HUKUM PERKAWINAN
BAB I
PENDAHULUAN
Kondisi hukum perkawinan yang pluralistis tersebut tidak terlepas dari pengaruh politik
pemerintah kolonial Belanda yang termuat dalam Pasal 131 IS (Indische Staats Regeling) yang
mengatur tentang penggolongan penduduk menjadi 3 golongan.
Oleh karena hukum perkawinan yang ada sangat pluralistis, menonjolkan segi keperdataan
dan cenderung sekuler, maka berimplikasi pada munculnya ketiadaan kepastian hukum. Sehingga
diperlukan adanya solusi yang dapat mengatasi ketidakpastian tersebut, yaitu dengan upaya untuk
melahirkan sebuah undang-undang perkawinan yang bersifat nasional. Hal ini dijawab dengan
diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP). Kelahiran UUP ini
tentunya membawa konsekuensi antara lain bahwa dengan berlakunya UUP ini, maka dinyatakan
tidak berlaku beberapa peraturan perkawinan yaitu :
1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW).
2. Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (HOCI) Stb. 1933 Nomor 74.
3. Peraturan perkawinan campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken) Stb. 1898 Nomor
158 dan peraturan lain tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974.
Sekalipun telah berlaku hukum perkawinan nasional, eksistensi hukum perkawinan Islam
masih diakui. Dasar hukumnya adalah :
1) Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUP yang menyatakan ?Perkawinan sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu?. Hal-hal yang belum diatur
dan tidak bertentangan dengan UUP tetap berlaku menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya.
2) Ketentuan Pasal 66 UUP: bahwa yang tidak berlaku bukanlah peraturan secara keseluruhan,
melainkan hanyalah hal-hal yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam
UUP ini.
Dalam hal ini dapat dilihat kapan UUP berlaku bagi orang Islam dan kapan tidak berlaku.
UUP berlaku bagi orang Islam:
Dalam hal-hal yang tidak diatur di dalam hukum perkawinan Islam atau tidak ditentukan
secara khusus dalam hukum perkawinan Islam, yaitu:
a. Tentang pencatatan perkawinan (Pasal 2 ayat (2) UUP);
b. Tentang izin kawin dan pengadilan agama bagi suami yang akan menikah lebih dari
seorang (Pasal 4);
BAB II
DASAR-DASAR PERKAWINAN
1. Pengertian
Menurut Pasal 1 UUP, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Di sini disyaratkan perkawinan antara
seorang pria dan wanita dan belum/tidak diatur tentang perkawinan dengan status baru yang
terjadi dengan adanya fenomena operasi ganti kelamin.
Sementara Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menentukan bahwa Perkawinan
menurut hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan
gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
2. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan dalam hukum Islam tidak terlepas dari pernyataan Al Qur?an sebagai
sumber ajaran yang pertama. Al-Qur?an dalam Surat Ar-Ruum : 21 menegaskan bahwa ?Di
antara tanda-tanda kekuasaan Allah SWT ialah bahwa Dia menciptakan isteri-isteri bagi laki-laki
dan jenis mereka sendiri agar mereka merasa tenteram (sakinah). Kemudian Allah
menjadikan/menumbuhkan perasaan cinta dan kasih sayang (mawaddah dan rahmah) di antara
mereka. Dalam hal demikian benar-benar terdapat tandatanda (pelajaran) bagi mereka yang
mau berfikir. Tujuan perkawinan di atas terefleksi dalam ketentuan Pasal 3 KHI, yaitu bahwa
perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah
dan rahmah.
3. Sahnya Perkawinan
Perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai Pasal 2 ayat (1) UUP.
4. Pencatatan Perkawinan
Setiap perkawinan harus dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) sesuai dengan
ketentuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 jo Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954
tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, agar terjamin ketertiban perkawinan bagi
masyarakat Islam. Setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan
PPN. Pencatatan perkawinan tidak menentukan sah tidaknya suatu perkawinan, tetapi hanya
menyatakan bahwa peristiwa perkawinan benar-benar terjadi. Jadi semata-mata bersifat
administratif. Namun apabila ada perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan PPN, maka
perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum artinya hukum tidak memberikan
perlindungan apabila terjadi sesuatu terhadap perkawinan tersebut.
Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh PPN. Jika akta
nikah tidak ada, berdasarkan Pasal 7 ayat (4) KHI dapat diajukan itsbat nikah ke Pengadilan
Agama oleh suami atau isteri, anak-anak, wali dan pihak yang berkepentingan (misalnya jaksa
dalam rangka penuntutan perkara pidana pelangganan perkawinan ex Pasal 279 KUHP, yakni
jika pernikahan yang dijadikan dasar penuntutan itu tidak mempunyai akta nikah/belum tercatat
pada PPN KUA Kecamatan, maka jaksa dapat mengajukan itsbat nikah ke pengadilan agama
untuk membuktikan terjadinya pelanggaran tindak pidana).
