Anda di halaman 1dari 38

Tinjauan Yuridis Terhadap Force Majeure Dalam Pelaksanaan

Pembatalan Perjanjian Bisnis Akibat Pandemi Corona Virus Disease

(Covid-19) Berdasarkan Buku III Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata

Proposal Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Hukum Universitas Islam Nusantara untuk
Memenuhi Salah Satu Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana
Hukum

Oleh :
Moh Nur Fauzan
41033300171090

Pembimbing :
Hj. Elis Herlina, SH,. MH.
Hj. Happy Yulia Anggraeni, ST,. SH,. M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA

BANDUNG

(2021)
i

KATA PENGANTAR

Assalamualikum Wr. Wb.

Puji serta syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena

dengan Rahmat dan Ridho-nya penulis dapat menyelesaikan proposal

penelitian skripsi ini dengan judul “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP

FORCE MAJEURE DALAM PELAKSANAAN PEMBATALAN

PERJANJIAN BISNIS AKIBAT PANDEMI CORONA

VIRUS DISEASE (COVID-19) BERDASARKAN BUKU III KITAB

UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA.”

Pada proposal penelitian skripsi ini, penulis banyak mengalami

kesulitan yang disebabkan oleh adanya keterbatasan ilmu pengetahuan dan

kemampuan yang dimiliki oleh penulis, sehingga penulis menyadari

sepenuhnya bahwa dalam penulisan proposal penelitian skripsi ini masih

jauh dari kata sempurna dalam penyajian materi, namun demikian, dengan

adanya bantuan dan dorongan dari berbagai pihak yaitu berupa bimbingan,

nasehat-nasehat, petunjuk-petunjuk, dan pemberian data-data yang

dibutuhkan dalam proposal penelitian skripsi ini, maka kesulitan tersebut

dapat terselesaikan dengan baik.

Pada kesempatan ini, perkenankan Penulis menyampaikan rasa

terimakasih kepada para Dosen Pembimbing pada penulisan proposal

penelitian skripsi ini, yang telah meluangkan waktu untuk memberikan


ii

arahan dan masukan kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan proposal

penelitian ini.

Harapan Penulis terhadap semua pihak yang telah membantu

memberikan doa, dukungan, bantuan moril maupun materil kepada penulis

yang tida bisa penulis sebutkan satu persatu, diberikan balasan pahala yang

setimpal dari Allah SWT.

Akhir kata penulis menyadari dan memohon maaf atas kekurangan

dalam penulisan proposal penelitian skripsi ini. Kritik dan saran yang

bersifat membangun penulis harapkan demi kesempurnaan proposal

penelitian skripsi ini dan penulis berharap semoga penulisan proposal

penelitian skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya. Semoga

Allah SWT senantiasa memberikan rahmatnya kepada kita semua, Amin ya

rabbal’alamin.
iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................ ii

BAB I TINJAUAN YURIDIS TERHADAP FORCE MAJEURE DALAM


PELAKSANAAN PEMBATALAN PERJANJIAN BISNIS
AKIBAT PANDEMI CORONA VIRUS DISEASE (COVID-19)
BERDASARKAN BUKU III KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM PERDATA

A. Latar Belakang ......................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah ................................................................ 8

C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 9

D. Kegunaan Penelitian ................................................................ 9

E. Kerangka Pemikiran ...............................................................11

F. Metode Penelitian .................................................................. 23

G. Sitematika Penulisan ............................................................. 25

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 28


TINJAUAN YURIDIS TERHADAP FORCE MAJEURE DALAM

PELAKSANAAN PEMBATALAN PERJANJIAN BISNIS AKIBAT

PANDEMI CORONA VIRUS DISEASE (COVID-19) BERDASARKAN

BUKU III KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

A. Latar Belakang

Perjanjian pada prinsipnya merupakan serangkaian janji yang

dituangkan secara tertulis oleh kedua belah pihak. Perjanjian

merupakan suatu peristiwa hukum yang berawal dari adanya

perbedaan atau ketidak sesuaian antara kedua belah pihak yang saling

memiliki kepentingan1, sehingga berjalannya perjanjian biasanya akan

diawali dengan adanya proses negosiasi dengan harapan dapat

mencapai kesesuaian kepentingan para pihak yang tercantum dalam

rangkaian klausula-klausula isi perjanjian.

Perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak akan

mewujudkan suatu hubungan hukum diantara keduanya dan tentunya

akan melahirkan suatu akibat hukum berupa pemenuhan hak dan

kewajiban sebagai mana yang telah terantum dalam perjanjian. Sudikno

Mertokusumo menegaskan bahwa perjanjian akan menimbulkan suatu

akibat hukum yang harus ditaati dan dijalankan oleh para pihak, yang

1
Abdul R. Sariman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan “Teori dan Contoh Kasus”,
Jakarta; Kencana Prenad Media Group, 2005, hlm. 45.
2

meliputi pemenuhan hak dan kewajiban sesuai dengan objek dalam

perjanjian yang berkaitan2.

Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk baku

tertentu, sehingga dalam praktiknya perjanjian dapat dibuat baik secara

lisan maupun tulisan dengan jenis perjanjiannya. Beberapa perjanjian

memang dapat ditentukan oleh Undang-Undang atau yang biasanya

disebut dengan perjanjian baku seperti perjanjian mendirikan perseroan

terbatas. Namun seiring dengan perkembangan era globalisasi jenis

perjanjian yang beragam, maka berdampak juga pada bentuk dari

perjanjiannya sendiri.

Sejalan dengan hal tersebut jenis perjanjian yang saat ini sedang

banyak dilakukan adalah perjanjian bisnis. Perjanjian bisnis menjadi

salah satu contoh dari perkembangan perjanjian yang biasanya diatur

dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang

mengandung hubungan hukum antara orang perorangan dan terletak

pada hal-hal bidang harta kekayaan. Bisnis yang pada dasarnya

merupakan satu kegiatan yang dilakukan oleh manusia untuk

memperoleh pendapatan atau penghasilan dalam rangka memenuhi

kebutuhan dalam menjalani kehidupan di dunia dengan cara mengelola

sumber daya ekonomi secara efektif dan efisien3.

