Anda di halaman 1dari 19

KONSTRUKSI TINDAK PIDANA HUTANG PIUTANG

YANG DIBALUT PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI


(PPJB)

TUGAS MATA KULIAH


DOSEN :
Prof. Dr. Adnan Hamid, S.H., M.H., M.M.

oleh:

DINA RAHMAWATI
NPM: 5623220045

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2023

i
ABSTRAK

Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) merupakan perjanjian pendahuluan yang dibuat
oleh para pihak dalam hal ini penjual dan pembeli dalam hal peralihan hak atas tanah
yang belum dapat dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), karena
belum terpenuhinya unsur-unsur jual beli antara lain adalah sertifikat tanah masih dalam
proses, atau belum terjadi pelunasan harga atau pajak-pajak yang dikenakan terhadap jual
beli tanah belum dapat dibayar baik oleh penjual atau pembeli. Rumusan masalah
penelitian ini adalah: bagaimanakah regulasi yang mengatur terkait Perjanjian Pengikatan
Jual Beli menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia? dan bagaimana
konstruksi tindak pidana hutang piutang yang dibalut Perjanjian Pengikatan Jual Beli?
Sehubungan dengan tidak adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait
PPJB, maka PPJB yang merupakan sebagai salah satu jenis perjanjian yang obligatoir dan
konsensuil yang tunduk pada ketentuan Pasal 1320, Pasal 1457, serta Pasal 1338 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Berdasarkan asas kebebesan berkontrak para pihak
dapat membuat suatu perjanjian berisi apa saja dan berbentuk apa saja asalkan tidak
melanggar peraturan perundang-undangan ketertiban umum dan kesusilaan. Konstruksi
hukum pidana terkait pasal-pasal sebagaimana diuraikan di atas dapat dikenakan terhadap
kasus terkait hutang piutang yang dibalut Perjanjian Pengikatan Jual Beli, karena sering
ditemukan dalam praktek bahwa dalam suatu pinjam meminjam memberikan klausul
untuk menjadikan perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) atas tanah dan/atau bangunan
sebagai jaminan. Sehingga dengan pemberlakuan konstruksi hukum pidana tersebut,
dapat mencegah terjadinya peristiwa hutang piutang yang dibalut Perjanjian Pengikatan
Jual Beli.

Kata Kunci: Konstruksi Tindak Pidana, Hutang Piutang, Perjanjian Pengikatan Jual Beli.

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .........................................................................................i
ABSTRAK ........................................................................................................ii
DAFTAR ISI .....................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................... 3

BAB II ANALISA DAN PEMBAHASAN


A. Regulasi yang mengatur terkait Perjanjian Pengikatan
Jual Beli menurut peraturan perundang-undangan di
Indonesia ....................................................................... 4
B. konstruksi tindak pidana hutang piutang yang dibalut
Perjanjian Pengikatan Jual Beli ...................................... 8

BAB III KESIMPULAN .......................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta


autentik1 dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya. (UU No.2
Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris. Notaris merupakan seseorang yang memiliki wewenang membuat
akta autentik dan kewenangan yang lain sesuai dengan UUJNP. 2
Notaris merupakan pejabat yang mempunyai kewenangan membuat
akta autentik berdasarkan Undang-Undang.3 Kewenangan Notaris ini sesuai
dengan ketentuan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2
tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004
tentang Jabatan Notaris Pasal 15 ayat (1) yang menyebutkan:
Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-
undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta,
menyimpan akta, memberikan grosse, salinan, dan kutipan akta, semuanya itu
sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada
pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) merupakan perjanjian
pendahuluan yang dibuat oleh para pihak dalam hal ini penjual dan pembeli
dalam hal peralihan hak atas tanah yang belum dapat dilakukan dihadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), karena belum terpenuhinya unsur-

