Anda di halaman 1dari 5

Kadar mahar pernikahan dari perspektif Madzhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i

Oleh Sukmawati

UIN SGD Bandung

Sukma.wati230901@gmail.com

Abstrak

Mahar adalah harta benda yang dibayarkan dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang
hendak dinikahinya. Para ulama telah sepakat bahwa mahar ini termasuk kedalam syarat sahnya
suatu perkawinan. Hal tersebut dijelaskan dalam Al-Qur’an QS An-Nisa ayat 4. Akan tetapi di
dalam Al-Qur’an maupun Al hadits tidak dijelaskan berapa besaran mahar itu sendiri sehingga
sering kali membuat orang bingung tentang jumlah kadar mahar itu sendiri. Disisi lain para
Ulama telah sepakat bahwa tidak ada batasan maksimal dari mahar ini, akan tetapi untuk batasan
minumnya para ulama banyak berbeda pendapat. Seperti Halnya Madzhab Hanafi mengatakan
bahwa batas Minimum mahar adalah 10 dirham sementara itu madzhab Maliki mengatakan
bahwa batas minimumnya adalah 3 dirham sangat berbeda dengan pendapat madzhab Syafi’i
yang mengatakan tidak ada batas minimum atas mahar itu sendiri. Karena adanya perbedaan
pendapat tersebut penulis akan mencoba membandingkan apa dasar dari perbedaan pendapat
tersebut.

Pendahuluan

Secara terminologi mahar adalah pemberian wajib seorang calon suami kepada calon istrinya
sebagai bentuk rasa cinta dan kasih sayang kepada calon istrinya pun untuk mendapat balasan
kasih dari calon istrinya. Sedangkan secara etimologi mahar sering diartikan sebagai maskawin
(1) Abd. Kohar Hal 42

Kata mahar berasal dari bahasa Arab yang merupakan kata benda dengan bentuk abstrak, Masdar
yakni “mahram” fi'il atau kata kerja dari “mahara-yamaharumaharan”. Yang kemudia
dibakukan menjadi kata benda mufrad yakni al-mahr. Yang terkenal luas dalam bahasa Indonesia
sebagai mahar yang selalu identik dengan maskawin. (2) and kohar hal 42

Para ulama telah menyepakati bahwa mahar merupakan bagian dari syarat sahnya suatu
perkawinan, tidak ada kesepakatan yang mengatakan untuk meniadakan mahar ini. Yang
dijadikan Dasar hukum membayar mahar perkawinan ini adalah al-Quran Surat An-Nisa’ ayat 4,
atas dasar hukum tersebut membayar mahar adalah suatu kewajiban yang harus ada dalam
pernikahan. (3) Ade Kurnia Hal 3

Meskipun para ulama telah menyepakati bahwasanya mahar dalam pernikahan itu wajib akan
tetapi mengenai kadar minimal dan maksimalnya jumlah mahar tersebut tidak ditegaskan berapa
jumlahnya dalam Al-Qur’an maupun Al hadist (4) Abd. Kohar Hal 42

Atas ketidak jelasan tersebut munculah beberapa pandangan ulama mengenai jumlah besar
kecilnya mahar ini. Mengenai jumlah besarnya mahar para ulama sepakat bahwa tidak ada batas
maksimal atas mahar akan tetapi dalam jumlah ada tidaknya batas minimal mahar para ulama
berbeda pendapat. Sebagian ada yang mengatakan bahwa ada batas minimum mahar ada pula
yang mengatakan bahwa tidak ada batas minimum atas mahar (5) nur Sofiyah Gunawan hal 427

Karena adanya perbedaan pendapat tersebut disini penulis akan mencoba memaparkan apa saja
perbedaan tersebut serta dasar perbedaan pendapat tersebut.