2
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1985, hlm.6.
3
Manullang, Pengantar Bisnis, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002, hlm.
8.
3

Penjelasan tersebut menjadi satu kesesuaian antara perjanjian dan

bisnis, sehingga perjanjian bisnis bermakna hubungan hukum yang

terjadi antara kedua belah pihak khususnya dalam hal harta kekayaan,

sehingga dalam pemenuhan hak dan kewajiban para pihak akan

mempunyai nilai-nilai komersial yang akan mempengaruhi berjalannya

bisnis pihak yang terikat dalam perjanjian.

Perjanjian yang dibuat seperti yang diketahui akan berdampak

secara otomatis mengikat dirinya dalam suatu hubungan hukum yang

menimbulkan hak dan kewajiban atau disebut dengan prestasi.

Seseorang bebas untuk membuat perjanjian dengan pihak manapun

yang dikehendakinya sebagaimana asas kebebasan berkontrak.4

Berdasarkan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

dijelaskan bahwa “Perjanjian adalah tindakan yang dilakukan oleh dua

orang atau lebih pihak yang mana masing-masing pihak dituntut untuk

melakukan suatu prestasi”. Perjanjian yang dibuat secara sah dapat

dilaksanakan oleh para pihak yakni para pihak dapat melaksanakan

pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan untuk

mencapai tujuan dari perjanjian tersebut.5

Pemenuhan hak dan kewajiban, dalam berjalannya perjanjian

merupakan hal utama yang perlu diperhatikan. Mengingat pada

4
Hetharie Y, “Perjanjian Nominee sebagai Sarana Penguasaan Hak Milik atas Tanah
oleh Warga Asing (WNA) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”, SASI 25(1),
hlm 32 (2019).
5
Aminah, “Pengaruh Pandemi Covid 19 Pada Pelaksanaan Perjanjian”, Diponegoro
Private Law Review 7(1), hlm 652 (2020).
4

praktiknya terdapat beberapa faktor yang membuat tidak terpenuhinya

prestasi tersebut, seperti kesalahan yang sengaja karena kelalaian salah

satu pihak dalam perjanjian maupun keadaan memaksa diluar dari

kendali para pihak dalam perjanjian6.

Seperti yang sedang terjadi dewasa ini, hampir semua negara di

dunia sedang tertimpa musibah yang besar dikarenakan Corona Virus

Disease tahun 2019 (Covid-19) serta sedang memikirkan cara

mengenai bagaimana upaya dan usaha untuk memutus rantai

penyebaran Corona Virus Disease tahun 2019 (Covid-19). World

Health Organization (WHO) telah menetapkan Covid-19 sebagai

pandemi global setelah menjangkit lebih dari 126.000 orang 123

negara..7 Pneumonia yang disebabkan oleh SARS-CoV 2 atau

coronavirus ini menjadi ancaman bagi negara-negara di dunia karena

sifat penyebarannya yang cepat.8 Salah satunya negara Indonesia yang

tidak luput dalam penyebaran wabah tersebut. Penyebaran wabah

Corona Virus Disease tahun 2019 (Covid-19) yang begitu masif di

Indonesia membuat masyarakat menjadi khawatir dan sangat takut

6
Suharnoko, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus, Cet.1, Jakarta: Kencana,
2003, hlm.4.
7
Gloria Setyvani Putri,”WHO Resmi Sebut Virus Corona Covid-19 sebagai Pandemi
Global”, https://www.kompas.com/sains/read/2020/03/12/083129823/who-resmi-sebut-
virus-corona-covid-19-sebagai-pandemi-global?page=all/(diakses pada tanggal 12/02/2021
Pukul 20:09 WIB)
8
Radika Cahyadi, “5 Langkah Perusahaan Lindungi Karyawan dari Wabah Corona”,
https://www.gadjian.com/blog/2020/03/24/5-langkah-perusahaan-lindungi-karyawan-dari-
wabah-corona/(diakses pada tanggal 12/02/2021 Pukul 20:13 WIB)
5

tertular virus tersebut. Rasa khawatir tersebut menyentuh berbagai

lini/segmen masyarakat dari berbagai profesi, umur serta gender.

Penyebaran virus Corona Virus Disease tahun 2019 (Covid-19) ini

direspon cepat oleh pemerintah Indonesia dengan berbagai tindakan

pencegahan yang dilakukan serta kebijakan dan peraturan yang dibuat

oleh pemerintah Indonesia. Adapun kebijakan ataupun peraturan

Pemerintah serta Instansi lainnya sudah banyak dibuat untuk mengatasi

permasalahan Covid-19 ini antara lain :

1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1

Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan dan Stabilitas Sistem

Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona virus Disease 2019

(Covid-19).

2. Undang-Undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Karantina Wilayah

3. Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2020 tentang Pembatasan

Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam rangka Percepatan

Penanganan Covid-19.

4. Keputusan Presiden (Kepres) nomor 12 Tahun 2020 tentang

Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Covid-19 sebagai

Bencana Nasional.

5. Maklumat Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor

MAK/2/III/2020 Tahun 2020 tentang Kepatuhan terhadap

Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Penyebaran Virus

Corona (Covid-19)
6

Terbitnya peraturan ataupun kebijakan yang dilakukan ataupun

diterbitkan oleh pemerintah semata-mata bukan hanya demi kesehatan

masyarakat akan tetapi demi menyelamatkan perekonomian masyarakat

juga. Akan tetapi peraturan ataupun kebijakan tersebut pada

kenyataannya menjadi menimbulkan polemik dimasyarakat terutama

dalam ruang bisnis, seperti salah satu kebijakan tentang physical

distancing, yaitu kebijakan untuk melakukan pembatasan aktivitas

seseorang yang bertujuan untuk menekan terjadinya penyebaran virus

Covid-19 yang ditakutkan semakin menyebar luas.

Physical distancing mengakibat ruang gerak masyarakat menjadi

terbatas sehingga menghambat berbagai aktivitas ataupun kegiatan

masyarakat serta tidak menutup kemungkinan ini sangat berdampak

terhadap ruang usaha atau bisnis masyarakat. Pelaku usaha atau

perusahaan yang secara langsung berhadapan dengan kegiatan yang

terkait dengan bahan baku, proses produksi, pengepakan barang,

pendistribusian barang pada konsumen atau pemenuhan kewajiban pada

pihak melalui kesepakatan perjanjian sebelum adanya pandemi tentu

menjadi terpengaruhi dalam proses kegiatannya.

Permasalahan timbul ketika ruang dimensi bisnis yang tercantum

dalam perjanjian menjadi terganggu, sehingga seringkali terjadi salah

satu pihak dalam perjanjian bisnis membatalkan perjanjian tersebut.

