OLEH
AHMAD YANNU DWIKY RAMADHAN
NIM. 1201816090
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SURAKARTA
2022
i
USULAN PENELITIAN
ii
PERSETUJUAN
Proposal penelitian ini telah disetujui oleh dosen pembimbing skripsi. Pada,
Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Surakarta.
Hari :
Tanggal :
Dr. Dara Pustika Sukma, S.H., M.H. Desi Syamsiah, S.H., M.H.
NIPY : 19900525 061024 2 274 NIPY : 19820701 061024 2
iii
DAFTAR ISI
Halaman Judul.................................................................................... i
Halaman Pengajuan............................................................................ ii
Halaman Persetujuan.......................................................................... iii
Daftar Isi............................................................................................. iv
iv
Daftar Pustaka..................................................................................... 33
iv
A. Latar Belakang Masalah
ketertiban dan perlindungan hukum menuntut antara lain bahwa lalu lintas
menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subyek hukum
hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang adil. Selain itu, fungsi
1
Mochtar Kusumaatmadja, B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama
Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum Buku I, Bandung: Alumni, 2000, hal. 43
2
Ibid, hal. 17.
3
Supriadi, Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008,
hal. 29.
4
Ibid, hal. 29
1
Tuntutan terhadap perlindungan hukum dalam kehidupan masyarakat
salah satunya tercermin dalam lalu lintas hukum pembuktian. Salah satu
Perjanjian di atas tercermin dalam proses jual beli. Menurut definisi dalam
adalah: “Jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu
yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.” Dari pengertian di
masing mempunyai hak dan kewajiban yang timbul dari perikatan jual
beli tersebut;
5
H.R Daeng Naja., Contract Drafting, Edisi Revisi, Cet. 2, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti,
2006, hal. 34.
2
c. Hak bagi pihak yang satu merupakan kewajiban bagi pihak lainnya,
begitu pun sebaliknya, kewajiban bagi pihak yang satu merupakan hak
d. Bila salah satu hak tidak terpenuhi atau kewajiban tidak dipenuhi oleh
salah satu pihak, maka tidak akan terjadi perikatan jual beli.
penjual memiliki kewajiban untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang
dan pihak pembeli berkewajiban untuk memberikan sejumlah uang yang telah
disepakati. Apabila telah berpindah tangan dari penjual kepada pembeli maka
secara yuridis telah sesuai dengan ketentuan Pasal 1459 KUH Perdata yang
berbunyi: “Hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada si
616.”
Ketiga Pasal di atas, yang terkandung dalam Pasal 1459 KUH Perdata
yaitu Pasal 612, 613, dan 616 mengatur peralihan barang bergerak yang
berwujud maupun tidak berwujud. Namun, berbeda halnya dengan hak milik
adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang
atas tanah, dengan mengingat ketentuan Pasal 6”. Menurut Pasal 39 ayat (1)
dinyatakan bahwa akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah
3
(selanjutnya disebut PPAT) adalah dasar yang kuat untuk pendaftaran
pemindahan hak bagi tanah. Terkait dengan hal tersebut, jika suatu transaksi
belum dapat dibuatkan aktanya oleh PPAT, misalnya karena masih dalam
suatu perikatan yang lazim dibuat dengan perjanjian akta jual beli (selanjutnya
disebut AJB).
umum terbagi menjadi dua macam bentuknya, yaitu dalam bentuk jual beli
yang diikat dengan perjanjian di bawah tangan, dan akta yang dibuat secara
dalam KUH Perdata Pasal 1871 dijelaskan bahwa akta dalam hierarki
dengan pihak kedua yang disebut dengan AJB dan dibuat serta disahkan oleh
Notaris sebagai salah satu pejabat yang berwenang membuat akta otentik.
ditulis UUJN) menyebutkan bahwa “Akta notaris adalah akta otentik yang
dibuat oleh atau di hadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang
6
Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria,
Isi, dan Pelaksanaannya, Jilid I, Jakarta, Djambatan, 2008, hal. 267
4
Kewenangan Notaris disamping diatur dalam Pasal 15 UUJN, juga ada
Salah satu akta otentik yang dibuat oleh Notaris adalah AJB.
