Anda di halaman 1dari 39

PERJANJIAN KONTRAK NOMINAAT

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Legal Drafting Kontrak Hukum Ekonomi Syariah
Dosen Pengampu: Darmiati, S.H,.M.E.

Di Susun Oleh:

ZAHRA RISNANDAR
NIM: 210102240

Mahasiswa Fakultas Syariah Dan Hukum


Prodi Hukum Ekonomi Syariah

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM - BANDA ACEH
1444 H/2023 M
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang Maha pemurah lagi Maha penyayang.
Dengan rahmat dan hidayah serta karunia-Nya saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini
untuk mata kuliah Legal Drafting Kontrak Hukum Ekonomi Syariah ini dengan baik
walaupun kurang sempurna.
Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad
SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman yang terang benderang
yakni Addinul Islam.
Dan tak lupa juga ribuan terima kasih saya kepada ibu Darmiati, S.H.,M.E. selaku
dosen pengampu untuk mata kuliah Legal Drafting Kontrak Hukum Ekonomi Syariah serta
teman-teman yang membantu pembuatan makalah ini hingga selesai.
Harapan saya semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca khususnya bagi
mahasiswa/i di mata kuliah ini dan dapat dijadikan sebagai sarana untuk meningkatkan
pembelajaran.
Yang Maha sempurna memang Allah SWT semata, tetapi kita sebagai hamba-Nya
wajib untuk berusaha menjadi yang lebih baik, maka dari itu dengan senang hati saya
menanti kritik dan saran yang bersifat membangun dengan tercapainya kebaikan. Akhir
kalam, semoga Rahmat, Hidayah, serta Inayah-Nya senantiasa tercurahkan kepada kita. Amin
ya rabbal alamin.

Banda Aceh, 06 Mei 2023


Penulis

ZAHRA RISNANDAR
NIM: 210102240

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................................ i

KATA PENGANTAR...................................................................................................ii

DAFTAR ISI...................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................1

A. Latar Belakang.......................................................................................................1

B. Rumusan Masalah.................................................................................................1

C. Tujuan Penulisan..................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN................................................................................................2

A. Perjanjian Nominaat.............................................................................................2

B. Syarat-Syarat Perjanjian........................................................................................2

C. Macam-Macam Perjanjian Nominaat...................................................................3

D. Penyebab Berakhirnya Perjanjian..........................................................................21

BAB III PENUTUP..........................................................................................................24

A. Kesimpulan..........................................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................26

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Harus diakui keberadaan hukum perdata di Indonesia hingga kini keadaannya
masih beragam. Hal itu sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang pluralis,
baik dari segi budaya, adat, maupun agamanya. Oleh karena itu, di Indonesia berlaku
sistem hukum perdata barat yang tercantum dalam Burgerlijk Wetboek. Sebagaimana
terlihat di kalangan masyarakat dalam melaksanakan perjanjian, nyatanya di
kehidupan bermasyarakat masih banyak masalah dalam hubungan keperdataan
khususnya mengenai perjanjian.
Perjanjian merupakan suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Seseorang atau lebih berjanji
untuk melakukan sesuatu kepada orang lain. Hal ini merupakan suatu peristiwa yang
menimbulkan satu hubungan hukum antara orang-orang yang membuatnya.
Di dalam perjanjian banyak sekali jenis-jenis perjanjian yang kita ketahui dan
sering terjadi di dalam masyarakat kita sekarang. Perjanjian sebenarnya merupakan
awal dari timbulnya perikatan. Secara sederhana, perikatan diartikan sebagai suatu hal
yang mengikat antara orang yang satu dengan orang lain. Hal yang mengikat adalah
peristiwa hukum, seperti jual beli, utang-piutang, kelahiran, kematian, dan lain
sebagainya. Dengan demikian, peristiwa hukum tersebut menciptakan hubungan
hukum.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka kelompok kami membuat rumusan masalah
sebagai berikut.
1. Apa definisi dari perjanjian nominaat?
2. Bagaimana syarat-syarat dalam membuat perjanjian?
3. Apa macam-macam perjanjian nominaat?
4. Bagaimana berakhirnya suatu perjanjian?
C. Tujuan Pembahasan
Berdasarkan pertanyaan di atas maka tujuan dari rumusan masalahnya adalah
sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui definisi perjanjian nominaat.
2. Untuk mengetahui syarat-syarat membuat perjanjian.
3. Untuk mengetahui perjanjian nominaat.
4. Untuk mengetahui hal-hal yang berakhirnya suatu perjanjian.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Perjanjian Nominaat


Istilah perjanjian nominaat adalah terjemahan dari nominaat contract. Kontrak
nominaat sama artinya dengan perjanjian bernama atau benoemd dalam bahasa
Belanda. Kontrak nominaat merupakan perjanjian yang dikenal dan terdapat dalam
Pasal 1319 KUHPerdata yang berbunyi: "Semua perjanjian, baik yang mempunyai
nama khusus, maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada
peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lalu."
Di dalam Pasal 1319 KUHPerdata, perjanjian dibedakan menjadi dua macam,
yaitu perjanjian bernama (nominaat) dan tidak bernama (innominaat). Perjanjian tidak
bernama merupakan perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup, dan berkembang dalam
masyarakat. Perjanjian bernama maupun tidak bernama tunduk pada Buku III
KUHPerdata. Maksud pembedaan dalam Pasal 1319 KUHPerdata adalah bahwa ada
perjanjian-perjanjian yang tidak dikuasai oleh ajaran umum sebagaimana terdapat
dalam titel-titel I, II, dan IV. Pasal 1319 KUHPerdata tidak lupa menyebutkan titel
IV, melainkan juga diatur oleh ketentuan-ketentuan khusus yang tunduk untuk
sebagian menyimpang dari ketentuan umum tadi, terutama yang dimaksudkan adalah
isi dari titel-titel V sampai dengan XVIII. Ketentuan-ketentuan dalam titel ini, yang
dalam praktik lazim disebut dengan perjanjian khusus atau perjanjian bernama (Sri
Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980: 17; Vollmar, 1984: 145).

B. Syarat-Syarat Perjanjian
Perjanjian yang sah artinya perjanjian yang memenuhi syarat yang telah
ditentukan oleh undang-undang, sehingga ia diakui oleh hukum (legally concluded
contract). Menurut ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, syarat- syarat sah perjanjian
adalah sebagai berikut:
1. Adanya persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat perjanjian
(consensus)
Persetujuan kehendak adalah kesepakatan, seia sekata pihak-pihak mengenai
pokok perjanjian. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh

2
pihak yang lainnya. Persetujuan kehendak itu sifatnya bebas, artinya tidak ada
paksaan, kekhilafan atau pun penipuan.

2
2. Ada kecakapan pihak- pihak untuk membuat perjanjian (capacity)
Pada umumnya orang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum apabila ia
sudah dewasa, artinya sudah mencapai umur 21 tahun atau sudah kawin walaupun
belum 21 tahun.
3. Ada suatu hal tertentu (object)
Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, objek perjanjian, prestasi yang
wajib dipenuhi. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan.
4. Ada suatu sebab yang halal (legal causa)
Kata “causa” berasal dari bahasa Latin artinya “sebab”. Sebab adalah suatu
yang menyebabkan orang membuat perjanjian, yang mendorong orang membuat
perjanjian. Tetapi yang dimaksud dengan sebab yang halal dalam Pasal 1320
KUHPerdata itu bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong
orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri”
yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak.
Syarat pertama dan kedua Pasal 1320 KUHP Perdata disebut syarat Subjektif,
karena melekat pada diri orang yang menjadi subjek perjanjian. Jika syarat ini tidak
dipenuhi, perjanjian dapat dibatalkan (vernietigbar). Tetapi jika tidak dimintakan
pembatalan kepada Hakim, perjanjian itu tetap mengikat pihak-pihak, walaupun
diancam pembatalan sebelum lampau waktu lima tahun (Pasal 1454 KUHPerdata).
Syarat ketiga dan keempat Pasal 1320 KUHPerdata disebut syarat Objektif, karena
mengenai sesuatu yang menjadi objek perjanjian. Jika syarat ini tidak dipenuhi,
perjanjian batal (nietig, void).

