Anda di halaman 1dari 4

RESUME HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI

Nama : Muhamad Ilham Wibowo

Jurusan : Hukum Keluarga Islam

Nim : 202121150

Kelas : 4 HKI E

BAB I

Berdasarkan latar belakang sejarah pembentukan MK, keberadaan MK pada awalnya adalah
untuk menjalankan wewenang judicial review, sedangkan munculnya judicial review itu sendiri
dapat dipahami sebagai perkembangan hukum dan politik ketatanegaraan modern. Dari aspek
politik, keberadaan MK dipahami sebagai bagian dari upaya mewujudkan mekanisme checks and
balances antar cabang kekuasaan negara berdasarkan prinsip demokrasi. Hal ini terkait dengan
dua wewenang yang biasanya dimiliki oleh MK di berbagai negara, yaitu menguji
konstitusionalitas peraturan perundang-undangan dan memutus sengketa kewenangan
konstitusional lembaga negara.

Menurut Hans Kelsen dari sisi hukum keberadaan MK adalah konsekuensi dari prinsip
supremasi konstitusi untuk menjaganya diperlukan pengadilan khusus guna menjamin kesesuaian
aturan hukum yang lebih rendah dengan aturan hukum di atasnya. Pandangan tersebut merupakan
konsekuensi dari dalil hierarki norma hukum yang berpuncak kepada konstitusi sebagai the
supreme law of the land.

Agar konstitusi tersebut benar-benar dilaksanakan dan tidak dilanggar, maka harus dijamin bahwa
ketentuan hukum di bawah konstitusi tidak bertentangan dengan konstitusi itu sendiri dengan
memberikan wewenang pengujian serta membatalkan jika memang ketentuan hukum dimaksud
bertentangan dengan konstitusi. Pengujian ini sangat diperlukan karena aturan hukum undang-
undang itulah yang akan menjadi dasar penyelenggaraan negara. Salah satu ukuran yang paling
mendasar adalah ada atau tidaknya pelanggaran terhadap hak konstitusional yang ditentukan
dalam UUD 1945.

Kedudukan MK sebagai pelaku kekuasaan kehakiman sejajar dengan pelaku kekuasaan


kehakiman lain, yaitu MA, serta sejajar pula dengan lembaga negara lain dari cabang kekuasaan
yang berbeda sebagai konsekuensi dari prinsip supremasi konstitusi dan pemisahan atau
pembagian kekuasaan. Fungsi MK adalah menangani perkara ketatanegaraan atau perkara
konstitusional tertentu dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung
jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi.

Wewenang yang dimiliki oleh MK telah ditentukan dalam Pasal 24C UUD 1945 pada ayat (1)
dan ayat (2) yang dirumuskan sebagai wewenang dan kewajiban.

Wewenang tersebut meliputi:

1. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.


2. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-
Undang Dasar.

3. memutus pembubaran partai politik dan.

4. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

5. Sedangkan kewajiban MK adalah memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-
Undang Dasar.

Berdasarkan Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa MK memiliki sembilan orang
hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh
MA, tiga orang oleh DPR, dan tiga orang oleh Presiden.

BAB II

Hukum Acara MK dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur prosedur dan tata cara
pelaksanaan wewenang yang dimiliki oleh MK. Ada juga yang menyebut dengan istilah lain,
seperti Hukum Acara Peradilan Konstitusi, Hukum Acara Peradilan Tata Negara, dan lain-lain.
Penggunaan istilah Hukum Acara Mahkamah Konstitusi dipilih karena memang terkait dengan
perkara-perkara yang menjadi wewenang MK.

Hukum Acara MK adalah hukum formil yang berfungsi untuk menegakkan hukum materiilnya,
yaitu bagian dari hukum konstitusi yang menjadi wewenang MK. Oleh karena itu keberadaan
Hukum Acara MK dapat disejajarkan dengan Hukum Acara Pidana, Hukum Acara Perdata, dan
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.

Asas-asas Hukum Acara Mahkamah Konstitusi :

 Ius Curia Novit adalah asas bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa,
mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak
ada atau kurang jelas, sebaliknya hakim harus memeriksa dan mengadilinya. Asas
tersebut juga ditegaskan dalam Pasal 16 UU Kekuasaan Kehakiman.

 Persidangan terbuka untuk umum, Asas bahwa persidangan pengadilan dilakukan secara
terbuka untuk umum merupakan asas yang berlaku untuk semua jenis pengadilan, kecuali
dalam hal tertentu yang ditentukan lain oleh undang-undang. Hal ini tertuang di dalam
Pasal 13 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, serta juga ditegaskan
dalam Pasal 40 ayat (1) UU MK, bahwa sidang MK terbuka untuk umum, kecuali rapat
permusyawaratan hakim.

