Anda di halaman 1dari 26

BAGIAN PERTAMA

HUKUM PERKAWINAN
BAB I
PENDAHULUAN

Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor I Tahun 1974, kondisi hukum perkawinan di


Indonesia sangat pluralistis. Hal ini ditandai dengan berlakunya bermacam-macam hukum
perkawinan bagi orang Indonesia, yaitu:
1. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam yang telah direspsi oleh hukum adat.
2. Bagi orang Indonesia asli yang beagama Kristen berlaku Huwelyks Ordonantie Christenen
Indonesiers (HOCI) Tahun 1933 Nomor 74.
3. Bagi orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku hukum adat.
4. Bagi orang-orang Timur Asing China dan warga negara Indonesia keturunan China berlaku
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dengan sedikit perubahan.
5. Bagi orang-orang Timur Asing lainnya dan warga negara keturunan Timur Asing lainnya
berlaku hukum adat mereka.

Kondisi hukum perkawinan yang pluralistis tersebut tidak terlepas dari pengaruh politik
pemerintah kolonial Belanda yang termuat dalam Pasal 131 IS (Indische Staats Regeling) yang
mengatur tentang penggolongan penduduk menjadi 3 golongan.

Oleh karena hukum perkawinan yang ada sangat pluralistis, menonjolkan segi keperdataan
dan cenderung sekuler, maka berimplikasi pada munculnya ketiadaan kepastian hukum. Sehingga
diperlukan adanya solusi yang dapat mengatasi ketidakpastian tersebut, yaitu dengan upaya untuk
melahirkan sebuah undang-undang perkawinan yang bersifat nasional. Hal ini dijawab dengan
diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP). Kelahiran UUP ini
tentunya membawa konsekuensi antara lain bahwa dengan berlakunya UUP ini, maka dinyatakan
tidak berlaku beberapa peraturan perkawinan yaitu :
1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW).
2. Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (HOCI) Stb. 1933 Nomor 74.
3. Peraturan perkawinan campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken) Stb. 1898 Nomor
158 dan peraturan lain tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974.

Sekalipun telah berlaku hukum perkawinan nasional, eksistensi hukum perkawinan Islam
masih diakui. Dasar hukumnya adalah :
1) Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUP yang menyatakan ?Perkawinan sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu?. Hal-hal yang belum diatur
dan tidak bertentangan dengan UUP tetap berlaku menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya.
2) Ketentuan Pasal 66 UUP: bahwa yang tidak berlaku bukanlah peraturan secara keseluruhan,
melainkan hanyalah hal-hal yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam
UUP ini.

Dalam hal ini dapat dilihat kapan UUP berlaku bagi orang Islam dan kapan tidak berlaku.
UUP berlaku bagi orang Islam:
 Dalam hal-hal yang tidak diatur di dalam hukum perkawinan Islam atau tidak ditentukan
secara khusus dalam hukum perkawinan Islam, yaitu:
a. Tentang pencatatan perkawinan (Pasal 2 ayat (2) UUP);
b. Tentang izin kawin dan pengadilan agama bagi suami yang akan menikah lebih dari
seorang (Pasal 4);

Sebaliknya. UUP tidak berlaku bagi orang Islam:


 Dalam hal yang diatur secara lain atau khusus menurut hukum Islam, misal mengenai
bilangan talak. Al-Qur?an Surat Al-Baqarah ayat 230 dan 120 menentukan bahwa talak
dimungkinkan untuk dijatuhkan sampai tiga kali. Sementara Pasal 10 UUP hanya menentukan
mengenai batasan penjatuhan talak sebanyak dua kali.

BAB II
DASAR-DASAR PERKAWINAN

1. Pengertian

Menurut Pasal 1 UUP, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Di sini disyaratkan perkawinan antara
seorang pria dan wanita dan belum/tidak diatur tentang perkawinan dengan status baru yang
terjadi dengan adanya fenomena operasi ganti kelamin.
Sementara Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menentukan bahwa Perkawinan
menurut hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan
gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

2. Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan dalam hukum Islam tidak terlepas dari pernyataan Al Qur?an sebagai
sumber ajaran yang pertama. Al-Qur?an dalam Surat Ar-Ruum : 21 menegaskan bahwa ?Di
antara tanda-tanda kekuasaan Allah SWT ialah bahwa Dia menciptakan isteri-isteri bagi laki-laki
dan jenis mereka sendiri agar mereka merasa tenteram (sakinah). Kemudian Allah
menjadikan/menumbuhkan perasaan cinta dan kasih sayang (mawaddah dan rahmah) di antara
mereka. Dalam hal demikian benar-benar terdapat tandatanda (pelajaran) bagi mereka yang
mau berfikir. Tujuan perkawinan di atas terefleksi dalam ketentuan Pasal 3 KHI, yaitu bahwa
perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah
dan rahmah.

3. Sahnya Perkawinan

Perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai Pasal 2 ayat (1) UUP.

4. Pencatatan Perkawinan

Setiap perkawinan harus dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) sesuai dengan
ketentuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 jo Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954
tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, agar terjamin ketertiban perkawinan bagi
masyarakat Islam. Setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan
PPN. Pencatatan perkawinan tidak menentukan sah tidaknya suatu perkawinan, tetapi hanya
menyatakan bahwa peristiwa perkawinan benar-benar terjadi. Jadi semata-mata bersifat
administratif. Namun apabila ada perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan PPN, maka
perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum artinya hukum tidak memberikan
perlindungan apabila terjadi sesuatu terhadap perkawinan tersebut.

5. Alat Bukti Perkawinan

Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh PPN. Jika akta
nikah tidak ada, berdasarkan Pasal 7 ayat (4) KHI dapat diajukan itsbat nikah ke Pengadilan
Agama oleh suami atau isteri, anak-anak, wali dan pihak yang berkepentingan (misalnya jaksa
dalam rangka penuntutan perkara pidana pelangganan perkawinan ex Pasal 279 KUHP, yakni
jika pernikahan yang dijadikan dasar penuntutan itu tidak mempunyai akta nikah/belum tercatat
pada PPN KUA Kecamatan, maka jaksa dapat mengajukan itsbat nikah ke pengadilan agama
untuk membuktikan terjadinya pelanggaran tindak pidana).

Itsbat nikah dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas pada hal-hal sebagai berikut:
a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian.
b. Hilangnya akta nikah.
c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan.
d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UUP.
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan
menurut UUP.

6. Alat Bukti Putusnya Perkawinan dan Rujuk

? Putusnya perkawinan selain cerai mati dibuktikan dengan Surat Cerai berupa putusan
PA (perceraian, ikrar talak, khuluk, taklik talak)
輓 talak : perceraian
atas kehendak suami, disebut juga dengan cerai talak. Menurut hukum Islam, suami
yang mempunyai kekuasaan memegang tali perkawinan dan karena itu maka suami yang
berhak melepaskan tali perkawinan dengan mengucapkan ikrar talak. Suami yang ingin
mengucapkan ikrar talak, ia tidak mengajukan gugatan perceraian, tetapi mengajukan
permohonan ijin untuk mengucapkan ikrar talak. Pengadilan akan menilai apakah
permohonan itu sah, layak dan memenuhi alasan-alasan menurut hukum Islam.
輓 cerai gugat: isteri
tidak punya hak menceraikan suami, karena itu ia harus mengajukan gugatan untuk
bercerai. Selanjutnya hakim yang akan memutuskan perkawinannya dengan kewenangan
yang dimilikinya.
輓 khuluk perceraian
yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan (iwadl) kepada dan atas
persetujuan suaminya.
輓 taklik talak :
perjanjian yang diucapkan oleh calon mempelai pria setelah akad nikah yang
dicantumkan dalam akta nikah berupa janji yang digantungkan kepada suatu keadaan
tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.
輓 Catatan: alasan-
alasan yang dipergunakan untuk mengajukan cerai gugat oleh isteri sama dengan alasan
cerai talak oleh suami

BAB III
RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN

? Rukun adalah unsur-unsur yang harus ada untuk dapat terjadinya suatu perkawinan. Rukun
perkawinan terdiri dari calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi serta ijab dan kabul
? Syarat perkawinan adalah syarat yang harus dipenuhi oleh masing-masing unsur perkawinan.