C. Macam-Macam Perjanjian Nominaat


Kontrak nominaat diatur dalam Buku III KUHPerdata, yang dimulai dari Bab
V sampai dengan Bab XVIII. Jumlah pasal yang mengatur tentang kontrak nominaat
ini sebanyak 394 Pasal. Di dalam KUHPerdata ada 15 (lima belas) jenis kontrak
nominat, yaitu :
1. Jual-beli
Perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian yang dibentuk karena pihak yang
satu telah mengikatkan dirinya untuk menyerahkan hak kebendaan dan pihak yang
lain bersedia untuk membayar harga yang diperjanjikan (Pasal 1457 KUHPerdata).

3
Obyek dari perjanjian jual beli adalah barang-barang tertentu yang dapat
ditentukan wujud dan jumlahnya serta tidak dilarang menurut hukum yang berlaku
untuk diperjualbelikan.
Perjanjian jual beli telah sah mengikat apabila kedua belah pihak telah
mencapai kata sepakat tentang barang dan harga meski barang tersebut belum
diserahkan maupun harganya belum dibayarkan (Pasal 1458 KUHPerdata).
Perjanjian jual beli dapat dibatalkan apabila si penjual telah menjual barang
yang bukan miliknya atau barang yang akan dijual tersebut telah musnah pada saat
penjualan berlangsung.
Peralihan hak terjadi setelah penyerahan barang oleh si penjual dan pada
umumnya penyerahan barang diatur sebagaimana berikut: bila barang yang
diserahkan tersebut adalah barang bergerak maka cukup dengan penyerahan
kekuasaan atas barang tersebut, penyerahan utang-piutang dilakukan dengan cessie,
untuk barang tidak bergerak dilakukan dengan balik nama di muka pejabat yang
berwenang, dan khusus untuk jual beli tanah dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh
dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

2. Tukar-menukar
Tukar-menukar diatur dalam Pasal 1541 sampai dengan Pasal 1546
KUHPerdata. Perjanjian tukar-menukar adalah "Suatu persetujuan, dengan mana
kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara
bertimbal balik sebagai suatu ganti barang lainnya." (Pasal 1451 KUH Perdata)
Unsur-unsur yang tercantum definisi di atas adalah:
a. Adanya subjek hukum,
Subjek hukum dalam perjanjian tukar-menukar adalah pihak pertama dan
pihak kedua. Sedangkan yang dapat menjadi objek tukar-menukar adalah semua
barang, baik barang bergerak maupun barang yang tidak bergerak (Pasal 1542 KUH
Perdata). Dengan syarat barang yang menjadi objek tukar-menukar tidak bertentangan
dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.
b. Adanya kesepakatan subjek hukum,
c. Adanya objek, yaitu barang bergerak maupun tidak bergerak, dan
d. Masing-masing subjek hukum menerima barang yang menjadi objek tukar-menukar.
Risiko dalam perjanjian tukar-menukar adalah jika barang yang menjadi objek
tukar-menukar musnah di luar kesalahan salah satu pihak maka perjanjian tukar-

4
menukar itu menjadi gugur. Pihak yang telah menyerahkan barang dapat menuntut
kembali barang yang telah diserahkannya (Pasal 1545 KUHPerdata).
Pasal-pasal yang mengatur tentang tukar-menukar sangat sedikit, jika
dibandingkan dengan perjanjian jual beli. Namun, di dalam ketentuan mengenai tukar-
menukar disebutkan bahwa ketentuan tentang jual beli berlaku bagi perjanjian tukar-
menukar.
3. Sewa-menyewa
Perjanjian sewa-menyewa diatur di dalam bab VII Buku III KUHPerdata yang
berjudul “Tentang Sewa-Menyewa” yang meliputi pasal 1548 sampai dengan pasal
1600 KUH Perdata. Definisi perjanjian sewa- menyewa menurut Pasal 1548
KUHPerdata menyebutkan bahwa “Perjanjian sewa-menyewa adalah suatu perjanjian,
dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak
yang lainya kenikmatan dari suatu barang, selama waktu tertentu dan dengan
pembayaran suatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan telah disanggupi
pembayaranya.”
Sewa-menyewa dalam bahasa Belanda disebut dengan huurenverhuur dan
dalam bahasa Inggris disebut dengan rent atau hire. Sewa-menyewa merupkan salah
satu perjanjian timbal balik.
Menurut Wiryono Projodikoro sewa-menyewa barang adalah suatu
penyerahan barang oleh pemilik kepada orang lain itu untuk memulai dan memungut
hasil dari barang itu dan dengan syarat pembayaran uang sewa oleh pemakai kepada
pemilik.
Beberapa pengertian perjanjian sewa-menyewa di atas dapat disimpulkan
bahwa ciri-ciri dari perjanjian sewa-menyewa, yaitu:
a. Ada dua pihak yang saling mengikatkan diri
Pihak yang pertama adalah pihak yang menyewakan yaitu pihak yang
mempunyai barang. Pihak yang kedua adalah pihak penyewa, yaitu pihak yang
membutuhkan kenikmatan atas suatu barang. Para pihak dalam perjanjian sewa-
menyewa dapat bertindak untuk diri sendiri, kepentingan pihak lain, atau kepentingan
badan hukum tertentu.
b. Ada unsur pokok yaitu barang, harga, dan jangka waktu sewa
Barang adalah harta kekayaan yang berupa benda material, baik bergerak
maupun tidak bergerak. Harga adalah biaya sewa yang berupa sebagai imbalan atas
pemakaian benda sewa. Dalam perjanjian sewa-menyewa pembayaran sewa tidak

5
harus berupa uang tetapi dapat juga mengunakan barang ataupun jasa (Pasal 1548
KUHP

5
Perdata). Hak untuk menikmati barang yang diserahkan kepada penyewahanya
terbatas pada jangka waktu yang ditentukan ke dalam perjanjian.
c. Ada kenikmatan yang diserahkan
Kenikmatan dalam hal ini adalah penyewa dapat menggunakan barang yang
disewa serta menikmati hasil dari barang tersebut. Bagi pihak yang menyewakan akan
memperoleh kontra prestasi berupa uang, barang, atau jasa menurut apa yang
diperjanjikan sebelumnya.
Perjanjian sewa-menyewa merupakan perjanjian konsensuil, yang berarti
perjanjian tersebut sah dan mengikat apabila sudah tercapai kata sepakat diantara para
pihak tentang unsur pokok perjanjian sewa-menyewa yaitu barang dan harga. Di
dalam KUHPerdata tidak dijelaskan secara tegas tentang bentuk perjanjian sewa-
menyewa sehingga perjanjian sewa-menyewa dapat dibuat secara lisan maupun
tertulis. Bentuk perjanjian sewa-menyewa dalam praktek khususnya sewa-menyewa
bangunan dibuat dalam bentuk tertulis. Para pihak yang menentukan subtansi atau isi
perjanjian sewa-menyewa biasanya yang paling dominan adalah pihak yang
menyewakan dikarenakan posisi penyewa berada dipihak yang lemah.
4. Perjanjian Melakukan Pekerjaan
Perjanjian kerja adalah perjanjian dimana pihak kesatu, buruh, mengikatkan
diri untuk bekerja dengan menerima upah kepada pihak lainnya, majikan, yang
mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh itu dengan membayar upah.
Pasal 1601 KUHP Perdata “Perjanjian kerja adalah perjanjian dimana pihak
yang satu, buruh, mengikatkan diri untuk dibawah pimpinan pihak yang lain, majikan,
untuk waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah.”
Dalam perumusan pasal 1601 KUHP Perdata adalah kurang lengkap karena
disini yang mengikatkan diri hanyalah pihak buruh saja, tidak juga pihak lainnya,
yaitu majikan (pengusaha). Padahal pada tiap perjanjian yang memiliki dua pihak,
yang mengikatkan diri adalah kedua belah pihak yang bersangkutan.

