserahkan sepenuhnya pada Komisi Yusisial karena bukankah sejarah
awal dalam menggagas Komisi Yudisial adlah untuk maksud seperti itu. Hal ini se-
makin rasional ketika lahir UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehaki-
man, pada pokoknya mengintegrasikan Hakim Konstitusi dengan Hakim Agung dan
para hakim, pada badan peradilan dibawah MA.

Pelemahan Komisi Yudisial (KY) mulai terjadi ketika sejumlah hakim agung menga-
jukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar mengubah Pasal 20A ayat
(1) huruf c Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial (UU
KY). Pasal tersebut mengatur bahwa KY memiliki kewenangan untuk mengawasi dan
menghentikan hakim agung dan hakim lainnya.

Hakim agung yang mengajukan Judicial Review tersebut beralasan bahwa Pasal 20A
ayat (1) huruf c UU KY bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) dan ayat (2) Un-
dang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Pasal
24B ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa KY adalah lembaga negara yang
mandiri yang dibentuk untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran

110
martabat, serta perilaku hakim. Pasal 24B ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan
bahwa KY bersifat mandiri dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.

Pada tanggal 27 Maret 2023, MK mengabulkan Judicial Review yang diajukan oleh
hakim agung tersebut. MK menyatakan bahwa Pasal 20A ayat (1) huruf c UU KY
bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI 1945. MK berpenda-
pat bahwa kewenangan untuk mengawasi dan menghentikan hakim agung dan hakim
lainnya adalah kewenangan MA.

Putusan MK tersebut merupakan pukulan telak bagi KY. Putusan tersebut menghapus
kewenangan KY sebagai pengawas hakim agung dan hakim lainnya. Putusan tersebut
juga melemahkan independensi KY.

Momentum ini juga dimanfaatkan oleh hakim MK untuk membuat putusan yang me-
niadakan kewenangan KY sebagai pengawas hakim MK. Pada tanggal 29 September
2022, MK mengeluarkan putusan yang menolak permohonan Aswanto, hakim MK
yang diberhentikan oleh DPR. Putusan tersebut menyatakan bahwa pemberhentian
Aswanto oleh DPR adalah sah.

Putusan MK tersebut meneguhkan putusan MK sebelumnya yang menghapus kewe-


nangan KY sebagai pengawas hakim MK. Putusan tersebut semakin melemahkan in-
dependensi KY.

Pelemahan KY berdampak negatif terhadap independensi dan integritas lembaga


peradilan di Indonesia. KY merupakan lembaga yang penting untuk menjaga inde-
pendensi dan integritas lembaga peradilan. Namun, dengan dihapusnya kewenangan
KY sebagai pengawas hakim, maka independensi dan integritas lembaga peradilan di
Indonesia menjadi terancam.

Berikut ini adalah beberapa dampak negatif dari pelemahan KY:

 Meningkatkan potensi terjadinya intervensi politik dalam lembaga peradilan.

 Meningkatkan potensi terjadinya politisasi dalam lembaga peradilan.

 Meningkatkan potensi terjadinya pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku


hakim.

Untuk mencegah dampak negatif tersebut, perlu dilakukan penguatan kewenangan


KY. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengembalikan kewenan-
gan KY sebagai pengawas hakim agung dan hakim lainnya.

111
Peran strategis ini sanagt penting dipulihakan karena Komisi Yudisial (KY) adalah
lembaga negara yang bersifat mandiri yang dibentuk untuk menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. KY memiliki kewenangan un-
tuk mengusulkan pengangkatan hakim agung, hakim MK, dan hakim ad hoc di
Mahkamah Agung.

KY merupakan lembaga yang independen dan tidak boleh dipengaruhi oleh kepentin-
gan politik. Hal ini tercermin dalam ketentuan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang
menyatakan bahwa KY bersifat mandiri.

Dengan menjadikan KY sebagai lembaga pengusul tunggal hakim MK, maka


mekanisme pemilihan dan pengangkatan hakim MK akan menjadi lebih transparan
dan akuntabel. Hal ini karena KY memiliki kewenangan untuk melakukan seleksi
calon hakim MK secara terbuka dan melibatkan masyarakat luas.