CALON SUAMI ISTERI

1. Calon suami-isteri syarat-syaratnya:

a) Umur calon suami 19 tahun; calon isteri 16 tahun (Pasal 7 UUP).


b) Mempelai yang belum berumur 21 tahun harus ijin orang tua.
c) Ada persetujuan calon mempelai.
d) Antara calon mempelai tidak terdapat halangan perkawinan.

2. Sebab-sebab Larangan Perkawinan

a) Karena pertalian nasab :


 ibu, nenek dan seterusnya, anak, ducu, dan seterusnya.
 saudara-saudara perempuan dan seterusnya ke bawah.
 bibi dan seterusnya ke atas.
b) Karena pertalian kerabat semenda
 mertua, ibu tiri (bekas isteri ayah), anak tiri (kecuali putusnya hubungan perkawinan
dengan bekas isterinya itu qobla aldukhul, menantu/bekas isteri anaknya.
c) Karena pertalian sesusuan
 ibu sesusuan dan seterusnya ke atas.
 saudara sesusuan dan seterusnya ke bawah.
 kemenakan sesusuan dan seterusnya ke bawah.
 bibi dan nenek bibi sesusuan ke atas
 anak yang disusui isterinya dan keturunannya.
d) Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan wanita yang mempunyai hubungan
nasab atau susuan dengan isterinya (saudara kandung, seayah, serta keturunannya;
bibinya atau kemenakannya).
e) Seorang pria dilarang kawin lebih dari empat orang wanita.
f) Dilarang kawin seorang pria dengan:
 wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali, kecuali telah terpenuhinya syarat-syarat
tertentu.
 wanita bekas isterinya yang telah di li?an.

g) Wanita Islam dilarang kawin dengan pria non-Islam.

3. Larangan Perkawinan dalam Keadaan Tertentu


a) Wanita yang masih terikat perkawinan dengan pria lain.
b) Wanita yang masih dalam masa iddah dengan pria lain.
c) Wanita yang tidak beragama Islam

4. Peminangan

a) Pengertian
Peminangan dalam fiqh disebut khitbah = permintaan, adalah pernyataan atau
permintaan dan seorang laki-laki kepada seorang wanita dengan maksud untuk dinikahinya,
baik dilakukan oleh laki-laki yang bersangkutan secara langsung maupun melalui perantaraan
pihak lain yang dipercaya sesuai dengan ketentuan agama.
Peminangan menurut KHI adalah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan
perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita (Pasal 1 huruf a KHI).
b) Pelaku peminangan
Dapat dilakukan langsung oleh yang bersangkutan dan melalui perantara orang lain
yang dapat dipercaya.
c) Wanita yang dilarang dan haram dipinang.
? Wanita yang masih menjalani masa iddah raj?i.
? Wanita yang sedang dipinang oleh pria lain, kecuali pinangan tersebut telah putus dan
ditolak.
d) Putusnya pinangan dan akibatnya
Putusnya pinangan dapat terjadi karena: (1) adanya pernyataan tentang putusnya
hubungan pinangan, dan (2) Secara diam-diam pria peminang telah menjauhi dan
meninggalkan wanita yang dipinang.
Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan
hubungan peminangan dengan tetap mengindahkan tata cara yang baik sesuai dengan
tuntunan agama dan kebiasaan setempat dan tetap memelihara kerukunan. Peminangan
dalam hukum Islam belum mempunyai akibat hukum. Hal ini mempunyai kesamaan dengan
hukum perdata barat yang tidak terdapat sanksi hukum apabila terjadi pemutusan pinangan.
Berbeda dengan status ?pertunangan? dalam hukum adat. Dalam hukum adat, pertunangan
dianggap sebagai suatu lembaga hukum; suatu pengertian hukum, yang konsekuensinya
mempunyai akibat hukum, misalnya pihak yang memutuskan/bersalah kehilangan tanda
pengikat, mengembalikan dua kali lipat dan membayar denda delik lainnya. Dalam hukum
adat, adanya pertunangan berarti seseorang terikat untuk kawin dan ada kewajiban untuk
memberikan hadiah-hadiah.
e) Catatan: Diterimanya pinangan pria oleh pihak wanita belum menghalalkan ?hubungan?
antara keduanya.

WALI NIKAH

1. Kedudukkan Wali

a) Imam Malik, Syafi?i dan Hambali berpendapat bahwa wali merupakan syarat sahnya
perkawinan. Dasar hukumnya adalah:
? Hadits Nabi
?Barang siapa di antara perempuan yang menikah dengan tak seijin walinya maka
perkawinannya batal? (Empat orang ahli hadits kecuali Nasai)
? Hadits Nabi
?Janganlah menikahkan perempuan akan perempuan lain dan jangan pula menikahkan
seorang perempuan akan dirinya sendiri? (Riwayat Ibnu Majah dan Daruquthni)
? Hadits Nabi
?Tidak sah nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil? (Hadits Riwayat
Ahmad).
b) Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita boleh mengawinkan dirinya sendiri tanpa wali.
Hadits Nabi
?Orang-orang yang tidak mempunyai jodoh lebih berhak atas perkawinan dirinya daripada
walinya, dan gadis itu dimintakan persetujuannya untuk dinikahkan dan tanda ijinnya ialah
diamnya? (Hadits Bukhari Muslim).
c) Kompilasi Hukum Islam menentukan bahwa wali nikah merupakan rukun.

2. Tertib Wali

Tertib wali menurut Imam Syafi?i:


a) Ayah
b) Kakek dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki
c) Saudara laki-laki kandung
d) Saudara laki-laki seayah
e) Kemenakan laki-laki kandung
f) Kemenakan laki-laki seayah
g) Paman kandung
h) Paman seayah
i) Saudara sepupu laki-laki kandung
j) Saudara sepupu laki-laki seayah
k) Sultan/hakim
1) Orang yang ditunjuk oleh mempelai wanita

3. Macam Wali

a) Wali Nasab
Wali nasab artinya anggota keluarga laki-laki dari calon mempelai perempuan yang
mempunyai hubungan darah patrilinial dengan calon mempelai perempuan.
Wali nasab terbagi menjadi dua:
1) Wali mujbir, yaitu wali nasab yang berhak memaksakan kehendaknya untuk menikahkan
calon mempelai perempuan tanpa meminta ijin kepada wanita yang bersangkutan hak
yang dimiliki oleh wali mujbir disebut dengan hak ijbar. Wali yang memiliki hak ijbar ini
menurut Imam Syafi?i hanya ayah, kakek dan seterusnya ke atas. Para ulama
berpendapat bahwa wali mujbir dapat mempergunakan hak ijbar, apabila terpenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:
(a) Antara wali mujbir dengan calon mempelai tidak ada permusuhan.
(b) Laki-laki pilihan wali harus sekufu dengan wanita yang akan dikawinkan.
(c) Di antara calon mempelai wanita dengan calon suami tidak ada permusuhan
(d) Maharnya tidak kurang dari mahar mitsil.
(e) Laki-laki pilihan wali akan dapat memenuhi kewajibannya terhadap isteri dan tidak ada
kekhawatiran akan menyengsarakannya.
Catatan: Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, wanita dapat meminta fasakh ke
pengadilan.
2) Wali nasab biasa, yaitu wali nasab yang tidak mempunyai kewenangan untuk memaksa
menikahkan tanpa ijin/persetujuan dari wanita yang bersangkutan. Dengan kata lain wali
ini tidak mempunyai kewenangan menggunakan hak ijbar.