5. Persekutuan perdata
Persekutuan Perdata diartikan sebagai perjanjian antara dua orang atau lebih
yang saling mengikatkan dirinya untuk memasukkan sesuatu ke dalam persekutuan
dengan maksud untuk membagi keuntungan (manfaat) yang terjadi karenanya (pasal
1618 KUHPerdata).
Unsur Persekutuan Perdata:

6
a. PP merupakan perjanjian (kontrak).
b. Prestasi para pihak dengan memasukkan sesuatu ke dalam persekutuan.
c. Tujuan untuk membagi keuntungan.
Persekutuan Perdata merupakan suatu perjanjian yang konsekuensinya dalam
persekutuan perdata modalnya tidak selalu uang, akan tetapi dapat berupa barang,
kerajinan atau keterampilan.Dalam persekutuan perdata harus ada pembagian
keuntungan. Dalam persekutuan perdata tidak boleh ada perjanjian yang
keuntungannya untuk 1 orang, walaupun hal tersebut telah disepakati mereka.
Unsurnya harus membagi keuntungan, jika tidak maka batal demi hukum.
6. Perkumpulan
Selain perseroan perdata sejati, perhimpunan orang-orang sebagai badan
hukum juga diakui undang-undang, entah badan hukum itu diadakan oleh kekuasaan
umum atau diakuinya sebagai demikian, entah pula badan hukum itu diterima sebagai
yang diperkenankan atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak
bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan. Pengertian perkumpulan
berbeda dengan pengertian perseroan. Titik berat perseroan adalah mencari
keuntungan dari perbendaan, sedangkan titik berat perkumpulan adalah tujuan sosial
atau tujuan di lapangan lain daripada keuntungan semata. Hal lain yang membedakan
antara perkumpulan dan perseroan ialah:
1. Dalam perkumpulan keputusan rapat anggota diambil dengan suara terbanyak,
sedang dalam perseroan pada hakekatnya diperlukan persetujuan dari segenap
anggota.
2. Para anggota perkumpulan selaku perseorangan tidak bertanggung jawab atas
perjanjian-perjanjian dari perkumpulannya, dan segala utang dari perkumpulan
hanya dapat dilunasi dari barang-barang kekayaan perkumpulan. Dalam
KUHPerdata disebutkan 4 macam badan hukum, yaitu:
a. Badan hukum yang didirikan oleh pemerintah.
b. Badan hukum yang diakui.
c. Badan hukum yang diperijinkan.
d. Badan hukum yang didirikan oleh orang-rang pertikelir dengan suatu tujuan
tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan.
Ada dua hal yang dapat mengakibatkan suatu perkumpulan kehilangan
kedudukannya selaku badan hukum, yaitu:

7
a. Apabila pemerintah menetapkan bahwa suatu perkumpulan itu bertentangan
dengan ketertiban umum.
b. Apabila hakim mencabut kedudukan suatu perkumpulan selaku badan
hukum, dengan alasan bahwa perkumpulan itu telah menyimpang dari isi
anggaran dasar yang telah disahkan oleh pemerintah.
Hak-hak dan kewajiban perkumpulan:
a. Perkumpulan dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti
manusia, kecuali ada pembatasan kekuasaan.
b. Memberi kuasa kepada pengurus untuk bertindak atas nama perkumpulan
dan membentuk hubungan hukum antara perkumpulan hukum dengan
orang ketiga. Apabila seorang pengurus/anggota bertindak menyimpang
dari kekuasaannya,maka perkumpulan hanya terikat, apabila dikemudian
hari ternyata adakeunautngan bagi perkumpulan atau apabila tindakan
pengurus tersebut disahkan oleh rapat anggota
7. Hibah
Yang dimaksud dengan hibah dalam bahasa Belanda adalah “Schenking”.
Sedangkan menurut istilah yang dimaksud hibah, sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 1666 KUHPerdata, adalah Hibah menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata “Sesuatu persetujuan dengan mana si penghibah di waktu hidupnya, dengan
cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan suatu benda guna
keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu”.
Bahwa, yang dimaksud dengan penghibah adalah digolongkannya pada apa
yang dinamakan perjanjian cuma-cuma dalam bahasa Belanda “Omniet”.
Maksudnya, hanya ada pada adanya prestasi pada satu pihak saja, sedangkan pihak
yang lain tidak perlu memberikan kontra prestasi sebagai imbalan. Perkataan “di
waktu hidupnya” si Penghibah adalah untuk membedakan penghibahan ini dengan
pemberian-pemberian yang lain yang dilakukan dalam testament (surat wasiat), yang
baru akan mempunyai kekuatan dan berlaku sesudah pemberi itu meninggal, dapat
diubah atau ditarik kembali olehnya.
Pemberi dalam testament menurut BW (Burgerlijk Wetboek) dinamakan
legaat (hibah wasiat), yang diatur dalam Hukum Waris, sedangkan penghibah ini
adalah suatu perjanjian, maka dengan sendirinya tidak dapat ditarik kembali secara
sepihak oleh si penghibah. Dengan demikian Hibah menurut BW (Burgerlijk
Wetboek) ada 2 (dua)

8
macam, yaitu: hibah dan hibah wasiat yang ketentuan hibah wasiat sering berlaku pula
dalam ketentuan penghibah.
Mengenai penghibahan dalam Hukum Perdata Indonesia, telah diatur dalam
beberapa pasal yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Adapun
ketentuan tersebut adalah Pasal 1667 Kitab Undang-undang Hukum Perdata “Hibah
hanyalah dapat mengenai benda-benda yang sudah ada, jika ada itu meliputi benda-
benda yang baru akan dikemudian hari, maka sekedar mengenai itu hibahnya adalah
batal”.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jika dihibahkan barang yang sudah ada,
bersama suatu barang lain yang akan dikemudian hari, penghibahan mengenai yang
pertama adalah sah, tetapi mengenai barang yang kedua adalah tidak sah. Pasal 1668
Kitab Undang-undang Hukum Perdata “Si penghibah tidak boleh memperjanjikan
bahwa ia tetap berkuasa untuk menjual atau memberikan kepada orang lain suatu
benda termasuk dalam penghibahan semacam ini sekedar mengenai benda tersebut
dianggap sebagai batal”.
Janji yang diminta si penghibah, bahwa ia tetap berkuasa untuk menjual atau
memberikan kepada orang lain, berarti bahwa hak milik atas barang tersebut, tetap ada
padanya karena hanya seseorang pemilik yang dapat menjual atau memberikan
barangnya kepada orang lain, hal mana dengan sendirinya bertentangan dengan sifat
dan hakekat penghibahan.
Sudah jelas, bahwa perjanjian seperti ini membuat penghibahan batal, yang
terjadi sebenarnya adalah hanya sesuatu pemberian nikmat hasil. Pasal 1669 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata “Adalah diperbolehkan kepada si penghibah untuk
memperjanjikan bahwa ia tetap memiliki kenikmatan atau nikmat hasil benda-benda
yang dihibahkan, baik benda-benda bergerak maupun benda-benda tidak bergerak,
atau bahwa ia dapat memberikan nikmat hasil atau kenikmatan tersebut kepada orang
lain, dalam hal mana harus diperhatikan ketentuan-ketentuan dari bab kesepuluh buku
kedua kitab undang-undang ini”.
Bab kesepuluh dari Buku Kedua Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang
dimaksud itu adalah bab yang mengatur tentang Hak Pakai Hasil atau Nikmat Hasil.
Sekedar ketentuan-ketentuan itu telah dicabut, yaitu mengenai tanah, dengan adanya
Undang-undang Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960), tetapi ketentuan-ketentuan
itu mengenai barang yang bergerak masih berlaku.