Selain itu, dengan menjadikan KY sebagai lembaga pengusul tunggal hakim MK,
maka potensi terjadinya politik transaksional dan politisasi MK dapat diminimalisir.
Hal ini karena KY tidak memiliki kepentingan politik dan fokus pada pemilihan
hakim MK yang berkualitas dan berintegritas.

Reformasi mekanisme pemilihan dan pengangkatan hakim MK juga harus diikuti


dengan revisi UU KY. Revisi UU KY perlu dilakukan untuk memperkuat kewenan-
gan KY sebagai lembaga pengawas dan rekrutmen hakim di Indonesia, baik hakim
MK, maupun MA dan badan peradilan yang ada dibawahnya.

Salah satu poin penting yang perlu diubah dalam revisi UU KY adalah penguatan
kewenangan KY dalam melakukan seleksi calon hakim. KY perlu memiliki kewenan-
gan yang lebih luas dalam melakukan seleksi, termasuk kewenangan untuk
melakukan tes psikologi, tes kesehatan, dan tes integritas.

Selain itu, revisi UU KY juga perlu mengatur tentang tata cara pemberhentian hakim.
Tata cara pemberhentian hakim perlu diatur secara jelas dan transparan, serta meli-
batkan Komisi Yudisial dalam proses pengkajian dan investigasi.

Reformasi mekanisme pemilihan dan pengangkatan hakim MK serta revisi UU KY


merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Hal ini untuk menjaga independensi
dan integritas Mahkamah Konstitusi.

Kualitas Putusan dan Integritas Hakim MK

112
Dalam mengevaluasi peran Mahkamah Konstitusi (MK) di bawah kepemimpinan
Jimly Asshiddiqie dan Mahfud MD, sejumlah hasil kajian dari berbagai kalangan me-
nunjukkan bahwa terdapat pergeseran dalam substansi putusan MK. Evaluasi ini
menyimpulkan bahwa banyak putusan MK yang diambil tidak lagi memiliki kedala-
man yang berakar pada penguatan prinsip konstitusi, serta terkesan minim dalam
menghormati, melindungi, dan memenuhi Hak Asasi Manusia (HAM).

Mayoritas hakim MK pasca kepemimpinan Jimly Asshidique dan Mahfud MD, dalam
melakukan interpretasi dan implementasinya sering dianggap mengalami deviasi dari
landasan konstitusional yang kuat. Pengaruhnya terlihat terutama dalam kebanyakan
putusan MK yang menolak permohonan Judicial Review yang diajukan oleh pihak
pencari keadilan. Alasan yang umum digunakan adalah bahwa perkara yang diajukan
bukanlah kewenangan MK, melainkan merupakan ranah putusan pembuat undang-
undang, yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden.

Lebih lanjut, dapat diamati bahwa fenomena ini sering disokong oleh konsep open le-
gal policy, yang menandakan keterbukaan terhadap kebijakan hukum yang dapat di-
ambil oleh lembaga tersebut. Meskipun konsep ini pada dasarnya bersifat positif, im-
plementasinya sering dianggap terlalu luas, memberikan ruang untuk menolak permo-
honan tanpa melakukan analisis yang mendalam terhadap substansi perkara.

Pentingnya penguatan konstitusi dan penghormatan terhadap HAM tampaknya ter-


abaikan dalam beberapa putusan MK terkini. Oleh karena itu, perlu dilakukan refleksi
mendalam terhadap arah dan tujuan MK di bawah pimpinan MK dari masa ke masa,
dengan tujuan memastikan bahwa lembaga ini tetap menjadi penjaga prinsip-prinsip
konstitusi dan penegak HAM, sesuai dengan peran krusialnya dalam menjaga keseim-
bangan kekuasaan di dalam sistem ketatanegaraan.

Rendahnya bobot kualitas putusan hakim Mahkamah Konstitusi (MK)selama ini


disinyalir kuat dipengaruhi oleh sejumlah faktor kritis, di antaranya adalah kurangnya
kapasitas dan integritas personal dari para hakim MK. Proses rekrutmen hakim yang
terlanjur terjerat dalam politisasi telah menciptakan fondasi yang rapuh bagi indepen-
densi lembaga tersebut.

Pertama-tama, perlu dicatat bahwa proses seleksi hakim MK sering dipengaruhi oleh
pertimbangan politik, yang dapat mengarah pada penunjukan individu-individu yang
mungkin kurang memenuhi standar kualifikasi yang diperlukan untuk peran seberat
ini. Kondisi ini dapat berdampak negatif pada kapasitas hakim dalam memahami dan
menginterpretasikan hukum secara mendalam.