barang dan harga. Begitu kedua pihak sudah setuju tentang barang dan
harga, maka lahirlah perjanjian jual beli yang sah.8 Perjanjian jual beli
dibuat untuk melakukan pengikatan sementara sebelum dibuat akta jual beli
oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), secara umum isi dari perjanjian
jual beli ini adalah kesepakatan penjual kepada pembeli dengan disertai
tanda jadi atau uang muka pembayaran tanah tersebut atau bisa juga memuat
sehari-hari dimana proses jual beli tanah melalui AJB masih menjadi
5
tersebut akan menjadi suatu sengketa keperdataan tersendiri di
AJB jual beli tanah tersebut. Salah satu contoh kasus akta autentik yang
Autentik Berupa Akta Jual Beli Tanah Dalam Putusan Perkara Perdata
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana kekuatan alat bukti akta autentik jual beli tanah dalam Putusan
Perkara Perdata No.1609K/PDT.G/2016/PN.Kln Di Pengadilan Negeri
Klaten ?
2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menilai pengajuan bukti surat akta
autentik atas jual beli tanah dalam Putusan Perkara Perdata
No.1609K/PDT.G/2016/PN.Kln Di Pengadilan Negeri Klaten ?
C. Tujuan Penelitian
Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk:
6
1. Untuk mengetahui kekuatan bukti akta autentik jual beli tanah dalam
Putusan Perkara Perdata No.1609K/PDT.G/2016/PN.Kln Di Pengadilan
Negeri Klaten.
2. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menilai pengajuan bukti
surat akta autentik atas jual beli tanah dalam Putusan Perkara Perdata
No.1609K/PDT.G/2016/PN.Kln Di Pengadilan Negeri Klaten.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memberikan 2 (dua) manfaat, yakni manfaat teoritis yang
berkaitan dengan pengembangan ilmu hukum di Indonesia dan manfaat praktis
yang berkaitan dengan pemecahan masalah yang diteliti. Adapun manfaat
tersebut yakni :
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
bagi pengembangan ilmu hukum di bidang hukum perdata;
b. Dijadikan sebagai referensi untuk para akademisi, penulis dan para
kalangan yang ingin melanjutkan kajian hukum pada bidang hukum
perdata;
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan jawaban atas
permasalahan yang diteliti oleh penulis.
b. Memperluas wawasan dan pandangan tentang kekuatan hukum
pembuktian akta autentik dan dapat melihat mengenai pertimbangan
hakim dalam menilai pengajuan bukti surat akta autentik atas jual beli
tanah dalam Putusan Perkara Perdata No.1609K/PDT.G/2016/PN.Kln.
E. Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan Tentang Perjanjian Jual Beli
a. Pengertian Jual Beli
7
Pasal 1493 Burgelijk Wetbook menjelaskan jual beli adalah
mengikat diri untuk membayar harga yang diperjanjikan. Ada tiga hal
8
menyerahkan obyek jual beli kepada pembeli dan berhak
menerima harga dan pembeli berkewajiban untuk
membayar harga dan berhak menerima obyek tersebut.13
9
diadakan. Dalam hal ini kedua belah pihak menghendaki sesuatu
yang sama secara timbal balik.
2) Cakap
Cakap merupakan kemampuan untuk melakukan suatu
perbuatan hukum yang dalam hal ini membuat suatu perjanjian.
Perbuatan hukum adalah segala perbuatan yang dapat
menimbulkan akibat hukum. Orang yang cakap untuk melakukan
perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa. Ukuran
kedewasaan adalah berumur 21 tahun sesuai dengan Pasal 330
KUH Perdata. Namun tidak semua orang dewasa dapat
melakukan perbuatan hukum seperti disebutkan dalam Pasal 443
KUH Perdata yang berbunyi :
“Setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan
dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah
pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan
pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah
pengampuan karena keborosan.”
15
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Cetakan 5, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2017, hal. 54
10
Jual beli tanah adalah suatu perbuatan hukum yang berupa
penyerahan tanah hak kepada pihak lain untuk selama-lamanya (hak
atas tanah itu berpindah kepada yang menerima penyerahan), hal ini
tertuang dalam Pasal 20 ayat (2), Pasal 28 ayat (3), dan Pasal 35 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria2 yang menyatakan bahwa hak milik, hak guna
bangunan dapat beralih dan dialihkan. Oleh karena perbuatan hukum
yang dimaksud disini adalah perjanjian memindahkan hak atas tanah,
memberikan suatu hak baru atas tanah, makaharus dibuktikan dengan
suatu akta yang dimana akta ini dibuat oleh dan dihadapan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (yang selanjutnya akan disebut dengan PPAT).
