Anda di halaman 1dari 7

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH

TUGAS 1

Nama Mahasiswa : BONAFENTURA IBO

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 043660321

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4202/Hukum Perdata

Kode/Nama UPBJJ : 50/SAMARINDA

Masa Ujian : 2022/23.2(2023.1)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
1 . Syarat-syarat nikah dan segala hal tentang perkawinan di Indonesia telah diatur dalam
Undang-undang. Syarat-syarat tersebut diatur dalam Undang-undang RI No 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan diperbarui dengan Undang-Undang RI No 16 Tahun 2019.
Syarat-syarat perkawinan termuat dalam Bab II pasal 6 dan 7 UU RI No 16 Tahun 2019
Tentang Perubahan Atas UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dikutip dari UU
tersebut, Jumat (15/11/2019) perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan wanita sebagai suami isteri, bertujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
Berikut syarat-syarat nikah sebagaimana termuat dalam Undang-Undang.

Pasal 6
1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh
satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini
cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu
menyatakan kehendaknya.

4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu
untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara
atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan, lurus ke atas
selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang dalam ayat (2), (3) dan (4),
pasal ini atau salah seorang atau. di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka
Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang melangsungkan perkawinan
atas permintaan orang tersebut memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-
orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.

(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal berlaku sepanjang hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain.

Syarat regulatif
Untuk syarat regulatif, pernikahan di Indonesia harus memenuhi sejumlah persyaratan
yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Undang-Undang Nomor 16 Tahim 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Adapun syarat-syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Perkawinan hanya diizinkan apabila kedua calon pengantin sudah mencapai umur 19
tahun;
2. Dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan;
3. Pria hanya boleh menikah satu kali. Boleh lebih dari itu, apabila memiliki kondisi tertentu
(istri sakit/cacat yang tidak bisa sembuh, istri tidak dapat memenuhi kewajibannya, atau
istri tidak bisa memiliki keturunan) dan dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan;
4. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai;
5. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus
mendapat izin orangtua/wali;
6. Tidak berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
7. Tidak berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara,
antara seorang dengan saudara orangtua dan antara seorang dengan saudara neneknya
8. Tidak berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/bapak tiri;
9. Tidak berhubungan susuan, yaitu orangtua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan
bibi/paman susuan;
10. Tidak berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri,
dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
11. Tidak mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku,
dilarang kawin.

2 . Subjek Hukum
Subjek hukum adalah segala sesuatu yang menurut hukum dapat menjadi pendukung
(dapat memiliki) hak dan kewajiban. Dalam kamus Ilmu Hukum disebut juga ”orang” atau
”pendukung hak dan kewajiban.” Subjek hukum memiliki kewenangan bertindak menurut
tata cara yang ditentukan atau dibenarkan hukum.

Subjek hukum yang dikenal dalam ilmu hukum adalah manusia dan badan hukum. Dikutip
dari Cekricek.id, berikut ulasannya.

1. Manusia
Manusia (natuurlijk persoon) menurut hukum, adalah setiap orang yang mempunyai
kedudukan yang sama selaku pendukung hak dan kewajiban. Pada prinsipnya, orang
sebagai subjek hukum dimulai sejak ia lahir dan berakhir setelah meninggal dunia.
Terhadap hal tersebut, terdapat pengecualian, yaitu menurut Pasal 2 KUH Perdata, bahwa
bayi yang masih dalam kandungan ibunya dianggap telah lahir dan menjadi subjek hukum,
apabila kepentingannya menghendaki (dalam hal pembagian warisan).