9
Cara menghibahkan sesuatu telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, sebagaimana diatur dalam pasal di bawah ini:
Pasal 1682 Kitab Undang-undang Hukum Perdata “Tiada suatu hibah kecuali
yang disebutkan dalam Pasal 1687, dapat atas ancaman batal, dilakukan selainnya
dengan akta notaris, yang aslinya disimpan oleh notaris itu”.
Pasal 1683 Kitab Undang-undang Hukum Perdata “Tiada suatu hibah
mengikat si penghibah atau menerbitkan sesuatu akibat yang bagaimanapun,
selainnya mulai saat penghibahan itu dengan kata-kata yang tegas diterima oleh si
penerima hibah sendiri atau oleh seorang yang dengan suatu akta otentik oleh si
penerima hibah itu telah dikuasakan untuk menerima penghibahan-penghibahan yang
telah diberikan oleh si penerima hibah atau akan diberikan kepadanya dikemudian
hari. Jika penerima hibah tersebut telah dilakukan di dalam suratnya hibah sendiri,
maka itu akan dapat dilakukan di dalam suatu akta otentik, kemudian yang aslinya
harus disimpan, asal yang demikian itu dilakukan di waktu si penghibah masih hidup,
dalam hal mana penghibahan terhadap orang yang terakhir hanya berlaku sejak saat
penerima itu diberitahukan kepadanya”.
8. Penitipan Barang
Pasal 1694 KUHPerdata "Penitipan barang terjadi bila orang menerima barang
orang lain dengan janji untuk menyimpannya dan kemudian mengembalikannya
dalam keadaan yang sama."
Point yang dapat kita ambil dari Pasal 1694 KUHPerdata diatas:
1. Penitipan Barang baru terjadi bila calon penerima titipan setuju untuk dititipi
barang. Tanpa persetujuan dari penerima titipan maka penitipan barang tidak
terjadi. Karena dengan ada/tidak nya persetujuan sama dengan ada/tidaknya
beban tanggung jawab penerima titipan terhadap pemberi titipan.
2. "Barang" yang dititipkan kepada penerima titipan adalah milik orang lain.
Milik orang lain dapat berarti milik si pemberi titipan atau bisa juga milik
pihak ketiga (selain dari si pemberi titipan). Pastinya barang yang dititipkan
bukan milik si penerima titipan. Kalau milik si penerima titipan itu namanya
mengembalikan barang bukan menitipkan barang.
3. Barang titipan untuk disimpan oleh penerima titipan. Tidak untuk dipakai.
4. Barang titipan dikembalikan dalam keadaan yang sama kepada pemberi titipan
sebagaimana kondisi saat barang titipan diterima. Dapat juga barang titipan

10
tidak dikembalikan ke si pemberi titipan semula tetapi kepada kuasa/wakil si
pemberi titipan asalkan hal tersebut diperjanjikan secara jelas sebelumnya.

10
Pasal 1695 KUHPerdata "Ada 2 (dua) jenis penitipan barang yaitu: penitipan
murni (sejati) dan sekestrasi (penitipan dalam perselisihan)." Seolah-olah ada
penitipan yg murni dan ada penitipan yang tidak murni. Ada penitipan yang sejati dan
penitipan tidak sejati.
Penitipan murni dianggap cuma-cuma bila tidak diperjanjikan sebaliknya dan
hanya untuk barang bergerak. Jadi bila si pemberi titipan dan si penerima titipan tidak
ada pembicaraan dan kesepakatan perihal "biaya" maka penitipan tersebut adalah
cuma-cuma atau tanpa biaya.
Penitipan Sekestrasi:
1. Penitipan barang yang berada dalam persengketaan kepada orang lain.
2. Orang lain yang dititipkan tersebut mengikatkan diri untuk mengembalikan
barang itu dengan semua hasilnya kepada yang berhak.
3. Barang dikembalikan kepada yang berhak setelah perselisihan diputus oleh
Pengadilan.
4. Penitipan ini terjadi karena perjanjian atau karena perintah Hakim.
Penitipan Sekestrasi untuk barang bergerak dan barang tidak bergerak.
Penitipan murni utk barang bergerak saja. Penitipan Sekestrasi terjadi karena
perjanjian atau karena perintah hakim. Penitipan murni adalah karena perjanjian saja.

9. Pinjam pakai
Pinjam Pakai adalah salah satu jenis dari kontrak nominaat. Istilah kontrak
nominaat merupakan terjemahan dari nominaat contract. Kontrak nominaat sama
artinya dengan perjanjian bernama atau benoemde dalam bahasa Belanda. Kontrak
nominaat merupakan perjanjian yang dikenal dan terdapat dalam pasal 1319
KUHPerdata, Pasal 1319 KUHPerdata berbunyi “Semua perjanjian, baik yang
mempunyai nama khusus, maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu,
tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lalu”.
Dalam perjanjian pinjam pakai, barang yang dipinjamkan tidak habis atau
musnah karena pemakaian. Si pemilik barang meminjamkan barangnya kepada
peminjam secara cuma-cuma. Hukum Pinjam pakai diatur dalam pasal 1740 sampai
dengan pasal 1753 KUHPerdata. Pinjam pakai adalah suatu persetujuan dimana pihak
yang satu memberikan suatu barang kepada pihak yang lainnya untuk dipakai dengan
cuma-cuma, dengan syarat bahwa yang menerima barang ini setelah memakainya atau

11
setelah lewatnya suatu waktu tertentu akan mengembalikan (Pasal 1740
KUHPerdata). Pihak yang meminjamkan tetap menjadi emilik barang yang
dipinjamkan.
Perjanjian pinjam pakai ini merupakan contoh dari suatu perjanjian sepihak
atau unilateral (dimana perkataan “sepihak” ditujukan pada hanya adanya prestasi dari
satu pihak saja). Sifatnya sepihak itu dinyatakan dengan rumusan “dipakai dengan
cuma-cuma”, artinya hanya pihak yang meminjamkan yang berprestasi, sedangkan
pihak yang meminjam hanya menggunakan tanpa ada balas prestasi kepada yang
meminjamkan. Sehingga di dalam perjanjian pinjam pakai ini tidak terdapat kontra
prestasi. Namun begitu, terdapat kewajiban-kewajiban bagi si peminjam dan yang
meminjamkan.
10. Pinjam-meminjam
Menurut pasal 1754 KUHPerdata pinjam meminjam adalah perjanjian dimana
pihak pertama memberi kepada pihak kedua sebagai pinjaman sejumlah barang yang
bisa habis dipakai dengan syarat bahwa pihak kedua harus mengembalikan barang-
barang yang sama jumlahnya.
Perbedaan utama antara pinjam pakai dan pinjam meminjam adalah:
1. Pinjam pakai dilakukan cuma-cuma, sedangkan pinjam meminjam dapat
dilakukan dengan cuma-cuma maupun dengan beban.
2. Pinjam pakai dapat dilakukan dalam benda bergerak maupun tak bergerak,
sedangkan pinjam pakai dapat dilakukan hanya benda bergerak.
Menurut undang-undang pemberi pinjam meminjam hanya dipinjamkan.
Kewajiban lain tidak ada karena pinjam meminjam merupakan perjanjian sepihak
yang terjadi dengan penyerahan barang dipinjamkan. Pasal 1762 KUHPerdata
menetapkan bahwa Pasal 1763 KUHPerdata mengenai jaminan tentang cacat-cacat
berlaku juga bagi perjanjian pinjam meminjam, kecuali mengenai pinjaman uang.
Pasal 1763 KUHPerdata menetapkan bahwa penerima pinjam meminjam
berkewajiban untuk mengembalikan apa yang ia pinjam dalam jumlah dan keadaan
yang sama pada saat yang telah ditetapkan.
Menurut Pasal 1754 KUHPerdata tidak mampu untuk mengembalikanya maka
ia diwajibkan menggantikan harga barang yang dipinjamkannya ditempat pada waktu
sesuai dengan perjanjian pinjam meminjam.
11. Bunga Tetap atau Bunga Abadi

