Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PENGERTIAN QIRA’AT SAB’AH DAN PERKEMBANGAN QIRA’AT

Disusun untuk memenuhi tugas Mata kuliah: STUDI QUR’AN

Dosen Pengampu : Muhammad Ali Asri Faen,M.Pd

OLEH ANGGOTA KELOMPOK 2B :

1. YINNIA SIRLI ROSITA

2. ZINNURAIN HASAN

KELAS B

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM HAMZANWADI NW LOMBOK TIMUR

TA. 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “PENGERTIAN QIRAAT
SAB’AH dan PERKEMBANGAN ILMU QIRAAH” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari dosen pada
mata kuliah Studi Qur’an. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
tentang pengertian qiraat sab’ah dan perkembangan ilmu qiraah bagi para pembaca dan juga bagi
penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Muhammad Ali Asri Faen , selaku dosen
mata kuliah Studi Qur’an yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang sama-sama kami tekuni. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI

JUDUL.............................................................................................................

KATA PENGANTAR....................................................................................

DAFTAR ISI...................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................

A. Latar Belakang...............................................................................

B. Rumusan Masalah..........................................................................

C. Tujuan............................................................................................

BAB II PEMBAHASAN...............................................................................

A. Pengertian Qira’at.........................................................................

B. Pengertian Qira’at Sab’ah.............................................................

C. Perkembangan Qira’at..................................................................

BAB III PENUTUP.........................................................................................

A. Kesimpulan....................................................................................

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Qira’at merupakan salah satu cabang ilmu dalam „Ulumul Qur‟an, namun tidak
banyak orang yang tertarik kepadanya, kecuali orang-orang tertentu saja, biasanya
kalangan akademik. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu, diantaranya adalah ilmu
ini tidak berhubungan langsung dengan kehidupan dan muamalah manusia sehari-hari,
tidak seperti ilmu fiqih, hadis, dan tafsir misalnya, yang dapat dikatakan berhubungan
langsung dengan kehidupan manusia. Hal ini dikarenakan ilmu Qira’at tidak mempelajari
masalah-masalah yang berkaitan secara langsung dengan halal-haram atau hukum-hukum
tertentu dalam kehidupan manusia. Selain itu, ilmu Qira’at juga cukup rumit untuk
dipelajari. Banyak hal yang harus diketahui oleh peminat ilmu Qira’at ini, yang terpenting
adalah pengenalan al-Qur‟an secara mendalam dalam banyak seginya.
Qira’at atau macam-macam bacaan al-Qur‟an telah mantap pada masa Rasulullah
saw., dan beliau mengajarkan kepada sahabat sebagaimana beliau menerima bacaan itu
dari Jibril AS. Sehingga muncul beberapa sahabat yang ahli bacaan al-Qur‟an seperti:
Ubay bin Kaab, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, dan Abu Musa
al-Asy’ari, mereka itulah yang menjadi sumber bacaan alQur‟an bagi sebagian besar
sahabat dan tabi‟in.
Pada masa tabi’in seratus tahun pertama hijriyah segolongan masyarakat
mengkhususkan diri dalam penentuan bacaan al-Qur‟an karena memang memerlukannya,
mereka menjadikan Qira’at sebagai ilmu pengetahuan, dan akhirnya mereka menjadi
imam Qira’at yang dianut orang dan menjadi rujukan, namun dalam perkembangannya
Qira’at mengalami masalah yang serius, sebagai akibat dari adanya hadits yang
menerangkan bahwa al-Qur‟an diturunkan dengan beberapa wajah, banyak bermunculan
versi bacaan yang semuanya mengaku bersumber dari Rasulullah saw.
Para ulama dan ahli al-Qur‟an cepat tanggap dalam menangani masalah ini, maka
pada akhir abad ke-2 hijriyah, mereka melakukan kegiatan meneliti, menyeleksi, dan
menguji kebenaran Qira’at yang di katakan sebagai bacaan alQur’an, Qira’at-qira’at
tersebut harus memenuhi kriteria sebagai berikut : 1) harus mempunyai sanad yang
mutawatir, yakni bacaan tersebut diterima dari guru-guru yang terpercaya, tidak cacat dan
bersambung sampai Rasulullah. 2) harus cocok dengan rasm utsmani. 3) harus cocok
dengan kaidah tata bahasa Arab. Rasulullah saw., menyampaikan ayat-ayat yang
diterimanya itu kepada para sahabatnya juga melalui ucapan atau secara lisan.
Penyampaian selanjutnya darsahabat kepada tabi’in dan untuk seterusnya berlanjut dari
satu generasi ke generasi berikutnya, al-Qur‟an selalu disampaikan dengan lisan.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Dari Qira’at ?


