Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

SYARAT SAHNYA KONTRAK

Disusun Oleh:
1. HAMDI SALIM
2. HUMAIDI
3. RASYID RIDHO ALMUSANNIF
4. SYILFIA
5. ZINNURAIN HASAN

Dosen Pengampu:
Abdul Hafiz Sahroni, M.H

HUKUM EKONOMI SYARI’AH


FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM HAMZANWADI NW LOMBOK TIMUR
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “SYARAT
SAHNYA KONTRAK” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari
dosen pada mata kuliah Legal and Contract Drafting Bisnis Islam. Selain itu, makalah
ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang syarat sahnya kontrak bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Hafiz Sahroni, M.H. selaku dosen mata
kuliah Legal and Contract Drafting Bisnis Islam yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang
kami tekuni. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................... 2

DAFTAR ISI.................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 4

A. LATAR BELAKANG.......................................................................... 4

B. RUMUSAN MASALAH...................................................................... 5

C. TUJUAN............................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................. 6

A. PENGERTIAN KONTRAK................................................................. 6

B. SYARAT SAHNYA KONTRAK........................................................ 7

BAB III PENUTUP.......................................................................................... 12

KESIMPULAN................................................................................................. 12

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 13

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Negara Indonesia adalah Negara Hukum oleh karenanya di dalam dunia hukum,
setiap perkataan atau perbuatan orang (person) berarti menjadi pendukung hak dan
kewajiban yang juga disebut subjek hukum, termasuk didalamnya adalah badan hukum
(recht person). Dengan demikian boleh dikatakan bahwa setiap manusia baik warga
Negara maupun orang asing adalah pembawa hak yang mempunyai hak dan kewajiban
untuk melakukan perbuatan hukum termasuk melakukan perjanjian dengan pihak lain.
Meskipun setiap subjek hukum mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan
perbuatan hukum, namun perbuatan tersebut harus didukung oleh kecakapan dan
kewenangan hukum yang lazim disebut dengan rechtsbekwaamheid (kecakapan hukum)
dan rehtsbevoegdlheid (kewenangan hukum). Setiap orang/subjek hukum mempunyai
kecakapan hukum untuk melakukan perbuatan hukum seperti melakukan perjanjian,
menikah dan lain sebagainya sepanjang dianggap cakap hukum oleh undang-undang.
Suatu kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu kata
sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal, sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian
tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para
pihak yang membuatnya. 1
Masyarakat di Indonesian dalam melakukan perjanjian masih banyak yang
melakukan dengan perjanjian lisan, walaupun perjanjian lisan tidak dilarang oleh KUH
Perdata namun, perjanjian lisan tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat
dibandingkan perjanjian dalam bentuk tertulis. Menurut Sudikno Mertokusumo
perjanjian yang dibuat secara tertulis dihadapan notaris atau pejabat pemerintahan
memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.2 Hal ini dikarenakan kurangnya
pemahaman masyarakat terhadap pentingnya melakukan perjanjian tertulis. Banyak
pula masyarakat yang melakukan perjanjian tertulis namun perjanjian tersebut tidak

1
Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Prenada Media, Jakarta, 2004, hlm. 1.
2
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Yogyakarta Liberty, 1999.

4
memenuhi syarat sahnya perjanjian yang terkandung dalam pasal 1320 KUH Perdata.
Oleh karenanya, penulis mencoba membahas mengenai seluk beluk perjanjian. Agar
dapat dijadikan pembelajaran bagi masyarakat menegenai suatu perjanjian atau kontrak.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan kontrak ?
2. Apa syarat sah perjanjian ?

C. TUJUAN
1. Memahami apa yang dimaksud dengan kontrak
2. Mengetahui apa saja syarat sahnya kontrak

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN KONTRAK
Kontrak atau perjanjian adalah merupakan bagian dari hukum perdata yang diatur
dalam buku ketiga Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Menurut Pasal 1313 KUH
Perdata, definisi perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lainnya atau lebih. Dalam Black’s Law
Dictionary Contract didefinisikan sebagai suatu perjanjian antara dua orang atau lebih
yang menciptakan kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu hal yang khusus.
Lebih lanjut I.G Rai Wijaya (2002) menjelaskan pengertian kontrak adalah suatu
perjanjian yang dituangkan dalam tulisan atau perjanjian tertulis. 3 Secara sederhana
Subekti (2003) menjelaskan pengertian perjanjian adalah suatu peristiwa dimana
seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan suatu hal. Sehingga dapat disimpulkan bahwa suatu perjanjian adalah
perikatan antara pihak-pihak yang membuat perjanjian.
Jadi, sebenarnya yang dimaksud dengan hukum kontrak adalah merupakan suatu
perangkat kaidah hukum yang mengatur tentang hubungan hukum antara dua pihak atau
lebih untuk yang satu mengikat dirinya kepada yang lain, atau diantara keduanya saling
mengikatkan diri yang menimbulkan hak dan/atau kewajiban satu sama lain, untuk
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. 4
Sedangkan pengertian perjanjian menurut para ahli adalah sebagai berikut:

