Anda di halaman 1dari 21

SYARAT SAH NYA PERJANJIAN: STUDI KOMPARATIF MENURUT

KUH-PERDATA DAN HUKUM ISLAM

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Perancangan Kontrak
Dosen Pengampu :
Ahmad Zaini M.H

Disusun oleh:
Alifia Kursya Jamil 211102030075
Shufi Faiqoh 211102030054

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KH. ACHMAD SIDDIQ


JEMBER
FAKULTAS SYARIAH
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA
MARET 2024
KATA PENGANTAR

Segala puji kepada Allah SWT Tuhan semesta alam yang telah
memberkati kami Taufiq, Hidayat dan Karunia-NYA, sehingga kami dapat
menyelesaikan penulisan makalah ini, sholawat serta salam juga selalu
tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya
menuju cahaya islam.

Makalah ini disusun oleh penulis dalam rangka pemenuhan tugas mata
kuliah Perancangan Kontrak yang dibimbing oleh Bapak Dosen Ahmad zaini
M.H Makalah ini merupakan bentuk upaya dalam memberikan pemahaman
mengenai Syarat-syarat Perjanjian pada mata kuliah Perancangan Kontrak.
Didalam penulisannya masih banyak kekurangan dan masih jauh dari kata
sempurna, maka dari itu, penulis mengharap adanya kritik dan saran dari para
pembaca. Yang pastinya akan memperbaiki makalah ini. Dalam penulisan
makalah, Terimakasih kami sampaikan kepada dosen pengampu mata kuliah
Perancangan kontrak.

Makalah ini ditulis untuk mengetahui perbandingan syarat sahnya


perjanjian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata da Hukum Islam.
Dalam berbagai kerja sama bisnis, orang sering menggunakan kontrak, yang
kemudian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang terlibat.
Hukum kontrak di Indonesia bervariasi secara signifikan karena perbedaan sistem
hukum di masing-masing negara tersebut. Penulisan ini menerapkan metode
penelitian hukum normatif dengan pendekatan studi perbandingan.

Jember, 10 Maret 2024

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................i

DAFTAR ISI....................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang.......................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Syarat-syarat sahnya kontrak menurut KUH-Perda. .....................................


3
B. Syarat-syarat sahnya kontrak menurut hukum islam.....................................
5
C. Teori terjadinya kontrak...........................................7
D. Asas-asas hukum pada umumnya.............................9
E. Asas-asas hukum kontrak.........................................10

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan...............................................................15
B. Saran.........................................................................15

DAFTAR PUSTAKA.........................................................17

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Indonesia adalah Negara Hukum oleh karenanya didalam dunia
hukum, setiap kata atau tindakan individu di dalam ranah hukum berarti
mendukung hak dan kewajiban sebagai subjek hukum, yang melibatkan
tidak hanya individu (person) tetapi juga badan hukum (recht person).
Oleh karena itu, setiap manusia, baik warga negara maupun orang asing,
membawa hak-hak dan kewajiban, termasuk kemampuan untuk
melakukan perbuatan hukum seperti perjanjian dengan pihak lain, yang
merupakan sumber utama terbentuknya perikatan.1
Istilah "akad" atau "kontrak" berasal dari bahasa Arab yang artinya
adalah pengikatan, baik itu dalam bentuk yang terlihat secara nyata (hissy)
maupun yang tidak terlihat secara nyata (ma’nawi). Akad dan kontrak
merujuk pada perjanjian atau kesepakatan antara dua belah pihak atau
lebih, dapat disampaikan melalui kata-kata, isyarat, atau tulisan, yang
memiliki dampak hukum yang mengikat untuk dilaksanakan.
Hukum kontrak adalah penerjemahan dari istilah contract of law
dalam bahasa Inggris, dan disebut overeenscomsrecht dalam bahasa
Belanda. Salim H.S. menjelaskan “hukum kontrak sebagai seperangkat
aturan yang mengatur hubungan hukum antara dua pihak atau lebih,
berdasarkan kesepakatan untuk menimbulkan akibat hukum”.2
Hukum kontrak bertujuan mengatur perjanjian bisnis yang
melibatkan kewajiban prestasi dari kedua belah pihak. Oleh karena itu,
kesepakatan seperti hibah atau warisan, di mana prestasinya berasal dari