1
Setiawan Rahmat, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Putra Abardin, 2005), hlm. 5
2
Yogi Kristanto, I Nyoman Putu Budiartha, Desak Gde Dwi Arini, “Tanggung Jawab dan
Wewenang Notaris/Ppat Terhadap Kekeliruan dan Pembatalan Akta Jual Beli Tanah”, Jurnal
Interpretasi Hukum, Vol. 1, No. 2 – September 2020. 198.
3
I Ketut Tjukup, dkk, “Akta Notaris (Akta Otentik) sebagai Alat Bukti dalam Peristiwa
Hukum Perdata”, Jurnal Acta Comitas, Universitas Udayana, Vol. 1 No. 2, Oktober 2016, hlm. 182

1
unsur jual beli antara lain adalah sertifikat tanah masih dalam proses, atau
belum terjadi pelunasan harga atau pajak-pajak yang dikenakan terhadap jual
beli tanah belum dapat dibayar baik oleh penjual atau pembeli. Masyarakat
dapat memilih untuk mengadakan perjanjian pendahuluan yang bertujuan
untuk mengikat para pihak, dimana perjanjian pendahuluan itu akan berisikan
bahwa pihak penjual dan pihak pembeli berjanji bahwa pada saat segala
persyaratan yang menyangkut pelaksanaan jual beli tersebut telah terpenuhi
secara sepenuhnya, para pihak akan melakukan jual beli di hadapan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang. 4
PPJB merupakan suatu perjanjian yang dibuat atas dasar kesepakatan, 5
dalam rangka mengatur kepentingan para pihak dengan melihat ketentuan
Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sahnya suatu perjanjian diperlukan
empat syarat yaitu, 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, 2.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, 3. Suatu hal tertentu, dan 4.
Suatu sebab yang halal.
PPJB belum diatur dalam perundang-undangan namun dalam praktik
PPJB dapat dibuat dengan akta notariil ataupun di bawah tangan. Notaris
dalam membuat akta PPJB, bersandar pada ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf
f UU No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris yang memberikan kewenangan kepada notaris untuk
membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan. Secara normatif diterima
sebagai norma yang berlaku sebagai hukum positif. Prinsip terpenting dalam
PPJB adalah perjanjian tersebut berisi klausula-klausula yang sesuai dengan
kepentingan dan kesepakatan para pihak, serta hak-hak dan kewajiban
(prestasi) yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh penjual dan pembeli.
PPJB merupakan perjanjian antar pihak penjual dan pembeli sebelum
dilaksanakannya jual beli dikarenakan adanya unsur-unsur yang harus
dipenuhi untuk jual beli tersebut. Dalam hal PPJB hak atas tanah

4
R.Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat Di Indonesia Suatu Penjelasan, (Jakarta:
Rajawali, 1982), hlm. 41
5
G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Erlangga, 1999), hlm. 2.

2
permasalahan yang mungkin akan muncul akibat belum terpenuhinya unsur-
unsur jual beli antara lain adalah sertifikat tanah yang belum ada karena
masih dalam proses, belum terjadi pelunasan harga atau pajak-pajak yang
dikenakan terhadap jual beli tanah tersebut yang belum dapat dibayar baik
oleh penjual atau pembeli. Pada PPJB tersebut para pihak yang akan
melakukan jual beli sudah terikat serta sudah mempunyai hak dan kewajiban
untuk memenuhi perjanjian sebagaimana yang di sepakati dalam PPJB.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik mengangkat penelitian
ini dengan judul, “KONSTRUKSI TINDAK PIDANA HUTANG PIUTANG
YANG DIBALUT PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI”.

B. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan permasalahan penelitian ini
adalah:
1. Bagaimanakah regulasi yang mengatur terkait Perjanjian Pengikatan Jual
Beli menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia?
2. Bagaimana konstruksi tindak pidana hutang piutang yang dibalut Perjanjian
Pengikatan Jual Beli?

