Anda di halaman 1dari 41

KELOMPOK 2

Hukum
Perkawinan
Hukum Perdata
Anggota

1. Syakila syaharani putri (2310111126)


2. Dhea Cintya Moritha (2310111089)
3. Lutfiah Wahyuni Putri (2310111095)
4. Jesen Hendri Saputra (2310111104)
A. Pendahuluan

Dasar Hukum Perkawinan Di


Indonesia
A. Pendahuluan

UU NO 1 Tahun 1974
Pasal 1
A. Pendahuluan

Pengertian Perkawinan
A. Pendahuluan

perkawinan ialah ikatan lahir batin antara


seorang pria dan seorang wanita
sebagaisuami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.”.
A. Pendahuluan

Bentuk-Bentuk Perkawinan
A. Pendahuluan

Bentuk-Bentuk Perkawinan pada


dasarnya dapat dilihat dari segi
jumlah suami atau istri
A. Pendahuluan

1.Monogami
2.Poligami
a.poligini
b.poliandri
A. Pendahuluan

Dari asal suami-istri


•Eksogami
•Endogami
•Homogami
•Heterogami
A. Pendahuluan

Bentuk-Bentuk Lainnya
•Cross consinlalah
•Paralel Cousinlalah
•Eleutherogamilalah
B. perkawinan menurut KUH
Perdata

1. Asas Monogami dalam Perkawinan

Hukum Perkawinan yang diatur dalam KUH Per berasaskan monogami dan berlaku
mutlak. Artinya, setiap suami hanya diperbolehkan mempunyai seorang istri saja,
begitu pula sebaliknya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 27 KUH Per. KUH Per
memandang perkawinan hanya dalam hubungan keperdataan (Pasal 26 KUH Per).
Hal ini berarti, bahwa perkawinan itu sah apabila telah dipenuhinya ketentuan
hukum/syarat hukum dari KUH Per.

KUH Per tidak memandang faktor keagamaan sebagai syarat sahnya perkawinan.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 81 KUH Per, di mana upacara keagamaan tidak
boleh dilangsungkan sebelum perkawinan diadakan dihadapan Pegawai Catatan
Sipil. Di dalam KUH Per, perolehan keturunan bukan merupakan tujuan perkawinan.
2. Syarat-syarat Sahnya Perkawinan

Menurut Hukum Perdata Barat (KUH Per), syarat sahnya perkawinan


(syarat materiel) antar lain:
Berlaku asas monogami (Pasal 27 KUH Per).
Harus ada kata sepakat dan kemauan bebas antara si pria dan
wanita (Pasal 28 KUH Per).
Seorang pria sudah berumur 18 tahun dan wanita berumur 15 tahun
(Pasal 29 KUH Per).
Ada masa tunggu bagi seorang wanita yang bercerai, yaitu 300
hari sejak perkawinan terakhir bubar (Pasal 34 KUH Per).
Anak-anak yang belum dewasa harus memperoleh izin kawin dari
kedua orangtua mereka (Pasal 35 KUH Per). Mengenai izin kawin ini
diatur dalam ketentuan-ketentuan berikut ini:
1) Jika wali ini sendiri hendak kawin dengan anak yang di bawah pengawasannya, harus
ada izin dari wali pengawas (Pasal 36 KUH Per).

2) Jika kedua orangtua telah meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan
kehendaknya, maka yang memberikan izin ialah kakek-nenek, baik pihak ayah maupun
pihak ibu, sedangkan izin wali masih pula tetap diperlukan (Pasal 37 KUH Per).

3) Anak luar kawin yang belum dewasa untuk dapat kawin, harus mendapat izin dari
bapak dan/atau ibu yang mengakuinya. Jika wali itu sendiri hendak kawin dengan anak
yang di bawah pengawasannya, harus ada izin dari wali pengawas. Jika di an- tara orang-
orang yang harus memberi izin itu terdapat perbedaan pendapat, maka Pengadilan atas
permintaan si anak, berkuasa memberikan izin (Pasal 39 KUH Per).
4) Anak luar kawin namun tidak diakui, selama belum dewasa, tidak diperbolehkan
kawin tanpa izin dari wali atau wali pe- ngawas mereka (Pasal 40 KUH Per).

5) Untuk anak yang sudah dewasa, tetapi belum berumur 30 tahun, masih juga
diperlukan izin kawin dari orang tuanya. Tetapi apabila mereka tidak mau
memberikan izin, maka anak dapat meminta melalui perantaraan hakim (Pasal 42
KUH Per).

f. Tidak terkena larangan kawin (Pasal 30-33 KUH Per).


