Pencegahan atau stuiting adalah suatu usaha yang digunakan untuk menghindari
terjadinya perkawinan yang bertentangan dengan ketentuan undang-undang. 1
Mengenai pencegahan perkawinan diatur dalam Pasal 13 – Pasal 21 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan).
Suatu perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-
syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pihak-pihak yang dapat mencegah
perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah,
saudara, wali nikah, wali, pengampu dari salah seorang calon mempelai. Mereka juga
dapat mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah satu calon mempelai
berada di bawah pengampuan, sehingga dengan adanya perkawinan, akan
menimbulkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya.
UU Perkawinan juga memberi kesempatan kepada istri atau suami dari salah satu
calon mempelai yang masih terikat perkawinan dengan salah satu calon mempelai
untuk mencegah berlangsungnya perkawinan, tentunya dengan memperhatikan
adanya izin untuk berpoligami. Selain itu pihak yang dapat mencegah perkawinan
adalah pejabat yang ditunjuk, dalam hal:
Pihak pria belum mancapai umur 19 tahun dan/atau pihak wanita belum mencapai
umur 16 tahun.
Terdapat larangan perkawinan (baca artikel Syarat-Syarat Sahnya Suatu Perkawinan).
salah satu atau kedua calon mempelai masih terikat perkawinan dengan orang lain.
Kedua calon mempelai dahulu merupakan suami dan istri yang telah cerai, kemudian
kawin lagi, lalu bercerai untuk kedua kalinya.
Tidak dipenuhinya tata cara pelaksanaan perkawinan.
Jika akibat dari adanya perkawinan yang dibatalkan berupa batal demi hukum,
artinya perkawinan dianggap tidak pernah ada, namun demikian keputusan tersebut
tidak berlaku surut terhadap:
perkawinan yang batal karena salah satu suami atau istri murtad;
anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Terhadap mereka tidak ada
perubahan status, dalam arti ia tetap memiliki bapak dan ibunya walaupun bapak
ibunya tersebut dibatalkan perkawinannya. Selanjutnya, mengenai kepada siapa
anak-anak itu ikut, hal ini tergantung putusan pengadilan, tetapi biasanya anak yang
masih di bawah umur akan ditetapkan mengikuti ibunya;
pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beriktikad baik,
sebelum keputusan pembatalan perkawinan berkekutan hukum yang tetap;
Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak
dengan orang tuanya.
dapat ditegaskan bahwa bagi anak-anak yang lahir dari perkawinan yang dibatalkan
tersebut tetap berkedudukan sebagai anak sah.
Dengan demikian, anak tetap menjadi tanggung jawab kedua belah pihak, suami dan
istri. Kedua orang tua tetap berkewajiban mendidik dan memelihara anak tersebut
berdasarkan kepentingan si anak.
Terhadap anak perempuan, maka ayah kandung berhak pula menjadi wali nikah.
Dalam hal terjadi kewarisan, maka anak masih memiliki hak waris dari kedua orang
tuanya, serta memiliki hubungan kekeluargaan pula dari kedua pihak orang tuanya.