113
Namun, aspek yang lebih mengkhawatirkan adalah potensi tergerusnya sikap kene-
garawanan para hakim MK oleh pragmatisme yang merajalela dalam mafia peradilan.
Fenomena ini menciptakan kondisi di mana putusan hakim tidak lagi didasarkan pada
niatan murni untuk menegakkan hukum dan konstitusi, melainkan terjerumus dalam
kepentingan pragmatis pribadi atau kelompok tertentu.

Contoh paling mencolok dari penurunan integritas lembaga ini dapat dilihat melalui
kasus Hakim Muchtar dan Patrialis Akbar. Hakim Muchtar, yang menjabat sebagai
Ketua MK, menjadi terkenal karena terlibat dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT)
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tanggal 2 Oktober 2013, menyusul
Patrialis akbar sebagai Hakim MK diringkus melalui OTT KPK Pada tanggal 25 Jan-
uari 2017. mereka dalam penerimaan suap terkait dengan perkara yang mereka tan-
gani di MK. Meskipun keduanya membantah kuat tuduhan tersebut, namun JPU
berhasil membuktikan dakwaannya berdasarkan putusan pengadilan Tipikor Jakarta
yang memvonis keduanya tebukti menerima suap dari pihak yang berperkara, Akil
Mochtar divonis seumur hidup berdasarkan putusan pengadilan Tipikor tanggal 30
Juni 2014, sedangkan Patru]ialis akbar divonis 8 tahun penjara berdasarkan putusan
pengadilan Tipikor Jakarta 4 September 2017. mengekspos secara jelas praktek jual
beli perkara di MK.

Kasus-kasus seperti ini tidak hanya merugikan citra MK sebagai penegak konstitusi,
tetapi juga menciptakan keraguan mendasar terhadap integritas para hakimnya.
Berikut ini dikemukakan contoh putusan MK yang dinilai sarat dengan pragmatisme,
antara lain:

1. Putusan MK yang membatalkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 ten-


tang Kepemiluan yang dinilai tidak didasarkan pada pertimbangan hukum
yang kuat.

2. Putusan MK yang menolak permohonan judicial review terhadap Undang-Un-


dang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang dinilai menguntungkan
salah satu pihak.

3. Putusan MK yang menolak permohonan judicial review terhadap Undang-Un-


dang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang dinilai
tidak memenuhi asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Oleh karena itu, diperlukan upaya serius untuk memperbaiki proses rekrutmen hakim
MK, mengurangi politisasi, dan memastikan adanya mekanisme pengawasan internal

114
yang ketat. Hal ini akan mendukung pemulihan kepercayaan publik dan memperkuat
posisi MK sebagai lembaga yang memiliki kapasitas dan integritas untuk men-
jalankan fungsi konstitusionalnya dengan penuh tanggung jawab.

6. Sekertariat Jendral
Organisasi Kedua adalah sekretariat jenderal Mahkamah Konstitusi yang
menurut ketentuan UU No. 24 Tahun 2003 dipisahkan dari organisasi kepaniteraan.
Pasal 7 UU ini menyatakan: “Untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan wewe-
nangnya, Mahkamah Konstitusi dibantu oleh sebuah Sekretariat Jenderal dan
kepaniteraan”. Penjelasan pasal ini menegaskan: “Sekretariat Jenderal men-
jalankan tugas teknis administratif, sedangkan Organisasi Ketiga yaitu kepaniteraan
menjalankan tugas teknis administrasi justisial”. Pembedaan dan pemisahan ini
tidak lain dimaksudkan untuk menjamin agar administrasi peradilan atau adminis-
trasi justisial di bawah kepaniteraan tidak tercampur-aduk dengan administrasi
non-justisial yang menjadi tanggungjawab sekretariat jenderal. Baik sekretariat
jenderal maupun kepaniteraan masing-masingdipimpin oleh seorang pejabat
tinggi yang ditetapkan dengan putusan Presiden. Dengan demikian, Sekretaris Jen-
deral dan Panitera sama-sama mempunyai kedudukan sebagai Pejabat Eselon 1a.
Panitera dan Panitera Pengganti memang merupakan jabatan fungsional, bukan struk-
tural. Akan tetapi, khusus untuk Panitera diangkat dengan putusan Presiden dan
karena itu disetarakan dengan Pejabat Struktural Eselon 1a.
Kedudukan Sekretaris Jenderal MK dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu:
1. Aspek yuridis

