Anda di halaman 1dari 12

PERNIKAHAN DINI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERNIKAHAN

Catur Yunianto, SH. MH.


UIN RADEN MAS SAID SURAKARTA
wibowomuh10@gmail.com

Abstrak: The book on early marriage in the perspective of marriage law explains
how the situation is old enough to face a marriage and there are no definite provisions
for marriage at a very young age, but it is wiser to marry according to the age set by
state law. about marriage.
This method develops to research and see from the point of view of marriage law.

Kata kunci: Pernikahan, usia dini, hukum perkawinan

Pendahuluan
Dalam agama maupun secara adat memang tidak ada ketentuan yang pasti dalam
melakukan sebuah pernikahan. Akan tetapi, lebih bijaksana apabila melakukan
pernikahan sesuai dengan usia yang ditetapkan oleh Undang-undang negara tentang
perkawinan.

Menikah di usia yang matang tentu telah siap secara fisik dan mental sudah siap untuk
berumah tangga serta mampu untuk menghadapi berbagai persoalan sebagai suami istri
Pertunya juga kesadaran para orang tua akan pernikahan anaknya. Faktor agama dan
budaya tentu tidak lantas menjadi pegangan untuk menikahkan anak-anak mereka yang
masih dibawah umur. Sebagai warga negara yang patuh terhadap hukum dan undang
undang tentu harus patuh menjalankannya khususnya mengenal pernikahan.

Hal tersebut juga harus diawali dengan pengawasan terhadap pergaulan anak Kemudian
bagaimana orang tua memberikan pengetahuan tentang seks secara dasar guna
menghindari pergaulan yang dapat melampaui batas Peran pemerintah tentu sangat
dihrapkan untuk melakukan penanganan tentag pernikahan dini.

1
PERNIKAHAN DINI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB 1

A. Pengertian Pernikahan
Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 pengertian pernikahan atau
perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Dalam kepustakaan, perkawinan lalah agad
yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya bukan muhrim.

B. Pernikahan Dini
Menurut Huda, pengertian pernikahan dini lebih dikaitkan dengan waktu yang terlalu
awal. Pernikahan dini merupakan pernikahan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan
Undang undang perkawinan tahun 1974 yang menyebutkan bahwa batas minimal usia
bagi perempuan yaitu 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. Undang-undang ini tentu menjadi
sebuah dasar bagi seluruh warga negara di Indonesia yang ingin melangsungkan
pernikahan. Kebijakan mengenai undang-undang pernikahan tentunya melalui proses
panjang dengan berbagai pertimbangan, misalnya secara fisik, psikologis, dan mental
calon mempelai. Bidang kedokteran memiliki sudut pandang bahwa terdampat dampak
negatif terhadap kesehatan dan ibu yang melakukan pernikahan dini. Kehamilan yang
dialami para ibu muda rentan menimbulkan kematian bagi calon anak dan ibunya. Para
sosiolog juga menambahkan bahwa pernikahan dini juga dapat berpengaruh terhadap
harmonisasi keluarga kelak. Sifat labil dan masih belum matang secara mental dinilai
menjadi pemicunya.

C. Syarat Pernikahan
Adapun syarat-syarat perkawinan menurut Undang-Undang no. 1 Tahun 1974 sebagai
berikut:

Pasal 6
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai;

2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua


puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2)
pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua
yang mampu menyatakan kehendaknya.

2
Pasal 7

(1) Perkawinan banya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas)
tahun.

(2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (2) pasal ini dapat meminta
dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang
tua pihak pria maupun pihak wanita.

(3) Ketentuan-ketentuan mengenali keadaan salah seorang atau kedua orang tua
tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini berlaku juga dalam
hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi
yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).

Pasal 8

Perkawinan dilarang antara dua orang yang:

(a) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas.

(b) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara,
antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara
neneknya.

(c) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri.

(d) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan saudara susuan
dan bibi/paman susuan.