1
Suharnoko, Hukum Perjanjian : Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta: Nusa Media, 2004)

2
Salim, H.S., Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta:Sinar
Grafka, 2006)

1
satu pihak, tidak termasuk dalam kategori kontrak, sehingga tidak dapat
disebut sebagai kontrak hibah atau kontrak warisan.
Secara etimologis, perjanjian dalam Bahasa Arab disebut
Mu’ahadah Ittida atau Akad. Dalam Bahasa Indonesia, istilah yang serupa
adalah kontrak atau perjanjian, yaitu suatu tindakan di mana satu atau
lebih individu mengikatkan diri terhadap satu atau lebih orang lain. 3
Hukum Perikatan Islam merupakan bagian dari hukum Islam yang
mengatur tata cara manusia dalam berinteraksi ekonomi dalam bidang
muamalah.
Keberlakuan hukum perikatan dalam kehidupan umat Islam diakui
dan dihargai oleh Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara
kita. Implementasi hukum perikatan Islam menjadi pelaksanaan ibadah
secara menyeluruh bagi pemeluk agama Islam sesuai dengan Pasal 29
UUD 1945 dan Sila Pertama Pancasila, yang menegaskan "Ketuhanan
Yang Maha Esa".4
Hukum Perdata Barat bertujuan melindungi moral dan kepentingan
umum, sedangkan hukum Islam juga mengejar tujuan serupa melalui
Maqasidul Syariah, yang mencakup perlindungan terhadap agama, jiwa,
akal, kehormatan, dan harta. Selain itu, dalam perikatan Islam, ditegaskan
larangan terhadap riba, maisyir, dan ghoror sesuai dengan prinsip-prinsip
syariat.

B. Rumusan masalah
1. Dalam konteks latar belakang diatas, rumusan masalah yang akan
dibahas dalam pembahasan kali ini yakni, apa saja syarat-syarat sahnya
kontrak baik menurut KUH-Perdata maupun hukum islam serta apa
saja teori terjadinya kontrak?

3
Chairuman Pasaribu dan Sahrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta:
Sinar
Grafika, 2004)
4
Gemala Dewi, Dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Depok: Kencana Prenada
media group,
2005)

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Syarat-syarat Sahnya Kontrak Menutut KUH-Perdata


Hukum kontrak adalah bagian dari hukum privat. Fokus hukum ini
adalah kewajiban memenuhi kewajiban diri sendiri (self-obligation). Suatu
kontrak atau perjanjian ialah sah dan mengikat secara hukum bagi para
pihak yang mengadakannya. Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian diatur
dalam Pasal 1320 KUHPerdata.5 Dalam Pasal 1320 tersebut menyebutkan
empat syarat sahnya perjanjian, yaitu:
1. Adanya kata sepakat secara sukarela dari mereka yang membuat
perjanjian
Artinya para pihak yang mengadakan kontrak telah menyetujui
atau menyetujui pokok-pokok penting kontrak yang dibuat. Apabila
suatu persetujuan tercapai karena kekeliruan atau karena paksaan atau
penipuan, maka tidak terjadilah kesepakatan.
2. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Cakap disini ialah orang yang sudah cukup umur/dewasa, sehat
akal, dan tidak dilarang secara hukum untuk melakukan suatu
perbuatan tertentu. Orang yang disebut tidak cakap dalam
melaksanakan perbuatan hukum, yakni:
a. Orang-orang yang belum dewasa
b. Orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan
c. Orang-orang yang dilarang dalam undang-undang untuk
melakukan perbuatan hukum tertentu.
3. Mengenai suatu hal tertentu
Yang dimaksud tersebut ialah bahwa janji atau komitmen harus
dijelaskan secara rinci dan jelas (jenis, harga, dan jumlah) atau