Pembatalan sepihak dilakukan dengan menjadikan keadaan pandemi

Covid-19 sebagai alasan untuk membebaskan diri dari kewajibannya


7

memenuhi prestasi. Pihak yang membatalkan beranggapan bahwa pada

dasarnya pandemi covid-19 merupakan keadaan force majeure

sehingga dapat secara langsung melakukan pembatalan perjanjian yang

sudah ada.

Force majeure memang biasanya dikaitkan dengan suatu kejadian

yang disebabkan oleh kekuatan yang lebih besar ataupun upaya

seseorang untuk terhindar darinya seperti gempa bumi, gunung meletus,

perang, kerusuhan, banjir, tindakan pemerintah dan lain-lain, yang

mana akibat daripada itu menyebabkan seseorang atau salah satu pihak

dalam perjanjian tidak dapat menjalankan prestasinya.

Dalam suatu perjanjian, klausul force majaure merupakan hal yang

tidak boleh terlewatkan. Klausul ini ada karena adanya kebutuhan

pengaturan untuk hal-hal yang mungkin terjadi dimasa yang akan

datang yang dapat berpotensi untuk menimbulkan konflik antara para

pihak dalam perjanjian.

Akan tetapi perlu dipahami juga bahwa force majeure atau

biasanya disebut keadaan kahar tidak memiliki definisi yang tegas

sehingga mengakibatkan beragamnya interpretasi muncul termasuk dari

para ahli hukum sehingga tidak jarang perbedaan interpretasi tersebut

dapat menimbulkan masalah dikemudian hari. Seperti kondisi saat ini

yang mana munculnya Corona Virus Disease tahun 2019 (Covid-19) di

Indonesia membuat banyaknya dilakukan pembatalan perjanjian bisnis


8

atau kontrak yang dilakukan secara sepihak oleh salah satu pihak yang

terikat dalam perjanjian tersebut ataupun tidak terwujudnya suatu

prestasi dari salah satu pihak dalam suatu perjanjian. hal ini tentunya

tidak bisa semata-mata dilakukan karena alasan force majeure

penyebaran Corona Virus Disease tahun 2019 (Covid-19). Lebih lanjut,

kasus lain yang dapat dijadikan perbandingan yaitu kasus force

majeure akibat hujan pada putusan nomor 587PK/Pdt/2000 dan kasus

force majeure akibat krisis moneter pada putusan nomor

3087K/Pdt/2001.

Pembatalan perjanjian telah diatur oleh Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata dan perjanjian itu sendiri, serta penetapan penyebaran

Corona Virus Disease tahun 2019 (Covid-19) sebagai keadaan kahar

atau force majeure masih perlu dikaji apakah telah memenuhi

persyaratan kategori force majeure atau tidak. Berdasarkan penjelasan

diatas maka dibutuhkan suatu penelitian terkait dengan Tinjauan

Yuridis force majeure Terhadap Pelaksanaan Pembatalan Perjanjian

Bisnis Akibat Pandemi Corona Virus Disease tahun 2019 (Covid-19)

Berdasarkan Buku III Kitab Undang-Undang Buku Perdata.

B. Identifikasi Masalah

1. Bagaimana pengaturan penetapan force majeure terhadap

pembatalan peranjian bisnis di Indonesia berdasarkan Buku III Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata ?


9

2. Bagaimana pelaksanaan pembatalan perjanjian bisnis akibat force

majeure pandemi Corona Virus Disease tahun 2019 (Covid-19)

berdasarkan Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan

alternatif solusinya ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian rumusan masalah sebagaimana telah diuraikan di

atas, maka tujuan penelitian yang hendak dicapai oeh penulis adalah

sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis pelaksaaan pengaturan

penetapan force majeure terhadap pembatalan perjanjian bisnis

di Indonesia berdasarkan Buku III Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis pelaksanaan pembatalan

perjanjian bisnis akibat force majeure pandemi Corona Virus

Disease tahun 2019 (Covid-19) berdasarkan Buku III Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata beserta alternatif solusinya.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan ataupun

manfaat baik secara teoritis maupun praktis, yaitu sebagai berikut

1. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini diarapkan dapat berguna bagi :


10

a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi kalangan akademisi,

praktisi dan pemerhati masalah hukum khususnya terkait

permasalahan pengaturan ganti rugi terhadap pembatalan

perjanjian bisnis akibat pandemi Corona Virus Disease tahun

2019 (Covid-19) dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata agar dapat dijadikan analisis yang lebih mendalam,

memahami dan menyikapi aspek-aspek yang berkaitan

pelaksanaan pembatalan perjanjian bisnis ditengah pandemi

Corona Virus Disease tahun 2019 (Covid-19) serta force

majeure.

b. Sebagai bahan kajian, informasi dan referensi untuk melengkapi

bahan kepustakaan yang telah ada dalam mempelajari hukum

perjanjian, khususnya tentang pelaksanaan pembatalan

perjanjian bisnis ditengah pandemi Corona Virus Disease tahun

2019 (Covid-19).

2. Kegunaan Praktis

a. Memberikan pemahaman bagi masyarakat dan praktisi hukum

agar memperhatikan Buku III Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata dalam melakukan pembatalan perjanjian yang

dikarenakan pandemi Corona Virus Disease tahun 2019 (Covid-

19) yang dianggap force majeure.


11

b. Memberikan saran kepada masyarakat ataupun praktisi hukum

untuk lebih memahami permasalahan force majeuer akibat

pandemi Corona Virus Disease tahun 2019 (Covid-19).

E. Kerangka Pemikiran

1. Kerangka Konseptual

Istilah kontrak dalam bahasa Inggris disebut dengan contract dan

merupakan terjemahan dari bahasa “overenkomst” yang berasal dari

kata dasar overeenkomen yang berarti setuju atau sepakat. Jadi

“overenkomst” mengandung kata sepakat sesuai dengan asas

konsensualisme yang dianut oleh B.W . oleh karena itu, istilah

terjemahannya pun harus dapat mencerminkan asas kata sepakat.9

Sedangkan perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana salah

satu orang atau lebih mengaitkan dirinya terhadap satu orang lain

atau lebih. Perjanjian sering diartikan sama dengan kontrak, Dari

pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat diketahui

rumusan dari perjanjian adalah :

a. Suatu perbuatan;

b. Satu orang atau lebih dari satu orang;

9
Moc. Chidir Ali, H. Achmad Samsudin dan Mashudi, Pengertian-Pengertian
Elementer Hukum Perjanjian Perdata, Bandung: Mandar Maju, 1993, hlm 21.
12

c. Perbuatan tersebut melahirkan perikatan-perikatan di antara

pihak-pihak yang berjanji.