(e) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari
isteri, dalam hal seorang suami beristen lebih dari seorang.

(f) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku,
dilarang kawin.

Pasal 9

Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin
lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-
undang ini.

3
Pasal 10

Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan
berceral lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh
dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Pasal 11

(1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu
(2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam
Peraturan Pemerintah lebih lanjut.

Pasal 12

Tata-cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan


tersendiri.

Ketentuan dalam pasal-pasal tersebut, tidak mengurang syarat-syarat menurut


ketentuan hukum perkawinan yang berlaku hingga saat ini Sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 1 undang-undang ini

D. Hukum Pernikahan Dini dari Beberapa Perspektif Hukum

1. Menurut Undang-Undang
Permasalahan pernikahan dini di Indonesia pasti bertabrakan dengan
Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-undang
Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002. Di dalam bab II pasal 6 dan pasal 7
Undang-undang No. 1 tentang perkawinan sudah dijelaskan mengenai syarat
dan ketentuan perkawinan di Indonesia. Dalam pasal-pasal tersebut
menjelaskan perkawinan yang harus disetujui dan disepakati terhadap kedua
calon mempelai dan usia bagi pria yang minimal harus berusia 19 tahun dan
bagi perempuan minimal 16 tahun. Dasar inilah yang harus dijadikan
rujukan bagi seluruh warga negara yang ingin melakukan perkawinan atau
pernikahan. Apabila sudah tidak sesuai dengan Undang undang tersebut akan
menyalahi peraturan yang berlaku terhadap Undang-undang perkawinan.

Undang-undang berikutnya ialah rujukan terhadap Undang-undang No. 23


tahun 2002 tentang perlindungan. Undang-undang No. 23 tahun 2002
tentang perlindungan anak berusaha untuk mencegah terjadinya praktek
pernikahan dini yang terjadi di Indonesia. Pasal 1 menjelaskan pengertian
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,

4
termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak adalah generasi penerus
bangsa yang juga berhak mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan
dan diskriminasi dalam kelangsungan hidupnya, serta berhak untuk
berkembang dan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Anak diharapkan meneruskan cita-cita bangsa di masa depan.

Pernikahan dini merupakan pernikahan dibawah umur yang banyak


mengeksploitasi anak-anak. Masa anak-anak seharusnya menjadi masa yang
menjadi tempat dimana kebahagiaan dan kasih sayang orang tua banyak
didapatkan Ketika pernikahan dini dilakukan, masa-masa indah tersebut
tidak dapat dinikmati oleh seseorang anak.

Pernikahan seharusnya beracuan kepada undang-undang pernikahan dan


perlindungan anak. Pembatasan usia diperbolehkannya menikah harus
dijadikan acuan agar calon mempelai memiliki kesiapan secara mental dan
psikologis dalam bentuk rumah tangga nanti. Banyak kasus yang terjadi
tentang pernikahan dini penyebabnya karena menikah hanya karena
memandang pada fisiknya saja, tetapi fisik tidak menjamin sikap dewasa
terhadap mempelai, maka peranan orang tua disini diperlukan guna
memberikan pengarahan yang terbaik untuk anaknya.

2. Menurut Pandangan Hukum Islam


Dalam segi pandangan Hukum agama Islam menikah merupakan persoalan
yang harus ditunaikan karena untuk menghindari perbuatan maksiat. Sesuai
dengan arahan Presiden No.1 tahun 1991 tentang kompilasi hukum islam
dijelaskan bahwa pernikahan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu
akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk menaati perintah
Allah SWT dan melaksanakannya merupakan suatu ibadah. Dalam pasal 3
Kompilasi Hukum Islam juga menjelaskan bahwa perkawinan bertujuan
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang Sakinah, Mawaddah, dan
Warahmah. Dalam pasal berikunya, yaitu pasal 4, perkawinan sudah sah
apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1)
Undang undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam pasal 15
menjelaskan bahwa untuk mencapai kemaslahatan keluarga dan rumah
tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah
mencapai umur sesuai dengan ketetapan dalam pasal 7 Undang-undang No.1
tahun 1974 yaitu bagi laki-laki berusia sekurang-kurangnya 19 tahun dan
perempuan sekurang-kurangnya 16 tahun.

Salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yaitu Ibnu Mas’ud


menceritakan sebuah Hadits Rasulullah tentang perkawinan sebagai berikut:

Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Wahai para pemuda,


barangsiapa diantara kalian telah mencapai ba'ah, kawinlah. Karena
sesungguhnya, pernikahan itu lebih mampu menahan pandangan mata dan
menjaga kemaluan. Dan, barangsiapa belum mampu melaksanakannya,

5
hendaklah ia berpuasa sesungguhnya puasa itu akan meredakan gejolak
hasrat seksual" (HR Imam yang Lima).

Pemuda dalam hadits Rasulullah tersebut adalah seorang yang telah


mencapai masa aqil baligh dan usianya belum mencapai tiga puluh tahun.
Masa aqil baligh ini seharusnya telah dialami setiap orang pada rentang usia
yaitu sekitar 14 sampai 17 tahun. Dalam agama Islam salah satu acuan
seseorang sudah mencapai usia aqil baligh apabila dia sudah mengalami
mimpi basah atau ihtilam. saat ini seseorang mengalami ihtilam tidak sejalan
dengan kematangan sesorang dalam berpikir sehingga kita memilki sebuah
kedewasaan. Pemuda saat ini memang banyak memiliki kematangan secara
seksual, akan tetapi masih belum memilki kematangan dalam pemikiran."

Dalam penjelasan Undang-undang tentang Kompilasi Hukum Islam telah


jelas menerangkan bahwa bagaimana syarat dan ketentuan mengenai
pernikahan dalam Islam merupakan sebuah ibadah dengan tujuan yang baik.
Undang-undang tersebut pula menetapkan syarat-syarat usia bagi calon
mempelai yang kurang lebih sama dengan Undang-undang perkawinan No. 1
tahun 1974. Seharusnya hal ini menjadi sebuah dasar bagi masyarakat untuk
menyelenggarakan pernikahan. Sebagaian besar masyarakat Indonesia
merupakan pemeluk agama Islam. Wajiblah bagi mereka yang memeluk
agama Islam dan sebagai warga negara negara yang taat akan undang-
undang untuk mematuhi peraturan yang berlaku di negaranya. Penjelasan
hadits Rasulullah SAW juga memaparkan bagaimana masa aqil baligh
sebagai salah satu persyaratan untuk melakukan pernikahan.

3. Menurut Pandangan Adat


Adat istiadat merupakan ialah suatu kompleks norma norma yang oleh
individu-individu menganutnya dianggap ada diatas manusia yang hidup
bersama dalam kenyataan suatu masyarakat. Adat istiadat ini merupakan
suatu ikatan dalam sebuah masyarakat sebuah pedoman masyarakat untuk
berperilaku. Tujuannnya ialah untuk melakukan kontrol terhadap perilaku-
perilaku yang dianggap menyimpang oleh masyarakat itu sendiri. Sehingga
didalamnya terdapat norma norma dan pranata sosial. Perkawinan dalam
hukum adat merupakan bagian dari norma-norma dan pranata-pranata sosial
yang mengatur bagaiamana cara, syarat dan tujuan dsari perkawinan
tersebut.

Perkawinan bukan hanya sekedar bersatunya seorang laki-laki dan


perempuan semata, namun disini ialah bagaimana mempersatukan dua
keluarga besar yang akan memilki hubungan kekerabatan yang dipersatukan
lewat perkawinan. Menurut Surjanto" tujuan perkawinan menurut adat ialah
membentuk unit keluarga secara sah, yang anggota-anggotanya saling
bekerja sama untuk menyusun suatu rumah tangga yang otonom dan yang
mempunyai hak untuk melakukan hubungan seksual dengan sah dan
berusaha memilki keturunan yang sah pula. Dari kenyataan tersebut, dengan
adanya perkawinan terbentuklah relasi antara orang-orang yang mempunyai
6
kelamin berbeda dan membentuk unit tersendiri, melalui proses pengakuan
dari masyarakat sekitar.