Itsbat nikah dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas pada hal-hal sebagai berikut:
a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian.
b. Hilangnya akta nikah.
c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan.
d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UUP.
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan
menurut UUP.
? Putusnya perkawinan selain cerai mati dibuktikan dengan Surat Cerai berupa putusan
PA (perceraian, ikrar talak, khuluk, taklik talak)
輓 talak : perceraian
atas kehendak suami, disebut juga dengan cerai talak. Menurut hukum Islam, suami
yang mempunyai kekuasaan memegang tali perkawinan dan karena itu maka suami yang
berhak melepaskan tali perkawinan dengan mengucapkan ikrar talak. Suami yang ingin
mengucapkan ikrar talak, ia tidak mengajukan gugatan perceraian, tetapi mengajukan
permohonan ijin untuk mengucapkan ikrar talak. Pengadilan akan menilai apakah
permohonan itu sah, layak dan memenuhi alasan-alasan menurut hukum Islam.
輓 cerai gugat: isteri
tidak punya hak menceraikan suami, karena itu ia harus mengajukan gugatan untuk
bercerai. Selanjutnya hakim yang akan memutuskan perkawinannya dengan kewenangan
yang dimilikinya.
輓 khuluk perceraian
yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan (iwadl) kepada dan atas
persetujuan suaminya.
輓 taklik talak :
perjanjian yang diucapkan oleh calon mempelai pria setelah akad nikah yang
dicantumkan dalam akta nikah berupa janji yang digantungkan kepada suatu keadaan
tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.
輓 Catatan: alasan-
alasan yang dipergunakan untuk mengajukan cerai gugat oleh isteri sama dengan alasan
cerai talak oleh suami
BAB III
RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN
? Rukun adalah unsur-unsur yang harus ada untuk dapat terjadinya suatu perkawinan. Rukun
perkawinan terdiri dari calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi serta ijab dan kabul
? Syarat perkawinan adalah syarat yang harus dipenuhi oleh masing-masing unsur perkawinan.
4. Peminangan
a) Pengertian
Peminangan dalam fiqh disebut khitbah = permintaan, adalah pernyataan atau
permintaan dan seorang laki-laki kepada seorang wanita dengan maksud untuk dinikahinya,
baik dilakukan oleh laki-laki yang bersangkutan secara langsung maupun melalui perantaraan
pihak lain yang dipercaya sesuai dengan ketentuan agama.
Peminangan menurut KHI adalah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan
perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita (Pasal 1 huruf a KHI).
b) Pelaku peminangan
Dapat dilakukan langsung oleh yang bersangkutan dan melalui perantara orang lain
yang dapat dipercaya.
c) Wanita yang dilarang dan haram dipinang.
? Wanita yang masih menjalani masa iddah raj?i.
? Wanita yang sedang dipinang oleh pria lain, kecuali pinangan tersebut telah putus dan
ditolak.
d) Putusnya pinangan dan akibatnya
Putusnya pinangan dapat terjadi karena: (1) adanya pernyataan tentang putusnya
hubungan pinangan, dan (2) Secara diam-diam pria peminang telah menjauhi dan
meninggalkan wanita yang dipinang.
Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan
hubungan peminangan dengan tetap mengindahkan tata cara yang baik sesuai dengan
tuntunan agama dan kebiasaan setempat dan tetap memelihara kerukunan. Peminangan
dalam hukum Islam belum mempunyai akibat hukum. Hal ini mempunyai kesamaan dengan
hukum perdata barat yang tidak terdapat sanksi hukum apabila terjadi pemutusan pinangan.
Berbeda dengan status ?pertunangan? dalam hukum adat. Dalam hukum adat, pertunangan
dianggap sebagai suatu lembaga hukum; suatu pengertian hukum, yang konsekuensinya
mempunyai akibat hukum, misalnya pihak yang memutuskan/bersalah kehilangan tanda
pengikat, mengembalikan dua kali lipat dan membayar denda delik lainnya. Dalam hukum
adat, adanya pertunangan berarti seseorang terikat untuk kawin dan ada kewajiban untuk
memberikan hadiah-hadiah.
e) Catatan: Diterimanya pinangan pria oleh pihak wanita belum menghalalkan ?hubungan?
antara keduanya.
