Anda di halaman 1dari 15

Hukum adat perekonomian

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


"Hukum Adat"
Dosen Pengampu : Ende Hasbi Nassaruddin, S.H, M.H

Disusun Oleh:

Nama NIM.
Muhamad Ilham Nasrulloh 1193040049
Sukmawati 1193040079
Maolana Yusuf 1203040067
Siti Kuraesin 1203040120
Nandi Sunandi 1203040097
Sifa Ramdhona 1193040075
Muhammad Fazlur Rahman Azmi 1203040085
1913040068
Rasikhul Khoir N.F

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan ke Dzat llahi Robbi yang telah memberikan

kekuatan lahir dan batin kepada kita. Shalawat serta salam semoga tetap dilimpahkan

kepada jujungan kita Nabi Muhammad SAW.

Dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah “Hukum Adat”, di Universitas

Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, maka disusunlah makalah ini, dengan

Tema “Hukum Adat Perekonomian”.

Dalam pembuatan makalah ini, penulis menyadari sepenuhnya masih banyak

sekali kekurangan dan kekhilafan, baik mengenai rangkaian kata ataupun dalam

penyusunan kalimat, sehingga masih perlu perbaikan dari berbagai pihak. Kritik dan

saran adalah suatu solusi terbaik bagi penulis untuk dapat menyempurnakan makalah

ini.

Semoga makalah ini dapat berguna khususnya penulis dan pembaca pada

umumnya. Semoga Allah SWT. Meridhai kita semua. Amiiin…

Bandung, 7 Desember 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................II

DAFTAR ISI......................................................................................................III

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................4

A. Latar Belakang Masalah.....................................................................4


B. Perumusan Masalah............................................................................4
C. Tujuan Masalah ……………………………………………………..4

BAB II TINJAUAN PUSAKA...........................................................................5

A. Pengertian Hukum Adat Perekonomian……………………………...….5


B. Hukum utang piutang termasuk didalamnya perjanjian………….……..6
C. Definisi Hak Ulayat dan Tanah Ulayat………………………..………...8
BAB III PENUTUPAN....................................................................................

4.1 Kesimpulan..........................................................................

4.2 Saran.....................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia adalah Negara hukum menurut UUD 1945 pasal 1 ayat
3. Fungsi hukum salah satunya adalah mengatur kehidupan manusia
bermasyarakat di dalam berbagai aspek, termasuk aspek ekonomi. Dalam
pembangunan ekonomi tidak akan berhasil jika tidak ada pembaharuan
hukum. Mengapa demikian ? Hal ini dikarenakan bahwa perekonomian
bersifat berfluktuatif sehingga ada masanya suatu perekonomian di Negara itu
berkembang dan ada pula yang surut. Guna pembangunan perekonomian
maka hukum ekonomi juga harus disusun berlandaskan kondisi ekonomi yang
terjadi. Di Indonesia hukum ekonomi adalah sebagai suatu alat untuk
mengatur perekonomian Negara sehingga Hukum ekonomi Indonesia harus
mampu menciptakan keseimbangan pembangunan antara pusat dan daerah.
Maka dari itu, Indonesia yang merupakan negara hukum yang
mengatur segala aspek termasuk ekonomi, pada makalah ini, akan dibahas
tentang perekonomian dari aspek hukum adat yang merupakan unsur hukum
terbentuknya UUD.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Hukum adat perekonomian ?
2. Apa Macam-macam hukum adat perekonomian ?
3. Apa Hubungan hukum adat perekonomian dengan hukum adat yang
berlaku di Indonesia ?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui Pengertian Hukum adat perekonomian.
2. Untuk mengetahui Macam-macam hukum adat perekonomian.
3. Untuk mengetahui apa saja Hubungan hukum adat perekonomian
dengan hukum adat yang berlaku di Indonesia.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Adat Perekonomian

Pengertian hukum adat perekonomian, adalah aturan-aturan hukum yang


mengatur tentang hak-hak sesuatu benda yang ada dan dimiliki oleh masyarakat
hukum adat maupun dimasing-masing daerah.

Yang berkaitan pula dengan Hukum perekonomian adat,yakni aturan-aturan


hukum adat yang mengatur tentang bagaimana hubungan-hubungan hukum yang
berlaku dalam masyarakat,dalam usaha mereka memenuhi kebutuhan hidupnya.

Konsep yang mengandung kegiatan perekonomian dalam hukum adat


tersebut yaitu :

1. Kerjasama tolong menolong


2. Usaha perorangan
3. Transaksi tanah
4. Transaksi yang bersangkutan dengan tanah.

Ruang Lingkup Hukum Perekonomian. Dalam bab tentang hukum


perekonomian ini akan dibahas meliputi :

1. Hak atas benda, yang dibahas disini adalah hak atas tanah (hak
perorangan dan hak ulayat) dan hak yang bersangkut paut dengan tanah
9meliputi : hak atas rumah, tumbuh-tumbuhan, ternah, dll).

2. Hak-hak immatriil yang meliputi pengertian dan macam-macam hal


immatriil.

3. Transaksi-transaksi, meliputi transaksi tanah dan transaksi yang


bersangkut paut dengan tanah.
4. Hukum perhutangan meliputi pengertian dan macam-macam hukum
perhutangan, hukum perjanjian lainnya.

B. Macam-macam hukum adat perekonomian


1) Hukum adat utang piutang
Perjanjian utang termasuk kedalam jenis perjanjian pinjam-meminjam. Hal
ini sebagaimana dimaksud dalam Bab ketiga belas Buku Ketiga KUHPerdata,
yaitu di dalam Pasal 1754 KUHPerdata menyebutkan pinjam meminjam adalah
perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain
suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian dengan
syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang
sama pula. Oleh karena itu, sangat jelas utang termasuk dalam perjanjian pinjam-
meminjam. Perjanjian utang piutang yang terjadi karena peminjaman uang juga
mempunyai jangka waktu yang telah ditentukan oleh para pihak berdasarkan
kesepakatan yang para pihak buat. Perjanjian tersebut dapat memenuhi prestasi
dan perjanjian hutang tersebut dapat pula mengakibatkan daluwarsa dikarenakan
pihak-pihak tidak melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang
mereka telah buat. Menurut Hartono Soerjopratiknjo, memberikan pengertian
utang piutang adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu (kreditur)
melepaskan atau menyerahkan dari pihak lainnya (debitur) suatu jumlah uang
tertentu atau jumlah barang yang sama yang jenis dan keadaannya sama.
Perjanjian adalah merupakan salah satu sumber dari perikatan, seperti
dijelaskan Pasal 1233 KUHPerdata tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena
persetujuan, baik karena undang-undang. Pasal 1313 KUHPerdata, menjelaskan
bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Rumusan
“perbuatan”, menunjukkan arti yang sangat luas yaitu seluruh apa saja dapat
diperjanjikan yang dikenal sebagai asas kebebasan berkontrak (contrac vrejheid).
Perjanjian sebagai dasar timbulnya akibat hukum antara satu orang dengan orang
lain diatur dalam pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi semua perjanjian yang
dibuat secara sah belaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya
dikenal dengan asas pacta sunservanda.
KUHPerdata menggunakan istilah yang berutang (schuldenaar) dan si
berpiutang (schuldeischer). Menurut pasal 1235 KUHPerdata jo pasal 1234
KUHPerdata dan pasal 1239 KUHPerdata, si berutang (schuldenaar) adalah pihak
yang wajib memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
berkaitan dengan perikatannya, baik perikatan itu timbul karena perjanjian
maupun karena undang-undang yang disebut dengan prestasi. Perjanjian utang
piutang diatur dalam pasal 1754 s/d 1762 KUHPerdata yang dikenal dengan
perjanjian pinjam meminjam. Pada masyarakat perbankan, dan pengusaha utang
piutang dikenal dengan istilah kredit seperti dijelaskan dalam UU RI No.7 Tahun
1992 tentang Perbankan, Bab I Pasal 1 ayat (2) yang memberikan pengertian
tentang kredit, berbunyi: “Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara
bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah imbalan atau pembagian
hasil keuntungan”.

Dalam utang piutang ada kemungkinan debitur lalai dalam melaksanakan


kewajiban yang disebut Wanprestasi. Wanprestasi atau ingkar janji adalah tidak
dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan
oleh perjanjian terhadap pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam perjanjian
bersangkutan. Dalam hal terjadinya wanprestasi atau ingkar janji terhadap isi
perjanjian yang dibuat para pihak, maka pihak yang dirugikan berhak untuk
menuntut prestasi dari pihak yang melakukan wanprestasi. Tuntutan itu dapat
berupa pemenuhan perjanjian, ganti rugi dan pemutusan perjanjian. Tujuannya
adalah supaya tidak ada satu pihak pun yang dirugikan, karena tindakan
wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak dari perjanjian yang mereka
buat.Seperti dirumuskan dalam pasal 1131 KUHPerdata kreditur dapat menuntut
pemenuhan utang terhadap seluruh harta kekayaan debitur, baik yang berwujud
benda bergerak maupun benda tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang
baru akan ada di kemudian hari.

2) Hak atas Benda (Tanah Ulayat)

Sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Tanah Ulayat, tanah


ulayat diartikan sebagai tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang
bersangkutan. Hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat dikenal dengan
hak ulayat.
Selain itu, dalam Pasal 3 UUPA memang terdapat istilah “hak ulayat dan
hak-hak yang serupa dengan itu”.
Dalam Penjelasan Pasal 3 UUPA dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan
"hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu" ialah apa yang di dalam perpustakaan
hukum adat disebut "beschikkingsrecht".
Bunyi selengkapnya Pasal 3 UUPA adalah sebagai berikut:
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan
hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat,
sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga
sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan
bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-
peraturan lain yang lebih tinggi.
Pada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 18 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (“Permen ATR/BPN 18/2019”), diuraikan
lebih lanjut mengenai ‘hak ulayat kesatuan masyarakat hukum adat atau yang
serupa itu’.
Hak ulayat kesatuan masyarakat hukum adat atau yang serupa itu adalah
hak kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat komunal untuk menguasai,
mengelola dan/atau memanfaatkan, serta melestarikan wilayah adatnya sesuai
dengan tata nilai dan hukum adat yang berlakuKesatuan masyarakat hukum adat
sendiri adalah sekelompok orang yang memiliki identitas budaya yang sama,
hidup secara turun temurun di wilayah geografis tertentu berdasarkan ikatan asal
usul leluhur dan/atau kesamaan tempat tinggal, memiliki harta kekayaan dan/atau
benda adat milik bersama serta sistem nilai yang menentukan pranata adat dan
norma hukum adat sepanjang masih hidup sesuai perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, hak penguasaan atas tanah
masyarakat hukum adat dikenal dengan hak ulayat. Sedangkan hak ulayat
merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat,
yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya.
Penatausahaan Tanah Ulayat
Selain itu, untuk menjamin kepastian hukum, pemerintah juga
menyelenggarakan penatausahaan tanah ulayat kesatuan masyarakat hukum adat
di seluruh wilayah Republik Indonesia.
Penatausahaan tanah ulayat kesatuan masyarakat hukum adat dilakukan
berdasarkan penetapan pengakuan dan perlindungan kesatuan masyarakat hukum
adat sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan.
Penatausahaan tanah ulayat kesatuan masyarakat hukum adat, meliputi:
1. pengukuran
2. pemetaan
3. pencatatan dalam daftar tanah.

Pengukuran dilaksanakan terhadap batas-batas bidang tanah ulayat


kesatuan masyarakat hukum adat yang telah ditetapkan. Setelah dilakukan
pengukuran, dilakukan pemetaan atas bidang tanah ulayat kesatuan masyarakat
hukum adat dalam peta pendaftaran tanah. Pengukuran dan pemetaan
dilaksanakan sesuai dengan kaidah pengukuran dan pemetaan bidang tanah.
Bidang tanah ulayat kesatuan masyarakat hukum adat diberikan nomor
identifikasi bidang tanah dengan satuan wilayah kabupaten/kota. Tanah ulayat
kesatuan masyarakat hukum adat dicatat dalam daftar tanah.
Jadi, agar tanah ulayat itu dapat diakui dan dilindungi, masyarakat hukum
adat terkait harus terlebih dahulu diakui dan ditetapkan oleh bupati/walikota.
Kemudian, baru dapat dilakukan penatausahaan tanah ulayat, sehingga tanah
ulayat dapat didaftarkan di daftar tanah.

C. Hubungan Hukum Adat Perekonomian Dengan Hukum Yang


Berlaku Di Indonesia

Aspek ekonomi merupakan hal yang sangat menunjang majunya suatu


bangsa. Aspek ekonomi merupakan aspek adaptasi yang mana pembangunan
ekonomi bangsa sangat barkaitaan dengan pola regulasi hukum yang benar
sehingga dalam pelaksanaannya akan tercipta pembangunan yang ideal
sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945, bahwa :

 “Perekonomian usaha bersama kekeluargaan, produksi merupakan hal yang


penting bagi Negara untuk menguasai hajat hidup orang banyak. Bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan sebesar - besarnya untuk kemakmuran rakyat”

Jika demikian maka dibutuhkan pola regulasi hukum yang sinkron dan
dapat mengatur secara spesifik perekonomian Indonesia sebagai wujud
pembangunan ekonomi kerakyatan sehingga tidak tumpang tindih dengan
kebijakan yang dilahirkan. Hukum dan Pembangunan merupakan terjemahan dari
Law and Development, yang mulai berkembang di Amerika Serikat sesudah
perang dunia kedua.