5
Suharnoko, Hukum Perjanjian : Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta: Nusa Media, 2004)

3
informasi terkait objek, diketahui hak dan kewajiban setiap pihak. Hal
ini bertujuan agar mencegah terjadinya perselisihan diantara mereka.
4. Suatu sebab (kausa) yang halal
Kata Kausa yang diterjemahkan dari kata oorzaak (Belanda) atau
causa (Latin) dalam konteks perjanjian ini, tidak merujuk pada pemicu
kesepakatan, melainkan pada esensi dan tujuan perjanjian itu sendiri.
Sebagai contoh, dalam perjanjian jual beli, kausa mencakup keinginan
satu pihak untuk memiliki hak milik suatu barang, sementara pihak
lainnya menginginkan pertukaran dengan uang.6
Hal-hal yang dimaksud dengan sebab yang halal dalam perjanjian
meliputi:
a. Klausa yang halal menunjukkan bahwa isi perjanjian tidak
melanggar norma sosial, moral, atau hukum.
b. Sebab dianggap palsu jika diciptakan untuk menyembunyikan
alasan yang sebenarnya.
c. Sebab dianggap melanggar jika bertentangan dengan hukum,
moralitas, dan ketertiban umum.
d. Sebuah perjanjian tanpa alasan dianggap tidak akan mencapai
tujuan yang diinginkan oleh pihak-pihak yang terlibat pada saat
perjanjian dibuat.

Menurut R. Subekti, keempat syarat keabsahan perjanjian dapat dibagi


menjadi dua kelompok, yakni:

1. Syarat Subjektif, ialah sebuah syarat yang menyangkut pada subjek-subjek


perjanjian itu, yang meliputi kesepakatan mereka yang mengikatkan
dirinya dan kecakapan pihak yang membuat perjanjian itu. Perjanjian yang
tidak memenuhi syarat subjektif dapat dibatalkan.

6
Panggabean. R. M (2010). Keabsahan Perjanjian dengan Klausul Buku. Jurnal Hukum
IUS
QUIA IUSTUM

4
2. Syarat Obyektif, ialah syarat yang menyangkut pada obyek perjanjian. Ini
meliputi suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Apabila syarat
obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. 7
Perbedaan syarat-syarat sahnya perjanjian dalam 2 kelompok
tersebut berguna untuk menentukan apakah suatu perjanjian itu batal demi
hukum (void ab intio) atau perjanjian yang dapat dimintakan pembatalan
(voidable). Jika syarat objektif dilanggar, perjanjian menjadi batal secara
hukum tanpa perlu diminta pembatalannya, sehingga dianggap tidak
pernah terjadi. Sebaliknya, jika syarat subjektif dilanggar, perjanjian tetap
berlaku sampai diminta pembatalan.

Dengan memenuhi keempat syarat tersebut, perjanjian menjadi sah


dan mengikat hukum bagi pihak yang terlibat, asalkan niat mereka adalah
agar perjanjian tersebut sah. Pengadilan perlu meyakini bahwa niat
mengikat secara sah telah terpenuhi, yang berarti perjanjian menimbulkan
hak dan kewajiban yang diakui oleh hukum.

B. Syarat-Syarat Sahnya Kontrak Menurut Hukum Islam


Dalam konteks hukum Islam, akad atau kontrak berasal dari kata
Arab yang mengacu pada ikatan atau simpulan, baik yang terlihat secara
fisik (hissy) maupun yang tidak terlihat (ma’nawy). Istilah akad merujuk
pada perjanjian atau komitmen bersama melalui lisan, isyarat, atau tulisan
antara dua pihak atau lebih, dengan konsekuensi hukum yang mengikat
untuk pelaksanaannya. Kontrak juga dikenal sebagai akad atau perjanjian,
yakni pertemuan antara ijab yang diajukan oleh satu pihak dengan kabul
yang diberikan oleh pihak lainnya, yang sah menurut hukum syariah dan
menghasilkan konsekuensi pada subjek dan objeknya.8

7
R. Subekti, Hukum Perjanjian (Jakarta: Intermasa, 2005)
8
Emmanuel Raja Damaitu, 2014, Jurnal Repertorium: Perbandingan Asas Perjanjian
dalam
Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