Adapun prosedur jual beli tanah yang harus ditempuh dalam
pelaksanaan jual beli tanah dan bangunan adalah sebagai berikut:
1) Akta Jual Beli (AJB)
Apabila telah tercapai kesepakatan mengenai harga tanah
termasuk didalamnya cara pembayaran dan siapa yang menangung
biaya pembuatan Akta Jual Beli (AJB) antara pihak penjual dan
pembeli, maka para pihak harus datang ke kantor PPAT untuk
membuat akta jual beli tanah.
2) Persyaratan Akta Jual Beli (AJB)
Hal-hal yang diperlukan dalam membuat Akta Jual Beli
tanah di kantor PPAT adalah sebagai berikut: Syarat-syarat yang
harus dibawa penjual antara lain yaitu, asli sertifikat hak atas tanah
yang akan dijual; KTP; Bukti pembayaran Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) sepuluh tahun terakhir; dan Surat persetujuan
suami isteri serta kartu keluarga bagi yang telah berkeluarga.
Adapun syarat-syarat yang harus dibawa oleh Calon Pembeli
adalah KTP dan Kartu Keluarga (KK).
3) Proses pembuatan AJB di Kantor PPAT
Persiapan pembuatan AJB sebelum dilakukan proses jual
beli, antara lain:
11
a) Dilakukan pemeriksaan mengenai keaslian dari sertipikat
termaksud di kantor Pertanahan untuk mengetahui status
sertifikat saat ini seperti keasliannya, apakah sedang dijaminkan
kepada pihak lain atau sedangdalam sengketa kepemilikan, dan
terhadap keterangan sengketa atau tidak, maka harus disertai
surat pernyataan tidak sengketa atas tanah tersebut;
b) Terkait status tanah dalam keadaan sengketa, maka PPAT akan
menolak pembuatan AJB atas tanah tersebut;
c) Calon pembeli dapat membuat pernyataan bahwa dengan
membeli tanah tersebut maka tidak lantas menjadi pemegang
hak atas tanah yang melebihi ketentuan batas luas maksimum;
d) Penjual diharuskan membayar Pajak Penghasilan (Pph)
sedangkan pembeli diharuskan membayar bea perolehan hak
atas tanah dan anggunan (BPHTB).
4) Pembuatan Akta Jual Beli
a) Dalam pembuatan akta harus dihadiri oleh penjual dan calon
pembeli atau orang yang diberi kuasa dengan surat kuasa
tertulis;
b) Dalam pembuatan akta harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya
dua orang saksi;
c) PPAT akan membacakan serta menjelaskan mengenai isi dan
maksud pembuatan akta, dan bila isi akta disetujui maka oleh
penjual dan calonpembeli akta tersebut akan ditandatangani
oleh para pihak, sekaligus saksi dan pejabat pembuat akta tanah
sendiri;
d) Akta dibuat dua lembar asli, satu disimpan oleh di kantor PPAT
dan lembar lainnya akan disampaikan kepada kantor pertanahan
setempat untuk keperluan balik nama atas tanah, sedangkan
salinannya akan diberikan kepada masing-masing
pihak.pembeli akta tersebut akan ditandatangani oleh para
pihak, sekaligus saksi dan pejabat pembuat akta tanah sendiri;
12
5) Setelah Pembuatan Akta Jual Beli
Setelah Akta Jual Beli selesai dibuat, PPAT menyerahkan
berkas tersebut ke kantor pertanahan untuk balik nama sertipikat.
Penyerahan akta harus dilakukan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja sejak ditandatangani, dengan berkas-berkas yang harus
diserahkan antara lain: surat permohonan balik nama yang telah
ditandatangani pembeli, Akta Jual Beli dari PPAT, Sertipikat hak
atas tanah, Kartu tanda penduduk kedua belah pihak, Bukti lunas
pembayaran Pph, serta bukti lunas pembayaran bea perolehan hak
atas tanah dan bangunan.
6) Proses di Kantor Pertanahan
Saat berkas diserahkan kepada kantor pertanahan, maka
kantor pertanahan akan memberikan tanda bukti penerimaan
permohonan balik nama kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah yang
selanjutkan akan diberikan kepada pembeli. Nama penjual dalam
buku tanah dan sertipikat akan docoret dengan tinta hitam dan
diberi paraf oleh kepala kantor pertanahan atau pejabat yang
ditunjuk. Nama pembeli selaku pemegang hak atas tanah yang baru
akan ditulis pada halaman dan kolom yang terdapat pada buku
tanah dan sertipikat dengan dibubuhi tanggal pencatatan serta
tandatangan kepala kantor pertanahan atau pejabat yang ditunjuk.