12
Perjanjian bunga abadi ialah suatu persetujuan bahwa pihak yang memberikan
pinjaman uang akan menerima pembayaran bunga atas sejumlah uang pokok yang
tidak

12
akan dimintanya kembali. Bunga ini pada hakikatnya dapat diangsur. Hanya kedua
belah pihak dapat mengadakan persetujuan bahwa pengangsuran itu tidak boleh
dilakukan sebelum lewat waktu tertentu, yang tidak boleh ditetapkan lebih lama dari
sepuluh tahun, atau tidak boleh dilakukan sebelum diberitahukan kepada kreditur
dengan suatu tenggang waktu, yang sebelumnya telah ditetapkan oleh mereka, tetapi
tidak boleh lebih lama dari satu tahun. Seseorang yang berutang bunga abadi dapat
dipaksa mengembalikan uang pokok:
1. Jika ia tidak membayar apa pun dari bunga yang harus dibayarnya selama dua
tahun berturut-turut.
2. Jika ia lalai memberikan jaminan yang dijanjikan kepada kreditur.
3. Jika ia dinyatakan pailit atau dalam keadaan benar-benar tidak mampu untuk
membayar.
Dalam kedua hal pertama yang disebut dalam pasal yang lalu, debitur dapat
membebaskan diri dari kewajiban mengembalikan uang pokok, jika dalam waktu dua
puluh hari, terhitung mulai ia diperingatkan dengan perantaraan hakim, ia membayar
angsuran-angsuran yang sudah harus dibayarnya atau memberikan jaminan yang
dijanjikan.
Persetujuan bunga abadi dalam praktek sekarang hampir tidak ada lagi. Dahulu
cara ini banyak sekali digunakan berhubung dengan anggapan bahwa peminjaman
uang dengan bunga, oleh agama tidak diperbolehkan. Bunga abadi ternyata tidak
dipandang sebagai bunga, melainkan sebagai pembayaran sejumlah uang tertentu pada
tiap-tiap waktu tertentu, berdasarkan pada perjanjian khusus.
12. Perjanjian Untung-Untungan
Suatu persetujuan untung-untungan ialah suatu perbuatan yang hasilnya, yaitu
mengenai untung-ruginya, baik bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak,
tergantung pada suatu kejadian yang belum pasti. Demikianlah: persetujuan
pertanggungan; bunga cagak hidup; perjudian dan pertaruhan. (Persetujuan yang
pertama, diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang).
a. Persetujuan bunga cagak-hidup dan akibat-akibatnya
Bunga cagak hidup dapat diadakan dengan suatu persetujuan atas beban, atau
dengan suatu akta hibah Bunga cagak hidup juga dapat diadakan dengan suatu wasiat.
Bunga cagak hidup dapat diadakan atas diri orang yang memberikan pinjaman, atau
atas diri orang yang diberi manfaat dari bunga tersebut, atau pula atas diri seorang

13
pihak ketiga, meskipun orang ini tidak mendapat manfaat daripadanya. Bunga cagak
hidup

13
dapat diadakan atas diri satu orang atau lebih. Bunga cagak hidup dapat diadakan
untuk seorang pihak ketiga, meskipun uangnya diberikan oleh orang lain. Akan tetapi,
dalam hal tersebut, bunga cagak hidup tidak tunduk pada tata cara penghibahan.
Bunga cagak hidup yang diadakan atas diri seseorang yang meninggal pada hari
persetujuan, tidak mempunyai kekuatan hukum. Bunga cagak hidup dapat diadakan
dengan perjanjian sampai sedemikian tinggi menurut kehendak kedua pihak.
Orang yang atas dirinya diadakan bunga cagak hidup dengan beban, dapat
menuntut pembatalan persetujuan itu, jika debitur tidak memberikan jaminan yang
telah dijanjikan. Jika persetujuan dibatalkan, debitur wajib membayar tunggakan
bunga yang telah diperjanjikan, sampai pada hari dikembalikannya uang pokok.
Penunggakan pembayaran bunga cagak hidup tidak memberikan hak kepada penerima
bunga untuk meminta kembali uang pokok atau barang yang telah diberikannya untuk
dapat menerima bunga itu; ia hanya berhak menuntut debitur membayar bunga yang
wajib dibayarnya menyita kekayaannya untuk melunasi utangnya, dan meminta
jaminan untuk bunga yang sudah dapat ditagih.
Debitur tidak dapat membebaskan diri dari pembayaran bunga cagak hidup
dengan menawarkan pengembalian uang pokok dan dengan berjanji tidak akan
menuntut pengembalian bunga yang telah dibayarnya; ia wajib terus membayar bunga
cagak hidup selama hidup orang atau orang-orang yang atas diri mereka telah
dijanjikan bunga cagak hidup itu, betapa pun beratnya pembayaran bunga itu bagi
dirinya. Pemilik bunga cagak hidup hanya berhak atas bunga itu menurut jumlah hari
seumur hidup orang yang atas dirinya telah diadakan bunga cagak hidup itu.
Akan tetapi jika menurut persetujuan harus dibayar terlebih dahulu bunganya,
maka hak atas angsuran yang sedianya sudah harus terbayar, baru diperoleh mulai hari
pembayaran itu seharusnya dilakukan. Mengadakan perjanjian bahwa suatu bunga
cagak hidup takkan tunduk pada suatu penyitaan, tidak diperbolehkan kecuali bila
bunga cagak hidup itu diadakan dengan cuma-cuma. Penerima bunga tidak dapat
menagih bunga yang sudah harus dibayar, selain dengan menyatakan bahwa orang
yang atas dirinya telah diperjanjikan bunga cagak hidup itu masih hidup.
b. Perjudian dan pertaruhan
Undang-undang tidak memberikan hak untuk menuntut secara hukum dalam
hal suatu utang yang terjadi karena perjudian, atau pertaruhan. Akan tetapi dalam
ketentuan tersebut diatas itu tidak termasuk permainan-permainan yang dapat

14
dipergunakan untuk olahraga, seperti anggar, lari cepat, dan sebagainya. Meskipun
demikian, hakim dapat