5
Kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan konsep hukum
kontrak dalam Islam melibatkan pedoman dari al-Quran, hadis,
interpretasi, dan kaidah-kaidah fiqih. Selain itu, dapat mencakup norma-
norma hukum yang tercantum dalam Qanun, baik dari pemerintah pusat
maupun daerah, bersama dengan yurisprudensi serta peraturan hukum
yang sejalan dengan nilai-nilai hukum Islam.
Menurut Lukman Santoso, syarat perjanjian menurut hukum islam
terdiri dari 4 syarat, yakni:9
1. Pernyataan kehendak para pihak/ Ijab qabul
Tiga persyaratan yang perlu dipenuhi agar ijab dan kabul
diangap sah dan memiliki akibat hukum, yaitu jala’ul ma’na,
tawafuq, dan jazmul iradataini. Jala'ul ma'na berarti bahwa
tujuan yang dinyatakan dalam suatu perjanjian harus jelas,
sehingga jenis kontrak yang diinginkan dapat dipahami dari
pernyataan tersebut. Sementara tawafuq mengacu pada
kesesuaian antara ijab dan qabul. Terakhir, jazmul iradataini
menyiratkan bahwa ijab dan qabul mencerminkan kehendak
kedua belah pihak secara pasti, tanpa keraguan, tekanan, atau
keadaan terpaksa.
2. Objek kontrak/ mahal al ‘Aqd
Para ahli hukum Islam sepakat bahwa suatu objek kontrak
harus memenuhi empat persyaratan. Pertama, kontrak harus
sudah konkret saat dilangsungkan atau dapat diperkirakan akan
muncul di masa depan. Beberapa kontrak, seperti kontrak
salam, ijarah/leasing (sewa menyewa), atau bagi hasil
(mudharabah), dapat membenarkan ketentuan ini dengan
memperkirakan adanya objek akad di masa yang akan datang.
kedua, dibenarkan oleh syara’ sehingga segala sesuatu yang
tidak sesuai atau bertentangan dengan syara’ tidak dapat
9
Lukman Santoso, Hukum Perikatan: Teori Hukum dan Teknis Pembuatan Kontrak,
Kerjasama
dan Bisnis

6
dijadikan sebagai objek kontrak. Ketiga, kontrak harus dapat
diserahkan saat terjadi, meskipun tidak harus secara instan, bisa
dilakukan pada waktu yang telah ditentukan dalam kontrak.
Keempat, kontrak harus jelas atau dapat ditentukan (mu’ayyan)
dan diketahui oleh kedua belah pihak yang terlibat dalam
kontrak.
3. Pihak-pihak yang melaksanakan kontrak/ al ‘aqidain
Pihak-pihak yang menjalankan perjanjian disebut subyek
hukum, dan subyek hukum tersebut saling berbagi hak dan
kewajiban. Dalam konteks hukum Islam, tidak semua individu
dapat secara mandiri melaksanakan hak dan kewajibannya.
4. Tujuan kontrak/ maudhu’ul ‘aqd
Maksud tujuan kontrak atau maudhu’ul ‘aqd adalah
mengapa seseorang melakukan perjanjian dengan orang lain
untuk menjalankan suatu muamalah antara manusia, dan
konsekuensi hukum dari kontrak tersebut ditentukan oleh
syariat yang ditetapkan oleh Allah.

C. Teori Terjadinya Kontrak


Terbentuknya teori hukum kontrak pada abad ke 19 sebagaimana
dinamai teori hukum kontrak klasik, merupakan suatu reaksi kuat yang
melahirkan sumber kewajiban kontraktuil adalah pertemuan dua kehendak
atau bertemunya kehendak (convergence of the wills) atau konsensus
kedua belah pihak yang membuat kontrak. Pada abad ke 19, para ahli
hukum kontrak telah memiliki kecenderungan untuk memperlakukan atau
menepatkan pilihan individual (individual choice) bukan hanya sebagai
suatu unsur kontrak, melainkan kontrak itu sendiri, sehingga kebebasan
menjadi tujuan utama dalam pembentukan hubungan kontraktuil.10
Pada perspektif teori hukum kontrak tersebut, moral dan hukum
harus secara tegas, sehingga muncul suatu agadium summum jus summa