Apabila bayi tersebut lahir dalam keadaan meninggal dunia, menurut hukum ia dianggap
tidak pernah ada, sehingga ia bukan subjek hukum (tidak menerima pembagian warisan).
Akan tetapi ada golongan manusia yang dianggap tidak cakap bertindak atau melakukan
perbuatan hukum, disebut personae miserabile yang mengakibatkan mereka tidak dapat
melaksanakan sendiri hak-hak dan kewajibannya, harus diwakili oleh orang tertentu yang
ditunjuk, yaitu oleh wali atau pengampu (kuratornya).

a. Anak yang masih di bawah umur atau belum dewasa (belum berusia 21 tahun), dan
belum kawin/nikah.
Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, terdapat berbagai ketentuan usia
minimal seseorang untuk melakukan suatu perbuatan hukum atau memperoleh hak, yaitu:
Pasal 330 KUH Perdata menentukan bahwa untuk melakukan perbuatan hukum di bidang
harta benda, usia 21 tahun atau telah menikah (kawin) atau pernah kawin/nikah.
Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan bahwa untuk dapat
melangsungkan perkawinan, usia 19 tahun bagi pria dan usia 16 tahun bagi wanita. Pada
Pasal 6 ayat (1) disebutkan bahwa yang belum berusia 21 tahun harus mendapat izin dari
orang tua atau walinya untuk melakukan perkawinan.
Pasal 45 KUH Pidana, belum dapat dipidana seseorang yang belum berusia 16 tahun. Hakim
berdasarkan Pasal 46 KUH Pidana dapat menjatuhkan hukuman dengan tiga kemungkinan,
yaitu mengembalikan kepada orang tua si anak, memasukkan dalam pemeliharaan anak
negara, atau menjatuhkan pidana tetapi dikurangi sepertiga dari ancaman maksimal
pidana yang dilanggar dan dipenjara pada penjara khusus anak-anak.

Pasal 28 UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), hak seseorang untuk
memilih adalah usia 17 tahun atau sudah/pernah kawin pada waktu pendaftaran pemilih.
Pasal 2 ayat (1) butir d PP No. 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi
menyebutkan bahwa usia untuk memperoleh Surat Izin Mengemudi (SIM) adalah :
 SIM C dan SIM D pada usia 16 tahun;
 SIM A pada usia 17 tahun;
 SIM B1 dan SIM B2 pada usia 20 tahun;

Pasal 33 Keputusan Presiden No. 52 Tahun 1977 tentang Kependudukan, usia 17 tahun
atau sudah/pernah nikah/kawin, wajib memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP).

b. Orang dewasa yang berada di bawah pengampuan (curatele), disebabkan oleh. Sakit
ingatan: gila, orang dungu, penyakit suka mencuri (kleptomania), khususnya penyakit.
Pemabuk dan pemboros (ketidakcakapannya khusus dalam peralihan hak di bidang harta
kekayaan). Istri yang tunduk pada Pasal 110 KUH Perdata. Ketentuan ini dianulir oleh Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 3 Tahun 1963, bahwa setiap istri sudah dianggap
cakap melakukan perbuatan hukum. Status istri yang ditempatkan di bawah pengampuan
berdasarkan penetapan hakim yang disebut kurandus.

2. Badan Hukum
Badan Hukum (rechts persoon), suatu perkumpulan atau lembaga yang dibuat oleh hukum
dan mempunyai tujuan tertentu. Badan hukum terbagi atas dua macam, yaitu:
 Badan hukum privat, seperti perseroan terbatas (PT), firma, CV, badan koperasi,
yayasan, PT (Persero) – BUMN/D dan sebagainya
 Badan hukum publik, seperti negara, pemerintah daerah, desa, Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB).
Keberadaan suatu badan hukum, berdasarkan teori hukum ditentukan oleh empat teori
yang menjadi syarat suatu badan hukum (sehingga dapat dikelompokkan/digolongkan)
sebagai subjek hukum, yaitu:
Teori fictie, yaitu badan hukum dianggap sama dengan manusia (orang) sebagai subjek
hukum, dan hukum juga memberi hak dan kewajiban.
Teori kekayaan bertujuan, yaitu harta kekayaan dari suatu badan hukum mempunyai
tujuan tertentu, dan harus terpisah dari harta kekayaan para pengurus atau anggotanya.
Teori pemilikan bersama, yaitu semua harta kekayaan badan hukum menjadi milik bersama
para pengurus atau anggotanya.