3
BAB III

ANALISA DAN PEMBAHASAN

A. Regulasi yang mengatur terkait Perjanjian Pengikatan Jual Beli menurut


peraturan perundang-undangan di Indonesia

Peralihan hak atas tanah dapat dilakukan melalui jual beli, tukar menukar,
hibah ataupun karena pewarisan. 6 Berdasarkan Pasal 26 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(selanjutnya disebut UUPA) menyebutkan bahwa “jual beli, penukaran,
penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lainnya yang
dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah”.7 Salah satu bentuk peralihan hak yaitu melalui jual beli.
Dalam perkembangannya, pembuatan PPJB tidak hanya karena dilatar
belakangi akibat belum terpenuhinya unsur-unsur jual beli, tetapi PPJB tersebut
dibuat dilatarbelakangi adanya perjanjian utang piutang. Utang piutang
seringkali terjadi di masyarakat terutama utang piutang antara perseorangan,
seseorang meminjam uang dengan jaminan barang yang dimiliki oleh pihak
yang berhutang dan juga jaminan hak atas tanah.
Jual beli yang dilakukan secara bertahap juga merupakan faktor dibuatnya
PPJB, dan pejabat yang berwenang untuk membuat PPJB tersebut adalah
Notaris. 8 Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris UUJN), dalam Undang-Undang ini yang dimaksud
dengan “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta
otentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam

6
Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, (Jakarta: Sinar Grafika,
2009), hlm. 3.
7
Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria.
8
Erizon Khairunsyah, dkk., “Kedudukan Hukum Atas Perjanjian Pengikatan Jual Beli Yang
Pembayarannya Dilakukan Secara Bertahap Yang Telah Dibatalkan Oleh Mahkamah Agung (Studi
Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1650 K/Pdt/2015)”, Jurnal: Visi Sosial Humaniora, Volume: 02,
No 02 Desember 2021, hlm. 257.

4
Undang-Undang ini atau berdasarkan UndangUndang lainnya”. 9 Berdasarkan
ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf f Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris memberikan kewenangan notaris untuk membuat akta peralihan hak atas
tanah, yaitu “Notaris berwenang pula membuat akta yang berkaitan dengan
pertanahan”. 10
Secara yuridis normative, pada perjanjian utang piutang, seorang kreditur
dan debitur membuat Akta Pengakuan Hutang dengan jaminan hak atas tanah
dan dibuatkan pula Akta Pemberian Hak Tanggungan yang apabila sewaktu-
waktu debitur ingkar janji (wanprestasi) maka akan ditempuh melalui proses
lelang, kondisi eksisting menunjukan terjadi penyimpangan proses hukum, di
mana kreditur dan debitur tadi membuat perbuatan hukum lain, yakni PPJB yang
disertai dengan kuasa menjual. PPJB tersebut diikuti pembuatan akta kuasa
menjual yang seolah-seolah telah terjadi kesepakatan jual beli hak atas tanah
antara pihak penjual dan pembeli yang sebenarnya untuk penyelesaian utang
piutang bukan karena adanya peralihan hak jual beli atas tanah.
Akta PPJB merupakan sebuah penemuan hukum yang dilakukan oleh
kalangan Notaris untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam
pelaksanaan jual-beli hak atas tanah.11 Akta PPJB merupakan perjanjian
pendahuluan sebagai perjanjian pengikatan jual beli berfungsi untuk
mempersiapkan atau bahkan memperkuat perjanjian utama/pokok yang akan
dilakukan, karena perjanjian pengikatan jual beli merupakan awal untuk lahirnya
perjanjian pokok. Akta PPJB berfungsi dan mempunyai tujuan untuk
mempersiapkan, menegaskan, memperkuat, mengatur, mengubah atau
menyelesaikan suatu hubungan hukum. 12 Sehubungan dengan akta yang dibuat