b) Wali Hakim.
Wali hakim adalah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk
olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah.
Wali hakim diatur dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali
Hakim. Wali Hakim dapat bertindak sebagai wali nikah apabila:
(1) Wali nasab tidak ada: memang tidak ada (kemungkinan calon mempelai wanita kehabisan
wali dalam arti semua wali nasab yang yang memenuhi syarat telah meninggal dunia,
calon mempelai wanita tidak mempunyai wali karena wali lain agama dan merupakan
anak luar kawin.
(2) Wali nasab tidak mungkin hadir : bepergian jauh, berhaji dan melaksanakan umroh.
(3) Wali nasab tidak diketahui tempat tinggalnya;
(4) Wali nasab gaib (mafqud); diperkirakan masih hidup tetapi tidak diketahui rimbanya.
(5) Wali nasab adlal atau enggan (setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali
tersebut). Wali adlal adalah wali yang enggan menikahkan wanita yang telah balig dan
berakal dengan seorang laki-laki pilihannya. Sedangkan masing-masing pihak
menginginkan adanya pernikahan tersebut. Dalam kaitan ini, ada sebuah hadits yang
yang bunyinya : Apabila datang kepadamu laki-laki yang kamu rasakan mantap karena
kekuatan agama dan akhlaknya. Nikahkanlah dia dengan anak perempuanmu. Apabila
kamu tidak menerimanya, akan terjadi bencana dan kerusakan di muka bumi. Dengan
demikian, baik Al-Qur?an maupun hadits menjadikan ketaqwaan sebagai nilai utama
dalam pemilihan jodoh. Oleh karenanya dalam Pasal 61 KHI ditentukan bahwa ?Tidak
sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu
karena perbedaan agama dan ikhtilaafu al dien.

SAKSI NIKAH

1. Arti penting Saksi


Perkawinan adalah bentuk perjanjian, dan saksi mempunyai arti penting yaitu sebagai alat bukti
apabila ada pihak ketiga yang meragukan perkawinan tersebut. Juga mencegah pengingkaran
oleh salah satu pihak.

2. Syarat saksi.
Syarat sebagai saksi nikah adalah laki-laki, muslim, adil, balig, tidak terganggu ingatan dan tidak
tuna rungu.

3. Saksi nikah minimal harus dua dan hadir serta menyaksikan secara langsung akad nikah,
menandatangani akta nikah pada waktu dan tempat akad nikah dilangsungkan.

AKAD NIKAH

1. Akad nikah adalah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan kabul yang diucapkan oleh
mempelai pria dan wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi.
2. Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas, beruntun dan tidak berselang
waktu.
3. Akad nikah dapat dilaksanakan sendiri oleh wali nikah atau mewakilkan kepada orang lain.
4. Yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria secara pribadi. Akan tetapi, atas
persetujuan mempelai wanita dan walinya, ucapan penerimaan kabul dapat diwakilkan kepada
pria lain dengan surat kuasa khusus.
5. Contoh redaksi ijab kabul yang diwakilkan
Ijab: Saya nikahkan puteri kandung saya bernama A kepada X bin Y yang telah mewakilkan
kabul nikahnya kepada C bin D dengan mas kawin sebesar/seberat dibayar tunai.
Kabul: Saya terima pernikahan puteri kandung Bapak bernama A dengan X bin Y yang telah
mewakilkan kabulnya kepada saya dengan mas kawin sebesar/seberat dibayar tunai.

BAB IV
MAHAR DAN PERJANJIAN PERKAWINAN

A. Mahar

1. Mahar (mas kawin) adalah pemberian (wajib) dari calon mempelai pria kepada calon
mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang dan jasa yang tidak bertentangan dengan
hukum Islam.

2. Macam Mahar :
a) Mahar musamma adalah mahar yang bentuk dan jumlahnya ditetapkan dalam sighal
akad nikah. Mahar ini bisa dibayarkan secara tunai atau ditangguhkan dengan
persetujuan kedua belah pihak.
b) Mahar mitsil ialah mahar yang jumlahnya ditetapkan menurut jumlah yang diterima
keluarga pihak isteri, karena pada waktu akad nikah jumlah dan bentuk mahar belum
ditetapkan.

3. Pembayaran mahar
a) Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah,
bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.
b) Penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh
ajaran Islam.
c) Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itu menjadi hak
pribadinya
d) Mahar dapat diserahkan secara tunai dan ditangguhkan dan jika mempelai wanita
menyetujuinya, maka menjadi utang calon mempelai pria
e) Suami yang mentalak isterinya qobla al dukhul dalam keadaan mahar masih terulang,
maka ia wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah.
Demikian juga jika suami meninggal dunia qobla al dukhul maka seluruh mahar yang
telah ditetapkan menjadi hak penuh isteri. Dalam hal terjadi perceraian dengan qobla al
dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar
mitsil.

4. Sengketa mahar
a) Jika mahar hilang sebelum diserahkan, maka dapat diganti dengan uang atau barang lain
yang senilai.
b) Jika mahar cacat tetapi mempelai wanita mau menerimanya, maka mahar dianggap telah
lunas. Akan tetapi, jika ia menolak, maka mempelai pria wajib menggantinya dengan
mahar lain yang tidak cacat. Selama penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap
belum lunas.
c) Penyelesaian perselisihan tentang mahar baik mengenai jenis maupun nilainya dapat
diajukan ke pengadilan agama.

5. Catatan: Mahar dalam KHI tidak termasuk rukun perkawinan. Kelalaian penyebutan jenis dan
jumlah mahar pada waktu akad nikah tidak menyebabkan batalnya perkawinan.

B. Perjanjian Perkawinan

Dalam KHI ditentukan bahwa apabila dikehendaki, kedua calon mempelai dapat
mengadakan perjanjian perkawinan dalam dua bentuk yaitu Taklik talak dan Perjanjian lain.

1. Taklik talak
Ialah perjanjian yang diucapkan oleh mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan
dalam Akta Nik ᨠ berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang
mungkin terjadi di masa yang akan datang. Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan
hukum Islam. Taklik talak tidak wajib ada, namun sekali diadakan tidak dapat dicabut
kembali. Apabila keadaan yang disyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi di
kemudian hari, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Tetapi isteri harus mengajukan
persoalannya ke Pengadilan Agama.

2. Perjanjian lain
a) Pengertian
Adalah suatu perjanjian tertulis yang dibuat oleh kedua calon mempelai pada saat atau
sebelum perkawinan dilangsungkan dan disahkan oleh PPN yang berisi tentang
kedudukan harta dalam perkawinan.
b) Isi perjanjian meliputi: percampuran harta pribadi dan pemisaban harta pencaharian
masing-masing; penetapan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan
hipotik atas harta pribadi dan harta bersama (harta syarikal).
? Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta baik yang dibawa
masing-masing dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing masing selama
perkawinan, dan hanya terbatas pada harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan
berlangsung.
? Dibuatnya perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama tidak
menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga

BAB V
BERISTERI LEBIH DARI SEORANG DAN KAWIN HAMIL
A. Beristeri lebih dari seorang (Poligami)

1. Syarat poligami
Pada waktu bersamaan seorang pria diperbolehkan kawin sampai 4 orang isteri dengan syarat
:
a) Mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya;
b) Mendapatkan ijin dari Pengadilan Agama.

2. Ijin Pengadilan Agama dapat diperoleh apabila permohonan ijin poligami tersebut didasarkan
pada salah satu alasan berikut:
a) Adanya persetujuan isteri.
b) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri.
c) Isteri mendapat cacat badan dan penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
d) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Syarat persertujuan isteri dapat diberikan secara tertulis atau lisan, tetapi sekalipun telah
ada persetujuan tertulis, persetujuan ini harus dipertegas dengan persetujuan lisan dari
isteri pada sidang di Pengadilan Agama.

