Anda di halaman 1dari 8

INISIASI 2

HUKUM PERDATA HKUM4202

Modul 3 & 4

MODUL 3
BADAN HUKUM
Dengan demikian, badan hukum ini adalah pendukung hak dan kewajiban yang tidak berjiwa
sebagai lawan pendukung hak dan kewajiban yang berjiwa (manusia). Pembentukan suatu
badan hukum dikaitkan dengan tujuannya ada dua macam, pertama badan hukum yang
bertujuan untuk mengejar keuntungan ekonomi. Contohnya: PT, Koperasi, dll. Kedua badan
hukum yang mengejar sesuatu yang ideal. Contohnya: yayasan atau partai politik.
Berdasarkan pendiriannya badan hukum dewasa ini terdiri dari dua macam. Pertama adalah
badan hukum yang sengaja dibentuk dan didirikan oleh pemerintah berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan guna mengejar tujuan negara yang bersifat ideal, misalnya
badan atau organ pemerintah. Kedua adalah badan hukum yang didirikan oleh perseorangan,
baik Warga Negara Indonesia (WNI) maupun Warga Negara Asing (WNA) yang mendapat
pengakuan dari pemerintah guna mengejar kepentingan yang bersifat ekonomi atau ideal.

DOMISILI
Domisili adalah tempat di mana seseorang dalam kaitannya dengan pelaksanaan hak-haknya
dan pemenuhan kewajiban-kewajibannya setiap waktu dapat dicapai sekalipun dalam
kenyataannya orang tersebut tinggal di tempat lain. Jadi, yang dimaksud dengan domisili
adalah tempat di mana seseorang oleh hukum dianggap selalu hadir. Domisili ini diperlukan
demi kepastian hukum. Domisili dibutuhkan untuk menentukan perbuatan hukum yang akan
dilakukan, misalnya calon suami istri yang akan melangsungkan perkawinan harus
menentukan domisili tempat di mana dilangsungkan perkawinan.

CATATAN SIPIL
Manusia sejak lahir sampai meninggal mengalami peristiwa-peristiwa yang secara hukum
mempunyai arti penting. Oleh karena peristiwa tersebut memiliki akibat hukum berkaitan
dengan statusnya sebagai subjek hukum. Peristiwa yang dimaksud adalah kelahiran,
kematian, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak,
perubahan nama, dan perubahan status kewarganegaraan. Peristiwa kelahiran perlu dicatat
untuk menjamin status seorang anak sebagai anak yang sah dari kedua orang tuanya.
Sementara untuk perkawinan pencatatan perkawinan akan membawa akibat hukum yang
berkaitan dengan hak dan kewajiban sebagai suami istri terhadap harta dan terhadap anak
yang dilahirkan. Perceraian juga perlu dicatatkan untuk menentukan status dari pasangan itu
dalam hal akan menikah lagi. Sedangkan kematian perlu dicatatkan karena berkaitan
peralihan hak dan kewajiban orang yang meninggal kepada ahli warisnya.

Lembaga yang bertugas untuk mencatatkan peristiwa hukum tersebut dan memberikan
salinannya pada yang bersangkutan adalah catatan sipil (burgelijk stand). Dalam menjalankan
tugas dan kewenangannya lembaga catatan sipil secara struktural berada di bawah tanggung
jawab departemen dalam negeri. Untuk memudahkan masyarakat dalam mencatatkan
peristiwa hukum yang dialaminya maka kantor catatan sipil tersebar pada setiap kabupaten
dan kotamadya.
Khusus untuk mereka yang beragama islam maka pencatatan nikah talak rujuk berada di
kantor catatan sipil di bawah departemen agama. Sebelum diundangkannya UU No. 3 Tahun
2006 lembaga catatan sipil menggunakan ketentuan yang berlaku pada zaman kolonial
Belanda yang menganut sistem diskriminasi dengan adanya penggolongan penduduk dan
penggolongan hukum sehingga terdapat beberapa ketentuan catatan sipil yang berbeda yang
berlaku pada masing-masing golongan penduduk. Dengan dikeluarkannya instruksi
presidium kabinet No. 31/U/IN/12/66 dipertegas dengan instruksi menteri kehakiman dan
menteri dalam negeri No. 51/I/3/J.A:2/2/5 tanggal 28 Januari 1967 yang isinya
menghilangkan adanya penggolongan penduduk tersebut.
Berdasarkan hal tersebut maka pengaturan catatan sipil yang berlaku bagi seluruh penduduk
Indonesia baik WNI maupun WNA dengan diundangkannya UU No. 23 Tahun
2006