9
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
10
Pasal 15 ayat (2) huruf f Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014
Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
11
Herlien Budiono, “Pengikatan Jual Beli dan Kuasa Mutlak”, Artikel Majalah Renvoi, edisi
Tahun I, No. 10, Bulan Maret 2004, hlm. 6
12
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 272

5
oleh Notaris ini diatur dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(selanjutnya disebut KUH Perdata) yang menyebutkan bahwa “suatu akta otentik
ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang,
dibuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat
dimana akta dibuatnya”.13
Dasar hukum perjanjian pengikatan jual beli terdapat dalam ketentuan
Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat sahnya suatu perjanjian, yang
menyebutkan bahwa “supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat
syarat: Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; Cakap untuk membuat suatu
perikatan; Suatu hal tertentu; Suatu sebab yang halal.” Apabila semua syarat sah
telah terpenuhi, dan tidak bertentangan dengan ketentuan tersebut, maka
perjanjian tersebut dinyatakan sah dan mengikat para pihak. Namun, dalam
memenuhi perjanjian tersebut terdapat salah satu pihak yang melanggar isi
perjanjian, KUHPerdata juga mengatur sanksi terhadap pihak yang melanggar isi
perjanjian tersebut.
Selanjutnya dalam Pasal 1458 KUHPerdata menyebutkan bahwa “jual beli
dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah orang-orang itu
mencapai kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya, meskipun
barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar.” Pasal tersebut
menjelaskan bahwa suatu jual beli telah dianggap terjadi antara pihak penjual
dan pihak pembeli, meskipun barang yang menjadi objek jual beli tersebut
belum diserahkan namun para pihak sudah sepakat terhadap barang beserta
harganya. Oleh karena itu, calon penjual dan pembeli berkewajiban untuk
mentaati substansi dari perjanjian yang telah disepakati bersama. 14 Akan tetapi,
kewajiban para pihak tidak hanya terbatas pada apa yang diperjanjikan saja,
namun harus memperhatikan apa yang diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan
ketertiban umum. Sehingga dalam suatu perjanjian pengikatan jual beli yang

13
Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
14
Galuh Hapsari, Kedudukan Hukum Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Dalam Hal
Terjadi Sengketa, Tesis Magister Kenotariatan, (Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 2018),
hlm. 61.

6
menggunakan akta otentik untuk menjamin kepastian hukumnya harus
memenuhi persyaratan syarat sahnya perjanjian yang telah ditentukan dalam
Pasal 1320 KUHPerdata, selain dari syarat sahnya perjanjian ada syarat yang
harus terpenuhi juga dalam pelaksanaan pembuatan akta otentik dihadapan
notaris, agar kepastian hukum akta otentik tersebut terjamin.
Kedudukan PPJB sendiri dalam hukum perjanjian merupakan suatu
perjanjian yang lahir karena adanya asas kebebasan berkontrak. Kebebasan
berkontrak berkaitan erat dengan asas konsensualisme atau sepakat antara para
pihak yang membuat perjanjian. Tanpa adanya sepakat dari salah satu pihak
yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat adalah tidak sah.
Sebaliknya, apabila suatu perjanjian berdasarkan kesepakatan, kecakapan,
memenuhi objek tertentu serta klausul yang halal maka perjanjian tersebut sah
dan mengikat para pihak.
Oleh karena itu, PPJB berkedudukan sebagai salah satu jenis perjanjian
yang obligatoir dan konsensuil yang tunduk pada ketentuan Pasal 1320, Pasal
1457, serta Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Berdasarkan asas
kebebesan berkontrak para pihak dapat membuat suatu perjanjian berisi apa saja
dan berbentuk apa saja asalkan tidak melanggar peraturan perundang-undangan
ketertiban umum dan kesusilaan.