2. Apa Pengertian Dari Qiraat Sab’ah ?
3. Bagaimana Perkembangan Ilmu Qiraat ?

C. Tujuan

1. Mengetahui Pengertian Dari Qiraat


2. Mengetahui Pengertian Dari Qiraat Sab’ah
3. Mengetahui Perkembangan Ilmu Qira’at

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Qira’at

Qira’at adalah bentuk jamak dari kata Qira’at ( ‫( راءة ق‬yang merupakan isim masdar
dari Qara’a (‫رأ‬HHH‫ ق‬,(yang secara bahasa berarti bacaan1 Secara istilah Al Zarqani
mengemukakan definisi Qira’at sebagai berikut:
“Suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam Qira’at yang berbeda dengan
lainnya dengan pengucapan al-Qur’an al-Karim serta sepakat riwayat-riwayat dan jalur-

1
Amri dan Marlina Gazalai, dkk, Ulumul Qur’an, (Makassar: Membui Publishing, 2009 )
jalur dari padanya, baik perbedaan dari pengucapan maupun alam pengucapan keadaan-
keadaannya.2
Qira’at yaitu suatu ilmu untuk mengetahui cara pengucapan lafadz-lafadz
alQur‟an, baik yang disepakati maupun di-ikhtilaf-kan oleh para ahli Qira’at, seperti:
hazf (membuang huruf), isbat (menetapkan huruf), tahrik (memberi harakat), washl
(menyambungkan huruf), ibdal (menggantikan huruf atau lafadz tertentu), dan lainlain
yang diperoleh oleh indra pendengaran.”3
Sedangkan menurut Ibn Al-Jazari Qira’at adalah ilmu yang menyangkut caracara
mengucapkan kata-kata al-Qur‟an dan perbedaan-perbedaannya dengan cara
menisbatkan kepada penukilnya.4
Menurut al-Qasthalani, Qira’at adalah suatu ilmu yang mempelajari hal-hal yang
disepakati atau diperselisihkan ulama yang menyangkut persoalan lughat, hadzaf, I’rab,
itsbat, fashl, dan washl yang kesemuanya diperoleh secara periwayatan.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Qira’at adalah
ilmu yang membahas tentang tata cara pengucapan al-Qur‟an yang benar dengan
lahja/dialek yang berbeda-beda, yang sanadnya shahih, sesuai dengan rasm utsmani,
sesuai dengan tata bahasa arab yang benar.

B. Pengertian Qira’at Sab’ah

Qira’at sab’ah atau Qira’at tujuh adalah cara membaca al-Qur‟an yang berbeda.
disebut Qira’at tujuh karena ada tujuh imam Qira’at yang terkenal masyhur yang masing-
masing memiliki langgam bacaan tersendiri. Tiap imam Qira’at memiliki dua orang
murid yang bertindak sebagai perawi. tiap perawi tersebut juga memiliki perbedaan
dalam cara membaca al-Qur‟an. sehingga ada empat belas cara membaca al-Qur‟an yang
masyhur. Perbedaan cara membaca itu sama sekali bukan dibuat-buat, baik dibuat oleh
imam Qira’at maupun oleh perawinya. cara membaca tersebut merupakan ajaran
Rasulullah dan memang seperti itulah al-Qur‟an diturunkan. Sedikitnya, ada tujuh