Surjanto menyatakan dalam masyarakat Jawa perkawinan yang ideal adalah


suatu perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang berdasarkan saling
mencinta dan mempunyai tingkat pendidikan yang seimbang, dan
diharapakan mendapatkan persetujuan dari orang tua. Masyarakat Jawa
mempercayai bahwa kedua mempelai yang ideal ialah memiliki perbedaan
umur paling sedikit 5 tahun dengan umur laki-laki lebih tua. Purwadi
mengatakan bahwa wujud ideal perkawinan antara lain tampak dalam
keharmonisan pola cara berpikir diantara suami dan istri. Akan tetapi, dalam
pola dan cara berpikir tesebut tentu tidak lepas dari usia suami dan istri. Usia
memiliki pengaruh besar dalam pola pikir pasangan dalam berumah tangga.
Dalam adat masyarakat Jawa misalnya, umur merupakan hubungan dari
kewajiban anggota pasangan dalam rangka tujuan perkawinan. Menurut
Surjanto dalam pandangan masyarakat Jawa wanita yang diperkenankan
untuk menikah diharapkan sudah mengalami masa menstruasi dan laki-laki
sudah mencapai umur dewasa dan kuat cekelgawe, artinya ialah dapat
melepaskan diri dari orang tua dan mampu untuk mencari nafkah dan sudah
melalui upacara sunat atau pemotongan ujung alat kelamin. Apabila kita
perkirakan usia calon pengantin wanita yaitu sekitar 14 sampai 15 tahun.
Bagi laki-laki dia harus mampu untuk bekrja dan hasil pekerjaannya tersebut
mampu mencukupi kehidupan berumah tangganya. Hal ini sudah dapat
memenuhi salah satu persyaratan perkawinan, khususnya dalam adat Jawa.

Dalam perkawinan adat tidak ada aturan yang tegas mengenai usia seseorang
untuk diperbolehkan menikah. Hanya sebuah pemaparan mengenai kedua
belah pihak harus sudah mencapai batas usia tertentu. Seperti dalam adat
masyarakat Jawa yang menjelaskan bahwa persyaratan pernikahan kepada
laki-laki yang sudah harus dapat bekerja dan bagi perempuan apabila sudah
mengalami masa menstruasi. Apabila terjadi sebuah pernikahan dengan usia
calon mempelai dibawah ketetapan Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang
perkawinan, tentu perkawinan ini akan bersebarangan dengan undang-
undang tersebut dan melanggar peraturan yang berlaku.