Sekretaris Jenderal MK memiliki kedudukan yang diatur dalam Undang-Undang


Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pasal 7 ayat (1) UU MK
menyatakan bahwa untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya, MK
dibantu oleh sebuah Sekretariat Jenderal. Pasal 8 ayat (1) UU MK menyatakan
bahwa ketentuan mengenai susunan organisasi, fungsi, tugas, dan wewenang
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK diatur lebih lanjut dengan putusan Presi-
den atas usul MK.

2. Aspek hierarkis

Sekretaris Jenderal MK berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Ketua


MK. Hal ini menunjukkan bahwa Sekretaris Jenderal MK merupakan pejabat yang
berada di bawah kendali Ketua MK.

115
3. Aspek fungsional

Sekretaris Jenderal MK merupakan unsur pelaksana tugas dan wewenang MK. Hal
ini menunjukkan bahwa Sekretaris Jenderal MK memiliki tugas dan wewenang un-
tuk melaksanakan tugas dan wewenang MK.

Sekretaris Jenderal MK memiliki fungsi sebagai berikut:

1. Fungsi administrasi umum

Sekretaris Jenderal MK memiliki fungsi untuk melaksanakan administrasi umum di


lingkungan MK. Hal ini meliputi pengelolaan kepegawaian, keuangan, perlengka-
pan, dan tata usaha.

2. Fungsi teknis persidangan

Sekretaris Jenderal MK memiliki fungsi untuk melaksanakan teknis persidangan di


lingkungan MK. Hal ini meliputi persiapan, pelaksanaan, dan tindak lanjut persi-
dangan.

3. Fungsi teknis yudisial

Sekretaris Jenderal MK memiliki fungsi untuk melaksanakan teknis yudisial di


lingkungan MK. Hal ini meliputi penyusunan rancangan peraturan perundang-un-
dangan, penyusunan laporan dan statistik, dan penyediaan informasi dan dokumen-
tasi.

Dalam administrasi umum Sekretaris Jenderal MK berwenang untuk:

a. Merumuskan kebijakan dan strategi administrasi umum di lingkungan MK

b. Menyusun dan menetapkan rencana kerja dan anggaran administrasi umum di


lingkungan MK

c. Mengkoordinasikan pelaksanaan tugas administrasi umum di lingkungan MK

d. Melaksanakan pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan tugas administrasi


umum di lingkungan MK

Dalam teknis Persidangan Sekretaris Jenderal MK berwenang untuk:

a. Merumuskan kebijakan dan strategi teknis persidangan di lingkungan MK

116
b. Menyusun dan menetapkan rencana kerja dan anggaran teknis persidangan di
lingkungan MK
c. Mengkoordinasikan pelaksanaan tugas teknis persidangan di lingkungan MK

d. Melaksanakan pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan tugas teknis

persidangan di lingkungan MK

Dalam teknis yudisial Sekretaris Jenderal MK berwenang untuk:

a. Merumuskan kebijakan dan strategi teknis yudisial di lingkungan MK

b. Menyusun dan menetapkan rencana kerja dan anggaran teknis yudisial di


lingkungan MK

c. Mengkoordinasikan pelaksanaan tugas teknis yudisial di lingkungan MK

d. Melaksanakan pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan tugas teknis yu-


disial di lingkungan MK

Untuk menjamin kemandirian MK di bidang finansial, maka UU No.24/2003 juga


menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) mempunyai mata anggaran
tersendiri dalam APBN8.