Teori organ, yaitu badan hukum harus mempunyai organisasi atau


alat untuk mengelola dan melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan, yaitu para
pengurus dan aset (modal yang dimiliki). Konsekuensi dari pemisahan harta kekayaan
badan hukum dengan harta pribadi para pengurus atau anggotanya adalah Penagih pribadi
terhadap anggota badan hukum, tidak berhak menuntut harta badan hukum. Para
pengurus/anggota tidak boleh secara pribadi menagih piutang badan hukum terhadap
pihak ketiga.Tidak dibenarkan kompensasi (ganti kerugian) utang pribadi dari pengurus
atau anggota dengan utang badan hukum. Hubungan hukum berupa perjanjian antara
pengurus/anggota dengan badan hukum disamakan hubungan hukum dengan pihak ketiga.
Jika badan hukum pailit, hanya para kreditur saja yang dapat menuntut harta kekayaan
badan hukum.

Objek Hukum
Objek hukum adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi subjek hukum, dan dapat
menjadi objek dalam suatu hubungan hukum. Menurut terminologi (istilah) ilmu hukum,
objek hukum disebut pula ”benda atau barang,” sedangkan ”benda atau barang” menurut
hukum adalah segala barang dan hak yang dapat dimiliki dan bernilai ekonomis, dan
dibedakan atas sebagai berikut.

1. Benda yang Berwujud dan Benda Tidak Berwujud


Benda yang berwujud, yaitu segala sesuatu yang dapat dicapai atau dilihat dan diraba oleh
panca indera, contohnya, rumah, meja, kuda, pohon kelapa. Benda tidak berwujud, yaitu
segala macam benda yang tidak berwujud, berupa segala macam hak yang melekat pada
suatu benda, contoh, hak cipta, hak atas merek, hak atas tanah, hak atas rumah.

2. Benda Bergerak dan Benda Tidak Bergerak


 Benda bergerak, yaitu benda yang bergerak, karena: Sifatnya dapat bergerak
sendiri, seperti hewan (kuda, sapi, kambing);
 Dapat dipindahkan, seperti kursi, meja, buku; Benda bergerak karena penetapan
atau ketentuan undang-undang, yaitu hak pakai atas tanah dan rumah, hak sero,
hak bunga yang dijanjikan.
 Benda tidak bergerak, yaitu setiap benda yang tidak dapat bergerak sendiri atau
tidak dapat dipindahkan, karena: Sifatnya yang tidak bergerak, seperti hutan,
kebun dan apa yang didirikan di atas tanah, termasuk apa yang terkandung di
dalamnya;
 Menurut tujuannya, setiap benda yang dihubungkan dengan benda yang karena
sifatnya tidak bergerak, seperti wastafel di kamar mandi, ubin, alat percetakan
yang besar di pabrik;
Penetapan undang-undang, yaitu hak atas benda tidak bergerak dan kapal yang
tonasenya/beratnya 20 m3. Pentingnya pembedaan benda bergerak dan benda tidak
bergerak yang diberikan hukum dalam kaitannya dengan pengalihan hak, yaitu terhadap
benda bergerak, cukup dilakukan dengan penyerahan langsung, sedangkan benda tidak
bergerak dilakukan dengan penyerahan dengan surat atau akta balik nama.

3 . Menurut Peraturan Mahkamah Agung (MA) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman
Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin, pengertian dispensasi kawin atau dispensasi
nikah adalah pemberian izin kawin oleh pengadilan kepada calon suami isteri yang belum
berusia 19 tahun untuk melangsungkan perkawinan. Mengutip dari situs Pengadilan Agama
Pulang Pisau, dispensasi nikah artinya upaya bagi mereka yang ingin menikah namun
belum mencukupi batas usia untuk menikah yang telah ditetapkan oleh pemerintah,
sehingga orang tua bagi anak yang belum cukup umurnya tersebut bisa mengajukan
dispensasi nikah ke Pengadilan Agama melalui proses persidangan terlebih dahulu agar
mendapatkan izin dispensasi perkawinan.