2
Abd Al-azim Al-Zarqani, Ulumul Qur’an Jilid I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), h.412
3
Hasanuddin AF, Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam Al-Qur’an, h.112
4
Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, Bandung : Pustaka Setia, 2000) h.147
macam bacaan yang berkembang di dunia Islam dalam membacakan ayat-ayat al-Quran
sesuai dengan dialek umat di suatu daerah.5
Qira’at bukanlah hasil dari ijtihad para ulama, karena ia bersumber dari Rasulullah
saw., Dengan perkataan lain, periwayatan yang bermuara kepada Nabi Muhammad saw.,
merupakan sumber asli serta sumber satu-satunya bagi Qira’at alQur‟an. Karena itu
jelaslah kiranya, bahwa Qira’at al-Qur‟an bersifat tawfiqiyah dan bukan bersifat
ikhtiariyyat.6 Namun untuk membedakan mana Qira’at yang berasal dari Rasulullah
saw., dan mana yang bukan, maka para ulama menetapkan pedoman atau persyaratan
tertentu. Ada 3 persyaratan bagi Qira’at al-Qur‟an untuk dapat digolongkan sebagai
Qira’at shahih, yaitu:

a. Qira’at itu sesuai dengan bahasa arab.


b. Qira’at itu sesuai dengan mushaf-mushaf usmani .
c. bahwa shahih sanadnya, baik diriwayatkan dari imam Qira’at yang tujuh dan
yang sepuluh, maupun dari imam-imam Qira’at yang berterima selain mereka 7
Kata Sab’ah artinya adalah imam-imam Qira’at yang tujuh. Mereka itu adalah:
Abdullah bin Katsir ad-Dari (w. 120 H), Nafi bin Abdurrahman bin Abu Naim (w. 169
H), Abdullah al-Yashibi (q. 118 H), Abu „Amar (w. 154 H), Ya‟qub (w. 205 H), Hamzah
(w. 188 H), Ashim ibnu Abi al-Najub al-Asadi.8
Bahwa yang di maksud dengan Sab’ah Ahruf adalah tujuh bahasa dari bahasa-
bahasa terkenal di kalangan bangsa Arab, tetapi maknanya tidak berbeda, yaitu; Quraish,
Huzayl, Saqif, Hawazin, Kinanat, Tamim, dan Yaman. (beda dialek namun satu makna)9
Pendapat lain mengatakan bahwa Sab’ah Ahruf di maknai Qira’at Sab’ah (tujuh
bacaan) yang secara khusus dihimpun oleh ibn Mujahid. Pendapat ini yang biasa
diasumsikan oleh kebanyakan orang awam, dan ini di anggap sebagai kebodohan yang

5
(online)http://www.jadipintar.com/2013/07/Pengertian-Qiraah-Sabah-danKronologisnya.html, diakses tgl 21
oktober 2015
6
Hasanuddin AF, Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum dalam adl-Qur’an, h. 112
7
H. Ramli Abdul Wahid, Ulumul Qur’an 1, cet 1;(Jakarta: Rajawali, 1993), h. 118
8
Amri dan Marlina Gazali, dkk, Ulumul Qur’an,h.61
9
Ahmad Fathoni dan Ali Zamawi, Kaidah Qira’at Tujuh, h. 2
memalukan sebab fakta membuktikan bahwa varian bacaan yang berkembang di
kalangan kaum muslimin melebihi angka yang di maksud.10
Adapun ketujuh imam Qira’at yang masing-masing di sertai dengan dua orang
perawi adalah sebagai berikut11
a. Nafi‟ (70H-169H), perawi imam Nafi‟:
1. Qalun (120-220H)
2. Warsy (110-197H)
b. Ibnu kasir (45H-120H), perawi Imam Kasir:
1. Al-Bazzi (170H-250H)
2. Qunbul (195H-250H)
c. Abu Amr (68H-154H), para perawi imam Abu Amr :
1. Ad-duri (246H)
2. As-susi (261H)
d. Ibnu „Amir (21H-118H), para perawi imam ibnu amir:
1. Hisyam (153H-245H)
2. Ibnu Zakwan (173H-242H)
e. „Asim (128H), para perawi imam „Asim:
1. Syu‟bah (95H-193H)
2. Hafs (90H-180H)
f. Hamzah (80H-156), para perawi imam Hamzah:
1. Khalaf (150H-229H)
2. Khallad (220H)
g. Al-Kisai (189H), para perawi imam al-kisai;
1. Abu haris (240H)
2. Ad-duri.
Istilah Qira’at yang biasa digunakan adalah cara pengucapan tiap kata dari ayat-ayat
al-Quran melalui jalur penuturan tertentu. Jalur penuturan itu meskipun berbeda-beda
karena mengikuti aliran (mazhab) para imam Qira’at, tetapi semuanya mengacu kepada
bacaan yang disandarkan oleh Rasulullah saw.