Sejarah Terbentuknya Mahkamah Konstitusi


Pada pokoknya, pembentukan Mahkamah Konstitusi perlu dilakukan karena bangsa
kita melakukan perubahan mendasar atas UUD 1945. Dalam rangka Perubahan Per-
tama sampai Perubahan Keempat UUD 1945, bangsa kita telah mengadopsikan
prinsip-prinsip baru dalam sistem ketatanegaraan, yaitu antara lain prinsip pemisahan
kekuasaan dan 'checks and balances' sebagai penggganti sistem supremasi par-
lemen yang berlaku sebelumnya. Dengan perubahan tersebut, prinsip negara hukum
yang dianut dipertegas dengan (a) diaturnya mekanisme penegakan hukum dimulai
dari penegakan konstitusi sebagai hukum tertinggi.
Sebagai akibat perubahan itu, (b) dipandang perlu untuk diadakan mekanisme guna
memutus sengketa kewenangan yang mungkin terjadi antar lembaga-lembaga yang
mempunyai kedudukan yang satu sama lain bersifat sederajat, yang kewenangannya
ditentukan dalam UUD, (c) perlu dilembagakan adanya peranan hukum dan hakim
yang dapat mengontrol proses dan produk putusan-putusan politik yang hanya men-
dasarkan diri pada prinsip 'majority rule'.10 Karena itu, fungsi-fungsi judicial review

117
atas konstitusionalitas undang-undang dan proses pengujian hukum atas tuntutan
pemberhentian terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden dikaitkan dengan fungsi
MK. Di samping itu, (d) juga diperlukan adanya mekanisme untuk memutuskan
berbagai persengketaan yang timbul yang tidak dapat diselesaikan malalui proses
peradilan yang biasa, seperti sengketa hasil pemilu dan tuntutan pembubaran
sesuatu partai politik.
Perkara-perakara semacam ini berkaitan erat dengan hak dan kebebasan warganegara
dalam dinamika sistem politik demokratis yang dijamin oleh UUD. Karena itu,
fungsi- fungsi penyelesaian sengketa atas hasil pemilihan umum dan pembubaran
partai politik juga dikaitkan dengan kewenangan MK.

Oleh sebab itu, UUD 1945 menentukan bahwa MK mempunyai 4 kewenangan kon-
stitusional (constitutionally entrusted powers) dan satu kewajiban konstitusional (con-
stitutional obligation). Keempat kewenangan itu11 adalah: (1) menguji undang- un-
dang (UU) terhadap UUD, (2) memutuskan sengketa kewenangan antar lembaga
yang kewenangannya diberikan oleh UUD, (2) memutuskan sengketa hasil pemilihan
umum, dan (4) memutuskan pembubaran partai politik. Sedangkan kewajiban-
nya adalah memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
bersalah melakukan pelanggaran hukum ataupun tidak lagi memenuhi per-
syaratan sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden seperti yang dimaksud dalam
UUD 1945.

Sejarah Keberadaan MK

Inilah awal sejarah praktik pengujian undang undang (judicial review) bermula di
Mahkamah Agung (MA) (Supreme Court) Amerika Serikat saat dipimpin William
Paterson dalam kasus Danil Lawrence Hylton lawan Pemerintah Amerika Serikat
tahun 1796. Dalam kasus ini, MA menolak permohonan pengujian UU Pajak atas
Gerbong Kerera Api 1794 yang diajukan oleh Hylton dan menyatakan bahwa UU a
quo tidak bertentangan dengan konstitusi atau tindakan kongres dipandang konstitu-
sional. Dalam kasus ini, MA menguji UU a quo, namun tidak membatalkan UU terse-
but. Selanjutnya pada saat MA di pimpin John Marshall dalam kasus Marbury lawan
Madison tahun 1803. Kendati saat itu Konstitusi Amerika Serikat tidak mengatur
pemberian kewenangan untuk melakukan judicial review kepada MA, tetapi dengan