Suatu perbuatan yang disebutkan dalam rumusan awal ketentuan

Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat diketahui

bahwa perjanjian mungkin terjadi jika ada suatu perbuatan nyata,

baik dalam bentuk ucapan, maupun tindakan secara fisik, dan tidak

hanya dalam bentuk pikiran semata-mata.10 Dari peristiwa itu

timbulah suatu hubungan hukum antara dua orang tersebut atau lebih

yang dinamakan perikatan. Jika dilihat dari bentuknya, perjanjian

merupakan suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji

atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Isi perjanian disebut

dengan prestasi yang berupa penyerahan suatu barang, melakukan

suatu perbuatan, dan tidak melakukan suatu perbuatan.

Suatu perjanjian adalah semata-mata suatu persetujuan yang

diakui oleh hukum.11 Untuk mengadakan suatu perjanjian itu selalu

diperlukan suatu perbuatan hukum yang timbal balik atau bersegi

banyak. Sebab dalam mengadakan perjanjian diperlukan dua atau

lebih pernyataan kehendak yang sama, yaitu kehendak yang sama-

sama lainnya cocok.12 Dilihat dari adanya dua orang atau pihak yang

mengucapkan atau menulis janji-janji itu dan kemudian, sebagai

10
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008, hlm 7.
11
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian,Bandung: Alumni, 1986, hlm 93.
12
Moc. Chidir Ali, H. Achmad Samsudin dan Mashudi, Idem, hlm 87.
13

tanda kesepakatan, berjabatan tangan atau menandatangani surat

perjanjian, maka suatu perjanjian adalah suatu peristiwa konkret.13

Hak-hak yang timbul dalam hukum perjanjian adalah bersifat

perorangan. Sifat perseorangan dalam hukum perjanjian akan

menimbulkan gejala-gejala hukum, yang merupakan akibat dari

hubungan hukum antara pihak-pihak dalam perjanjian. Sekalipun

perjanjian itu mempunyai objek sesuatu benda, namun yang diatur

oleh hukum perjanjian adalah perhubungan antara person-person

yang mengadakan hubungan hukum itu ialah antara person tertentu

dan person lain yang tertentu pula, sehingga hak yang timbul dari

hukum perjanjian bersifat tidak mutlak (nisbi) karena hanya dapat

dilakukan terhadap person tertentu saja ialah person yang

mengadakan perjanjian itu.14

Dari beberapa pendapat dari para sarjana hukum mengenai

definisi dari perjanjian, maka dapat dilihat bahwa perjanjian

memiliki unsur-unsur:

a. Adanya pihak-pihak

Pihak-pihak merupakan subjek perjanjian. Subjek

perjanjian dapat berupa manusia maupun badan hukum,

dimana subjek hukum harus mempunyai wewenang

melakukan perbuatan hukum seperti yang telah ditetapkan

oleh undang-undang.

13
Moc. Chidir Ali, H. Achmad Samsudin dan Mashudi, Idem, hlm 20.
14
Moc. Chidir Ali, H. Achmad Samsudin dan Mashudi, Idem, hlm 30.
14

b. Adanya persetujuan diantara pihak-pihak

Persetujuan sifatnya adalah tetap, karena dicapai setelah

adanya suatu perundingan yang merupakan tindakan

pendahuluan sebelum tercapainya suatu persetujuan. Dalam

perundingan umumnya dibicarakan mengenai syarat-syarat

dan objek perjanjian. Dengan disetujuinya syarat-syarat dan

objek perjanjian oleh pihak-pihak dalam perundingan, maka

timbulah perjanjian.

c. Adanya tujuan yang ingin dicapai

Tujuan dari adanya perjanjian adalah untuk memenuhi

kebutuhan para pihak. Tujuan para pihak tidak boleh

bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan tidak

dilarang oleh undang-undang.

d. Adanya prestasi yang akan dilaksanakan oleh pihak-pihak

Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh

pihak-pihak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian. Kewajiban

melakukan prestasi timbul setelah adanya persetujuan.

Kewajiban pihak-pihak untuk melakukan suatu prestasi dilihat

dari kewajiban yang harus dilakukan sesuai dengan

persetujuan di dalam perjanjian.

e. Adanya bentuk perjanjian tertulis atau lisan

Undang-Undang menentukan bahwa perjanjian dapat

mempunyai kekuatan mengikat dan menjadi kekuaatan bukti


15

jika perjanjian itu dibuat dengan bentuk tertentu. Perjanjian

dapat dibuat secara lisan dan tertulis. Perjanjian yang dibuat

secara lisan harus menggunakan kata-kata yang jelas sehingga

maksud dan tujuannya dapat dipahami oleh masing-masing

pihak. Untuk perjanjian yang dibuat secara tertulis dapat

berupa akta.

f. Adanya syarat-syarat tertentu

Syarat-syarat tertentu merupakan isi dari perjanjian

dimana dapat diketahui hak dan kewajiban dari masing-

masing pihak. Syarat-syarat ini terdiri dari syarat pokok yang

menimbulkan hak dan kewajiban. Selain itu syarat-syarat

tertentu juga berhubungan dengan syarat sahnya perjanjian

sebagaimana diatur dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata.

Dalam pelaksanaan kontrak sering tidak dapat berjalan sesuai

dengan yang dikehendaki oleh para pihak karena dalam pemenuhan

prestasi dalam tidak dilaksanakan sesuai dengan yang telah

disepakati oleh kedua belah pihak. Hal tersebut dikarenakan seorang

debitur cidera janji atau lalai untuk memenuhi kewajiban dalam

kontrak.

Pada hakikatnya suatu perjanjian dilakukan untuk saling

menguntungkan para pihak. Itikad baik (good faith) pada saat

memulai perjanjian atau kontrak membuktikan bahwa perjanjian


16

dilakukan atas kerelaan dari para pihak. Perjanjian yang dilakukan

dan disetuji oleh para pihak akan belaku ketika perjanjian tersebut

dilakukan, sehingga para pihak memiliki kewajiban masing-masing

untuk memenuhi prestasi.15

Pasal 1338 KUHPerdata akan berlaku secara otomatis jika

perjanjian telah dilakukan dan disepakati. Tidak ada alasan lain untuk

tidak dapat memenuhi isi suatu perjanjian yang telah disepakati

bersama oleh para pihak atau lazimnya disebut sebagai penerapan

asas pacta sunt servanda. Para pihak harus memenuhi perjanjian

sebagaimana yang telah diatur bersama. Asas pacta sunt servanda

dianggap sebagai undang-undang bagi para pihak yang menjalankan

perjanjian. Bahwa, pada hakikatnya harus tercapainya prestasi oleh

kedua pihak agar tidak ada yang dirugikan.16

Asas pacta sunt servanda bukan hanya persoalan moral dalam

perjanjian, melainkan persoalan hukum yang akan terjadi jika

prestasi tidak dapat dicapai oleh salah satu pihak, khususnya pihak

debitur. Bahkan, jika dibawa kepada ranah pengadilan, hakim tidak

dapat mengintervensi isi perjanjian yang dilakukan oleh para pihak.17

maka, kekuatan utama dalam isi perjanjian adalah para pihak itu

sendiri sebagai pembuat hukum.

15
Sinaga, Niru Anita, “Peranan Asas-Asas Hukum Perjanjian Dalam Mewujudkan Tujuan
Perjanjian”. Jurnal Binamulia Hukum, Vol. 7 No. 2, hlm 111 (2018).
16
Purwanto, Keberadaan Asas Pacta Sunt Servanda dalam Perjanjian Internasional”,
Jurnal mimbar hukum, Vol. 21 No. 1, 157 (2009).
17
Budiwati, Septarina, “Prinsip Pacta Sunt Servanda Dan Daya Mengikatnya Dalam
Kontrak Bisnis Perspektif Transendens”. Prosiding Seminar Nasional Hukum
Transendental, hlm 42-43 (2019).
17

Pihak yang tidak dapat memenuhi prestasi sesuai dengan apa

yang telah disepakati dalam kontrak dapat dikatakan wanprestasi.

Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yaitu wanprestatie yang

artinya prestasi buruk. Prestasi buruk memiliki arti yaitu tidak

dilaksanakannya prestasi karena kesalahan debitur, baik karena

kesengajaan maupun kelalaian. Subekti berpendapat bahwa

wanprestasi adalah apabila si berhutang (debitur) tidak melakukan

apa yang dijanjikanya.18 Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan)

seorang debitur berupa empat macam:19

a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;

b. Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana

dijanjikan;

c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh

dilakukannya.

Telah disebutkan sebelumnya bahwa wanprestasi dapat terjadi

apabila salah satu pihak yang ada dalam kontrak atau perjanjian

tidak memenuhi kewajibannya. Dengan adanya wanprestasi dari

salah satu pihak, mengakibatkan tidak terlaksananya suatu

perjanjian. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur dapat

disebabkan oleh 2 (dua) hal, yakni :

a. Karena pada diri debitur ada kesalahan.

18
Subekti, Hukum Perjanjian, Bandung: PT Intermasa, 2020, hlm 45.
19
Subekti, Ibid.
18

Debitur tidak dapat memenuhi kewajiban untuk berprestasi

dikarenakan adanya kelalaian atas kesengajaan.

b. Karena adanya keadaan memaksa (force majeure) atau

overmacht.

Keadaan memaksa (force majeure) atau overmacht suatu

keadaan yag dapat menyebabkan debitur tidak dapat

memenuhi prestasi kepada kreditur. Keadaan tersebut

merupakan keadaaan yang tidakdapat diketahui debitur pada

waktu membuat perjanjian atau keadaan ituterjadi diluar

kekuasaan debitur.

Kedudukan force majeure (keadaan memaksa) berada di dalam

bagian hukum kontrak. Menurut pendapat V. Brakel, adanya force

majeure berakibat pada kewajiban atas prestasi pihak debitur dapat

menjadi hapus dan konsekuensi lebih lanjutnya adalah debitur tidak

perlu mengganti kerugian kreditur yang diakibatkan oleh adanya

keadaan memaksa.20 Keadaan memaksa atau force majeure dapat

diartikan sebagai keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk

melaksanakan untuk melaksanakan prestasinya karena adanya

peristiwa atau keadaan yang tidak terduga saat dibuatnya suatu

kontrak, dimana peristiwa atau keadaan dipenuhinya

20
J. Satrio, Hukum Perikatan Perikatan Pada Umumnya, Bandung: Alumni, 1999, hlm
249.
19

Riduan Syahrani berpendapat bahwa keadaan memaksa atau

force majeure dikenal pula dengan istitah overmacht dan ada pula

yang menyebutnya dengan “sebab kahar”.21 Apabila ditelaah lebih

lanjut, pengaturan force majeure yang terdapat dalam KUHPerdata

tidak terdapat pasal yang mengatur force majeure untuk suatu

kontrak bilateral (kontrak yang dibuat dengan jalan saling menukar

janji-janji dari kedua para pihak), sehingga tidak terdapat patokan

yuridis secara umum yang dapat digunakan dalam mengartikan

pengertian force majeure. Maka untuk menafsirkan istilah force

majeure dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat

diartikan bahwa pengaturan mengenai force majeure yang terdapat

dalam bagian pengaturan tentang ganti rugi, atau pengaturan resiko

akibat force majeure untuk kontrak sepihak ataupun dalam bagian

kontrak-kontrak khusus (kontrak bernama) diambil dari kesimpulan-

kesimpulan teori-teori hukum tentang force majeuer, doktrin dan

yurisprudensi. Pengaturan mengenai keadaan memaksa atau force

majeure terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada

Pasal 1244 dan Pasal 1255. Namun ada juga beberapa pasal selain

yang sudah disebutkan sebelumnya yang dapat dijadikan pedoman

tentang force majeure yaitu Pasal 1545, 1553, 1444, 1445, dan 1460

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.22


21
Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas- asas Hukum Perdata, Bandung: Alumni,
2006, hlm 243.
22
H. Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Teori dan Praktik, Jakarta:
Kencana,2017, hlm 115.
20

2. Kerangka Teoritis

Perjanjian merupakan salah satu kegiatan hukum yang memiliki

peran penting dalam keberlangsungan hidup manusia. Hakekat

manusia sebagai makhluk sosial, saling berkaitan keberadaanya

dengan salah satu fungsi dari perjanjian yaitu untuk memenuhi

kebutuhan hidup manusia. Dalam hal ini tentu perjanjian yang telah

disepakati baik secara lisan maupun tulisan harus dapat

dipertanggungjawabkan dalam pemenuhan hak dan kewajibannya.