7
BAB 2

SEBAB DAN AKIBAT DARI PERNIKAHAN DINI

A. Penyebab dari Pernikahan Dini

1. Rendahnya tingkat pendidikan merupakan faktor minimnya pengetahuan yang


dimiliki oleh orang tua dan anak sehingga menimbulkan kecenderungan
terjadinya pernikahan dibawah umur.
2. Intervensi Orang Tua terhadap pernikahan dini, keluarga merupakan sebuah
badan sosial yang memiliki fungsi untuk membimbing atau mengarahkan
individu untuk lebih efektif dalam kepribadian dan perilakunya. Hal tersebut
dapat berupa kontrol dan kasih sayang terhadap individu dalam keluarga. Akan
muncul bagaimana kebahagiaan, kesedihan dan perasaan lain dalam proses itu.
3. Dualisme status legalitas status pernikahan secara agama dan negara, Dualisme
legalitas status perkawinan dalam pandangan agama dan negara telah
menjadikan masalah tersendiri dalam sistem hukum di Indonesia. Nikah siri
tanpa pencatatan resmi dianggap sah menurut hukum agama, akan tetapi secara
negara hal tersebut melanggar perundang-undangan. Dalam sistem hukum
Indonesia tidak mengenal pernikahan Siri ataupun semacamnya dan mengatur
secara khusus mengenai peraturan tersebut. Tapi secara Sosiologis pengertian ini
diberikan kepada pernikahan atau perkawinan yang tidak tercatat dan melanggar
peraturan yang ditetapkan oleh negara dalam Undang-undang perkawinan tahun
1974. Nikah siri dengan alasan apapun tidak bisa dibenarkan, terlebih pengantin
yang menikah masih berusia dibawah umur. Karena akan menyebabkan
terjadinya pernikahan dini. Pernikahan yang sah seharusnya sah secara agama
dan sah secara negara.
4. Keyakinan budaya , Pernikahan usia dini juga terjadi karena faktor budaya yang
terdapat pada sebuah masyarakat. Sebagian besar masyarakat kita masih
mempunyai adat dan kultur yang kuat dalam cara mereka menjalani
kehidupannya. Hal tersebut hampir merambah terhadap seluruh aspek kehidupan
masyarakat tersebut. Begitu pula hal itu mempengaruhi sebuah pernikahan yang
lekat dengan masing-masing tradisi yang mengikat. Terkadang masih dikatakan
sebuah kewajaran untuk menikahkan anak yang masih dibawah umur.
5. Minimnya sosialisasi pernikahan dini, Sosialisasi merupakan sebuah proses yang
dapat membantu individu melalui media pembelajaran dan penyesuaian diri.
Dari situ nanti kita dapat mengerti bagaimana berperilaku, berkata dan berpikir
agar mempunyai peran sesuai fungsinya baik sebagai individu maupun
masyarakat. Sosialisasi tersebut mendukung interkasi antar individu ataupun
dengan mesyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

8
6. Dampak media komunikasi terhadap pergaulan remaja, Kekhawatiran para
orang tua terhadap kemajuan teknologi yang berdampak pada pergaulan anaknya
dapat pula dijadikan alasan bagi orang tua untuk menikahkan sang anak
walaupun usia mereka masih dibawah umur. Pergaulan yang anak mereka
lakukan dinilai telah melebihi batas pertemanan menurut orang tua mereka.
7. Pemahaman anak sebagai beban ekonomi, Kondisi ekonomi sebuah keluarga
pasti akan berpengaruh terhadap perkembangan anak. Status sosial ekonomi
keluarga yang mapan membuat seluruh kebutuhan mereka terpenuhi, tidak
terkecuali kebutuhan sang anak. Dari kemapanan perekonomian keluarga
tersebut anak dapat memilki sebuah kesempatan yang luas untuk mendapatkan
pendidikan yang baik serta mampu untuk mengembangkan kemampuannya. Hal
ini bertolak belakang dengan kondisi ekonomi keluarga yang kurang mampu
memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Status pekerjaan dan penghasilan yang
tidak mencukupi membuat beban keluarga menjadi berat. Posisi orang tua harus
bertanggung jawab mengenai kondisi tersebut. Kondisi ini pula yang dapat
merenggut kesempatan anak untuk mengenyam pendidikan untuk mencapai apa
yang mereka cita-citakan. Putus sekolah terkadang menjadi pilihan yang berat.
Bahkan hal yang paling memprihatinkan ialah mereka segera menikahkan
anaknya, khususnya anak perempuan yang masih belum cukup umur.

B. Akibat dari pernikahan dini

 Dampak negatif
- Melanggar ketentuan UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
- Melanggar ketentuan UU No.23 Tahun 2002 tentang
perlindungan anak.
- Kehilangan masa remaja.
- Dari segi kesehatan tingginya angka kematian ibu melahirkan.
- Pendidikan menjadi dikorbankan.
- Psikologi.
- Rentan KDRT.

 Dampak positif
- Ekonomi akan mengajarkan kepada pasangan muda.
- Menghindarkan zina.