KEADAAN TIDAK HADIR


Jika seseorang meninggalkan tempat tinggalnya dan tidak memberikan kuasa kepada orang
lain untuk mengurus kepentingannya maka kepentingan-kepentingan tersebut harus diwakili
oleh orang yang berkepentingan. Dalam hal ini hakim untuk sementara dapat memerintahkan
balai harta peninggalan untuk mengurus kepentingan-kepentingan orang yang pergi tersebut.
Jika kekayaannya tidak terlalu besar maka hakim dapat menunjuk anggota keluarganya. Balai
harta peninggalan berkewajiban untuk menyegel harta kekayaannya dan membuat catatan
menurut peraturan yang berlaku bagi pengurusan harta benda seorang anak di bawah umur.
Setelah lewat 5 tahun terhitung sejak hari kepergian orang tersebut dengan tanpa memberikan
kuasa untuk mengurus kepentingannya dan selama itu tidak ada kabar apakah ia masih hidup
maka orang-orang yang berkepentingan dapat minta kepada hakim agar ditetapkan bahwa
orang tersebut “dianggap telah meninggal” tentu saja diawali dengan pemanggilan melalui
media massa paling sedikit 3 kali berturut-turut dan kemudian hakim akan memanggil saksi
yang mengetahui mengenai orang yang pergi meninggalkan tempat tersebut. Jika
dianggapnya perlu, ia dapat menunda pengambilan keputusan hingga 5 tahun lagi dengan
mengulangi panggilan umum.

KEADAAN TIDAK HADIR Jika seseorang meninggalkan tempat tinggalnya dan tidak
memberikan kuasa kepada orang lain untuk mengurus kepentingannya maka kepentingan-
kepentingan tersebut harus diwakili oleh orang yang berkepentingan. Dalam hal ini hakim
untuk sementara dapat memerintahkan balai harta peninggalan untuk mengurus kepentingan-
kepentingan orang yang pergi tersebut. Jika kekayaannya tidak terlalu besar maka hakim
dapat menunjuk anggota keluarganya. Balai harta peninggalan berkewajiban untuk menyegel
harta kekayaannya dan membuat catatan menurut peraturan yang berlaku bagi pengurusan
harta benda seorang anak di bawah umur. Setelah lewat 5 tahun terhitung sejak hari
kepergian orang tersebut dengan tanpa memberikan kuasa untuk mengurus kepentingannya
dan selama itu tidak ada kabar apakah ia masih hidup maka orang-orang yang berkepentingan
dapat minta kepada hakim agar ditetapkan bahwa orang tersebut “dianggap telah meninggal”
tentu saja diawali dengan pemanggilan melalui media massa paling sedikit 3 kali berturut-
turut dan kemudian hakim akan memanggil saksi yang mengetahui mengenai orang yang
pergi meninggalkan tempat tersebut. Jika dianggapnya perlu, ia dapat menunda pengambilan
keputusan hingga 5 tahun lagi dengan mengulangi panggilan umum.
MODUL 4
Pengertian Hukum Keluarga
Hukum keluarga diartikan sebagai keseluruhan ketentuan- ketentuan yang mengatur
mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan keluarga sedarah dan keluarga
karena perkawinan. Keluarga sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa
orang yang mempunyai hubungan darah, sedangkan kekeluargaan karena perkawinan adalah
pertalian keluarga yang terdapat karena adanya perkawinan.
Pembedaan antara pertalian keluarga antara mereka yang memiliki hubungan darah
dengan mereka yang memiliki hubungan perkawinan disebabkan dalam perdata dikenal
adanya keturunan yang timbul di luar hubungan perkawinan. Hal ini dikenal dengan anak luar
kawin, yaitu anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah.

HUKUM KELUARGA [FAMILIERECHT]


Pengertian Perkawinan
Menurut UU No.1/1974 pasal 1 : Perkawinan ialah : ikatan lahir bathin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
KUHPerdata tidak memberikan suatu definisi mengenai apa yang dimaksud dengan lembaga
perkawinan. Perkawinan menurut KUHPerdata dipandang dari segi keperdataannya saja
sehingga perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilaksanakan atau dilakukan
berdasarkan ketentuan undang-undang (KUH Perdata).
Undang-undang tidak memperhatikan mengenai motif perkawinan, unsur agama, sosial,
keadaan biologis suami istri yang akan melangsungkan perkawinan dan lainnya, sepanjang
sudah sesuai dengan ketentuan undang-undang maka perkawinan dianggap sah.