Roscoe Pound menyatakan bahwa “memenuhi janji” merupakan

suatu yang penting dalam kehidupan sosial, karena suatu janji

merupakan pernyataan tentang kehendak yang akan terjadi atau tidak

terjadi pada masa yang akan datang. Artinya bahwa janji seseorang

atas kehendaknya sendiri kepada orang lain merupakan pernyataan

atas keadaan tertentu pada dirinya untuk melakukan sesuatu, apabila

janji tersebut tidak dipenuhi maka akan menjadi hutang bagi dirinya

sendiri juga23.

Berdasarkan hal tersebut, menjelaskan bahwa perjanjian

bukanlah perbuatan hukum yang dapat diabaikan, karena perjanjian

yang telah disepakati akan mengikat kedua belah pihak dan menjadi

hukum atau aturan bagi yang telah menyepakatinya. Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata menjelaskan bahwa asas dalam perjanjian

jika dilihat dari daya mengikatnya dibagi menjadi bahwa perjanjian

23
Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perpektif Perbandingan
(Bagian Pertama), Yogyakarta: FH UII Press, 2013, hlm.57.
21

merupakan hukum yang memaksa dan perjanjian merupakan hukum

yang mengatur24 .

Perjanjian sebagai hukum yang memaksa, diartikan bahwa

perjanjian merupakan kaidah-kaidah hukum yang dalam keadaan

konkrit tidak dapat dikesampingkan, sehingga dalam pelaksanaannya

tidak dimungkinkan untuk para pihak dapat melakukan suatu

kelalaian atau kesalahan dalam perjanjian. 25 Perjanjian sebagai

hukum yang mengatur, diartikan sebagai suatu kaidah-kaidah hukum

yang dalam keadaan tertentu dapat dikesampingkan oleh para pihak

yang membuat perjanjian dan kemudian disepakati kembali dengan

sebuah adendum atau perubahan perjanjian26.

Kedudukan perjanjian sebagai hukum bukan hanya berlaku pada

perjanjian pada umumnya yang diatur dalam Pasal 1313 Kitab

Undang-undang Hukum Perdata, melainkan berlaku juga bagi

perkembangan perjanjian lainnya seperti yang sedang banyak

dilakukan saat ini baik oleh pengusaha maupun pemerintah, yaitu

perjanjian bisnis. Perjanjian bisnis yang merupakan turunan dalam

perjanjian pada umumnya tetap akan mengikuti asas-asas yang

terdapat dalam pembuatan perjanjian sebagaimana diatur dalam Buku

III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

24
Ramziati (et.al), Kontrak Bisnis Dalam Dinamika Teoritis dan Praktis,
Lhokseumawe: UNIMAL PRESS, 2019, hlm.15.
25
Ramziati (et.al), Ibid.
26
Ramziati (et.al), Ibid.
22

Asas pertama yang digunakan dalam pembuatan perjanjian yaitu

asas kebebasan berkontrak, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1338

ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa semua

perjanjian dibuat secara sah dan berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuatnya. Asas ini memberikan kebebasan kepada

para pihak yang saling berkepentigan untuk merumuskan perjanjian

sebagaimana yang mereka inginkan, namun dengan ketentuan

sebagai berikut27:

a. Bebas memilih dna menentukan apakah salah satu pihak mau

menyetujui dan melakukan perjanjian;

b. Bebas menentukan dengan siapa subjek hukum yang menjadi

para pihak terkait di dalamnya;

c. Bebas menentukan rumusan isi perjanjian yang dibuat dengan

rancangan klausula-klausula;

d. Bebas menentukan bentuk dan jenis perjanjian yang akan

dibuatnya;

e. Kebebasan -kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan

ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan perundang-

undangan.

27
HS. Salim, Hukum Perjanjian Teori& Teknik Penyusunan Perjanjian, Cet. VIII,
Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm.9.
23

Hal ini sejalan dengan sejarah lahirnya asas kebebasan berkontrak

yang dinilai sebagai paham individualisme dimana setiap orang

bebas untuk melakukan perbuatan apapun yang dikehendakinya28.

Sehingga dalam praktiknya asas kebebasan berkontrak ini sering

dipandang beberapa pihak sebagai arti yang salah, yaitu sebagai

kebebasan seseorang untuk tidak melakukan perjanjian yang sudah

disepakati, bebas mengenai apa saja yang dapat disepakati dan bebas

untuk menetapkan syarat-syarat dalam perjanjian.

Sejalan dengan hal tersebut, permasalahan yang akan dikaji

dalam tgas akhir ini adalah pembatalan perjanjian sepihak dengan

alasan pandemi covid-19 sebagai force majeure. Beberapa pihak

mengartikan bahwa kebebasan dalam melaksanakan kontrak

membuat mereka boleh melakukan pembatalan secara spihak karena

ketidakmampuan memenuhi kewajiban. Pada dasarnya pembatalan

dalam perjanjian memang dapat dilakukan sebagaimana dijelaskan

sebelumnya bahwa para pihak bebas untuk menentukan ketentuan-

ketentuan dalam perjanjian, termasuk terkait dengan pembatalan

perjanjian. Namun, pembatalan sepihak dengan alasan force majeure

yang belum bisa dikatakan sepenuhnya dapat dilakukan, dinilai

belum memenuhi unsur pembatalan perjanjian.

Lebih lanjut dalam membuat perjanjian juga diharuskan untuk

menganut asas konsensualisme atau yang sering diartikan sebagai

dibutuhkannya kesepakatan dalam membuat perjanjian.


28
HS. Salim, Ibid.
24

Kesepakatan yang lahir akan melahirkan perjanjian yang bersifat

obligatoir yaitu melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk

memenuhi apa yang telah diperjanjikan.

Berkaitan dengan hal tersebut asas konsensualisme dapat

merujuk pada pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

yang menjelaskan tentang syarat sah perjanjian, dikatakan bahwa

salah satu syarat sah perjanjian adalah adanya kesepakatan para

pihak. Hal ini menjelaskan bahwa perjanjian merupakan kaidah

hukum yang bersifat memaksa. Sifat kekuatan memaksa artinya jika

salah satu pihk ingin menarik kembali atau membatalkan perjanjian,

harus juga memperoleh persetujuan dari pihak lainnya sebagai

wujud adanya kesepakatan dari para pihak dalam pemutusan atau

pembatal perjanjian tersebut.