B. Konstruksi tindak pidana hutang piutang yang dibalut Perjanjian


Pengikatan Jual Beli
Sumber Hukum Utama dalam Hukum Positif Indonesia adalah Peraturan
Perundang-undangan (Hukum Tertulis), akan tetapi seringkali Peraturan
Perundang-undangan (Hukum Tertulis) tertinggal oleh perkembangan
masyarakat, dalam hal ini ada peristiwa hukum yang terjadi dalam masyarakat
akan tetapi tidak terdapat pengaturannya dalam Peraturan Perundang-undangan
(Hukum Tertulis) sehingga terjadi kekosongan Peraturan Perundang-undangan
untuk menyelesaikan persoalan yang kongkrit terjadi dalam masyarakat atau
adakalanya Peraturan Perundang-undangannya (Hukum Tertulis) ada tetapi tidak
jelas sehingga memerlukan pencarian terhadap arti dengan makna dari Peraturan

7
Perundang-undangan tersebut. Oleh karena itu, untuk mengisi kekosongan
Peraturan Perundang-undangan (Hukum Tertulis) dan pencarian dari arti dan
makna dari suatu peraturan perundanganundangan, dalam ilmu hukum dikenal
dengan Konstruksi Hukum dan Interpretasi (Penafsiran Hukum). 15
Sehubungan dengan tidak adanya pengaturan hukum terkait hutang
piutang yang dibalut Perjanjian Pengikatan Jual Beli, maka pasal-pasal yang
dapat diterapkan pada kasus hutang piutang yang dibalut PPJB, bersifat sangat
kasuistis, adalah sebagai berikut:
Ketentuan Pasal 378 KUHP:
Barangsiapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri
atau orang lain dengan melawan hak, baik dengan memakai nama palsu
atau keadaan palsu, baik dengan akal dan tipu muslihat, maupun dengan
karangan perkataan-perkataan bohong, membujuk orang supaya
memberikan sesuatu barang, membuat utang atau menghapus piutang,
dihukum karena penipuan, dengan hukuman penjara selama-lamanya
empat tahun.

Pasal 263 KUHP:


(1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat
menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu
pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan
bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau
menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu
asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat
mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat,
dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun.
(2) Dengan hukuman serupa itu juga dihukum, barangsiapa dengan sengaja
menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah surat itu
asli dan tidak dipalsukan, kalau hal mempergunakan dapat
mendatangkan sesuatu kerugian.

Pasal 264 KUHP:


(1) Sitersalah dalam perkara memalsukan surat, dihukum penjara selama-
lamanya delapan tahun, kalau perbuatan itu dilakukan:
1e. Mengenai surat authentiek: (K.U.H.P. 266)

15
Enju Juanda, “Penalaran Hukum (Legal Reasoning)”, Jurnal Fakultas Hukum Universitas
Galuh, Volume 5, No. 1 - Maret 2017, hlm. 160.

8
2e. Mengenai surat utang atau surat tanda utang (certificaat) dari
sesuatu surat negara atau sebahagiannya atau dari sesuatu balai
(instelling) umum;
3e. Mengenai saham-saham (aandeel) atau surat utang atau certificaat
tanda saham atau tanda utang dari sesuatu perserikatan, balai, atau
perseroan atau maskapai;
4e. Mengenai talon atau surat tanda untuk sero (devidend) atau tanda
bunga uang dari salah satu surat yang diterangkan pada 2e dan 3e,
atau tentang surat keterangan yang dikeluarkan akan pengganti
surat itu ;
5e. Mengenai surat utang-piutang atau surat perniagaan yang akan
diedarkan.
(2) Dengan hukuman serupa itu juga dihukum, barangsiapa dengan sengaja
menggunakan akte itu seolah-olah itu surat asli dan tidak dipalsukan,
jika pemakaian surat itu dapat mendatangkan sesuatu kerugian.