118
menafsirkan sumpah jabatan yang mengharuskan untuk senantiasa menegakkan kon-
stitusi, John Marshall menganggap MA berwenang untuk menyatakan suatu Undang
Undang bertentangan dengan konstitusi.
Adapun secara teoritis, keberadaan Mahkamah Konstitusi baru diintro-
dusir pertama kali pada tahun 1919 oleh pakar hukum asal Austria, Hans
Kelsen (1881-1973 ). Hans Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan konstitu-
sional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ se-
lain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk
hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika menu-
rut organ ini tidak konstitusional. Untuk itu perlu diadakan organ khusus yang
disebut Mahkamah Konstitusi (constitutional court).
Bila ditelusuri dalam sejarah penyusunan UUD 1945 , ide , Hans
Kelsen mengenai pengujian Undang Undang juga sebangun dengan usulan
yang pernah diungkapkan oleh Muhammad Yamin dalam sidang Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Yamin men-
gusulkan bahwa seharusnya Balai Agung ( Mahkamah Agung) diberi wewe-
nang untuk "membanding Undang-undang" yang maksudnya tidak lain adalah
kewenangan judicial review. Namun usulan Yamin ini disanggah oleh Soe-
pomo dengan alasan bahwa; pertama, konsep dasar yang dianut dalam UUD
yang telah disusun bukan konsep pemisahan kekuasaan (separation of power)
melainkan konsep pembagian kekuasaan (distribution of power); kedua, tugas
hakim adalah menerapkan Undang Undang bukan menguji Undang-undang;
dan ketiga, kewenangan hakim untuk melakukan pengujian Undang-undang
bertentangan dengan konsep supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR), sehingga ide akan pengujian Undang-undang terhadap UUD yang
diusulkan Yamin tersebut tidak diadopsi dalam UUD 1945.
Seiring dengan momentum perubahan UUD 1945 pada masa reformasi
(1999-2004) , ide pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) di Indonesia

119
makin menguat. Puncaknya terjadi pada tahun 2001, ketika ide pembentukan
MK diadopsi dalam perubahan UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR, seba-
gaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD
1945 dalam Perubahan Ketiga.
Selanjutnya untuk merinci dan menindaklanjuti amanat Konstitusi
tersebut, Pemerintah bersama DPR membahas Rancangan Undang Undang
tentang Mahkamah Konstitusi. Setelah dilakukan pembahasan beberapa waktu
lamanya, akhirnya RUU tersebut disepakati bersama oleh pemerintah bersama
DPR dan disahkan dalam Sidang Paripurna DPR pada 13 Agustus 2003. Pada
hari itu juga, UU tentang MK ini ditandatangani oleh Presiden Megawati
Soekarnoputri dan dimuat dalam Lembaran Negara pada hari yang sama, ke-
mudian diberi nomor UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konsti-
tusi (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara
4316). Ditilik dari aspek waktu, Indonesia merupakan negara ke-78 yang
membentuk MK dan sekaligus sebagai negara pertama di dunia yang mem-
bentuk lembaga ini pada abad ke-21. Tanggal 13 Agustus 2003 inilah yang
kemudian disepakati para hakim konstitusi menjadi hari lahir MKRI.
Bertitik tolak dari UU Nomor 24 Tahun 2003, dengan mengacu pada
prinsip keseimbangan antar cabang kekuasaan negara, dilakukan rekrutmen
hakim konstitusi yang dilakukan oleh tiga lembaga negara, DP dan MA. Seta-
lah melalui tahapan seleksi sesuai mekanisme yang berlaku pada masing-mas-
ing lembaga tersebut, masing-masing lembaga mengajukan tiga calon hakim
konstitusi kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai hakim konstitusi.
DPR mengajukan Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H., Letjen. TNI
(Purn.) H. Achmad Roestandi, S.H. dan I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H.
Sedangkan Presiden mengajukan Prof. H. Ahmad Syarifuddin Natabaya, S.H.,
LL.M., Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. dan DR. Harjono, S.H.,
MCL.Sementara MA mengajukan Prof. DR. H. Mohammad Laica Marzuki,
S.H., Soedarsono, S.H. dan Maruarar Siahaan, S.H.