 Independen dan Imparsial, Untuk dapat memeriksa dan mengadili suatu perkara secara
objektif serta memutus dengan adil, hakim dan lembaga peradilan harus independen
dalam arti tidak dapat diintervensi oleh lembaga dan kepentingan apapun, serta tidak
memihak kepada salah satu pihak yang berperkara atau imparsial. Hal ini berlaku untuk
semua peradilan yang dirumuskan dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 sebagai kekuasaan
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan, yang ditegaskan dalam Pasal 2 UU MK.
 Peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan, Prinsip peradilan cepat, sederhana, dan
biaya ringan dimaksudkan agar proses peradilan dan keadilan itu sendiri dapat diakses
oleh seluruh lapisan masyarakat. Prinsip ini sangat terkait dengan upaya mewujudkan
salah satu unsur negara hukum, yaitu equality before the law. Jika pengadilan berjalan
dengan rumit dan kompleks, berbelit-belit, serta membutuhkan biaya yang mahal, maka
hanya sekelompok orang tertentu yang memiliki kemampuan berperkara di pengadilan,
dan hanya orang-orang inilah yang pada akhirnya dapat menikmati keadilan.

 Hak untuk didengar secara seimbang (audi et alteram partem), Pada pengadilan biasa,
para pihak memiliki hak untuk didengar secara seimbang. Para pihak dalam hal ini adalah
pihak-pihak yang saling berhadaphadapan, baik sebagai tergugat-penggugat, pemohon-
termohon, maupun penuntut-terdakwa. Dalam peradilan MK tidak selalu terdapat pihak-
pihak yang saling berhadapan (adversarial). Untuk perkara pengujian undangundang
misalnya, hanya terdapat pemohon. Pembentuk undang-undang, pemerintah dan DPR
tidak berkedudukan sebagai termohon.

 Hakim aktif dalam persidangan, Hakim pasif dalam arti tidak mencari-cari perkara.
Hakim tidak akan memeriksa, mengadili, dan memutus sesuatu sebelum disampaikan
oleh pemohon ke pengadilan. Hal ini merupakan prinsip universal lembaga peradilan,
dalam perkara yang banyak menyangkut kepentingan umum, hakim cenderung aktif.
Hakim dapat bertindak aktif dalam persidangan karena hakim dipandang mengetahui
hukum dari suatu perkara. Hal ini juga sesuai dengan asas ius curia novit.

 Asas praduga keabsahan (presumptio iustae causa), adalah bahwa tindakan penguasa
dianggap sah sesuai aturan hukum sampai dinyatakan sebaliknya. Berdasarkan asas ini,
semua tindakan penguasa baik berupa produk hukum maupun tindakan konkret harus
dianggap sah sampai ada pembatalan. Sah dalam hal ini berarti sesuai dengan asas dan
ketentuan hukum baik dari sisi materi maupun prosedur yang harus ditempuh.

BAB III

Aspek-aspek Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

1. Permohonan.
2. Pendaftaran permohonan dan penjadwalan sidang.
3. Permohonan online.
4. Penggabungan perkara.
5. Beban pembuktian dan alat bukti.
 Pasal 18 ayat (1) sampai dengan ayat (3) PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang
Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang menyatakan: (1)
Pembuktian dibebankan kepada Pemohon.
(2) Apabila dipandang perlu, Hakim dapat pula membebankan pembuktian
kepada Presiden/Pemerintah, DPR, DPD, dan/atau Pihak Terkait.
(3) Presiden/Pemerintah, DPR, DPD, dan/atau Pihak Terkait dapat mengajukan
bukti sebaliknya (tegen-bewijs).
 Pasal 36 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 menentukan alat bukti meliputi:
a. surat atau tulisan;
b. keterangan saksi;
c. keterangan ahli;
d. keterangan para pihak;
e. petunjuk; dan
f. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau serupa dengan itu.

1. Surat atau Tulisan.


2. Keterangan Saksi.
3. Keterangan Ahli.
4. Keterangan para pihak.
5. Petunjuk.
6. Informasi elektronik

6. Jenis dan sifat persidangan


 Pemeriksaan pendahuluan.
 Pemeriksaan persidangan.
 Rapat musyawarah hakim.
 Pengucapan putusan.

7. Putusan
 Putusan provisi dan putusan akhir
 Ultra petita
 Sifat putusan
 Pengambilan putusan
 Isi putusan
 Amar putusan hari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan panitera.
 Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion)

Anda mungkin juga menyukai