Pasal 266 KUHP:


(1) Barangsiapa menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam sesuatu
akte authentiek tentang sesuatu kejadian yang kebenarannya harus
dinyatakan oleh akte itu, dengan maksud akan menggunakan atau
menyuruh orang lain menggunakan akte itu seolah-olah keterangannya
itu cocok dengan hal sebenarnya, maka kalau dalam
mempergunakannya itu dapat mendatangkan kerugian, dihukum penjara
selama-lamanya tujuh tahun.
(2) Dengan hukuman serupa itu juga dihukum barangsiapa dengan sengaja
menggunakan akte itu seolah-olah isinya cocok dengan hal yang
sebenarnya jika pemakaian surat itu dapat mendatangkan kerugian.

Adapun contoh kasus pidana yang terjadi akibat PPJB, antara lain:
1) Kasus pidana terkait Pasal 263 ayat (1) (2) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP,
Pasal 264 ayat (1), (2) ke-1 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, tindak pidana
pemalsuan akta autentik yang dilakukan oleh notaris Marinda Kurniasari
yaitu Putusan Pengadilan Negeri Sleman Nomor 84/Pid.B/2017/PN.Smn.
2) Kasus penipuan, Putusan 553/K/Pid.Sus/2015, an Terdakwa Carlina
Liestiani Notaris Lempuyangan Yogyakarta. Pasal 378, 266 (1) jo 55 (1),
264 (1) jo Pasal 55 (1), Pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010 TPPU Jo Pasal 55 (1)
3) Putusan Nomor 63/Pid.B/2020/PNsmn, didakwa Pasal 266 (2) Jo Pasal 55
(1) dan Pasal 378 Jo Pasal 55 (1), an Notaris Agus Tri Haryono.

9
Sedangkan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
3666 K/PDT/ 1992 tanggal 26 Oktober 1994, menyatakan “Keadaan Tergugat
yang dalam keadaan kesulitan ekonomi digunakan Penggugat agar melakukan
tindakan hukum yang merugikan Tergugat atau menguntungkan Penggugat,
Penggugat melakukan perbuatan penyalahgunaan keadaan (Misbruik Van
Onstandigheden) dan tindakan hukum yang dilakukan Penggugat dinyatakan
batal”.
1) Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 275 K/PDT/
2004 tanggal 29 Agustus 2005, menyatakan “Jual-beli yang semula
didasari utang-piutang adalah perjanjian semu, di mana pihak penjual
dalam posisi lemah dan terdesak sehingga mengandung penyalahgunaan
ekonomi”.
2) Yurisprudensi Putusan MARI 3247 K/Pdt/1987 menyatakan Perjanjian
Jual Beli dengan tekanan utang-piutang merupakan penyalahgunaan
keadaan batal demi hukum.

Konstruksi hukum pidana tersebut dapat dikenakan terhadap kasus terkait


hutang piutang yang dibalut Perjanjian Pengikatan Jual Beli, karena sering
ditemukan dalam praktek bahwa dalam suatu pinjam meminjam memberikan
klausul untuk menjadikan perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) atas tanah
dan/atau bangunan sebagai jaminan. PPJB itu sendiri bukanlah suatu jaminan,
jaminan itu sendiri harus berbentuk barang tertentu. Perjanjian pengikatan jual
beli merupakan salah satu bentuk perikatan yang berasal dari perjanjian yang
lahir dari adanya sepakat diantara para pihak yang membuatnya. Perjanjian
pengikatan jual beli merupakan perjanjian pendahuluan yang dibuat oleh calon
penjual dan calon pembeli atas dasar kesepakatan sebelum melakukan jual beli,
dalam rangka mengurangi sengketa yang dapat terjadi dikemudian hari. Dalam
praktek, perjanjian pengikatan jual beli dibuat karena adanya suatu peristiwa
yang mendorong dibuatnya perjanjian tersebut. Sehingga dengan pemberlakuan

