Anda di halaman 1dari 40

Tugas Kelompok:

KAPITA SELEKTA HUKUM PERDATA


ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN DALAM WANPRESTASI
DAN PERBUATAN MELANGGAR HUKUM

Kelompok 1:

ANWAR H1A121288
ANDI MUHAMMAD GALIB K. H1A121284
ERLIAN H1A121156
KHENAN PASHA H1A121330
MAULANA RACHMAN AKBAR H1A121345
MUHAMMAD IQBAL ISLAMY W. H1A121380

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga kami dapat
menyusun dan menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat pada
waktunya. Dalam makalah ini kami membahas mengenai “ANALISIS
PERTANGGUNGJAWABAN DALAM WANPRESTASI DAN
PERBUATAN MELANGGAR HUKUM” untuk memenuhi salah satu
tugas mata kuliah Kapita Selekta Hukum Perdata.

Kami mengucapkan terimakasih kepada ibu Jumiati Ukkas, S.H., M.H


selaku dosen Mata Kuliah Kapita Selekta Hukum Perdata yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah wawasan sesuai dengan
bidang studi.

Kami menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih


jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun
demikian, kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh
pembaca.

Kendari, 20 Oktober 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 7
C. Tujuan Penulisan ................................................................................ 7
D. Manfaat Penulisan.............................................................................. 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 9
A. Teori Wanprestasi secara umum......................................................... 9
B. Teori Perbuatan Melanggar Hukum ................................................... 9
C. Teori Tanggung Jawab ....................................................................... 10
D. Teori Perlindungan Hukum ................................................................ 12
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 13
A. Metode Penelitian ....................................................................................... 13
B. Jenis Penelitian ........................................................................................... 13
C. Metode Pendekatan ..................................................................................... 13
D. Sumber Bahan Hukum ................................................................................ 14
E. Analisis Bahan Hukum ............................................................................... 14
BAB IV ISI DAN PEMBAHASAN ............................................................... 16
A. Persamaan dan Perbedaan Perbuatan Melawan Hukum dan
Wanprestasi ........................................................................................ 16
B. Konsep Pertanggungjawaban Ganti Rugi dalam Perbuatan
Melawan Hukum dan Wanprestasi .................................................... 22
C. Sistem Pertanggungjawaban Ganti Rugi dalam KUH Perdata .......... 26
D. Studi Kasus ........................................................................................ 29
BAB V PENUTUP .......................................................................................... 32
A. Kesimpulan ........................................................................................ 32
B. Saran .................................................................................................. 34

iii
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 35

iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang
menganut sistem hukum civil law, dimana sumber hukum dalam arti
formalnya berupa peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, traktat,
doktrin atau pendapat ahli dan kebiasaan. Dalam bidang hukum perdata,
salah satu sumber hukum formal yang berlaku adalah Kitab Undang -
Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata telah membedakan secara jelas antara perikatan yang timbul
akibat adanya perjanjian dan perikatan yang timbul akibat undang-
undang. Perikatan yang timbul akibat dari perjanjian merupakan
perikatan yang memang telah dikehendaki oleh para pihak yang sepakat
mengikatkan diri mereka. Sedangkan perikatan yang timbul akibat dari
adanya undang - undang bisa saja tidak dikehendaki oleh para pihak yang
terikat, akan tetapi undang - undang yang menentukan antara hubungan
serta akibat hukumnya. Dalam bidang hukum perdata, hukum perikatan
merupakan salah satu hal yang sangat penting dan dibutuhkan dalam
hubungan-hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang dilakukan
sehari-hari.1
Hukum perikatan diatur dalam Buku III BW (Buku III KUHPerdata)
yang secara garis besar dibagi atas dua bagian, yaitu pertama, perikatan
pada umumnya, baik yang lahir dari perjanjian maupun yang lahir dari
undang-undang dan yang kedua, adalah perikatan yang lahir dari
perjanjian-perjanjian tertentu.2
Ketentuan tentang perikatan pada umumnya ini berlaku juga terhadap
perikatan-perikatan yang lahir dari perjanjian tertentu, seperti jual beli,
sewamenyewa, pinjam-meminjam, dan lain-lain. Bahkan ketentuan

1
Miru Ahmadi dan Pati Sakka, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai
1456 BW, Depok : PT Raja Grafindo Persada, 2018, hlm.1
2
Ibid

1
tentang perikatan pada umumnya, ini berlaku pula sebagai ketentuan
dasar atas semua perjanjian yang dibuat oleh para pihak, yang jenis
perjanjiannya tidak diatur dalam BW sehingga perjanjian apapun yang
dibuat acuannya adalah pada ketentuan umum tentang perikatan
sebagaimana diatur dalam Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1456 BW.3
Perikatan dikatakan sebagai hubungan hukum antara dua orang atau
dua pihak, dimana peran kedua pihak adalah pihak yang satu berhak
menuntut suatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lain
berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Lebih lanjut dikatakan
bahwa pihak yang berhak menuntut sesuatu dinamakan kreditur atau si
berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan
dinamakan debitur atau si berutang.4
Oleh karena hubungan antara debitur dan kreditur ini merupakan
hubungan hukum, maka ini berarti bahwa hak si kreditur itu dijamin oleh
hukum (undang - undang). Hal ini dipertegas lagi berdasarkan ketentuan
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua
persetujuan yang dibuat secara sah dan dalam hal itu salah satu pihak
tidak memenuhi tuntutan lawannya secara sukarela, kreditur dapat
menuntutnya di pengadilan.5
Dalam suatu kontrak baku sering dijumpai bahwa pihak telah
bersepakat untuk menyimpang dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal
1266 Kitab Undang - undang Hukum Perdata. Akibat hukumnya jika
terjadi wanprestasi, maka perjanjiian tersebut tidak perlu dimintakan
pembatalan kepada hakim, tetapi dengan sendirinya sudah batal demi
hukum. Dalam hal ini wanprestasi merupakan syarat batal. Akan tetapi,
beberapa ahli hukum berpendapat sebaliknya, bahwa dalam hal terjadi
wanprestasi perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi harus dimintakan
pembatalan kepada hakim dengan alasan antara lain bahwa sekalipun

3
Ibid,hlm .2
4
Setiawan I Ketut Oka, Hukum Perikatan, Jakarta : Sinar Grafika, 2015, hlm 1
5
Ibid, hlm. 2

2
debitur sudah wanprestasi hakim masih berwenang untuk memberi
kesempatan kepadanya untuk memenuhi perjanjian.6
Untuk melihat persoalan ini dengan jernih, penerapan klausula yang
melepaskan ketentuan Pasal 1266 Kitab Undang - undang Hukum
Perdata harus dilihat kasus demi kasus. Dalam kasus yang melibatkan
pelaku usaha dan konsumen, memang perlu diberikan perlindungan
hukum kepada dari tindakan sepihak yang dilakukan oleh pelaku usaha
tanpa melalui putusan hakim. Akan tetapi, dalam kasus antara pelaku
usaha melawan pelaku usaha atau business to businness perlu adanya
kepastian hukum agar para pihak mentaati hak dan kewajibannya.7
Terhadap penuntutan hak di pengadilan, orang yang merasa haknya
telah dilanggar dan merasa dirugikan maka dapat diajukan gugatan atau
menggugat kepada pengadilan. Gugatan dapat disimpulkan sebagai suatu
tuntutan hak dari setiap orang atau pihak (kelompok) atau badan hukum
yang merasa hak dan kepentingannya dirugikan dan menimbulkan
perselisihan yang ditujukan kepada orang lain atau pihak lain yang
menimbulkan kerugian itu melalui pengadilan.8 Tuntutan hak adalah
tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hak yang diberikan
oleh pengadilan untuk mencegah eigenrichting. Orang yang mengajukan
tuntutan hak memerlukan atau berkepentingan akan perlindungan
hukum.9
Apabila atas perjanjian yang disepakati terjadi pelanggaran, maka
dapat diajukan gugatan wanprestasi, karena ada hubungan kontraktual
antara pihak yang menimbulkan kerugian dan pihak yang menderita
kerugian. Apabila tidak ada hubungan kontraktual antara pihak yang
menimbulkan kerugian dan pihak yang menderita kerugian, maka dapat
diajukan gugatan perbuatan melanggar hukum. Menurut teori klasik yang