10
Dr. H. Salle, S.E., S.H., M.H., Hukum Kontrak: Teori dan Praktik

7
injuria (Hukum tertinggi dapat berarti tidak adilan yang terbesar) atau
penyalahgunaan hak tidak mendapat tempat dalam doktrin ini. Dari itu
apabila seseorang dirugikan oleh suatu kontrak disebabkan kesalahannya
sendiri, maka harus dipikul sendiri, oleh karena ia menerima kewajiban itu
secara suka rela atau (volenti non fit injuria), harus dipenuhi, meskipun
orang itu mengalami kerugian, kontrak tetap berlaku sebagai undang-
undang bagi para pihak yang membuatnya.
Menurut Patrick S. Atiyah (1981;4), bahwa dalam teori hukum
kontrak klasik timbul dua aspek mendasar yaitu:
1. Kebebasan sebanyak mungkin untuk melakukan suatu kontrak.
2. Kontrak tersebut, harus diperlakukan sakral oleh pengadilan, oleh
karena para pihak secara bebas dan tidak ada pembatasan dalam
melakukan kontrak.
Dengan demikian, kebebasan berkontrak dan kesucian kontrak menjadi
dasar keseluruhan hukum kontrak yang berkembang dalam teori hukum
kontrak klasik. Dengan kata lain teori tersebut berorentasi pada kesucian
kontrak dan kebebasan berkontrak.
Ide pertama kebebasan kontrak terkait dengan prinsip persetujuan
dan kehendak para pihak dalam kontrak. Karena itu di oandang sebagai
hasil dari pilihan bebas atau (free choice) dari para pihak. Maka dari itu
melahirkan suatu pemahaman bahwa tidak seorang pun terikat dalam
suatu hubungan kontraktuil sepanjang tidak dilakukan atas dasar adanya
pilihan bebas untuk melakukan sesuatu.
Dengan demikian koma menurut teori hukum kontrak klasik, ada
dua hal prinsip dalam suatu huubungan kontraktuil yaitu prinsip
persetujuan, dan prinsip kehendak bebas atau (free will) atau pilihan bebas
(free choice). Dari perkembangan teori kebebasan berkontrak klasik
tersebut maka tumbuh suatu aliran atau teori hukum kontrak modern yang
menekankan bahwa konsensus adalah inti (chore) dan dasar dari suatu
hubungan kontraktuil.

8
Teori hukum kontrak modern, mengakui pentingnya kebebasan
individu dalam menentukan pilihan kehendaknya dalam suatu hubungan
kontraktuil, namun disamping itu diperlakukan pula suatu konsensus yang
tegas.
D. Asas-Asas Hukum pada Umumnya
Principle off law atau asas hukum yang dalam kata lain di sebut
dengan gronbginselen adalah merupakan aspek penting dalam kajian-
kajian keilmuan hukum. Ilmu hukum (science of law) adalah ilmu yang
objeknya hukum dalam arti norma yang di maksudkan adalah norma yang
mengikat yaitu norma hukum (rechts norm). 11
Norma hukum yang baik secara teori adalah yang berpijak dari
suatu asas hukum sebagai landasan fundamental yang merupakan
fundamentale norm. Norma hukum yang berpijak atas suatu asas hukum,
akan mencerminkan nilai-nilai fundamental yang mengakar dari suatu
masyarakat dimana hukum itu di tujukan atau di perlakukan. Atas dasar
itulah, maka pakar hukum telah bersepakat melihat struktur hukum ke
dalam tiga lapisan atau strata sebagai berikut:
1. Asas Hukum (principle of law)
2. Norma Hukum (norm of law)
3. Aturan Hukum (rule of law)
Strukturisasi hukum tersebut di atas, jelas menunjukkan bahwa
asas hukum mempunyai kedudukan lebih tinggi dari lapisan-lapisan
berikutnya. Norma huum harus dijiwai oleh asas hukum, dan untuk
berlakunya suatu norma hukum, maka harus diwadahi oleh suatu aturan
hukum. Atas dasar pemikiran tersebut, maka dalam penulisan ini
dipandang perlu kiranya untuk diurai lebih jauh tentang ari dan fungsi dari
asas hukum J.J.H. Bruggink, mengatakan bahwa gagasan tentang asas
hukum sebagai kaidah penilaian fundamental dalam suatu sistem hukum,
ditemukan pada karya-karya dari banyak teoritis hukum. Teoritis hukum,

11
Muhammad Muhtarom, Asas-asas Hukum Perjanjian.

9
telah menepatkan asas hukum sebagai salah satu sorotan utama dalam
mengkaji masalah-masalah hukum.