WALI NIKAH
1. Kedudukkan Wali
a) Imam Malik, Syafi?i dan Hambali berpendapat bahwa wali merupakan syarat sahnya
perkawinan. Dasar hukumnya adalah:
? Hadits Nabi
?Barang siapa di antara perempuan yang menikah dengan tak seijin walinya maka
perkawinannya batal? (Empat orang ahli hadits kecuali Nasai)
? Hadits Nabi
?Janganlah menikahkan perempuan akan perempuan lain dan jangan pula menikahkan
seorang perempuan akan dirinya sendiri? (Riwayat Ibnu Majah dan Daruquthni)
? Hadits Nabi
?Tidak sah nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil? (Hadits Riwayat
Ahmad).
b) Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita boleh mengawinkan dirinya sendiri tanpa wali.
Hadits Nabi
?Orang-orang yang tidak mempunyai jodoh lebih berhak atas perkawinan dirinya daripada
walinya, dan gadis itu dimintakan persetujuannya untuk dinikahkan dan tanda ijinnya ialah
diamnya? (Hadits Bukhari Muslim).
c) Kompilasi Hukum Islam menentukan bahwa wali nikah merupakan rukun.
2. Tertib Wali
3. Macam Wali
a) Wali Nasab
Wali nasab artinya anggota keluarga laki-laki dari calon mempelai perempuan yang
mempunyai hubungan darah patrilinial dengan calon mempelai perempuan.
Wali nasab terbagi menjadi dua:
1) Wali mujbir, yaitu wali nasab yang berhak memaksakan kehendaknya untuk menikahkan
calon mempelai perempuan tanpa meminta ijin kepada wanita yang bersangkutan hak
yang dimiliki oleh wali mujbir disebut dengan hak ijbar. Wali yang memiliki hak ijbar ini
menurut Imam Syafi?i hanya ayah, kakek dan seterusnya ke atas. Para ulama
berpendapat bahwa wali mujbir dapat mempergunakan hak ijbar, apabila terpenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:
(a) Antara wali mujbir dengan calon mempelai tidak ada permusuhan.
(b) Laki-laki pilihan wali harus sekufu dengan wanita yang akan dikawinkan.
(c) Di antara calon mempelai wanita dengan calon suami tidak ada permusuhan
(d) Maharnya tidak kurang dari mahar mitsil.
(e) Laki-laki pilihan wali akan dapat memenuhi kewajibannya terhadap isteri dan tidak ada
kekhawatiran akan menyengsarakannya.
Catatan: Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, wanita dapat meminta fasakh ke
pengadilan.
2) Wali nasab biasa, yaitu wali nasab yang tidak mempunyai kewenangan untuk memaksa
menikahkan tanpa ijin/persetujuan dari wanita yang bersangkutan. Dengan kata lain wali
ini tidak mempunyai kewenangan menggunakan hak ijbar.
b) Wali Hakim.
Wali hakim adalah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk
olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah.
Wali hakim diatur dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali
Hakim. Wali Hakim dapat bertindak sebagai wali nikah apabila:
(1) Wali nasab tidak ada: memang tidak ada (kemungkinan calon mempelai wanita kehabisan
wali dalam arti semua wali nasab yang yang memenuhi syarat telah meninggal dunia,
calon mempelai wanita tidak mempunyai wali karena wali lain agama dan merupakan
anak luar kawin.
(2) Wali nasab tidak mungkin hadir : bepergian jauh, berhaji dan melaksanakan umroh.
(3) Wali nasab tidak diketahui tempat tinggalnya;
(4) Wali nasab gaib (mafqud); diperkirakan masih hidup tetapi tidak diketahui rimbanya.
(5) Wali nasab adlal atau enggan (setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali
tersebut). Wali adlal adalah wali yang enggan menikahkan wanita yang telah balig dan
berakal dengan seorang laki-laki pilihannya. Sedangkan masing-masing pihak
menginginkan adanya pernikahan tersebut. Dalam kaitan ini, ada sebuah hadits yang
yang bunyinya : Apabila datang kepadamu laki-laki yang kamu rasakan mantap karena
kekuatan agama dan akhlaknya. Nikahkanlah dia dengan anak perempuanmu. Apabila
kamu tidak menerimanya, akan terjadi bencana dan kerusakan di muka bumi. Dengan
demikian, baik Al-Qur?an maupun hadits menjadikan ketaqwaan sebagai nilai utama
dalam pemilihan jodoh. Oleh karenanya dalam Pasal 61 KHI ditentukan bahwa ?Tidak
sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu
karena perbedaan agama dan ikhtilaafu al dien.
SAKSI NIKAH
2. Syarat saksi.
Syarat sebagai saksi nikah adalah laki-laki, muslim, adil, balig, tidak terganggu ingatan dan tidak
tuna rungu.
3. Saksi nikah minimal harus dua dan hadir serta menyaksikan secara langsung akad nikah,
menandatangani akta nikah pada waktu dan tempat akad nikah dilangsungkan.