Adapun Tulisan ini dibuat bertujuan untuk mengetahui bagaimana pandangan Madzhab Hanafi,
Maliki dan Syafi’i mengenai kadar besarnya mahar perkawinan. Jenis pengumpulan data
berbentuk library research atau studi pustaka dengan mengumpulkan data dari literasi terkait
materi yang akan menjelaskan lebih jauh mengenai judul dari tulisan ini. data yang didapat
dialanisis dengan metode atau pendekatan Comparative Approach yakni metode perbandingan
dengan membandingkan sumber hukum yang digunakan oleh madzhab-Madzhab tersebut dalam
perkara mahar pernikahan Jenis penelitian ini adalah penelitian Normatif.

Isi

A. Kadar Mahar Menurut Madzhab Handi

Imam Hanafi menetapkan batas minimum mahar perkawinan sebanyak 10 dirham. Jika tidak
mampu membayar 10 dirham menurut Imam Hanafi maka dianggap tidak memadai dan harus
membayar mahar mitsil (6) Basit misbatul hal 37. dasar argumen yang digunakan Madzhab ini
adalah berdasarkan hadis dan qiyas, adapun dalil hadis nya berbunyi:

“Dari Jabir Ra. Sesungguhnya Nabi Saw. Telah bersabda: ketahuilah wanita itu tidak boleh
dikawinkan kecuali oleh para wali, dan wali wali itu tidak boleh mengawinkan mereka (wanita)
kecuali dengan laki-laki yang sekufu dengannya, dan tidak ada mahar kecuali paling sedikit
sepuluh dirham.” (HR Daruquthni dan Baihaqi) ( 11) Muhammad Shobirin hal23

Dari hadits tersebut diketahui bahwasanya kadar minimal mahar adalah 10 dirham dan apabila
kurang dari itu dianggap tidak sah. Akan tetapi dalil tersebut dibantah, dikatakan bahwa hadist
tersebut mdrupakan hadist dhaif atau lemah, karena sifatnya lemah maka ia tidak bisa dijadikan
dasar hujjah (12 Muhammad Shobirin hal 23)

Selain hadist tersebut, diketahui bahwa Imam Hanafi dalam menetapkan batas kadar mahar juga
menggunakan metode Istinbath berupa qiyas, Ima Hanafi menganalogikan bahwasanya mahar
ada kesamaannya dengan ibadah dan dalam ibadah harus sesuai dengan syariat Islam tentu ada
batasannya. Madzhab Hanafi menggunakan istinbat berupa istidlal tentang minimum mahar
kepada nishab potong tangan dalam pencurian. Menurut madzhab Hanafi ishab pencuria yang
mewajibkan potong tangan adalah 10 dirham dengan demikian bahwa batas minimum mahar
atau mas kawin adalah 10 dirham. (13) Yuni Sartika

B. Kadar Mahar menurut madzhab Maliki

Berbeda dengan madzhab Hanafi didalam madzhab Maliki batas minimum mahar adalah 3
dirham perak atau seperempat dinar, bisa berbentuk benda bermanfaat yang sebanding harganya
dengan jumlah 3 dirham tersebut. Jika mahar yang dibayarkan kurang dan telah terjadi perbaikan
maka suami wajib membaya sisanya, jika belum terjadi pergaulan lelaki bisa memilih membayar
sisanya atau memfasakh kan akad nya lalu membayar mahar musamma. (14) Putra Halomoan hal
113

Madzhab Maliki memandang bahwa batas paling rendah mahar adalah 3 dirham atau barang
bermanfaat yang harganya setara, bukan barang hiburan karena nanti mahar tersebut akan
diberikan kepada istrinya (15) Dian Ramadhan 114

Ulama malikiah sendiri mengambil dalil atas minimal 3 Dinar mahar tersebut yakni dengan
menyamakan batas minimal harta yang dicuri yang mewajibkan pencurinya dikenai hukuman
Had yakni 3 Dinar (16) basit Misbahul hal 38