E. Asas-Asas Hukum Kontrak


Berdasarkan teori, di dalam suatu hukum kontrak terdapat 5 (lima)
asas yang dikenal menurut ilmu hukum perdata. Kelima asas itu antara lain
adalah: asas kebebasan berkontrak (freedom of contract), asas
konsensualisme (concsensualism), asas kepastian hukum (pacta sunt
servanda), asas itikad baik (good faith), dan asas kepribadian (personality).
Berikut ini adalah penjelasan mengenai asas-asas dimaksud:
1. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal
1338 ayat (1) KUHPer, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.” Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan
kebebasan kepada para pihak untuk: (1) membuat atau tidak membuat
perjanjian; (2) mengadakan perjanjian dengan siapa pun; (3) menentukan
isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta (4) menentukan
bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan. Pada akhir abad ke-19,
akibat desakan paham etis dan sosialis, paham individualisme mulai
pudar, terlebih-lebih sejak berakhirnya Perang Dunia II. Paham ini
kemudian tidak mencerminkan keadilan. Masyarakat menginginkan pihak
yang lemah lebih banyak mendapat perlindungan. Oleh karena itu,
kehendak bebas tidak lagi diberi arti mutlak, akan tetapi diberi arti relatif,
dikaitkan selalu dengan kepentingan umum. Pengaturan substansi kontrak
tidak semata-mata dibiarkan kepada para pihak namun perlu juga diawasi.
Pemerintah sebagai pengemban kepentingan umum menjaga
keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Melalui
penerobosan hukum kontrak oleh pemerintah maka terjadi pergeseran
hukum kontrak ke bidang hukum publik. Oleh karena itu, melalui

10
intervensi pemerintah inilah terjadi pemasyarakatan hukum
kontrak/perjanjian.
2. Asas Konsensualisme (concensualism)
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1)
KUHPer. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya
perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas
ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya
tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya
kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara
kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak. Asas
konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman.
Di dalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi
lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal.
Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara
nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan). Sedangkan perjanjian
formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu
tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan). Dalam
hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus
innominat. Artinya, bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk
yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUHPer
adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.
3. Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda)
Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt
servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian.
Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga
harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak,
sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh
melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para
pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat
(1) KUHPer. Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam
hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada

11
kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan
sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang
diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan
dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangan
selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagai pactum, yang
berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan
formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus pactum sudah cukup dengan
kata sepakat saja.
4. Asas Itikad Baik (good faith)
Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPer
yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” 12Asas
ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur
harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau
keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad
baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik
mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan
tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian
terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif
untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma
yang objektif. Berbagai putusan Hoge Raad (HR) yang erat kaitannya
dengan penerapan asas itikad baik dapat diperhatikan dalam kasuskasus
posisi berikut ini. Kasus yang paling menonjol adalah kasus Sarong Arrest
dan Mark Arrest. Kedua arrest ini berkaitan dengan turunnya nilai uang
(devaluasi) Jerman setelah Perang Dunia I (Salim H.S, 2004: 3). Kasus
Sarong Arrest: Pada tahun 1918 suatu firma Belanda memesan pada
pengusaha Jerman sejumlah sarong dengan harga sebesar 100.000 gulden.
Karena keadaan memaksa sementara, penjual dalam waktu tertentu tidak
dapat menyerahkan pesanan. Setelah keadaan memaksa berakhir, pembeli
menuntut pemenuhan prestasi. Tetapi sejak diadakan perjanjian, keadaan
sudah banyak berubah dan penjual bersedia memenuhi pesanan tetapi

12
SUHUF, Vol. 26, No. 1, Mei 2014: 48-56

12
dengan harga yang lebih tinggi, sebab apabila harga tetap sama maka
penjual akan menderita kerugian, yang berdasarkan itikad baik antara para
pihak tidak dapat dituntut darinya. Pembelaan yang penjual ajukan atas
dasar Pasal 1338 ayat (3) KUHPer dikesampingkan oleh HR dalam arrest
tersebut. Menurut putusan HR tidak mungkin satu pihak dari suatu
perikatan atas dasar perubahan keadaan bagaimanapun sifatnya, berhak
berpatokan pada itikad baik untuk mengingkari janjinya yang secara jelas
dinyatakan HR masih memberi harapan tentang hal ini dengan
memformulasikan: mengubah inti perjanjian atau mengesampingkan
secara keseluruhan. Dapatkah diharapkan suatu putusan yang lebih ringan,
jika hal itu bukan merupakan perubahan inti atau mengesampingkan
secara keseluruhan. Putusan HR ini selalu berpatokan pada saat dibuatnya
oleh para pihak. Apabila pihak pemesan sarong sebanyak yang dipesan,
maka penjual harus melaksanakan isi perjanjian tersebut, karena
didasarkan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
5. Asas Kepribadian (personality)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa
seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk
kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan
Pasal 1340 KUHPer. Pasal 1315 KUHPer menegaskan: “Pada umumnya
seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk
dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan
suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri.
Pasal 1340 KUHP berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang
membuatnya.” Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat
oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun
demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana diintridusir
dalam Pasal 1317 KUHPer yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian
diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat
untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung
suatu syarat semacam itu.” Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang

13
dapat mengadakan perjanjian/ kontrak untuk kepentingan pihak ketiga,
dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal
1318 KUHPer, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri,
melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang
yang memperoleh hak daripadanya. Jika dibandingkan kedua pasal itu,
maka Pasal 1317 KUHPer mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga,
sedangkan dalam Pasal 1318 KUHPer untuk kepentingan dirinya sendiri,
ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari yang
membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317 KUHPer mengatur tentang
pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUHPer memiliki ruang lingkup
yang luas.