Dalam waktu 14 (empat belas) hari pembeli berhak mengambil
sertipikat yang sudah dibalik atas nama pembeli di kantor
pertanahan setempat.
13
keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang
terlah dilakukan terdakwa.16
b. Darwan Prinst memberi definisi alat-alat bukti yang sah adalah
alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana,
dimana alat-alat tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan
pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas
kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh
terdakwa.”17
14
surat yang diperbuat demikian oleh atau dihadapan pengawai yang
berwenang untuk membuatnya menjadi bukti yang cukup bagi kedua
belah pihak dan ahli warisnya maupun berkaitan dengan pihak lainnya
sebagai hubungan hukum, tentang segala hal yang disebut dalam surat
itu sebagai pemberitahuan hubungan langsung dengan perihal pada
akta itu.18
Pengertian Akta Autentik menurut Pasal 1868 KUHPerdata
adalah : ”Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk
yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum
yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat” Jadi syarat
otentisitas suatu akta yaitu dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-
undang, oleh atau dihadapan pejabat umum dan pejabat tersebut harus
berwenang di tempat di mana akta tersebut dibuat. Mengenai jenis dan
bentuk akta, pelaksanaan dan prosedur pembuatannya, diatur oleh
Peraturan Menteri Negara Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 3 Tahun 1997 mengenai Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, pada
Pasal 95 sampai dengan Pasal 102.
Akta PPAT merupakan salah satu sumber data bagi
pemeliharaan data pendaftaran tanah, maka wajib dibuat sedemikian
rupa sehingga dapat dijadikan dasar yang kuat untuk pendaftaran
pemindahan dan pembebanan hak yang bersangkutan. Oleh karena itu
PPAT bertanggung jawab untuk memeriksa syarat-syarat untuk sahnya
perbuatan hukum yang bersangkutan. Antara lain mencocokkan data
yang terdapat dalam sertipikat dengan daftar-daftar yang ada di Kantor
Pertanahan.19
Tata cara dan formalitas pembuatan akta otentik adalah
merupakan ketentuan hukum yang memaksa, artinya tata cara dan
prosedur pembuatan itu harus diikuti dengan setepat-tepatnya tanpa
18
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, 2005, hal. 62
19
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta, Djambatan, 2007, hal. 507.
15
boleh disimpangi sedikitpun. Penyimpangan dari tatacara dan prosedur
pembuatan akta otentik akan membawa akibat hukum kepada kekuatan
pembuktian akta itu. Penjelasan Pasal 45 PP 24/97 ditegaskan pula
bahwa Akta PPAT merupakan alat untuk membuktikan telah
dilakukannya suatu perbuatan hukum.
b. Pendaftaran Tanah
Tanah mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia
karena tanah mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan
sebagai capital asset. Sebagai social asset, tanah merupakan sarana
pengikat kesatuan sosial dikalangan masyarakat Indonesia. Sebagai
capital asset, tanah telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat
penting, tidak saja sebagai bahan perniagaan tapi juga sebagai obyek
spekulasi. Disatu sisi tanah harus dipergunakan dan dimanfaatkan
sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dan di
sisi lain harus dijaga kelestariannya.20
Untuk dapat memberikan perlindungan terhadap pemilik tanah
serta dapat mengatur kepemilikan, peralihan dan peruntukan tanah
secara adil dan menyeluruh diciptakan suatu Hukum Agraria Nasional
atau Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Tepatnya pada tanggal
24 September 1960 disahkan oleh Presiden Republik Indonesia
Soekarno dan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia nomor 104 tahun 1960 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang lebih dikenal
dengan nama resminya Undang-Undang Pokok Agraria, disingkat
UUPA.
Dengan adanya Undang-Undang Pokok Agraria, maka Negara
sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat pada tingkatan tertinggi
menguasai seluruh tanah dengan kewenangan sebagai berikut:
20
Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Malang, Bayumedia,
2007, hal. 1.