Asas konsensualisme berlaku tidak hanya pada awal pembuatan

perjanjian saja, melainkan asas ini akan tetap berlaku selama

pelaksanaan perjanjian hingga akan dilakukannya pemutusan

perjanjian atau pembatalan perjanjan.

Asas Pacta Sunt Servanda berasal dari bahasa latin memiliki arti

janji harus ditepati. Asas tersebut merupakan asas ketaatan agar

menjalankan kontrak perjanjian sesuai dengan isi yang diperjanjikan

oleh para pihak. Asas ini lahir dari doktrin praetor Romawi, yakni

pacta conventa sevabo, memiliki arti saya menghormati atau

menghargai perjanjian. Doktrin tersebut didukung oleh perintah suci


25

motzeh Sfassecha tismar (engkau harus menepati perkataanmu), dan

dari maksim hukum Romawi kuno, yakni pacta sunt servanda.

Dalam teori hukum kontrak klasik, pacta sunt servanda merupakan

sesuatu yang suci dan perjanjiannya harus dilakukan dengan

sungguhsungguh. Jika yang diperjanjikan antar para pihak

melakukan wanprestasi, maka yang melakukan wanprestasi

dianggap memiliki dosa besar.29

Menurut Purwanto, pada dasarnya asas pacta sunt servanda

memiliki implikasi terhadap kontrak atau perjanjian yang dilakukan

para pihak. Asas ini juga dapat dikatakan asas yang sakral dalam

perjanjian dengan menitikberatkan pada kebebasan berkontrak atau

dikenal dengan prinsip otonomi.

Dalam hukum positif sendiri, yaitu KUH Perdata (Burgerlijk

Wetboek) mengatur tentang asas pacta sunt servanda tepatnya pada

Pasal 1338 ayat (1) dan (2) yaitu :

a. Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-

undang berlaku sebagai undang-undang berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

b. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan

kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan

yang ditentukan oleh undang-undang.

29
Khairani, Ridwan.“Dasar Filosofi Kekuatan Mengikatnya Kontrak”. Jurnal Hukum UII,
Edisi Khusus Vol 18, hlm 12 (2011).
26

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan

bahwa setiap perjanjian yang dilakukan oleh para pihak harus

mematuhi atau menjalankan semua isi perjanjian yang secara

bersama disusun dan dibuat. Namun, apabila salah satu mengingkari

perjanjian yang ada pada kontrak, maka pengingkaran janji tersebut

dapat diperkarakan pada pengadilan dengan tujuan memaksa pihak

yang ingkar janji untuk memenuhi prestasinya30

Asas pacta sunt servanda memberikan perlindungan hukum

secara otomatis ketika perjanjian dilakukan dan disahkan oleh para

pihak. Sehingga dapat tercapai rasa aman terhadap perjanjian yang

dilakukan oleh para pihak. Tingkat kelengkapan perjanjian dalam

klausula menentukan kekuatan perlindungan hukum bagi para pihak.

Perlindungan hak dan kewajiban yang didapat dari asas pacta

sunt servanda merupakan hak mutlak bagi para pihak pelaku

perjanjian. Para pihak wajib mendapatkan haknya ketika apa yang

diperjanjikan telah sampai pada ketentuan yang diperjanjikan.

Kewajiban para pihak dalam melaksanakan prestasi bersifat wajib

sebelum ada ketentuan yang membuat perjanjian antara para pihak

berubah sesuai kesepakatan para pihak.

Perubahan perjanjian karena sebab tertentu tidak dapat

dilakukan sepihak oleh salah satu pembuat perjanjian. Perubahan

perjanjian sepihak akan menimbulkan wanprestasi dan kerugian


30
Rasyid, Abdul. “Asas Pacta Sunt Servanda dalam Hukum Positif dan Hukum Islam”.
http://bussiness-law.binus.ac.id/2017/03/31/asaspacta-sunt-servanda-dalam-hukum-
positif-dan-hukum-islam/ [diakses pada tanggal 25 April 2021 Pukul 15.26 WIB]
27

terhadap perjanjian yang disepakati bersama oleh para pihak.

Perjanjian wajib berlangsung sesuai apa yang disepakati oleh kedua

belah pihak dan perubahan karena sebab tertentu wajib dibicarakan

bersama sesuai Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata.

F. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini secara spesifik menggunakan metode deskriptif

analitis, yaitu yang menggambarkan penjelasan mengenai force

majeure dalam pembatalan perjanjian bisnis ditengah pandemi

Corona Virus Disease tahun 2019 (Covid-19) dalam Buku III Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata.

2. Metode Pendekatan

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif,

yakni penelitian yang didasarkan pada bahan-bahan hukum, yaitu

data sekunder yang berupa hukum primer antara lain Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata, sedangkan bahan hukum sekunder antara

lain karya-karya ilmiah, dan bahan tersier berupa artikel-artikel,

pendapat-pendapat atau opini masyarakat yang ada di dalam

majalah-majalah dan surat kabar.

3. Teknik Pengumpulan Data

a. Studi Dokumentasi

Mengingat bahwa bahan yang dibutuhkan hanya data-

data primer dan sekunder, maka teknik pengumpulan data


28

menggunakan studi dokumentasi, yakni mengumpulkan data-

data berupa bahan-bahan hukum primer, sekunder, maupun

tersier, serta bahan-bahan lainnya yang relevan dengan bahan-

bahan yang diperlukan dan erat kaitannya dengan penjelasan

force majeure dalam pembatalan perjanjian bisnis ditengah

pandemi Corona Virus Disease tahun 2019 (Covid-19).

b. Wawancara

Wawancara dilakukan terhadap lembaga-lembaga dan

beberapa pihak yang berkaitan dengan pembatalan perjanjian

bisnis ditengah pandemi Corona Virus Disease tahun 2019

(Covid-19) karena dipandang sebagai force majeure.

4. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

normatif kualitatif. Normatif karena penelitian bertitik tolak dengan

peraturan-peraturan hukum yang ada sehingga merupakan norma

hukum positif seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

sedangkan kualitatif karena data yang diperoleh kemudian dianalisis

secara kualitatif sehingga tidak menggunakan rumus.

5. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah tempat dimana penelitian ini dilakukan

guna untuk mencari data primer dalam rangka menunjang data

sekunder. Adapun lokasi penelitian ini Perpustakaan Fakultas

Hukum Uninus, Perpustakaan Mochtar Kusumaatmadja Fakultas


29

Hukum Universitas Padjadjaran dan Kemeterian Koordinator Bidang

Politik, Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembaca dalam mengikuti pembahasan materi

karya tulis ini, penulis akan menguraikan secara singkat bab demi bab

guna memberikan gambaran yang lebih jelas terhadap arah

pembahasan. Sistematika penulisan penelitian ini akan dibagi menjadi 5

bab yaitu :

BAB I PENDAHULUAN

Isi dari bab ini adalah menguraikan beberapa sub bab yang

menjelaskan mengenai latar belakang masalah, identifikasi

masalah, maksud dan tujuan, manfaat penelitian, kerangka

pemikiran, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN TEORITIK TENTANG FORCE MAJEURE

DALAM PEMBATALAN PERJANJIAN BISNIS

Isi dari bab ini menjelaskan mengenai beberapa teori yang

menjadi acuan dalam menganalisis masalah-masalah yang

diperlukan dalam pemecahan masalah skripsi ini. Beberapa

teori yang diuraikan antara lain: ruang lingkup perjanjian,

ruang lingkup pembatalan atau pemutusan perjanjian, ruang

lingkup force majeure, dan ruang lingkup pandemi covid-19.


30

BAB III PENERAPAN PENGATURAN FORCE MAJEURE

TERHADAP PELAKSANAAN PERJANJIAN BISNIS

DI INDONESIA

Isi dari bab ini menjelaskan mengenai objek penelitian

perjanjian bisnis yang dibatalkan secara sepihak akibat force

majeure pandemi covid-19, yaitu Hubungan Antara Pandemi

Covid-19 dengan force majeure, Implementasi Force

Majeure Terhadap Perjanjian Bisnis di Indonesia.

BAB IV PENETAPAN FORCE MAJEURE DALAM

PELAKSANAAN PEMBATALAN PERJANJIAN

BISNIS AKIBAT PANDEMI COVID-19

BERDASARKAN BUKU III KITAB UNDANG-

UNDANG HUKUM PERDATA DAN ALTERNATIF

SOLUSINYA

Isi dari bab ini memuat analisis dan diskusi yang relevan atas

permasalahan yang telah dirumuskan yaitu Pengaturan

penetapan force majeure terhadap pembatalan perjanjian

bisnis di Indonesia berdasarkan Buku III Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata dan pengaturan pelaksanaan

pembatalan perjanjian bisnis akibat force majeure pandemi


31

Corona Virus Disease tahun 2019 (Covid-19) Buku III Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata beserta alternatif solusinya.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Isi dari bab ini yang memuat mengenai kesimpulan dan saran

dari penelitian yang telah dibuat oleh penulis. Kesimpulan

merupakan jawaban singkat atas analisis penulis terhadap

rumusan masalah dalam penelitian tugas akhir ini.

Sedangkan, saran merupakan sumbangan pemikiran penulis

yang berkaitan dengan penelitian tugas akhir yang dilakukan

ini.
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian,Bandung: Alumni, 1986.

Abdul R. Sariman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan “Teori dan Contoh


Kasus”, Jakarta; Kencana Prenada Media Group, 2005.

Amran Suadi H., Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Teori dan


Praktik, Jakarta: Kencana,2017.

Chidir Ali Moc, H. Achmad Samsudin dan Mashudi, Pengertian-


Pengertian Elementer Hukum Perjanjian Perdata, Bandung:
Mandar Maju, 1993.

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari


Perjanjian, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.

Manullang, Pengantar Bisnis, Yogyakarta: Gadjah Mada University


Press, 2002.

Purwanto, Keberadaan Asas Pacta Sunt Servanda dalam Perjanjian


Internasional”, Jurnal mimbar hukum, Vol. 21 No. 1 (2009).

Ramziati (et.al), Kontrak Bisnis Dalam Dinamika Teoritis dan Praktis,


Lhokseumawe: UNIMAL PRESS, 2019.

Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata,


Bandung: Alumni, 2006.

Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perpektif


Perbandingan (Bagian Pertama), Yogyakarta: FH UII Press, 2013.

Salim, H.S, Hukum Perjanjian Teori& Teknik Penyusunan Perjanjian,


Cet. VIII, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

Satrio J., Hukum Perikatan Perikatan Pada Umumnya, Bandung:


Alumni, 1999.

Sinaga, Niru Anita,


28 “Peranan Asas-Asas Hukum Perjanjian Dalam
Mewujudkan Tujuan Perjanjian”. Jurnal Binamulia Hukum, Vol. 7
No. 2, hlm 111 (2018).
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Penerbit
Liberty, 1985.

Suharnoko, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus, Cet.1, Jakarta:


Kencana, 2003.

Subekti, Hukum Perjanjian, Bandung: PT Intermasa, 2020.

29
29

B. Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

C. Sumber lainnya

Aminah, “Pengaruh Pandemi Covid 19 Pada Pelaksanaan Perjanjian”,


Diponegoro Private Law Review 7(1), hlm 652 (2020).

Gloria Setyvani Putri,”WHO Resmi Sebut Virus Corona Covid-19


sebagai Pandemi Global”, 2020
(https://www.kompas.com/sains/read/2020/03/12/083129823/who-
resmi-sebut-virus-corona-covid-19-sebagai-pandemi-global?
page=all) 12/02/2021

Hetharie Y, “Perjanjian Nominee sebagai Sarana Penguasaan Hak


Milik atas Tanah oleh Warga Asing (WNA) Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata”, SASI 25(1), hlm 32 (2019).

Radika Cahyadi, “5 Langkah Perusahaan Lindungi Karyawan dari


Wabah Corona”, 2003,
https://www.gadjian.com/blog/2020/03/24/5-langkah-perusahaan-
lindungi-karyawan-dari-wabah-corona/, 12/02/2021
Rasyid, Abdul. “Asas Pacta Sunt Servanda dalam Hukum Positif dan
Hukum Islam”. 2017 http://bussiness-
law.binus.ac.id/2017/03/31/asaspacta-sunt-servanda-dalam-hukum-
positif-dan-hukum-islam/, 25/04/2021

Anda mungkin juga menyukai