AKAD NIKAH
1. Akad nikah adalah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan kabul yang diucapkan oleh
mempelai pria dan wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi.
2. Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas, beruntun dan tidak berselang
waktu.
3. Akad nikah dapat dilaksanakan sendiri oleh wali nikah atau mewakilkan kepada orang lain.
4. Yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria secara pribadi. Akan tetapi, atas
persetujuan mempelai wanita dan walinya, ucapan penerimaan kabul dapat diwakilkan kepada
pria lain dengan surat kuasa khusus.
5. Contoh redaksi ijab kabul yang diwakilkan
Ijab: Saya nikahkan puteri kandung saya bernama A kepada X bin Y yang telah mewakilkan
kabul nikahnya kepada C bin D dengan mas kawin sebesar/seberat dibayar tunai.
Kabul: Saya terima pernikahan puteri kandung Bapak bernama A dengan X bin Y yang telah
mewakilkan kabulnya kepada saya dengan mas kawin sebesar/seberat dibayar tunai.
BAB IV
MAHAR DAN PERJANJIAN PERKAWINAN
A. Mahar
1. Mahar (mas kawin) adalah pemberian (wajib) dari calon mempelai pria kepada calon
mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang dan jasa yang tidak bertentangan dengan
hukum Islam.
2. Macam Mahar :
a) Mahar musamma adalah mahar yang bentuk dan jumlahnya ditetapkan dalam sighal
akad nikah. Mahar ini bisa dibayarkan secara tunai atau ditangguhkan dengan
persetujuan kedua belah pihak.
b) Mahar mitsil ialah mahar yang jumlahnya ditetapkan menurut jumlah yang diterima
keluarga pihak isteri, karena pada waktu akad nikah jumlah dan bentuk mahar belum
ditetapkan.
3. Pembayaran mahar
a) Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah,
bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.
b) Penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh
ajaran Islam.
c) Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itu menjadi hak
pribadinya
d) Mahar dapat diserahkan secara tunai dan ditangguhkan dan jika mempelai wanita
menyetujuinya, maka menjadi utang calon mempelai pria
e) Suami yang mentalak isterinya qobla al dukhul dalam keadaan mahar masih terulang,
maka ia wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah.
Demikian juga jika suami meninggal dunia qobla al dukhul maka seluruh mahar yang
telah ditetapkan menjadi hak penuh isteri. Dalam hal terjadi perceraian dengan qobla al
dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar
mitsil.
4. Sengketa mahar
a) Jika mahar hilang sebelum diserahkan, maka dapat diganti dengan uang atau barang lain
yang senilai.
b) Jika mahar cacat tetapi mempelai wanita mau menerimanya, maka mahar dianggap telah
lunas. Akan tetapi, jika ia menolak, maka mempelai pria wajib menggantinya dengan
mahar lain yang tidak cacat. Selama penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap
belum lunas.
c) Penyelesaian perselisihan tentang mahar baik mengenai jenis maupun nilainya dapat
diajukan ke pengadilan agama.
5. Catatan: Mahar dalam KHI tidak termasuk rukun perkawinan. Kelalaian penyebutan jenis dan
jumlah mahar pada waktu akad nikah tidak menyebabkan batalnya perkawinan.
B. Perjanjian Perkawinan
Dalam KHI ditentukan bahwa apabila dikehendaki, kedua calon mempelai dapat
mengadakan perjanjian perkawinan dalam dua bentuk yaitu Taklik talak dan Perjanjian lain.
1. Taklik talak
Ialah perjanjian yang diucapkan oleh mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan
dalam Akta Nik ᨠ berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang
mungkin terjadi di masa yang akan datang. Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan
hukum Islam. Taklik talak tidak wajib ada, namun sekali diadakan tidak dapat dicabut
kembali. Apabila keadaan yang disyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi di
kemudian hari, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Tetapi isteri harus mengajukan
persoalannya ke Pengadilan Agama.
2. Perjanjian lain
a) Pengertian
Adalah suatu perjanjian tertulis yang dibuat oleh kedua calon mempelai pada saat atau
sebelum perkawinan dilangsungkan dan disahkan oleh PPN yang berisi tentang
kedudukan harta dalam perkawinan.
b) Isi perjanjian meliputi: percampuran harta pribadi dan pemisaban harta pencaharian
masing-masing; penetapan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan
hipotik atas harta pribadi dan harta bersama (harta syarikal).
? Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta baik yang dibawa
masing-masing dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing masing selama
perkawinan, dan hanya terbatas pada harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan
berlangsung.