10
Mohammad Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an refleksi atas persoalan linguistik, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,2002), h. 315
11
Ahmad Fathoni dan Ali Zamawi, Kaidah Qira’at Tujuh,,h. 6-11
C. Perkembangan Ilmu Qira’at

Sebagaimana di ketahui bahwa terdapat perbedaan pendapat tentang waktu mulai di


turunkannya qira’at, yaitu ada yang mengatakan qira’at mulai di turunkan di Mekah
bersamaan dengan turunya al-Qur’an. Ada juga yang mengatakan qira’at mulai di
turunkan di Madinah sesudah peristiwa Hijrah, dimana sudah mulai banyak orang yang
masuk Islam dan saling berbeda ungkapan bahasa Arab dan dialeknya. Masing-masing
pendapat ini mempunyai dasar yang kuat, namun dua pendapat itu dapat kita
kompromikan, bahwa Qiraat memang mulai di turunkan di Mekah bersamaan dengan
turunnya al-Qur’an, akan tetapi ketika di Mekah qira’at belum begitu di butuhkan karena
belum adanya perbedaan dialek, hanya memakai satu lahjah yaitu Quraisy. Qira’at mulai
di pakai setelah Nabi Muhammad di Madinah, dimana mulai banyak orang yang masuk
Islam dari berbagai qabilah yang bermacam-macam dan dialek yang berbeda. 
Terlepas dari perbedaan di atas, pembahasan tentang masa kodifikasi ilmu qira’at berarti
membahas sejarah perjalanan ilmu qira’at. Perjalanan sejarah ilmu qira’at terbagi atas
enam fase, 12yaitu:
Fase Pertama: masa pertumbuhan Fase pertama ini terjadi pada masa Nabi, dimana
Nabi mengajarkan al-Qur’an kepada sahabatnya dengan bacaan yang berbeda sesuai
dengan apa yang mudah bagi mereka. Dengan demikian, para sahabat mendapatkan
bacaan al-Qur’an dari Nabi dengan bacaan yang beragam. Seringkali dengan ragam
bacaan yang mereka terima, menimbulkan perselisihan diantara para sahabat, lalu Nabi
menyelesaikan perbedaan itu dengan mengatakan bahwa al-Qur’an di turunkan dengan
berbagai macam versi bacaan. 
Fase kedua; Fase penyebaran ilmu Qira’at Fase kedua ini terjadi setelah Nabi wafat,
yaitu pada masa sahabat dan tabi’in. Sebagaimana di ketahui para sahabat kebanyakan
bermukim di Mekah atau Madinah. Maka setelah Rasulullah wafat sesuai dengan
dinamika da’wah para sahabat terpanggil untuk menyebarkan islam ke berbagai pelosok
negeri. Ada sahabat yang pergi ke negeri Basrah seperti Abu Mûsâ Al Asy’ary. Ada yang

