Anda di halaman 1dari 5

SYARAT-SYARAT PERKAWINAN

Syarat-syarat ini dibedakan antara :


a. Syarat Materil ( inti/intern )
b. Syarat Ekstern ( Formal )

Syarat Intern :
- Absolut ( mutlak )
- Relatif ( relatif )
Syarat materil absolut adalah syarat mengenai pribadi seseorang yang harus di indahkan
untuk perkawinan pada umumnya.
Syarat ini meliputi :
1. Monogami
2. Persetujuan antara kedua calon suami isteri, kehendak yang bebas
3. Harus memenuhi batas umur minimal
Laki-laki 19 tahun, perempuan 19 tahun (UU No. 16/2019 ttg Perubahan Atas UU No/
1/1974 ----.> Pasal 7 UU No. 1/1974)
4. Seorang perempuan yang pernah kawin dan hendak kawin lagi harus mengindahkan
waktu tunggu.
5. Untuk kawin diperlukan izin dari sementara orang
 Anak yang masih dibawah umur 21 tahun harus mendapat izin dari orang tuanya
atau walinya

Syarat Materil relatif / Syarat Intern relatif adalah ketentuan-ketentuan yang merupakan
larangan bagi seseorang untuk kawin dengan orang tertentu.
Ketentuan ini adalah :
1. Larangan untuk kawin dengan orang yang sangat dekat di dalam kekeluargaan sedarah
atau karena perkawinan.
2. Larangan untuk menikah dengan yang berbeda agama

Syarat Ekstern / Formal :


1. Syarat yang harus dipenuhi sebelum dilangsungkannya perkawinan, yaitu :
 Pemberitahuan tentang maksud untuk kawin.
 Pengumuman tentang maksud untuk kawin.
2. Syarat-syarat yang harus dipenuhi pada saat dilangsungkannya perkawinan :
 Calon suami isteri memperlihatkan akta kelahiran .
 Akta tentang izin untuk kawin dari yang berhak.
 Akta perceraian , kematian ,untuk perkawinan yang kedua.
 Bukti bahwa pengumuman kawin telah berlangsung tanpa pencegahan, bila
ada pencegahan, bukti telah digugurkan.
 Dispensasi untuk kawin bila perlu.

Syarat-syarat Perkawinan menurut UU.No. 1 Th 1974 :


( Pasal 6 – 12 )
1. Harus ada persetujuan kedua mempelai.
2. Pria 19 tahun, wanita 16 tahun.
3. Seseorang yang masih terikat perkawinan tidak dapat melakukan perkawinan, kecuali
poligami ( Pasal 3 ayat 2 & 4 UU. No.1./ 74 ).
4. Masa tunggu untuk seorang wanita ( janda ) yang akan menikah lagi, yaitu 130 hari,
bila karena kematian, cerai yaitu 3 kali suci ( 90 hari ) bagi yang masih haid, yang
tidak 60 hari, yang hamil sampai anaknya lahir.
5. Seseorang yang belum berumur 21 tahun harus mendapat izin dari orang tua atau
wali.

PENCEGAHAN PERKAWINAN

UU No. 1 / 1974 : Pasal 13 – 21


Pencegahan perkawinan dilakukan sebelum perkawinan terjadi, bila :
 Ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
 Tidak ada izin.
 Tidak memenuhi persyaratan usia.
 Terjadi larangan perkawinan.

Yang dapat melakukan pencegahan perkawinan :


 Keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas dan ke bawah.
 Saudara.
 Isteri / Suami.
 Pejabat.
Pencegahan perkawinan diajukan pada pengadilan daerah hukum dimana perkawinan akan
dialngsungkan dengan memberitahu pegawai pencatat perkawinan.
Pencegahan dapat dicabut dengan putusan pengadilan dan perkawinan tidak dapat
dilangsungkan bila pencegahan belum dicabut.

PEMBATALAN PERKAWINAN

Undang-Undang Perkawinan : Pasal 22 – 28 UU No. 1 / 1974.