120
Pada 15 Agustus 2003, pengangkatan hakim konstitusi untuk pertama
kalinya dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia ditetapkan dengan putusan
Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 yang dilanjutkan dengan pengucapan
sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara, pada 16 Agustus
2003. Setelah mengucapkan sumpah, para hakim konstitusi langsung bekerja
menunaikan tugas konstitusionalnya sebagaimana tercantum dalam UUD
1945.
Dalam melaksanakan tugas konstitusionalnya, para hakim konstitusi
membutuhkan dukungan administrasi aparatur pemerintah, baik yang bersifat
administrasi umum maupun administrasi yustisial. Terkait dengan hal itu, un-
tuk pertama kalinya dukungan administrasi umum dilaksanakan oleh Sekre-
taris Jenderal MPR. Oleh sebab itu, dengan persetujuan Sekretaris Jenderal
MPR, sejumlah pegawai memberikan dukungan terhadap pelaksanaan tugas
konstitusional para hakim konstitusi. Sebagai salah satu wujudnya adalah
Kepala Biro Majelis MPR, Janedri M. Gaffar, ditetapkan sebagai Pelaksana
Tugas (Plt) Sekretris Jenderal MK sejak tanggal 16 Agustus 2003 hingga 31
Desember 2003. Kemudian pada 2 Januari 2004, Presiden Megawati
Soekarnoputri menetapkan Anak Agung Oka Mahendra, SH. sebagai Sekre-
taris Jenderal MK definitif. Dalam perkembangganya, Oka Mahendra men-
gundurkan diri karena sakit, dan pada 19 Agustus 2004 terpilih Janedri M.
Gaffar sebagai Sekretaris Jenderal MK yang baru menggantikan Oka Mahen-
dra.
Sejalan dengan itu, ditetapkan pula Kepaniteraan MK yang mengem-
ban tugas membantu kelancaran tugas dan wewenang MK di bidang adminis-
trasi yustisial. Panitera bertanggungjawab dalam menangani hal-hal seperti
pendaftaran permohonan dari para pemohon, pemeriksaan kelengkapan per-
mohonan, pencatatan permohonan yang sudah lengkap dalam Buku Registrasi
Perkara Konstitusi, hingga mempersiapkan dan membantu pelaksanaan persi-
dangan MK. Bertindak sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Panitera mendampingi

121
Plt. Sekjen MK adalah Marcel Buchari SH yang di kemudian hari secara
definitif digantikan oleh Drs. H. Achmad Fadlil Sumadi, SH,M.Hum.
Lintasan perjalanan MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari
MA ke MK, pada 15 Oktober 2003, yang menandai mulai beroperasinya
kegiatan MK sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut
ketentuan UUD 1945. Mulai beroperasinya kegiatan MK juga menandari be-
rakhirnya kewenangan MA dalam melaksanakan kewenangan MK seba-
gaimana diamanatkan oleh Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945.
Setelah bekerja penuh selama lima tahun, hakim konstitusi periode
pertama (2003-2008)) telah memutus 205 perkara dari keseluruhan 207
perkara yang masuk. Perkara-perkara tersebut meliputi 152 perkara Pengujian
Undang-undang (PUU), 10 perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara
(SKLN) dan 45 perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU). Periode
pertama hakim konstitusi berakhir pada 16 Agustus 2008. Dalam perjalanan
sebelum akhir periode tersebut tiga hakim konstitusi berhenti karena telah
memasuki usia pensiun (berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c UU MK, usia
pensiun hakim konstitusi adalah 67 tahun), yakni Letjen. TNI (Purn.) H.
Achmad Roestandi, S.H.yang kemudian diganti oleh Prof. DR. Mohammad
Mahfud MD., S.H., Prof. DR. H. Mohammad Laica Marzuki, S.H. yang po-
sisinya diganti oleh DR. H. Mohammad Alim, S.H., M.Hum. dan Soedarsono,
S.H. yang kedudukannya diganti oleh DR. H. Muhammad Arsyad Sanusi,
S.H., M.Hum. Tiga nama yang baru menggantikan tersebut sekaligus
meneruskan jabatannya sebagai hakim konstitusi untuk periode kedua (2008-
2013).
Di periode kedua, enam hakim konstitusi lainnya terpilih Prof. H. Ab-
dul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. (untuk yang kedua kali), Prof. DR. Achmad
Sodiki, S.H. dan Prof. DR. Maria Farida Indrati, S.H. yang diajukan Presiden.
Kemudian Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H. (untuk yang kedua kali) dan
Muhammad Akil Mochtar, S.H., M.H. yang diajukan DPR. Sementara MA