Kearifan lokal dapat diartikan sebagai suatu pengetahuan lokal, yang unik
yang berasal dari budaya atau masyarakat setempat, yang dapat dijadikan dasar
pengambilan keputusan pada tingkat lokal dalam bidang pertanian, kesehatan,
penyediaan makanan, pendidikan, pengelolaan sumberdaya alam dan beragam
kegiatan lainnya di dalam komunitas-komunitas. Selanjutnya Wahyu juga
menyatakan bahwa kemampuan memaknai kearifan lokal oleh individu,
masyarakat dan pemerintah yang diwujudkan dalam cara berpikir, gaya hidup dan
kebijakan secara berkesinambungan dalam mengelola sumberdaya alam dan
lingkungan dapat diharapkan meningkatkan kualitas Negara.
Pengakuan secara yuridis atas keberadaan masyarakat hukum adat,
kearifan lokal serta hak-haknya dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat 30 Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 menyatakan bahwa kearifan lokal adalah nilai-
nilai luhur yang untuk menghasilkan kehidupan yang dalam masyarakat dan
berlaku dalam tatanan hidup masyarakat untuk antara lain melindungi dan
mengelola lingkungan hidup secara lestari. Selanjutnya pada Pasal 67 ayat (1b)
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menyatakan bahwa
masyarakat hukum adat diakui keberadaanya berhak melakukan kegiatan
pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan
dengan undang-undang. Pasal 6ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
Tentang Perikanan menyebutkan bahwa pengelolaan perikanan untuk kepentingan
penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan peran serta
masyarakat. Dalam pasal 61 ayat (1 dan 2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Pemerintah
mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat, masyarakat
tradisionaldan kearifan lokal atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah
dimanfaatkan secara temurun dijadikan acuan pengelolaan wilayah pesisr pulau-
pulau kecil yang berkelanjutan. Pengetahuan masyarakat adat dalam sistim
pengelolaan sumber daya alam yang luar biasa (menunjukkan tingginya ilmu
pengetahuan mereka) dan dekat sekali dengan alam. 

Pokok persoalan mengenai tanah yang pada mulanya terjadi dualisme pengaturan,
setelah Negara Republik Indonesia merdeka persoalan-persoalan mengenai tanah
ini dibuatkan satu unifikasi hukum tanah yang lebih dikenal dengan Undang-
Undang Pokok Agraria (UU No.5 Tahun 1960), yang mulai berlaku sejak 24
September 1960. Dengan demikian sampai saat ini ketentuan- ketentuan hukum
yang berlaku terhadap tanah adalah berpedoman pada UUPA tersebut disamping
ketentuan-ketentuan lain yang ada kemudian sebagai peraturan pelaksana dari
UUPA tersebut.

Untuk mengetahui lebih jauh mengenai kedudukan hukum tanah-tanah


adat, tidak lepas dari pengetahuan tentang ketentuan hukum agraria yang berlaku
sebelum keluarnya UUPA tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Suasthawa D,
bahwa sebelum berlakunya UUPA, di Indonesia berlaku dua macam hukum tanah
yaitu : hukum tanah adat dan hukum tanah barat, sehingga dengan demikian
menyebabkan ada dua macam tanah yaitu “ tanah adat atau disebut pula tanah
Indonesia yang sepenuhnya tunduk pada hukum adat, sepanjang tidak diadakan
ketentuan yang khusus untuk hak-hak tertentu. Dan dilain pihak ada “tanah barat”
atau disebut pula dengan tanah eropah, yang dapat dikatakan bahwa tanah-tanah
ini tunduk pada hukum agraria barat yang kesemuanya terdaftar pada kantor
pendaftaran tanah menurut “overschrijvingsordonantie” atau ordonansi balik nama
(stb.1834 No.27). jadi tanah-tanah yang tunduk pada hukum (agraria) adat adalah
termasuk tanah adat yang ada di Bali.

Lalu keluar Peraturan Menteri Agraria No.2 Tahun 1960 tentang


pelaksanaan beberapa ketentuan UUPA, dalam Bab II yang berjudul “Pelaksanaan
Ketentuan Konversi, terdiri dari dua bagian yaitu :

Bagian I, tentang hak-hak yang didaftar menurut overschrijvingsordonansi.

Bagian II, tentang hak-hak yang tidak didaftar menurut overschrijvingsordonansi.