14
menolak atau mengurangi tuntutan bila menurut pendapatnya uang taruhan lebih dari
yang sepantasnya. Ketentuan-ketentuan dalam dua pasal yang lalu tidak boleh
digunakan untuk menghindari utang dengan cara pembaharuan utang. Seorang yang
secara sukarela membayar kekalahannya dengan uang, sekali-kali tak boleh menuntut
kembali uangnya, kecuali bila pihak yang menang itu telah melakukan kecurangan
atau penipuan.
13. Pemberi Kuasa
Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan
kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang
yang memberikan kuasa.
Cara memberikan kuasa:
1. Akte resmi
2. Surat bawah tangan
3. Surat biasa
4. Dengan lisan
5. Dengan diam-diam (tanpa perjanjian)
Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu
kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan
pemberi kuasa. Akibat dari perwakilan di tangan si kuasa diatur dalam Pasal 1799 dan
1807. Dua-duanya menentukan apabila antara si pemberi kuasa dan seorang ketiga
ada terbentuk suatu perjanjian menurut isi kuasa yang diberikan, maka terbentuklah
suatu hubungan hukum langsung antara pemberi kuasa dan orang ketiga itu. Pasal
1799 menyebutkan Pemberi kuasa dapat menggugat secara langsung orang yang
dengannya si penerima kuasa telah melakukan perbuatan hukum dalam kedudukannya
dan pula dapat mengajukan tuntutan kepadanya untuk memenuhi persetujuan yang
telah dibuat.
Kewajiban-kewajiban si penerima kuasa:
1. Penerima kuasa, selama kuasanya belum dicabut, wajib melaksanakan
kuasanya, dan bertanggung-jawab atas segala biaya, kerugian dan bunga, yang
timbul karena tidak dilaksanakannya kuasa itu. Begitu pula, ia wajib
menyelesaikan urusan yang telah mulai dikerjakannya pada waktu pemberi
kuasa meninggal dan dapat menimbulkan kerugian jika tidak segera
diselesaikannya.

15
2. Penerima kuasa tidak hanya bertanggung-jawab atas perbuatan-perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja, melainkan juga atas kelalaian-kelalaian yang

15
dilakukan dalam menjalankan kuasanya. Akan tetapi tanggung jawab atas
kelalaian-kelalaian orang yang dengan cuma-cuma menerima kuasa, tidaklah
seberat tanggung jawab yang diminta dari orang yang menerima kuasa dengan
mendapatkan upah.
3. Penerima kuasa wajib memberi laporan kepada pemberi kuasa tentang apa
yang telah dilakukan, serta memberikan perhitungan tentang segala sesuatu
yang diterimanya berdasarkan kuasanya, sekalipun apa yang diterima itu tidak
harus dibayar kepada pemberi kuasa.
4. Penerima kuasa bertanggung jawab atas orang lain yang ditunjuknya sebagai
penggantinya dalam melaksanakan kuasanya; 1. Bila tidak diberikan kuasa
untuk menunjuk orang lain sebagai penggantinya; 2. Bila kuasa itu diberikan
tanpa menyebutkan orang tertentu, sedangkan orang yang dipilihnya ternyata
orang yang tidak cakap atau tidak mampu. Pemberi kuasa senantiasa dianggap
telah memberi kuasa kepada penerima kuasanya untuk menunjuk seorang lain
sebagai penggantinya untuk mengurus barang-barang yang berada di luar
wilayah Indonesia atau di luar pulau tempat tinggal pemberi kuasa. Pemberi
kuasa, dalam segala hal, dapat secara langsung mengajukan tuntutan kepada
orang yang telah ditunjuk oleh penerima kuasa sebagai penggantinya.
5. Penerima kuasa harus membayar bunga atas uang pokok yang dipakainya
untuk keperluannya sendiri, terhitung dari saat ia mulai memakai uang itu,
begitu pula bunga atas uang yang harus diserahkan pada penutupan
perhitungan, terhitung dari saat ia dinyatakan lalai melakukan kuasa.
6. Penerima kuasa yang telah memberitahukan secara sah hal kuasanya kepada
orangyang dengannya ia mengadakan suatu persetujuan dalam kedudukan
sebagaipenerima kuasa, tidak bertanggung jawab atas apa yang terjadi di luar
batas kuasaitu, kecuali jika ia secara pribadi mengikatkan diri untuk itu.

Kewajiban-kewajiban pemberi kuasa:


1. Pemberi kuasa wajib memenuhi perikatan-perikatan yang dibuat oleh
penerima kuasa menurut kekuasaan yang telah ia berikan kepadanya. Ia tidak
terikat pada apa yang telah dilakukan di luar kekuasaan itu, kecuali jika ia
telah menyetujui hal itu secara tegas atau secara diam-diam.

16
2. Pemberi kuasa wajib mengembalikan persekot dan biaya yang telah
dikeluarkan oleh penerima kuasa untuk melaksanakan kuasanya, begitu pula
membayar

16
upahnya bila tentang hal ini telah diadakan perjanjian. Jika penerima kuasa
tidak melakukan suatu kelalaian, maka pemberi kuasa tidak dapat
menghindarkan diridari kewajiban mengembalikan persekot dan biaya serta
membayar upah tersebut di atas, sekalipun penerima kuasa tidak berhasil
dalam urusannya itu.
3. Begitu pula, pemberi kuasa harus memberikan ganti-rugi kepada penerima
kuasa atas kerugian-kerugian yang dideritanya sewaktu menjalankan
kuasanya, asal dalam hal itu penerima kuasa tidak bertindak kurang hati-hati.
4. Pemberi kuasa harus membayar bunga atas persekot yang telah dikeluarkan
olehpenerima kuasa, terhitung mulai hari dikeluarkannya persekot itu.
5. Jika seorang penerima kuasa diangkat oleh berbagai orang untuk
menyelenggarakan suatu urusan yang harus mereka selesaikan secara bersama,
maka masing-masing dari mereka bertanggung jawab untuk seluruhnya
terhadap penerima kuasa mengenai segala akibat dari pemberian kuasa itu.
6. Penerima kuasa berhak untuk menahan kepunyaan pemberi kuasa yang berada
di tangannya, hingga kepadanya dibayar lunas segala sesuatu yang dapat
dituntutnya akibat pemberian kuasa.

Berakhirnya pemberian kuasa:


1. Dicabut oleh pemberi kuasa (si kuasa menghendakinya).
2. Si penerima kuasa menghentikannya.
3. Salah satu atau kedua belah pihak meninggal dunia, atau dinyatakan dibawah
curatele, atau dinyatakan pailit.
4. Pemberian yang diadakan untuk tenggang waktu tertentu, telah berakhir
masanya.
14. Penanggungan
Yang dimaksud dengan penanggungan menurut Pasal 1820 BW adalah suatu
perjanjian dimana seorang pihak ketiga-guna kepentingan siberutang-mengikatkan
diri untuk memenuhi perutangan si berutang manakala si berutang ini melakukan
wanprestasi.
Tujuan dan isi dari penanggungan ini adalah memberi jaminan untuk
dipenuhinya suatu prestasi/perutangan dalam perjanjian pokok.
Sifat Perjanjian Penanggungan ada beberapa, yaitu:

17
1. Merupakan jaminan yang bersifat perorangan, yaitu adanya pihak ketiga
(badan hukum) yang menjamin pemenuhan prestasi manakala debiturnya
wanprestasi.

