MAHKAMAH KONSTITUSI
DR. SADINO S.H., M.H.
DOSEN UNIVERSITAS AL AZHAR INDONESIA
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi BERKEDUDUKAN SEBAGAI SALAH SATU PELAKU
KEKUASAAN KEHAKIMAN DISAMPING MAHKAMAH AGUNG.
Indonesia menjadi negara ke-78 yang membentuk Mahkamah Konstitusi, pada Tahun 2003. Walau dahulu konsep tentang
adanya peradilan untuk menjaga konstitusi ini sudah disampaikan oleh M. Yamin dalam sidang Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Lebih lanjut lagi Yamin mengusulkan perlunya Mahkamah Agung diberi
kewenangan membanding undang-undang. Kewenangan yang dimaksud oleh Yamin tersebut, kewenangan yang dilakukan
dengan cara membandingkan produk undang-undang dengan 3 (tiga) sistem norma, yaitu : (1) Undang Undang Dasar; (2)
hukum Syariat Islam; dan (3) Hukum Adat.
Terkait dengan pandangan Yamin tersebut, Jimly berpendapat :
“Gagasan Yamin itu sangat berkaitan dengan pandangan George Jellineck pada penghujung abad 19 yang
mengusulkan ide yang sama agar Mahkamah Agung Austria diberi kewenangan menguji undang-undang
meneruskan tradisi yang dibangun dalam tradisi Amerika sejak John Marshall menjadi Ketua Mahkamah Agung
disana. Akan tetapi Jellineck sendiripun belum memikirkan mengenai pelembagaan yang berdiri sendiri, yaitu
sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Ide Yamin tersebut kemudian disanggah oleh Soepomo, karena dikatakan tidak sesuai dengan pola pemikiran negara pada saat
itu, halmana kala itu Indonesia didesain atas dasar Majelis Permusyawaratan Perwakilan (MPR) sebagai Lembaga Negara
Tertinggi, dan Presiden sebagai pelaksana.
Sebelum lebih lanjut Penulis ingin menyampaikan bahwa ada beberapa pemikiran yang sama antara
pemahaman constitutional review sama dengan pemahaman judicial review. Namun secara pemahaman hukum,
Penulis lebih senang menggunakan istilah judicial review dengan alasan bahwa :
- Sejarah institusi yang menyelenggarakan kegiatan “constitutional review” di dunia berkembang seiring
dengan perkembangan dan pengalaman negara itu masing-masing. Ada yang melambangkan pengujian
konstitusi dengan lembaga yang bernama Mahkamah Konstitusi, ada pula yang mengkaitkan uji konstitusi
itu dengan lembaga yang sudah ada yakni Mahkamah Agung. Kehadiran sistem pengujian atau judicial
review yang berkembang terus dalam ketatanegaraan di berbagai dunia disambut baik dalam dunia
akademis maupun praktek ketatanegaraan.
- Istilah “constitutional review” atau pengujian constitutional harus dibedakan dengan “judicial review”.
Pertama constitutional review selain dilakukan oleh hakim, dapat pula dilakukan oleh lembaga selain atau
pengadilan tergantung kepada lembaga mana yang diberikan kewenangan melakukannya oleh undang
undang dasar. Kedua dalam konsep “judicial review” terkait dengan pengertian yang luas objeknya yaitu
mencakup juga legalitas pengaturan dibawah undang undang terhadap undang undang, sedangkan
“constitutional review” hanya menyangkut pengujian konstitutionalitasnya terhadap undang undang dasar.