Dampak negatif dari lembaga perkawinan menurut KUHPerdata/BW:

1. Undang-undang tidak mencampuri upacara-upacara yang mendahului adanya suatu


perkawinan atau aturan-aturan lainnya.
2. Undang-undang tidak memperhatikan larangan untuk kawin seperti ditentukan dalam
peraturan agama.
3. Undang-undang tidak memperhatikan dan memedulikan faktor- faktor biologis calon
atau pasangan suami istri.
4. Undang-undang tidak memedulikan motif-motif atau tujuan- tujuan yang mendorong
para pihak untuk melangsungkan suatu perkawinan.

Segi positif dari lembaga perkawinan menurut KUHPerdata/BW:


1. Perkawinan pada hakikatnya berlangsung abadi, artinya hanya diperbolehkan cerai
mati.
2. Pemutusan perkawinan selain dari kematian, misalnya karena perceraian, oleh
undang-undang dibatasi secara limitatif.
Prof. Subekti memberikan definisi perkawinan sebagai berikut:
“Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk
waktu yang lama”.
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan secara jelas tentang definisi
perkawinan.
“perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan ketuhanan yang maha esa”.

Kesimpulan dan pengertian perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 :


1. Perkawinan adalah ikatan lahir maupun batin sehingga tidaklah dimungkinkan adanya
suatu perkawinan yang hanya dilandasi ikatan secara batiniah saja berlandaskan cinta,
tetapi secara fisik terpisah antara pasangan yang satu dengan pasangan lainnya
2. Perkawinan adalah antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri.
3. Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk sebuah keluarga, sedangkan
keluarga inti minimal terdiri dari ayah, ibu dan anak sehingga seseorang yang
menikah memiliki tujuan dan komitmen untuk membentuk keluarga dan memperoleh
keturunan.
4. Keluarga yang dimaksud adalah keluarga yang bahagia, kekal, berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ide dasar yang melatar belakangi lahirnya UU No. 1 Tahun 1974
1. Ide unifikasi
UU No 1 tahun 1974 merupakan suatu kesatuan hukum tentang
perkawinan yang bersifat nasional yang berlaku untuk semua warga negara.
Untuk terciptanya ide unifikasi ini Pasal 66 UU No 1 tahun 1974 menghapuskan
perbedaan hukum yang berlaku selama ini
2. Ide Pembaharuan
UU ini pada dasarnya berusaha menampung aspirasi emansipasi tuntutan masa
kini yang menempatkan kedudukan suami dan istri dalam perkawinan sama
derajatnya, baik terhadap harta perkawinan maupun terhadap anak. Begitu juga
persamaan hak dan kedudukan dalam kehidupan berumah tangga maupun dalam
kehidupan bermasyarakat.

Perbedaan Perjanjian Dalam Perkawinan Dengan Perjanjian dalam Buku II KUHPerdata


1. Perjanjian berlaku bagi pihak-pihak yang bersangkutan, sedangkan perkawinan
berlaku terhadap setiap orang.
2. Perjanjian diadakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, sedangkan
perkawinan dilangsungkan oleh pejabat negara (Petugas Catatan Sipil atau Petugas
Kantor Urusa Agama) atas permintaan pihak yang berkepentingan.
3. Perjanjian mengenal adanya asas kebebasan berkontrak (di mana para pihak
dapa menentukan isi dari perjanjian tersebut), sedangkan dalam perkawinan para
pihak yan akan melangsungkan suatu perkawinan tidak dapat secara bebas
menentukan sendir syarat-syarat dari perkawinan karena semua persyaratan telah
ditentukan oleh undang undang.
4. Hak-hak yang bersumber dari perjanjian dapat dialihkan kepada orang lain, sedangka
hak-hak yang bersumber pada perkawinan tidak dapat dialihkan kepada orang lain
tetap melekat pada orang tersebut.
5. Perjanjian dapat dihapuskan setiap saat oleh pihak-pihak yang bersangkutan,
sedangka perkawinan putus karena kematian atau oleh alasan-alasan yang
ditentukan secar limitatif oleh undang-undang.