3. Larangan Perkawinan
Di dalam KUH Per ditegaskan, bahwa perkawinan dilarang antara lain:

a. Mereka yang bertalian keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas


dan ke bawah atau dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara
saudara laki-laki dan saudara perempuan (Pasal 30 KUH Per).

b. Ipar laki-laki dan ipar perempuan; paman atau paman orangtua dan anak
perempuan saudara atau cucu perempuan saudara; atau antara bibi atau
bibi orangtua dan anak laki saudara atau cucu laki saudara (Pasal 31 KUH
Per).

c. Kawan berzinanya setelah dinyatakan salah karena berzina oleh


putusan hakim (Pasal 32 KUH Per).

d. Mereka yang memperbarui perkawinan setelah pembubaran per-


kawinan terakhir jika belum lewat waktu 1 tahun (Pasal 33 KUH Per).
4. Perjanjian Perkawinan
Janji-janji kawin tidak menimbulkan hak untuk menuntut di muka Hakim
akan berlangsungnya perkawinan dan menuntut penggantian biaya, rugi dan
bunga, akibat kecideraan yang dilakukan terhadapnya; segala persetujuan
untuk ganti-rugi dalam hal ini adalah batal (Pasal 58 ayat 1 KUH Per).
Pada umumnya, seorang anak yang masih di bawah umur (belum.
mencapai umur 21 tahun), tidak diperbolehkan bertindak sendiri dan harus
diwakili oleh orangtuanya atau walinya, oleh undang-undang diadakan
pengecualiannya. Menurut Pasal 151 KUH Per, seorang anak yang belum
dewasa yang memenuhi syarat untuk kawin, diperboleh- kan bertindak
sendiri dalam menyetujui perjanjian kawin, asalkan ia "dibantu" oleh
orangtua atau orang-orang yang diharuskan memberi izin kepadanya untuk
kawin.
Setiap perjanjian kawin harus dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan
berlangsung, dan perjanjian mulai berlaku semenjak saat perkawinan dilangsungkan
(Pasal 147 KUH Per). Perjanjian kawin ini mulai berlaku bagi pihak ketiga sejak hari
pendaftarannya di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat, di mana pernikahan itu
telah dilangsungkan (Pasal 152 KUH Per). Setelah perkawinan berlangsung, perjanjian
kawin dengan cara bagaimanapun tidak boleh diubah (Pasal 149 KUH Per).
Di dalam ketentuan Pasal 139-143 KUH Per, diatur mengenai hal- hal yang tidak
dapat dimuat dalam perjanjian kawin, yaitu:
Tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusi- laan.
Tidak boleh melanggar kekuasaan suami sebagai kepala di dalam perkawinan.
Tidak boleh melanggar hak kekuasaan orangtua.
Tidak boleh melanggar hak yang diberikan undang-undang kepada suami atau istri
yang hidup terlama.
Tidak boleh melanggar hak suami di dalam statusnya sebagai kepala persatuan
suami-istri.
Tidak boleh melepaskan haknya atas legitieme portie (hak mutlak) atas
warisan dari keturunannya dan mengatur pembagian warisan dari
keturunannya.
Tidak boleh diperjanjikan bahwa sesuatu pihak harus membayar sebagian
utang yang lebih besar daripada bagian keuntungannya.
Tidak boleh diperjanjikan dengan kata-kata umum, bahwa ikatan
perkawinan mereka akan diatur oleh undang-undang luar negeri, adat
kebiasaan, atau peraturan daerah.
Pembertahuan, Pencatatan, dan
Pengumuman Perkawinan
Dalam ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 bahwa:

setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan


memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di
tempat perkawinan akan dilangsungkan.

Pemberitahuan tersebut dilakukan sekurang- kurangnya 10 hari kerja sebelum


perkawinan dilangsungkan.
Pemberitahuan memuat nama, umur, agama/ kepercayaan, pekerjaan, tempat
kediaman calon mempelai, apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin,
perlu disebutkan nama istri/suami terdahukh
Pasal 2 ayat (2) Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974,
menyatakan, “ Tiap- tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang- undangan yang berlaku.”

Setelah Pegawain Pencatat yang menerima pemberitahuan


kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti apakah
syarat- syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak
terdapat halangan perkawinan menurut Undang- undang.