Perbedaan Konsep constitutional review dengan judicial review
1. Constitutional Review adalah pengujian yang 1. Dalam Black’s Law Dictionary pengertian judicial review dipahami sebagai
dilakukan terhadap norma hukum yang titik kewenangan pengadilan untuk menguji tindakan pemerintah dan cabang
uji atau alat ukurnya adalah konstitusi, yaitu pemerintah lain, khususnya kewenangan pengadilan untuk membatalkan
pengujian menegenai konstitutionalitas dari tindakan eksekutif dan legislatif yang tidak sesuai dengan konstitusi ;
norma hukum yang diuji ;
2. Pelaksanakan jucical review adalah badan/lembaga kekuasaan
2. Constitutional review dapat diberikan kepada kehakiman. Kemudian adanya unsur pertentangan antara norma hukum
lembaga peradilan, eksekutif, maupun yang derajatnya dibawah dengan norma hukum, halmana kemudian
legislatif; objek yang diuji adalah lingkup tindakan atau produk hukum badan
legislatif dan ketetapan kepada eksekutif ;
3. Constitutional review digunakan secara umum
terhadap uji konstitutionalitas terhadap produk 3. Konsep judicial review diberikan kepada Mahkmah Agung atau lembaga
perundang-undangan yang berada dibawah yudisial lainnya seperti Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan setiap
konstitusi dilakukan oleh lembaga legislatif tindakan yang dilakukan oleh pihak legislatif atau eksekutif, termasuk
maupun oleh lembaga peradilan, bahkan oleh membatalkan peraturan perundag-undangan dengan alasan bahwa
suatu lembaga khusus yang ditunjuk untuk tindakan tersebut bertentangan dengan konstitusi, sehingga konteks
melakukan tugas uji konstitutionalitas judicial review menjadi pagar penyelamat terhadap konstitusi agar tidak
tersebut. diselewengkan dalam praktek
Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Undang-Undang Dasar 1945 telah memberikan 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban
konstitusional kepada Mahkamah Konstitusi untuk:
Setiap sidang pleno yang dilakukan oleh MK untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara harus dilakukan oleh 9 (sembilan) hakim konstitusi, kecuali dalam keadaan luar
biasa dapat dilakukan oleh 7 (tujuh) hakim konstitusi. Sebelum sidang pleno, dapat
dibentuk panel hakim yang anggotanya terdiri atas sekurang-kurangnya 3 (tiga) hakim
konstitusi. Hasil sidang panel dibahas dalam sidang pleno untuk diambil putusan.
Asas IUS CURIA NOVIT adalah asas bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara
yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, sebaliknya hakim harus memeriksa dan mengadilinya.
Asas bahwa persidangan pengadilan dilakukan secara terbuka untuk umum merupakan asas yang berlaku untuk semua jenis
pengadilan, kecuali dalam hal tertentu yang ditentukan lain oleh undang-undang. Hal ini tertuang di dalam Pasal 13 UU Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, serta juga ditegaskan dalam Pasal 40 ayat (1) UU MK, bahwa sidang MK terbuka untuk
umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim.
Independen dan imparsial. Untuk dapat memeriksa dan mengadili suatu perkara secara objektif serta memutus dengan adil, hakim
dan lembaga peradilan harus independen dalam arti tidak dapat diintervensi oleh lembaga dan kepentingan apapun, serta tidak
memihak kepada salah satu pihak yang berperkara atau imparsial. Hal ini berlaku untuk semua peradilan yang dirumuskan dalam Pasal
24 ayat (1) UUD 1945 sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan,
yang ditegaskan dalam Pasal 2 UU MK.
Prinsip peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan dimaksudkan agar proses peradilan dan keadilan itu sendiri dapat diakses oleh
seluruh lapisan masyarakat. Prinsip ini sangat terkait dengan upaya mewujudkan salah satu unsur negara hukum, yaitu equality before
the law.
Hak untuk didengar secara seimbang (audi et alteram partem) Pada pengadilan biasa, para pihak memiliki hak untuk didengar secara
seimbang
Hakim aktif dalam persidangan.
Asas Praduga Keabsahan (praesumtio iustae causa). Asas praduga keabsahan adalah bahwa tindakan penguasa dianggap sah sesuai
aturan hukum sampai dinyatakan sebaliknya. Berdasarkan asas ini, semua tindakan penguasa baik berupa produk hukum maupun
tindakan konkret harus dianggap sah sampai ada pembatalan.