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa
persyaratan perjanjian dalam Hukum Perdata dan Hukum Islam hampir
identik, dimaksudkan untuk menjaga kepentingan pihak yang terlibat
dalam suatu kontrak. Memang, dari perspektif hukum, keduanya memiliki
dasar yang berbeda. Dalam hukum konvensional, peraturan utamanya
berasal dari undang-undang, diikuti oleh adat seperti norma kesusilaan dan
ketertiban umum. Sementara dalam perjanjian syariah, segala aturan,
perjanjian, dan perilaku umat Islam harus sesuai dengan prinsip utama
yaitu syariah, mencakup al-Quran, hadis, serta interpretasi dan kaidah-
kaidah fiqih. Dalam hukum perdata syarat sahnya perjanjian diantaranya
dengan adanya kata sepakat secara sukarela dari mereka yang membuat
perjanjian, adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan, mengenai
suatu hal tertentu, dan suatu sebab (kausa) yang halal. Sedangkan dalam
hukum Islam syarat sahnya perjanjian diantaranya dengan pernyataan
kehendak para pihak (Ijab qabul), objek kontrak (mahal al ‘Aqd), Pihak-
pihak yang melaksanakan kontrak (al ‘aqidain), dan Tujuan kontrak
(maudhu’ul ‘aqd).
Selanjutnya teori hukum kontrak klasik timbul dua aspek mendasar
yakni, kebebasan sebanyak mungkin untuk melakukan suatu kontrak, dan
kontrak tersebut, harus diperlakukan sakral oleh pengadilan, oleh karena
para pihak secara bebas dan tidak ada pembatasan dalam melakukan
kontrak.

15
B. Saran
Saran dari kami, sangatlah penting bagi semua pihak untuk
menetapkan jenis perjanjian yang akan dibuat sebelum menandatangani
perjanjian tersebut, sehingga tercipta pemahaman dan kenyamanan dalam
pelaksanaannya di masa depan. Sebagai salah satu negara dengan
mayoritas penduduknya beragama Islam, Indonesia seharusnya memiliki
regulasi yang khusus mengatur perjanjian berdasarkan syariah dalam suatu
undang-undang tersendiri, sebagai alternatif dari KUHPerdata, untuk
memastikan perlindungan yang lebih baik terutama bagi masyarakat
muslim.

16
DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Chairuman Pasaribu, Sahrawardi K. Lubis, 2004, Hukum Perjanjian dalam
Islam, Jakarta, Sinar Grafika
Dr. H. Salle, S.E., S.H., M.H, 2019, Hukum Kontrak: Teori dan Praktik,
Makassar, CV. Social Politic Genius (SIGn).
Gemala Dewi, Dkk, 2005, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Depok,
Kencana prenada media group
Lukman Santoso, 2016, Hukum Perikatan: Teori Hukum dan Teknis
Pembuatan Kontrak, Kerjasama dan Bisnis, Malang, Setara Press
R. Subekti, 2005, Hukum Perjanjian, Jakarta, Intermasa
Salim, H.S., 2006, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak,
Jakarta, Sinar Grafika
Suharnoko, 2004, Hukum Perjanjian : Teori dan Analisa Kasus, Jakarta,
Nusa Media

Jurnal:
Atiyah. 1983.The Law of Contract. London: Clarendon Press.
M. Muhtarom, jilid 26 No.1, Mei 2014, Asas-Asas Hukum Perjanjian:
Suatu Landasan Dalam Pembuatan Kontrak, Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Emmanuel Raja Damaitu, 2014, Jurnal Repertorium: Perbandingan Asas

17
Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM
Panggabean. R. M (2010). Keabsahan Perjanjian dengan Klausul Buku.
Perjanjian dalam Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

18

Anda mungkin juga menyukai