Setelah terpenuhinya tata cara dan syarat- syarat pemberitahuan serta


tuada sesuatu halangan perkawinan, Pegawai Pencatat
menyelenggarakan pengumuman dengan menempelkan surat
pengumamuman pada suatu temoat yang sudah ditentukan dan dapat
dibaca oleh umum
Pelaksanaan Perkawinan

Menurut agama Menurut Hukum


islam Perdata

1. Terdapat calon pengantin 1. Perkawinan harus didasarkan persetujuan


laki- laki dan perempuan kedua mempelai
yang tudak terhalang 2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang
secara syar’i untuk menikah yang belum mencapai umur 21 tahun harus
lah mendapat persetujusn kedua orang tua
2. Calon pengantin memiliki
3. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal
wali nikah dunia atau dalam keadaan tidak mampu
3. Perkawinan dihadiri oleh 2 untuk menyatakan kehendaknya, maka ijin
orang saksi diperoleh dari wali, orang yang memelihara
4. Diucapkannya ijab dari pihak atau keluarga yang mempunyai hubungan
wali pengantin perempuan darah dalam garis keturunan keatas selama
5. Diucapkannya kabul oleh mereka masih hidup dan dalam keadaan
pengantin laki- laki dapat menyatakan kehendaknya.
Pencegahan Perkawinan
Tujuannya adalah untuk
menghindari suatu perkawinan
yang dilaranh menurut hukum
islam dan peraturan perundang-
••• undangan yang berlaku
Pencegahan Perkawinan
merupakan upaya untuk
menghalangu suatu perkawinan Pencegahan Perkawinan diatur dalam:
1. Pasal 13-21 UU No. 1 Tahun 1974
antara calon pasangan suami istri
2. Pasal 59- 70 UU KUH Perdata
yang tidak/ belum memenuhi 3. Pasal 37 PP No. 9 Tahun 1975
syarat untuk melangsungkan 4. Pasal 70-76 Inpres No 1. Tahun 1991
perkawinan 5. Pasal 85-99 KUH Perdata
Pembatalan Perkawinan
Perkawinan batal
adalah suatu perkawinan yang dari sejak semula dianggap tidak ada. Perkawinan batal
apabila:
suami melakukan perkawinan dalam keadaan ia mekiliki 4 istri, seseorang menikahi
mantan istriny yang pernah dijatuhi 3x talak, perkawinan yang dilakukan oleh dua orang
yang memiliki hubungan darah

Perkawinan yang dapat dibatalkan


adalah suatu oerkawinan yang telah berlangsung antara calon pasangan suami istri,
namun salah satu pihak dapat meminta kepada
pengadilan agar perkawinan itu dibatalkan. Suatu Perkawinan dapat dibatalkan apabila:
suami melakukan poligami tanpa izin, perempuan yang dikawini, dan ternyata dia masih
menjadi istri orang lain, perempuan yang dikawini masib dalam masa iddah, perkawinan
yang melanggar batas umur, perkawinan yang dilangsungkan tanpa wali, perkawinan yang
dilaksanakan dengan paksaan.
Hak dan Kewajiban Suami-Istri

Suami-Istri harus setia dan tolong


menolong (Pasal 130 KUH Perdata)
Suami-Istri wajib memelihara dan
mendidik anaknya (Pasal 104 KUH
Perdata)
Setiap suami adalah kepala dalam
persatuan suami-istri (Pasal 105 ayat 1
KUH Perdata)
Suami wajib memberikan bantuan
kepada istrinya (Pasal 105 ayat 2 KUH
Perdata)
Hak dan Kewajiban Suami-Istri

Setiap suami harus mengurus harta


kekayaan milik pribadi istrinya (Pasal 105
ayat 3 KUH Perdata)
Setiap suami berhak mengurus harta
kekayaan bersama ( Pasal 105 ayat 4
KUH Perdata)
Suami tidak diperbolehkan
memindahtangankan atau membebani
harta kekayaan tidak bergerak milik
istrinya, tanpa persetujuan si istri (Pasal
105 ayat 5 KUH Perdata)
Hak dan Kewajiban Suami-Istri

Setiap istri harus tunduk dan patuh


kepada suaminya (Pasal 106 ayat 1 KUH
Perdata)
Setiap istri wajib tinggal bersama
suaminya (Pasal 106 ayat 2 KUH
Perdata)
Setiap suami wajib membantu istrinya
dimuka hakim (Pasal 110 KUH Perdata)
Setiap istri berhak membuat surat wasiat
tanpa izin suaminya (Pasal 118 KUH
Perdata)
Hak dan Kewajiban Suami-Istri