Peraturan Mahkamah Konstitusi terkait dengan Pelaksanaan Kewenangan
Diajukan kepada MK diterima oleh petugas penerima permohonan untuk disampaikan kepada Panitera
MK yang akan melakukan pemeriksaan kelengkapan permohonan. Selain berkas permohonan perkara
(hard copy) dalam praktik pemohon juga diminta untuk menyerahkan permohonan dalam bentuk soft
copy atau file. Pemeriksaan yang dilakukan oleh panitera ini bersifat kelengkapan administratif, bukan
terhadap substansi permohonan. Pemeriksaan administrasi ini misalnya meliputi jumlah rangkap
permohonan, surat kuasa, kejelasan identitas, serta daftar alat bukti sebagaimana disyaratkan dalam
Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003;
Permohonan Online
Di samping permohonan yang disampaikan secara fisik ke kantor MK, permohonan juga dapat
dilakukan secara online melalui sistem informasi yang dikembangkan dan menjadi satu dengan
laman MK. Namun demikian, pengajuan perkara secara online harus tetap diikuti dengan
penyampaian berkas perkara secara fisik
Penggabungan Perkara
Terhadap beberapa permohonan perkara yang diterima, MK dapat menetapkan penggabungan perkara,
baik dalam pemeriksaan persidangan maupun dalam putusan. Penggabungan perkara dilakukan
melalui Ketetapan Mahkamah Konstitusi apabila terdapat dua perkara atau lebih yang memiliki objek
atau substansi permohonan yang sama. Penggabungan perkara biasanya dilakukan untuk perkara
sejenis walaupun ada kemungkinan terdapat dua perkara yang masuk dalam dua wewenang yang
berbeda yang memiliki isu hukum atau pokok perkara yang sama
Beban Pembuktian dan Alat Bukti
Secara umum terdapat beberapa teori pembuktian terkait dengan beban pembuktian dalam proses
peradilan, antara lain teori affirmatif, teori hak, teori hukum objektif, teori kepatutan, dan teori
pembebanan berdasarkan kaidah yang bersangkutan.
Teori affirmatif adalah teori yang menyatakan bahwa beban pembuktian dibebankan kepada pihak yang
mendalilkan sesuatu, bukan kepada pihak yang mengingkari atau membantah sesuatu (pembuktian
negatif);
Teori hak pada hakikatnya sama dengan teori affirmatif, yaitu siapa yang mengemukakan suatu hak harus
membuktikan hak tersebut;
Teori hukum objektif menyatakan bahwa pihak yang mendalilkan adanya norma hukum tertentu harus
membuktikan adanya hukum objektif yang menjadi dasar norma hukum tersebut;
Teori kepatutan menyatakan bahwa beban pembuktian diberikan kepada pihak yang lebih ringan untuk
membuktikannya;
Teori pembebanan berdasar kaidah yang bersangkutan menentukan bahwa beban pembuktian ditentukan
oleh kaidah hukum tertentu;
Undang Undang Mahkamah Konstitusi hanya menyatakan bahwa untuk memutus perkara
konstitusi, harus didasarkan pada sekurang-kurangnya dua alat bukti, baik yang
diajukan oleh pemohon, termohon, atau pihak terkait. Tidak ditentukan siapa yang
harus membuktikan sesuatu. Oleh karena itu berlaku prinsip umum hukum acara bahwa
barang siapa mendalilkan sesuatu, maka dia wajib membuktikan. Walaupun demikian,
karena perkara konstitusi yang sangat terkait dengan kepentingan umum, hakim dalam
persidangan MK dapat aktif memerintahkan kepada saksi atau ahli tertentu yang
diperlukan. Oleh karena itu pembuktian dalam peradilan MK dapat disebut menerapkan
“ajaran pembuktian bebas yang terbatas”.
Dikatakan sebagai bebas karena hakim dapat menentukan secara bebas kepada beban
pembuktian suatu hal akan diberikan. Tentu saja dalam menentukan hal tersebut hakim
dapat menggunakan salah satu atau beberapa teori dan ajaran pembuktian yang ada.
Namun dalam kebebasan tersebut hakim juga masih dalam batasan tertentu. Paling tidak
pihak pemohon yang mendalilkan memiliki kedudukan hukum untuk suatu perkara,
harus membuktikan dalil tersebut. Beban pembuktian terkait kedudukan hukum ini tentu
saja tidak dapat dialihkan kepada pihak lain.
Ketentuan mengenai pembuktian “bebas yang terbatas” dapat dijumpai dalam PMK yang mengatur pedoman
beracara untuk setiap wewenang MK.
Pasal 18 ayat (1) sampai dengan ayat (3) PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara
Pengujian Undang-Undang menyatakan:
1. Pembuktian dibebankan kepada Pemohon;
2. Apabila dipandang perlu, Hakim dapat pula membebankan pembuktian kepada Presiden/Pemerintah, DPR,
DPD, dan/atau Pihak Terkait;