10
konstruksi hukum pidana tersebut, dapat mencegah terjadinya peristiwa hutang
piutang yang dibalut Perjanjian Pengikatan Jual Beli.
Oleh karena itu, untuk menghindari terjadinya tindak pidana dalam
Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan untuk menciptakan kepastian hukum, maka
harus dituangkan dalam bentuk akta dihadapan Notaris. Notaris adalah pejabat
umum openbare-ambtenaren, dalam kaitan dengan kewenangan atau tugas dan
kewajiban yang utama yaitu membuat akta-akta otentik.16 Pembuatan akta
otentik diharuskan oleh peraturan perundangundangan dalam rangka
menciptakan kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum, sehingga
makna kepastian hukum akan teraktualisasikan dengan baik jika para pihak
memahami apa yang menjadi tujuan dalam akta dapat dipahami dengan baik. 17
Pencapaian kepastian hukum itu terbagi dua unsur utama, pertama,
hukumnya itu sendiri yang harus tegas dan tidak multi interpretatif, kedua,
kekuasaan itu sendiri yang melaksanakan hukum tidak boleh semena-mena di
dalam menerapkan hukum dan berpegang teguh kepada asas legalitas. 18
Kepastian hukum dalam sebuah akta perjanjian merupakan nilai yang
substansial, kepastian hukum tersebut memberikan perlindungan bagi para pihak
dan nilai-nilai tanggung jawab notaris sebagai pembuat akta terlaksana dengan
baik. Tidak terpenuhinya kepastian hukum akan memberikan lahirnya
ketidaknyamanan dan ketidakamanan. Masyarakat yang mempunyai
kepentingan dalam pelayanan akan mempunyai pandangan yang tidak baik
kepada notaris sebagai pejabat umum.
Jabatan notaris pada hakikatnya mempunyai dua tugas inti yang
fundamental, pertama, memberikan pelayanan dan memberikan kepastian
hukum terhadap akta-akta yang dibuatnya, kedua, notaris diberikan kewenangan
untuk menjaga konsistensi penguatan hukum pada wilayah hukum keperdataan

16
Bernhard Limbong, Opini Kebijakan Agraria, (Jakarta: PT. Dharma Karsa utama, 2014),
hlm. i.
17
Felix The, Perlindungan Hukum Atas Kriminalisasi Terhadap Notaris, Fakultas Hukum,
Universitas Diponegoro, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid 46, 3 Juli 2017, hlm. 219.
18
E. Fernando M. Manulang, Legisme Legalitas dan Kepastian Hukum, (Jakarta: Frenada
Media Group, 2016), hlm. 154.

11
untuk menjamin rasa aman dan ketentraman kepada masyarakat. Hal tersebut
jika di telaah berdasarkan teori kepastian hukum Gustav Radbruch yang
menyatakan keadilan dan kepastian hukum jika diperhatikan dengan baik akan
menjamin keamanan dan ketertiban suatu negara. Hukum positif dijunjung dan
ditaati untuk mencapai tujuan hukum itu sendiri yaitu kepastian hukum dan
keadilan.
Teori kepastian hukum yang telah dikemukakan oleh Gustav Radbruch
yang menyatakan keadilan dan kepastian hukum jika diperhatikan dengan baik
akan menjamin keamanan dan ketertiban akan dapat dicapai dengan baik jika
seorang pejabat umum menjunjung tinggi norma-norma dan peraturan
perundang-undangan khususnya pasal 1868 KUHPerdata mengenai akta otentik,
sehingga dapat menjamin terciptanya kepastian hukum kepada masyarakat.
Dalam teori kepastian hukum, Hans Kelsen juga menegaskan bahwa undang-
undang yang berisi aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu
yang bertingkah laku dalam masyarakat, baik dalam hubungannya dengan
sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Adanya
aturan tersebut dan pelaksanaannya menimbulkan suatu kepastian hukum.
Oleh karena itu, dengan adanya kepastian hukum dalam perjanjian jual
beli tersebut, akan menghindari terjadinya tindak pidana hutang piutang yang
dibalut Perjanjian Pengikatan Jual Beli.