Menurut Pasal 111 KUH Perdata,


bantuan si suami kepada istrinya
tidak diperlukan apabila:
1. Si istri dituntut di muka hakim karena
sesuatu perkara pidana.
2. Si istri mengajukan tuntutan
terhadap suaminya untuk
mendapatkan perceraian,
pemisahan meja dan tempat tidur,
atau pemisahan harta kekayaan.
Hak dan Kewajiban Suami-Istri dalam Undang-Undang Perkawinan
Diatur dalam Pasal 30-34
1. suami-istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi
sendi dsar dari susunan masyarakat.
2. Hak dan kedudukan istri seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan
berumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
3. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
4. Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga.
5. Suami istri harus mempunyai tempat tinggal tetap dan rumah tempat tempat tinggalnya
ditentukan bersama.
6. Suami-istri wajib saling cinta-mencintai, hormat-menghormati, se- tia dan memberi
bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
7. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah-
tangga sesuai dengan kemampuannya.
8. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
9. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan
kepada Pengadilan.
Harta Benda dalam
Perkawinan

a. Persatuan Harta Kekayaan


1. Pengurusan Harta Kekayaan Persatuan
pencampuran harta kekayaan adalah mengenai seluruh aktiva dan
pasiva, baik yang dibawa oleh masing-masing pihak ke dalam
perkawinan maupun yang akan diperoleh di kemudian hari selama
perkawinan.47 Menurut Pasal 119 KUH Per, prinsip harta benda
perkawinan yaitu harta persatuan bulat antara suami dan istri.
Adapun yang berwenang bertindak atas harta benda perkawinan
adalah suami, baik untuk harta pribadi istri (Pasal 105 KUH Per yaitu
suami sebagai kepala perkawin- an) atau harta persatuan (Pasal 124
ayat 1 KUH Per yaitu suami sebagai kepala harta persatuan).
Harta Benda dalam
Perkawinan

Selanjutnya menurut Pasal 124 ayat (2) KUH Per, suami diperbo- lehkan
menjual, memindahtangankan dan membebani harta kekayaan
persatuan, tanpa campur tangan si istri, kecuali dalam hal-hal berikut
ini:
1. Tidak diperbolehkan menghibahkan barang-barang tidak bergerak
dan seluruh barang bergerak dari perkumpulan, kecuali untuk
pemberian jabatan kepada anak (Pasal 124 ayat 3 KUH Per).
2. Tidak diperbolehkan juga menghibahkan suatu barang bergerak
tertentu, meskipun diperjanjikan bahwa ia tetap menikmati pakai
hasil atas barang itu (Pasal 124 ayat 4 KUH Per).
3. Meskipun ada persatuan, di dalam suatu perjanjian kawin dapat
ditentukan, bahwa barang tak bergerak dan piutang atas nama istri
yang jatuh dalam persatuan tanpa persetujuan si istri, tidak dapat
dipindah-tangankan atau dibebani (Pasal 140 ayat 3 KUH Per).
Harta Benda dalam
Perkawinan

Di samping itu, jika si suami tidak hadir atau tidak mampu untuk
menyatakan kehendaknya, dan tindakan dengan segera sangat dibu-
tuhkannya, maka si istri dapat meminta izin pengadilan untuk memin-
dahtangankan atau membebani harta persatuan itu (Pasal 125 KUH
Perdata).
Harta Benda dalam
Perkawinan

2. Bubarnya Harta Persatuan


Menurut Pasal 126 KUH Per, harta kekayaan persatuan demi hu- kum
menjadi bubar karena:
Kematian salah satu pihak
Berlangsungnya perkawinan baru si istri atas izin hakim, setelah adanya
keadaan tak hadir si suami.
Perceraian
Perpisahan meja dan tempat tidur.
Pemisahan harta benda.

Setelah bubarnya harta persatuan, maka harta persatuan dibagi dua antara
suami dan istri, atau antara para ahli waris mereka masing- masing, tanpa
mempersoalkan dari pihak yang manakah barang-ba- rang itu diperolehnya
(Pasal 128 ayat 1 KUH Per).
Harta Benda dalam
Perkawinan

b. Pemisahan Harta Kekayaan


1. Alasan-Alasan Pemisahan Harta Kekayaan
Menurut Pasal 186 ayat (1) KUH Per, sepanjang perkawinan, setiap istri
berhak memajukan tuntutan kepada hakim akan pemisahan harta kekayaan,
yaitu hanya dalam hal-hal sebagai berikut:
Jika sisuami karena kelakuannya yang nyata-nyata tak baik, telah
memboroskan harta kekayaan persatun, dan membahayakan
keselamatan keluarga.
Jika sisuami karena tak adanya ketertiban dan cara yang baik dalam
mengurus harta kekayaannya sendiri, sehingga jaminan akan
terpeliharanya harta siistri menjadi kurang.
Jika sisuami tidak baik caranya dalam mengurus harta kekayaan siistri,
sehingga kekayaan ini terancam bahaya.
Harta Benda dalam
Perkawinan