17
Pada jaminan yang bersifat perorangan demi pemenuhan prestasi hanya dapat
dipertahankan terhadap orang-orang tertentu, yaitu Debitur atau
penanggungnya.
2. Bersifat accesoir, yakni perjanjian yang mengikuti perjanjian pokoknya.
Perjanjian penanggungan akan batal demi hukum atau hapus jika perjanjian
pokok juga batal demi hukum atau hapus.
3. Untuk perjanjian yang dapat dibatalkan, perjanjian accesoirnya tidak ikut batal
meskipun perjanjian pokoknya dibatalkan.
4. Bersifat sepihak dimana hanya penanggung yang harus melaksanakan
kewajiban. Tetapi adakalanya kreditur menawarkan suatu prestasi sehingga
pihak ketiga mau menjadi penanggung dan dalam keadaan demikian perjanjian
bersifat timbal balik.
5. Besarnya penanggungan tidak akan melebihi besarnya prestasi/perutangan
pokoknya tetapi boleh lebih kecil. Jika penanggung lebih besar maka yang
dianggap sah hanya yang sebesar utang pokok (Pasal 1822 BW).
6. Bersifat subsidi air, jika ditinjau dari sudut cara pemenuhan prestasi. Hal ini
berdasarkan Pasal 1820 BW bahwa penanggung mengikatkan diri untuk
memenuhi perutangan debitur manakala debitur sendiri tidak memenuhinya.
Ini berarti penanggung hanya terikat secara subsidi air karena hanya akan
melaksanakan prestasi jika debitur tidak memenuhinya sedang debitur yang
harus tetap bertanggung jawab atas pelaksanaan prestasi tersebut dan setelah
penanggung melaksanakan prestasi maka ia mempunyai hak regres terhadap
debitur.
7. Beban pembuktian yang ditujukan ke si berutang dalam batas-batas tertentu
juga mengikat si penanggung.
8. Penanggungan diberikan untuk menjamin pemenuhan perutangan yang timbul
dari segala macam hubungan hukum baik yang bersifat perdata maupun yang
bersifat hukum publik, asalkan prestasi tersebut dapat dinilai dalam bentuk
uang.
Bentuk Perjanjian Penanggungan menurut ketentuan Undang-Undang, adalah
bebas tidak terikat oleh suatu bentuk tertentu, bisa lisan atau tertulis yang dituangkan
dalam suatu akta. Namun untuk kepentingan pembuktian maka pada prakteknya
umumnya dibuat dalam bentuk tertulis, seperti dengan akta notaris atau formulir baku
dari bank. Perjanjian Penanggungan harus dinyatakan secara tegas-tidak boleh secara

18
tersirat oleh penanggung atas hal-hal apa saja yang akan ditanggungnya. Hal ini
gunanya agar penanggung terlindung atas tanggung jawab terhadap hal-hal lain yang
tidak ditanggungnya.
15. Perdamaian
Perjanjian perdamaian disebut juga dengan istilah dading. Perjanjian
perdamaian diatur dalam Pasal 1851-1864 KUHP Perdata. Perdamaian adalah suatu
persetujuan antara kedua belah pihak yang isinya untuk menyerahkan, menjanjikan
atau menahan suatu barang.1 Kedua belah pihak boleh mengakhiri suatu perkara yang
sedang diperiksa pengadilan untuk mencegah timbulnya suatu perkara (Pasal 1851
KUHPerdata). Definisi lain dari perdamaian adalah “Persetujuan dengan mana kedua
belah pihak atas dasar saling pengertian mengakhiri suatu perkara yang sedang
berlangsung atau mencegah timbulnya suatu sengketa.” (Art. 1888 NBW)
Jadi, dalam perjanjian ini kedua belah pihak harus melepaskan sebagian
tuntutan mereka dengan tujuan untuk mencegah timbul masalah. Perjanjian ini disebut
perjanjian “formal” dan harus tertulis agar sah dan bersifat mengikat.2
Oleh karena itu harus ada timbal balik pada pihak-pihak yang berperkara.
Tidak ada perdamaian apabila salah satu pihak dalam satu perkara mengalah
seluruhnya dan mengakui tuntutan pihak lawan seluruhnya.3 Begitu juga tidak ada
perdamaian jika kedua belah pihak menyerahkan penyelesaian perkara pada arbitrase
(pemisah) atau tunduk pada nasihat dari pihak ke-3 (binded advies).
Adapun unsur perdamaian beserta syarat dari unsur tersebut terdapat dalam
KUHP pasal 1851 dan 130 HIR. Dari kedua pasal tersebut 4 unsur, yaitu :
1. Adanya persetujuan kedua belah pihak.
Dalam perdamaian, kedua belah pihak harus saling sama-sama “menyetujui”
dan suka rela mengakhiri persengketaan. Persetujuan tidak boleh hanya dari sebelah
pihak atau dari hakim, sehingga berlaku persetujuan yang telah diatur dalam Pasal
1320 KUHP :
a. Adanya kata sepakat secara suka rela (toestemming).
b. Kedua belah pihak cukup membuat persetujuan (bekwamheid).
c. Dibuat persetujuan mengenai pokok yang tertentu (bepaalde onderwerp).

1
Salim, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan. Jakarta: Sinar Grafika. 2008. Hlm. 92.
2
R. Subekti, Aneka Perjanjian. Bandung : Pt. Citra Aditya Bakti. 1995. Hlm. 177.
3
Victor M. Situmorang, Perdamaian dan Perwasitan dalam Hukum Acara Perdata. Jakarta: Rineka
Cipta. 1993. Hlm. 3.

19
d. Dengan dasar alasan yang diperbolehkan (geoorlosfde oorzaah).
Oleh karena itu dalam suatu persetujuan tidak boleh ada cacat pada setiap
unsur, seperti :
a. Kekeliruan/kekhilafan (dwaling)
b. Paksaan (dwang)
c. Penipuan (bedrog)
Sedangkan dalam pasal 1859 KUHPerdata perdamaian dapat dibatalkan jika
terjadi kekhilafan:
a. Mengenai orangnya.
b. Mengenai pokok yang diperselisihkan.
Kemudian dalam Pasal 1860 KUHPerdata dikatakan beberapa faktor
kesalahpahaman perdamaian, seperti :
a. Kesalahpahaman tentang duduknya perkara.
b. Kesalahpahaman tentang suatu atas hak yang batal.
2. Kedua belah pihak sepakat mengakhiri sengketa.
Suatu perdamaian yang tidak secara tuntas mengakhiri sengketa yang sedang
terjadi antara kedua belah pihak dianggap tidak memenuhi syarat. Putusan seperti ini
tidak sah dan tidak mengikat kepada dua belah pihak. Perdamaian sah dan mengikat
jika yang sedang disengketakan dapat diakhiri oleh perdamaian yang bersangkutan.
3. Isi perjanjiannya menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang dalam
bentuk tertulis.
Persetujuan perdamaian tidak sah jika dalam bentuk lisan dan harus bersifat
tertulis dan sifatnya biasanya memaksa (imperatif). Maksud diadakan perjanjian
perdamaian secara tertulis adalah untuk menjadi alat bukti bagi para pihak untuk
diajukan ke hadapan hakim. Jika dilihat dari bentuk persetujuan perdamaian, maka
dapat dibedakan dua bentuk format persetujuan perdamaian, yakni putusan dan akta
perdamaian.
4. Sengketa tersebut sedang diperiksa atau untuk mencegah timbulnya suatu perkara
(sengketa).
Perdamaian harus didasarkan pada persengketaan yang sedang diperiksa,
karena menurut pasal 1851 KUHPerdata persengketaan itu:
a. Sudah berwujud sengketa perkara di pengadilan.