? Dibuatnya perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama tidak
menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga
BAB V
BERISTERI LEBIH DARI SEORANG DAN KAWIN HAMIL
A. Beristeri lebih dari seorang (Poligami)
1. Syarat poligami
Pada waktu bersamaan seorang pria diperbolehkan kawin sampai 4 orang isteri dengan syarat
:
a) Mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya;
b) Mendapatkan ijin dari Pengadilan Agama.
2. Ijin Pengadilan Agama dapat diperoleh apabila permohonan ijin poligami tersebut didasarkan
pada salah satu alasan berikut:
a) Adanya persetujuan isteri.
b) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri.
c) Isteri mendapat cacat badan dan penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
d) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Syarat persertujuan isteri dapat diberikan secara tertulis atau lisan, tetapi sekalipun telah
ada persetujuan tertulis, persetujuan ini harus dipertegas dengan persetujuan lisan dari
isteri pada sidang di Pengadilan Agama.
Ketentuan di atas berlaku juga bagi anggota TNI yang akan beristeri lebih dari
seorang. Dia harus terlebih dahulu mendapatkan ijin dari komandannya. Keharusan tersebut
tertuang dalam Surat Keterangan Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan
Bersenjata (Menhankam/Pangab) Republik Indonesia Nomor Kep/12/III/1972.
B. Kawin Hamil
Ketentuan mengenai kawin hamil dalam Pasal 53 KHI merupakan ?ketentuan baru?
dalam hukum perkawinan di Indonesia Dalam Pasal 53 disebutkan bahwa seorang wanita
hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan dengan
wanita hamil tersebut dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan
lagi setelah anak yang dikandungnya lahir.
Peraturan ini belum memberikan penjelasan terkait dengan persoalan apabila yang
mengawini wanita tersebut bukan laki-laki yang menyebabkan kehamilan sebagaimana
banyak terjadi dalam praktek..
b) Pernikahan bukan dengan pria yang menghamilinya. Terhadap persoalan ini ada dua
pendapat:
BAB VI
PENCEGAHAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN
A. Pencegahan Perkawinan
1. Tujuan
Untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang oleh hukum Islam dan peraturan
perundang-undangan
2. Syarat
a. Apabila calon suami atau isteri tidak memenuhi syarat-syarat hukum Islam dan
perundang-undangan.
b. Apabila calon mempelai tidak sekufu karena perbedaan agama
4. Prosedur pencegahan.
a. Pemberitahuan kepada PPN setempat.
b. Mengajukan permohonan pencegahan ke Pengadilan Agama setempat.
c. PPN memberitahukan hal tersebut kepada calon mempelai.
1. Akibat hukum: perkawinan tidak dapat dilangsungkan, selama belum ada pencabutan
pencegahan perkawinan.
? Penolakan Perkawinan
a. Penolakan dilakukan oleh PPN, apabila PPN berpendapat bahwa terhadap perkawinan
tersebut terdapat larangan menurut UUP.
b. Acara :
1) Atas permintaan calon mempelai, PPN mengeluarkan surat keterangan tertulis tentang
penolakan tersebut disertai dengan alasannya.
2) Calon mempelai tersebut berhak mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama
(wilayah PPN tersebut) dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut
untuk memberikan.
3) Pengadilan Agama akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan
memberikan ketetapan berupa : menguatkan penolakan tersebut atau memerintahkan
perkawinan tersebut dilangsungkan.
B. Pembatalan Perkawinan
Ketentuan Pasal 22 UUP menyatakan bahwa: ?Perkawinan dapat dibatalkan apabila para
pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan? Dalam Penjelasan Pasal
22 disebutkan bahwa pengertian ?dapat? pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal,
bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain. Dengan
demikian, jenis perkawinan di atas dapat bermakna batal demi hukum dan bisa dibatalkan.
Lebih lanjut menurut Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 3 Tahun 1975 ditentukan
bahwa ?Apabila pernikahan telah berlangsung kemudian ternyata terdapat larangan menurut
hukum munakahat atau peraturan perundang-undanagan tentang perkawinan, maka Pengadilan
Agama dapat membatalkan pernikahan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang
berkepentingan?.
3. Pembatalan perkawinan karena adanya ancaman, pempuan atau salah sangka. Suami atau
isteri dapat mengajukan pembatalan perkawinan apabila:
a) Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.
b) Pada waktu dilangsungkan perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri
suami atau isterinya.
c) Bila ancaman telah terhenti atau yang bersalah sangka menyadari keadaannya, dan
dalam waktu 6 bulan setelah itu tetap hidup sebagai suami isteri dan tidak menggunakan
haknya, maka haknya menjadi gugur.