1. Menurut pendapat Sri Soedewi Masjchoen Sofwan menyebutkan bahwa perjanjin itu
adalah “suatu peruatan hukum dimana seorarng atau lebih mengingatkan dirinya
terhadap seorang lain atau lebih”.
2. Menurut R wirjono Prodjodikoro menyebutkan sebagai berikut “suatu perjanjian
diartikan sebagai suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua
pihak , dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu
hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut
pelaksanaan janji itu”.

3
I.G. Rai Wijaya, Merancang Suatu Kontrak (Contract Drafting),Kesain Blanc, Jakarta.
4
Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, hlm. 180.

6
3. A,Qirom Samsudin Meliala bahwa perjanjian adalah “suatu peristiwa dimana
seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana seorang lain itu saling berjanji
untuk melaksanakan sesuatu hal” 5
Berbagai definisi di atas, dapat dikemukakan unsur-unsur yang tercantum
dalam perjanjian sebagai berikut : Pertama, Adanya Kaidah Hukum. Kaidah dalam
hukum kontrak dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu tertulis dan tidak tertulis.
Kaidah hukum kontrak tertulis adalah kaidah kaidah hukum yang terdapat di dalam
peraturan undang-undang, traktat dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum
kontrak tidak tertulis adalah kaidah kaidah hukum yang timbul, tumbuh, dan hidup
dalam masyarakat. Contoh jual beli lepas, jual beli tahunan dan lain- lain. Konsep-
konsep hukum ini berasal dari hukum adat. Kedua, Subjek Hukum istilah lain dari
subjek hukum adalah rechtsperson, Rechtsperson diartikan sebagai pendukung hak
dan kewajiban. Yang menjadi subjek hukum dalam hukum perjanjian adalah kreditur
dan debitur. Kreditur adalah orang yang berpiutang, sedangkan debitur adalah orang
yang memiliki utang.
Ketiga, Adanya Prestasi. Prestasi adalah apa yang menjadi hak kreditur dan
kewajiban debitur, prestasi terdiri dari Memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, Tidak
berbuat sesuatu. Keempat, Kata Sepakat. Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan
kehendak antara para pihak, kata sepakat adalah salah satu syarat sahnya perjanjian
yang terkandung dalam pasal 1320 KUHPerdata. Kelima, Akibat Hukum. Setiap
perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan akibat hukum atau dapat
dituntut apabila tidak dipenuhinya prestasi. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan
kewajiban. Hak adalah suatu kenikmatan dan kewajiban adalah suatu beban.

B. SYARAT SAHNYA KONTRAK


Berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku Pasal 1320 kitab Undang-undang
hukum perdata, suatu perjanjian dinyatakan sah apabila telah memenuhi empat syarat
komulatif (keempat-empatnya harus dipenuhi) yang terdapat dalam pasal tersebut, yaitu:
1. Adanya Kesepakatan Para Pihak Untuk Mengikatkan Diri
Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata. Seseorang
dikatakan telah memberikan sepakatnya (toestemming), kalua orang memang

5
Lena Griswanti, Syarat Sahnya Kontrak (Tesis), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2005.

7
mengehendaki apa yang disepakati maka sepakat sebenarnya merupakan pertemuan
antara dua kehendak, dimana kehendak orang yang satu saling mengisi dengan apa
yang dikehendaki pihak lain. Menurut Mariam Darus Badrulzaman ada empat teori
tentang saat terjadinya sepakat yaitu :
a. Teori kehendak (wilstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat
dinyatakannya kehendak pihak penerima.
b. Teori pengiriman (verzendtheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada
saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran.
c. Teori pengetahuan (vernemingstheorie) mengajarkan bahwa pihak yang
menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima.
d. Teori kepercayaan (vetrouwenstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan itu
terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang
menawarkan.
Kesepakatan dalam hal ini harus timbul tanpa ada unsur paksaan, intimidasi
ataupun penipuan. Berikut ini dasar hukumnya:
a. Pasal 1321 KUHPerdata menyatakan: “Tidak ada sepakat yang sah apabila
sepakat ini diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau
penipuan”. Pasal ini digunakan sebagai dasar hukum dari batalnya perjanjian
karena adanya paksaan, kekhilafan, atau penipuan. Perjanjian batal dalam
KUHPerdata berarti dua hal, yaitu perjanjian batal demi hukum atau dapat
dibatalkan. Dalam hal kesepakatan yang menjadi syarat sahnya perjanjian dibuat
atas suatu paksaan, kekhilafan, atau penipuan, perjanjian menjadi dapat
dibatalkan.
b. Pasal 1322 KUHPerdata menyatakan: “Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya
suatu persetujuannya selainnya apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat
barang yang menjadi pokok persetujuan. Kekhilafan tidak menjadi sebab
kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa
seorang bermaksud membuat suatu persetujuan itu telah dibuat terutama karena
mengingat dirinya orang tersebut.”
c. Pasal 1323 KUHPerdata menyatakan: “Paksaan yang dilakukan terhadap orang
yang membuat suatu perjanjian merupakan alasan untuk batalnya perjanjian, juga

8
apabila paksaan itu dilakukan oleh seorang pihak ketiga, untuk kepentingan siapa
perjanjian tersebut tidak telah dibuat.”
d. Pasal 1328 KUHPerdata menyatakan: “Penipuan merupakan alasan untuk
pembatalan perjanjian, apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak
adalah sedemikian rupa sehingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak
telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. Penipuan
tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.”6
2. Kecakapan Bertindak Para Pihak Untuk Membuat Perjanjian
Seseorang adalah cakap apabila ia pada umumnya berdasarkan ketentuan
undang-undang mampu membuat sendiri perjanjian-perjanjian dengan akibat-akibat
hukum yang sempurna. Masalah kewenangan bertindak orang perorangan dalam
hukum, menurut doktrinilmu hukum yang berkembang dapat dibedakan ke dalam:
a. Kewenangan untuk bertindak untuk dan atas namanya sendiri, yang berkaitan
dengan kecakapannya untuk bertindak dalam hukum.
b. Kewenangan untuk bertindak selaku kuasa pihak lain, yang dalam hal ini tunduk
pada ketentuan yang diatur dalam Bab XIV KUHperdata di bawah judul
“Pemberian Kuasa”.
c. Kewenangan untuk bertindak dalam kapasitasnya sebagai wali atau wakil dari
pihak lain.
Orang yang tidak berwenang melakukan perbuatan hukum meliputi : anak di
bawah umur (belum berusia 18 Tahun berdasarkan ketentuan Pasal 47 Undang-
undang Perkawinan (UUP) yang berlaku sekarang), orang berada di bawah
pengampuan (berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap dan
boros). Syarat sahnya perjanjian yang kedua ini, sama dengan syarat
kesepakatan para pihak, termasuk dalam syarat subjektif. Tidak terpenuhinya
syarat kesepakatan dari para pihak, yang berarti berakibat perjanjian menjadi
dapat dibatalkan.

3. Ada Suatu Hal Tertentu (Objek Perjanjian)


Rumusan Pasal 1320 ayat (3) KUHPerdata menyebutkan untuk sahnya
perjanjian memerlukan syarat, “suatu hal tertentu”.

6
R. Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2003

9
Riduan syahrani memberikan keterangan mengenai syarat ini sebagai berikut:
Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi objek suatu
perjanjian. Menurut Pasal 1333 KUHPerdata barang yang menjadi objek suatu
perjanjian ini harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya, sedangkan
jumlahnya tidak perlu ditentukan, asalkan saja kemudian dapat ditentukan atau
diperhitungkan. Selanjutnya, dalam Pasal 1334 ayat (1) KUHPerdata ditentukan
bahwa barang-barang yang baru aka nada kemudian hari juga dapat menjadi objek
suatu perjanjian.
Suatu hal tertentu yang dimaksud adalah harus ada objek perjanjian yang jelas.
Objek yang diatur dalam perjanjian harus jelas terperinci atau setidaknya dapat
dipastikan. Jika objek itu berupa suatu barang, maka barang itu setidak-tidaknya
harus ditentukan jenisnya. Objek perjanjian yang jelas dapat memberikan jaminan
kepada para pihak yang membuat perjanjian dan mencegah perjanjian yang fiktif.
Selain objeknya harus jelas, suatu hal tertentu di sini harus pula:
a. Benda yang menjadi objek perjanjian harus benda yang dapat diperdagangkan;
b. Barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum antara lain seperti
jalan umum, Pelabuhan umum, Gedung-gedung umum, dan sebagainya tidak
dapat dijadikan objek perjanjian;
c. Dapat berupa barang yang sekarang ada atau yang nanti akan ada. 7