12
(online) http: //rausha-blog.blogspot.co.id/2013/08/mengenal-qiroah-sabah-dansejarahnya.html 21 oktober
2015
ke Kufah seperti Ibnu Mas’ûd. Ada yang pergi ke Syam seperti Abû Darda’, dan lain
sebagainya. Para sahabat tersebut mengajarkan al-Qur’an kepada para tabi’in sesuai
dengan bacaan yang mereka terima dari Nabi. 
Fase ketiga: Fase kemunculan Ahli Qira’at Fase ketiga ini berlangsung pada sekitar
akhir abad pertama sampai awal abad kedua Hijriyah. Yaitu setelah pengajaran qira’at
berlangsung sedemikian lama, maka muncullah ulama ahli qira’at dari kalangan tabi’in
dan tabi’ al-tabi’in. Seperti di Basrah muncul ulama terkenal Yahya bin Ya’mar (w. 90
H) yang kemudian di kenal sebagai orang pertama yang menulis qira’at. 
Fase Keempat: Fase penulisan ilmu Qira’at Fase ini berlangsung bersamaan dengan
masa penulisan berbagai macam ilmu keislaman, seperti ilmu hadis, tafsir, tarikh dan lain
sebagainya, yaitu sekitar permulaan abad kedua Hijriyah. Maka pada fase ini mulai
muncul karya-karya dalam bidang qira’at. Sebagian ulama muta’akhirin berpendapat
bahwa yang pertama kali menuliskan buku tentang ilmu qiraat adalah Yahyâ bin Ya’mar,
ahli qira’at dari Basrah. Kemudian di susul oleh beberapa imam qurrâ’13, diantaranya
yaitu :
1.      ‘Abdullah bin ‘Âmir (w. 118 H) dari Syam.
Kitabnya Ikhtilâfât Masâhif al-Syâm wa al-Hijâz wa al-‘Irâq.
2.       Abân bin Taghlib (w. 141 H) dari Kufah.
Kitabnya Ma’ânî al-Qur’an dan kitab Al Qirâ’ât.
3.      Muqâtil bin Sulaimân (w. 150 H)
4.      Abû ‘Amr bin al-‘Alâ’ (w. 156 H)
5.      Hamzah bin Habîb al-Ziyât (w. 156 H)
6.      Zâidah bin Qadâmah al-Tsaqafi (w. 161 H)
7.      Hârûn bin Mûsâ al-A’ûr (w. 170 H)
8.      ‘Abdul Hamîd bin ‘Abdul Majîd al-Akhfasy al-Kabîr (w. 177 H)
9.      ‘Alî bin Hamzah al-Kisâ’i (w. 189 H)
10.  Ya’qûb bin Ishâq al-Hadramî (w. 205 H)
11.  Abû ‘Ubaid al-Qâsim bin Sallâm (w. 224 H). Kitabnya Al-Qirâ’ât. 