6. Akibat hukum
a) Pembatalan perkawinan berarti adanya putusan pengadilan yang menyatakan bahwa
perkawinan yang dilaksanakan adalah tidak sah. Akibat hukum dari pembatalan tersebut
adalah bahwa perkawinan tersebut menjadi putus dan bagi para pihak yang dibatalkan
perkawinannya kembali ke status semula karena perkawinan tersebut dianggap tidak
pernah ada dan para pihak tersebut tidak mempunyai hubungan hukum lagi dengan
kerabat dan bekas suami maupun isteri.
b) Batalnya perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan
hukum telap, tetapi berlaku surut sejak saat berlangsungnya perkawinan.
c) Keputusan pembatalan tidak berlaku surut terhadap :
? Perkawinan yang batal karena suami atau isteri murtad;
? Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
? Pihak ketiga yang mempunyai hak dan beritikad baik.;
? Batalnya perkawinan tidak memutus hubungan hukum anak dengan orang tua.
d) Perbedaan dengan perceraian dalam hal akibat hukum :
(1) Keduanya menjadi penyebab putusnya perkawinan, tetapi dalam perceraian bekas
suami atau isteri tetap memiliki hubungan hukum dengan mertuanya dan seterusnya
dalam garis lurus ke atas, karena hubungan hukum antara mertua dengan menantu
bersifat selamanya.
(2) Terhadap harta bersama diserahkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk
bermusyawarah mengenai pembagiannya karena dalam praktik tidak pernah
diajukan ke persidangan dan di dalam perundang-undangan hal tersebut tidak diatur.
e) Catatan: Dalam
BAB VII
HAK KEWAJIBAN SUAMI ISTERI DAN HARTA
KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN
5. Kewajiban isteri
a) Berbakti lahir batin kepada suami dalam batas-batas yang dibenarkan hukum Islam.
b) Menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga;
Catatan: Isteri dianggap nusyuz jika tidak melaksanakan kewajiban tersebut
BAB VIII
PEMELIHARAAN DAN PERWALIAN ANAK
A. Pemeliharaan Anak
1. Pengertian
Pemeliharaan anak (hadhanah) adalah kegiatan mengasuh, melihara dan mendidik anak
hingga dewasa atau mampu mandiri. Hadhanah berasal dan kata hidhan atau hidhanu yang
artinya lambung. Hukum hadhanah adalah wajib.
a) Anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun dipelihara ibunya.
b) Anak yang sudah mumayyiz, kepadanya diserahkan pilihan untuk dipelihara ayah atau
ibunya.
c) Biaya pemeliharaan anak ditanggung oleh ayahnya.
a) Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum
dewasa atau di bawah pengampuan, dan tidak boleh memindahkan atau
menggadaikannya, kecuali mendesak demi kemaslahatan anak..
b) Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan oleh kesalahan dan
kelalaiannya.
5. Ditentukan dalam KHI bahwa ukuran anak dikatakan mampu mandiri (dewasa) adalah
apabila sudah berumur 21 tahun atau telah kawin.
C. Perwalian
1. Pengertian
Adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan
hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua
orang tua atau kedua orang tua masih hidup tetapi tidak cakap melakukan perbuatan
hukum.
2. Obyek Perwalian
a) Perwalian hanya dilakukan terhadap anak yang belum berumur 21 tahun atau belum
pernah kawin.
b) Perwalian meliputi diri dan harta kekayaan anak.
Sedapat mungkin dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang dewasa, berpikiran
sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik atau badan hukum.
4. Kewajiban wali
a) Mengurus diri dan harta yang berada di bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya.
b) Memberikan bimbingan agama, pendidikan dan ketrampilan kepada anak demi masa
depannya.
c) Bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya dan
mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya.
Pertanggungjawaban tersebut harus dibuktikan dengan pembuktian yang ditutup tiap
satu tahun sekali.
d) Menyerahkan seluruh harta orang yang berada di bawab perwaliannya, apabila orang
yang bersangkulan telah mencapai umur 21 tahun atau telah kawin.
e) Wali dilarang mengikatkan, membebani dan mengasingkan harta orang yang berada di
bawah perwaliannya kecuali menguntungkan atau merupakan kenyataan yang tidak
dapat dihindarkan.
5. Hak wali
Wali dapat mempergunakan harta orang yang berada di bawah perwaliannya sepanjang
diperlukan untuk kepentingannya menurut kepatutan apabila wali itu fakir.
6. Berakhirnya perwalian
Karena dicabut hak perwaliannya oleh Pengadilan Agama atas permobonan kerabatnya
dengan alasan wali tersebut pemabok, penjudi, pemboros, gila dan atau melalaikan atau
menyalahgunakan hak dan kewenangannya sebagai wali.
BAB IX
PUTUSNYA PERKAWINAN
Perkawinan dapat putus karena tiga hal yaitu karena (a) kematian, (b) perceraian dan (c)
putusan pengadilan.