Selanjutnya menurut Pasal 186 ayat 2 KUH Perdata, pemisahan


harta kekayaan atas pemufakatan sendiri adalah terlrang.
Menurut Pasal 187 KUH Perdata, tuntutan akan pemisahan
harta kekayaan harus diumumkan dengan terang terangan.
Harta Benda dalam
Perkawinan

2. Akibat-Akibat Pemisahan Harta Kekayaan


Menurut Pasal 189 KUH Per, masa berlaku putusan pengadilan
mengenai pemisahan harta benda berakhir sampai dengan hari
gugatan diajukan. Akibat pemisahan harta, timbullah hal-hal sebagai
berikut:
Istri wajib memberikan sumbangan guna membiayai rumah tangga
dan pendidikan anak-anaknya (Pasal 193 KUH Perdata).
Istri memperoleh kebebasan untuk mengurusi sendiri harta
kekayaannya dan bolehlah ia mempergunakan barang bergeraknya
sesukanya atas izin umum dari Pengadilan Negeri (Pasal 194 KUH
Perdata).
Harta Benda dalam
Perkawinan

3. Penyatuan Kembali Harta Kekayaan yang Sudah Dipisah


Persatuan setelah dibubarkan karena pemisahan harta kekayaan
boleh dipulihkan kembali dengan persetujuan suami-istri.
Persetujuan yang demikian itu diadakan dengan cara
memuatkannya dalam sebuah akta autentik (Pasal 196 KUH
Perdata). Suami-istri wajib mengumumkan pemulihan kembali akan
persatuan harta kekayaan dengan terang- terangan (Pasal 198
KUH Perdata).
Putusnya Perkawinan
a. Alasan-Alasan Putusnya Perkawinan
Menurut Pasal 199 KUH Perdata, Perkawinan putus atau
bubar karena:
Kematian
Kepergian suami atau istri selama 10 tahun dan diikuti
dengan perkawinan baru dengan orang lain
Putusan hakim setelah adanya perpisahan meja makan
dan tempat tidur selama 5 tahun
Perceraian.
Dalam Undang-Undang Perkawinan, putusnya perkawinan
diatur dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 41. Menurut
Pasal 38 UUP, perkawinan dapat putus karena:
Kematian
Perceraian
Atas keputusan pengadilan
Putusnya Perkawinan
b. Masa Tunggu Bagi Wanita yang Putus Perkawinannya
Menurut Pasal 11 ayat (1) UUP, bagi seorang wanita yang putus
perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. Pasal 39 PP No. 9
Tahun 1975 menyebutkan, bahwa masa tunggu bagi seorang janda
adalah:
Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu
ditetapkan 130 hari.
Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi
yang masih datang bulan ditetapkan tiga kali suci dengan
sekurang-kurangnya 90 hari dan bagi yang tidak datang bulan
ditetapkan 90 hari.
Apabila perkawinan putus, sedang janda tersebut dalam keadaan
hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
Selanjutnya menurut Pasal 39 PP No. 9/1975 ini, tidak ada waktu
tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian, sedang
antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi
hhubungan kelamin.
Perkawinan di Luar Indonesia

Menurut Pasal 83 KUH Perdata, perkawinan yang dilangsungkan di


luar Indonesia, baik antara warga negara Indonesia satu sama lain,
maupun antara mereka dan warga negara lain adalah sah, apabila
perkawinan itu dilangsungkan menurut cara yang lazim dalam
negeri, di mana perkawinan itu dilangsungkan, dan suami-istri
warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan
dalam KUH Perdata. Selanjutnya menurut Pasal 84 KUH Per, dalam
waktu 1 tahun setelah suami-istri itu kembali di wilayah Indonesia,
maka perkawinan tadi harus dibukukan dalam daftar pencatatan
perkawinan di tempat tinggal mereka.
SUMBER

Hukum Perdata Indonesia ( P.N.H Simanjuntak, S.H. )


Hukum Keperdataan H. Zaeni Asyhadie, S.H.. M.Hum.

Anda mungkin juga menyukai