Sebagaimana yang dimaksud dengan pengertiannya, tujuan dispensasi nikah adalah untuk
memberikan kelonggaran hukum bagi mereka yang tidak memenuhi syarat sah pernikahan
atau perkawinan secara hukum positif. Maka dari itu undang-undang memberikan
kewenangan kepada pengadilan untuk memberikan dispensasi nikah.

Dasar Hukum Dispensasi Nikah


Dasar hukum tentang dispensasi nikah adalah telah diatur dalam sejumlah aturan
perundang-undangan tentang pernikahan atau perkawinan di Indonesia. Seperti dalam
Undang-undang (UU) Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas
Undang undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Sementara terkait dasar hukum pemberian dispensasi nikah adalah diatur dalam Peraturan
Mahkamah Agung (MA) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan
Dispensasi Kawin. Dalam Pasal 6 Peraturan Ma No. 5 Tahun 2019 ini disebutkan bahwa
pihak yang berhak mengajukan permohonan dispensasi nikah adalah orang tua atau wali.

Adapun tujuan ditetapkannya pedoman mengadili permohonan dispensasi nikah adalah


untuk:

Menerapkan asas sebagaimana dimaksud Pasal 2, yaitu asas kepentingan terbaik bagi anak,
asas hak hidup dan tumbuh kembang anak, asas penghargaan atas pendapat anak, asas
penghargaan harkat dan martabat manusia, asas non diskriminasi, kesetaraan gender, asas
persamaan di depan hukum, asas keadilan, asas kemanfaatan dan asas kepastian hukum
Menjamin pelaksanaan sistem peradilan yang melindungi hak anak Meningkatkan
tanggung jawab orang tua dalam rangka pencegahan perkawinan anak Mengidentifikasi
ada atau tidaknya paksaan yang melatarbelakangi pengajuan permohonan dispensasi
kawin Mewujudkan standardisasi proses mengadili permohonan dispensasi kawin di
pengadilan.

Aturan dan Syarat Dispensasi Nikah


Dalam Pasal 7 UU No. 16 Tahun 2019 disebutkan bahwa pernikahan atau perkawinan
hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun. Sementara jika
terjadi adanya penyimpangan terhadap ketentuan umur, maka pihak terkait dapat
meminta dispensasi nikah kepada pengadilan yang berwenang.

Aturan pemberian dispensasi nikah adalah diajukan oleh orang tua atau wali dengan wajib
mendengarkan pendapat kedua belah pihak calon mempelai. Hal ini tentunya dengan
memperhatikan syarat-syarat atau persyaratan dispensasi nikah sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangannya.

Secara administrasi persyaratan dispensasi nikah adalah sebagai berikut:


 Surat permohonan
 Fotokopi KTP kedua orang tua/wali
 Fotokopi Kartu Keluarga (KK)
 Fotokopi KTP atau Kartu Identitas Anak dan/atau akta kelahiran anak
 Fotokopi KTP atau Kartu Identitas Anak dan/atau akta kelahiran calon suami/isteri
 Fotokopi ijazah pendidikan terakhir anak dan/atau surat keterangan masih sekolah
dari sekolah anak.
Jika persyaratan tersebut di atas tidak dapat dipenuhi maka dapat digunakan dokumen
lainnya yang menjelaskan tentang identitas dan status pendidikan anak dan identitas orang
tua atau wali (Pasal 5 ayat 2 Perma Nomor 5 Tahun 2019).
Adapun maksud pemberian dispensasi nikah adalah oleh Pengadilan Agama bagi mereka
yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang beragama lainnya berdasarkan pada
semangat pencegahan perkawinan anak, pertimbangan moral, agama, adat dan budaya,
aspek psikologis, aspek kesehatan, dan dampak yang ditimbulkan.
Sedangkan contoh nya Berupa hamil diluar nikah dan/atau masih sekolah
4 . BUMN
PT. MINERAL INDUSTRI INDONESIA (persero)
PT. PERKEBUNAN NUSANTARA III (persero)
PT. PUPUK INDONESIA (persero)

BUMD
Bank Pembangunan Daerah (BPD)
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM)
Perusahaan Daerah Angkutan Kota (AKDP dan AKAP)
5 .

Anda mungkin juga menyukai