13
Mohammad Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an refleksi atas persoalan linguistik, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,2002)
Menurut Ibn al-Jazari, imam pertama yang dipandang telah menghimpun
bermacam-macam qira’at dalam satu kitab adalah Abû ‘Ubaid al-Qâsim bin Sallâm. Ia
mengumpulkan dua puluh lima orang ulama ahli qira’at, termasuk di dalamnya imam
yang tujuh (imam-imam Qira’at Sab’ah). Agaknya penulisan qira’at pada periode ini
hanya menghimpun riwayat yang sampai kepada mereka, tanpa menyeleksi perawi atau
materi qira’at. 
Fase kelima: Fase Pembakuan Qira’at Sab’ah Pada peringkat awal pembukuan ilmu
qira’ at yang dirintis oleh Abû ‘Ubaid al-Qâsim bin Sallâm dan para imam tersebut di
atas, istilah qira’at tujuh belum dikenal. Pada masa ini, mereka hanya mengangkat
sejumlah qira’at yang banyak ke dalam karangan-karangannya. Barulah pada permulaan
abad kedua Hijrah orang mulai tertarik kepada qira’at atau bacaan beberapa imam yang
mereka kenali. Umpamanya di Basrah orang tertarik pada qira’at Abû ‘Amr (w. 154 H)
dan Ya’qûb (w. 205 H), di Kufah orang tertarik pada bacaan Hamzah ( w. 156 H) dan
‘Âsim (w. 127 H), di Syam orang memilih qira’at Ibn ‘Âmir (w. 118 H), di Mekah
mereka memilih qira’at Ibn Katsîr (w. 120 H), dan di Madinah memilih qira’at Nâfi’ (w.
199 H). 
Di penghujung abad ketiga Hijrah, barulah Ibn Mujâhid (w. 325 H) mencetuskan
istilah Qira’at Sab’ah atau Qira’at Tujuh, yaitu tujuh macam qira’at yang dipopulerkan
oleh tujuh imam qira’at tersebut di atas dengan menetapkan nama al-Kisâ’i (w. 189 H),
salah seorang ahli qira’at dari Kufah, dan membuang nama Ya’qûb dari kelompok qari’
14
tersebut. Maka mulai saat itulah awal mulanya muncul sebutan Qira’at Sab’ah. 
Sebab-sebab mengapa hanya tujuh imam qira’at saja yang masyhur padahal masih
banyak imam-imam qira’at lain yang kedudukannya setingkat dengan mereka dan
jumlahnya pun lebih dari tujuh, ialah karena sangat banyaknya periwayat qira’at mereka.
Ketika semangat dan perhatian generasi sesudahnya menurun, mereka lalu berupaya
untuk membatasi hanya pada qira’at yang sesuai dengan khat mushaf yang mudah dihafal
dan mudah menurut bacaan al-Qur’an. Langkah yang ditempuh generasi penerus ini ialah
memperhatikan siapa di antara ahli qira’at itu yang lebih populer kredibilitas dan
amanahnya, lamanya waktu dalam menekuni qira’at dan adanya kesepakatan untuk
diambil serta dikembangkan qira’atnya. Kemudian dari setiap negeri dipilihlah seorang
14
M. Fuad Abdul Baqi, Mutiara Hadits Sahih Bukhari Muslim, cet. IV;(Jakarta Timur, Ummul Qura, 2013)
imam, tanpa mengabaikan periwayat selain tujuh imam qira’at tersebut, seperti qira’at
Ya’qûb, Abû Ja’far, Syaibah dan lain-lain. 
Kehadiran istilah Qira’at Sab’ah telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan
ulama. Para ulama yang kontra mengkhawatirkan akan adanya timbul sangkaan bahwa
qira’at sab’ah adalah sab’atu ahruf yang di kehendaki oleh hadis. Oleh karena itu menurut
Abû ‘Abbâs bin Ammar (w. 430 H) alangkah baiknya kalau yang di kumpulkan itu
kurang dari tujuh imam qira’at atau lebih dari tujuh. Di antara para ulama yang kontra
adalah Abû ‘Alî al-Fârisi, Ibn Khawalaih, Ibn Zanjalah, Makki Ibn Abi Tâlib al-Qaisyi
dan lain sebagainya. 
Fase keenam: Fase Pengukuhan Qira’at Sab’ah Fase ini berlangsung setelah
kemunculan kitab Al-Sab’ah karya Ibn Mujahid. Fase ini menjadi fase yang berpenting
dalam sejarah penulisan ilmu qira’at. Karena sebagaimana di ketahui bahwa penulisan
ilmu qira’at pada masa sebelum Ibn Mujahid bisa dikatakan tidak selektif tapi lebih
kepada penulisan qira’at yang sampai kepada mereka dari guru-guru mereka. Karena itu
ulama yang pro terhadap gagasan Ibn Mujahid banyak yang memburu riwayatnya imam
tujuh tersebut dari berbagai macam jalur periwayatan. Hasil dari perburuan itu tercantum
dalam kitab-kitab qira’at sab’ah yang datang setelahnya. Istilah Qira’at Sab’ah menjadi
semakin kokoh dan masyhur dengan munculnya kitab At Taisir karya Abu ‘Amr al-Dani
(w. 444 H). Yang menonjol dari kitab ini adalah penyederhanaan rawi dari setiap imam
dengan hanya dua perawi, padahal sebagaimana diketahui bahwa perawi setiap biasanya
berjumlah puluhan bahkan ratusan.
Periwayat-periwayat imam tujuh yang masyhur ialah:
1. Qâlûn (w. 220 H) dan Warsy (w. 197 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Nâfi’
2. Qumbul (w. 291 H) dan Al-Bazzi (w. 250 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Ibn
Katsîr
3. Al-Dûri (w. 246 H) dan Al-Sûsi (w. 261 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Abû
‘Amr
4. Hisyâm (w. 245 H) dan Ibn Dzakwân (w. 242 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Ibn
‘Âmir
5. Syu’bah (w. 193 H) dan Hafs (w. 180 H), meriwayatkan qira’at dari Imam ‘Âsim 
6. Khalaf (w. 229 H) dan Khallâd (w. 220 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Hamzah
7. Abû al-Hârits (w. 240 H) dan Dûri al-Kisâ’i (w. 246 H), meriwayatkan qira’at dari
Imam Al-Kisâ’i. 

