Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH HUKUM PERIKATAN

PEMBUATAN DAN KEABSAHAN PERJANJIAN

Dosen Pembimbing Mata Kuliah:

Dr. Rembrandt, S.H., M.Pd.

Dr. Yussy A. Mannas, S.H.,M.H.

Di Susun Oleh:

Kelompok 2

Rio Afandi 2220123003

Erik Tridonal 2220123009

Putri Handayani Azhar 2220123015

Sania Savira 2220123021

Leni Mardiana 2220123029

Tito Madewa 2220123035

Fathin Adilah Shauma 2220123041

MAGISTER KENOTARIATAN

TAHUN AJARAN 2022/2023

i
DAFTAR ISI
1. PENDAHULUAN....................................................................................................................1
1. Latar Belakang..................................................................................................................1
2. PEMBAHASAN......................................................................................................................2
1. Dasar Hukum Keabsahan Perjanjian.................................................................................2
2. Syarat- Syarat Sah Suatu Perjanjian..................................................................................2
A. Syarat subjektif.............................................................................................................3
B. Syarat Objektif..............................................................................................................4
3. Akibat Hukum Tidak Dipenuhinya Syarat Subjektif dan Objektif......................................5
A. Dapat Dibatalkan..........................................................................................................5
B. Batal Demi Hukum........................................................................................................8
4.Perjanjian Sepihak (Perjanjian Baku).....................................................................................9
A. Pengertian Perjanjian Baku..........................................................................................9
B. Syarat Sahnya Perjanjian Baku...................................................................................11
C. Fungsi Perjanjian Baku................................................................................................11
D. Kausa Eksonerasi........................................................................................................12
E. Kausa-Kausa Yang Dilarang Dalam Perjanjian Baku....................................................12
F. Perjanjian-Perjanjian Baku Yang Dibuat Oleh Notaris Dan Permasalahannya............14
3. PENUTUP................................................................................................................................16
1. Kesimpulan.........................................................................................................................16
Daftar Pustaka.............................................................................................................................iii
1. PENDAHULUAN

2. Latar Belakang

Hubungan hukum dapat direalisasikan dalam bentuk perjanjian. Hal


tersebut ditujukan agar memudahkan para pihak mengetahui hak dan kewajiban
masing-masing. Perjanjian/kontrak merupakan suatu perbuatan hukum, guna
untuk memperoleh hak dan kewajiban. Setiap perjanjian sebenarnya merupakan
pencerminan maksud/kepentingan dari para pihak untuk mewujudkan tujuan
bersama.
Suatu perjanjian adalah semata-mata untuk suatu persetujuan yang diakui
oleh hukum. Perjanjian pada hakikatnya sering terjadi di dalam masyarakat
bahkan sudah menjadi suatu kebiasaan. Perjanjiaan itu menimbulkan suatu
hubungan hukum yang biasa disebut dengan perikatan, oleh karenanya
Perjanjian merupakan kepentingan yang pokok di dalam dunia usaha dan
menjadi dasar bagi kebanyakan transaksi dagang seperti jual beli barang, tanah,
pemberian kredit, asuransi, pengangkutan barang, pembentukan organisasi usaha
dan termasuk juga menyangkut tenaga kerja.
Dalam pembuatan perjanjian tersebut, agar sah sebagai suatu perikatan
dan memiliki kekuatan hukum yang tetap, maka haruslah ada cara-cara
PEMBUATAN DAN SYARAT-SYARAT KEABSAHAN yang harus
dipenuhi. Di dalam makalah ini kita akan membahas lebih lanjut mengenai
bagaimana tercapainya suatu pembuatan perjanjian serta syarat keabsahan
perjanjian tersebut, dan di dalam makalah ini juga akan membahas mengenai
perjanjian sepihak/perjanjian baku.

1
3. PEMBAHASAN

1. Dasar Hukum Keabsahan Perjanjian

Perjanjian merupakan sumber perikatan selain Kitab Undang – Undang


Hukum Perdata dalam hukum perikatan. Pasal 1233 KUHPerdata menyatakan
bahwa suatu perikatan dapat dilahirkan karena perjanjian atau karena Undang –
Undang. Dalam perikatan, hubungan hukum yang sering terjadi adalah
berdasarkan perjanjian, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa perjanjian
mempunyai peranan yang sangat penting dalam setiap perikatan. Perjanjian
dalam sistem hukum Perdata Indonesia diatur dalam Buku III KUHPerdata Pasal
1313 yang memberikan pengertian tentang perjanjian yaitu : “suatu perjanjian
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih”.
Hubungan dengan dua orang tersebut adalah suatu hubungan hukum
dimana hak dan kewajiban diantara para pihak tersebut dijamin oleh hukum.
Sebuah perjanjian dapat menimbulkan perikatan, yang dalam bentuknya berupa
suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji atau kesanggupan yang
diucapkan atau ditulis. Pada Pasal 1333 KHUPerdata menyaratkan bahwa
perjanjian harus membuat sesuatu hal tertentu yang diperjanjikan yaitu bahwa
dalam perjanjian harus terdapat objek yang diperjanjikan oleh pihak. Objek
perjanjian dapat berupa sesuatu barang atu benda atau berupa prestasi (sesuatu
hal pokok yang hendak dicapai).

4. Syarat- Syarat Sah Suatu Perjanjian

Pasal 1320 KUHPerdata menyatakan untuk sahnya suatu perjanjian-


perjanjian maka diperlukannya 4 syarat, yaitu :

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri (agreement consensus)


2. Kecakapan (capacity)
3. Suatu hal tertentu (certainty of terms)
4. Kausa yang halal (consederation)

2
Keempat syarat ini merupakan syarat pokok bagi setiap perjanjian, artinya
setiap perjanjian haruslah memenuhi keempat syarat ini bila ingin menjadi
perjanjian yang sah. Semuanya merupakan syarat pokok bagi setiap perjanjian
dan selain itu dapat bisa juga terdapat syarat tambahan bagi perjanjian tertentu
saja, misalnya perjanjian perdamaian yang harus dibuat dengan tertulis.

Keempat syarat pokok ini dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:

A. Syarat subjektif

1. Kesepakatn
Pengertan dari kesepakatan yaitu bahwa para pihak yang mengadakan
perjanjian itu harus bersepakat, setuju mengenai hal-hal yang pokok dari
perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga
dikehendaki oleh pihak yang lain.Cara mengutarakan kehendak ini bisa
bermacam-macam. Dapat dilakukan secara tegas atau secara diam, dengan
tertulis (melalui akte otentik atau dibawah tangan).

2. Kecakapan
Kecakapan, menurut Pasal 1329 KUHPerdata tiap orang berwenang untuk
membuat perikatan, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk hal itu. Menurut
pasal 1330 KHUPerdata yang tidak cakap membuat perjanjian dapat
dikelompokkan menjadi 3 golongan yaitu :

1. Anak yang belum dewasa


2. Orang yang berada dibawah pengampuan
3. Perempuan bersuami

Sekarang ini, setelah dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor


3/1963 dan setelah berlakunya undang-Undang Perkawinan nomr 1/1974 tinggal
dua golongan yang tidak cakap membuat perikatan yaitu anak yang belum dewasa
dan orang yang berada di bawah pengampuan (curatele). Jadi, bagi orang dewasa
(isteri) yang tidak ditaruh dibawah pengampuan mereka adalah cakap atau subjek
hukum.

3
B. Syarat Objektif

Syarat objektif yaitu syarat yang berhubungan dengan objeknya, yang


terdiri dari :

a. Suatu hal tertentu


Mengenai suatu hal tertentu maksudnya ialah bahwa objek
perjanjian harus tertentu atau harus memiliki objek yang jelas, tidak
hanya berupa barang tapi juga dalam bentuk jasa, setidak-tidaknya
harus dapat ditentukan jenisnya, sesuai dengan pasal 1333
KUHPerdata. Dan barang yang baru akan ada dikemudian hari pun
dapat menjadi objek suatu perjanjian, sesuai dengan pasal 1334
KUHPerdata.
Contohnya : Bapak Tito menjual mobil Innovanya kepada bapak
Rio, di dalam perjanjian antara bapak Tito dan Bapak Rio maka
bapak Tito haruslah jelas dalam memberikan keterangan tentang
kondisi mobil Innova tersebut, seperti jenis mobil, tipe, warna mobil,
dan lain-lain.
b. Kausa yang halal
Kausa yang halal adalah bukan hal yang menyebabkan perjanjian,
tetapi isi dari perjanjian itu sendiri. Isi perjanjian walaupun menganut
system terbuka, namun tetaplah tidak boleh bertentangan dengan
hukum yang berlaku sesuai dengan Undang-Undang, kesusilaan,
maupun ketertiban umum (pasal 1337 KUHPerdata).
Sebab dikatakan yang tidak halal adalah sebab dilarang oleh
Undang-Undang, berlawanan dengan norma kesusilaan atau
ketertiban umum. Nilai-nilai kesusilaan serta ketertiban umum
sendiri ditentukan berdasarkan nilai-nilai yang dianut oleh
masyarakat dimana perjanjian itu dibuat.
Contohnya : jika ada orang yang membuat janji akan sama-sama
merampok toko emas, maka perjanjiannya ini bertentangan dengan

4
peraturan Perundang-Undangan, maka oleh sebab itu perjanjiaanya
menjadi tidak sah.

3. Akibat Hukum Tidak Dipenuhinya Syarat Subjektif dan Objektif

A. Dapat Dibatalkan

Apabila suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif dari sahnya


suatu perjanjian (Pasal 1320 KUHPerdata) yaitu “sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya” dan “cakap untuk membuat suatu perjanjian” yang
menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian, maka perjanjian
tersebut dapat dibatalkan. Dapat dibatalkan artinya salah satu pihak dapat
memintakan pembatalan itu kepada Hakim melalui Pengadilan. Sehingga,
selama tidak ada permintaan pembatalan perjanjian ke pengadilan, maka
perjanjian tersebut tetap mengikat pihak-pihak yang ada di dalam perjanjian
tersebut.
Pembatalan perjanjian tersebut dapat dimintakan jika:
1.1 Tidak telah terjadi kesepakatan bebas dari pihak yang membuat
perjanjian, baik karena telah terjadi kekhilafan, paksaan atau penipuan
pada salah pihak dalam perjanjian pada saat perjanjian itu dibuat (Pasal
1321 sampai dengan Pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);
1.2 Salah satu pihak dalam perjanjian tidak cakap bertindak dalam hukum
(Pasal 1330 sampai dengan Pasal 1331 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata), dan atau tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan
atau perbuatan hukum tertentu.
Persetujuan kedua belah pihak yang merupakan kesepakatan itu, harus
diberikan secara bebas. Dalam hukum perjanjian, ada 3 (tiga) sebab yang
membuat perizinan tidak bebas, yaitu:
a. Paksaan (dwang)
Paksaan (dwang) adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (phsycis),
jadi bukan paksaan badan (fisik). Misalnya salah satu pihak, karena
diancam atau ditakut-takuti terpaksa menyetujui suatu perjanjian.

5
b. Kekhilafan (dwaling)
Kekhilafan atau kekeliruan (dwaling) terjadi, apabila salah satu
pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau
tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi objek
perjanjian, ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian
itu. Kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa, hingga seandainya orang
itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut, ia tidak akan memberikan
persetujuannya. Contoh kekhilafan mengenai barang, misalnya seseorang
membeli sebuah lukisan yang dikiranya lukisan Basuki Abdullah, tetapi
kemudian ternyata hanya turunan saja. Kekhilafan itu harus diketahui
oleh lawan, atau paling sedikit harus sedemikian rupa sehingga pihak
lawan mengetahui bahwa ia berhadapan dengan seorang yang berada
dalam kekhilafan.
c. Penipuan (bedrog)
Penipuan (bedrog) terjadi apabila satu pihak dengan sengaja
memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai
dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya memberikan
perizinannya. Pihak yang menipu itu bertindak secara aktif untuk
menjerumuskan pihak lawannya. Menurut yurisprudensi, tidak cukup
kalau orang itu hanya melakukan kebohongan mengenai suatu hal saja,
paling sedikit harus ada suatu rangkaian kebohongan atau suatu
perbuatan yang dinamakan tipu muslihat.
Dengan demikian, maka ketidakcakapan seorang dan ketidakbebasan
dalam memberikan perizinan pada suatu perjanjian, memberikan hak kepada
pihak yang tidak cakap dan pihak yang tidak bebas dalam memberikan
sepakatnya itu untuk meminta pembatalan perjanjiannya. Dengan sendirinya
harus dimengerti bahwa pihak lawan dari orang-orang tersebut tidak boleh
meminta pembatalan itu. Hak meminta pembatalan hanya ada pada satu pihak
saja, yaitu pihak yang oleh undang-undang diberi perlindungan untuk itu.

6
Meminta pembatalan oleh Pasal 1454 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dibatasi sampai suatu batas waktu tertentu yaitu 5 tahun. Waktu mana
mulai berlaku (dalam hal ketidakcakapan suatu pihak) sejak orang ini menjadi
cakap menurut hukum. Dalam hal paksaan, sejak hari paksaan itu telah berhenti.
Dalam hal kekhilafan atau penipuan, sejak hari diketahuinya kekhilafan atau
penipuan itu.
Ada dua cara untuk meminta pembatalan perjanjian itu, Pertama pihak
yang berkepentingan secara aktif sebagai penggugat meminta kepada hakim
supaya perjanjian itu dibatalkan. Kedua, menunggu sampai ia digugat di depan
hakim untuk memenuhi perjanjian tersebut. Di depan sidang pengadilan itu, ia
sebagai tergugat mengemukakan bahwa perjanjian tersebut telah disetujuinya
ketika ia masih belum cakap, ataupun disetujui nya karena ia diancam atau
karena ia khilaf mengenai objek perjanjian atau karena ia ditipu. Dan di depan
sidang Pengadilan itu ia memohon kepada hakim supaya perjanjian dibatalkan.
Mengacu pada Pasal 1265 KUHPerdata bahwa suatu syarat batal adalah
syarat yang apabila dipenuhi menghentikan perikatan, dan membawa segala
sesuatu kembali, pada keadaan semula, seolaholah tidak pernah ada suatu
perikatan. Berdasarkan Pasal 1266 KUHPerdata, syarat batal dianggap selalu
dicantumkan dalam persetujuan-perseyujuan yang bertimbal balik manakala
salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal yang demikian
persetujuan tidak batal demi hukum tetapi pembatalan harus dimintakan kepada
hakim. Hal-hal yang harus diperhatikan sebagai syarat pembatalan suatu
perjanjian adalah adanya wanprestasi, dimana wanprestasi selalu dianggap
sebagai syarat batal dalam suatu perjanjian sehingga pihak yang merasa
dirugikan karena pihak lain wanprestasi dapat menuntut pembatalan perjanjian.
Akibat hukum apabila perjanjian dibatalkan diatur dalam Pasal 1451 dan
1452 KUHPerdata menentukan bahwa setiap kebatalan membawa akibat bahwa
semua kebendaan dan orang-orangnya dipulihkan dalam keadaan sebelum
perjanjian dibuat. Pembatalan perjanjian dan pengembalian kepada keadaan
semula bagi orang yang tidak cakap melakukan perjanjian hanya dapat
dilakukan selama barang tersebut masih ada pada pihak lawan atau pihak lawan

7
tersebut telah memperoleh manfaat daripadanya atau berguna bagi
kepentingannya. Pembatalan perjanjian tersebut, menurut ketentuan Pasal 1453
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga menerbitkan kewajiban ganti
kerugian, biaya dan bungan jika ada alasan untuk itu.
Contoh perjanjian yang dapat dibatalkan:
A seorang yang tidak cakap untuk membuat perikatan telah menjual dan
menyerahkan rumahnya kepada B dan karenanya B menjadi pemilik. Akan
tetapi kedudukan B belumlah pasti karena wali dari A atau A sendiri setelah
cukup umur dapat mengajukan kepada hakim agar jual-beli dan penyerahannya
dibatalkan.

B. Batal Demi Hukum

Suatu perjanjian dikatakan batal demi hukum, dalam pengertian tidak


dapat dipaksakan pelaksanaannya jika terjadi pelanggaran terhadap syarat
objektif dari sahnya suatu perikatan (Pasal 1320 KUHPerdata) yaitu “suatu hal
tertentu” dan “sebab yang halal” yang menyangkut objek perjanjian. Keharusan
akan adanya suatu hal tertentu yang menjadi objek dalam perjanjian ini
dirumuskan dalam Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 KUHPerdata; yang
diikuti dengan Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1336 KUHPerdata yang
mengatur mengenai rumusan sebab yang halal, yaitu sebab yang tidak dilarang
oleh undang-undang dan tidak berlawanan dengan kesusilaan baik atau
ketertiban umum.
Perjanjian yang tidak mengandung sesuatu hal tertentu, dapat dikatakan
bahwa perjanjian yang demikian tidak dapat dilaksanankan karena tidak terang
apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak. Keadaan tersebut dapat seketika
dilihat oleh hakim. Tentang perjanjian yang isinya tidak halal, teranglah bahwa
perjanjian yang demikian itu tidak boleh dilaksanakan karena melanggar hukum
atau kesusilaan. Hal yang demikian juga seketika dapat diketahui oleh hakim.
Dari sudut keamanan dan ketertiban, jelaslah bahwa perjanjian-perjanjian seperti
itu haris dicegah.

8
Batal demi hukum artinya sejak awal tidak pernah lahir suatu perjanjian
sehingga tidak pernah ada perikatan. Sehingga akibat hukum terhadap perjanjian
yang batal demi hukum adalah perjanjian dianggap batal atau bahkan karena
tidak pernah lahir perjanjian, tidak ada akibat hukum apapun sehingga tidak ada
dasar hukum yang dapat dijadikan alas hak untuk melakukan gugatan atau
penuntutan Adapun cntoh perjanjian yang batal demi hukum adalah sebagai
berikut :
A. Pasal 90 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengatakan pengusaha dilarang
membayar upah di bawah upah minimum. Upah minimum tahun 2016
berdasarkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 230 tahun 2015 adalah Rp.
3.100.000,-. Namun dalam perjanjian kerja, ada pasal/ketentuan yang
mengatur bahwa upah anda hanya 2.500.000,-.. dalam konteks ini, pasal
yang mengatur upah anda 2.500.000,- tersebut jelas bertentangan dengan UU
sehingga batal demi hukum, dan wajib merujuk kembali kepada ketentuan
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yaitu  Rp.
3.100.000,-
Berdasarkan dasar hukum tersebut karyawan bisa menyampaikan ke
perusahaan agar menyesuaikan ketentuan-ketentuan yang ada di dalam perjanjian
kerja dengan UU yang berlaku sehingga hak-hak Anda sebagai karyawan tidak
dilanggar. Jika tidak ada kesepakatan antara karyawan dan pengusaha terkait hal
itu, karyawan bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial atas
dasar gugatan perselisihan hak dan meminta agar perjanjian kerja tersebut
disesuaikan dengan UU atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
∙ B. Perjanjian bagi hasil atas penjualan barang haram (Narkotika) secara ilegal,
dimana seorang A berjanji membagi hasil atas penjualan narkotika yang
dilakukan dengan B. maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Apabila
terjadi sesuatu dikemudian hari seperti ternyata A lebih banyak mendapatkan
hasil penjualan narkotika tersebut. Secara hukum B tidak dapat menuntut hak
kepada A dikarenakan perjanjian tersebut tidak sah, bertentangan dengan UU
Narkotika dan tidak dibenarkan oleh hukum.

9
Dapat dilihat dalam pasal 1335 KUHPerdata yaitu apabila perjanjian itu
merupakan hal yang dilarang maka tidak memiliki kekuatan mengikat.

4.Perjanjian Sepihak (Perjanjian Baku)

A. Pengertian Perjanjian Baku

Menurut (Gunawan & Waluto, 2021) Perjanjian baku merupakan perjanjian


tertulis yang isi, bentuk, maupun cara pembuatannya ditetapkan secara sepihak
oleh pelaku usaha barang dan/atau penyedia jasa, digandakan dan ditawarkan
kepada konsumen secara masal.

Ada sejumlah rumusan mengenai apa itu perjanjian baku didalam bahasa
Inggris diartikan sebagai (contract of adhesion, leonine contract, take-it-or-
leave-it contract, atau boilerplate contract). Namun perjanjian baku (standard
agreement) sebagai suatu perjanjian yang berbagai ketentuannya dibuat secara
sepihak oleh suatu pihak tertentu, maka yang akan dia gunakan untuk
bertransaksi dengan banyak pihak lain yang berkepentingan dengan pokok yang
sama dari perjanjian yang ditawarkannya, selagi “the other party has little or no
ability to negotiate more favorable terms and is thus placed in a “take it or
leave it” position.”

Sulit disangkal, bahwa pembuat perjanjian baku adalah pihak yang daya-
tawarnya lebih kuat atau jauh lebih kuat daripada pihak (atau para pihak) yang
dia tawari perjanjian baku itu. Para pihak yang potensial ditawari perjanjian
baku itu umumnya disebut “konsumen”, yang biasanya memang merupakan
anggota masyarakat biasa yang berurusan misalnya dengan bank atau asuransi,
tetapi bisa juga merupakan para pemasok di kalangan industri atau para petani
dan peternak yang memasok produknya kepada pabrik pengolahan.

10
Perjanjian baku pada umumnya memuat klausula baku, dalam Pasal 1
ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen (UUPK) menetapkan rumusannya sebagai berikut:

“Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat


yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh
pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang
mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.”

Artinya, UUPK mengisyaratkan bahwa perjanjian baku memang


merupakan tawaran yang bersifat “take it or leave it” dari pelaku usaha kepada
para calon konsumen. Pelaku usaha sebagai pembuat perjanjian baku sudah tahu
betul apa yang hendak dia tawarkan, maupun apa yang hendak dia dapatkan
sebagai kontra-prestasi dari konsumen.

Dari uraian diatas dapat dikemukakan bahwa perjanjian baku/perjanjian


standar (standart from contracts/standardized contracts/adehesion contracts)
adalah perjanjian tertulis yang berupa dokumen, yang isi, bentuk, serta cara
penutupannya telah dibakukan secara sepihak oleh salah satu pihak, kemudian
digandakan, dan digunakan secara masal tanpa mempertimbangkan perbedaan
kondisi yang dimiliki oleh para pihak (take-it or leave-it contracts) di dalam
perjanjian baku terdapat satu atau lebih ketentuan, dapat berupa pasal, yang
disebut sebagai klausula baku/klausula standar (standardized
clauses/standardized terms).

B. Syarat Sahnya Perjanjian Baku

Pasal 1320 KUHPeradata menentukan adanya 4 (empat) syarat sahnya suatu


perjanjian, yakni adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya,
kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, dan
Suatu sebab (causa) yang halal.
Di dalam Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (UUPK) khususnya pasal 18, juga mengatur tentang kausa-kausa
yang dilarang didalam pembuatan perjanjian baku maka apabila perjanjian baku

11
yang dibuat tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam
hal ini oleh KUHPerdata maupun UUPK, maka perjanjian baku tersebut tidaklah
sah, dan sebaliknya sepanjang perjanjian baku tersebut tidak bertentangan
dengan ketentuan-ketentuan yang telah tercantum maka perjanjian baku tersebut
dapat dinyatakan sah.

C. Fungsi Perjanjian Baku

Fungsi perjanjian dibedakan menjadi dua, yaitu fungsi yuridis dan fungsi
ekonomis. Fungsi yuridis adalah fungsi yang memberikan kepastian hukum bagi
para pihak. Sedangkan fungsi ekonomis adalah menggerakkan (hak milik)
sumber daya dari nilai penggunaan dari nilai yang lebih rendah menjadi nilai
yang lebih tinggi.
Didalam perkembangannya yang Sebagian besar digunakan dalam dunia
bisnis maka perjanjian baku ini juga ditujukan/berfungsi sebagai sarana untuk
mempraktiskan sebuah perjanjian/kontrak dengan cara mempersiapkan terlebih
dahulu suatu format perjanjian yang didalamnya telah terdapat syarat-syarat
yang telah distandarkan untuk disetujui oleh para pihak yang melakukan suatu
perjanjian tersebut.

D. Kausa Eksonerasi

Klausula eksonerasi atau klausula eksemsi adalah ketentuan berupa pasal


dalam perjanjian baku yang berisi penambahan, pengurangan, pembatasan
secara sepihak atas hak dan kewajiban salah satu pihak oleh pihak lain yang
menetapkan isi, bentuk, serta cara penutupan perjanjian baku.

Perlu dikemukakan bahwa terdapat perjanjian baku yang dibuat tidak secara
sepihak melainkan oleh kedua pihak secara tidak langsung, yaitu perjanjian kerja
antara pemberi kerja dan pekerja yang berbentuk perjanjian baku. Disebut
sebagai perjanjian baku yang dibuat oleh kedua pihak, karena perjanjian kerja

12
antara pemberi kerja dan pekerja (individual labour agreement) yang berbentuk
perjanjian baku harus didasarkan pada perjanjian kerja bersama (collective
labour agreement) yang merupakan kesepakatan kerja antara serikat pekerja
dengan pemberi kerja. Dengan demikian, pada hakikatnya isi atau klausula baku
di dalam perjanjian kerja antara pemberi kerja dan pekerja yang berbentuk
perjanjian baku, merupakan kesepakatan para pihak, yaitu antara pemberi kerja
dengan pekerja.

E. Kausa-Kausa Yang Dilarang Dalam Perjanjian Baku

Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengatur mengenai pencantuman


klausula baku terdapat dalam Pasal 18, yang diuraikan sebagai berikut :

(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang/jasa yang ditujukan untuk


diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku
pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli oleh konsumen
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli
oleh konsumen
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha
baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala
tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa
atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual
beli jasa

13
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa
aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang
dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha
untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan
terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
(2) Pelaku usaha dilarang meancantumkan klasula baku yang letak atau
bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti.
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada
dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan
dengan undang-undang ini.

Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 18 ayat (1) Undang-undang


Perlindungan Konsumen tersebut di atas akan mengakibatkan perjanjian yang
dibuat oleh para pihak batal demi hukum, sebagaimana dalam ketentuan Pasal
18 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Perjanjian dengan
klausula baku tidak hanya mendapat akibat hukum batal demi hukum apabila
melanggar ketentuan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan
Konsumen. Batal demi hukum juga terjadi apabila perjanjian dengan klausula
baku tidak dapat memenuhi syarat objektif, sesuai yang diatur oleh Pasal 1320
KUHPerdata, sedangkan apabila syarat subjektif terpenuhi, yaitu tidak cakap
atau bebas dalam membuat perikatan maka perjanjian dapat dimintakan
pembatalan.

F. Perjanjian-Perjanjian Baku Yang Dibuat Oleh Notaris Dan Permasalahannya

Notaris adalah pejabat umum khusus (satu-satunya), yang berwenang untuk


membuat akta-akta otentik tentang semua perbuatan, perjanjian dan penetapan
yang diharuskan oleh peraturan umum atau oleh yang berkepentingan

14
dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian
tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, Salinan atau kutipan,
semuanya itu apabila pembuatan akta yang demikian itu, oleh peraturan umum
tidak pula ditugaskan atau dikhususkan kepada atau orang lain.

Peran notaris sebagai Pejabat Umum yang membuat akta otentik sangat
dibutuhkan contohnya dalam kegiatan usaha perbankan, salah satunya adalah
dalam pembuatan akta perjanjian kredit perbankan yang melibatkan nasabah dan
bank guna menjamin kebenaran dari isi yang dituangkan dalam perjanjian kredit
perbankan tersebut, agar secara publik kebenarannya tidak diragukan lagi.
perjanjian kredit yang dibuat oleh pihak bank dilakukan dengan dua bentuk yaitu
perjanjian kredit berupa akta dibawah tangan dan perjanjian kredit berupa akta
notaris.

Pada umumnya perjanjian kredit tersebut dibuat dengan bentuk perjanjian


baku, yaitu pihak bank dan pihak debitur menadatangani suatu perjanjian yang
sebelumnya telah dipersiapkan isi atau klausul-klausulnya oleh bank dalam
suatu formulir tercetak. Dalam hal perjanjian dibuat dengan akta notaris, maka
bank akan meminta notaris berpedoman kepada model perjanjian kredit dari
bank yang bersangkutan. Notaris dalam hal ini diminta untuk berpedoman
terhadap klausul-klausul dari model perjanjian kredit bank yang bersangkutan.

Dalam pembuatan perjanjian kredit bank yang menggunakan klausula baku


yaitu pada saat membuat perjanjian kredit, Pada umumnya di dalam praktik
perbankan yang lazim di Indonesia, perjanjian kredit bank yang dipakai adalah
perjanjian standar atau perjanjian baku yang klausulklausulnya telah disusun
sebelumnya oleh bank, sehingga nasabah sebagai calon debitur hanya
mempunyai pilihan antara menerima seluruh isi klausul-klausul itu baik
sebagian atau seluruhnya atau menolak yang berakibat nasabah tidak menerima
kredit tersebut.

Pada mulanya, suatu perjanjian terjadi berlandaskan asas kebebasan


berkontrak diantara para pihak yang mempunyai kedudukan yang seimbang dan

15
berusaha mencapai kesepakatan yang diperlukan bagi terjadinya perjanjian
melalui proses negosiasi diantara para pihak. Namun, pada dewasa ini
kecenderungan makin memperlihatkan bahwa banyak perjanjian dalam
masyarakat terjadi bukan melalui proses negosiasi yang seimbang diantara para
pihak, tetapi perjanjian itu terjadi dengan cara pihak yang satu telah menyiapkan
syarat-syarat baku pada suatu formulir perjanjian yang telah dicetak sebelumnya
dan kemudian disodorkan kepada pihak lainnya untuk disetujui dengan hampir
tidak memberikan kebebasan sama sekali kepada pihak lainnya untuk
melakukan negosiasi atas syarat-syarat yang disodorkan tersebut.

3. PENUTUP

1. Kesimpulan

Suatu perikatan lahir dikarenakan dua hal, yaitu karena adanya perjanjian dan
karena telah diatur di dalam ketentuan undang-undang. Didalam membuat perjanjian,
haruslah sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku, demi terciptanya
suatu perjanjian yang sah dimata hukum. Perjanjian dalam sistem hukum Perdata
Indonesia diatur dalam Buku III KUHPerdata yaitu tentang perikatan.

Syarat sah suatu perjanjian menjadi hal pokok yang harus ada dalam setiap
perjanjian, dimana suatu perjanjian haruslah sesuai dengan pasal 1320 KUHPerdata
yang memuat tentang syarat subjektif dan syarat objektif. Apabila syarat sah tersebut
tidak terpenuhi maka akan menimbulkan akibat-akibat hukum yaitu suatu perjanjian
dapat dibatalkan dan dapat pula batal demi hukum. Didalam perjanjian juga terdapat
perjanjian baku, dimana perjanjian baku ini telah diatur kausa-kausanya secara khusus
di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.

16
17
Daftar Pustaka

Gunawan, J., & Waluto, B. (2021). Perjanjian Baku: Masalah dan Solusi.
Jakarta:GIZ.
Kusumohamidjojo,Budiono.(2017).Perancangan dan Legalitas
Kontrak.Jakarta:CV Mandar Maju.
Muljadi, Kartini & Gunawan Widjaja. (2006). Perikatan Yang Lahir dari

Perjanjian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.


Meliala,Djaja S, (2007).Perkembangan Hukum Perdata Tentang
Belanda dan
Hukum Perikatan,Bandung:CV Nuansa Aulia.
Miru, Ahmadi. (2011). Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak.
Jakarta:
Rajawali Pers.
Ridwan Khaerandy, (1992). Aspek-aspek Hukum Franchise dan
keberadaannya
dalam hukum Indonesia, Yogyakarta: Majalah Unisa UII.
Rusli Hardijan,(1993).Hukum Perjanjian Indonesia Dan Common
Law,Jakarta:Pustaka Sinar Harapan.
R.Setiawan. (1994). Pokok-pokok Hukum Perikatan. Bandung:
Binacipta.
Salim, (2003) Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia,
Jakarta :
Sinar Grafika.
Soerodjo,Irawan,(2021).Hukum Kerjasama Perjanjian Operasi (KSO) (Joint
Operation J.O),Jakarta:LaksBang Justitia
Subekti dan Tjitrosudibio, (2003). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Jakarta : Pradnya Paramita.
(2005). Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermassa.
Tobing, G.H.S Lumban,(1983).Peraturan Jabatan Notaris,Jakarta:Erlangga

iii
Tobing,Rudyanil Dorotea.(2014).Hukum Perjanjian
Kredit.Jakarta:Laksamana
Group
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

iv

Anda mungkin juga menyukai