Dan yang dimaksud dengan hak-hak ini adalah hak-hak atas tanah Indonesia
(tanah adat).

Selanjutnya dengan keluarnya Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria


No.2 Tahun 1962 dan kemudian dirubah lagi dengan Surat Keputusan Menteri
Dalam Negeri No. SK./26/DDA/1970, ditegaskan bahwa hak-hak yang dimaksud
dalam Ketentuan Konversi dan pendaftaran bekas-bekas hak Indonesia atas tanah
adalah hak-hak atas tanah Indonesia (tanah adat). Disamping itu juga dapat dilihat
dari Pasal 3 UUPA, yaitu pasal yang mengatur tentang keberadaan hak ulayat,
sedangkan di tingkat daerah diatur dalam PERDA No.3 Tahun 2001 tentang Desa.

Disamping itu karena sistem hukum Indonesia saat ini cenderung


menganut sistem civil law maka tidak dapat dipungkiri bahwa mau tidak mau
hukum adat tergeser keberadaanya digantikan dengan sistem hukum civil, akan
tetapi seperti yang dijelaskan di atas sebagian terdapat akulturasi antara sistem
hukum civil dengan sistem hukum adat walaupun tidak semua hukum adat
perekonomian diakulturasian. Selain itu dilihat pada praktiknya dewasa ini terkait
aktivitas ekonomi hukum positif pun mulai bertransformasi menuju sistem hukum
Islam (Syariah). Dapat dilihat dari aktivitas bisnis seperti hukum perseoran,
hukum pembiayaan baik perbankan, hukum kontrak, saat ini berlaku dualisme
sistem hukum. Antara kulturasi hukum adat dan konvensional dengan hukum
syariah.

BAB III

PENUTUP

Simpulan

Hukum adat perekonomian, adalah aturan-aturan hukum yang mengatur


tentang hak-hak sesuatu benda yang ada dan dimiliki oleh masyarakat hukum adat
maupun dimasing-masing daerah.

Yang berkaitan pula dengan Hukum perekonomian adat,yakni aturan-aturan


hukum adat yang mengatur tentang bagaimana hubungan-hubungan hukum yang
berlaku dalam masyarakat,dalam usaha mereka memenuhi kebutuhan hidupnya.
Hukum adat perekonomian terdiri dari hukum adat tentang utang piutang
termasuk didalamnya hukum perjanjian, lalu hukum adat hak atas benda termasuk
didalamnya hukum adat hak tanah Ulayat.
Karena sistem hukum Indonesia saat ini cenderung menganut sistem civil law
maka tidak dapat dipungkiri bahwa mau tidak mau hukum adat tergeser
keberadaanya digantikan dengan sistem hukum civil, akan tetapi seperti yang
dijelaskan di atas sebagian terdapat akulturasi antara sistem hukum civil dengan
sistem hukum adat walaupun tidak semua hukum adat perekonomian
diakulturasian. Selain itu dilihat pada praktiknya dewasa ini terkait aktivitas
ekonomi hukum positif pun mulai bertransformasi menuju sistem hukum Islam
(Syariah). Dapat dilihat dari aktivitas bisnis seperti hukum perseoran, hukum
pembiayaan baik perbankan, hukum kontrak, saat ini berlaku dualisme sistem
hukum. Antara kulturasi hukum adat dan konvensional dengan hukum syariah.

Daftar Pustaka

https://butew.com/2018/03/16/pengertian-hukum-perekonomian-adat-dan-subjek-
hukum-adat/
https://journal.untar.ac.id/index.php/adigama/article/download/2878/1750

http://notary.ui.ac.id/index.php/home/article/viewFile/407/110

Kurnia Warman. Hukum Agraria dalam Masyarakat Majemuk. Jakarta: HuMa,


Van Vollenhoven Institute, dan KITLV. 2012;

Putu Oka Ngakan, et al. Dinamika Proses Desentralisasi Sektor Kehutanan di


Sulawesi Selatan. Bogor: CIFOR. 2005.

Lastuti Abubakar, Revitalisasi hukum adat sebagai sumber hukum dalam


membangun sistem hukum Indonesia
Muhammad Ya’rif Arifin dkk, Perekonomian Nasional Dalam Perspektif
Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia, Jurnal Vol 1, No, 1, Juli
2019

Bewaragawino, S.H., M.SI, Pengantar dan asas-asas Hukum adat Indonesia

https://id.scribd.com › document
Hukum Adat Perekonomian | PDF - Scribd

Anda mungkin juga menyukai