Syarat ini termasuk dalam kategori syarat objektif. Tidak terpenuhinya syarat
objektif ini mengkibatkan perjanjian enjadi batal demi hukum.

4. Ada Suatu Sebab yang Halal


Menurut Pasal 1337 KUHPerdata, suatu sebab yang diperbolehkan atau halal
berarti kesepakatan yang tertuang dalam suatu perjanjian:
a. Tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan;
b. Tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum;
c. Tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan.
Berikut ini adalah ketentuan hukum dalam KUHPerdata yang mengatur
mengenai sebab yang halal:

7
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, PT. Buku Kita, Jakarta, 2009

10
a. Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan: “suatu persetujuan tanpa sebab, atau yang
telah dibuat karena sesuatu usebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai
kekuatan hukum” Tidak mempunyai kekuatan hukum karena jika perjanjian
dibuat tanpa tujuan yang jelas, tidak mungkin dapat dilindungi oleh hukum.
Agar memiliki kekuatan hukum, perjanjian haruslah memiliki tujuan yang jelas,
sehingga dapat ditentukan tujuan tersebut sudah sesuai dengan aturan
perundang-undangan, kesusilaan, agama, atau tidak.
b. Pasal 1336 KUHPerdata menyatakan: “Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi
ada satu sebab yang halal, ataupun jika ada suatu sebab yang lain yang daripada
yang dinyatakan itu, perjanjiannya adalah sah.”
c. Pasal 1337 KUHPerdata menyatakan: “Suatu sebab adalah terlarang, apabila
terlarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau
ketertiban umum.”

Keempat syarat tersebut dapat dibagi ke dalam dua kelompok. Syarat yang pertama
dan kedua disebut syarat subjektif karena menyangkut pihak-pihak yang membuat
perjanjian. Syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif karena menyangkut
objek perjanjian. Tidak terpenuhinya syarat subjektif menyebabkan perjanjian dapat
dibatalkan, yang artinya bahwa salah satu pihak dapat mengajukan kepada
pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang telah disepakati tersebut, sedangkan
bila tidak terpenuhinya syarat objektif menyebabkan perjanjian batal demi hukum.

11
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah subjek-subjek hukum,


sehubungan dengan itu seorang harus tahu beberapa orang daripadanya mengikatkan
dirinya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu terhadap pihak lain. Syarat sah
perjanjian ada empat yaitu ada kesempatan para pihak untuk mengikatkan diri,
kecakapan bertindak para pihak untuk membuat perjanjian, ada suatu hal tertentu, dan
adanya suatu sebab yang halal. Jadi keempat syarat tersebut dapat dibagi ke dalam dua
kelompok. Syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif karena menyangkut pihak-
pihak yang membuat perjanjian. Syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif
karena menyangkut objek perjanjian. Tidak terpenuhinya syarat subjektif menyebabkan
perjanjian dapat dibatalkan, yang artinya bahwa salah satu pihak dapat mengajukan
kepada pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang telah disepakati tersebut,
sedangkan bila tidak terpenuhinya syarat objektif menyebabkan perjanjian batal demi
hukum.

12
DAFTAR PUSTAKA

Fuady, Munir. 2014. Konsep Hukum Perdata. Jakarta. PT Raja Grafindo

Griswanti, Lena. 2005. Syarat Sahnya Kontrak (Tesis). Yogyakarta. Universitas


Gadjah Mada

Mertokusumo, Sudikno. 1999. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Yogyakarta.


Yogyakarta Liberty

Raharjo, Hendri. 2009. Hukum Perjanjian di Indonesia. Jakarta. PT Buku Kita

R. Tjitrosudibio, R. Subekti. 2003. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta.


PT Pradnya Paramita

Suharnoko. 2004. Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus. Jakarta. Pranada Media

Wijaya, Rai. 2005. Merancang Suatu Kontrak (Contract Drafting). Jakarta. Kesain
Blanc.

13

Anda mungkin juga menyukai