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah tidak berhasil
didamaikan. Adapun alasan-alasan yang dapat dipergunakan untuk melakukan perceraian adalah
:
a) Berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar
disembubkan;
b) Pergi selama dua tahun berturut-turut tanpa izin dan alasan yang sah
c) Setelah perkawinan mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat;
d) Melakukan kekejaman atau penganiayaan berat;
e) Mendapat cacad badan atau penyakit lain yang menyebabkan tidak dapat menjalankan
kewajiban sebagai suami atau isteri;
f) Terjadinya perselisihan dan pertengkaran yang terus-menerus.
Catatan : Alasan perceraian dalam Pasal 116 KHI mencantumkan 6 hal yang tersebut dalam UUP,
tetapi ada dua alasan tambahan yaitu: Suami melanggar ta?lik talak dan peralihan agama
(murtad yang menyebabkan terjadinya percekcokan).
(1) Talak Raj?i, yaitu talak kesatu atau kedua dimana suami masih berhak merujuk dalam
masa iddah.
(2) Talak Ba?in:
? Talak ba?in Shughraa, yaitu talak yang tidak boleh dirujuk meski dalam masa iddah,
tetapi boleh dengan akad nikah baru.
Yang termasuk jenis talak ini adalah:
(a) Talak qabla al dukhul.
(b) Khuluk atau talak tebus.
(c) Talak oleh Pengadilan Agama
? Talak ba?in Kubraa, yaitu talak ketiga kalinya, tidak dapat dirujuk dan dinikah
(kecuali?)
(3) Talak Sunny adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri
dalam keadaan suci dan tidak dicampuri. Talak semacam ini hukumnya halal.
(4) Talak Bid?i adalah talak yang dilarang yaitu talak yang dijatuhkan keadaan haid atau
dijatuhkan dalam keadaan suci tetapi telah dicampuri. Talak semacam ini hukumnya
haram.
c) Gugatan perceraian, yaitu setiap bentuk perceraian yang diajukan oleh pihak isteri.
Perkawinan yang putus karena perceraian mempunyai akibat terhadap hak dan kewajiban baik
kepada suami, isteri maupun anak-anak.
a) Suami
? Hak
1) Memperoleh kembali harta pribadi dan setengah harta bersama.
2) Merujuk isteri dalam masa iddah (terhadap talak yang boleh dirujuk).
? Kewajiban
1) Memberikan mul?ah yang layak, kecuali talak qobla al dukhul.
2) Memberi nafkah, maskan, dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah kecuali
bekas isteri dijatuhi talak ba?in dan nusyuz.
3) Melunasi mahar yang terhutang seluruhnya atau setengahnya apabila perceraian
terjadi qobla aI dukhul.
4) Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum berumur 21 tahun.
b) Isteri
? Hak
1) Memperoleh kembali harta pribadi dan setengah harta bersama.
2) Berhak atas nafkah, mut?ah, maskan dan kiswah selama iddah kecuali nusyuz.
3) Menikah kembali setelah selesai masa iddah.
? Kewajiban
1) Menjaga diri selama iddah
2) Tidak menikah atau menerima pinangan pria lain selama masa iddah.
c) Anak.
1) Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya.
2) Anak yang sudah mumayyiz diberi pilihan untuk mendapat hadhanah dari ayah atau
ibunya.
3) Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah sampai dewasa
atau mampu mengurus diri sendiri atau telah mencapai umur 2l tahun.
5. Masa Iddah
a. Iddah adalah masa tunggu bagi wanita yang ditinggal mati atau bercerai dari suaminya yang
tidak memungkinkan baginya untuk menikah lagi dengan laki-laki lain.
b. Berlaku bagi isteri yang putus perkawinannya kecuali qobla al dukhul dan perkawinannya
putus bukan karena kematian suami.
c. Waktu tunggu
1) Karena kematian
? 130 hari jika tidak hamil.
? Jika hamil sampai melahirkan.
2) Karena perceraian
BAGIAN KEDUA
HUKUM KEWARISAN
BAB I
PENDAHULUAN
1. Hukum waris menduduki tempat amat penting dalam Hukum Islam. Ayat-ayat A1-qur?an
mengatur hukum waris dengan jelas dan terperinci : hal ini dapat dimengerti sebab masalah warisan
pasti dialami oleh setiap orang. Sedemikian pentingnya kedudukan hukum waris Islam dalam hukum
Islam dapat disimpulkan dari hadits Nabi riwayat Ibnu Majah dan Addaraquthni yang menyatakan ?