3. Poligami bagi Pegawai Negeri Sipil.


Poligami bagi PNS, selain harus memenuhi syarat-syarat tersebut di atas, juga harus
memenuhi persyaratan-persyaratan lain yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
10 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 45 Tahun 1990. Bagi PNS yang
hendak menikah kembali, harus terlebih dahulu mendapat ijin dari atasannya, permintaan ijin
diajukan secara tertulis dengan mencantumkan alasan yang lengkap yang mendasari
permohonan tersebut.
PNS harus memenuhi sekurang-kurangnya satu syarat alternatif seperti diatur dalam
Pasal 4 ayal (2) UUP jo Pasal 41 PP Nomor 9 Tahun 1975.
Disamping itu, PNS yang bersangkutan harus memenuhi persyaratan kumulatif
sebagaimana dituangkan dalam Surat Edaran Badan Administrasi Kepegawaian Negara
(BAKN) Nomor 08/SE/I 983 yang terdiri dari :
a. Ada persetujuan isteri yang disahkan oleh alasan PNS yang bersangkutan serendah-
rendahnya pejabat eselon IV.
b. PNS yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup.
c. Ada jaminan tertulis bahwa PNS tersebut akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan
anak-anaknya.

Ketentuan di atas berlaku juga bagi anggota TNI yang akan beristeri lebih dari
seorang. Dia harus terlebih dahulu mendapatkan ijin dari komandannya. Keharusan tersebut
tertuang dalam Surat Keterangan Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan
Bersenjata (Menhankam/Pangab) Republik Indonesia Nomor Kep/12/III/1972.

4. Poligami tanpa ijin


Poligami tanpa ijin terjadi apabila seorang pria menikah lebih dari seorang isteri
tetapi pernikahan yang berikut tersebut dilakukan tanpa ada ijin dari Pengadilan Agama dan
persetujuan dari isteri terdahulu dan otomatis tidak dilakukan di hadapan PPN. Perkawinan ini
sendiri sebenarnya telah memenuhi rukun perkawinan (syarat materiil), namun belum
memenuhi persyaratan formil pernikahan lebih dari seorang.
5. Itsbat nikah poligami
Itsbat nikah poligami adalah penetapan sah secara hukum melalui keputusan
Pengadilan Agama terhadap pernikahan poligami yang hanya dilakukan menurut hukum
agama dan tidak dilakukan oleh dan di hadapan PPN.
Dalam hal ini sebenarnya telah terjadi pelanggaran terhadap dua prosedur
pernikahan, yaitu melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama dan melangsungkan
perkawinan tidak di hadapan PPN. Dalam praktik izin pengadilan dan persetujuan isteri yang
mestinya harus diberikan pada saat akan dilangsungkan perkawinan, dapat diberikan pada
saat pemeriksaan itsbat nikah.

B. Kawin Hamil

1. Menikahi wanita hamil

Ketentuan mengenai kawin hamil dalam Pasal 53 KHI merupakan ?ketentuan baru?
dalam hukum perkawinan di Indonesia Dalam Pasal 53 disebutkan bahwa seorang wanita
hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan dengan
wanita hamil tersebut dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan
lagi setelah anak yang dikandungnya lahir.
Peraturan ini belum memberikan penjelasan terkait dengan persoalan apabila yang
mengawini wanita tersebut bukan laki-laki yang menyebabkan kehamilan sebagaimana
banyak terjadi dalam praktek..

2. Perdebatan tentang menikahi wanita hamil

a) Pernikahan dengan pria yang menghamilinya.


Para ulama sependapat bahwa laki-laki pezina halal menikahi wanita pezina.
Dengan demikian perkawinan antara pria dengan wanita yang dihamili sendiri adalah sah.
Mereka boleh bersetubuh sebagaimana layaknya suami isteri, ini juga tidak bertentangan
dengan isi surat An-Nun ayat (3), karena mereka statusnya sebagai pezina.

b) Pernikahan bukan dengan pria yang menghamilinya. Terhadap persoalan ini ada dua
pendapat:

1. Sah nikah dan tidak boleh digauli


Menurut pendapat ini, wanita hamil diluar nikah tidak ada masa iddahnya, sehingga
mereka tidak dikenai ketentuan-ketentuan hukum sebagaimana dalam nikah yang
disyariatkan. Iddah disyariatkan untuk memelihara keturunan dan menghargai
sperma. Kalau sperma zina tidak dihargai, maka tidak mencegah akad nikah wanita
hamil karena zina. Ditambah pula bahwa anak hasil zina tidak dinasabkan kepada
ayahnya, tetapi hanya pada ibunya. Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Abu
Hanifah dan Syafi?i.

2. Tidak sah nikah dan tidak boleh bergaul


Wanita hamil di luar nikah, tetap haram dinikahi sebagaimana haram menikahi wanita
hamil lainnya, karena hamil ini mencegah akad nikah sebagaimana hamil yang ada
nasabnya. Dengan kata lain wanita hamil karena zina wajib iddah dan tidak sah akad
nikahnya karena tidak halal menikahi wanita hamil sebelum melahirkan.
3. Kedudukkan anak zina
Pada dasarnya nasab anak zina dihubungkan dengan ibunya sesuai dengan hadits
bahwa seorang anak adalah milik ibunya. Maka anak itu tidak dinasabkan kepada
ayahnya, sekalipun si ayah menyatakan bahwa anak tersebut anaknya.

BAB VI
PENCEGAHAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN

A. Pencegahan Perkawinan

1. Tujuan
Untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang oleh hukum Islam dan peraturan
perundang-undangan

2. Syarat
a. Apabila calon suami atau isteri tidak memenuhi syarat-syarat hukum Islam dan
perundang-undangan.
b. Apabila calon mempelai tidak sekufu karena perbedaan agama

3. Pihak yang dapat melakukan pencegahan


a. Keluarga garis lurus ke atas dan ke bawah.
b. Saudara.
c. Wali nikah.
d. Wali pengampu.
e. Suami atau isteri (lain) yang masih terikat perkawinan dengan calon suami atau isteri
tersebut.
f. Pejabat pengawas perkawinan.

4. Prosedur pencegahan.
a. Pemberitahuan kepada PPN setempat.
b. Mengajukan permohonan pencegahan ke Pengadilan Agama setempat.
c. PPN memberitahukan hal tersebut kepada calon mempelai.

1. Akibat hukum: perkawinan tidak dapat dilangsungkan, selama belum ada pencabutan
pencegahan perkawinan.

2. Cara pencabutan dengan menarik kembali permohonan pencegahan perkawinan pada


Pengadilan Agama oleh yang mencegah dan dengan putusan Pengadilan Agama.

3. PPN tidak boleh melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan


walaupun tidak ada pencegahan perkawinan, jika ia mengetahui adanya pelanggaran
terhadap ketentuan Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, 9,10 atau 12 UUP.

? Penolakan Perkawinan
a. Penolakan dilakukan oleh PPN, apabila PPN berpendapat bahwa terhadap perkawinan
tersebut terdapat larangan menurut UUP.
b. Acara :
1) Atas permintaan calon mempelai, PPN mengeluarkan surat keterangan tertulis tentang
penolakan tersebut disertai dengan alasannya.
2) Calon mempelai tersebut berhak mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama
(wilayah PPN tersebut) dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut
untuk memberikan.
3) Pengadilan Agama akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan
memberikan ketetapan berupa : menguatkan penolakan tersebut atau memerintahkan
perkawinan tersebut dilangsungkan.

B. Pembatalan Perkawinan

Ketentuan Pasal 22 UUP menyatakan bahwa: ?Perkawinan dapat dibatalkan apabila para
pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan? Dalam Penjelasan Pasal
22 disebutkan bahwa pengertian ?dapat? pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal,
bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain. Dengan
demikian, jenis perkawinan di atas dapat bermakna batal demi hukum dan bisa dibatalkan.
Lebih lanjut menurut Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 3 Tahun 1975 ditentukan
bahwa ?Apabila pernikahan telah berlangsung kemudian ternyata terdapat larangan menurut
hukum munakahat atau peraturan perundang-undanagan tentang perkawinan, maka Pengadilan
Agama dapat membatalkan pernikahan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang
berkepentingan?.