6
Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Jakarta : KENCANA
Prenadamedia Group, 2008. hlm. 63
7
Ibid, hlm. 64
8
Hutagalung Sophar Maru, Praktik Peradilan Perdata, Jakarta : Sinar Grafika, 2010, hlm. 1.
9
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty, 2009, hlm.
52

3
membedakan antara gugatan wanprestasi dan gugatan perbuatan
melanggar hukum, tujuan gugatan wanprestasi adalah untuk
menempatkan penggugat pada posisi seandainya perjanjian tersebut
terpenuhi (put the plaintiff to the position if he would have been in had
the contract been performed). Dengan demikian ganti rugi tersebut
adalah berupa kehilangan keuntungan yang diharapkan atau disebut
dengan istilah expectation loss atau winstderving. Sedangkan tujuan
gugatan perbuatan melanggar hukum adalah untuk menempatkan posisi
penggugat kepada semula sebelum terjadinya perbuatan melanggar
hukum. Sehingga ganti rugi yang diberikan adalah kerugian yang nyata
atau reliance loss.10
Surat gugatan bentuknya tidak selalu tertulis, dapat juga diajukan
secara lisan, misalnya apabila pihak penggugatnya buta huruf atau cacat
secara fisik/jasmani, seperti buta. Namun demikian, apabila gugatan
diajukan secara lisan, hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 120 HIR
(Het Herziene Indonesia Reglement) yang berbunyi :
“Jika penggugat tidak cakap menulis, maka tuntutan boleh diajukan
secara lisan kepada ketua pengadilan negeri; Ketua itu akan mencatat
tuntutan itu atau menyuruh mencatatnya.’’
Namun sebelum diajukannya gugatan wanprestasi ke pengadilan, hal
kelalaian atau wanprestasi pada pihak si berhutang ini harus dinyatakan
dahulu secara resmi, yaitu dengan memperingatkansi berhutang itu,
bahwa si berpiutang menghendaki pembayaran seketika atau dalam
jangka waktu yang pendek.11 Biasanya peringatan (somatie) itu dilakukan
oleh seorang jurusita dari pengadilan, yang membuat proses verbal
tentang pekerjaannya itu, atau juga cukup dengan surat tercatat atau surat
kawat, asal saja jangan sampai dengan mudah dimungkiri oleh si
berhutang.12 Peringatan tidak perlu, jika si berhutang pada suatu ketika

10
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata.Jakarta : PT Intermasa. 2010. hlm. 147
11
Ibid
12
Ibid.

4
sudah dengan sendirinya dapat dianggap lalai. Misalnya dalam hal
perjanjian untuk membikin pakaian mempelai, tetapi pada hari
perkawinan pakaian tersebut belum selesai dibuat. Dalam hal ini
meskipun prestasi itu dilakukann si berhutang, tetapi karena tidak
menurut perjanjian, maka prestasi yang dilakukan itu dengan sendirinya
dapat dianggap suatu kelalaian. Ada kalanya, dalam kontrak itu sendiri
sudah ditetapkan, kapan atau dalam hal - hal mana si berhutang dapat
dianggap lalai. Di sini tidak diperlukan suatu somatie atau peringatan.13
Berdasarkan ketentuan Pasal 1238 KUH Perdata, cara memberikan
somasi itu adalah dengan surat perintah atau dengan akta sejenis itu surat
perintah pemberitahuannya dilakukan oleh jurusita sedangkan mengenai
akta sejenis itu ada dua pendapat yaitu :
1. Suatu peringatan tertulis dengan kata - kata yang keras;
2. Suatu perbuatan hukum dan karenanya tidak perlu ditulis.14
Peringatan Pasal 1238 KUH Perdata adalah peringatan tertulis.
Penyampaian Somasi melalui juru sita dipandang lebih aman karena ada
berita acara penyampaiannya.15
Dalam perbuatan ingkar janji atau wanprestasi, terdapat beberapa
bentuk perbuatan wanprestasi tersebut. Bentuk-bentuk wanprestasi
tersebut antara lain adalah :
a. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat pada waktunya.
b. Tidak memenuhi prestasi, artinya prestasi itu tidak hanya terlambat,
tetapi juga tidak bisa lagi dijalankan. Hal semacam ini disebabkan
karena :
1) Pemenuhan prestasi tidak mungkin lagi dilaksanakan karena
barangnya telah musnah;

13
Setiawan I Ketut Oka, Op.cit. Hlm. 38
14
Setiawan I Ketut Oka, Op.cit. Hlm. 38
15
Ibid.

5
2) Prestasi kemudian sudah tidak berguna lagi, karena saat penyerahan
mempunyai arti yang sangat penting. Misalnya pesanan gaun
pengantin pada waktu perkawinan.16
c. Memenuhi prestasi tidak sempurna, artinya prestasi diberikan, tetapi
tidak sebagaimana mestinya.17
Perlu dijelaskan disini tentang “tidak dapat atau tidak sempurna
memenuhi suatu perikatann tidak selamanya merupakan suatu
wanprestasi”. kecuali memenuhi dua unsur yaitu adanya peringatan
(aanmaning atau somatie) dan unsur jika prestasi tidak dapat
dilaksanakan karena adanya keadaan memaksa (overmacht).18
Sedangkan pada gugatan perbuatan melanggar hukum tidak perlu
diajukan somasi terlebih dahulu. Gugatan perbuatan melangggar hukum
dapat diajukan langsung ke pengadilan. Dalam KUHPerdata, unsur-unsur
perbuatan melanggar hukum yakni, adanya perbuatan, perbuatan tersebut
melanggar hukum, ada hubugan sebab dan akibat antara perbuatan
melawn hukum dan kerugian, adanya kesalahan, dan terdapat kerugian.19
Dalam praktiknya pembuatan gugatan antara gugatan wanprestasi dan
gugatan perbuatan melanggar hukum banyak sekali kekeliruan yang
terjadi, dimana pihak penggugat yang mengalami sengketa wanprestasi
menyebutkan dalil - dalil yang berisikan gugatan perbuatan melanggar
hukum, dan sebaliknya pihak penggugat yang mengalami sengketa
perbuatan melanggar hukm malah menyebutkan dalil - dalil yang
berisikan gugatan wanprestasi. Hal tersebut merupakan celah dimana
pihak lawan atau pihak tergugat akan menggunakannya untuk
memenangkan perkara tersebut dan bebas dari tuntutan ganti kerugian.
Berbicara tentang ganti rugi, ketika seseorang membuat gugatan maka
ada bagian yang disebut dengan petita. Bagian tersebut merupakan
bagian dimana pihak penggugat mencantumkan keadaan kerugian yang
16
Ibid, hlm 19
17
Ibid
18
Ibid, hlm 20
19
Ibid, hlm 107

6
dideritanya dan menuntut pihak lawan atau pihak tergugat untuk
membayar kerugian yang diderita agar kembali kepada keadaan semula.
Namun, yang menjadi persoalan berikutya adalah apakah yang menjadi
tuntutan rugi suatu gugatan wanprestasi dan gugatan perbuatan
melanggar hukum, apakah yang membedakan tuntutan ganti rugi pada
sengketa wanprestasi dengan tuntutan ganti rugi pada sengketa perbuatan
melanggar hukum. Serta apa saja yang menjadi batasan saat menuntut
ganti rugi kepada pihak lawan atau pihak tergugat, baik itu dalam
sengketa wanprestasi maupun sengketa perbuatan melanggar hukum.
Dalam pembahasan penelitian ini penulis akan memfokuskan pada
tuntutan yang diajukan dalam lingkup lingkungan, terutama pada
sengketa lahan pertambangan.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk
meneliti, membahas serta mengangkatnya menjadi sebuah karya tulis
yang berjudul “ANALISIS TUNTUTAN GANTI RUGI DALAM
WANPRESTASI DAN PERBUATAN MELANGGAR HUKUM”
B. Rumusan Masalah
Pokok permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini meliputi
dua hal berikut, yaitu :
1. Bagaimana pertanggungjawaban ganti kerugian dalam sengketa
wanprestasi dan sengketa perbuatan melanggar hukum dalam
KUHPerdata?
2. Apa perbedaan pertanggungjawaban ganti kerugian sengketa
wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari dibuatnya
penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui serta memahami apa yang menjadi batasan nilai
tuntutan ganti rugi antara gugatan wanprestasi dan gugatan perbuatan
melanggar hukum.

7
2. Untuk mengetahui perbedaan tuntutan ganti rugi dalam gugatan
wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum.
D. Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian ini, maka penulis berharap penelitian ini
memiliki manfaat bagi penulis sendiri dan juga bagi masyarakat umum.
Manfaat peneletian ini meliputi :
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan
kajian untuk mengembangkan wawasan hukum khusunya dalam
hukum perikatan;
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan berguna sebagai wawasan
bagi masyarakat yang akan beracara dibidang perdata khususnya
dalam merumuskan tuntutan ganti rugi dalam pengajuan gugatan
wanprestasi maupun gugatan perbuatan melanggar hukum.

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Wanprestasi secara umum
Wanprestasi artinya tidak memenuhi atau lalai dalam melaksanakan
sesuatu yang diwajibkan atau prestasi, seperti yang telah disepakati
dalam suatu perikatan.20 Tidak dipenuhinya suatu kewajiban atau prestasi
oleh debitur disebabkan dua kemungkinan alasan, yaitu:
a. Karena kesalahan debitur, baik sengaja tidak dipenuhi maupun karena
ketidaksengajaan atau kelalaian dari pihak debitur;
b. Karena adanya keadaan yang memaksa (overmacht), force majeur,
yang artinya keadaan tersebut berada diluar kemampuan dari pihak
debitur.21
Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa pihak debitur
wanprestasi apabila:
a. Debitur sama sekali tidak memenuhi prestasi yang telah ditetapkan
dalam perikatan;
b. Debitur terlambat dalam memenuhi prestasi yang telah ditetapkan
dalam perikatan;
c. Debitur keliru atau tidak pantas memenuhi prestasi yang telah
ditetapkan dalam perikatan.
B. Teori Perbuatan Melanggar Hukum
Menurut H.R. 1919 perbuatan melawan hukum adalah berbuat atau
tidak berbuat yang disebutkan sebagai berikut:22
a. Melanggar hak orang lain
Hak orang lain, bukan semua hak, tetapi hanya hakhak pribadi, seperti
integritas tubuh, kebebasan, kehormatan, dan lain-lain, serta hak-hak

20
Hariri Wawan Muhwan, Hukum Perikatan, Dilengkapi Hukum dalam Islam. Bandung:
Pustaka Setia,2011.hlm.103
21
Ibid.
22
Hariri Wawan Muhwan, Op.cit. hlm. 32.

9
absolut, seperti hak kebendaan, octroi, nama perniagaan, hak cipta,
dan lain-lain;
b. Bertentangan dengan kewajban hukum pelaku
Kewajiban hukum hanya kewajiban yag dirumuskan dalam aturan
undang-undang;
c. Bertentangan dengan kesusilaan.
Artinya, perbuatan yang dilakukan seseorang bertentangan dengan sopan
santun yang tidak tertulis, yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat;
d. Bertentangan dengan kecermatan yang harus diindahkan dalam
masyarakat. Aturan tentang kecermatan terdiri atas dua kelompok
yaitu:
1) Aturan-aturan yang mencegah orag lain terjerumus dalam bahaya;
2) Aturan-aturan yang melarang merugikan orang lain ketika hendak
menyelenggarakan kepentingannya
C. Teori Tanggung Jawab
Dalam kamus hukum, terdapat dua kata yang merujuk pada
pertanggungajawaban yaitu liability dan responsibility. Liability
merupakan istilah hukum yang luas yang menunjuk hampir semua
karakter risiko atau tanggung jawab yang pasti, yang bergantung atau
yang mungkin meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara aktual
atau potensial seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau kondisi
yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang yang
dilaksanakan. Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability
menunjuk pada pertanggungjawaban hukum yaitu tanggung gugat akibat
kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah
responsibility mengarah pada pertanggungjawaban dibidang politik.

10
Prinsip-prinsip umum tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan
menjadi :23
a. Prinsip Tanggung Jawab
Berdasarkan Unsur Kesalahan Prinsip tanggung jawab berdasarkan
unsur kesalahan (fault liability atau liability based on fault) adalah
prinsip umum yang berlaku baik dalam hukum pidana dan perdata.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1365 sampai
dengan Pasal 1367, prinsip ini menyatakan seseorang baru dapat
dimintakan pertanggungjawabannya apabila seseorang tersebut secara
hukum telah melakukan kesalahan. Contohnya pada Pasal 1365 yang
sering disebut dengan Pasal tentang perbuatan melanggar hukum,
mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok yaitu, adanya
perbuatan, adanya unsur kesalahan, adanya kerugian yang diderita,
adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.
b. Prinsip Praduga Untuk Selalu
Bertanggung Jawab Prinsip ini menyatakan bahwa bagi pihak
Tergugat akan selalu dianggap bertanggung jawab (presumption of
liability principle) hingga ia dapat membuktikan bahwa ia tidak
bersalah.
c. Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab
Bertolak belakang dengan prinsip praduga untuk selalu
bertanggung jawab, prinsip ini hanya dikenal didalam lingkungan
transaksi konsumen yang sangat terbatas.
d. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak
Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan
dengan prinsip tanggung jawab absolut. Namun, ada para ahli yang
membedakan kedua terminologi diatas. Ada pendapat yang
menyatakan bahwa strict liability merupakan prinsip tanggung jawab

23
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta, Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2006, hlm.73-79.

11
yang mentapkan kesalahan bukanlah suatu faktor utama yang
menentukan seseorang harus bertanggung jawab atau tidak. Namun
ada pengecualian yang memungkinkan untuk seseorang tersebut dapat
dibebaskan dari tanggung jawabnya, contohnya adalah apabila
terdapat keadaan yang memaksa. Sedangkan dalam tanggung jawb
absolut tidak mengenal adanya pengecualian yang memungkinkan
seseorang untuk dapat terbebas dari tanggung jawabnya.
e. Prinsip Tanggung Jawab Dengan Pembatasan
Prinsip ini merupakan prinsip favorit bagi pelaku usaha untuk
dimuat dalam kontrak perjanjian yang dibuat olehnya. Prinsip ini
kerap dijadikan sebagai klausula eksonerasi atau dapat diartikan
sebagai klausula pengecualian kewajiban atau tanggung jawab dalam
sebuah perjanjian.
D. Teori Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum merupakan perlindungan terhadap harkat serta
martabat, dan juga pengakuan akan hak-hak asasi manusia yang dimiliki
oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan
atau sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang dapat melindungi
suatu hal dariya.
Perlindungan hukum merupakan pemberian pengayoman kepada hak
asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut
diberikan pada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak mereka
yang diberikan oleh hukum. Perlindungan hukum dapat juga diartikan
sebagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum
untuk memberika rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari
gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun.24

24
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti. 2000. hlm. 74

12
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Metode adalah proses, prinsip serta tata cara dalam memecahkan suatu
masalah, sedangkan penelitian merupakan pemeriksaan yang dilakukan dengan
hati-hati, tekun, serta tuntas mengenai suatu gejala untuk menambah
pengetahuan manusia. Dengan kata lain, metode penelitian merupakan suatu
proses, prinsip serta tata cara untuk memecahkan gejala atau masalah yang
dihadapi dalam melakukan suatu penelitian.25

B. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif
yang didukung data lapangan. Penelitian hukum normatif ialah penelitian yang
meneliti hukum dari perspektif internal dengan objek penelitiannya adalah
norma hukum.

C. Metode Pendekatan
Pendekatan adalah cara pandang peneliti dalam memilih ruang pembahasan
yang dirasa mampu memberi penjelasan terhadap uraian suatu substansi karya
ilmiah. Umumnya, metode pendekatan yang paling sering digunakan dalam
penelitian hukum normatif yaitu, pendekatan perundangundangan, pendekatan
sejarah, pendekatan konsep, pendekatan kasus,dan perbandingan komparatif
atau perbandingan.26
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan atau memilih metode pendekatan
berikut:

a. Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach), dimana pendekatan


ini dilakukan dengan cara menelaah perundang-undangan yang berlaku
terhadap isu penelitian. 27
b. Pendekatan konseptual (Conceptual Approach), dalam pendekatan ini
penulis akan menelusuri sumber hukum sekunder yang memberi berbagai

25
Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI press. 1998.hlm.6
26
Ibid, hlm. 156
27
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2011,
hlm.93

13
informasi tentang konsep yang terdapat dalam buku-buku hukum, artikel-
artikel hukum, ensiklopedi hukum.28

c. Pendekatan kasus (Case Approach) yakni pendekatan yang dilakukan dengan


cara menelaah kasus-kasus terkait dengan isu yang dihadapi dan telah
menjadi putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap. 29

D. Sumber Bahan Hukum


Bahan-bahan hukum yang penulis gunakan adalah sebagai berikut:
a. Bahan Hukum Primer yang penulis gunakan adalah Kitab Undang - Undang
Hukum Perdata atau KUHPerdata.

b. Bahan Hukum Sekunder yang penulis gunakan ialah, buku-buku hukum,


artikel-artikel hukum, literatur, skripsi, makalah, disertasi dan bahan-bahan
hukum lainnya yang penulis baca sebagai informasi guna memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer.

c. Bahan Hukum Tersier yang penulis gunakan ialah, ensiklopedi hukum guna
untuk memberikan petunjuk dan penjelasan mengenai bahan hukum primer
dan sekunder.

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum


Penulis menggunakan teknik pengumpulan bahan hukum dengan cara
mencari, menelaah serta mengidentifikasi bahan hukum primer yang sesuai
dengan permasalahan penelitian. Kemudian penulis menggunakan bahan
hukum sekunder sebagai penjelasan atas bahan hukum sekunder. Kedua
sumber bahan hukum tersebut ditunjang oleh bahan hukum tersier seperti
putusan pengadilan maupun perundang-undangan yang berlaku.
E. Analisis Bahan Hukum
Pada penelitian ini penulis menggunakan metode analisis bahan hukum
dengan teknik sebagai berikut:

a. Teknik Deskriptif, yaitu tipe analisis bahan hukum yang akan


mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan isu
atau objek penelitian, lalu dilihat bagaimana pelaksanaannya dilapangan.

28
Ibid
29
Ibid

14
b. Teknik Komparatif, penulis membandingkan perbedaan bahan hukum yang
berkaitan dengan objek penelitian penulis dalam hal ini ganti rugi
wanprestasi dengan ganti rugi perbuatan melawan hukum. Teknik Penarikan
Kesimpulan Penulis dalam menarik kesimpulan pada penelitian ini
menggunakan cara berfikir deduktif. Artinya, penulis berawal pada
pemikiran yang mendasar terlebih dahulu, kemudian penulis akan menarik
kesimpulan yang bersifat khusus.

15
BAB IV
ISI DAN PEMBAHASAN
A. Persamaan dan Perbedaan Perbuatan Melawan Hukum dan
Wanprestasi
Wanprestasi atau juga disebut dengan cidera janji atau ingkar janji
merupakan konsekuensi atau akibat tidak dipenuhinya suatu prestasi.
Kamus Hukum,30 mengartikan prestasi sebagai hasil yang telah dicapai
dari apa yang telah dikerjakan.
1. Menurut Pasal 1234 KUHPerdata, disebutkan bahwa “Tiap-tiap
perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu,
atau untuk tidak berbuat sesuatu.”31 Dari keterangan tersebut ada tiga
kemungkinan wujud prestasi, yaitu: Memberikan sesuatu, misalnya
menyerahkan benda, membayar harga benda, dan memberikan hibah
penelitian;
2. Melakukan sesuatu, misalnya membuat pagarpekarangan rumah,
mengangkut barang tertentu, dan menyimpan rahasia perusahaan;
3. Tidak melakukan sesuatu, misalnya tidak melakukan persaingan
curang, tidak melakukan dumping, dan tidak menggunakan merek
orang lain.32
Penulis berpendapat bahwa, dari uraian tersebut, wanprestasi
merupakan kebalikan dari prestasi. Tidak dipenuhinya suatu prestasi
sudah barang tentu menimbulkan kerugian bagi pihak lainnya.
Sedangkan ditinjau dari sifatnya prestasi tersebut, menurut Abdulkadir
Muhammad, prestasi adalah objek perikatan. Agar objek perikatan dapat
dipenuhi oleh debitur, maka perlu diketahui sifat-sifatnya, yaitu:
1. Prestasi harus sudah tertentu atau dapat ditentukan. Sifat ini
memungkinkan debitur memenuhi perikatan. Jika prestasi itu tidak

30
M. Marwan dan Jimmy P., Op Cit, hlm. 513.
31
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Op Cit, hlm. 323.
32
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Op Cit, hlm. 239.

16
ditentukan atau tidak dapat ditentukan, mengakibatkan perikatan itu
batal (nietig).
2. Prestasi itu harus mungkin. Artinya, prestasi itu dapat dipenuhi oleh
debitur secara wajar dengan segala upayanya. Jika tidak demikian,
perikatan itu dapat dibatalkan (vernietigbaar).
3. Prestasi itu harus dibolehkan (halal). Artinya, tidak dilarang oleh
undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan
tidak bertentangan dengan kesusilaan masyarakat. Jika prestasi tidak
halal, perikatan itu batal (nietig).
4. Prestasi itu harus ada manfaat bagi kreditur Artinya, kreditur dapat
menggunakan, menikmati, dan mengambil hasilnya. Jika tidak
demikian, perikatan itu dapat dibatalkan (nietigbaar).
5. Prestasi itu terdiri atas satu perbuatan atau serentetan perbuatan. Jika
prestasi berupa satu perbuatan dilakukan lebih dari satu kali, dapat
mengakibatkan pembatalan perikatan (vernietigbaar). Satu kali
perbuatan itu maksudnya pemenuhan mengakhiri perikatan,
sedangkan lebih dari satu kali perbuatan maksudnya pemenuhan yang
terakhir mengakhiri perikatan.33
Pada wanprestasi terjadi oleh karena adanya suatu perjanjian atau
kontrak di antara para pihak. Menurut Pasal 1313 KUHPerdata
disebutkan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih.”34 Sedangkan menurut Kamus Hukum,35 perjanjian diartikan
sebagai persetujuan secara tertulis atau lisan yang dibuat dua pihak atau
lebih di mana masingmasing berjanji akan menaati apa yang tersebut
dalam persetujuan itu sebagai kesepakatan bersama.

33
bid, hlm. 239-240
34
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Op Cit, hlm. 338.
35
M. Marwan dan Jimmy P., Op Cit, hlm. 507.

17
Istilah yang mirip dengan perjanjian ialah kontrak sehingga disebut
pula sebagai hukum kontrak, yang memberikan penekananpenekanan
terhadap hal-hal sebagai berikut:
1. Hukum kontrak dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur tentang
perjanjian-perjanjian yang tertulis semata-mata. Jika orang
menanyakan mana kontraknya, berarti bahwa dia menanyakan mana
kontrak tertulisnya.
2. Hukum kontrak dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur tentang
perjanjian-perjanjian dalam bidang bisnis semata-mata.
3. Hukum kontrak dimaksudkan semata-mata hukum yang mengatur
terhadap perjanjianperjanjian internasional, multinasional atau
perjanjian dengan perusahaan-perusahaan multinasional.
4. Hukum kontrak semata-mata dimaksudkan sebagai hukum yang
mengatur tentang perjanjianperjanjian yang prestasinya dilakukan oleh
kedua belah pihak. Jadi akan janggal jika digunakan istilah kontrak
untuk ‘kontrak hibah’ dan ‘kontrak warisan’ dan sebagainya.36
Tidak dipenuhinya perjanjian atau kontrak, sudah tentu dapat
menimbulkan kerugian bagi pihak lainnya sehingga dinamakan sebagai
terjadi suatu cedera janji, ingkar janji atau wanprestasi. Menurut I Ketut
Oka Setiawan, bentuk-bentuk wanprestasi, adalah:
1. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat pada waktunya. Dengan
perkataan lain, terlambat melakukan prestasi. Artinya, meskipun
prestasi itu dilaksanakan atau diberikan, tetapi tidak sesuai dengan
waktu penyerahan dalam perikatan. Prestasi yang demikian itu disebut
juga kelalaian.
2. Tidak memenuhi prestasi. Artinya, prestasi itu tidak hanya terlambat,
tetapi juga tidak bisa lagi dijalankan. Hal semacam ini disebabkan
karena:

36
MunirFuady, Konsep Hukum Perdata, Op Cit, hlm. 180.

18
a. Pemenuhan prestasi tidak mungkin lagi dilaksanakan karena
barangnya telah musnah;
b. Prestasi kemudian sudah tidak berguna lagi, karena saat penyerahan
mempunyai arti yang sangat penting. Misalnya, pasangan
gaunpengantin untuk dipakai pada waktu perkawinan, apabila tidak
diserahkan pada waktu sebelum perkawinan, maka penyerahan
kemudian tidak mempunyai arti lagi.
3. Memenuhi prestasi tidak sempurna. Artinya, prestasi diberikan tetapi
tidak sebagaimana mestinya. Misalnya, prestasi mengenai penyerahan
satu truk kacang kedelai berkualitas nomor 1, namun yang diserahkan
adalah kacang kedelai yang berkualitas nomor 2.
Timbulnya wanprestasi menjadi alasan penting untuk melakukan
gugatan karena wanprestasi, seperti gugatan ganti kerugian. Hal tersebut
merupakan konsekuensi atau akibat wanprestasi itu sendiri sehingga
apabila debitur wanprestasi, maka sebagai akibatnya ialah:
1. Kreditur tetap berhak atas pemenuhan perikatan, jika hal itu masih
dimungkinkan;
2. Kreditur juga mempunyai hak atas ganti kerugian, baik bersamaan
dengan pemenuhan prestasi maupun sebagai gantinya pemenuhan
prestasi;
3. Sesudah adanya wanprestasi, maka overmachttidak mempunyai
kekuatan untuk membebaskan debitur;
4. Pada perikatan yang lahir dari kontrak timbal balik, maka wanprestasi
dari pihak pertama memberi hak kepada pihak lain untuk minta
pembatalan kontrak pada Hakim, sehingga penggugat dibebaskan dari
kewajibannya. Dalam gugatan pembatalan kontrak ini dapat juga
dimintakan ganti kerugian.37
Pembahasan tentang wanprestasi perlu penulis kemukakan bahwa
wanprestasi terjadi dalam lingkup perjanjian atau kontrak, sehingga

37
Ibid, hlm. 20.

19
hubungan hukum yang terjalin di antara para pihak menjadi dasar untuk
menentukan apakah pelaksanaan prestasi terjadi atau tidak. Bilamana
tidak terjadi sesuai yang dijanjikan, maka disitulah telah terjadi
wanprestasi.
Ganti kerugian hanyalah salah satu upaya yang dapat digugat karena
terjadinya wanprestasi. Namun perlu diperhatikan bahwa di dalam
pemenuhan prestasi dapat saja terjadi beberapa kemungkinan sebagai
penyebabnya, yaitu:
1. Karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan maupun kelalaian;
dan
2. Karena keadaan memaksa (force majeure), di luar kemampuan
debitur.
Jadi, debitur tidak bersalah.38 Dapat penulis kemukakan sebagai
contohnya dalam hal kesalahan debitur sendiri, misalnya pada perjanjian
membangun rumah oleh karena kualitas bahan bangunannya kurang
diperhatikan dan debitur pun menentukan kualitasnya, walaupun rendah
mutunya akan tetapi bangunan tersebut terus dilaksanakan, kemudian
runtuh, maka debitur tidak sepenuhnya dapat dipersalahkan.
Kemudian dalam keadaan memaksa, misalnya diperjanjikan
membangun rumah pada kemiringan tertentu yang mudah longsor,
namun hal demikian merupakan keinginan debitur yang dijanjikan
bersama dengan kreditur, kemudian diterjang tanah longsor dan roboh.
Maka, dalam keadaan semacam itu, alasan karena keadaan memaksa
merupakan bagian yang patut dipertimbangkan.
Pembahasan tentang persamaan dan perbedaan antara perbuatan
melawan hukum dengan wanprestasi penting sekali, oleh karena
sekilasmempunyai persamaan, namun di lain pihak mempunyai
perbedaan yang mendasar. Persamaannya antara lain dapat diajukannya

38
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Op Cit, hlm. 241.

20
gugatan ganti kerugian akibat perbuatan melawan hukum maupun karena
wanprestasi.
Perbuatan melawan hukum dalam yurisprudensi menurut hukum dan
praktik peradilan di Indonesia adalah bertolak dari ketentuan Pasal 1365
KUHPerdata sebagai sumber hukumnya, sedangkan sumber hukum
wanprestasi ialah ketentuan Pasal 1243 KUHPerdata. Perbedaan dari
sumber hukumnya tersebut jika ditinjau dari segi persamaannya,
keduanya sama-sama diatur dalam Buku Ketiga KUHPerdata tentang
Perikatan.
Ditinjau dari timbulnya hak menuntut, pada perbuatan melawan
hukum, hak menuntut ganti rugi karena perbuatan melawan hukum tidak
perlu dengan peringatan atau somasi. Pihak yang merasa dirugikan dapat
langsung memperoleh hak untuk menuntut ganti rugi. Sementara pada
wanprestasi, hak menuntut ganti rugi akibat wanprestasi timbul dari Pasal
1243 KUHPerdata, yang pada prinsipnya membutuhkan pernyataan lalai
(somasi).
Terhadap ganti rugi, baik perbuatan melawan hukum maupun
wanprestasi mengenal adanya ganti rugi. Namun dalam wanprestasi,
telah diatur tentang jangka waktu perhitungan ganti rugi yang dapat
dituntut, serta jenis dan jumlah ganti rugi yang dapat dituntut dalam
wanprestasi. Sementara itu, KUHPerdata tidak mengatur bagaimana
bentuk dan rincian ganti rugi. Dengan demikian, bisa diduga ganti rugi
nyata dan kerugian immateriil.39
Walaupun demikian, menurut Abdulkadir Muhammad,40 perihal
kerugian ini dapat bersifat kerugian materiil atau kerugian immateriil.
Apa ukurannya, apa yang termasuk kerugian itu, tidak ada ketentuan
lebih lanjut dalam undang-undang sehubungan dengan perbuatan
melawan hukum. Menurut yurisprudensi, kerugian yang timbul karena
perbuatan melawan hukum ketentuannya sama dengan ketentuan

39
“Perbedaan Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi,” Loc Cit
40
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Op Cit, hlm. 146-147.

21
kerugian yang timbul karena wanprestasi dalam perjanjian. Ketentuan
tersebut diperlakukan secara analogi.
Dalam Pasal 1243 sampai dengan Pasal 1248 KUHPerdata diatur
secara rinci tentang ganti rugi akibat wanprestasi. Kerugian akibat
wanprestasi itu meliputi tiga unsur, yaitu biaya, kerugian yang sungguh-
sungguh diderita, dan keuntungan yang diharapkan. Dengan demikian,
kerugian dalam perbuatan melawan hukum juga meliputi tiga unsur
tersebut. Demikian juga ukuran yang dipakai, yaitu uang.
Persamaan dan perbedaan antara perbuatan melawan hukum dengan
wanprestasi terus terjadi, mengingat dalam masyarakat, gugatan dan
perkara berdasarkan perbuatan melawan hukum serta berdasarkan
wanprestasi banyak terjadi.
B. Konsep Pertanggungjawaban Ganti Rugi dalam Perbuatan Melawan
Hukum dan Wanprestasi
Dari segi kacamata yuridis, konsep ganti rugi dalam hukum dikenal
dalam dua bidang, yaitu sebagai berikut: yang pertama konsep ganti rugi
karena wanprestasi kontrak, dan yang kedua: konsep ganti rugi karena
perikatan berdasarkan undang-undang termasuk ganti rugi karena
perbuatan melawan hukum. Banyak persamaan antara konsep ganti rugi
karena wanprestasi kontrak dengan konsep ganti rugi karena perbuatan
melawan hukum, akan tetapi perbedaannya juga banyak. Ada juga
konsep ganti rugi yang dapat diterima dalam system ganti rugi karena
perbuatan melawan hukum, tetapi terlalu keras jika diberlakukan
terhadap ganti rugi karena wanprestasi kontrak.
Misalnya ganti rugi yang menghukum (punitive damages) yang dapat
diterima dengan baik dalam ganti rugi karena perbuatan melawan hukum,
tetapi dalam prinsipnya sulit diterima dalam ganti rugi karena
wanprestasi kontrak. Ganti rugi dalam bentuk menghukum ini adalah
ganti rugi yang harus diberikan kepada korban dalam jumlah yang
melebihi dari kerugian yang sebenarnya. Ini dimaksudkan untuk

22
menghukum pihak pelaku perbuatan melawan hukum tersebut. Karena
jumlahnya yang melebihi dari kerugian yang nyata di derita, maka untuk
ganti rugi menghukum ini sering disebut juga dengan istilah “uang
cerdik” (smart money).41
Bentuk ganti rugi terhadap perbuatan melawan hukum yang dikenal
dalam hukum adalah sebagai berikut:
1. Ganti rugi nominal: jika ada perbuatan melawan hukum yang serius,
seperti perbuatan yang mengandung unsur kesengajaan, tetapi tidak
menimbulkan kerugian yang nyata bagi korban, maka kepada korban
dapat diberikan sejumlah uang tertentu sesuai dengan rasa keadilan
tanpa menghitung berapa sebenarnya kerugian tersebut. Inilah yang
disebut dengan ganti rugi nominal.
2. Ganti rugi kompensasi: merupakan ganti rugi yang merupakan
pembayaran kepada korban atas dan sebesar kerugian yang benar-
benar telah dialami oleh pihak korban dari suatu perbuatan melawan
hukum. Karena itu ganti rugi seperti ini disebut juga dengan ganti rugi
actual. Misalnya ganti rugi atas segala biaya yang dikeluarkan oleh
korban, kehilangan keuntungan/gaji, sakit dan penderita, termasuk
penderitaan mental seperti stres, malu, jatuh nama baik, dan lain-lain.
3. ganti rugi penghukuman, merupakan suatu ganti rugi dalam jumlah
besar yang melebihi dari jumlah kerugian yang sebenarnya. Besarnya
jumlah ganti rugi tersebut dimaksudkan diterapkan terhadap kasus-
kasus kesengajaan yang berat atau sadis. Misalnya diterapkan
terhadap penganiayaan berat atas seseorang tanpa rasa
perikemanusiaan.
Dilain pihak kedudukan dari korban dari perbuatan melawan hukum
berbeda dengan pihak dalam kontrak yang terhadapnya telah dilakukan
wanprestasi oleh lawannya dalam kontrak tersebut, pihak yang telah
berani menandatangani kontrak, berarti dia sedikit banyaknya sudah

41
Munir Fuady: PT Citra Aditya Bakti: 2013

23
berani mengambil resiko-resiko tertentu, termasuk resiko kerugian yang
terbit dari kontrak tersebut. Sehingga ganti rugi yang diberikan
kepadanya tidaklah terlalu keras berlakunya. Akan tetapi, lain halnya
bagi korban dari perbuatan melawan hukum, yang kadang-kadang datang
dengan sangat mendadak dan tanpa diperhitungkan sama sekali. Karena
pihak korban dari perbuatan melawan hukum sama sekali tidak siap
menerima risiko dan sama sekali tidak pernah berfikir tentang risiko
tersebut, maka seyogyanya dia lebih dilindungi, sehingga ganti rugi yang
berlaku kepadanya lebih luas dan lebih tegas berlakunya.
Orang sering mencampuradukkan antara gugatan wanprestasi dan
gugatan perbuatan melawan hukum. Adakalanya, orang mengajukan
gugatan perbuatan melawan hukum. Namun dari dalil-dalil yang
dikemukakan, sebenarnya lebih tepat kalau diajukan gugatan
wanprestasi. Ini akan menjadi celah yang akan dimanfaatkan tergugat
dalam tangkisannya. Membedakan antara perbuatan melawan hukum dan
wanprestasi sebenarnya gampang-gampang susah. Sepintas, kita bisa
melihat persamaan dan perbedaanya dengan gampang. Baik perbuatan
melawan hukum dan wanprestasi, sama-sama dapat diajukan tuntutan
ganti rugi.
Sementara perbedaannya, seseorang dikatakan wanprestasi apabila ia
melanggar suatu perjanjian yang telah disepakati dengan pihak lain.
Tiada wanprestasi apabila tidak ada perjanjian sebelumnya. Sedangkan
seseorang dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum apabila
perbuatannya bertentangan dengan hak orang lain, atau bertentangan
dengan kewajiban hukumnya sendiri, atau bertentangan dengan
kesusilaan.
Beberapa sarjana hukum bahkan berani menyamakan perbuatan
melawan hukum dengan wanprestasi dengan batasan-batasan tertentu.
Asser Ruten, sarjana hukum Belanda, berpendapat bahwa tidak ada
perbedaan yang hakiki antara perbuatan melawan hukum dan
wanprestasi. Menurutnya, wanprestasi bukan hanya pelanggaran atas hak

24
orang lain, melainkan juga merupakan gangguan terhadap hak
kebendaan.
Senada dengan Rutten, Yahya Harahap berpandapat bahwa dengan
tindakan debitur dalam melaksanakan kewajibannya yang tidak tepat
waktu atau tak layak, jelas itu merupakan pelanggaran hak kreditur.
Setiap pelanggaran hak orang lain berarti merupakan perbuatan melawan
hukum. Dikatakan pula, wanprestasi adalah species, sedangkan genusnya
adalah perbuatan melawan hukum. Selain itu, bisa saja perbuatan
seseorang dikatakan wanprestasi sekaligus perbuatan melawan hukum.
Misalnya A yang sedang mengontrak rumah B, tidak membayar uang
sewa yang telah disepakati. Selain belum membayar uang sewa, ternyata
A juga merusak pintu rumah B. Namun apabila kita cermati lagi, ada
suatu perbedaan hakiki antara sifat perbuatan melawan hukum dan
wanprestasi. Bahkan, Pitlo menegaskan bahwa baik dilihat dari
sejarahnya maupun dari sistematik undang-undang, wanprestasi tidak
dapat digolongkan pada pengertian perbuatan melawan hukum.
M.A. Moegni Djojodirdjo dalam bukunya yang berjudul “Perbuatan
Melawan Hukum”, berpendapat bahwa amat penting untuk
mempertimbangkan apakah seseorang akan mengajukan tuntutan ganti
rugi karena wanprestasi atau karena perbuatan melawan hukum. Menurut
Moegni, akan ada perbedaan dalam pembebanan pembuktian,
perhitungan kerugian, dan bentuk ganti ruginya antara tuntutan
wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. Dalam suatu gugatan
perbuatan melawan hukum, penggugat harus membuktikan semua unsur-
unsur perbuatan melawan hukum selain harus mampu membuktikan
adanya kesalahan yang diperbuat debitur. Sedangkan dalam gugatan
wanprestasi, penggugat cukup menunjukkan adanya wanprestasi atau
adanya perjanjian yang dilanggar. Kemudian dalam suatu gugatan
perbuatan melawan hukum, penggugat dapat menuntut pengembalian
pada keadaan semula (restitutio in integrum). Namun, tuntutan tersebut

25
tidak diajukan apabila gugatan yang diajukan dasarnya adalah
wanprestasi.(pkbh.uad.ac.id)
C. Sistem Pertanggungjawaban Ganti Rugi Dalam KUH Perdata
Seperti telah diuraikan di atas, seorang yang melakukan perbuatan
melawan hukum maupun wanprestasi wajib mengganti kerugian. Untuk
itu kita perlu lebih memahami mengenai tuntutan-tuntutan apa yang
dimungkinkan dalam perbuatan melawan hukum maupun wanprestasi.
Terlebih dahulu kita akan membahas mengenai tuntutan dalam perbuatan
melawan hukum. Dalam pasal 1365 KUHPerdata memberikan
kemungkinan beberapa jenis penuntutan, antara lain:42
1. ganti kerugian atas kerugian dalam bentuk uang;
2. ganti kerugian dalam bentuk natura atau pengembalian keadaan pada
keadaan semula;
3. pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukan dalah bersifat melawan
hukum;
4. larangan untuk melakukan suatu perbuatan;
5. meniadakan sesuatu yang diadakan secara melawan hukum;
6. pengumuman daripada keputusan atau dari sesuatu yang telah
diperbaiki.
Pembayaran ganti kerugian tidak selalu harus berwujud uang. Hoge
Raad dalam Keputusan tanggal 24 Mei 1918 telah mempertimbangkan
bahwa pengembalian pada keadaan semula adalah merupakan
pembayaran ganti kerugian yang paling tepat. Maksud ketentuan pasal
1365 KUHPerdata adalah untuk seberapa mungkin mengembalikan
penderita pada keadaan semula, setidak-tidaknya pada keadaan yang
mungkin dicapainya, sekiranya tidak dilakukan perbuatan melawan
hukum. Maka yang diusahakan adalah pengembalian yang nyata yang
kiranya lebih sesuai dari pada pembayaran ganti kerugian dalam bentuk

42
M.A. Moegni Djojodirdjo1976 : 102

26
uang karena pembayaran sejumlah uang hanyalah merupakan nilai yang
equivalen saja.
Seorang penderita perbuatan melawan hukum berwenang meminta
penggantian natura. Selain daripada haknya untuk meminta ganti
kerugian atau untuk menuntut pengembalian pada keadaan semula
(restitutio in integrum), maka penderita berwenang untuk mengajukan
nilai-nilai tuntutan yakni agar pengadilan menyatakan bahwa perbuatan
yang dipersalahkan pada pelaku merupakan perbuatan melawan hukum.
Dalam hal ini penderita dapat juga mengajukan tuntutan kehadapan
Pengadilan agar Pengadilan Negeri memberikan keputusan dieclaratoir
tanpa menuntut pembayaran ganti kerugian. Demikian juga penderita
dapat menuntut agar Pengadilan Negeri menjatuhkan keputusannya
dengan melarang pelaku untuk melakukan perbuatan melawan hukum
lagi dikemudian hari. Bilamana si pelaku tetap tidak mentaati keputusan
untuk mengembalikan pada keadaan semula, maka si pelaku tersebut
43
dapat dikenakan uang paksa. (Sri Redjeki Slamet- Lex Jurnalica
Volume 10 Nomor 2, Agustus 2013)
Kitab Undang-undang hukum perdata yang merupakan kiblatnya
hukum perdata di Indonesia, termasuk kiblat bagi hukum yang berkenaan
dengan perbuatan melawan hukum, mengatur kerugian dang ganti rugi
dalam hubungannya dengan perbuatan melawan hukum dengan 2 (dua)
pendekatan sebagai berikut yaitu ganti rugi umum dang anti rugi khusus.
Selain dari ganti rugi umum yang diatur mulai dari Pasal 1243
KUHPerdata, KUHPerdata juga mengatur ganti rugi khusus, yakni ganti
rugi khusus terhadap kerugian yang timbul dari perikatan-perikatan
tertentu. Dalam hubungan dengan ganti rugi yang terbit dari suatu
perbuatan melawan hukum, selain dari ganti rugi dalam bentuk yang
umum, KUHPerdata juga menyebutkan pemberian ganti rugi terhadap
hal-hal sebagai berikut:
43
Sri Redjeki Slamet- Lex Jurnalica Volume 10 Nomor 2, Agustus 2013

27
1. Ganti rugi semua perbuatan melawan hukum (Pasal 1365).
2. Ganti rugi untuk perbuatan yang dilakukan oleh orang lain (Pasal
1366-Pasal 1367).
3. Ganti rugi untuk pemilik binatang (Pasal 1368).
4. Ganti rugi untuk pemilik gedung yang ambruk (Pasal 1369).
5. Ganti rugi untuk keluarga yang ditinggalkan oleh orang yang dibunuh
(Pasal 1370)
6. Ganti rugi karena orang telah luka atau cacat anggota badan (Pasal
1371).
7. Ganti rugi karena tindakan penghinaan (Pasal 1372-1380).
Disamping itu, menurut KUHPerdata ketentuan ganti rugi karena
akibat dari perbuatan melawan hukum tidak jauh beda dengan ganti rugi
karena wanprestasi. Dalam Pasal 1249 KUHPerdata, ditentukan bahwa
penggantian kerugian yang disebabkan karena wanprestasi hanya
ditentukan dalam bentuk uang. Namun dalam perkembangannya,
menurut para ahli dan yurisprudensi bahwa kerugian dapat dibedakan
menjadi dua macam yaitu ganti rugi materiil dan ganti rugi inmateriil.
(Asser’s 1988:274). Kerugian materiil adalah suatu kerugian yang
diderita kreditor dalam bentuk uang/kekayaan/benda, sedangkan kerugian
inmateriil adalah suatu kerugian yang diderita oleh kreditor yang tidak
bernilai uang, seperti rasa sakit, mukanya pucat, dan lain-lain.44
Pedoman selanjutnya mengenai ganti kerugian dalam Perbuatan
Melawan Hukum kita bisa lihat dalam Pasal 1372 ayat (2) KUHPerdata
yang isinya: “Dalam menilai suatu dan lain, Hakim harus memperhatikan
berat ringannya penghinaan, begitu pula pangkat, kedudukan dan
kemampuan kedua belah pihak, dan pada keadaan”.
Prof. Rosa Agustina dalam bukunya “Perbuatan Melawan Hukum”
menerangkan bahwa kerugian akibat Perbuatan Melawan Hukum sebagai

44
salim HS: Sinar Grafika.2001

28
“scade” (rugi) saja, sedangakan kerugian akibat Wanprestasi oleh Pasal
1246 KUHPerdata dinamakan “Konsten, scaden en interessen” (biaya,
kerugian dan bunga). Kemudian, dalam buku yang sama Prof. Rosa
Agustina juga menerangkan bahwa kerugian dalam Perbuatan Melawan
Hukum menurut KUHPerdata, Pemohon dapat meminta kepada si pelaku
untuk mengganti kerugian yang nyata telah dideritanya (Materil) maupun
keuntungan yang akan diperoleh di kemudian hari (Immateril).
D. Studi Kasus
Kronologi Kasus "CV Karya Agung" dan "UD Maju Jaya":
Pada tahun 2020, CV Karya Agung dan UD Maju Jaya sepakat untuk
mengadakan kontrak pengadaan bahan baku. Kontrak tersebut mencakup
persyaratan pengiriman bahan baku dalam jumlah tertentu setiap bulan.
Selama beberapa bulan pertama, UD Maju Jaya memenuhi
kewajibannya dengan baik dan mengirimkan bahan baku sesuai dengan
jadwal yang telah disepakati.
Namun, pada bulan keempat, UD Maju Jaya gagal untuk mengirimkan
pesanan bulanan sesuai dengan kontrak. CV Karya Agung mengalami
gangguan produksi dan kerugian finansial akibat keterlambatan tersebut.
CV Karya Agung memberikan pemberitahuan tertulis kepada UD
Maju Jaya dan meminta pemenuhan kewajiban sesuai dengan kontrak.
Mereka memberikan waktu tambahan untuk memperbaiki situasi.
UD Maju Jaya berjanji untuk memperbaiki masalah tersebut, tetapi
keterlambatan pengiriman terus terjadi selama beberapa bulan
berikutnya.
Setelah berusaha menyelesaikan masalah melalui negosiasi dan
mediasi tanpa hasil, CV Karya Agung memutuskan untuk mengajukan
tuntutan hukum terhadap UD Maju Jaya.
Pengadilan memeriksa bukti-bukti dan mendengarkan kesaksian dari
kedua pihak. Setelah pertimbangan yang matang, pengadilan
memutuskan bahwa UD Maju Jaya bersalah atas wanprestasi dan

29
menghukum mereka untuk membayar kompensasi kepada CV Karya
Agung sesuai dengan ketentuan kontrak.
Analisi Kasus
Kasus di atas digugat sebagai wanprestasi dan bukan perbuatan melawan
hukum karena dasar perjanjiannya adalah kontrak sah yang dibuat antara
Pihak CV Karya Agung dan Pihak UD Maju Jaya. Dalam kasus
wanprestasi, pelanggaran terhadap kontrak adalah akar masalahnya.
Berikut adalah alasan mengapa kasus ini lebih sesuai sebagai wanprestasi
daripada perbuatan melawan hukum:
1. Dasar Kontrak: Kasus ini memiliki dasar perjanjian kontrak yang sah
di antara pihak-pihak yang terlibat. Dalam kontrak tersebut,
kewajiban-kewajiban dan hak-hak masing-masing pihak telah
dijelaskan dengan jelas. Oleh karena itu, pelanggaran terhadap kontrak
adalah inti masalahnya.
2. Tidak Ada Pelanggaran Hukum: Tidak ada perbuatan ilegal atau
tindakan melanggar hukum yang terlibat dalam kasus ini. CV Karya
Agung tidak sedang melakukan tindakan yang secara intrinsik
melanggar hukum, seperti pencurian, penipuan, atau penganiayaan.
Mereka gagal memenuhi kewajiban kontrak mereka.
3. Kontrak sebagai Pedoman: Dalam kasus wanprestasi, pengadilan
biasanya merujuk pada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan
dalam kontrak untuk menentukan apakah kewajiban telah dilanggar.
Penilaian ini didasarkan pada apa yang telah disepakati oleh pihak-
pihak dalam kontrak.
4. Remediasi Kontrak: Dalam kasus wanprestasi, pengadilan biasanya
berusaha untuk mengembalikan pihak-pihak ke posisi yang mereka
miliki sebelum kontrak, misalnya, dengan mengharuskan CV Karya
Agung membayar kompensasi kepada UD Maju Jaya sesuai dengan
persyaratan kontrak. Hal ini lebih fokus pada pelaksanaan kontrak
yang sebenarnya.

30
5. Hukum Kontrak: Hukum kontrak adalah cabang hukum yang
mengatur perjanjian kontrak dan penyelesaian sengketa yang timbul
dari kontrak. Oleh karena itu, kasus ini lebih masuk akal untuk diadili
sebagai wanprestasi berdasarkan hukum kontrak.
Perbuatan melawan hukum, di sisi lain, merujuk pada tindakan ilegal
atau melanggar hukum yang pada dasarnya bukan berdasarkan perjanjian
kontrak. Dalam kasus perbuatan melawan hukum, seseorang atau entitas
terlibat dalam tindakan yang secara langsung melanggar hukum,
misalnya, pencurian, penipuan, atau penyerangan.

31
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengaturan tuntutan ganti kerugian dalam sengketa wanprestasi
dan sengketa perbuatan melanggar hukum dalam KUHPerdata
adalah sebagai berikut:
a. Sengketa Wanprestasi (Pelanggaran Kontrak):
Dalam sengketa wanprestasi, tuntutan ganti kerugian diatur
berdasarkan Pasal 1243 hingga Pasal 1248 KUHPerdata. Ini berarti
bahwa tuntutan ganti kerugian dalam konteks wanprestasi
berhubungan erat dengan pelaksanaan atau ketidakpelaksanaan
suatu kontrak atau perjanjian. Para pihak yang terlibat dalam
kontrak memiliki hak untuk menuntut ganti rugi jika salah satu
pihak tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian.
b. Sengketa Perbuatan Melawan Hukum:
Dalam sengketa perbuatan melawan hukum, tuntutan ganti
kerugian diatur berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata. Perbuatan
melawan hukum mencakup tindakan yang bertentangan dengan hak
orang lain, kewajiban hukum, atau norma kesusilaan. Dalam kasus
ini, pihak yang menderita kerugian akibat perbuatan melawan
hukum dapat menuntut ganti rugi dari pelaku perbuatan tersebut.
2. Perbedaan Antara Tuntutan Ganti Kerugian Sengketa
Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum:
Ada beberapa perbedaan utama antara tuntutan ganti kerugian
dalam sengketa wanprestasi dan sengketa perbuatan melawan hukum:
a. Sumber Hukum:Sengketa Wanprestasi: Sumber hukumnya
terdapat dalam Pasal 1243 hingga Pasal 1248 KUHPerdata yang
mengatur ganti rugi akibat wanprestasi dalam konteks perjanjian
atau kontrak. Sengketa Perbuatan Melawan Hukum: Sumber
hukumnya terdapat dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang mengatur

32
ganti rugi akibat perbuatan melawan hukum, yang mencakup
pelanggaran hak, kewajiban hukum, atau norma kesusilaan.
b. Pembuktian:Sengketa Wanprestasi: Biasanya, pihak yang
menuntut ganti rugi dalam wanprestasi hanya perlu membuktikan
adanya wanprestasi atau pelanggaran terhadap perjanjian.Sengketa
Perbuatan Melawan Hukum: Dalam kasus perbuatan melawan
hukum, penggugat harus membuktikan semua unsur perbuatan
melawan hukum dan kerugian yang telah diderita.
c. Jenis Kerugian:Sengketa Wanprestasi: KUHPerdata biasanya
mengacu pada ganti rugi yang melibatkan biaya, kerugian yang
sebenarnya diderita, dan keuntungan yang diharapkan dalam
konteks kontrak.Sengketa Perbuatan Melawan Hukum: Kerugian
dalam perbuatan melawan hukum dapat mencakup kerugian
materiil (dalam bentuk uang atau aset) dan kerugian inmateriil
(misalnya, rasa sakit, penderitaan mental).
d. Restitusi:Sengketa Wanprestasi: KUHPerdata tidak mengatur
restitusi sebagai salah satu tuntutan ganti rugi dalam
wanprestasi.Sengketa Perbuatan Melawan Hukum: Pasal 1365
KUHPerdata memberikan hak kepada penderita perbuatan
melawan hukum untuk menuntut pengembalian pada keadaan
semula (restitutio in integrum).
e. Kasus Khusus:Sengketa Wanprestasi: Tuntutan ganti kerugian
dalam konteks wanprestasi berkaitan erat dengan pelaksanaan
kontrak atau perjanjian yang telah dibuat.Sengketa Perbuatan
Melawan Hukum: Tuntutan ganti kerugian dalam perbuatan
melawan hukum mencakup tindakan yang melanggar hak orang
lain, kewajiban hukum, atau norma kesusilaan, dan tidak terbatas
pada perjanjian atau kontrak.
Dengan demikian, meskipun ada persamaan dalam konsep ganti
kerugian dalam kedua sengketa tersebut, terdapat perbedaan yang
mendasar terkait dengan sumber hukum, pembuktian, jenis kerugian,

33
restitusi, dan kasus khusus yang menjadi dasar untuk tuntutan ganti
kerugian.
B. Saran
Demikianlah makalah yang kami buat ini, semoga bermanfaat dan
menambah pengetahuan para pembaca. Kami mohon maaf apabila ada
kesalahan ejaan dalam penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas.
Kami hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan dan kami
juga sangat mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi
kesempurnaan makalah ini. Sekian penutup dari kami semoga dapat
diterima di hati dan kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

34
DAFTAR PUSTAKA
FuadyMunir, Konsep Hukum Perdata, RajaGrafindo Persada, Cetakan ke-2,
Jakarta, 2015.
Hutagalung Sophar Maru, 2010, Praktik Peradilan Perdata, Jakarta : Sinar
Grafika.
Hariri Wawan Muhwan, 2011, Hukum Perikatan, Dilengkapi Hukum dalam
Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Miru Ahmadi dan Pati Sakka, 2018, Hukum Perikatan Penjelasan Makna
Pasal 1233 sampai 1456 BW, Depok : PT Raja Grafindo Persada.
Marwan M. dan Jimmy. P., Kamus Hukum, Reality Publisher, Cetakan
Pertama, Surabaya,2009.
MuhammadAbdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Cetakan ke-5, Bandung, 2014.
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup.
Setiawan I Ketut Oka, Hukum Perikatan, Sinar Grafika, Cetakan Pertama,
Jakarta, 2016.
Subekti R. dan R. Tjitrosudibio, Kitab UndangUndang Hukum Perdata,
Pradnya Paramita, Cetakan ke-32, Jakarta, 2002.
Suharnoko, 2008, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Jakarta :
KENCANA Prenadamedia Group.
Sudikno Mertokusumo, 2009, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta
: Liberty.
Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta:
Gramedia Widiasarana Indonesia.
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Soerjono Soekamto, 1998, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI press.
Subekti, 2010, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta : PT Intermasa.

35
36

Anda mungkin juga menyukai