Pelajarilah faraidl (hukum waris) dan ajarkanlah kepada orang banyak, karena faraidl adalah separoh
ilmu dan mudah dilupakan serta merupakan ilmu yang pertama kali hilang dari umatku.?
c. Ijtihad
Meskipun Al-Qur?an dan Sunnah Rasul telah memberi ketentuan terperinci tentang
pembagian harta warisan, tetapi dalam beberapa hal masih diperlukan adanya ijtihad, yaitu
terhadap hal-hal yang tidak ditentukan dalam kedua sumber hukum tersebut. Misalnya
mengenai bagian warisan orang banci, harta warisan yang tidak habis terbagi kepada siapa
sisanya diberikan, bagian ibu apabila hanya bersama-sama dengan ayah dan duda atau
janda.
BAB II
BAGIAN AHLI WARIS
1. Yang dimaksud wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau
lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
2. Dasar hukum wasiat terdapat dalam A1-Qur?an Surat Al-Baqarah ayat 180, Hadits Riwayat A1-
Jama?ah dari Sa?ad ibn Abi Waqqasli, dan ijtihad para mujtahid.
3. Rukun dan Syarat Wasiat adalah sbb:
a. Orang yang berwasiat (mushi)
Mushi disyaratkan sudah dewasa (minimal berusia 21 tahun), berakal sehat, dan tanpa
paksaan dalam berwasiat
b. Orang yang menerima wasiat (mushalahu)
Mushalahu disyaratkan harus dapat diketahui dengan jelas, telah wujud ketika wasiat
dinyatakan, bukan untuk tujuan kemaksiatan, dan tidak membunuh mushi.
c. Sesuatu yang diwasiatkan (mushabihi)
Mushabihi harus memenuhi syarat sebagai berikut: dapat berlaku sebagai harta warisan atau
dapat menjadi obyek perjanjian, sudah wujud ketika wasiat dinyatakan, milik mushi, dan
jumlahnya maksimal 1/3 dari harta warisan kecuali semua ahli waris menyetujui.
d. Sighat/Ikrar
Ikrar wasiat dapat dinyatakan secara lisan, tertulis, maupun dengan isyarat.
4. Wasiat dapat dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau secara tertulis di hadapan dua
orang saksi atau di hadapan notaris.
5. Wasiat menjadi batal apabila (Ps. 197 KHI)
a. Calon penerima wasiat:
? dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada
pewasiat.
? dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah
melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman lima tahun penjara atau
hukuman yang lebih berat.
? dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk kepentingan
calon penerima wasiat.
? dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat dari
pewasiat.
b. Orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat:
? tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai ia meninggal dunia sebelum
meninggalnya pewasiat
? mengetahui adanya wasiat tersebut, tetapi ia menolak untuk menerimanya.
? mengetahui adanya wasiat tersebut, tetapi tidak pemah menyatakan menerima atau
menolak sampai ia meninggal sebelum meninggalnya pewasiat.
c. Barang yang diwasiatkan musnah.
6. Pencabutan Wasiat (Ps 199 KHI):
? Pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum menyatakan
persetujuannya atau sudah menyatakan persetujuannya tetapi kemudian menarik kembali.
? Wasiat yang dibuat secara lisan dapat dicabut secara lisan dengan disaksikan oleh dua orang
saksi atau tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akta notaris.
? Wasiat yang dibuat secara tertulis hanya dapat dicabut dengan tertulis dengan disaksikan
oleh dua orang saksi atau berdasarkan akta notaris
? Wasiat yang dibuat berdasarkan akta notaris hanya dapat dicabut berdasarkan akta notaris.
7. Wasiat Wajibah (Ps 209 KHI)
? Yang dimaksud wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang dianggap telah dibuat oleh pewasiat
meskipun sebenarnya pewasiat tidak pernah membuatnya. Wasiat wajibah ini ditujukan bagi
orang tua angkat dan anak angkat, dengan jumlah maksimal 1/3 dari harta warisan.
Ketentuannya adalah bahwa harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan ketentuan
yang ada (KHI), sedangkan bagi orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat
wajibah maksimal 1/3 dari harta warisan anak angkatnya, sebaliknya terhadap anak angkat
yang tidak menerima wasiat juga diberi wasiat wajibah maksimal 1/3 dari harta warisan
orang tua angkatnya.
8. Hibah
Yang dimaksud hibah adalah pemberian suatu benda secara suka rela dan tanpa imbalan dari
seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
9. Rukun dan Syarat Hibah
a. Orang yang memberi hibah, syaratnya : minimal berusia 21 tahun, berakal sehat, dan
bertindak tanpa paksaan
b. Orang yang menerima hibah
c. Barang yang dihibahkan, maksimal sebanyak 1/3 dari harta warisan
d. Sighat/ikrar.
10. Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan.
11. Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya