Anda di halaman 1dari 23

PROPOSAL TESIS

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NOTARIS DALAM PEMBATALAN AKTA

PERJANJIAN WARALABA

(Studi Kasus No. 83/Pdt.G/2018/PN Tjk)

Oleh:

IZZI ZYA HARIYADI


NIM. 031814253049

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2021
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Burgerlijk Wetboek. Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok


Agraria. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104.
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang


Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3. Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5491.

Peraturan Pemerintah RI Nomor 42 Tahun 2007 tentang waralaba

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan


Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016
Nomor 120. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5893.

Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 2 Tahun 2003


tentang Norma dan Standar Mekanisme Ketatalaksanaan Kewenangan
Pemerintah di Bidang Pertanahan yang Dilaksanakan oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota.
DAFTAR ISI
1. Latar Belakang.........................................................................................................2

2. Rumusan Masalah ...................................................................................................8

3. Tujuan Penelitian.....................................................................................................8

4. Manfaat Penelitian...................................................................................................9

4.1 Manfaat Teoritis.................................................................................................9

4.2 Manfaat Praktis..................................................................................................9

5. Tinjauan Pustaka......................................................................................................9

5.1 Pembatalan Akta ...............................................................................................9

5.2 Akta Otentik.......................................................................................................10

5.3 Perjanjian Ganti Rugi Garapan .........................................................................1

5.4 PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah)………………………………………... 19

6. Metode Penelitian....................................................................................................15

6.1 Tipe Penelitian Hukum......................................................................................15

6.2 Pendekatan Masalah..........................................................................................16

6.3 Sumber Bahan Hukum.......................................................................................17

6.4 Teknik Pengolahan Bahan Hukum....................................................................18

6.5 Analisis Bahan Hukum......................................................................................19

6.6 Pertanggungjawaban Sistematika.....................................................................19

Daftar Bacaan..................................................................................................................24
2

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Perdagangan di Indonesia saat ini banyak didominasi oleh perdagangan

barang dan jasa yang merupakan kerjasama antara pengusaha Indonesia dan

pengusaha asing, atau antara pengusaha Indonesia dan pengusaha Indonesia.

Salah satu kerjasama barang dan jasa tersebut adalah franchise (waralaba). Pada

awalnya waralaba merupakan konsep bisnis mengenai pemberian penggunaan

hak atas kekayaan intelektual dan sistem kegiatan operasional oleh pemberi

waralaba (franchisor) kepada penerima waralaba (franchisee), yang kemudian

menjadi lembaga hukum yang mengatur mengenai suatu hubungan hukum antara

pemberi waralaba dan penerima waralaba yang diatur dalam sebuah perjanjian

waralaba. Franchise (waralaba) merupakan sebuah model bisnis yang telah terbukti

berhasil dan banyak pengusaha menggunakan model bisnis tersebut saat ini.

Jenis akta yang dibuat oleh Notaris adalah Akta otentik berdasarkan

pasal 15 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2014 tentang

perubahan atas Undang-Undang nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan

Notaris dan selanjutnya disebut Undang-Undang Jabatan Notaris yang

disingkat UUJN berbunyi :

“(1) Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua


perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan
untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal
pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan
kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga
ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang
ditetapkan oleh Undang-Undang.
3

(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),


Notaris berwenang pula: a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan
kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku
khusus; b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam
buku khusus; c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa
salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam
surat yang bersangkutan; d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi
dengan surat aslinya; e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan
dengan pembuatan Akta; f. membuat Akta yang berkaitan dengan
pertanahan; atau membuat Akta risalah lelang.
(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.

Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh yang mempunyai

peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat.

Begitu pentingnya fungsi dari akta Notaris tersebut, oleh karena itu untuk

menghindari tidak sahnya dari suatu akta, maka lembaga Notaris diatur didalam

Peraturan Jabatan Notaris untuk selanjutnya ditulis (PJN), yang sekarang telah

diganti oleh UUJN. Notaris sebagai salah satu pejabat yang mempunyai peranan

penting dalam menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum

melalui akta otentik tersebut yang dibuat dihadapannya, maka otentik merupakan

alat bukti yang kuat dan apabila terjadi sengketa di Pengadilan kecuali dapat

dibuktikan ketidakbenarannya, sehingga akta Notaris memberikan suatu

pembuktian yang sempurna seperti disebutkan didalam pasal 1870 BW kepada

para pihak yang membuatnya. Apabila terjadi suatu sengketa terhadap akta

tersebut bias dibatalkan atau batal demi hukum.

