Hukum
Perkawinan
Hukum Perdata
Anggota
UU NO 1 Tahun 1974
Pasal 1
A. Pendahuluan
Pengertian Perkawinan
A. Pendahuluan
Bentuk-Bentuk Perkawinan
A. Pendahuluan
1.Monogami
2.Poligami
a.poligini
b.poliandri
A. Pendahuluan
Bentuk-Bentuk Lainnya
•Cross consinlalah
•Paralel Cousinlalah
•Eleutherogamilalah
B. perkawinan menurut KUH
Perdata
Hukum Perkawinan yang diatur dalam KUH Per berasaskan monogami dan berlaku
mutlak. Artinya, setiap suami hanya diperbolehkan mempunyai seorang istri saja,
begitu pula sebaliknya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 27 KUH Per. KUH Per
memandang perkawinan hanya dalam hubungan keperdataan (Pasal 26 KUH Per).
Hal ini berarti, bahwa perkawinan itu sah apabila telah dipenuhinya ketentuan
hukum/syarat hukum dari KUH Per.
KUH Per tidak memandang faktor keagamaan sebagai syarat sahnya perkawinan.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 81 KUH Per, di mana upacara keagamaan tidak
boleh dilangsungkan sebelum perkawinan diadakan dihadapan Pegawai Catatan
Sipil. Di dalam KUH Per, perolehan keturunan bukan merupakan tujuan perkawinan.
2. Syarat-syarat Sahnya Perkawinan
2) Jika kedua orangtua telah meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan
kehendaknya, maka yang memberikan izin ialah kakek-nenek, baik pihak ayah maupun
pihak ibu, sedangkan izin wali masih pula tetap diperlukan (Pasal 37 KUH Per).
3) Anak luar kawin yang belum dewasa untuk dapat kawin, harus mendapat izin dari
bapak dan/atau ibu yang mengakuinya. Jika wali itu sendiri hendak kawin dengan anak
yang di bawah pengawasannya, harus ada izin dari wali pengawas. Jika di an- tara orang-
orang yang harus memberi izin itu terdapat perbedaan pendapat, maka Pengadilan atas
permintaan si anak, berkuasa memberikan izin (Pasal 39 KUH Per).
4) Anak luar kawin namun tidak diakui, selama belum dewasa, tidak diperbolehkan
kawin tanpa izin dari wali atau wali pe- ngawas mereka (Pasal 40 KUH Per).
5) Untuk anak yang sudah dewasa, tetapi belum berumur 30 tahun, masih juga
diperlukan izin kawin dari orang tuanya. Tetapi apabila mereka tidak mau
memberikan izin, maka anak dapat meminta melalui perantaraan hakim (Pasal 42
KUH Per).
b. Ipar laki-laki dan ipar perempuan; paman atau paman orangtua dan anak
perempuan saudara atau cucu perempuan saudara; atau antara bibi atau
bibi orangtua dan anak laki saudara atau cucu laki saudara (Pasal 31 KUH
Per).
Selanjutnya menurut Pasal 124 ayat (2) KUH Per, suami diperbo- lehkan
menjual, memindahtangankan dan membebani harta kekayaan
persatuan, tanpa campur tangan si istri, kecuali dalam hal-hal berikut
ini:
1. Tidak diperbolehkan menghibahkan barang-barang tidak bergerak
dan seluruh barang bergerak dari perkumpulan, kecuali untuk
pemberian jabatan kepada anak (Pasal 124 ayat 3 KUH Per).
2. Tidak diperbolehkan juga menghibahkan suatu barang bergerak
tertentu, meskipun diperjanjikan bahwa ia tetap menikmati pakai
hasil atas barang itu (Pasal 124 ayat 4 KUH Per).
3. Meskipun ada persatuan, di dalam suatu perjanjian kawin dapat
ditentukan, bahwa barang tak bergerak dan piutang atas nama istri
yang jatuh dalam persatuan tanpa persetujuan si istri, tidak dapat
dipindah-tangankan atau dibebani (Pasal 140 ayat 3 KUH Per).
Harta Benda dalam
Perkawinan
Di samping itu, jika si suami tidak hadir atau tidak mampu untuk
menyatakan kehendaknya, dan tindakan dengan segera sangat dibu-
tuhkannya, maka si istri dapat meminta izin pengadilan untuk memin-
dahtangankan atau membebani harta persatuan itu (Pasal 125 KUH
Perdata).
Harta Benda dalam
Perkawinan
Setelah bubarnya harta persatuan, maka harta persatuan dibagi dua antara
suami dan istri, atau antara para ahli waris mereka masing- masing, tanpa
mempersoalkan dari pihak yang manakah barang-ba- rang itu diperolehnya
(Pasal 128 ayat 1 KUH Per).
Harta Benda dalam
Perkawinan