1. Perkawinan dapat dibatalkan (Pasal 71 - 76 KHI), apabila:


a) Suami melakukan poligami tanpa ijin dari Pengadilan Agama.
b) Perempuan yang dinikahi ternyata masih menjadi isteri pria lain yang mafqud.
c) Perempuan yang dinikahi ternyata masih dalam masa iddah dari suami lain.
d) Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan.
e) Perkawinan yang dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak
berhak..
f) Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

2. Perkawinan batal (Pasal 70) apabila:


a) Seorang suami melakukan poligami padahal dia sudah mempunyai 4 orang isteri,
sekalipun salah satu dari keempat isteri tersebut sedang dalam iddah talak raj?i.
b) Menikahi kembali bekas isteri yang telah di li ?an.
c) Menikahi bekas isterinya yang telah ditalak tiga kali (kecuali ?).
d) Perkawinan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan susuan.
e) Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isterinya.

3. Pembatalan perkawinan karena adanya ancaman, pempuan atau salah sangka. Suami atau
isteri dapat mengajukan pembatalan perkawinan apabila:
a) Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.
b) Pada waktu dilangsungkan perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri
suami atau isterinya.
c) Bila ancaman telah terhenti atau yang bersalah sangka menyadari keadaannya, dan
dalam waktu 6 bulan setelah itu tetap hidup sebagai suami isteri dan tidak menggunakan
haknya, maka haknya menjadi gugur.

4. Pihak yang dapat mengajukan pembatalan:


a) Pihak keluarga suami atau isteri dalam garis lurus ke atas dan ke bawah.
b) Suami atau isteri
c) Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan.
d) Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacad pada rukun dan syarat
perkawinan menurut hukum.
5. Acara pembatalan perkawinan
Permohonan pembatalan diajukan ke Pengadilan Agama dimana suami atau isteri bertempat
tinggal atau di tempat perkawinan dilangsungkan.

6. Akibat hukum
a) Pembatalan perkawinan berarti adanya putusan pengadilan yang menyatakan bahwa
perkawinan yang dilaksanakan adalah tidak sah. Akibat hukum dari pembatalan tersebut
adalah bahwa perkawinan tersebut menjadi putus dan bagi para pihak yang dibatalkan
perkawinannya kembali ke status semula karena perkawinan tersebut dianggap tidak
pernah ada dan para pihak tersebut tidak mempunyai hubungan hukum lagi dengan
kerabat dan bekas suami maupun isteri.
b) Batalnya perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan
hukum telap, tetapi berlaku surut sejak saat berlangsungnya perkawinan.
c) Keputusan pembatalan tidak berlaku surut terhadap :
? Perkawinan yang batal karena suami atau isteri murtad;
? Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
? Pihak ketiga yang mempunyai hak dan beritikad baik.;
? Batalnya perkawinan tidak memutus hubungan hukum anak dengan orang tua.
d) Perbedaan dengan perceraian dalam hal akibat hukum :
(1) Keduanya menjadi penyebab putusnya perkawinan, tetapi dalam perceraian bekas
suami atau isteri tetap memiliki hubungan hukum dengan mertuanya dan seterusnya
dalam garis lurus ke atas, karena hubungan hukum antara mertua dengan menantu
bersifat selamanya.
(2) Terhadap harta bersama diserahkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk
bermusyawarah mengenai pembagiannya karena dalam praktik tidak pernah
diajukan ke persidangan dan di dalam perundang-undangan hal tersebut tidak diatur.

e) Catatan: Dalam

BAB VII
HAK KEWAJIBAN SUAMI ISTERI DAN HARTA
KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN

A. Hak dan Kewajiban suami isteri

1. Kedudukkan Suami isteri


Menurut undang-undang perkawinan, suami adalah kepala rumah tangga dan isteri adalah ibu
rumah tangga. Hak dan kedudukan mereka seimbang baik dalam rumah tangga maupun di
dalam masyarakat. Di samping itu, masing-masing pihak berhak unluk melakukan perbuatan
hukum.

2. Kewajiban bersama suami isteri


a. Menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawwadah dan rahmah
b. Saling menghormati, mencintai, dan memberi bantuan baik secara lahir maupun batin.
c. Mengasuh, memelihara dan mendidik anak-anaknya.
d. Saling memelihara kehormatan.
3. Kewajiban Suami
a. Membimbing isteri dan rumah tangganya.
b. Melindungi dan memberikan keperluan isteri sesuai kemampuannya.
c. Memberi kesempatan belajar pengetahuan yang bermanfaat.
d. Sesuai kemampuannya menanggung:
1) nafkah, kiswah, tempat kediaman isteri;
2) biaya rumah tangga, perawatan dan pengobatan bagi isteri dan anaknya.
3) biaya pendidikan anak.
4) menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anaknya atau mantan isteri yang
masih dalam iddah.
Catatan:Kewajiban suami mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya.

4. Gugurnya kewajiban suami.


a) Isteri nusyuz (pembangkangan isteri terhadap kewajiban-kewajiban dalam hidup
perkawinan).
b) Dibebaskan dari isteri dari kewajiban tersebut.

5. Kewajiban isteri
a) Berbakti lahir batin kepada suami dalam batas-batas yang dibenarkan hukum Islam.
b) Menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga;
Catatan: Isteri dianggap nusyuz jika tidak melaksanakan kewajiban tersebut

B. Harta Kekayaan Dalam Perkawinan

1. Macam-macam harta perkawinan


a) Harta pribadi adalah harta bawaan dari masing-masing suami isteri dan harta yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan.
b) Harta Bersama (syirkah) adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri maupun
bersama suami isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung tanpa mempersoalkan
terdaftar atas nama siapapun.

2. Status harta perkawinan


a) Pada dasarnya tidak ada percampuran harta pribadi masing-masing karena perkawinan.
b) Suami dan isteri berhak dan berkuasa penuh untuk melakukan perbuatan hukum atas
harta pribadi masing-masing
Catatan: Kecuali para pihak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

3. Tanggung jawab suami isteri terhadap harta perkawinan


a) Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri dan hartanya sendiri.
b) Isteri turut bertanggung-jawab menjaga harta bersama maupun harta suaminya yang ada
padanya.
c) Suami isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan
harta bersama.
d) Apabila ada hutang suami atau isteri, maka dibebankan kepada hartanya masing-masing,
hutang keluarga dibebankan pada harta bersama, jika tidak mencukupi dibebankan pada
harta suami, selanjutnya baru dibebankan pada harta isteri apabila belum mencukupi.

4. Status harta bersama dalam perkawinan poligami


a) Dalam perkawinan poligami, masing-masing isteri memiliki harta bersama secara terpisah
dan berdiri sendiri.
b) Pemilikan harta bersamanya dihitung pada saat berlangsungnya akad nikah yang kedua,
ketiga atau yang keempat.

5. Pembagian harta bersama


a) Jika terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup
lebih lama.
b) Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama
sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan

BAB VIII
PEMELIHARAAN DAN PERWALIAN ANAK

A. Pemeliharaan Anak

1. Pengertian

Pemeliharaan anak (hadhanah) adalah kegiatan mengasuh, melihara dan mendidik anak
hingga dewasa atau mampu mandiri. Hadhanah berasal dan kata hidhan atau hidhanu yang
artinya lambung. Hukum hadhanah adalah wajib.

2. Pemegang hak hadhanah adalah kedua orang tua

3. Pemeliharaan anak setelah perceraian

a) Anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun dipelihara ibunya.
b) Anak yang sudah mumayyiz, kepadanya diserahkan pilihan untuk dipelihara ayah atau
ibunya.
c) Biaya pemeliharaan anak ditanggung oleh ayahnya.

4. Pemeliharaan harta anak

a) Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum
dewasa atau di bawah pengampuan, dan tidak boleh memindahkan atau
menggadaikannya, kecuali mendesak demi kemaslahatan anak..
b) Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan oleh kesalahan dan
kelalaiannya.

5. Ditentukan dalam KHI bahwa ukuran anak dikatakan mampu mandiri (dewasa) adalah
apabila sudah berumur 21 tahun atau telah kawin.

6. Anak Sah adalah :


a) anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
b) hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.

7. Persoalan bayi tabung


Anak hasil pembuahan lewat teknik bayi tabung dianggap sebagai anak sah apabila bayi
tersebut merupakan pembuahan dari sel ovum dan sperma pasangan suami isteri yang
terikat dalam perkawinan yang sah.

8. Anak hasil teknologi kloning


Penerapan teknologi kloning dalam pembentukan individu baru, sampai saat ini masih
menimbulkan perdebatan. Sebagian besar ulama mengatakan haram karena akan
mengancam kemanusiaan, meruntuhkan institusi perkawinan atau lembaga keluarga.

9. Status anak luar kawin


a) Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai nasab dengan ibunya dan
keluarga ibunya.
b) Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri tidak menyangkalnya,
maka suami dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li?an.
c) Pengingkaran anak diajukan ke Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah
hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu
mengetahui bahwa isterinya melahirkan anak. Pengingkaran sesudah lampau waktu
tersebut tidak dapat diterima.

10. Alat bukti asal-usul anak


a) Asal usul anak dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lain.
b) Jika akta kelahiran atau bukti lainnya tidak ada, Pengadilan Agama dapat mengeluarkan
penetapan tentang asal-usul anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan
bukti yang sah.
c) Atas ketetapan Pengadilan Agama, instansi pencatat kelahiran setempat mengeluarkan
akta kelahiran bagi anak tersebut.

C. Perwalian

1. Pengertian

Adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan
hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua
orang tua atau kedua orang tua masih hidup tetapi tidak cakap melakukan perbuatan
hukum.

2. Obyek Perwalian

a) Perwalian hanya dilakukan terhadap anak yang belum berumur 21 tahun atau belum
pernah kawin.
b) Perwalian meliputi diri dan harta kekayaan anak.

3. Syarat wali anak

Sedapat mungkin dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang dewasa, berpikiran
sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik atau badan hukum.

4. Kewajiban wali

a) Mengurus diri dan harta yang berada di bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya.
b) Memberikan bimbingan agama, pendidikan dan ketrampilan kepada anak demi masa
depannya.
c) Bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya dan
mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya.
Pertanggungjawaban tersebut harus dibuktikan dengan pembuktian yang ditutup tiap
satu tahun sekali.
d) Menyerahkan seluruh harta orang yang berada di bawab perwaliannya, apabila orang
yang bersangkulan telah mencapai umur 21 tahun atau telah kawin.
e) Wali dilarang mengikatkan, membebani dan mengasingkan harta orang yang berada di
bawah perwaliannya kecuali menguntungkan atau merupakan kenyataan yang tidak
dapat dihindarkan.

5. Hak wali

Wali dapat mempergunakan harta orang yang berada di bawah perwaliannya sepanjang
diperlukan untuk kepentingannya menurut kepatutan apabila wali itu fakir.

6. Berakhirnya perwalian

Karena dicabut hak perwaliannya oleh Pengadilan Agama atas permobonan kerabatnya
dengan alasan wali tersebut pemabok, penjudi, pemboros, gila dan atau melalaikan atau
menyalahgunakan hak dan kewenangannya sebagai wali.

BAB IX
PUTUSNYA PERKAWINAN

1. Penyebab putusnya perkawinan

Perkawinan dapat putus karena tiga hal yaitu karena (a) kematian, (b) perceraian dan (c)
putusan pengadilan.

2. Putusnya perkawinan karena perceraian.

Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah tidak berhasil
didamaikan. Adapun alasan-alasan yang dapat dipergunakan untuk melakukan perceraian adalah
:

a) Berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar
disembubkan;
b) Pergi selama dua tahun berturut-turut tanpa izin dan alasan yang sah
c) Setelah perkawinan mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat;
d) Melakukan kekejaman atau penganiayaan berat;
e) Mendapat cacad badan atau penyakit lain yang menyebabkan tidak dapat menjalankan
kewajiban sebagai suami atau isteri;
f) Terjadinya perselisihan dan pertengkaran yang terus-menerus.
Catatan : Alasan perceraian dalam Pasal 116 KHI mencantumkan 6 hal yang tersebut dalam UUP,
tetapi ada dua alasan tambahan yaitu: Suami melanggar ta?lik talak dan peralihan agama
(murtad yang menyebabkan terjadinya percekcokan).

3. Perceraian dapat terjadi karena talak dan gugatan perceraian

a) Talak (Pasal 117-122 KHI)


Adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab
putusnya perkawinan.
b) Macam-macam talak.

(1) Talak Raj?i, yaitu talak kesatu atau kedua dimana suami masih berhak merujuk dalam
masa iddah.
(2) Talak Ba?in:
? Talak ba?in Shughraa, yaitu talak yang tidak boleh dirujuk meski dalam masa iddah,
tetapi boleh dengan akad nikah baru.
Yang termasuk jenis talak ini adalah:
(a) Talak qabla al dukhul.
(b) Khuluk atau talak tebus.
(c) Talak oleh Pengadilan Agama
? Talak ba?in Kubraa, yaitu talak ketiga kalinya, tidak dapat dirujuk dan dinikah
(kecuali?)
(3) Talak Sunny adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri
dalam keadaan suci dan tidak dicampuri. Talak semacam ini hukumnya halal.
(4) Talak Bid?i adalah talak yang dilarang yaitu talak yang dijatuhkan keadaan haid atau
dijatuhkan dalam keadaan suci tetapi telah dicampuri. Talak semacam ini hukumnya
haram.
c) Gugatan perceraian, yaitu setiap bentuk perceraian yang diajukan oleh pihak isteri.

4. Akibat Putusnya Perkawinan

Perkawinan yang putus karena perceraian mempunyai akibat terhadap hak dan kewajiban baik
kepada suami, isteri maupun anak-anak.
a) Suami
? Hak
1) Memperoleh kembali harta pribadi dan setengah harta bersama.
2) Merujuk isteri dalam masa iddah (terhadap talak yang boleh dirujuk).
? Kewajiban
1) Memberikan mul?ah yang layak, kecuali talak qobla al dukhul.
2) Memberi nafkah, maskan, dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah kecuali
bekas isteri dijatuhi talak ba?in dan nusyuz.
3) Melunasi mahar yang terhutang seluruhnya atau setengahnya apabila perceraian
terjadi qobla aI dukhul.
4) Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum berumur 21 tahun.

b) Isteri
? Hak
1) Memperoleh kembali harta pribadi dan setengah harta bersama.
2) Berhak atas nafkah, mut?ah, maskan dan kiswah selama iddah kecuali nusyuz.
3) Menikah kembali setelah selesai masa iddah.

? Kewajiban
1) Menjaga diri selama iddah
2) Tidak menikah atau menerima pinangan pria lain selama masa iddah.

c) Anak.
1) Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya.
2) Anak yang sudah mumayyiz diberi pilihan untuk mendapat hadhanah dari ayah atau
ibunya.
3) Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah sampai dewasa
atau mampu mengurus diri sendiri atau telah mencapai umur 2l tahun.

5. Masa Iddah

a. Iddah adalah masa tunggu bagi wanita yang ditinggal mati atau bercerai dari suaminya yang
tidak memungkinkan baginya untuk menikah lagi dengan laki-laki lain.
b. Berlaku bagi isteri yang putus perkawinannya kecuali qobla al dukhul dan perkawinannya
putus bukan karena kematian suami.
c. Waktu tunggu
1) Karena kematian
? 130 hari jika tidak hamil.
? Jika hamil sampai melahirkan.
2) Karena perceraian
BAGIAN KEDUA
HUKUM KEWARISAN

BAB I
PENDAHULUAN

1. Hukum waris menduduki tempat amat penting dalam Hukum Islam. Ayat-ayat A1-qur?an
mengatur hukum waris dengan jelas dan terperinci : hal ini dapat dimengerti sebab masalah warisan
pasti dialami oleh setiap orang. Sedemikian pentingnya kedudukan hukum waris Islam dalam hukum
Islam dapat disimpulkan dari hadits Nabi riwayat Ibnu Majah dan Addaraquthni yang menyatakan ?
Pelajarilah faraidl (hukum waris) dan ajarkanlah kepada orang banyak, karena faraidl adalah separoh
ilmu dan mudah dilupakan serta merupakan ilmu yang pertama kali hilang dari umatku.?

2. Sumber-sumber Hukum Waris Islam


a. Al-Qur?an
Al-Qur?an Surat (QS) An Nisa? ayat 1 menegaskan tentang kuatnya hubungan kerabat karena
pertalian darah.
QS An Nisa? ayat 7 memberi ketentuan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama berhak
atas warisan orang tuanya dan kerabatnya.
QS An Nisa? ayat 8 memerintahkan agar kepada sanak kerabat, anak-anak yatim, dan orang-
orang miskin yang hadir menyaksikan pembagian harta warisan, diberi jumlah harta sekedar
untuk dapat mengikuti menikmati harta warisan yang baru saja dibagi itu.
QS An Nisa? ayat 9 memperingatkan agar orang senantiasa memperhatikan kepada anak
cucu yang akan ditinggalkan, agar jangan sampai mereka mengalami kesempitan hidup
sebagai akibat kesalahan orang tua membelanjakan hartanya.
QS An Nisa? ayat 10 memperingatkan agar orang berhati-hati dalam memelihara harta
warisan yang menjadi hak-hak anak yatim, jangan sampai termakan dengan cara tidak sah,
karena memakan harta anak yatim secara tidak sah adalah sama dengan makan bara api
neraka, orang yang makan akan diberi tempat neraka di akhirat kelak.
QS An Nisa? ayat 11 menentukan bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan; anak perempuan dua orang atau lebih (apabila tidak ada anak laki-laki)
menerima 2/3 harta warisan dan apabila hanya seorang (tidak ada anak laki-laki) menerima
1/2 harta warisan; bagian ayah dan ibu, apabila ada anak, masing-masing menerima 1/6
harta warisan; apabila tidak ada anak, bagian ibu adalah 1/3 harta warisan (ayah mendapat
sisanya); apabila ada saudara saudara lebih dari seorang, bagian ibu adalah 1/6 harta
warisan; pembagian harta warisan dilakukan setelah utang dan wasiat pewaris dibayarkan.
QS An Nisa? ayat 12 menentukan bagian suami adalah ? harta warisan apabila pewaris tidak
meninggalkan anak; apabila ada anak, bagian suami ? harta warisan, setelah utang dan
wasiat pewaris dibayarkan; ditentukan pula bagian isteri ? harta warisan apabila tidak ada
anak, 1/8 harta warisan apabila ada anak, setelab utang dan wasiat pewaris dibayarkan.
Apabila seseorang meninggal tanpa meninggalkan ayah atau anak, padahal ia meninggalkan
saudara laki-laki atau perempuan (seibu), maka bagian saudara apabila hanya satu orang
adalah 1/6 harta warisan, dan apabila lebih dari satu orang, mereka bersama-sama mendapat
1/3 harta warisan, setelah utang dan wasiat pewaris dibayarkan.
QS An Nisa? ayat 13 menekankan bahwa ketentuan bagian-bagian harta warisan itu berasal
dari Allah yang wajib ditaati.
QS An Nisa? 176 menentukan bagian saudara perempuan (kandung atau seayah), apabila
pewaris dalam keadaan kalalah (tidak meninggalkan ayah atau anak), bagian saudara
perempuan adalah 1/2 harta warisan apabila hanya satu orang dan 2/3 harta warisan apabila
dua orang atau lebih, apabila saudara-saudara itu terdiri dari laki-laki dan perempuan, bagian
seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua orang saudara perempuan.
b. Sunnah Rasul
Meskipun Al-Qur?an menyebutkan secara terperinci ketentuan-ketentuan bagian ahli waris,
Sunnah Rasul menyebutkan pula hal-hal yang tidak disebutkan dalam Al-Qur?an, antara lain :
1. Hadits riwayat Bukhari dan Muslim mengajarkan bahwa ahli waris laki-laki yang lebih dekat
kepada pewaris lebih berhak atas sisa harta warisan, setelah diambil bagian ahli waris yang
mempunyai bagian-bagian tertentu.
2. Hadits riwayat Al-Jama?ah, kecuali Muslim dan Nasa?i, mengajarkan bahwa orang muslim
tidak berhak waris atas harta orang kafir, dan orang kafir tidak berhak atas harta orang
muslim.
3. Hadits riwayat Ahmad menyebutkan bahwa Nabi memberikan bagian warisan kepada dua
nenek perempuan 1/6 harta warisan dibagi dua.
4. Hadits riwayat Ahmad mengajarkan bahwa anak dalam kandungan berhak waris setelah
dilahirkan dalam keadaan hidup yang ditandai dengan tangisan kelahiran.

c. Ijtihad
Meskipun Al-Qur?an dan Sunnah Rasul telah memberi ketentuan terperinci tentang
pembagian harta warisan, tetapi dalam beberapa hal masih diperlukan adanya ijtihad, yaitu
terhadap hal-hal yang tidak ditentukan dalam kedua sumber hukum tersebut. Misalnya
mengenai bagian warisan orang banci, harta warisan yang tidak habis terbagi kepada siapa
sisanya diberikan, bagian ibu apabila hanya bersama-sama dengan ayah dan duda atau
janda.

3. Prinsip-prinsip Hukum Waris Islam


a. Prinsip Ijbari, yaitu bahwa peraliban harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada
yang masih hidup berlaku dengan sendirinya.
b. Prinsip Individual, yaitu bahwa harta warisan dapat dibagi-bagikan kepada ahli waris untuk
dimiliki secara perseorangan.
c. Prinsip Bilateral, artinya bahwa baik laki-laki maupun perempuan dapat mewaris dari kedua
belah pihak garis kekerabatan, atau dengan kata lain jenis kelamin bukan merupakan
penghalang untuk mewarisi atau diwarisi.
d. Prinsip kewarisan hanya karena kematian, yakni bahwa peralihan harta seseorang kepada
orang lain dengan sebutan kewarisan berlaku setelah yang mempunyai harta tersebut
meninggal dunia. Dengan demikian, tidak ada pembagian warisan sepanjang pewaris masih
hidup.

4. Sebab-sebab Terjadinya Warisan


a. Hubungan Nasab (Darah), seperti ayah, ibu, anak, saudara, paman, kakek dan nenek
b. Hubungan Perkawinan, yang terdiri dari duda atau janda. Perkawinan yang sah menimbulkan
hubungan kewarisan. Jika seorang suami meninggal dunia maka isteri atau jandanya
mewarisi harta suaminya, dan demikian pula sebaliknya.
Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanyalah : anak, ayah, ibu,
janda atau duda.

5. Rukun dan Syarat Kewarisan


a. Pewaris Pasal 171 KHI
? Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal
berdasarkan Putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta
peninggalan.
? Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta
benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.
b. Ahli Waris Pasal 171, 172, 174, 175 KHI
? Ahli Waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah
atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak berhalangan
karena hukum untuk menjadi ahli waris.
? Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dan Kartu identitas atau
pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak
yang belum dewasa beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.
? Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan Hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap dihukum karena:
a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat
pada pewaris;
b. dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah
melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau
hukuman yang lebih berat.
? Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah
a. mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai,
b. menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan termasuk
kewajiban pewaris maupun menagih piutang. Tanggung jawab ahli waris terhadap
hutang atau kewajiban pewaris banya terbatas pada jumlah atau nilai harta
peninggalannya;
c. membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.
? Kelompok-kelompok ahli waris akan dijelaskan pada uraian tentang bagian masing-
masing ahli waris.

c. Harta Warisan : Pasal 171 KHI


? Harta Warisan (HW) adalah harta bawaan (HB) ditambah bagian dari harta bersama
(HBers) setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya,
biaya pengurusan jenazah (tajhiz). pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
Jadi HW = HB + ? HBers - (keperluan pewaris selama sakit + biaya pengurusan jenazah
+ hutang + wasiat).

BAB II
BAGIAN AHLI WARIS

1. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari :


a. Menurut hubungan darah:
Golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, dan kakek
Golongan perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara perempuan, dan nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan, terdiri dari duda atau janda. Apabila semua ahli waris ada,
maka yang berhak mendapat warisan hanya : anak, ayah, ibu, janda atau duda.

2.Bagian dan masing-masing ahli waris adalah sebagai berikut:


? Anak Perempuan:
? apabila hanya seorang, 2/3 apabila dua orang atau lebih menjadi asabah
bersama anak laki-laki dengan ketentuan bahwa bagian satu anak laki-laki adalah dua kali
bagian anak perempuan
? Ayah:
1/3 bagian apabila tidak ada anak dan 1/6 bagian apabila ada anak
? Ibu:
1/3 bagian apabila tidak ada anak atau dua orang saudara atau
lebih 1/6 bagian apabila ada anak atau dua orang saudara atau lebih 1/3
bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersama-sama dengan ayah.
? Duda:
? bagian apabila ada anak, dan 1/2 bagian apabila tidak ada anak.
? Janda:
1/8 bagian apabila ada anak, dan ? bagian apabila tidak ada anak.
? Saudara Perempuan Kandung atau Sebapak
1/2 bagian apabila sendiri, tidak ada anak atau ayah 2/3 bagian apabila dua orang atau lebih,
tidak ada anak atau ayah menjadi asabah apabila dengan saudara laki-laki sekandung atau
sebapak dengan ketentuan bagian saudara laki-laki adalah dua berbanding satu dengan
saudara perempuan.
? Saudara Perempuan Seibu dan Saudara Laki-laki Seibu
1/6 bagian apabila sendiri, tidak ada anak atau ayah 1/3 apabila bersama, dua orang atau
lebih, tidak ada anak atau ayah.
2. Penggantian Tempat
Ahli waris yang meninggal dunia lebih dahulu dari si pewaris, kedudukannya dapat digantikan
oleh anaknya dengan ketentuan bagiannya tidak boleh melebihi ahli waris yang sederajat dengan
yang digantikan.
3. Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan setelah
masing-masing menyadari bagiannya.
4. Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya
dan keluarga dari pihak ibunya.
5. Bagi pewaris yang beristeri lebih dari seorang, maka masing-masing isteri berhak mendapat
bagian atas gono-gini dari rumah tangga dengan suaminya, sedangkan keseluruhan bagian
pewaris adalah menjadi hak para ahli warisnya.
6. Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali atau ahli warisnya tidak diketahui ada
atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya
kepada Hartaul Mal untuk kepentingan Agama Islam dan kesejahteraan umum.
7. Aul dan Rad:
Apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli waris dzawil furud menunjukkan
bahwa angka pembilang lebih besar dari angka penyebut, maka angka penyebut dinaikkan sesuai
dengan angka pembilang, dan baru sesudah itu harta warisan dibagi secara aul menurut angka
pembilang. Sebaliknya apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli waris dzawil
furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil dari pada angka penyebut, sedangkan
tidak ada ahli waris asabah, maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara rad, yaitu
sesuai dengan hak masing-masing ahli waris, sedang sisanya dibagi secara berimbang di antara
mereka.
BAB III
WASIAT DAN HIBAH

1. Yang dimaksud wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau
lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
2. Dasar hukum wasiat terdapat dalam A1-Qur?an Surat Al-Baqarah ayat 180, Hadits Riwayat A1-
Jama?ah dari Sa?ad ibn Abi Waqqasli, dan ijtihad para mujtahid.
3. Rukun dan Syarat Wasiat adalah sbb:
a. Orang yang berwasiat (mushi)
Mushi disyaratkan sudah dewasa (minimal berusia 21 tahun), berakal sehat, dan tanpa
paksaan dalam berwasiat
b. Orang yang menerima wasiat (mushalahu)
Mushalahu disyaratkan harus dapat diketahui dengan jelas, telah wujud ketika wasiat
dinyatakan, bukan untuk tujuan kemaksiatan, dan tidak membunuh mushi.
c. Sesuatu yang diwasiatkan (mushabihi)
Mushabihi harus memenuhi syarat sebagai berikut: dapat berlaku sebagai harta warisan atau
dapat menjadi obyek perjanjian, sudah wujud ketika wasiat dinyatakan, milik mushi, dan
jumlahnya maksimal 1/3 dari harta warisan kecuali semua ahli waris menyetujui.
d. Sighat/Ikrar
Ikrar wasiat dapat dinyatakan secara lisan, tertulis, maupun dengan isyarat.
4. Wasiat dapat dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau secara tertulis di hadapan dua
orang saksi atau di hadapan notaris.
5. Wasiat menjadi batal apabila (Ps. 197 KHI)
a. Calon penerima wasiat:
? dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada
pewasiat.
? dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah
melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman lima tahun penjara atau
hukuman yang lebih berat.
? dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk kepentingan
calon penerima wasiat.
? dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat dari
pewasiat.
b. Orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat:
? tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai ia meninggal dunia sebelum
meninggalnya pewasiat
? mengetahui adanya wasiat tersebut, tetapi ia menolak untuk menerimanya.
? mengetahui adanya wasiat tersebut, tetapi tidak pemah menyatakan menerima atau
menolak sampai ia meninggal sebelum meninggalnya pewasiat.
c. Barang yang diwasiatkan musnah.
6. Pencabutan Wasiat (Ps 199 KHI):
? Pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum menyatakan
persetujuannya atau sudah menyatakan persetujuannya tetapi kemudian menarik kembali.
? Wasiat yang dibuat secara lisan dapat dicabut secara lisan dengan disaksikan oleh dua orang
saksi atau tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akta notaris.
? Wasiat yang dibuat secara tertulis hanya dapat dicabut dengan tertulis dengan disaksikan
oleh dua orang saksi atau berdasarkan akta notaris
? Wasiat yang dibuat berdasarkan akta notaris hanya dapat dicabut berdasarkan akta notaris.
7. Wasiat Wajibah (Ps 209 KHI)
? Yang dimaksud wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang dianggap telah dibuat oleh pewasiat
meskipun sebenarnya pewasiat tidak pernah membuatnya. Wasiat wajibah ini ditujukan bagi
orang tua angkat dan anak angkat, dengan jumlah maksimal 1/3 dari harta warisan.
Ketentuannya adalah bahwa harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan ketentuan
yang ada (KHI), sedangkan bagi orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat
wajibah maksimal 1/3 dari harta warisan anak angkatnya, sebaliknya terhadap anak angkat
yang tidak menerima wasiat juga diberi wasiat wajibah maksimal 1/3 dari harta warisan
orang tua angkatnya.
8. Hibah
Yang dimaksud hibah adalah pemberian suatu benda secara suka rela dan tanpa imbalan dari
seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
9. Rukun dan Syarat Hibah
a. Orang yang memberi hibah, syaratnya : minimal berusia 21 tahun, berakal sehat, dan
bertindak tanpa paksaan
b. Orang yang menerima hibah
c. Barang yang dihibahkan, maksimal sebanyak 1/3 dari harta warisan
d. Sighat/ikrar.
10. Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan.
11. Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya

Anda mungkin juga menyukai