Dimana pada umumnya suatu perjanjian dapat dibuat secara bebas, bebas

untuk mengadakan perjanjian dengan siapapun, bebas untuk menentukan bentuk

perjanjian maupun syarat-syarat, dan bebas untuk menentukan bentuk perjanjian

itu sendiri, yaitu tertulis dan tidak tertulis. Pasal 1338 ayat (1) BW menyatakan

bahwa, semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang

bagi mereka yang membuatnya.


4

Pasal 1338 BW ini mengandung asas kebebasan berkontrak, maksudnya

adalah asas yang menduduki posisi sentral didalam hukum kontrak, meskipun asas

ini tidak dituangkan menjadi aturan hukum namun mempunyai pengaruh yang

sangat kuat dalam hubungan kontraktual para pihak.1 Dari asas ini dapat

disimpulkan bahwa masyarakat diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa

dan berisi apa saja dan perjanjian itu mengikat mereka yang membuatnya seperti

suatu undang-undang.

Pembatalan akta Notaris melalui putusan pengadilan, bukan hanya karena

akibat dari kesalahan atau kelalaian Notaris saja di dalam membuat akta. Tetapi

pembatalan akta Notaris juga dapat disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian para

pihak yang saling mengikatkan diri dalam akta tersebut, sehingga dengan adanya

kesalahan atau kelalaian menyebabkan adanya gugatan dari salah satu pihak. Di

dalam proses perdata, tidak jarang seorang Notaris berada pada kedudukan

sebagai turut tergugat yang diberikan sebagai upaya yang dipaksakan, karena di

dalam akta notariil khususnya Partij Acte yang kemudian menjadi alat bukti untuk

perkara perdata.

Notaris tidak terlibat bahkan dilarang oleh Undang-Undang terlibat dalam

suatu perbuatan hukum sebagaimana yang diterangkan dalam akta notariil yang

diresmikannya. Keterlibatan Notaris hanya sebatas merumuskan perbuatan hukum

para pihak ke dalam aktanya selanjutnya meresmikan akta tersebut.

Dipaksakannya mendudukkan Notaris sebagai turut tergugat adalah sebagai upaya

untuk memaksa Notaris membuatkan keterangan seputar aktanya yang sekarang

menjadi alat bukti dalam proses peradilan.2

1
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam kontrak komersial, Kencana
Prenadamedia Group, Jakarta, 2014, h. 108.
2
Djoko Sukisno, Pengambilan Fotocopy Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris (Mimbar Hukum
vol.20 nomor 1), 2008, h. 52.
5

Dalam suatu gugatan yang menyatakan bahwa akta Notaris tidak sah,

maka harus dibuktikan ketidakabsahannya baik dari aspek lahiriah, formal, dan

materiil. Jika tidak dapat membuktikannya, maka akta yang bersangkutan tetap

sah mengikat bagi para pihak yang berkepentingan atas akta tersebut. Jika akta

tersebut dapat dibuktikan di persidangan, maka ada salah satu aspek yang

menyebabkan cacatnya akta, sehingga akta tersebut dapat menjadi akta yang

terdegradasi atau akta di bawah tangan, bahkan menjadi batal demi hukum.

Berdasarkan Pasal 1870 BW mengenai kekuatan pembuktian mengikat

dan sempurna, suatu akta otentik yang mengikat berarti hakim terikat untuk

percaya atas akta tersebut selama hal yang menjadi ketidakbenarannya tidak dapat

dibuktikan, sedangkan maksud dari sempurna berarti sudah dianggap cukup

sebagai alat bukti tanpa ada alat bukti lain.3

Secara umum suatu perjanjian dapat dibuat secara bebas, bebas untuk

mengadakan perjanjian dengan siapapun, bebas untuk menentukan bentuk

perjanjian maupun syarat-syarat, dan bebas untuk menentukan bentuk perjanjian itu

sendiri, yaitu tertulis dan tidak tertulis. Pasal 1338 ayat (1) BW menyatakan bahwa,

semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuatnya. Pasal 1338 BW ini mengandung asas kebebasan

berkontrak, maksudnya adalah setiap orang bebas mengadakan suatu perjanjian

berupa apa saja, baik bentuknya, isinya dan pada siapa perjanjian itu ditujukan.

Dari asas ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat diperbolehkan membuat

perjanjian yang berupa dan berisi apa saja dan perjanjian itu mengikat mereka yang

membuatnya seperti suatu undang-undang. 4

3
Lidya Christina Wardhani, Tanggung Jawab Notaris/PPAT terhadap Akta yang Dibatalkan oleh
Pengadilan, Jurnal Lex-Reinassance, Vol. 02, No. 1, Januari, 2017, h. 52.
4
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam kontrak komersial, Kencana
Prenadamedia Group, Jakarta, 2014, h. 108.
6

Perjanjian pengikatan jual beli tanah merupakan suatu bentuk perjanjian

yang muncul dari kebutuhan hukum yang berkembang dalam masyarakat.

Perjanjian pengikatan jual beli tanah termasuk perjanjian tidak bernama, karena

tidak ditemukan dalam bentuk-bentuk perjanjian yang diatur dalam BW. Perjanjian

pengikatan jual beli tanah menjadi implementasi dari asas kebebasan berkontrak,

dimana para pihak secara bebas dapat menentukan kemauannya5.

Jika dimintakan pembatalan oleh pihak yang bersangkutan, pada dasarnya

akta otentik tersebut dapat dibatalkan oleh hakim asal ada bukti lawan. Mengenai

pembatalan isi akta, seorang Notaris hanya bertindak untuk mencatat apa saja yang

dikemukakan oleh para penghadap dan tidak wajib untuk menyelidiki kebenaran

materiil atas isi akta tersebut.6

Suatu akta notaris yang dibatalkan oleh suatu putusan hakim, dapat dilihat

terlebih dahulu apa yang menjadi penyebabnya, jika ternyata pembatalan (baik

yang dapat dibatalkan maupun yang batal demi hukum) menimbulkan kerugian

bagi para pihak yang meminta bantuan notaris dalam pembuatan akta tersebut

(termasuk penerimaan haknya), maka notaris tersebut dapat dihukum untuk

membayar penggantian kerugian tersebut (sepanjang kesalahan tersebut terletak

pada notarisnya). Ketentuan ini terdapat pada UUJN (Pasal 51 UU No. 2 Tahun

2014 perubahan atas UU No. 30 Tahun 2004. Akibat pelanggaran yang dilakukan

notaris mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai

akta di bawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum dapat menjadi

alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya,

ganti rugi, dan bunga kepada notaris.

Salah satu contoh dalam kasus ini adalah Putusan Pengadilan Negeri

Tanjung Karang Nomor 83/Pdt.G/2018/PN.Tjk, mengenai gugatan pembatalan akta

5
Muchlis Patahna. 2009. Problematika Notaris. Jakarta : Rajawali
6
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Peneltian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2004, h. 19
7

Notaris dan perbuatan melawan hukum bahwa PT. Surya Cipta Estetika dan Emely

Olevia selaku Penggugat I dan Penggugat II melawan PT. Kartika Ayoe dan Henny

Kartika Sari selaku Tergugat I dan Tergugat II serta Khrisna Sanjaya, S.H., M.Kn

selaku Turut tergugat, dimana penggugat dan tergugat terlibat dalam

penandatanganan Akta Perjanjian Waralaba yang mana Penggugat I dan II selaku

Franchisor memberikan penawaran kepada Tergugat I dan II untuk menjadi

Frinchise, setelah terbentuknya kesepakatan dalam perjanjian waralaba para pihak

melanjutkan proses tersebut dengan membuat Akta Perjanjian Waralaba yang

dibuat dihadapan Turut Tergugat. Namun dalam kenyataan Penggugat menemukan

kejanggalan dalam pembuatan Akta Perjanjian Waralaba yang dibuat oleh Turut

Tergugat selaku Notaris, banyak kecacatan dalam pembuatan akta tersebut

sebagaimana tidak didiskusikan isi perjanjian waralaba kepada Penggugat, dan juga

Tergugat tidak melampirkan atau memberitahukan secara bukti fisik bahwa produk

waralaba tersebut sudah didaftarkan Hak Paten, Hak Merk, dan Hak Cipta serta

Perseroan Terbatas Tergugat sudah terdaftar sebagai Pengusaha Tidak Kena Pajak

untuk selanjutnya disebut PKP melainkan itu semua masih belum terdaftar di

Kementerian Hukum dan HAM dan Kantor Pelayanan Pajak Tanjung Karang

belum mengeluarkan Surat Pengukuhan PKP.

Selanjutnya, Penggugat juga sudah membayarkan fee sebesar

Rp.632.500.000,- akan tetapi Penggugat tidak bias menjalakan usahanya

dikarenakan banyak izin yang belum terpenuhi sebagaimana disebutkan diatas.

Maka Penggugat melakukan permohonan gugatan terhadap majelis hakim agar

dilakukan pembatalan Akta Perjanjian Waralaba yang dibuat oleh Notaris.

Sedangkan dari sisi Tergugat sudah melakukan kesepakatan yang dilakukan secara

tertulis dan dibuatkan Akta Perjanjian Waralaba dihadapan Notaris sesuai dengan

kesepakatan antara Penggugat dan Tergugat.


8

Apabila akta Notaris/PPAT tidak sah dan mendapatkan penetapan oleh

pengadilan, maka harus dibuktikan ketidakabsahannya baik dari aspek lahiriah,

formal, dan materiil. Jika tidak dapat membuktikannya, maka akta yang

bersangkutan tetap sah mengikat bagi para pihak yang berkepentingan atas akta

tersebut. Jika akta tersebut dapat dibuktikan di persidangan, maka ada salah satu

aspek yang menyebabkan cacatnya akta, sehingga akta tersebut dapat menjadi akta

yang terdegradasi atau akta di bawah tangan, bahkan menjadi batal demi hukum.

Berdasarkan Pasal 1870 BW mengenai kekuatan pembuktian mengikat dan

sempurna, suatu akta otentik yang mengikat berarti hakim terikat untuk percaya

atas akta tersebut selama hal yang menjadi ketidakbenarannya tidak dapat

dibuktikan, sedangkan maksud dari sempurna berarti sudah dianggap cukup

sebagai alat bukti tanpa ada alat bukti lain.

Oleh karena itu sesuai dengan yang telah dijelaskan dengan latar belakang

diatas maka pada penelitian ini, peneliti tertarik untuk meneliti lebih mendalam

mengenai “Perlindungan Hukum Terhadap Notaris dalam Pembatalan Akta

Perjanjian Waralaba berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Tanjung

Karang Nomor 83/Pdt. G/2018/PN.Tjk”

2. Rumusan Masalah

2.1. Karakteristik Akta Perjanjian Waralaba yang dibuat dihadapan Notaris.

2.2. Tanggung gugat Notaris terhadap putusan nomor :

83/Pdt.G/2018/PN.Tjk.

3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini masalah sebagai

berikut :

1. Untuk menganalisis bagaimana persyaratan terhadap keabsahan

pembatalan akta oleh Notaris dan Pengadilan.


9

2. Untuk menganalisis bagaimana tanggung gugat Notaris terhadap putusan

nomor : 32/Pdt. G/2017/PN. Gsk.

4. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada

pengembangan ilmu hukum khususnya dalam Hukum Perdata yang terkait

dengan pembatalan akta oleh Notaris dan Pengadilan.

2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi

praktisi terkait dengan penerapan asas-asas hukum dan aturan hukum yang

tepat dalam tanggung gugat Notaris terhadap putusan nomor : 32/Pdt.

G/2017/PN. Gsk. Dengan demikian diharapkan akan terwujud keadilan,

kepastian, dan perlindungan hukum bagi Notaris.

5. Tinjauan Pustaka

5.1. Pembatalan Akta

Akta Notaris dapat dibatalkan apabila terdapat suatu perbuatan

hukum yang mengandung cacat yuridis (penyebab kebatalan) dimana

dalam akta tersebut tidak memenuhi syarat formil dan syarat materiil,

sehingga pertanggung jawaban notaris dapat dilakukan pembatalan oleh

Pengadilan sehingga mengakibatkan akta tersebut hanya mempunyai

pembuktian di bawah tangan. Mengenai pembatalan akta maka harus

mengetahui syarat sahnya suatu perjanjian. Berdasarkan Pasal 1320 BW

ada empat syarat sahnya perjanjian, yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian

3. Mengenai suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal


10

Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat subyektif karena

mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian,

sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif

karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum

yang dilakukan itu. Adanya implikasi hukum apabila salah satu syarat

tersebut tidak terpenuhi atau suatu kondisi yang diistilahkan dalam

hukum dengan null and void, dimana dalam hal syarat obyektif tidak

terpenuhi, perjanjian itu batal demi hukum. Artinya semula tidak pernah

dilahirkan adanya suatu perjanjian, maka tidak pernah ada suatu

perikatan.

Dengan demikian, maka tiada dasar untuk saling menuntut di

depan hakim. Dalam hal syarat subyektif, jika syarat tidak terpenuhi,

perjanjian bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai

hak untuk meminta supaya perjanian itu dibatalkan. Pihak yang dapat

meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang

memberikan sepakatnya secara tidak bebas. Perjanjian yang demikian

dinamakan voidable / vernietigbaar.7

Akibat pembatalan terhadap perjanjian yang telah dibuat karena

adanya ketidakcakapan dan yang terjadi karena kehilafan, paksaan,

penipuan, membawa akibat bahwa semua kebendaan dan orang-

orangnya dipulihkan sama seperti keadaan perjanjian dibuat. Namun,

terhadap hal perjanjian tersebut untuk dibatalkan maka dapat dimintakan

pembatalan melalui Pengadilan yang berwenang dengan dasar tidak

dipenuhinya syarat subjektif sahnya suatu perjanjian. Para pihak yang

7
Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta : PT Intermasa, 2002, h. 20.
11

merasa dirugikan harus mampu membuktikan bahwa perjanjian tersebut

cacat hukum atau tidak sah menurut hukum.8

5.2. Akta Otentik

Akta ialah tulisan yang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan alat

bukti adanya hubungan hukum dan ditandatangani.9 Pendapat juga

dikemukakan oleh Oemar Moechtar, bahwa akta adalah suatu tulisan

yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu

peristiwa dan ditandatangani pihak yang membuatnya. 10 Kemudian

pendapat yang diungkapkan oleh Sudikno mertokusumo, Akta ialah surat

yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi

dasar daripada suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan

sengaja untuk pembuktian.11 Berdasarkan ketentuan Pasal 1876 BW,

suatu akta dibagi menjadi 2 (dua), antara lain surat dibawah tangan

(onderhands) dan akta resmi (otentik). Definisi mengenai akta otentik

dituangkan dalam Pasal 1868 BW, disebutkan bahwa: “akta otentik

adalah akta yang (dibuat) dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-

undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang

berkuasa untuk itu, di tempat di mana akta dibuatnya.” Pejabat umum

yang dimaksud adalah notaris, hakim, juru sita pada suatu pengadilan,

dan pegawai catatan sipil. wewenang itu dapat membuat akta yang

keabsahannya dapat dijamin oleh Undang-undang, misalnya akta

pernikahan, akta kelahiran yang dikeluarkan oleh pegawai catatan sipil,

8
Rafiq Adi Wardana, Pembatalan Akta Jual Beli PPAT yang Cacat Hukum dengan Putusan
Pengadilan, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, diakses pada tanggal 11 Maret 2020.
9
Bambang Sugeng A.S. dan Sujayadi, Pengantar Hukum Acara Perdata & Contoh Dokumen
Litigasi, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2015, h. 65.
10
Oemar Moechthar, Dasar-dasar Teknik Pembuatan Akta, Airlangga University Press, Surabaya,
2017, h. 9.
11
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty, 2002, h. 142.
12

surat putusan hakim yang dibuat oleh panitera pengadilan serta surat

panggilan jurusita yang dibuat oleh jurusita.

Suatu akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang

sempurna bagi para pihak beserta seluruh ahli warisnya atau pihak lain

yang mendapat hak dari para pihak. Apabila suatu pihak mengajukan

suatu akta otentik, hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang

dituliskan di dalam akta itu sungguh-sungguh terjadi, sehingga hakim

tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian lagi.

Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat tidak dihadapan

pejabat yang berwenang atau Notaris. Akta ini dibuat dan ditandatangani

oleh para pihak yang membuatnya. Akta dibawah tangan memiliki

bentuk yang bebas atau tidak ditentukan secara khusus oleh undang-

undang dan pembuatannya tidak harus dihadapan pejabat umum yang

berwenang. Apabila suatu akta di bawah tangan tidak disangkal oleh para

pihak, berarti mereka mengakui dan tidak menyangkal kebenaran apa

yang tertulis pada aakta di bawah tangan tersebut, sehingga berlaku

ketentuan Pasal 1857 BW, bahwa akta di bawah tangan tersebut

memperoleh kekuatan pembuktian yang sama dengan akta otentik.

5.3. Perjanjian Waralaba

Waralaba atau Franchise adalah konsep pemasaran produk dan jasa

secara cepat dengan memperluas jaringan dalam bentuk pemberian

lisensi (nama, produk, sistem, prosedur) dari pemilik merek (franchisor)

kepada penerima waralaba (franchisee) pada jangka waktu tertentu

dengan hak dan kewajiban yang telah disepakati kedua belah pihak.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 42 Tahun 2007 tentang

waralaba, pengertian waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh

orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri
13

khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah

terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak

lain berdasarkan perjanjian waralaba. Pemberi waralaba adalah orang

perseorangan atau badan usaha yang memberikan hak untuk

memanfaatkan dan/atau menggunakan waralaba yang dimilikinya kepada

penerima waralaba. Penerima waralaba adalah orang perseorangan atau

badan usaha yang diberikan hak oleh pemberi waralaba untuk

memanfaatkan dan/atau menggunakan waralaba yang dimiliki pemberi

waralaba.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 42 Tahun 2007

tentang waralaba, pengertian waralaba adalah hak khusus yang dimiliki

oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan

ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang

telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh

pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba. Pemberi waralaba adalah

orang perseorangan atau badan usaha yang memberikan hak untuk

memanfaatkan dan/atau menggunakan waralaba yang dimilikinya kepada

penerima waralaba. Penerima waralaba adalah orang perseorangan atau

badan usaha yang diberikan hak oleh pemberi waralaba untuk

memanfaatkan dan/atau menggunakan waralaba yang dimiliki pemberi

waralaba.

Dalam perjanjian waralaba syarat sahnya adalah seperti pada

perjanjian lainnya, yang tunduk dalam pasal 1320 BW, antara lain ;

a. Kesepakatan

b. Kecakapan

c. Suatu hal tertentu

d. Kausa yang diperbolehkan


14

Perjanjian waralaba selain harus sesuai dengan ketentuan Peraturan

Pemerintah Nomor 42 tahun 2007, juga harus memenuhi asas-asas

perjanjian yang diatur dalam Buku III BW. Sebelum membuat perjanjian,

pemberian waralaba wajib menyampaikan keterangan kepada penerima

waralaba secara tertulis dan benar sekurang-kurangnya mengenai :12

a. Pemberian waralaba, berikut keterangan mengenai kegiatan usahanya;

b. Hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha

yang menjadi objek waralaba;

c. Persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi penerima waralaba;

d. Batnuan fasilitas yang ditawarkan pemberi waralaba kepada penerima

waralaba;

e. Hak dan kewajiban pemberi dan penerima waralab;

f. Pengakhiran, pembatalan, dan perpanjangan perjanjian waralaba serta

hal-hal lain yang perlu diketahui penerima waralaba dalam rangka

pelakasanaan perjanjian waralaba.

6. Metode Penelitian

6.1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan untuk membahas permasalahan ini

adalah yuridis normatif, yang merupakan suatu proses untuk menemukan

suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, ataupun doktrin-doktrin

hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. 13 Penelitian hukum

sebagai kegiatan know-how, membutuhkan kemampuan untuk

mengidentifikasi masalah hukum, melakukan penalaran hukum,

12
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, PT
Kharisma Putra Utama, Jakarta, 2010, h. 218
13
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2007 (selanjutnya
disebut Peter Mahmud Marzuki I) , h. 35.
15

menganalisis permasalahan yang dihadapi dan kemudian memberikan

pemecahan atas masalah tersebut.14

Dalam hal ini didasarkan pada putusan Nomor 83/Pdt.G/2018/PN

Tjk, yang dikaji dengan melakukan identifikasi masalah yang terjadi,

yaitu Perlindungan Hukum Terhadap Notaris Dalam Pembatalan Akta

Perjanjian Waralaba tersebut, yang kemudian dianalisis menggunakan

interpretasi hukum ataupun penalaran hukum, sehingga memperoleh

hasil akhir yang merupakan pemecahan atas permasalahan-permasalahan

yang dibahas

6.2. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang akan digunakan dalam penelitian ini

adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach),

pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan studi

kasus (case approach). Pendekatan peraturan perundang-undangan

(statute approach) dilakukan dengan menelaah semua peraturan

perundang-undangan yang bersangkut paut dengan isu hukum yang

sedang ditangani.15 Sedangkan, pendekatan konseptual (conceptual

approach), yaitu pendekatan dengan menghubungkan konsep yang ada

dengan isu hukum yang ditangani, mempelajari pandangan-pandangan

dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum untuk dijadikan dasar bagi

peneliti dalam membangun argumentasi hukum untuk memecahkan isu

hukum yang dihadapi, dalam hal ini terkait pada putusan nomor

83/Pdt.G/2018/PN Tjk.
14
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), Prenada Media Group, Jakarta, 2017
(selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki II), h. 60.

15
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2016
(selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki III), h. 133.
16

6.3. Sumber Bahan Hukum

Dalam penelitian ini akan menggunakan bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder sebagai sumber bahan hukum yang digunakan

untuk memecahkan isu hukum.

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer sifatnya mengikat dan mutlak

digunakan untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang

dihadapi. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-

undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah dalam pembuatan

peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.16

Adapun bahan hukum premier yang akan digunakan dalam

penelitian ini antara lain:

a. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor :

83/Pdt.G/2018/PN Tjk,

b. Burgerlijk Wetboek (BW);

c. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang tentang

Jabatan Notaris (UUJN);

d. Peraturan Pemerintah RI Nomor 42 Tahun 2007

Tentnag Waralaba

e. Peraturan perundang-undangan lain serta putusan

pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap terkait

dengan pembatalan akta.

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder bersifat menjelaskan bahan hukum

premier, sehingga dapat memberikan acuan atau petunjuk dan

memperluas alasan tentang apa yang dibahas dalam penelitian ini.

Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum

16
Ibid, h. 181.
17

meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal

hukum, komentar-komentar atas putusan pengadilan.17 Bahan

hukum sekunder yang akan digunakan berupa buku-buku, majalah,

artikel, jurnal hukum, dan dokumen publikasi lain yang

berhubungan Perlindungan Hukum Terhadap Notaris Dalam

Pembatalan Akta Perjanjian Waralaba yang dibahas dalam

penelitian ini.

6.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang akan dilakukan adalah

dengan cara mengumpulkan bahan-bahan hukum baik bahan hukum

primer maupun bahan hukum sekunder yang terkait dengan isu hukum

dalam penelitian ini. Setelah bahan-bahan hukum terkumpul dilakukan

seleksi terhadap sumber hukum tersebut untuk diklasifikasikan

berdasarkan rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini.

Selanjutnya sumber hukum yang telah di klasifikasikan ditelaah untuk

memperoleh penjabaran yang sistematis.

1.6.5. Analisis Bahan Hukum

Analisis bahan hukum dalam penelitian ini akan menggunakan

metode deskriptif analis. Metode ini merupakan metode yang memusatkan

perhatian pada rumusan masalah yang sedang dihadapi dengan

mengumpulkan sumber bahan hukum ysng telah ada untuk kemudian

dianalisis, diidentifikasi secara mendalam melalui studi kepustakaan dengan

menguraikan setiap masalah yang ada yaitu dengan memiliah-milah mana

yang sesuai dengan rumusan masalah. Dalam pembahasan, setiap

17
Ibid.
18

permasalahan dibahas dan diuraikan satu-persatu secara sistematis dan

teratur untuk memperoleh jawaban dan kesimpulan atas permasalahan

dalam penelitian ini. Penggunaan metode ini diharapkan dapat 21 diketahui

ketentuan-ketentuan mana yang dapat digunakan dan duhubungkan dengan

permasalahan yang akan dibahas.

1.7. Sistematika Penulisan

Sistematika dalam penulisan penelitian ini akan terbagi dalam 4

(empat) bab yang terdiri dari sub bab-sub bab yang akan diuraikan sebagai

berikut. Pendahuluan ditempatkan pada

Bab Pertama yaitu Pendahuluan yang berisi antara lain latar belakang,

rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini. Selain itu terdapat

tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka dan metode penelitian

yang digunakan dalam penelitian ini. Dalam bab ini terdapat sistematika

penulisan agar penulisan penelitian ini tersusun secara sistematis.

Pada Bab Kedua akan menjawab rumusan masalah mengenai

persyaratan terkait dengan Perlindungan Hukum Terhadap Notaris Dalam

Pembatalan Akta Perjanjian Waralaba tersebut, yakni tentang bagaimana

syarat terhadap keabsahan pembatalan Akta di Pengadilan. Dalam bab ini

akan dibahas terkait proses dan syarat-syarat yang menjadi perlindungan

hukum terhadap Notaris mengenai pembatalan akta oleh Pengadilan dalam

perjianjian waralaba berikut pengaturannya.

Pada Bab Ketiga akan menjawab rumusan masalah ketiga, mengenai

Tanggung gugat Notaris terhadap putusan nomor : 83/Pdt.G/2018/PN Tjk,

bab ini merupakan pembahsan dari rumusan masalah yang kedua yaitu

tanggung gugat Notaris setelah putusan nomor : 83/Pdt.G/2018/PN Tjk.


19

Dalam bab ini membahas mengenai konflik aturan hukum akan

menggunakan asas preferensi hukum dan akibat hukum Notaris selaku

pejabat pembuat akta berdasarkan putusan nomor : 83/Pdt.G/2018/PN Tjk.

Pada bab keempat adalah tentang Kesimpulan dan Saran yang berisi

penutup. Karena sebagai hasil pembahasan dari permasalahan-

permasalahan yang telah dibahas pada bab II dan bab III. Pembahasan

dalam tiap bab diharapkan memperoleh kesimpulan yang akan disusun

secara sistematis dan obyektif. Kemudian, saran yang dihasilkan setelah

proses kesimpulan diharapkan dapat dijadikan bahan rujukan maupun

pertimbangan dalam dunia ilmu pengetahuan.


20

DAFTAR BACAAN

BUKU
Hernoko, Agus Yudha, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersial, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2014.

Thamrin, Husnii, Pembuatan Akta Pertanahan Oleh Notaris, LaksBang


PressIndo, Yogyakarta, 2011.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana Prenadamedia Group,


Jakarta, 2016.

_______, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta,


2014.
Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata, Liberty, Yogyakarta, 2001.

Moechthar, Oemar, Dasar-dasar Teknik Pembuatan Akta, Airlangga University


Press, Surabaya, 2017.

Adji, Habib, Merajut Pemikiran Dalam Dunia Notaris & PPAT, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2014.

Santoso, Urip, Hukum Agraria: Kajian Komprehensif, Kencana Prenadamedia


Group, Jakarta, 2012.

_______, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana Prenadamedia


Group, Jakarta, 2010.

Sugeng, Bambang A.S. dan Sujayadi, Pengantar Hukum Acara Perdata & Contoh
Dokumen Litigasi, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2015

Subekti, R, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001.

ARTIKEL, JURNAL MAKALAH


Praetyo, Hananto, Pembaharuan Hukum Perjanjian Sportentertainment Berbasis
Keadilan, (studi kasus pada Petinju Profesional di Indoneisa), Jurnal
Pembaharuan Hukum, Vol. IV No. 1, Januari-April, 2017.

Sukisno, Djoko. Pengambilan Fotocopy Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris


(Mimbar Hukum vol.20 nomor 1), 2008.

Renata, Alif, kekuatan Hukum Kepemilikan Atas Tanah,


https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl6766/kekuatan-
hukum-kepemilikan-atas-tanah-garapan/, Jumat 5 Februari 2010.
Wardhani, Lidya Christina Tanggung Jawab Notaris/PPAT terhadap Akta yang
Dibatalkan oleh Pengadilan, Jurnal Lex-Reinassance, Vol. 02, No. 1,
Januari, 2017.
21

Sulaiman, Alfin, Pencabutan Pemberian Tanah Garapan,


https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt537565202aed6/penc
abutan-pemberian-tanah-garapan/, rabu 6 Agustus 2014.

Anda mungkin juga menyukai