12
BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, simpulan penelitian


ini adalah:
1. Sehubungan dengan tidak adanya peraturan perundang-undangan yang
mengatur terkait PPJB, maka PPJB yang merupakan sebagai salah satu jenis
perjanjian yang obligatoir dan konsensuil yang tunduk pada ketentuan Pasal
1320, Pasal 1457, serta Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Berdasarkan asas kebebesan berkontrak para pihak dapat membuat suatu
perjanjian berisi apa saja dan berbentuk apa saja asalkan tidak melanggar
peraturan perundang-undangan ketertiban umum dan kesusilaan.
2. Konstruksi hukum pidana terkait pasal-pasal sebagaimana diuraikan di atas
dapat dikenakan terhadap kasus terkait hutang piutang yang dibalut
Perjanjian Pengikatan Jual Beli, karena sering ditemukan dalam praktek
bahwa dalam suatu pinjam meminjam memberikan klausul untuk
menjadikan perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) atas tanah dan/atau
bangunan sebagai jaminan. Sehingga dengan pemberlakuan konstruksi
hukum pidana tersebut, dapat mencegah terjadinya peristiwa hutang piutang
yang dibalut Perjanjian Pengikatan Jual Beli.

13
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Jakarta: Sinar
Grafika, 2009.

Bernhard Limbong, Opini Kebijakan Agraria, Jakarta: PT. Dharma Karsa Utama,
2014.

E. Fernando M. Manulang, Legisme Legalitas dan Kepastian Hukum, Jakarta:


Frenada Media Group, 2016.

Effendi Peranginangin, Hukum Agraria di Indonesia, Suatu Telaah Dari Sudut


Pandang Praktisi Hukum, Jakarta: Rajawali Press, 2007.

G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta: Erlangga, 1999.

Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan,


Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007.

R.Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, Jakarta:


Rajawali, 1982.

Setiawan Rahmat, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung: Putra Abardin, 2005.

Perundang-Undangan

Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

________, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

________, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-


Pokok Agraria.

________, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang


Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris.

14
Jurnal

Enju Juanda, “Penalaran Hukum (Legal Reasoning)”, Jurnal Fakultas Hukum


Universitas Galuh, Volume 5, No. 1 - Maret 2017.

Erizon Khairunsyah, dkk., “Kedudukan Hukum Atas Perjanjian Pengikatan Jual Beli
Yang Pembayarannya Dilakukan Secara Bertahap Yang Telah
Dibatalkan Oleh Mahkamah Agung (Studi Putusan Mahkamah Agung
Nomor: 1650 K/Pdt/2015)”, Jurnal: Visi Sosial Humaniora, Volume:
02, No 02 Desember 2021.

Felix The, Perlindungan Hukum Atas Kriminalisasi Terhadap Notaris, Fakultas


Hukum, Universitas Diponegoro, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid
46, 3 Juli 2017.

Herlien Budiono, “Pengikatan Jual Beli dan Kuasa Mutlak”, Artikel Majalah Renvoi,
edisi Tahun I, No. 10, Bulan Maret 2004.

I Ketut Tjukup, dkk, “Akta Notaris (Akta Otentik) sebagai Alat Bukti dalam
Peristiwa Hukum Perdata”, Jurnal Acta Comitas, Universitas Udayana,
Vol. 1 No. 2, Oktober 2016.

Yogi Kristanto, I Nyoman Putu Budiartha, Desak Gde Dwi Arini, “Tanggung Jawab
dan Wewenang Notaris/Ppat Terhadap Kekeliruan dan Pembatalan Akta
Jual Beli Tanah”, Jurnal Interpretasi Hukum, Vol. 1, No. 2 – September
2020.

Tesis

Galuh Hapsari, Kedudukan Hukum Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Dalam
Hal Terjadi Sengketa, Tesis Magister Kenotariatan, Yogyakarta:
Universitas Islam Indonesia, 2018.

15

Anda mungkin juga menyukai