Penyederhanaan rawi ini sangat bermanfaat untuk memudahkan mempelajari ilmu


qira’at , apalagi para perawi yang terpilih telah di akui kredibilitasnya dalam bidang
qira’at oleh para ulama sezamannya. Qira’at Sab’ah bertambah kokoh setelah
kemunculan imam Al-Syatibî (w. 591 H) yang telah berhasil menulis materi Qira’at
Sab’ah yang terdapat dalam kitab At-Taisir menjadi untaian syair yang sangat indah dan
menggugah. Syair itu berjumlah 1171 bait. Kumpulan syair-syair itu di namakan “Hirz
al-Amâni wa Wajh al-Tahâni” yang kemudian lebih di kenal dengan sebutan
“Syâtibiyyah”. Syair-syair Syâtibiyyah ini telah menggugah banyak ahli qira’at untuk
mensyarahinya. Jumlah kitab yang mensyarahi syair Syâtibiyyah ini lebih dari lima puluh
kitab. Nazam al-Syâtibiyyah ini merupakan karya terbesar imam al-Syâtibi dalam bidang
ilmu qira’at. Sampai sekarang nazam ini dijadikan sebagai rujukan utama bagi umat
Islam di dunia yang ingin mendalami ilmu qira’at.15

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Sejarah mencatat bahwa Abû ‘Ubaid al-Qâsim bin Sallâm, Abû Ja’far al-Tabari dan

Ismâ-îl al-Qâdi adalah termasuk di antara para ulama qira’at yang mula-mula merintis

pembukuan Ilmu Qira’at al-Qur’an. Melalui pembukuan tersebut, para ulama qira’at

berikutnya dapat membuat kajian ilmu qira’at lebih jauh lagi. Di antara mereka ada yang
15
Mohammad Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an refleksi atas persoalan linguistik, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,2002
menyusunnya dalam bentuk prosa dan ada pula yang berbentuk syair agar mudah dihafal.

Ulama yang terlibat langsung dalam usaha tersebut di antaranya ialah imam al-Dâni dan

al-Syâtibi.

Pada masa ini, istilah qira’at tujuh belum dikenal. Baru di penghujung abad ketiga

Hijrah, Ibn Mujâhid (w. 325 H) mencetuskan istilah Qira’at Sab’ah atau Qira’at Tujuh,

yaitu tujuh macam qira’at yang dipopulerkan oleh tujuh imam qira’at, yakni Nâfi, Ibn

Katsîr, Abû ‘Amr, Ibn ‘Âmir, ‘Âsim, Hamzah, dan al-Kisâ’i. 

Ada tiga syarat utama tentang penerimaan qira’at, yaitu: bersumber dari rawi-rawi

yang tsiqah dengan mata rantai sampai kepada Rasulullah saw., sesuai dengan kaidah

bahasa arab, dan sesuai dengan salah satu rasam Utsmâni. Dengan demikian maka

muncullah macam-macam qira’at, yang terdiri dari qira’at mutawâtir, masyhur, âhâd,

syâdz, mawdû’ dan mudraj. Untuk empat macam qira’at yang disebutkan terakhir, tidak

boleh diamalkan bacaannya.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosikan, 2000. Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Setia.

Azim, Abd Al, 1988. Ulumul Qur’an Jilid 1. Beirut: Dar al-Fikr.

Fathoni, Ahmad, 1992. Kaidah Qira’at Tujuh. Jakarta: ISIQ

Gazali, Marlina, 2009. Ulumul Qur’an. Makassar: Membui Publishing.

Hasanuddin, Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam Al-

Qur’an.
Ichwan, Mohammad Nor, 2002. Memahami bahasa Al-Qur’an Refleksi atas Persoalan

Linguistik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ramli, Abdul, 1993. Ulumul Qur’an 1, cet 1, Jakarta : Rajawali.

Anda mungkin juga menyukai