9
BAB 3

PENCEGAHAN PERNIKAHAN DINI

a. Penyuluhan secara langsung (Door To Door)


Mekanisme sosial yang paling awal dilakukan oleh para elit desa dan tokoh
masyarakat desa dalam mencegah pernikahan dini adalah penyuluhan secara
langsung atau "door to door Kegiatan penyuluhan ini dilakukan secara non
formal tanpa adanya campur tangan dari pemerintah. Inisiatif ini muncul dari
keprihatinan para perangkat desa dan tokoh masyarakat setempat yang melihat
dampak buruk dari pernikahan dini.

b. Pemanfaatan forum pengajian


Manfaat yang didapat dari kegiatan pengajian bersifat positif dan begitu besar
dirasakan oleh pelakunya. Ketika para pembimbing seperti uztadz atau kyai
memberikan materi pembahasan mengenai permasalahan dunia akhirat, maka
secara tidak langsung para orang yang mengikuti kegiatan pengajian diberikan
sebuah pencerahan agama yang bersifat positif. Hal inilah yang membuat
masyarakat muslim berusaha untuk ikut pengajian untuk memperbaiki dirinya
dan bertobat dari perbuatan-perbuatan yang melanggar aturan agama.

c. Penyuluhan oleh tokoh masyarakat.


Upaya dalam pencegahan pernikahan dini ialah melalui penyuluhan langsung
yang dilakukan oleh pak mudin desa atau tokoh masyarakat yang disegani,
Penyuluhan yang dilakukan oleh Mudin desa dalam pelaksanaannya pada saat
pendaftaran pencatatan. Mudin yang
bertanggung jawab atas pencatatan
nikah di desa, mempunyai wewenang
dalam memberikan penyuluhan
mengenai undang undang pernikahan serta
syarat dan ketentuan untuk menikah.

10
Kesimpulan
Buku Pernikahan Dini Dalam Perspektif Hukum Perkawinan memberi pandangan
bahwasanya pernikahan merupakan hal yang harus dilaksanakan. Akan tetapi, lebih
bijaksana apabila melakukan pernikahan yang sesuai dengan usia yang telah ditetapkan
oleh undang-undang tentang perkawinan. Agar dapat menjadi pasangan yang siap
secara fisik dan mental.

Daftar Pustaka

Adhim, Mohammad Fauzil. 2002. Indahnya Pernikahan Dini. Jakarta: Gema Insani
Press.

Ahmadi, Abu dan Uhbiyati, Nur. 1991. Dasar Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Abdullah, Syamsuddin. 1997 Agama Dan Masyarakat(Pendekatan Sosiologi Agama).


Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Ali, Zainuddin. 2010. Kajian Sosiologi Hukum Terhadap Perkawinan Dibawah Umur.
Jakarta: Pardiyanto UID.

Ahmad Hanafi, 1993, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang.

Ali Moertopo, 1978. Strategi Kebudayaan. Jakarta: Centre For Strategic And
International Studies (CSIS).

Ahmad Warson, Munawwir.1990. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Jakarta:


Grafiti Press.

Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, 2012, Kajian Pernikahan Dini Pada
Beberapa Provinsi Di Indonesia: Dampak Over population, Akar Masalah Dan Peran
Kelembagaan Di Daerah. Jakarta: Pokja Analisis Dampak Sosial Ekonomi terhadap
Kependudukan Ditdamduk BKKBN.

Bahari, Adib. 2012. Prosedur Gugatan Cerai dan Pembagian Harta Gono-Gini dan
Hak Asuh Anak. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia.

11
Fatmawati, Erma. 2012. Pernikahan Dini Pada Komunitas Muslim Madura Di
Kabupaten Jember, Jurnal Edu Islamika,Vol.3. No 1 Maret 2012.

Halim, Abdul. 2000, Menuju Keluarga Bahagia. Majalah perkawinan dan keluarga.

Hamdan, Rasyid. 2007. Bimbingan Ulama:Kepada Umara danUmat. Jakarta: Pustaka


Beta.

12

Anda mungkin juga menyukai