16
“(1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah
diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik
Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
(1) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) Pasal ini meliputi:
a. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak
tersebut;
c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat;
(3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat
keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial
ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut
pertimbangan Menteri Agraria;
(4)Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang
bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat (1)
diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu
dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut”
17
yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya
sebagai pemegang hak yang bersangkutan;
2) Menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan
termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data
yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai
bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah
terdaftar;
3) Agar terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Terdapat dua macam sistem publikasi dalam pendaftaran tanah,
yaitu sistem publikasi positif dan sistem publikasi negatif. Sistem
publikasi positif selalu menggunakan sistem pendaftaran hak, maka
mesti ada register atau buku tanah sebagai bentuk penyimpanan dan
penyajian data yuridis dan sertipikat hak sebagai tanda bukti hak.
Pendaftaran atau pencatatan nama seseorang dalam register sebagai
pemegang haklah yang membikin orang menjadi pemegang hak atas
tanah yang bersangkutan, bukan perbuatan hukum pemindahan hak
yang dilakukan (Title by Registration, The Register is Everything).
Orang yang namanya terdaftar sebagai pemegang hak dalam suatu
register, memperolah apa yang disebut dengan indefeasible title (hak
yang tidak dapat diganggu gugat). Dalam sistem ini, dengan beberapa
pengeculian, data yang dimuat dalam register, mempunyai daya
pembuktian yang mutlak. Dalam sistem publikasi negatif, bukan
pendaftaran, tapi sahnya perbuatan hukum yang dilakukan yang
menentukan berpindahnya hak kepada pembeli. Pendaftaran tidak
membikin orang yang memperoleh tanah dari yang tidak berhak,
menjadi pemegang haknya yang baru. Dalam sistem ini berlaku asas
nemo plus iuris in alium transferre potest quam ipse habet artinya
orang tidak dapat menyerahkan atau memindahkan hak melebihi apa
yang dia sendiri punya.21
21
Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia), Jakarta, Prestasi Pustaka
Publisher, 2004, hal.16.
18
Terselenggaranya pendaftaran tanah secara baik merupakan
dasar dan perwujudan tertib administrasi di bidang pertanahan. Untuk
mencapai tertib admistrasi tersebut, setiap bidang tanah dan satuan
rumah susun, termasuk peralihan, pembebanan dan hapusnya wajib
didaftar. Demikian ditentukan dalam Pasal 4 ayat (3) Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.22 .
Kepastian hukum yang ingin dicapai melalui pendaftaran tanah,
meliputi : kepastian hukum mengenai subyek hukum pemegang hak
atas tanah, kepastian hukum mengenai obyek hukum yaitu mengenai
tanahnya itu sendiri dan kepastian hukum mengenai hak yang melekat
atas tanah tersebut yang menjadi alas hubungan hukum antara subyek
hukum dan obyek hukum.
Sistem pendaftaran tanah di Indonesia dapat disebut Quasi
Positif (Positif yang Semu). Dengan ciri-ciri sebagai berikut :
1) Nama yang tercantum dalam buku tanah adalah pemilik tanah yang
benar dan dilindungi oleh hukum. Sertipikat adalah tanda bukti hak
yang kuat, bukan mutlak.
2) Setiap peristiwa balik nama melalui prosedur dan penelitian yang
sekasama dan memenuhi syarat-syarat keterbukaan (openbaar
beginsel).
3) Setiap persil diukur dan digambar dengan peta pendaftaran tanah
dengan skala 1:1000, ukuran mana memungkinkan untuk dapat
dilihat kembali batas persil, apabila dikemudian hari terdapat
sengketa batas.
4) Pemilik tanah yang tercantum dalam buku tanah dan sertipikat
dapat dicabut melalui proses keputusan pengadilan negeri atau
dibatalkan oleh kepala badan pertanahan nasional, apabila terdapat
cacat hukum.
22
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta, Djambatan, 2007 , hal. 474
19
5) Pemerintah tidak menyediakan dana untuk pembataran ganti rugi
pada masyarakat, karena kesalahan administrasi pendaftaran tanah,
melainkan masyarakat sendiri yang merasa dirugikan, melalui
proses peradilan/pengadilan negeri. Untuk memperoleh haknya.
Menurut Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah, PPAT harus menolak untuk membuat akta
apabila:
1) Mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas
satuan rumah susun, kepadanya tidak disampaikan sertipikat asli
hak yang bersangkutan atau sertipikat yang diserahkan tidak sesuai
dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan.
2) Mengenai bidang tanah yang belum terdaftar, kepadanya tidak
disampaikan:
a) surat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) atau
surat keterangan Kepala Desa/Kelurahan yang menyatakan
bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2); dan
b) surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang
bersangkutan belum bersertipikat dari Kantor Pertanahan, atau
untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan
Kantor Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan
dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan
c) salah satu atau para pihak yang akan melakukan perbuatan
hukum yang bersangkutan atau salah satu saksi, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah, tidak berhak atau tidak memenuhi
syarat untuk bertindak demikian; atau
d) salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu
surat kuasa mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan
hukum pemindahan hak; atau
20
e) untuk perbuatan hukum yang akan dilakukan belum diperoleh
izin Pejabat atau instansi yang berwenang, apabila izin tersebut
diperlukan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku; atau
f) obyek perbuatan hukum yang bersangkutan sedang dalam
sengketa mengenai data fisik dan atau data yuridisnya; atau
g) tidak dipenuhi syarat lain atau dilanggar larangan yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan.
b. Akta Notaris
23
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik terhadap Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004), Bandung, PT. Refika Aditama, 2015, hal. 42
21
Wewenang utama yang dimiliki oleh notaris adalah membuat
suatu akta otentik sehingga keotentikannya suatu akta notaris
bersumber dari Pasal 15 Undang-Undang Jabatan Notaris jo Pasal
1868 KUH Perdata. Akta otentik menurut ketentuan Pasal 1868 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yaitu ”Suatu akta
otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh
undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum
yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.” Menurut
R. Soergondo, akta otentik adalah akta yang dibuat dan diresmikan
dalam bentuk hukum, oleh atau dihadapan pejabat umum, yang
berwenang untuk berbuat sedemikian itu, ditempat dimana akta itu
dibuat.24 Akta otentik yang dibuat dihadapan Notaris dibagi menjadi
dua jenis, yaitu Akta yang dibuat oleh Notaris (Relaas) dan Akta yang
dibuat dihadapan Notaris (Partij). Akta-akta yang dibuat oleh Notaris
dapat merupakan suatu akta yang menguraikan secara otentik suatu
tindakan yang dilakukan ataupun suatu keadaan yang dilihat atau
disaksikan oleh Notaris itu sendiri dalam menjalankan jabatannya
sebagai Notaris. Akta yang dibuat memuat uraian dari apa yang dilihat
dan disaksikan serta dialaminya. Sedangkan akta yang dibuat
dihadapan notaris merupakan uraian yang diterangkan oleh pihak lain
kepada Notaris dalam menjalankan jabatannya dan untuk keperluan
mana pihak lain itu sengaja datang di hadapan Notaris dan
memberikan keterangan tersebut atau melakukan perbuatan tersebut
dihadapan notaris, agar keterangan tersebut dikonstatir oleh Notaris
dalam suatu akta otentik.
Terdapat situasi dimana suatu akta notaris dapat dibatalkan.
Pembatalan Akta Notaris meliputi25:
1) Akta Notaris dapat dibatalkan
24
Soegondo, Hukum Pembuktian, Jakarta, PT. Pradnya Paramita, 2003, hal 89
25
Ibid, hal. 67
22
Akta Notaris merupakan perjanjian para pihak yang
mengikat mereka membuatnya, oleh karena itu syarat-syarat
sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi. Pasal 1320 KUHPerdata
yang mengatur tentang syarat sahnya perjanjian, ada syarat
subjektif yaitu syarat yang berkaitan dengan subjek yang
mengadakan atau membuat perjanjian, yang terdiri dari kata
sepakat dan cakap bertindak untuk melakukan suatu perbuatan
hukum. Dengan demikian, jika dalam awal akta, terutama syarat-
syarat para pihak yang menghadap Notaris tidak memenuhi syarat
subjektif, maka atas permintaan orang tertentu akta tersebut dapat
dibatalkan.
2) Akta Notaris Batal Demi Hukum
Dalam akta Notaris, atas permintaan para pihak sendiri atau
penghadap untuk akta-akta yang tertentu, seperti Perjanjian
Kerjasama atau Pengikatan Jual Beli dengan cara angsuran, selalu
dicantumkan syarat batal demi hukum, artinya jika ada syarat
tertentu yang tidak dipenuhi oleh salah satu pihak, maka akta ini
menjadi batal demi hukum dengan segala akibat hukum seperti ini
tidak melanggar syarat obyektif, tetapi atas kesepakatan bersama
para pihak menentukan sendiri syarat batal demi hukumnya.
3) Akta Notaris yang Mempunyai Kekuatan Pembuktian sebagai
Akta di Bawah Tangan
Akta Notaris sebagai alat bukti agar mempunyai kekuatan
pembuktian yang sempurna, jika seluruh ketentuan prosedur atau
tata cara pembuatan akta dipenuhi. Jika ada prosedur yang tidak
dipenuhi, dan prosedur yang tidak dipenuhi tersebut dapat
dibuktikan, maka akta tersebut dengan proses pengadilan dapat
dinyatakan sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian
sebagai akta di bawah tangan.
4) Akta Notaris Dibatalkan oleh Para Pihak Sendiri
23
Akta Notaris merupakan keinginan para pihak yang datang
menghadap Notaris, tanpa adanya keinginan seperti itu, akta
Notaris tidak akan pernah dibuat, kewajiban Notaris
membingkainya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku,
sehingga akta tersebut dikualifikasikan sebagai akta otentik. Dan
isi akta yang bersangkutan merupakan kehendak para pihak, bukan
kehendak atau keinginan Notaris. Jika akta Notaris yang
bersangkutan, dirasakan oleh para pihak tidak mencapai tujuan
yang diinginkannya atau harus diubah sesuai keadaan, maka para
pihak secara bersama-sama dan sepakat datang ke hadapan Notaris
untuk membatalkan isi akta yang bersangkutan.
24
kewenangan untuk membuatakta-akta otentik mengenai perbuatan
hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan
rumah susun.”
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dapat disimpulkan
bahwa PPAT berwenang atau mempunyai atau diberi kewenangan
untuk membuat akta PPAT, bukan mengisi blanko/formulir akta
buatan instansi lain. Bentuk dan jenis akta PPAT sesuai dengan
ketentuan Pasal 96 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah jo. Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 1998 jo. Pasal 2 ayat (2) Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah jo. Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
PPAT hanya mempunyai kewenangan untuk membuat blanko
akta tersebut dan tidak ada kewenangan lain selain akta yang
ditetapkan sebagaimana ketentuan tersebut, misalnya pembatalan akta
PPAT. Ketentuan mengenai pembatalan akta PPAT dimuat dalam
Pasal 45 ayat (1) huruf f Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah (selanjutnya disebut
sebagai PP 24/97), ditegaskan bahwa Kepala Kantor Pertanahan
menolak untuk melakukan pendaftaran peralihan hak atau pembebanan
hak, jika perbuatan hukum sebagaimanadimaksud dalam Pasal 37 ayat
(1) PP 24/97 tentang Pendaftaran Tanah dibatalkan oleh para pihak
sebelum didaftar oleh Kantor Pertanahan. Pasal 37 ayat (1) PP 24/97
tentang Pendaftaran Tanah, menegaskan bahwa Peralihan hak atas
tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual-beli, tukar-
menukar, hibah, pemasukkan dalam perusahaan (inbreng) dan
25
perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak
melalui lelang, hanya dapat didaftarkan, jika dibuktikan dengan akta
yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan
perundangundangan yang berlaku.
c. Wewenang PPAT
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang pada Pasal 2 menyatakan :
(1) PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan
pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah
dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah
atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan
dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang
diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
(2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
sebagai berikut :
a. jual beli;
b. tukar menukar;
c. hibah;
d. pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);
e. pembagian hak bersama;
f. pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak
Milik; g. Pemberian Hak Tanggungan;
h. pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.
26
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat, berkantor dalam daerah
kerjanya dengan memasang papan nama, Membuat, menjilid, dan
memelihara daftar-daftar akta, akta-akta asli, warkah-warkah pendukung,
arsip laporan, dan surat-surat lainnya yang menjadi protokol PPAT, hanya
dapat menandatangani akta peralihan hak atas tanah dan atau bangunan
setelah wajib pajak menyerahkan bukti BPHTB, menyampaikan laporan
bulanan mengenai semua akta yang dibuatnya selambat-lambatnya tanggal
10 (sepuluh) bulan berikutnya kepada: kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota, Kantor pelayanan pajak Bumi dan Bangunan, Kepala
Kantor Pelayanan Pajak, dan Wilayah BPN Provinsi.