Pembatalan perkawinan dilakukan bla perkawinan telah terjadi.
Pembatalan perkawinan dapat dilakukan bila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat
untuk melangsungkan perkawinan, misal :
 Tidak ada kebebasan kata.
 Belum mencapai umur yang disyaratkan.
 Terdapat larangan perkawinan.
 Tidak ada izin dari orang tua / wali.
Pembatalan dapat diajukan :
 Keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas.
 Suami / Isteri.
 Pejabat yang berwenang.
Pembatalan perkawinan diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum dimana
perkawinan dilangsungkan.
Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan
hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
Keputusan tidak berlaku terhadap :
 Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
 Suami atau isteri yang beritikad baik.

AKIBAT SUATU PERKAWINAN TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN


SUAMI ISTERI
UU. No. 1 th 1974. Pasal 30 – 34

Mengenai hak dan kewajiban suami isteri ini, apa yang diatur dalam UUP jauh berbeda
dengan aturan yang terdapat dalam BW, dimana kekuasaan dan atau wewenang yang
diberikan kepada suami menurut BW jauh lebih besar jika dibandingkan dengan yang
diatur dalam UUP.

BW :
 Suami dan isteri harus saling setia, tolong menolong dan bantu membantu ( Pasal
103 BW ).
 Suami merupakan kepala persatuan.
 Isteri harus tunduk dan patuh pada suaminya , tinggal serumah dengan suaminya.
 Suami sendiri yang harus mengurus harta, baik harta bersama maupun milik pribadi
isteri.
Karena itu dalam BW dimensi kekuasaan morital ( moritale macht ), yaitu
kekuasaan dari suami terhadap pribadi isteri , kekuasaan ini bersandar pada pikiran
bahwa di dalam suatu keluarga kekuasaan harus dipusatkan ditangan suami..
UU.No. 1 th 1974 ( Pasal 30-34 )
 Hak dan kedudukan suami seimbang dengan hak dan kedudukan isteri dalam
kehidupan rumah tangga dan masing-masing pihak berhak untuk melakukan
perbuatan hukum.
 Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap yang ditentukan oleh
suami isteri bersama.
 Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan
hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya dan isteri wajib mengatur
urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
 Suami isteri wajib saling mencintai , hormat menghormati, memberi bantuan lahir
batin yang satu kepada yang lainnya.

HUKUM HARTA PERKAWINAN


BW : Pasal 119 dst.
 Sejak mulainya perkawinan demi hukum terjadilah percampuran antara kekayaan
isteri dan harta kekayaan suami dan tidak boleh diadakan perubahan selama
perkawinan.
Bila orang akan menyimpang dari peraturan umum ini, maka ia harus meletakkan
keinginan tersebut di dalam suatu perjanjian perkawinan.
 Percampuran harta kekayaan adalah mengenai seluruh aktiva dan pasiva, baik
yang dibawa oleh masing-masing pihak ke dalam perkawinan maupun yang akan
diperoleh di kemudian hari selama perkawinan.

Aktiva  Semua harta benda suami isteri ( yang bergerak dan tidak bergerak )
juga yang diperoleh secara Cuma-Cuma, misal hibah, warisan.
Pasiva  Semua utang-utang suami / isteri , baik yang dibuat sebelum /
sepanjang perkawinan.
Pengurusan harta persatuan dilakukan oleh suami kecuali bila suami tidak tidak
ada, isteri boleh.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Pasal 35-37) :


- Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama
- Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
- Mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas persetjuan kedua
belah pihak.
- Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
- Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut
hukumnya masing-masing.

PUTUSNYA PERKAWINAN
UU.No. 1 th 1974 ( Pasal 38 – 41 )
Perkawinan dapat putus karena:
a. Kematian
b. Perceraian
c. Keputusan pengadilan
Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan
yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Disamping itu harus ada cukup alasan bahwa antara suami isteri itu tidak akan
dapat hidup rukun sebagai suami isteri, yaitu :
1. Salah satu pihak berbuat zina.
2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 tahun tanpa izin dan tanpa
alasan.
3. Mendapat hukuman 5 tahun atau lebih setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.
6. Antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan tidak ada harapan
akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Anda mungkin juga menyukai