20
b. Sudah nyata wujud dari persengketaan perdata yang akan diajukan ke
pengadilan, sehingga perdamaian yang dibuat oleh para pihak mencegah
terjadinya persengketaan di sidang pengadilan.
D. Penyebab Berakhirnya Perjanjian
Sebab-Sebab Berakhirnya Suatu Perjanjian terpenuhinya prestasi atau
perikatan yang disepakati dan syarat-syarat tertentu dalam perjanjian dapat menjadi
sebab berakhirnya perjanjian, misalnya habisnya jangka waktu yang telah disepakati
dalam perjanjian atau dalam loan agreement, semua hutang dan bunga atau denda jika
ada telah dibayarkan. Secara keseluruhan, KUHPerdata mengatur faktor-faktor lain
yang dapat menyebabkan berakhirnya perjanjian, diantaranya karena:

1. Pembayaran
Pembayaran tidak selalu diartikan dalam bentuk penyerahan uang semata,
tetapi terpenuhinya sejumlah prestasi yang diperjanjikan juga memenuhi unsur
pembayaran sebagai upaya untuk mengakhiri suatu perjanjian. Pembayaran yang
dimaksud dalam hukum perikatan adalah setiap tindakan pemenuhan prestasi.
2. Penawaran pembayaran, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
Pemenuhan prestasi dalam suatu perjanjian sepatutnya dilaksanakan sesuai
hal yang diperjanjikan termasuk waktu pemenuhannya, namun tidak jarang prestasi
tersebut dapat dipenuhi sebelum waktu yang diperjanjikan. Penawaran dan
penerimaan pemenuhan prestasi sebelum waktunya dapat menjadi sebab berakhirnya
perjanjian, misalnya perjanjian pinjam meminjam yang pembayarannya dilakukan
dengan cicilan, apabila pihak yang berhutang dapat membayar semua jumlah
pinjamannya sebelum jatuh tempo, maka perjanjian dapat berakhir sebelum waktunya.
3. Pembaharuan hutang
Pembaharuan utang dapat menyebabkan berakhirnya perjanjian, sebab
munculnya perjanjian baru menyebabkan perjanjian lama yang diperbaharui berakhir.
Perjanjian baru bisa muncul karena berubahnya pihak dalam perjanjian, misalnya
perjanjian novasi dimana terjadi pergantian pihak debitur atau karena berubahnya
perjanjian pengikatan jual beli menjadi perjanjian sewa, karena pihak pembeli tidak
mampu melunasi sisa pembayaran.
4. Perjumpaan Hutang atau kompensasi

21
Perjumpaan hutang terjadi karena antara kreditur dan debitur saling mengutang
terhadap yang lain, sehingga utang keduanya dianggap terbayar oleh piutang mereka
masing-masing.
5. Percampuran Hutang
Berubahnya kedudukan pihak atas suatu objek perjanjian juga dapat
menyebabkan terjadinya percampuran hutang yang mengakhiri perjanjian, contohnya
penyewa rumah yang berubah menjadi pemilik rumah karena dibelinya rumah
sebelum waktu sewa berakhir sementara masih ada tunggakan sewa yang belum
dilunasi.
6. Pembebasan Hutang
Pembebasan hutang dapat terjadi karena adanya kerelaan pihak kreditur untuk
membebaskan debitur dari kewajiban membayar hutang, sehingga dengan terbebasnya
debitur dari kewajiban pemenuhan hutang, maka hal yang disepakati dalam perjanjian
sebagai syarat sahnya perjanjian menjadi tidak ada padahal suatu perjanjian dan
dengan demikian berakhirlah perjanjian.
7. Musnahnya barang yang terhutang
Musnahnya barang yang diperjanjikan juga menyebabkan tidak terpenuhinya
syarat perjanjian karena barang sebagai hal (objek) yang diperjanjikan tidak ada,
sehingga berimplikasi pada berakhirnya perjanjian yang mengaturnya.
8. Kebatalan atau pembatalan
Tidak terpenuhinya syarat sah perjanjian dapat menyebabkan perjanjian
berakhir, misalnya karena pihak yang melakukan perjanjian tidak memenuhi syarat
kecakapan hukum. Tata cara pembatalan yang disepakati dalam perjanjian juga dapat
menjadi dasar berakhirnya perjanjian. Terjadinya pembatalan suatu perjanjian yang
tidak diatur perjanjian hanya dapat terjadi atas dasar kesepakatan para pihak
sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata atau dengan putusan pengadilan
yang didasarkan pada Pasal 1266 KUHPerdata.
9. Berlakunya suatu syarat batal
Dalam Pasal 1265 KUHPerdata diatur kemungkinan terjadinya pembatalan
perjanjian oleh karena terpenuhinya syarat batal yang disepakati dalam perjanjian.
10. Lewatnya waktu
Berakhirnya perjanjian dapat disebabkan oleh lewatnya waktu (daluarsa)
perjanjian.

22
Di samping hapusnya perjanjian berdasarkan Pasal 1381 KUHPerdata, masih
ada sebab lain berakhirnya suatu perjanjian, yaitu:

22
1. Jangka waktu yang ditentukan dalam perjanjian telah berakhir.
2. Adanya suatu persetujuan dari para pihak untuk mengakhiri perjanjian tersebut.
3. Ditentukan oleh Undang-undang, misalnya perjanjian akan berakhir dengan
meninggalnya salah satu pihak peserta perjanjian tersebut.
4. Adanya putusan hakim.
5. Tujuan yang dimaksud dalam perjanjian telah tercapai.4

4
Neng Yani Nurhayani. Hukum Perdata. Bandung: Pustaka Setia. 2015. Hlm.241-243.

23
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
Perjanjian nominaat adalah terjemahan dari nominaat contract. Kontrak
nominaat merupakan perjanjian yang dikenal dan terdapat dalam Pasal 1319 KUH
Perdata yang berbunyi "Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus,
maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum
yang termuat dalam bab ini dan bab yang lalu.
Menurut ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, syarat-syarat sah perjanjian
adalah sebagai berikut :
1. Adanya persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat perjanjian
(consensus).
2. Ada kecakapan pihak- pihak untuk membuat perjanjian (capacity).
3. Ada suatu hal tertentu (object).
4. Ada suatu sebab yang halal (legal causa).
Di dalam KUHPerdata ada 15 (lima belas) jenis kontrak nominat, yaitu :
1. Jual-beli.
2. Tukar-menukar.
3. Sewa-menyewa.
4. Perjanjian Melakukan Pekerjaan.
5. Persekutuan perdata.
6. Perkumpulan.
7. Hibah.
8. Penitipan Barang.
9. Pinjam pakai.
10. Pinjam-meminjam.
11. Bunga Tetap atau Bunga Abadi.
12. Perjanjian Untung-Untungan.
13. Pemberi Kuasa.
14. Penanggungan.
15. Perdamaian.

24
KUHP mengatur faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan berakhirnya
perjanjian, diantaranya karena:
1. Pembayaran.
2. Penawaran pembayaran, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan.
3. Pembaharuan hutang.
4. Perjumpaan Hutang atau kompensasi.
5. Percampuran Hutang.
6. Pembebasan Hutang.
7. Musnahnya barang yang terhutang.
8. Kebatalan atau pembatalan.
9. Berlakunya suatu syarat batal.
10. Lewatnya waktu.

25
DAFTAR PUSTAKA

Darus, Mariam. Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.

Mahmud Marzuki Peter. Batas-Batas Kebebasan Berkontrak, Artikel dalam Jurnal Yuridika,

Volume 18, No. 3, Mei 2003.

R. Subekti, Aneka Perjanjian. Bandung : Pt. Citra Aditya Bakti. 1995.

Salim, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan. Jakarta: Sinar Grafika. 2008.

Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Perikatan, Surabaya: Bina Ilmu,
1978.

Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2007.

Victor M. Situmorang, Perdamaian dan Perwasitan dalam Hukum Acara Perdata. Jakarta:
Rineka Cipta. 1993.
Yani Nurhayani, Neng. Hukum Perdata. Bandung: Pustaka Setia. 2015.

26

Anda mungkin juga menyukai