Anda di halaman 1dari 40

USULAN PENELITIAN

KEKUATAN HUKUM AKTA AUTENTIK BERUPA AKTA JUAL BELI


TANAH DALAM PUTUSAN PERKARA PERDATA NOMOR
1609K/PDT.G/2016/PN.Kln DI PENGADILAN NEGERI KLATEN

OLEH
AHMAD YANNU DWIKY RAMADHAN
NIM. 1201816090

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SURAKARTA

2022

i
USULAN PENELITIAN

Judul Penelitian : Kekuatan Hukum Akta Autentik Berupa Akta Jual


Beli Tanah Dalam Putusan Perkara Perdata Nomor
1609K/PDT.G/2016/PN.Kln Di Pengadilan Negeri
Klaten
Ruang Lingkup Ilmu : Hukum Perdata
Pelaksana Penelitian :
Nama Peneliti : Ahmad Yannu Dwiky Ramadhan
Pekerjaan : Mahasiswa
Kegunaan Penelitian : Sebagai persyaratan menyelesaikan studi program
S-1, Program Studi Ilmu Hukum
Lokasi Penelitian :
Jangka Waktu Penelitian : 3 (tiga) Bulan
Biaya Penelitian : Rp 1.000.000,-
Pembimbing Penelitian :
Pembimbing Utama : Dr. Dara Pustika Sukma, S.H., M.H.
NIPY : NIPY. 19900525 061024 2 274
Pembimbing Pendamping : Desi Syamsiah, S.H., M.H.
NIPY : NIPY. 19820701 061024 2

Surakarta, 22 November 2022


Peneliti

Ahmad Yannu Dwiky Ramadhan


NIM. 1201816090

ii
PERSETUJUAN

Proposal penelitian ini telah disetujui oleh dosen pembimbing skripsi. Pada,
Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Surakarta.

Hari :

Tanggal :

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Dr. Dara Pustika Sukma, S.H., M.H. Desi Syamsiah, S.H., M.H.
NIPY : 19900525 061024 2 274 NIPY : 19820701 061024 2

iii
DAFTAR ISI

Halaman Judul.................................................................................... i
Halaman Pengajuan............................................................................ ii
Halaman Persetujuan.......................................................................... iii
Daftar Isi............................................................................................. iv

A. Latar Belakang Masalah............................................................... 1


B. Perumusan Masalah...................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian.......................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian........................................................................ 7
E. Tinjauan Pustaka

1. Tinjauan Tentang Perjanjian Jual Beli


a. Pengertian Jual Beli.......................................................... 7
b. Syarat Sah Jual Beli.......................................................... 9
c. Jual Beli Tanah................................................................. 10

2. Tinjauan Tentang Alat Bukti.................................................. 13


3. Tinjauan Tentang Akta Tanah................................................ 14
a. Pengertian Akta................................................................ 16
b. Pendaftaran Tanah............................................................ 16
4. Tinjauan Tentang Notaris
a. Tugas Notaris.................................................................... 21
b. Akta Notaris...................................................................... 21

5. Tinjauan Tentang PPAT


a. Pengertian PPAT.............................................................. 24
b. Wewenang PPAT.............................................................. 25
F. Kerangka Berfikir......................................................................... 28
G. Metodologi Penelitian................................................................... 29
H. Sistematika Skripsi....................................................................... 31
I. Jadwal Penelitian.......................................................................... 32

iv
Daftar Pustaka..................................................................................... 33

iv
A. Latar Belakang Masalah

Negara Republik Indonesia merupakan suatu negara hukum dimana

kekuasaan tunduk pada hukum.1 Sebagai Negara hukum, maka semua

kekuasaan dan roda pemerintahan berada di bawah hukum yang berlaku.

Selain itu, hukum juga mengatur semua masyarakatnya tanpa terkecuali.

Hukum sebagai alat untuk menjaga kepentingan masyarakat. Hukum

mengatur segala hubungan antar individu atau perorangan dan individu

dengan kelompok atau masyarakat maupun individu dengan pemerintah.2

Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban, dan

perlindungan Hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan.3Kepastian,

ketertiban dan perlindungan hukum menuntut antara lain bahwa lalu lintas

hukum dalam kehidupan masyarakat memerlukan adanya alat bukti yang

menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subyek hukum

dalam masyarakat.4Indonesia sebagai Negara hukum memiliki fungsi untuk

melindungi secara konstitusional terhadap Hak Asasi Manusia dengan jaminan

hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang adil. Selain itu, fungsi

Negara hukum juga memberikan kepastian hukum bagi masyarakatnya

sebagai bentuk perlindungan Negara terhadap masyarakatnya. Untuk itu,

adanya perlindungan dan penghormatan kepada Hak Asasi Manusia sangat

penting dalam konsep Negara hukum.

1
Mochtar Kusumaatmadja, B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama
Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum Buku I, Bandung: Alumni, 2000, hal. 43
2
Ibid, hal. 17.
3
Supriadi, Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008,
hal. 29.
4
Ibid, hal. 29

1
Tuntutan terhadap perlindungan hukum dalam kehidupan masyarakat

salah satunya tercermin dalam lalu lintas hukum pembuktian. Salah satu

contohnya adalah dalam melakukan perbuatan hukum perikatan yaitu

perjanjian. Masyarakat dalam melakukan perjanjian merupakan salah satu alat

untuk memperoleh kepastian hukum apabila dikemudian hari terdapat

wanprestasi maka dengan adanya perjanjian dapat menjadi pembuktian.

Perjanjian di atas tercermin dalam proses jual beli. Menurut definisi dalam

Pasal 1457 Kitab Undang-undang Perdata (selanjutnya ditulis KUH Perdata)

adalah: “Jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu

mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak

yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.” Dari pengertian di

atas, dapat dikemukakan lebih lanjut bahwa:5

a. Terdapat 2 (dua) pihak yang saling mengikatkan dirinya, yang masing-

masing mempunyai hak dan kewajiban yang timbul dari perikatan jual

beli tersebut;

b. Pihak yang satu berhak untuk mendapatkan/menerima pembayaran dan

berkewajiban menyerahkan suatu kebendaan, sedangkan pihak lainnya

berhak atas mendapatkan/menerima suatu kebendaan dan berkewajiban

menyerahkan suatu pembayaran;

5
H.R Daeng Naja., Contract Drafting, Edisi Revisi, Cet. 2, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti,
2006, hal. 34.

2
c. Hak bagi pihak yang satu merupakan kewajiban bagi pihak lainnya,

begitu pun sebaliknya, kewajiban bagi pihak yang satu merupakan hak

bagi pihak lainnya;

d. Bila salah satu hak tidak terpenuhi atau kewajiban tidak dipenuhi oleh

salah satu pihak, maka tidak akan terjadi perikatan jual beli.

Jual beli merupakan suatu perjanjian timbal balik, dimana pihak

penjual memiliki kewajiban untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang

dan pihak pembeli berkewajiban untuk memberikan sejumlah uang yang telah

disepakati. Apabila telah berpindah tangan dari penjual kepada pembeli maka

secara yuridis telah sesuai dengan ketentuan Pasal 1459 KUH Perdata yang

berbunyi: “Hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada si

pembeli, selama penyerahan belum dilakukan menurut Pasal 612,613,dan

616.”

Ketiga Pasal di atas, yang terkandung dalam Pasal 1459 KUH Perdata

yaitu Pasal 612, 613, dan 616 mengatur peralihan barang bergerak yang

berwujud maupun tidak berwujud. Namun, berbeda halnya dengan hak milik

yang merupakan benda tidak bergerak sebagaimana dijelaskan di dalam

Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya ditulis UUPA) berbunyi: “Hak milik

adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang

atas tanah, dengan mengingat ketentuan Pasal 6”. Menurut Pasal 39 ayat (1)

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,

dinyatakan bahwa akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah

3
(selanjutnya disebut PPAT) adalah dasar yang kuat untuk pendaftaran

pemindahan hak bagi tanah. Terkait dengan hal tersebut, jika suatu transaksi

belum dapat dibuatkan aktanya oleh PPAT, misalnya karena masih dalam

proses pendaftaran tanah atau terkait pengurusan perpajakan, dapat dibuat

suatu perikatan yang lazim dibuat dengan perjanjian akta jual beli (selanjutnya

disebut AJB).

AJB adalah sebuah perjanjian yang dalam hukum perdata secara

umum terbagi menjadi dua macam bentuknya, yaitu dalam bentuk jual beli

yang diikat dengan perjanjian di bawah tangan, dan akta yang dibuat secara

otentik. Perbedaan keduanya menekankan pada kekuatan pembuktian. Di

dalam KUH Perdata Pasal 1871 dijelaskan bahwa akta dalam hierarki

pembuktian mempunyai kedudukan sebagai alat bukti yang sempurna. Untuk

itu, di dalam peralihannya perlu adanya perikatan antara pihak pertama

dengan pihak kedua yang disebut dengan AJB dan dibuat serta disahkan oleh

Notaris sebagai salah satu pejabat yang berwenang membuat akta otentik.

Notaris merupakan pejabat Negara yang memiliki kewenangan untuk

memberikan perlindungan hukum kepada para pihak. Dalam Pasal 1 angka 7

Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya

ditulis UUJN) menyebutkan bahwa “Akta notaris adalah akta otentik yang

dibuat oleh atau di hadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang

ditetapkan dalam undang-undang ini”.6

6
Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria,
Isi, dan Pelaksanaannya, Jilid I, Jakarta, Djambatan, 2008, hal. 267

4
Kewenangan Notaris disamping diatur dalam Pasal 15 UUJN, juga ada

kewenangan yang ditegaskan dalam peraturan perundang-undangan yang lain

(diluar UU Jabatan Notaris), dalam arti peraturan perundang-undangan yang

bersangkutan menyebutkan dan menegaskan agar perbuatan hukum tertentu

wajib dibuat dengan akta Notaris.7

Salah satu akta otentik yang dibuat oleh Notaris adalah AJB.

Perjanjian itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya sepakat mengenai

barang dan harga. Begitu kedua pihak sudah setuju tentang barang dan

harga, maka lahirlah perjanjian jual beli yang sah.8 Perjanjian jual beli

dibuat untuk melakukan pengikatan sementara sebelum dibuat akta jual beli

oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), secara umum isi dari perjanjian

jual beli ini adalah kesepakatan penjual kepada pembeli dengan disertai

tanda jadi atau uang muka pembayaran tanah tersebut atau bisa juga memuat

perjanjian yang pembayarannya sudah lunas. Pilihan cara pembayaran jual

beli tanah pada hakekatnya menggunakan beberapa macam cara.

Contohnya pembayarannya dengan langsung lunas atau dapat dilakukan

dengan cara dicicil/ secara bertahap.

Berdasarkan penjelasan di atas di dalam praktiknya, terkadang

suatu AJB pun dapat dipersoalkan keabsahannya walaupun AJB

merupakan akta autentik. Hal ini biasa ditemukan dalam kehidupan

sehari-hari dimana proses jual beli tanah melalui AJB masih menjadi

persoalan ditengah-tengah masyarakat sehingga tidak jarang persoalan


7
Habib Adjie, Penggerogotan Wewenang Notaris sebagai Pejabat Umum, Jurnal Renvoi, Vol. II,
Nomor 04, 2004, hal. 32.
8
Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2014, hal. 2.

5
tersebut akan menjadi suatu sengketa keperdataan tersendiri di

pengadilan setempat. Untuk menentukan keraguan atas suatu akta

autentik berupa AJB terkadang sebagai Penggugat akan membuktikan

bahwa AJB jual beli tanah tersebut benar-benar telah mempunyai

kekuatan hukum yang kuat sehingga untuk dapat membuktikannya maka

diperlukan kroscek pembuktian di dalam persidangan dimana majelis

hakim lah yang berwenang menentukan ke absahan akta autentik berupa

AJB jual beli tanah tersebut. Salah satu contoh kasus akta autentik yang

digunakan sebagai bukti di pengadilan adalah perkara Perdata

No.1609K/PDT.G/2016/PN.Kln di Pengadilan Negeri Klaten.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka Penulis tertarik untuk

menuliskan penelitian skripsi dengan judul “Kekuatan Hukum Akta

Autentik Berupa Akta Jual Beli Tanah Dalam Putusan Perkara Perdata

Nomor 1609K/PDT.G/2016/PN.Kln Di Pengadilan Negeri Klaten”

B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana kekuatan alat bukti akta autentik jual beli tanah dalam Putusan
Perkara Perdata No.1609K/PDT.G/2016/PN.Kln Di Pengadilan Negeri
Klaten ?
2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menilai pengajuan bukti surat akta
autentik atas jual beli tanah dalam Putusan Perkara Perdata
No.1609K/PDT.G/2016/PN.Kln Di Pengadilan Negeri Klaten ?

C. Tujuan Penelitian
Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk:

6
1. Untuk mengetahui kekuatan bukti akta autentik jual beli tanah dalam
Putusan Perkara Perdata No.1609K/PDT.G/2016/PN.Kln Di Pengadilan
Negeri Klaten.
2. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menilai pengajuan bukti
surat akta autentik atas jual beli tanah dalam Putusan Perkara Perdata
No.1609K/PDT.G/2016/PN.Kln Di Pengadilan Negeri Klaten.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memberikan 2 (dua) manfaat, yakni manfaat teoritis yang
berkaitan dengan pengembangan ilmu hukum di Indonesia dan manfaat praktis
yang berkaitan dengan pemecahan masalah yang diteliti. Adapun manfaat
tersebut yakni :
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
bagi pengembangan ilmu hukum di bidang hukum perdata;
b. Dijadikan sebagai referensi untuk para akademisi, penulis dan para
kalangan yang ingin melanjutkan kajian hukum pada bidang hukum
perdata;

2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan jawaban atas
permasalahan yang diteliti oleh penulis.
b. Memperluas wawasan dan pandangan tentang kekuatan hukum
pembuktian akta autentik dan dapat melihat mengenai pertimbangan
hakim dalam menilai pengajuan bukti surat akta autentik atas jual beli
tanah dalam Putusan Perkara Perdata No.1609K/PDT.G/2016/PN.Kln.

E. Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan Tentang Perjanjian Jual Beli
a. Pengertian Jual Beli

7
Pasal 1493 Burgelijk Wetbook menjelaskan jual beli adalah

persetujuan di mana penjual mengikatkan dirinya untuk menyerahkan

kepada pembeli suatu barang sebagai pemilik dan menjamin pembeli

mengikat diri untuk membayar harga yang diperjanjikan. Ada tiga hal

yang tercantum dalam definisi ini, yaitu mengikatkan dirinya untuk

menyerahkan barang kepada pembeli dan menjaminnya, serta

membayar harga.9 Adapun definisi jual beli menurut beberapa para

ahli dan menurut doktrin dari para ahli yaitu :

1) R. Subekti dalam bukunya mendefinisikan jual beli adalah


suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak yang
satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas
suatu barang sedang pihak yang lainnya (si pembeli)
berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah
uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.
Perjanjian pengikatan jual beli adalah perjanjian antar pihak
penjual dan pihak pembeli sebelum dilaksanakannya jual
beli dikarenakan adanya unsur-unsur yang harus dipenuhi
untuk jual beli tersebut.10
2) Wirjono Prodjodikoro menyatakan jual beli adalah suatu
persetujuan dimana suatu pihak mengikat diri untuk wajib
menyerahkan suatu barang dan pihak lain wajib membayar
harga, yang di sepakati berdua.11 Dalam jual beli terdapat
pertukaran benda yang satu dengan benda yang lain
menjadi penggantinya. Akibat hukum dari jual beli adalah
terjadinya pemindahan hak milik seseorang dari penjual
kepada pembeli.
3) Sulaiman Rasyid menyatakan jual beli adalah menukar
suatu barang dengan barang lain dengan cara tertentu atau
akad jual beli.12
4) Salim H.S menyatakan jual beli adalah suatu perjanjian
yang dibuat antara pihak penjual dan pihak pembeli.
Didalam perjanjian itu pihak penjual berkewajiban untuk
9
Salim H.S, Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak), Sinar Grafika, Jakarta,
2014, hal. 48
10
Dewi Kurnia Putri dan Amin Purnawan, Perbedaan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Lunas
dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tidak Lunas, Jurnal Akta, Vol. 4, No. 4, 2017, hal. 632.
11
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan – persetujuan Tertentu, Sumur,
Bandung, 2000, hal. 17
12
Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 2005, hal 34

8
menyerahkan obyek jual beli kepada pembeli dan berhak
menerima harga dan pembeli berkewajiban untuk
membayar harga dan berhak menerima obyek tersebut.13

Dari beberapa pengertian jual beli menurut para ahli di atas,


maka menurut penulis definisi dari jual beli adalah adalah suatu
perjanjian timbal balik dalam mana pihak yang satu (penjual) berjanji
untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan pihak
lainnya (pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas
sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.
Dalam perjanjian jual beli menjadi penting asas kebebasan
berkontrak yang merupakan suatu kebutuhan bagi masyarakat mana
saja yang telah menerima budaya industri dan perdagangan, dengan
kata lain apabila suatu masyarakat telah memasuki atau paling tidak
telah bersemntuhan dengan budaya industri dan perdagangan,
eksistensi asas kebebasan berkontrak hendaklah diterima di
masyarakat tersebut.14

b. Syarat Sah Jual Beli


Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320
KUH Perdata, dengan penjelasan sebagai berikut:
1) Sepakat
Syarat sahnya suatu perjanjian yang pertama adalah adanya
suatu kesepakatan antara pihak satu dengan pihak yang lain.
Kesepakatan yang dimaksud adalah persesuaian kehendak antara
para pihak dalam perjanjian. Dalam hal sepakat mengikatkan diri
tidak boleh adanya unsur pemaksaan kehendak dari salah satu
pihak pada pihak lainnya.
Sepakat terjadi karena kedua belah pihak sama-sama setuju
mengenai hal-hal yang pokok dari suatu perjanjian yang
13
Salim H.S, Op. Cit, hal 14
14
Peter Mahmud Marzuki, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak, Jurnal Yuridika, Vol. 18, No. 3,
2003, hal. 203

9
diadakan. Dalam hal ini kedua belah pihak menghendaki sesuatu
yang sama secara timbal balik.
2) Cakap
Cakap merupakan kemampuan untuk melakukan suatu
perbuatan hukum yang dalam hal ini membuat suatu perjanjian.
Perbuatan hukum adalah segala perbuatan yang dapat
menimbulkan akibat hukum. Orang yang cakap untuk melakukan
perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa. Ukuran
kedewasaan adalah berumur 21 tahun sesuai dengan Pasal 330
KUH Perdata. Namun tidak semua orang dewasa dapat
melakukan perbuatan hukum seperti disebutkan dalam Pasal 443
KUH Perdata yang berbunyi :
“Setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan
dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah
pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan
pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah
pengampuan karena keborosan.”

3) Suatu Hal Tertentu


Suatu hal tertentu disebut juga dengan obyek perjanjian.
Obyek perjanjian harus jelas dan ditentukan oleh para pihak yang
dapat berupa barang atau jasa namun juga dapat tidak berbuat
sesuatu.
4) Sebab Yang Halal
Di dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
tidak dijelaskan pengertian sebab yang halal. Menurut Abdul
Kadir Muhammad, sebab yang halal adalah isi perjanjian tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan
dan ketertiban umum.15

c. Jual Beli Tanah

15
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Cetakan 5, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2017, hal. 54

10
Jual beli tanah adalah suatu perbuatan hukum yang berupa
penyerahan tanah hak kepada pihak lain untuk selama-lamanya (hak
atas tanah itu berpindah kepada yang menerima penyerahan), hal ini
tertuang dalam Pasal 20 ayat (2), Pasal 28 ayat (3), dan Pasal 35 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria2 yang menyatakan bahwa hak milik, hak guna
bangunan dapat beralih dan dialihkan. Oleh karena perbuatan hukum
yang dimaksud disini adalah perjanjian memindahkan hak atas tanah,
memberikan suatu hak baru atas tanah, makaharus dibuktikan dengan
suatu akta yang dimana akta ini dibuat oleh dan dihadapan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (yang selanjutnya akan disebut dengan PPAT).
Adapun prosedur jual beli tanah yang harus ditempuh dalam
pelaksanaan jual beli tanah dan bangunan adalah sebagai berikut:
1) Akta Jual Beli (AJB)
Apabila telah tercapai kesepakatan mengenai harga tanah
termasuk didalamnya cara pembayaran dan siapa yang menangung
biaya pembuatan Akta Jual Beli (AJB) antara pihak penjual dan
pembeli, maka para pihak harus datang ke kantor PPAT untuk
membuat akta jual beli tanah.
2) Persyaratan Akta Jual Beli (AJB)
Hal-hal yang diperlukan dalam membuat Akta Jual Beli
tanah di kantor PPAT adalah sebagai berikut: Syarat-syarat yang
harus dibawa penjual antara lain yaitu, asli sertifikat hak atas tanah
yang akan dijual; KTP; Bukti pembayaran Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) sepuluh tahun terakhir; dan Surat persetujuan
suami isteri serta kartu keluarga bagi yang telah berkeluarga.
Adapun syarat-syarat yang harus dibawa oleh Calon Pembeli
adalah KTP dan Kartu Keluarga (KK).
3) Proses pembuatan AJB di Kantor PPAT
Persiapan pembuatan AJB sebelum dilakukan proses jual
beli, antara lain:

11
a) Dilakukan pemeriksaan mengenai keaslian dari sertipikat
termaksud di kantor Pertanahan untuk mengetahui status
sertifikat saat ini seperti keasliannya, apakah sedang dijaminkan
kepada pihak lain atau sedangdalam sengketa kepemilikan, dan
terhadap keterangan sengketa atau tidak, maka harus disertai
surat pernyataan tidak sengketa atas tanah tersebut;
b) Terkait status tanah dalam keadaan sengketa, maka PPAT akan
menolak pembuatan AJB atas tanah tersebut;
c) Calon pembeli dapat membuat pernyataan bahwa dengan
membeli tanah tersebut maka tidak lantas menjadi pemegang
hak atas tanah yang melebihi ketentuan batas luas maksimum;
d) Penjual diharuskan membayar Pajak Penghasilan (Pph)
sedangkan pembeli diharuskan membayar bea perolehan hak
atas tanah dan anggunan (BPHTB).
4) Pembuatan Akta Jual Beli
a) Dalam pembuatan akta harus dihadiri oleh penjual dan calon
pembeli atau orang yang diberi kuasa dengan surat kuasa
tertulis;
b) Dalam pembuatan akta harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya
dua orang saksi;
c) PPAT akan membacakan serta menjelaskan mengenai isi dan
maksud pembuatan akta, dan bila isi akta disetujui maka oleh
penjual dan calonpembeli akta tersebut akan ditandatangani
oleh para pihak, sekaligus saksi dan pejabat pembuat akta tanah
sendiri;
d) Akta dibuat dua lembar asli, satu disimpan oleh di kantor PPAT
dan lembar lainnya akan disampaikan kepada kantor pertanahan
setempat untuk keperluan balik nama atas tanah, sedangkan
salinannya akan diberikan kepada masing-masing
pihak.pembeli akta tersebut akan ditandatangani oleh para
pihak, sekaligus saksi dan pejabat pembuat akta tanah sendiri;

12
5) Setelah Pembuatan Akta Jual Beli
Setelah Akta Jual Beli selesai dibuat, PPAT menyerahkan
berkas tersebut ke kantor pertanahan untuk balik nama sertipikat.
Penyerahan akta harus dilakukan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja sejak ditandatangani, dengan berkas-berkas yang harus
diserahkan antara lain: surat permohonan balik nama yang telah
ditandatangani pembeli, Akta Jual Beli dari PPAT, Sertipikat hak
atas tanah, Kartu tanda penduduk kedua belah pihak, Bukti lunas
pembayaran Pph, serta bukti lunas pembayaran bea perolehan hak
atas tanah dan bangunan.
6) Proses di Kantor Pertanahan
Saat berkas diserahkan kepada kantor pertanahan, maka
kantor pertanahan akan memberikan tanda bukti penerimaan
permohonan balik nama kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah yang
selanjutkan akan diberikan kepada pembeli. Nama penjual dalam
buku tanah dan sertipikat akan docoret dengan tinta hitam dan
diberi paraf oleh kepala kantor pertanahan atau pejabat yang
ditunjuk. Nama pembeli selaku pemegang hak atas tanah yang baru
akan ditulis pada halaman dan kolom yang terdapat pada buku
tanah dan sertipikat dengan dibubuhi tanggal pencatatan serta
tandatangan kepala kantor pertanahan atau pejabat yang ditunjuk.
Dalam waktu 14 (empat belas) hari pembeli berhak mengambil
sertipikat yang sudah dibalik atas nama pembeli di kantor
pertanahan setempat.

2. Tinjauan Tentang Alat Bukti


Berikut adalah pengertian alat bukti dari beberapa ahli:
a. Menurut Hari Sasangka dan Lily Rosita, Alat Bukti adalah segala
sesuatu perbuatan, dimana dengan alatalat bukti tersebut, dapat
dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan

13
keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang
terlah dilakukan terdakwa.16
b. Darwan Prinst memberi definisi alat-alat bukti yang sah adalah
alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana,
dimana alat-alat tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan
pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas
kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh
terdakwa.”17

Dari pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa alat bukti


merupakan segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan,
sehingga dengan alat-alat bukti tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan
pembuktian agar menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran dalam
suatu perkara.
Macam-macam alat bukti yang sah yang tertuang dalam Pasal 184
ayat (1) KUHAP yaitu :
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat
d. petunjuk; dan
e. keterangan terdakwa.
Pada asasnya didalam persoalan perdata, alat bukti yang berbentuk
tulisan itu merupakan alat bukti yang diutamakan atau merupakan alat
bukti yang nomor satu jika dibandingkan dengan alat-alat bukti lainnya.
Yang dimaksud dengan alat pembuktian dengan bentuk tulisan yang
disebut dengan surat menurut Prof. Mr. A. Pilto adalah pembawa tanda
tangan bacaan yang berarti, menerjemahkan suatu isi pikiran.

3. Tinjauan Tentang Akta Tanah


a. Pengertian Akta Autentik
Pengertian akta disebutkan dalam pasal 165 Het Herziene
Indonesisch Regelement (HIR)Staatsblad Tahun 1941 Nomor 84, yaitu
16
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Mandar Maju,
Bandung, 2003, hal.11
17
Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Djambatan, Jakarta, 2011, hal. 135

14
surat yang diperbuat demikian oleh atau dihadapan pengawai yang
berwenang untuk membuatnya menjadi bukti yang cukup bagi kedua
belah pihak dan ahli warisnya maupun berkaitan dengan pihak lainnya
sebagai hubungan hukum, tentang segala hal yang disebut dalam surat
itu sebagai pemberitahuan hubungan langsung dengan perihal pada
akta itu.18
Pengertian Akta Autentik menurut Pasal 1868 KUHPerdata
adalah : ”Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk
yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum
yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat” Jadi syarat
otentisitas suatu akta yaitu dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-
undang, oleh atau dihadapan pejabat umum dan pejabat tersebut harus
berwenang di tempat di mana akta tersebut dibuat. Mengenai jenis dan
bentuk akta, pelaksanaan dan prosedur pembuatannya, diatur oleh
Peraturan Menteri Negara Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 3 Tahun 1997 mengenai Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, pada
Pasal 95 sampai dengan Pasal 102.
Akta PPAT merupakan salah satu sumber data bagi
pemeliharaan data pendaftaran tanah, maka wajib dibuat sedemikian
rupa sehingga dapat dijadikan dasar yang kuat untuk pendaftaran
pemindahan dan pembebanan hak yang bersangkutan. Oleh karena itu
PPAT bertanggung jawab untuk memeriksa syarat-syarat untuk sahnya
perbuatan hukum yang bersangkutan. Antara lain mencocokkan data
yang terdapat dalam sertipikat dengan daftar-daftar yang ada di Kantor
Pertanahan.19
Tata cara dan formalitas pembuatan akta otentik adalah
merupakan ketentuan hukum yang memaksa, artinya tata cara dan
prosedur pembuatan itu harus diikuti dengan setepat-tepatnya tanpa
18
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, 2005, hal. 62
19
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta, Djambatan, 2007, hal. 507.

15
boleh disimpangi sedikitpun. Penyimpangan dari tatacara dan prosedur
pembuatan akta otentik akan membawa akibat hukum kepada kekuatan
pembuktian akta itu. Penjelasan Pasal 45 PP 24/97 ditegaskan pula
bahwa Akta PPAT merupakan alat untuk membuktikan telah
dilakukannya suatu perbuatan hukum.

b. Pendaftaran Tanah
Tanah mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia
karena tanah mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan
sebagai capital asset. Sebagai social asset, tanah merupakan sarana
pengikat kesatuan sosial dikalangan masyarakat Indonesia. Sebagai
capital asset, tanah telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat
penting, tidak saja sebagai bahan perniagaan tapi juga sebagai obyek
spekulasi. Disatu sisi tanah harus dipergunakan dan dimanfaatkan
sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dan di
sisi lain harus dijaga kelestariannya.20
Untuk dapat memberikan perlindungan terhadap pemilik tanah
serta dapat mengatur kepemilikan, peralihan dan peruntukan tanah
secara adil dan menyeluruh diciptakan suatu Hukum Agraria Nasional
atau Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Tepatnya pada tanggal
24 September 1960 disahkan oleh Presiden Republik Indonesia
Soekarno dan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia nomor 104 tahun 1960 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang lebih dikenal
dengan nama resminya Undang-Undang Pokok Agraria, disingkat
UUPA.
Dengan adanya Undang-Undang Pokok Agraria, maka Negara
sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat pada tingkatan tertinggi
menguasai seluruh tanah dengan kewenangan sebagai berikut:

20
Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Malang, Bayumedia,
2007, hal. 1.

16
“(1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah
diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik
Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
(1) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) Pasal ini meliputi:
a. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak
tersebut;
c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat;
(3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat
keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial
ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut
pertimbangan Menteri Agraria;
(4)Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang
bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat (1)
diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu
dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut”

Untuk melaksanakan amanat Pasal 19 ayat UUPA tentang


Pendaftaran Tanah tersebut pemerintah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pada
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah tersebut, yang dimaksud dengan pendaftaran tanah adalah
rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus
menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan,
pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik
dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-
bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian
surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada
haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu
yang membebaninya.
Tujuan pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, sebagaimana
termuat dalam Pasal 3 adalah :
1) Memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang
hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain

17
yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya
sebagai pemegang hak yang bersangkutan;
2) Menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan
termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data
yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai
bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah
terdaftar;
3) Agar terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Terdapat dua macam sistem publikasi dalam pendaftaran tanah,
yaitu sistem publikasi positif dan sistem publikasi negatif. Sistem
publikasi positif selalu menggunakan sistem pendaftaran hak, maka
mesti ada register atau buku tanah sebagai bentuk penyimpanan dan
penyajian data yuridis dan sertipikat hak sebagai tanda bukti hak.
Pendaftaran atau pencatatan nama seseorang dalam register sebagai
pemegang haklah yang membikin orang menjadi pemegang hak atas
tanah yang bersangkutan, bukan perbuatan hukum pemindahan hak
yang dilakukan (Title by Registration, The Register is Everything).
Orang yang namanya terdaftar sebagai pemegang hak dalam suatu
register, memperolah apa yang disebut dengan indefeasible title (hak
yang tidak dapat diganggu gugat). Dalam sistem ini, dengan beberapa
pengeculian, data yang dimuat dalam register, mempunyai daya
pembuktian yang mutlak. Dalam sistem publikasi negatif, bukan
pendaftaran, tapi sahnya perbuatan hukum yang dilakukan yang
menentukan berpindahnya hak kepada pembeli. Pendaftaran tidak
membikin orang yang memperoleh tanah dari yang tidak berhak,
menjadi pemegang haknya yang baru. Dalam sistem ini berlaku asas
nemo plus iuris in alium transferre potest quam ipse habet artinya
orang tidak dapat menyerahkan atau memindahkan hak melebihi apa
yang dia sendiri punya.21

21
Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia), Jakarta, Prestasi Pustaka
Publisher, 2004, hal.16.

18
Terselenggaranya pendaftaran tanah secara baik merupakan
dasar dan perwujudan tertib administrasi di bidang pertanahan. Untuk
mencapai tertib admistrasi tersebut, setiap bidang tanah dan satuan
rumah susun, termasuk peralihan, pembebanan dan hapusnya wajib
didaftar. Demikian ditentukan dalam Pasal 4 ayat (3) Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.22 .
Kepastian hukum yang ingin dicapai melalui pendaftaran tanah,
meliputi : kepastian hukum mengenai subyek hukum pemegang hak
atas tanah, kepastian hukum mengenai obyek hukum yaitu mengenai
tanahnya itu sendiri dan kepastian hukum mengenai hak yang melekat
atas tanah tersebut yang menjadi alas hubungan hukum antara subyek
hukum dan obyek hukum.
Sistem pendaftaran tanah di Indonesia dapat disebut Quasi
Positif (Positif yang Semu). Dengan ciri-ciri sebagai berikut :
1) Nama yang tercantum dalam buku tanah adalah pemilik tanah yang
benar dan dilindungi oleh hukum. Sertipikat adalah tanda bukti hak
yang kuat, bukan mutlak.
2) Setiap peristiwa balik nama melalui prosedur dan penelitian yang
sekasama dan memenuhi syarat-syarat keterbukaan (openbaar
beginsel).
3) Setiap persil diukur dan digambar dengan peta pendaftaran tanah
dengan skala 1:1000, ukuran mana memungkinkan untuk dapat
dilihat kembali batas persil, apabila dikemudian hari terdapat
sengketa batas.
4) Pemilik tanah yang tercantum dalam buku tanah dan sertipikat
dapat dicabut melalui proses keputusan pengadilan negeri atau
dibatalkan oleh kepala badan pertanahan nasional, apabila terdapat
cacat hukum.

22
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta, Djambatan, 2007 , hal. 474

19
5) Pemerintah tidak menyediakan dana untuk pembataran ganti rugi
pada masyarakat, karena kesalahan administrasi pendaftaran tanah,
melainkan masyarakat sendiri yang merasa dirugikan, melalui
proses peradilan/pengadilan negeri. Untuk memperoleh haknya.
Menurut Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah, PPAT harus menolak untuk membuat akta
apabila:
1) Mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas
satuan rumah susun, kepadanya tidak disampaikan sertipikat asli
hak yang bersangkutan atau sertipikat yang diserahkan tidak sesuai
dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan.
2) Mengenai bidang tanah yang belum terdaftar, kepadanya tidak
disampaikan:
a) surat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) atau
surat keterangan Kepala Desa/Kelurahan yang menyatakan
bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2); dan
b) surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang
bersangkutan belum bersertipikat dari Kantor Pertanahan, atau
untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan
Kantor Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan
dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan
c) salah satu atau para pihak yang akan melakukan perbuatan
hukum yang bersangkutan atau salah satu saksi, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah, tidak berhak atau tidak memenuhi
syarat untuk bertindak demikian; atau
d) salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu
surat kuasa mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan
hukum pemindahan hak; atau

20
e) untuk perbuatan hukum yang akan dilakukan belum diperoleh
izin Pejabat atau instansi yang berwenang, apabila izin tersebut
diperlukan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku; atau
f) obyek perbuatan hukum yang bersangkutan sedang dalam
sengketa mengenai data fisik dan atau data yuridisnya; atau
g) tidak dipenuhi syarat lain atau dilanggar larangan yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan.

4. Tinjauan Tentang Notaris


a. Tugas Notaris
Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Jabatan Notaris, bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang
untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya yang
telah diatur dalam undang-undang. Notaris menjalankan sebagian
kekuasaan negara dalam bidang hukum perdata untuk melayani
kepentingan rakyat yang memerlukan bukti atau dokumen hukum
berbentuk akta otentik yang diakui oleh negara sebagai bukti yang
sempurna. Otensitas akta Notaris bukan pada kertasnya, akan tetapi
akta yang dimaksud dibuat di hadapan Notaris sebagai Pejabat Umum
dengan segala kewenangannya atau dengan perkataan lain akta yang
dibuat Notaris mempunyai sifat otentik, bukan karena Undang-
Undang menetapkan sedemikian, akan tetapi oleh karena akta itu
dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum, seperti yang dimaksud
dalam Pasal 1868 KUHPerdata.23

b. Akta Notaris

23
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik terhadap Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004), Bandung, PT. Refika Aditama, 2015, hal. 42

21
Wewenang utama yang dimiliki oleh notaris adalah membuat
suatu akta otentik sehingga keotentikannya suatu akta notaris
bersumber dari Pasal 15 Undang-Undang Jabatan Notaris jo Pasal
1868 KUH Perdata. Akta otentik menurut ketentuan Pasal 1868 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yaitu ”Suatu akta
otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh
undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum
yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.” Menurut
R. Soergondo, akta otentik adalah akta yang dibuat dan diresmikan
dalam bentuk hukum, oleh atau dihadapan pejabat umum, yang
berwenang untuk berbuat sedemikian itu, ditempat dimana akta itu
dibuat.24 Akta otentik yang dibuat dihadapan Notaris dibagi menjadi
dua jenis, yaitu Akta yang dibuat oleh Notaris (Relaas) dan Akta yang
dibuat dihadapan Notaris (Partij). Akta-akta yang dibuat oleh Notaris
dapat merupakan suatu akta yang menguraikan secara otentik suatu
tindakan yang dilakukan ataupun suatu keadaan yang dilihat atau
disaksikan oleh Notaris itu sendiri dalam menjalankan jabatannya
sebagai Notaris. Akta yang dibuat memuat uraian dari apa yang dilihat
dan disaksikan serta dialaminya. Sedangkan akta yang dibuat
dihadapan notaris merupakan uraian yang diterangkan oleh pihak lain
kepada Notaris dalam menjalankan jabatannya dan untuk keperluan
mana pihak lain itu sengaja datang di hadapan Notaris dan
memberikan keterangan tersebut atau melakukan perbuatan tersebut
dihadapan notaris, agar keterangan tersebut dikonstatir oleh Notaris
dalam suatu akta otentik.
Terdapat situasi dimana suatu akta notaris dapat dibatalkan.
Pembatalan Akta Notaris meliputi25:
1) Akta Notaris dapat dibatalkan

24
Soegondo, Hukum Pembuktian, Jakarta, PT. Pradnya Paramita, 2003, hal 89
25
Ibid, hal. 67

22
Akta Notaris merupakan perjanjian para pihak yang
mengikat mereka membuatnya, oleh karena itu syarat-syarat
sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi. Pasal 1320 KUHPerdata
yang mengatur tentang syarat sahnya perjanjian, ada syarat
subjektif yaitu syarat yang berkaitan dengan subjek yang
mengadakan atau membuat perjanjian, yang terdiri dari kata
sepakat dan cakap bertindak untuk melakukan suatu perbuatan
hukum. Dengan demikian, jika dalam awal akta, terutama syarat-
syarat para pihak yang menghadap Notaris tidak memenuhi syarat
subjektif, maka atas permintaan orang tertentu akta tersebut dapat
dibatalkan.
2) Akta Notaris Batal Demi Hukum
Dalam akta Notaris, atas permintaan para pihak sendiri atau
penghadap untuk akta-akta yang tertentu, seperti Perjanjian
Kerjasama atau Pengikatan Jual Beli dengan cara angsuran, selalu
dicantumkan syarat batal demi hukum, artinya jika ada syarat
tertentu yang tidak dipenuhi oleh salah satu pihak, maka akta ini
menjadi batal demi hukum dengan segala akibat hukum seperti ini
tidak melanggar syarat obyektif, tetapi atas kesepakatan bersama
para pihak menentukan sendiri syarat batal demi hukumnya.
3) Akta Notaris yang Mempunyai Kekuatan Pembuktian sebagai
Akta di Bawah Tangan
Akta Notaris sebagai alat bukti agar mempunyai kekuatan
pembuktian yang sempurna, jika seluruh ketentuan prosedur atau
tata cara pembuatan akta dipenuhi. Jika ada prosedur yang tidak
dipenuhi, dan prosedur yang tidak dipenuhi tersebut dapat
dibuktikan, maka akta tersebut dengan proses pengadilan dapat
dinyatakan sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian
sebagai akta di bawah tangan.
4) Akta Notaris Dibatalkan oleh Para Pihak Sendiri

23
Akta Notaris merupakan keinginan para pihak yang datang
menghadap Notaris, tanpa adanya keinginan seperti itu, akta
Notaris tidak akan pernah dibuat, kewajiban Notaris
membingkainya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku,
sehingga akta tersebut dikualifikasikan sebagai akta otentik. Dan
isi akta yang bersangkutan merupakan kehendak para pihak, bukan
kehendak atau keinginan Notaris. Jika akta Notaris yang
bersangkutan, dirasakan oleh para pihak tidak mencapai tujuan
yang diinginkannya atau harus diubah sesuai keadaan, maka para
pihak secara bersama-sama dan sepakat datang ke hadapan Notaris
untuk membatalkan isi akta yang bersangkutan.

5. Tinjauan Tentang PPAT


b. Pengertian PPAT
PPAT dikualifikasikan sebagai Pejabat Umum dan diberi
kewenangan untuk membuat akta-akta tertentu dibidang peralihan dan
pembebanan hak atas tanah, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas
Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan Tanah bahwa:
“Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang selanjutnya disebut PPAT adalah
Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat
aktapemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan
akta pemberian kuasa membebankan hak tanggungan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Pasal 1 angka 24
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah bahwa: “Pejabat Pembuat Akta Tanah, sebagaimana disebut
PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat
akta-akta tanah tertentu.” 3) Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 2016 sebagai Perubahan Peraturan Pemerintah
Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat
Akta Tanah bahwa:“PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi

24
kewenangan untuk membuatakta-akta otentik mengenai perbuatan
hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan
rumah susun.”
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dapat disimpulkan
bahwa PPAT berwenang atau mempunyai atau diberi kewenangan
untuk membuat akta PPAT, bukan mengisi blanko/formulir akta
buatan instansi lain. Bentuk dan jenis akta PPAT sesuai dengan
ketentuan Pasal 96 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah jo. Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 1998 jo. Pasal 2 ayat (2) Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah jo. Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
PPAT hanya mempunyai kewenangan untuk membuat blanko
akta tersebut dan tidak ada kewenangan lain selain akta yang
ditetapkan sebagaimana ketentuan tersebut, misalnya pembatalan akta
PPAT. Ketentuan mengenai pembatalan akta PPAT dimuat dalam
Pasal 45 ayat (1) huruf f Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah (selanjutnya disebut
sebagai PP 24/97), ditegaskan bahwa Kepala Kantor Pertanahan
menolak untuk melakukan pendaftaran peralihan hak atau pembebanan
hak, jika perbuatan hukum sebagaimanadimaksud dalam Pasal 37 ayat
(1) PP 24/97 tentang Pendaftaran Tanah dibatalkan oleh para pihak
sebelum didaftar oleh Kantor Pertanahan. Pasal 37 ayat (1) PP 24/97
tentang Pendaftaran Tanah, menegaskan bahwa Peralihan hak atas
tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual-beli, tukar-
menukar, hibah, pemasukkan dalam perusahaan (inbreng) dan

25
perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak
melalui lelang, hanya dapat didaftarkan, jika dibuktikan dengan akta
yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan
perundangundangan yang berlaku.

c. Wewenang PPAT
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang pada Pasal 2 menyatakan :
(1) PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan
pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah
dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah
atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan
dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang
diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
(2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
sebagai berikut :
a. jual beli;
b. tukar menukar;
c. hibah;
d. pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);
e. pembagian hak bersama;
f. pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak
Milik; g. Pemberian Hak Tanggungan;
h. pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.

PPAT adalah satu-satunya pejabat yang berwenang untuk membuat


akta-akta peralihan hak atas tanah, pemberian hak baru atas tanah dan
pengikatan tanah sebagai jaminan utang (recording of deeds of
conveyance), sedangkan Badan Pertanahan Nasional merupakan pejabat
satu-satunya yang secara khusus melakukan pendaftaran tanah dan
menerbitkan surat bukti haknya (recording of title and continuous
recording).
Dalam pelaksanaan tugasnya, PPAT mempunyai hak dan
kewajiban, yakni pertama Hak PPAT adalah menerima uang jasa
(honorarium) Termasuk uang jasa (honorarium) saksi tidak melebihi 1%
(satu persen) dari harga transaksi dan memperoleh cuti. Sedangkan
kewajiban PPAT adalah mengangkat sumpah jabatan di hadapan Kepala

26
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat, berkantor dalam daerah
kerjanya dengan memasang papan nama, Membuat, menjilid, dan
memelihara daftar-daftar akta, akta-akta asli, warkah-warkah pendukung,
arsip laporan, dan surat-surat lainnya yang menjadi protokol PPAT, hanya
dapat menandatangani akta peralihan hak atas tanah dan atau bangunan
setelah wajib pajak menyerahkan bukti BPHTB, menyampaikan laporan
bulanan mengenai semua akta yang dibuatnya selambat-lambatnya tanggal
10 (sepuluh) bulan berikutnya kepada: kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota, Kantor pelayanan pajak Bumi dan Bangunan, Kepala
Kantor Pelayanan Pajak, dan Wilayah BPN Provinsi.

27
F. Kerangka Berfikir

Jual Beli Tanah

Akta Autentik Jual Beli Tanah

Kekuatan Alat Bukti

Perkara Perdata
Nomor1609K/PDT.G/2016 Di
Pengadilan Negeri Klaten

Kekuatan Bukti Akta Pertimbangan Hakim Dalam


Autentik Jual Beli Tanah Menilai Pengajuan Bukti
Dalam Putusan Perkara Surat Akta Autentik Atas Jual
Perdata Beli Tanah Dalam Putusan
No.1609K/PDT.G/2016/PN. Perkara Perdata
Kln Di Pengadilan Negeri No.1609K/PDT.G/2016/PN.
Klaten Kln Di Pengadilan Negeri
Klaten

Keterangan :
Kegiatan Jual Beli Tanah secara sah ditandai dengan akta autentik yang
dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Segala pendaftaran maupun
peralihan hak atas tanah diatur dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Dibuatnya akta jual beli (AJB)
di dalam praktiknya, terkadang suatu AJB pun dapat dipersoalkan

28
keabsahannya walaupun AJB merupakan akta autentik. Untuk menentukan
keraguan atas suatu akta autentik berupa AJB terkadang sebagai Penggugat
akan membuktikan bahwa AJB jual beli tanah tersebut benar-benar telah
mempunyai kekuatan hukum yang kuat sehingga untuk dapat
membuktikannya maka diperlukan kroscek pembuktian di dalam persidangan
dimana majelis hakim lah yang berwenang menentukan ke absahan akta
autentik berupa AJB jual beli tanah tersebut. Salah satu contoh kasusnya
adalah pada Perkara Perdata No.1609K/PDT.G/2016/PN.Kln/PN.Kln Di
Pengadilan Negeri Klaten. Penulis tertarik untuk mengulas kekuatan hukum
Penggugat atas pengajuan bukti surat akta autentik atas jual beli tanah dalam
Putusan Perkara Perdata No.1609K/PDT.G/2016/PN.Kln Di Pengadilan
Negeri Klaten serta apa saja pertimbangan hakim dalam menilai pengajuan
bukti surat akta autentik atas jual beli tanah dalam Putusan Perkara Perdata
No.1609K/PDT.G/2016/PN.Kln Di Pengadilan Negeri Klaten.

G. Metodologi Penelitian
1. Jenis penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif
yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan – bahan hukum
tersebut disusun secara sistematis, dikaji kemudian ditarik suatu
kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti.26

2. Jenis Sumber Data


a. Data Primer
Data primer yaitu data yang dibuat oleh peneliti untuk maksud
khusus menyelesaikan permasalahan yang sedang ditanganinya. Data
dikumpulkan sendiri oleh peneliti langsung dari sumber pertama atau

26
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2008, hal. 52.

29
tempat objek penelitian dilakukan.27 Data primer dalam penelitian ini
bertempat di Pengadilan Negeri Klaten khususnya dalam hal
memperoleh data-data Putusan Perkara Perdata
No.1609K/PDT.G/2016/PN.Kln.
b. Data Sekunder
Data sekunder yaitu data yang telah dikumpulkan untuk
maksud selain menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Data
ini dapat ditemukan dengan cepat. Dalam penelitian ini yang
menjadi sumber data sekunder adalah literatur, artikel, jurnal serta
situs di internet yang berkenaan dengan penelitian yang dilakukan.28
Data sekunder terdiri atas:
1) Bahan hukum primer:
Bahan Hukum Primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Bahan hukum tersebut terdiri atas:
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
b) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
c) Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria
d) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah
2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer. Sebagai contoh, buku,
jurnal, hasil-hasil penelitian, dan hasil karya dari kalangan
hukum.
3) Bahan Hukum Tersier

27
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Alfabeta, Bandung, 2009, hal.
137.
28
Ibid, hal. 137

30
Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder, seperti kamus, ensiklopedia, dan internet.

3. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan,
yaitu mengumpulkan berbagai literatur yang sesuai dengan pembahasan
skrispi. Pengumpulan data juga diambil dari studi kasus yang telah
diputuskan secara incracht oleh pengadilan dalam Putusan Perkara
Perdata No.1609K/PDT.G/2016/PN.Kln Di Pengadilan Negeri Klaten.

4. Teknik Analisis Data


Analisis data yang digunakan adalah metode analisis kualitatif
yaitu mengalisi data berdasarkan tingkat keterkaitannya dengan masalah
yang sedang di teliti bukan berdasarkan banyaknnya data kuantitatif.
Selanjutnya dengan memberikan argumentasi demi menjawab
permasalahan yang ada pada penelitian ini serta menemukan dan
memahami mengenai kebenaran tentang permasalahan tersebut.

H. Sistematika Skripsi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERFIKIR
A. Tinjauan Pustaka
B. Kerangka Berfikir
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
B. Jenis sumber Data

31
C. Teknik Pengumpulan Data
D. Teknik Analisi Data
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
B. Pembahasan
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN

I. Jadwal Penelitian

Bulan Tahun 2022


No. Kegiatan
September Oktober November Desember
1 Pengajuan Judul
2 Pengajuan Usulan
Penelitian
3 Seminar Usulan
Penelitian
4 Penyusunan
Skripsi
5 Penggandaan
6 Persiapan Ujian

32
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Cetakan 5, Citra Aditya


Bakti, Bandung, 2017.
Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum,
Malang, Bayumedia, 2007.
Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia), Jakarta,
Prestasi Pustaka Publisher, 2004.
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta, Djambatan,
2007.
Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, sejarah Pembentukan Undang-
undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya, Jilid I, Jakarta,
Djambatan, 2008.
Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Djambatan, Jakarta,
2011.
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana,
Mandar Maju, Bandung, 2003.

H.R Daeng Naja., Contract Drafting, Edisi Revisi, Cet. 2, Bandung: PT.Citra
Aditya Bakti, 2006.

Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik terhadap Undang-


Undang Nomor 30 Tahun 2004), Bandung, PT. Refika Aditama, 2015.
Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum Suatu
Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum Buku
I, Bandung: Alumni, 2000.
Salim H.S, Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak), Sinar
Grafika, Jakarta, 2014.
Soegondo, Hukum Pembuktian, Jakarta, PT. Pradnya Paramita, 2003.

33
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2008.

33
Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti. 2014.
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Alfabeta,
Bandung, 2009.
Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 2005.
Supriadi, Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Jakarta:
Sinar Grafika, 2008.
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta,
2005.
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan – persetujuan
Tertentu, Sumur, Bandung, 2000.

Jurnal
Dewi Kurnia Putri dan Amin Purnawan, Perbedaan Perjanjian Pengikatan Jual
Beli Lunas dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tidak Lunas,
Jurnal Akta, Vol. 4, No. 4, 2017.
Habib Adjie, Penggerogotan Wewenang Notaris sebagai Pejabat Umum,
Jurnal Renvoi, Vol. II, Nomor 04, 2004.
Peter Mahmud Marzuki, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak, Jurnal Yuridika,
Vol. 18, No. 3, 2003.

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Putusan Perkara Perdata No.1609K/PDT.G/2016/PN.Kln Di Pengadilan Negeri
Klaten.

34

Anda mungkin juga menyukai