122
mengajukan kembali Maruarar Siahaan, S.H. yang sebelumnya telah menjadi
hakim konstitusi periode pertama. Dengan demikian di periode kedua MK ter-
dapat tiga nama lama dan enam nama baru. Akan tetapi dalam perkembangan-
nya, Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H. mengundurkan diri sebagai hakim
konstitusi yang berlaku efektif mulai tanggal 1 November 2008 dan digan-
tikan oleh DR. Harjono, S.H., MCL. yang mengucapkan sumpah pada tanggal
24 Mare 2009, sedangkan Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. dan
Maruarar Siahaan, S.H. mulai 1 Januari 2010 memasuki usia pensiun dan di-
gantikan oleh DR. Hamdan Zoelva, S.H., M.H. dan Drs. H. Ahmad Fadlil
Sumadi, S.H., M.Hum. yang mengucapkan sumpah pada tanggal 7 Januari
2010. Formasi sembilan hakim konstitusi inilah yang sekarang menjalankan
tugas-tugas konstitusional Mahkamah Konstitusi.
Setelah sembilan Hakim Konstitusi mengucapkan sumpah di Istana
Negara pada 16 Agustus 2003, belum ada aparatur yang ditugaskan mem-
berikan pelayanan dan dukungan terhadap pelaksanaan tugas para Hakim
Konstitusi. Demikian pula belum ada kantor sebagai tempat bekerja para
Hakim Konstitusi. Pada saat itu, alamat surat menyurat menggunakan nomor
telepon seluler Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H.
Keterbatasan sarana dan kurangnya dukungan teknis bagi pelaksanaan
tugas-tugas Hakim Konstitusi merupakan persoalan yang menjadi prioritas un-
tuk diselesaikan dengan segera. Setelah melalui pembahasan di kalangan
Hakim Konstitusi, akhirnya diputuskan dua hal.
Pertama, meminta bantuan tenaga dari Sekretariat Jenderal MPR untuk
memberikan dukungan administrasi umum dan MA untuk tenaga administrasi
justisial. Kedua, menyewa ruangan di Hotel Santika yang terletak di Jalan KS.
Tubun, Slipi, Jakarta Barat, untuk dijadikan kantor sementara. Tidak lama ke-
mudian, MK berpindah kantor dengan menyewa ruangan di gedung Plaza
Centris di Jalan HR. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, tepatnya di lan-
tai 4 dan lantai 12A. Namun, ruangan yang tersedia bagi MK di Plaza Centris

123
masih jauh dari memadai. Karena keterbatasan ruang tersebut, para pegawai
MK berkantor di lahan parkir kendaraan yang disulap menjadi ruang kantor
modern. Seiring dengan itu, Ketua MK mengangkat Janedjri M. Gaffar seba-
gai Plt. Sekjen pada tanggal 4 September 2003 dan pada 1 Oktober 2003
menangkan Marcel Buchari, S.H. sebagai Plt. Panitera.
Meskipun sudah memiliki kantor, keterbatasan sarana masih menjadi
persoalan bagi MK. Selama berkantor di Hotel Santika dan Plaza Centris, MK
harus meminjam Gedung Nusantara IV (Pusaka Loka) Kompleks MPR/DPR,
salah satu ruang di Mabes Polri dan salah satu ruang di Kantor RRI sebagai
ruang sidang karena belum memiliki ruang sidang yang representatif. Hal ini
tentu saja menjadi hambatan bagi mobilitas kerja para Hakim Konstitusi
sekaligus ironi bagi lembaga negara sekaliber MK yang mengawal konstitusi
sebagai hukum tertinggi di negeri ini. Karena itu, ketika merumuskan “Cerak
Biru "Membangun Mahkamah Konstitusi sebagai Institusi Peradilan Konsti-
tusi yang Modern dan Terpercaya", gagasan pembangunan gedung MK men-
dapat penekanan tersendiri.
Setelah menempati gedung di Jalan Medan Merdeka Barat No. 7
Jakarta Pusat milik Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi (Kom-
info) pada tahun 2004, barulah MK bisa menggelar persidangan di kantor
sendiri. Meski demikian, ruangan dan fasilitas yang tersedia di gedung terse-
but masih belum memadai, terutama ketika MK harus menangani perkara
yang menumpuk dan membutuhkan peralatan-peralatan canggih sebagaimana
terjadi pada Pemilu 2004. Ketika melakukan pemeriksaan perkara perselisihan
hasil pemilihan umum Legislatif 2004, ruang persidangan yang ada di gedung
MK tidak mencukupi sehingga MK meminjam ruang di gedung RRI yang ter-
letak tidak jauh dari kantor MK. Begitu juga ketika harus menggelar persidan-
gan jarak jauh, MK harus meminjam ruang dan fasilitas teleconference.

124
(http://www.jimlyschool.com/read/analisis/238/kedudukan-mahkamah-
konstitusi-dalam-struktur-ketatanegaraan-indonesia/)

125

Anda mungkin juga menyukai