27
F. Kerangka Berfikir
Perkara Perdata
Nomor1609K/PDT.G/2016 Di
Pengadilan Negeri Klaten
Keterangan :
Kegiatan Jual Beli Tanah secara sah ditandai dengan akta autentik yang
dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Segala pendaftaran maupun
peralihan hak atas tanah diatur dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Dibuatnya akta jual beli (AJB)
di dalam praktiknya, terkadang suatu AJB pun dapat dipersoalkan
28
keabsahannya walaupun AJB merupakan akta autentik. Untuk menentukan
keraguan atas suatu akta autentik berupa AJB terkadang sebagai Penggugat
akan membuktikan bahwa AJB jual beli tanah tersebut benar-benar telah
mempunyai kekuatan hukum yang kuat sehingga untuk dapat
membuktikannya maka diperlukan kroscek pembuktian di dalam persidangan
dimana majelis hakim lah yang berwenang menentukan ke absahan akta
autentik berupa AJB jual beli tanah tersebut. Salah satu contoh kasusnya
adalah pada Perkara Perdata No.1609K/PDT.G/2016/PN.Kln/PN.Kln Di
Pengadilan Negeri Klaten. Penulis tertarik untuk mengulas kekuatan hukum
Penggugat atas pengajuan bukti surat akta autentik atas jual beli tanah dalam
Putusan Perkara Perdata No.1609K/PDT.G/2016/PN.Kln Di Pengadilan
Negeri Klaten serta apa saja pertimbangan hakim dalam menilai pengajuan
bukti surat akta autentik atas jual beli tanah dalam Putusan Perkara Perdata
No.1609K/PDT.G/2016/PN.Kln Di Pengadilan Negeri Klaten.
G. Metodologi Penelitian
1. Jenis penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif
yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan – bahan hukum
tersebut disusun secara sistematis, dikaji kemudian ditarik suatu
kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti.26
26
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2008, hal. 52.
29
tempat objek penelitian dilakukan.27 Data primer dalam penelitian ini
bertempat di Pengadilan Negeri Klaten khususnya dalam hal
memperoleh data-data Putusan Perkara Perdata
No.1609K/PDT.G/2016/PN.Kln.
b. Data Sekunder
Data sekunder yaitu data yang telah dikumpulkan untuk
maksud selain menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Data
ini dapat ditemukan dengan cepat. Dalam penelitian ini yang
menjadi sumber data sekunder adalah literatur, artikel, jurnal serta
situs di internet yang berkenaan dengan penelitian yang dilakukan.28
Data sekunder terdiri atas:
1) Bahan hukum primer:
Bahan Hukum Primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Bahan hukum tersebut terdiri atas:
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
b) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
c) Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria
d) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah
2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer. Sebagai contoh, buku,
jurnal, hasil-hasil penelitian, dan hasil karya dari kalangan
hukum.
3) Bahan Hukum Tersier
27
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Alfabeta, Bandung, 2009, hal.
137.
28
Ibid, hal. 137
30
Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder, seperti kamus, ensiklopedia, dan internet.
H. Sistematika Skripsi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERFIKIR
A. Tinjauan Pustaka
B. Kerangka Berfikir
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
B. Jenis sumber Data
31
C. Teknik Pengumpulan Data
D. Teknik Analisi Data
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
B. Pembahasan
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
I. Jadwal Penelitian
32
DAFTAR PUSTAKA
Buku
H.R Daeng Naja., Contract Drafting, Edisi Revisi, Cet. 2, Bandung: PT.Citra
Aditya Bakti, 2006.
33
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2008.
33
Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti. 2014.
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Alfabeta,
Bandung, 2009.
Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 2005.
Supriadi, Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Jakarta:
Sinar Grafika, 2008.
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta,
2005.
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan – persetujuan
Tertentu, Sumur, Bandung, 2000.
Jurnal
Dewi Kurnia Putri dan Amin Purnawan, Perbedaan Perjanjian Pengikatan Jual
Beli Lunas dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tidak Lunas,
Jurnal Akta, Vol. 4, No. 4, 2017.
Habib Adjie, Penggerogotan Wewenang Notaris sebagai Pejabat Umum,
Jurnal Renvoi, Vol. II, Nomor 04, 2004.
Peter Mahmud Marzuki, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak, Jurnal Yuridika,
Vol. 18, No. 3, 2003.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Putusan Perkara Perdata No.1609K/PDT.G/2016/PN.Kln Di Pengadilan Negeri
Klaten.
34