Syarat-Syarat Perkawinan
1. Syarat materiil adalah syarat yang menyangkut diri pribadi calon suami istri.
2. Syarat formil adalah syarat yang berkaitan dengan formalitas atau prosedur yang
harus diikuti oleh calon suami istri baik sebelum maupun pada saat dilangsungkannya
perkawinan.

Syarat Materil dibagi 2 :

1. Syarat Materil Umum


2. Syarat Materil Khusus

Syarat Formil Perkawinan dibedakan menjadi 2 (dua) :

1. Syarat formil sebelum perkawinan berlangsung.


2. Syarat formil pada saat berlangsungnya perkawinan.

PENCATATAN
Pemberitahuan akan dilangsungkannya perkawinan oleh calon mempelai baik secara lisan
maupun tertulis kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan, dalam
jangka waktu sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan (pasal 3
dan 4 PP No. 9/1975).
Pengumuman oleh Pegawai Pencatat dengan menempelkannya pada tempat yang disediakan
di Kantor Pencatatan Perkawinan. Maksud pengumuman itu adalah untuk memberikan
kesempatan kepada orang yang mempunyai pertalian dengan calon suami/isteri itu atau
pihak-pihak lain yang mempunyai kepentingan (misalnya kejaksaan) untuk menentang
perkawinan itu kalau ada ketentuan UU yang dilanggar. Pengumuman tersebut dilaksanakan
setelah Pegawai Pencatat meneliti syarat-syarat dan surat-surat kelengkapan yang harus
dipenuhi oleh calon mempelai.

TATACARA PERKAWINAN
dilakukan menurut masing-2 hukum agama dan kepercayaan orang yang melangsungkan
perkawinan itu. Perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh 2
orang saksi. Sesaat sesudah dilangsungkan perkawinan, kedua mempelai menanda – tangani
akta perkawinan, maka perkawinan itu telah tercatat secara resmi.

PENCEGAHAN PERKAWINAN
ialah hak yang diberikan oleh UU kepada orang-orang tertentu untuk atas dasar-dasar tertentu
menyatakan keberatan terhadap dilangsungkannya perkawinan antara orang-orang tertentu.
Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana
perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitaukannya kepada pegawai pencatat
perkawinan.
Perkawinan dapat dicegah apabila tidak memenuhi syarat materiil baik yang absolut dan
salah seorang mempelai dibawah pengampuan maupun yang relatif.

PEMBATALAN PERKAWINAN
Pasal 22 UU No. 1/1974 menyatakan : Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Dalam penjelasannya disebutkan
pengertian “dapat” pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana
ketentuan hukum agamanya masing-2 tidak menentukan lain.

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN


Hak dan kewajiban suami isteri (pasal 30-34) Harta benda dalam perkawinan (pasal 35-37)
Kedudukan anak (pasal 42-44, 55) Hak dan Kewajiban antara orang Tua dan Anak (pasal 45-
49) Perwalian (pasal 50-54)

Perkawinan merupakan hubungan hukum yang memiliki akibat hukum baik terhadap para
pihak atau suami istri, terhadap harta benda yang diperoleh selama perkawinan, maupun
terhadap status dan kedudukan anak yang dilahirkan.
Hak dan kewajiban yang timbul akibat dilangsungkannya perkawinan.
1. Terhadap Hubungan Suami Istri
Akibat perkawinan terhadap hubungan suami istri menimbulkan
Hak dan kewajiban di antara keduanya. Pokok landasan hak dan kewajiban suami Istri
menurut UU No. 1 Tahun 1974 adalah memikul kewajiban yang luhur untuk
menegakan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat.
2. Terhadap Anak
Akibat perkawinan terhadap anak muncul dengan apa yang disebut dengan kekuasaan
orang tua. Dengan adanya kekuasaan orang tua tersebut maka timbul hak dan
kewajiban orang tua terhadap anaknya. Dalam UU No. 1 Tahun 1974 dikatakan
bahwa mengenai anak itu dibedakan dalam dua, yaitu sebagai berikut.
a. Anak yang sah dari kedua orang tuanya.
b. Anak yang mempunyai hubungan dengan ibu dan keluarga ibunya.
3. Terhadap Harta

PUTUSNYA PERKAWINAN
Pasal 38 UU No. 1/1974 adalah : Kematian Perceraian Atas keputusan Pengadilan

Anda mungkin juga menyukai