3. Presiden/Pemerintah, DPR, DPD, dan/atau Pihak Terkait dapat mengajukan bukti sebaliknya (tegen-bewijs).
Untuk perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara, Pasal 16 PMK Nomor 08/PMK/2006 tentang
Pedoman Beracara Dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara menyatakan:
1. Beban pembuktian berada pada pihak pemohon;
2. Dalam hal terdapat alasan cukup kuat, Majelis Hakim dapat membebankan pembuktian kepada pihak
termohon;
3. Majelis Hakim dapat meminta pihak terkait untuk memberikan keterangan dan/atau mengajukan alat bukti
lainnya
Alat-alat bukti yang diajukan ke peradilan MK, baik yang diajukan oleh pemohon maupun yang diajukan oleh
termohon dan/atau pihak terkait, perolehannya atau cara mendapatkannya harus dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Alat bukti yang didapatkan atau diperoleh dengan cara yang
bertentangan dengan hukum (illegally obtained evidence) tidak dapat disahkan oleh hakim konstitusi sebagai
alat bukti. Oleh karena itu setiap pemohon dan atau pihak lainnya mengajukan alat bukti kepada hakim
konstitusi, selalu diperiksa cara memperoleh atau mendapatkan alat bukti tersebut. Untuk alat bukti dari
pemohon, biasanya dilakukan dalam sidang pendahuluan.
JENIS DAN SIFAT PERSIDANGAN
Dilihat dari materi persidangan terkait dengan proses suatu perkara, sidang MK dapat dibagi
menjadi 4 (empat), yaitu Pemeriksaan Pendahuluan, Pemeriksaan Persidangan, Rapat
Permusyawaratan Hakim (RPH), dan Pengucapan Putusan
Sifat Putusan Dilihat dari amar dan akibat hukumnya, putusan dapat dibedakan menjadi
tiga, yaitu declaratoir, constitutief, dan condemnatoir. Putusan declaratoir adalah putusan
hakim yang menyatakan apa yang menjadi hukum. Misalnya pada saat hakim memutuskan
pihak yang memiliki hak atas suatu benda atau menyatakan suatu perbuatan sebagai
perbuatan melawan hukum. Putusan constitutief adalah putusan yang meniadakan suatu
keadaan hukum dan atau menciptakan suatu keadaan hukum baru. Sedangkan putusan
condemnatoir adalah putusan yang berisi penghukuman tergugat atau termohon untuk
melakukan suatu prestasi. Misalnya, putusan yang menghukum tergugat membayar
sejumlah uang ganti rugi. Secara umum putusan MK bersifat declaratoir dan
constitutief. Putusan MK berisi pernyataan apa yang menjadi hukumnya dan sekaligus
dapat meniadakan keadaan hukum dan menciptakan keadaan hukum baru.
Pengambilan Putusan Putusan diambil dalam rapat permusyawaratan hakim.
Dalam proses pengambilan putusan, setiap hakim konstitusi wajib menyampaikan
pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap permohonan.
Dissenting opinion adalah pendapat berbeda dari sisi substansi yang memengaruhi perbedaan amar
putusan. Sedangkan concurent opinion adalah pendapat berbeda yang tidak memengaruhi amar
putusan. Perbedaan dalam concurent opinion adalah perbedaan pertimbangan hukum yang
mendasari amar putusan yang sama.
Concurent opinion karena isinya berupa pertimbangan yang berbeda dengan amar yang sama
tidak selalu harus ditempatkan secara terpisah dari hakim mayoritas, tetapi dapat saja dijadikan
satu dalam pertimbangan hukum yang memperkuat amar putusan. Sedangkan dissenting opinion,
sebagai pendapat berbeda yang memengaruhi amar putusan harus dituangkan dalam putusan.
Dissenting opinion merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban moral hakim konstitusi
yang berbeda pendapat serta wujud transparansi agar masyarakat mengetahui seluruh
pertimbangan hukum putusan MK
Kekuatan Hukum Putusan Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap
sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Hal ini
merupakan konsekuensi dari sifat putusan MK yang ditentukan oleh UUD
1945 sebagai final.
Dalam Undang Undang Dasar 1945 Pasal 24 C, menyatakan bahwa Putusan Mahkamah
Konstitusi bersifat final dan mengikat. Dalam arti tidak dapat dilakukan upaya hukum
lainnya terhadap putusan mahkamah. Ketika putusan mahkah dibacakan dan diucapkan
dalam sidang terbuka, putusan tersebut seketika memperoleh kekuatan hukum yang
tetap dan tidak ada lagi upaya hukum lainnya terhadap putusan mahkamah. Maruarar
Siahaan berpendapat : “Mendasarkan pada Pasal 47 Undang Undang Nomor 24
Tahun 2003, bahwa putusan tingkat pertama dan terakhir, yang berarti final tersebut
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum
yang bersifat erga omnes, yaitu sebuah putusan yang akibat hukumnya mengikat semua
pihak (resjudicata pro veritate habeteur) ”