Di Susun Oleh:
Kelompok 2
MAGISTER KENOTARIATAN
i
DAFTAR ISI
1. PENDAHULUAN....................................................................................................................1
1. Latar Belakang..................................................................................................................1
2. PEMBAHASAN......................................................................................................................2
1. Dasar Hukum Keabsahan Perjanjian.................................................................................2
2. Syarat- Syarat Sah Suatu Perjanjian..................................................................................2
A. Syarat subjektif.............................................................................................................3
B. Syarat Objektif..............................................................................................................4
3. Akibat Hukum Tidak Dipenuhinya Syarat Subjektif dan Objektif......................................5
A. Dapat Dibatalkan..........................................................................................................5
B. Batal Demi Hukum........................................................................................................8
4.Perjanjian Sepihak (Perjanjian Baku).....................................................................................9
A. Pengertian Perjanjian Baku..........................................................................................9
B. Syarat Sahnya Perjanjian Baku...................................................................................11
C. Fungsi Perjanjian Baku................................................................................................11
D. Kausa Eksonerasi........................................................................................................12
E. Kausa-Kausa Yang Dilarang Dalam Perjanjian Baku....................................................12
F. Perjanjian-Perjanjian Baku Yang Dibuat Oleh Notaris Dan Permasalahannya............14
3. PENUTUP................................................................................................................................16
1. Kesimpulan.........................................................................................................................16
Daftar Pustaka.............................................................................................................................iii
1. PENDAHULUAN
2. Latar Belakang
1
3. PEMBAHASAN
2
Keempat syarat ini merupakan syarat pokok bagi setiap perjanjian, artinya
setiap perjanjian haruslah memenuhi keempat syarat ini bila ingin menjadi
perjanjian yang sah. Semuanya merupakan syarat pokok bagi setiap perjanjian
dan selain itu dapat bisa juga terdapat syarat tambahan bagi perjanjian tertentu
saja, misalnya perjanjian perdamaian yang harus dibuat dengan tertulis.
Keempat syarat pokok ini dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:
A. Syarat subjektif
1. Kesepakatn
Pengertan dari kesepakatan yaitu bahwa para pihak yang mengadakan
perjanjian itu harus bersepakat, setuju mengenai hal-hal yang pokok dari
perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga
dikehendaki oleh pihak yang lain.Cara mengutarakan kehendak ini bisa
bermacam-macam. Dapat dilakukan secara tegas atau secara diam, dengan
tertulis (melalui akte otentik atau dibawah tangan).
2. Kecakapan
Kecakapan, menurut Pasal 1329 KUHPerdata tiap orang berwenang untuk
membuat perikatan, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk hal itu. Menurut
pasal 1330 KHUPerdata yang tidak cakap membuat perjanjian dapat
dikelompokkan menjadi 3 golongan yaitu :
3
B. Syarat Objektif
4
peraturan Perundang-Undangan, maka oleh sebab itu perjanjiaanya
menjadi tidak sah.
A. Dapat Dibatalkan
5
b. Kekhilafan (dwaling)
Kekhilafan atau kekeliruan (dwaling) terjadi, apabila salah satu
pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau
tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi objek
perjanjian, ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian
itu. Kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa, hingga seandainya orang
itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut, ia tidak akan memberikan
persetujuannya. Contoh kekhilafan mengenai barang, misalnya seseorang
membeli sebuah lukisan yang dikiranya lukisan Basuki Abdullah, tetapi
kemudian ternyata hanya turunan saja. Kekhilafan itu harus diketahui
oleh lawan, atau paling sedikit harus sedemikian rupa sehingga pihak
lawan mengetahui bahwa ia berhadapan dengan seorang yang berada
dalam kekhilafan.
c. Penipuan (bedrog)
Penipuan (bedrog) terjadi apabila satu pihak dengan sengaja
memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai
dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya memberikan
perizinannya. Pihak yang menipu itu bertindak secara aktif untuk
menjerumuskan pihak lawannya. Menurut yurisprudensi, tidak cukup
kalau orang itu hanya melakukan kebohongan mengenai suatu hal saja,
paling sedikit harus ada suatu rangkaian kebohongan atau suatu
perbuatan yang dinamakan tipu muslihat.
Dengan demikian, maka ketidakcakapan seorang dan ketidakbebasan
dalam memberikan perizinan pada suatu perjanjian, memberikan hak kepada
pihak yang tidak cakap dan pihak yang tidak bebas dalam memberikan
sepakatnya itu untuk meminta pembatalan perjanjiannya. Dengan sendirinya
harus dimengerti bahwa pihak lawan dari orang-orang tersebut tidak boleh
meminta pembatalan itu. Hak meminta pembatalan hanya ada pada satu pihak
saja, yaitu pihak yang oleh undang-undang diberi perlindungan untuk itu.
6
Meminta pembatalan oleh Pasal 1454 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dibatasi sampai suatu batas waktu tertentu yaitu 5 tahun. Waktu mana
mulai berlaku (dalam hal ketidakcakapan suatu pihak) sejak orang ini menjadi
cakap menurut hukum. Dalam hal paksaan, sejak hari paksaan itu telah berhenti.
Dalam hal kekhilafan atau penipuan, sejak hari diketahuinya kekhilafan atau
penipuan itu.
Ada dua cara untuk meminta pembatalan perjanjian itu, Pertama pihak
yang berkepentingan secara aktif sebagai penggugat meminta kepada hakim
supaya perjanjian itu dibatalkan. Kedua, menunggu sampai ia digugat di depan
hakim untuk memenuhi perjanjian tersebut. Di depan sidang pengadilan itu, ia
sebagai tergugat mengemukakan bahwa perjanjian tersebut telah disetujuinya
ketika ia masih belum cakap, ataupun disetujui nya karena ia diancam atau
karena ia khilaf mengenai objek perjanjian atau karena ia ditipu. Dan di depan
sidang Pengadilan itu ia memohon kepada hakim supaya perjanjian dibatalkan.
Mengacu pada Pasal 1265 KUHPerdata bahwa suatu syarat batal adalah
syarat yang apabila dipenuhi menghentikan perikatan, dan membawa segala
sesuatu kembali, pada keadaan semula, seolaholah tidak pernah ada suatu
perikatan. Berdasarkan Pasal 1266 KUHPerdata, syarat batal dianggap selalu
dicantumkan dalam persetujuan-perseyujuan yang bertimbal balik manakala
salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal yang demikian
persetujuan tidak batal demi hukum tetapi pembatalan harus dimintakan kepada
hakim. Hal-hal yang harus diperhatikan sebagai syarat pembatalan suatu
perjanjian adalah adanya wanprestasi, dimana wanprestasi selalu dianggap
sebagai syarat batal dalam suatu perjanjian sehingga pihak yang merasa
dirugikan karena pihak lain wanprestasi dapat menuntut pembatalan perjanjian.
Akibat hukum apabila perjanjian dibatalkan diatur dalam Pasal 1451 dan
1452 KUHPerdata menentukan bahwa setiap kebatalan membawa akibat bahwa
semua kebendaan dan orang-orangnya dipulihkan dalam keadaan sebelum
perjanjian dibuat. Pembatalan perjanjian dan pengembalian kepada keadaan
semula bagi orang yang tidak cakap melakukan perjanjian hanya dapat
dilakukan selama barang tersebut masih ada pada pihak lawan atau pihak lawan
7
tersebut telah memperoleh manfaat daripadanya atau berguna bagi
kepentingannya. Pembatalan perjanjian tersebut, menurut ketentuan Pasal 1453
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga menerbitkan kewajiban ganti
kerugian, biaya dan bungan jika ada alasan untuk itu.
Contoh perjanjian yang dapat dibatalkan:
A seorang yang tidak cakap untuk membuat perikatan telah menjual dan
menyerahkan rumahnya kepada B dan karenanya B menjadi pemilik. Akan
tetapi kedudukan B belumlah pasti karena wali dari A atau A sendiri setelah
cukup umur dapat mengajukan kepada hakim agar jual-beli dan penyerahannya
dibatalkan.
8
Batal demi hukum artinya sejak awal tidak pernah lahir suatu perjanjian
sehingga tidak pernah ada perikatan. Sehingga akibat hukum terhadap perjanjian
yang batal demi hukum adalah perjanjian dianggap batal atau bahkan karena
tidak pernah lahir perjanjian, tidak ada akibat hukum apapun sehingga tidak ada
dasar hukum yang dapat dijadikan alas hak untuk melakukan gugatan atau
penuntutan Adapun cntoh perjanjian yang batal demi hukum adalah sebagai
berikut :
A. Pasal 90 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengatakan pengusaha dilarang
membayar upah di bawah upah minimum. Upah minimum tahun 2016
berdasarkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 230 tahun 2015 adalah Rp.
3.100.000,-. Namun dalam perjanjian kerja, ada pasal/ketentuan yang
mengatur bahwa upah anda hanya 2.500.000,-.. dalam konteks ini, pasal
yang mengatur upah anda 2.500.000,- tersebut jelas bertentangan dengan UU
sehingga batal demi hukum, dan wajib merujuk kembali kepada ketentuan
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yaitu Rp.
3.100.000,-
Berdasarkan dasar hukum tersebut karyawan bisa menyampaikan ke
perusahaan agar menyesuaikan ketentuan-ketentuan yang ada di dalam perjanjian
kerja dengan UU yang berlaku sehingga hak-hak Anda sebagai karyawan tidak
dilanggar. Jika tidak ada kesepakatan antara karyawan dan pengusaha terkait hal
itu, karyawan bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial atas
dasar gugatan perselisihan hak dan meminta agar perjanjian kerja tersebut
disesuaikan dengan UU atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
∙ B. Perjanjian bagi hasil atas penjualan barang haram (Narkotika) secara ilegal,
dimana seorang A berjanji membagi hasil atas penjualan narkotika yang
dilakukan dengan B. maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Apabila
terjadi sesuatu dikemudian hari seperti ternyata A lebih banyak mendapatkan
hasil penjualan narkotika tersebut. Secara hukum B tidak dapat menuntut hak
kepada A dikarenakan perjanjian tersebut tidak sah, bertentangan dengan UU
Narkotika dan tidak dibenarkan oleh hukum.
9
Dapat dilihat dalam pasal 1335 KUHPerdata yaitu apabila perjanjian itu
merupakan hal yang dilarang maka tidak memiliki kekuatan mengikat.
Ada sejumlah rumusan mengenai apa itu perjanjian baku didalam bahasa
Inggris diartikan sebagai (contract of adhesion, leonine contract, take-it-or-
leave-it contract, atau boilerplate contract). Namun perjanjian baku (standard
agreement) sebagai suatu perjanjian yang berbagai ketentuannya dibuat secara
sepihak oleh suatu pihak tertentu, maka yang akan dia gunakan untuk
bertransaksi dengan banyak pihak lain yang berkepentingan dengan pokok yang
sama dari perjanjian yang ditawarkannya, selagi “the other party has little or no
ability to negotiate more favorable terms and is thus placed in a “take it or
leave it” position.”
Sulit disangkal, bahwa pembuat perjanjian baku adalah pihak yang daya-
tawarnya lebih kuat atau jauh lebih kuat daripada pihak (atau para pihak) yang
dia tawari perjanjian baku itu. Para pihak yang potensial ditawari perjanjian
baku itu umumnya disebut “konsumen”, yang biasanya memang merupakan
anggota masyarakat biasa yang berurusan misalnya dengan bank atau asuransi,
tetapi bisa juga merupakan para pemasok di kalangan industri atau para petani
dan peternak yang memasok produknya kepada pabrik pengolahan.
10
Perjanjian baku pada umumnya memuat klausula baku, dalam Pasal 1
ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen (UUPK) menetapkan rumusannya sebagai berikut:
11
yang dibuat tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam
hal ini oleh KUHPerdata maupun UUPK, maka perjanjian baku tersebut tidaklah
sah, dan sebaliknya sepanjang perjanjian baku tersebut tidak bertentangan
dengan ketentuan-ketentuan yang telah tercantum maka perjanjian baku tersebut
dapat dinyatakan sah.
Fungsi perjanjian dibedakan menjadi dua, yaitu fungsi yuridis dan fungsi
ekonomis. Fungsi yuridis adalah fungsi yang memberikan kepastian hukum bagi
para pihak. Sedangkan fungsi ekonomis adalah menggerakkan (hak milik)
sumber daya dari nilai penggunaan dari nilai yang lebih rendah menjadi nilai
yang lebih tinggi.
Didalam perkembangannya yang Sebagian besar digunakan dalam dunia
bisnis maka perjanjian baku ini juga ditujukan/berfungsi sebagai sarana untuk
mempraktiskan sebuah perjanjian/kontrak dengan cara mempersiapkan terlebih
dahulu suatu format perjanjian yang didalamnya telah terdapat syarat-syarat
yang telah distandarkan untuk disetujui oleh para pihak yang melakukan suatu
perjanjian tersebut.
D. Kausa Eksonerasi
Perlu dikemukakan bahwa terdapat perjanjian baku yang dibuat tidak secara
sepihak melainkan oleh kedua pihak secara tidak langsung, yaitu perjanjian kerja
antara pemberi kerja dan pekerja yang berbentuk perjanjian baku. Disebut
sebagai perjanjian baku yang dibuat oleh kedua pihak, karena perjanjian kerja
12
antara pemberi kerja dan pekerja (individual labour agreement) yang berbentuk
perjanjian baku harus didasarkan pada perjanjian kerja bersama (collective
labour agreement) yang merupakan kesepakatan kerja antara serikat pekerja
dengan pemberi kerja. Dengan demikian, pada hakikatnya isi atau klausula baku
di dalam perjanjian kerja antara pemberi kerja dan pekerja yang berbentuk
perjanjian baku, merupakan kesepakatan para pihak, yaitu antara pemberi kerja
dengan pekerja.
13
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa
aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang
dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha
untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan
terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
(2) Pelaku usaha dilarang meancantumkan klasula baku yang letak atau
bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti.
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada
dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan
dengan undang-undang ini.
14
dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian
tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, Salinan atau kutipan,
semuanya itu apabila pembuatan akta yang demikian itu, oleh peraturan umum
tidak pula ditugaskan atau dikhususkan kepada atau orang lain.
Peran notaris sebagai Pejabat Umum yang membuat akta otentik sangat
dibutuhkan contohnya dalam kegiatan usaha perbankan, salah satunya adalah
dalam pembuatan akta perjanjian kredit perbankan yang melibatkan nasabah dan
bank guna menjamin kebenaran dari isi yang dituangkan dalam perjanjian kredit
perbankan tersebut, agar secara publik kebenarannya tidak diragukan lagi.
perjanjian kredit yang dibuat oleh pihak bank dilakukan dengan dua bentuk yaitu
perjanjian kredit berupa akta dibawah tangan dan perjanjian kredit berupa akta
notaris.
15
berusaha mencapai kesepakatan yang diperlukan bagi terjadinya perjanjian
melalui proses negosiasi diantara para pihak. Namun, pada dewasa ini
kecenderungan makin memperlihatkan bahwa banyak perjanjian dalam
masyarakat terjadi bukan melalui proses negosiasi yang seimbang diantara para
pihak, tetapi perjanjian itu terjadi dengan cara pihak yang satu telah menyiapkan
syarat-syarat baku pada suatu formulir perjanjian yang telah dicetak sebelumnya
dan kemudian disodorkan kepada pihak lainnya untuk disetujui dengan hampir
tidak memberikan kebebasan sama sekali kepada pihak lainnya untuk
melakukan negosiasi atas syarat-syarat yang disodorkan tersebut.
3. PENUTUP
1. Kesimpulan
Suatu perikatan lahir dikarenakan dua hal, yaitu karena adanya perjanjian dan
karena telah diatur di dalam ketentuan undang-undang. Didalam membuat perjanjian,
haruslah sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku, demi terciptanya
suatu perjanjian yang sah dimata hukum. Perjanjian dalam sistem hukum Perdata
Indonesia diatur dalam Buku III KUHPerdata yaitu tentang perikatan.
Syarat sah suatu perjanjian menjadi hal pokok yang harus ada dalam setiap
perjanjian, dimana suatu perjanjian haruslah sesuai dengan pasal 1320 KUHPerdata
yang memuat tentang syarat subjektif dan syarat objektif. Apabila syarat sah tersebut
tidak terpenuhi maka akan menimbulkan akibat-akibat hukum yaitu suatu perjanjian
dapat dibatalkan dan dapat pula batal demi hukum. Didalam perjanjian juga terdapat
perjanjian baku, dimana perjanjian baku ini telah diatur kausa-kausanya secara khusus
di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.
16
17
Daftar Pustaka
Gunawan, J., & Waluto, B. (2021). Perjanjian Baku: Masalah dan Solusi.
Jakarta:GIZ.
Kusumohamidjojo,Budiono.(2017).Perancangan dan Legalitas
Kontrak.Jakarta:CV Mandar Maju.
Muljadi, Kartini & Gunawan Widjaja. (2006). Perikatan Yang Lahir dari
iii
Tobing,Rudyanil Dorotea.(2014).Hukum Perjanjian
Kredit.Jakarta:Laksamana
Group
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
iv