Selain itu Imam Malik mengambil batas mahar terendahnya jika ditinjau dari Sosio kultural
pemikiran Imam Malik adalah untuk menghindari sikap kaum pria yang sering kali menganggap
wanita rendah dan dengan adanya batasan mahar tersebut maka ada standar tidak menjadikan
wanita itu rendah. Imam Malik terdorong untuk nerijtihad mengenai mahar ini karena banyaknya
kaum wanita uang mengadu padanya tentang rendahnya pemberian maskawin padahal pihak pria
sendiri tergolong mampu. 16.1) Miharja Dhani hal 62

C. Syafi’i

Madzhab Syafi’i mengatakan bahwa mahar itu tidak ada batas terendah nya, pendapat ini sama
dengan pendapat kadar mahar menurut madzhab Hambali. Pendapat madzhab Syafi’i ini
mengatakan bahwa segala sesuatu yang bisa dijual dan berharga dalam penjualan boleh dijadikan
mahar (17) Yuni Sartika Hal 66 Argumen dari kelompok Syafi’i ini adalah al-Quran As-sunah
dan perkataan sahabat dengan dalil Rasio yang didasarkan pada dalil Al-Qur’an surat An-nisa
ayat 4 (18) Muhammad Shobirin Hal 25

Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa dalam hadist nabi yang mengatakan “carilah walau hanya
cincin besi” adalah dalil yang menunjukan bahwa Tidka ada batas minimum kasar mahar,
madzhab ini berpendapat bahwa jika memang ada batasnya maka harus ditunjukan oleh dalil
yang menjelaskannya. Madzhab ini juga berpegang pada Dalil al-Quran yakni “Dan dihalakan
bagi kalian selain yang demikian, (yaitu) mencari istri-istri dengan harta kalian.” (an-Nisa’: 24)
dengan demikia apapun bisa dijadikan mahar jika memiliki nilai jual dan bermanfaat dan tidak
ada batasan minimal maupun maksimal untuk itu semua (18) Ade Ratna Hal 34

Kesimpulan

Adanya perbedaan pendapat dari para Imam ini dikarenakan tidak adanya kejelasan dalam Al-
Qur’an yang menunjukan batas minimum dari mahar itu sendiri. Selain itu ijtihad dari para Imam
juga dipengaruhi oleh Istinbath hukum mereka. Seperti halnya Imam Hanafi yang dikenal
sebagai Ahli Rayu sedangkan Imam Maliki sebagai ahli sunah. Dan pendapat mereka dilihat ati
perbandingan sebelumnya juga dipengaruhi oleh Sosio kultural tempat mereka tinggal dan adat
kebiasaan di daerahnya.

Imam Hanafi

Kadar mahar 10 dirham, berdasarkan Hadist yang diriwayatkan oleh Jabir Ra


Dan Istinbath hukum berupa qiyas, menganalogikan bahwasanya mahar sama dengan ibadah
maka untuk batasannya harus ditentukan oleh syariat, dalam Hal ini imam Hanafi
menganalogikan batas mahar sama dengan batas nishab potong tangan yakni 10 dirham.

Imam Maliki

Kadar terendah mahar menurut Imam Maliki adalah 3 Dirham, dengan alasan Hukum
bahwasanya mahar ini di samakan dengan minimalnya pengenaan hukum wajibnya pencuri
dikenai hukuman Had yakni 3 dirham.

Selain itu standar ini diambil karena berdasarkan Sosio kulturalnya pada zaman Imam Maliki
banyak yang bertanya dan mengeluh kepadanya terkait kecilnya mahar yang diberikan piha pria
padahal pihak pria itu mampu, dan ini adalah hasil ijtihadnya.

Imam Syafi’i

Berbeda dengan 2 madzhab sebelumnya menurut madzhab ini tidak ada batasan minimal untuk
Mahar. Madzhab ini berpandangan segala sesuatu bisa dijadikan mahar asal bermanfaat terlepas
dari berapa harga jualnya. Madzhab ini berpegang pada hadis “carilah walau hanya cincin besi”.
Madzhab ini beranggapan bahwa jika memang mahar ada batas minimalnya maka harus ada dalil
yang menjelaskannya.

Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai