Anda di halaman 1dari 44

NOTARIS DAN PPAT SEBAGAI PIHAK PELAPOR DALAM TINDAK

PIDANA PENCUCIAN UANG DALAM KAITANNYA DENGAN RAHASIA

JABATAN NOTARIS

Diajukan Sebagai Tugas

Mata Kuliah Teori Hukum

Oleh:

ISKANDAR MUDA

2022010461025

DOSEN: DR. YUHELSON, SH., MH., M.KN

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN

UNIVERSITAS JAYABAYA

JAKARTA

2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................................1

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................3

A. Latar Belakang..............................................................................................................3

B. Rumusan Masalah.........................................................................................................7

C. Tujuan Penelitian..........................................................................................................7

D. Metode Penelitian..........................................................................................................7

BAB II TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA......................................................................9

A. Kerangka Teori.............................................................................................................9

1. Teori Kepastian Hukum...........................................................................................9

2. Teori Tanggungjawab Hukum...............................................................................11

B. Tinjauan Pustaka........................................................................................................12

1. Independensi dalam Profesi Notaris......................................................................12

2. Kewajiban Notaris Dan Larangan Terkait Dengan Profesinya..........................13

BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN.........................................................................30

1. Notaris/PPAT Sebagai Pihak Pelapor Yang Mengindikasi Adanya Tindak Pidana

Pencucian Uang?................................................................................................................30

2. Peranan Notaris/PPAT sebagai Pihak Pelapor dalam Tindak Pidana Pencucian

Uang dalam kaitannya dengan kewajibannya menjaga kerahasiaan klien..................39

BAB IV PENUTUP................................................................................................................41
1
A. Kesimpulan..................................................................................................................41

B. Saran.............................................................................................................................41

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................43

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Notaris adalah pejabat umum yang diangkat oleh pemerintah untuk membantu

masyarakat umum dalam hal membuat perjanjian-perjanjian yang ada atau timbul dalam

masyarakat.1 Sebagai pejabat umum seorang notaris dalam melaksanakan tugas,

dilindungi oleh undang-undang. Sebelum berlakunya Undang-undang nomor 30 tahun

2004 (UUJN) tentang Jabatan Notaris, maka undang-undang yang berlaku sebagai

landasan yuridis seorang notaris adalah Peraturan Jabatan Notaris (PJN) yang merupakan

hasil warisan dari Zaman Kolonial Belanda.

Perlunya perjanjian-perjanjian tertulis dibuat dihadapan seorang notaris adalah

untuk menjamin kepastian hukum bagi para pihak yang melakukan perjanjian. Perjanjian-

perjanjian tertulis yang dibuat dihadapan notaris disebut akta. Tujuannya adalah agar

supaya akta tersebut dapat digunakan sebagai bukti yang kuat jika suatu saat terjadi

perselisihan antara para pihak atau ada gugatan dari pihak lain.2

Berdasarkan uraian diatas, jelas begitu pentingnya fungsi dari akta Notaris

tersebut, oleh karena itu untuk menghindari tidak sahnya dari suatu akta, maka lembaga

notaris diatur didalam Peraturan Jabatan Notaris (PJN), yang sekarang telah diganti oleh

Undang-undang Nomor 02 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 30

Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Sehubungan dengan jabatan notaris ini, Habib Adjie

mengemukakan sebagai berikut : Jabatan notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki

oleh aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat, yang

1
GHS. L. Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Cet 3, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1983), hal.34.
2
Ibid, hal.35.

3
membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat akta otentik mengenai keadaan, peristiwa

atau perbuatan hukum. Dengan dasar seperti ini mereka yang diangkat sebagai notaris

harus mempunyai semangat untuk melayani masyarakat dan atas pelayanan tersebut,

masyarakat yang telah merasa dilayani oleh notaris sesuai dengan tugas dan jabatannya,

dapat memberikan honorarium kepada notaris. oleh karena itu notaris tidak berarti apa-

apa jika masyarakat tidak membutuhkannya.3

Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam membuat akta otentik

hanya memformulasikan hubungan hukum antara para pihak dalam bentuk tertulis dalam

suatu format tertentu dalam akta otentik serta wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dan

menerapkan prinsip mengenal nasabah dalam ketikan akan menggunakan jasanya, karena

saat Notaris/ PPAT membuat akta autentik maka Notaris/PPAT membutuhkan kepastian

hukum yang berupa data-data yang diberikan oleh kliennya.4

Notaris termasuk salah satu profesi yang dikenakan wajib lapor ke Pusat

Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) jika menemukan transaksi.

keuangan mencurigakan. Kewajiban ini tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.

43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak

Pidana Pencucian Uang. Dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat umum, notaris

dinilai bisa dimanfaatkan untuk menyembunyikan atau menyamarkan hasil tindak pidana

pencucian uang.

Pasal 16 ayat (1) huruf f UU No. 30 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan UU

No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN) telah menegaskan “Notaris wajib

merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang

diperoleh guna pembuatan Akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-

3
Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Cet 2,
(Bandung :PT. Rafika Aditama,2009), hal 40.
4
Tan Thong Kie.(2000). Studi Serba Serbi Praktek Notaris. Jakarta: IchtiarBaru Van Hoeve, hlm. 159

4
undang menentukan lain”. Sehingga dari hal tersebut telah memberi pesan bahwa setiap

Notaris harus merahasiakan prodak hukum yang dibuatnya berupa akta. Susdiarto

menjelaskan jabatan Notaris didasarkan kepercayaan antara notaris dan pihak yang

menggunakan jasanya. Karenanya, ia hanya dapat memberikan, memperlihatkan, atau

memberitahukan isi akta, grosse akta, minuta akta, salinan akta/kutipan akta kepada orang

yang berkepentingan langsung.

Keistimewaan itu diatur dalam Pasal 1909 ayat (3) KUHPerdata dan Pasal 322

KUHP. Karena itu, setiap notaris wajib merahasiakan isi akta dan keterangan yang

diperoleh dalam pembuatan akta notaris, kecuali diperintahkan Undang-Undang.

Disebutkan dalam Pasal 66 ayat (1) KUHP yakni “Untuk kepentingan penyidik, penuntut

umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang:

1. Mengambil fotokopi Minuta Akta dan atau surat-surat yang dilekatkan pada

Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris.

2. Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta

yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.”

Oleh karena itu kewajiban senada tertuang dalam sumpah jabatan seorang notaris,

sebagaimana disebut dalam Pasal 4 Undang-Undang Jabatan Notaris: “bahwa saya akan

merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya”.

Pelanggar terhadap sumpah jabatan itu justru bisa berbuah ancaman 9 bulan

penjara, sebagaimana disebut Pasal 332 KUHP. PP No. 43 Tahun 2015 dan Peraturan

Kepala PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Keuangan) Nomor 11 Tahun 2016 tidak

memberikan patokan yang jelas dan aman bagi Notaris terkait transaksi keuangan

mencurigakan prosedur seperti: apa yang harus membuat notaris melapor ke PPATK.

5
Padahal ini berkaitan dengan besaran nilai transaksi serta ukuran transaksi yang

mencurigakan. Permasalahan di atas tentu tidak terlepas dengan beberapa peraturan

perundangundangan lainnya yang mengantur tentang perlindungan terhadap pihak

Pelapor yang melaporkan adanya dugaan tindak pidana pencucian uang. Peraturan

Perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan hukum terhadap pihak yang

melaporkan adanya tindak pidana adalah Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan

Korban (Selanjutnya ditulis UU Perlindungan Saksi dan Korban). Namun Undang-

Undang tersebut tidak menjelaskan prosedur tata cara, aturan teknis dan tidak

memberikan penjelasan lebih jelas terkait sejauh mana Notaris/PPAT sebagai pelapor

adanya dugaan tindak pidana pencucian uang.

Jaminan perlindungan terhadap saksi dan korban memiliki peranan penting dalam

proses peradilan pidana, sehingga dengan keterangan saksi dan korban yang diberikan

secara bebas dari rasa takut dan ancaman dapat mengungkap suatu tindak pidana. Tidak

terkecuali bagi notaris dalam kaitannya dengan permasalahan di atas yang seharusnya

perlindungan hukum bagi notaris sebagai pihak pelapor juga dapat di atur lebih jelas guna

menghindari adanya kekaburan hukum dalam pengaturan tentang kewajiban notaris di

dalam UU Jabatan Notaris. Namun ternyata dalam Undang Undang Jabatan Notaris dan

Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban masih belum mengakomodir hal

tersebut. Maka dalam penelitian fokus pembahasan adalah: Pertama, untuk menganalisis

rasio legis ketentuan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 terkait

pelaporan indikasi tindak pidana pencucian uang yang berhubungan dengan rahasia

jabatan Notaris. Kedua, ratio legis Pasal 16 ayat (1) huruf F Undang-Undang Jabatan

Notaris terkait wewajiban Notaris/PPAT merahasiakan akta dengan pengecualian. Ketiga,

6
perlindungan hukum terhadap Notaris/PPAT sebagai pihak pelapor yang mengindikasi

adanya tindak pidana pencucian uang.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan

ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Notaris/PPAT Sebagai Pihak Pelapor Yang Mengindikasi Adanya Tindak

Pidana Pencucian Uang?

2. Bagaimana Peranan Notaris/PPAT sebagai Pihak Pelapor dalam Tindak Pidana

Pencucian Uang dalam kaitannya dengan kewajibannya menjaga kerahasiaan klien?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian permasalahan dalam penulisan ini diatas, adapun tujuan

penelitian menjadi adalah sebagai berikut:

1. Untuk menganalisis Notaris/PPAT Sebagai Pihak Pelapor Yang Mengindikasi

Adanya Tindak Pidana Pencucian Uang

2. Untuk menganalisis Notaris/PPAT Sebagai Pihak Pelapor Yang Mengindikasi

Adanya Tindak Pidana Pencucian Uang dalam kaitannya dengan kewajibannya

menjaga kerahasiaan klien

D. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan penelitian hukum normatif. Penelitian normatif,

artinya penelitian yang difokuskan pada suatu aturan hukum atau peraturan-peraturan yang

7
kemudian dihubungkan dengan kenyataan yang ada dilapangan. 5 Dalam penelitian ini

digunakan data sekunder.6 Data sekunder mencakup data-data yang diperoleh dari bahan-

bahan kepustakaan yang terdiri dari Bahan hukum primer Berupa peraturan perundang-

undangan, sedangkan Bahan hukum sekunder adalah Bahan-bahan yang memberikan

informasi atau hal-hal yang berkaitan dengan isi sumber primer serta implementasinya. 7

Bahan hukum sekunder yang digunakan antara lain berupa buku-buku, skripsi, serta

artikel baik yang berasal dari media cetak maupun media elektronik. Dalam penelitian

ini, alat yang digunakan dalam pengumpulan data adalah studi kepustakaan (Library

Research), yaitu pengumpulan data yang dilakukan melalui data tertulis. 8 Setelah

pengolahan data selesai, maka dilakukan analisis data kualitatif, artinya hasil penelitian

ini dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat yang mudah dibaca dan

dimengerti untuk diinterprestasikan dan dirangkum secara umum yang didasarkan fakta-

fakta yang bersifat khusus terhadap pokok bahasan yang diteliti, guna pembahasan pada

bab-bab selanjutnya.

5
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004), hlm. 118.
6
Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2005), Hal. 6.
7
Ibid., Hal. 31.
8
Ibid, hal. 27.

8
BAB II

TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Teori Kepastian Hukum

Penelitian ini berlandaskan pada Teori kepastian hukum (Scherkeit des Rechts

selbst), yaitu Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa hukum positif itu

adalah perundang-undangan. Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta, artinya

didasarkan pada kenyataan. Ketiga, bahwa fakta harus dirumuskan dengan cara yang

jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping mudah

dilaksanakan. Keempat, hukum positif tidak boleh mudah diubah.9 Pendapat Gustav

tersebut mengarah kepada penjelasan bahwa kepastian hukum itu merupakan produk

dari hukum atau lebih khusus dari perundang-undangan.

Kemudian lebih lanjut mengenai kepastian hukum, Sidharta juga berpendapat

yaitu bahwa kepastian hukum dalam situasi tertentu mensyaratkan sebagai berikut: 10 1)

Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan mudah diperoleh

(accesible), yang diterbitkan oleh kekuasaan negara; 2) Bahwa instansi-instansi

penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten

dan juga tunduk dan taat kepadanya; 3) Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya

menyetujui muatan isi dan karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-

aturan tersebut; 4) Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak

menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka

9
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Cet:2, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2013), hlm.1.
10
Sidharta, Moralitas Profesi Hukum: Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, (Bandung: Refika Aditama,
2006), hlm. 85.

9
menyelesaikan sengketa hukum; dan 5) Bahwa keputusan peradilan secara konkrit

dilaksanakan.

Kelima syarat tersebut menunjukkan bahwa kepastian hukum dapat dicapai jika

substansi hukum tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kepastian hukum yang

seperti inilah yang disebut dengan kepastian hukum yang sebenarnya (realistic legal

certainly), yaitu mensyaratkan adanya keharmonisan antara negara dengan rakyat

dalam berorientasi dan memahami sistem hukum. Selanjutnya menurut Sudikno

Mertokusumo berpendapat bahwa kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum

dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan bahwa

putusan dapat dilaksanakan. Walaupun kepastian hukum erat kaitannya dengan

keadilan, namun hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum bersifat umum,

mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan, sedangkan keadilan bersifat

subyektif, individualistis, dan tidak menyamaratakan.11

Berdasarkan pendapat di atas, kepastian hukum pada dasarnya merupakan

perangkat hukum tertulis di suatu negara yang secara tegas mengandung makna

kejelasan dan dapat dilaksanakan, sehingga perangkat hukum tersebut dapat menjamin

hak dan kewajiban dengan seimbang sesuai dengan kondisi dalam masyarakat.

Dikaitkan dengan kepastian hukum dalam kegiatan penanaman modal asing,

dalam hal ini prinsip kepastian hukum yang dimaksud adalah prinsip negara hukum

yang meletakan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan dasar dalam

setiap kebijakan dan tindakan dalam bidang penanaman modal. Dengan demikian

Kepastian Hukum adalah meletakkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-

11
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, 2007), hlm. 170.

10
undangan sebagai dasar dalam setiap kebijakan dan tindakan dalam bidang penanaman

modal.12

2. Teori Tanggungjawab Hukum

Dalam teori, terdapat beberapa yang hal penting yang berkaitan dengan

Pertanggungjawaban Notaris, yaitu terdiri dari:13

1) Tanggung Jawab Moral

Kepada publik kehadiran notaris adalah untuk melayani kepentingan

masyarakat yang membutuhkan akta-akta otentik ataupun surat-surat yang lainnya

yang menjadi kewenangan notaris. Oleh karena itu masyarakat berhak untuk

mengontrol “hasil kerja” dari notaris. Salah satu konkretisasi dari akuntabilitas ini,

misalnya masyarakat dapat menuntut notaris, jika ternyata hasil pekerjaannya

merugikan anggota masyarakat. Ataupun ada tindakan-tindakan Notaris yang dapat

“mencederai” masyarakat yang menimbulkan kerugian baik materi maupun

immaterial kepada masyarakat.

2) Tanggung Jawab Profesi

Notaris dapat dikatakan professional jika dilengkapi dengan berbagai keilmuan

yang mumpuni (intellectual capital) yang dapat diterapkan dalam praktik, tapi bukan

brarti “tukang”, dalam hal bagaimana mengolah nila-nilai atau ketentuan-ketentuan

yang abstrak menjadi suatu bentuk yang tertulis (akta) sesuai yang dikehendaki oleh

para pihak. Oleh karena itu kita jangan lelah dan bosan untuk senantiasa

meningkatkan kualitas keilmuan kita, agar senantiasa profesional.

12
Indonesia, Undang-Undang Penanaman Modal, UU No. 25 Tahun 2007, LN No.67 Tahun 2007, TLN
No.4724, Penjelasan Pasal 3 Ayat 1.
13
Habib Adjie, Sanksi Perdata Dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, (Bandung :
Refika Aditama, 2009), hl.m 45.

11
3) Tanggung Jawab Hukum

Notaris bukan orang/jabatan yang “imun” (kebal) dari hukum. Jika ada

perbuatan/tindakan Notais yang menurut ketentuan hukum yang berlaku dapat

dikategorikan melanggar hukum (pidana, perdata, administrasi), maka mau tidak mau

kita harus bertanggung jawab.

Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya selain diberikan wewenang,

diharuskan juga taat kepada kewajiban yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 dan Kode Etik Notaris serta

diwajibkan untuk menghindari larangan-larangan dalam menjalankan jabatannya

tersebut.

B. Tinjauan Pustaka

1. Independensi dalam Profesi Notaris

Sebagai Pejabat Umum, notaris dalam melaksanakan kewenangannya

membuat akta otentik harus independen. Dalam istilah sehari-hari istilah independen

ini sering disama-artikan dengan mandiri. Dalam konsep manajemen bahwa

penerapan istilah mandiri berarti institusi yang bersangkutan secara manajerial dapat

berdiri sendiri tanpa tergantung kepada (dependen) atasannya. Sedangkan independen

baik secara manajerial maupun institusional tidak tergantung kepada atasannya

ataupun kepada pihak lainnya.

Independen ini mempersoalkan kemerdekaan Pejabat Umum dari intervensi

atau pengaruh pihak lain ataupun diberi tugas oleh instansi lain. Oleh karena itu dalam

konsep independen ini harus diimbangi dengan konsep akuntabilitas. Akuntabilitas ini

mempersoalkan keterbukaan (transparancy) menerima kritik dengan pengawasan

12
(controlled) dari luar serta bertanggung jawab kepada pihak luar atas hasil

pekerjannya atau pelaksanaan tugas jabatannya.

Independensi notaris dalam hal ini dapat dilihat dalam 3 (tiga) bentuk yaitu:

1) Structural Independen, yaitu independen secara kelembagaan (institusional)

yang dalam bagian struktur (organigram) terpisah dengan tegas dari institusi

lain. Dalam hal ini meskipun Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri

Kehakiman, secara kelembagaan tidak berarti menjadi bawahan Mnteri

Kehakiman atau berada dalam struktur Departemen Hukum dan Hak Asasi

Manusia Republik Indonesia.

2) Functional Independen, yaitu independen dari fungsinya yang disesuaikan

dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya tugas, wewenang,

dan jabatan Notaris.

3) Financial Independen, yaitu independen dalam bidang keuangan yang tidak

pernah memperoleh anggaran dari pihak manapun juga.

2. Kewajiban Notaris Dan Larangan Terkait Dengan Profesinya

Sebagai jabatan dan profesi yang terhormat, Notaris mempunyai kewajiban-

kewajiban yang harus dilaksanakan baik berdasarkan peraturan perundang-undangan

yang khusus mengatur mengenai Notaris, yaitu Undang- Undang Nomor 30 Tahun

2004 jo. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 maupun peraturan perundang-

undangan lainnya, misalnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang

Perseroan Terbatas.

Notaris diangkat oleh penguasa untuk kepentingan publik. Wewenang dari

Notaris diberikan oleh undang-undang untuk kepentingan publik bukan untuk

13
kepentingan diri Notaris sendiri. Oleh karena itu kewajiban-kewajiban Notaris adalah

kewajiban jabatan (ambtsplicht).

Notaris sebagai pejabat umum dalam pengangkatannya didahului dengan

mengucapkan sumpah jabatan berdasarkan agama masing-masing, untuk menjalankan

tugas dan kewenangannya sebagai Notaris sesuai dengan amanah. Sumpah yang

disebutkan mengandung dua tanggung jawab, yang pertama bertanggung jawab

kepada Tuhan Yang Maha Esa karena sumpah yang diucapkan berdasarkan agama

masing-masing, dan yang kedua bertanggung jawab kepada Negara dan masyarakat,

karena Negara telah memberikan kewenangan kepada Notaris dalam menjalankan

sebagian tugas Negara dalam bidang Hukum Perdata yaitu, dalam pembuatan alat

bukti otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna dan kepada

masyarakat karena masyarakat mempercayakan kepada Notaris untuk mengkonstantir

maksud kehendaknya ke dalam bentuk akta dan percaya bahwa Notaris dapat

menyimpan atau merahasiakan segala keterangan yang diberikan di hadapan Notaris.

Notaris sebagai Pejabat Umum dalam menjalankan profesi dan jabatannya

untuk memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat, mempunyai kewajiban yang

ditentukan dalam Undang-Undang demi tercapainya perlindungan dan kepastian

hukum, antara lain dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 jo.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 dalam alinea ke 4 memuat Sumpah Jabatan

Notaris mengenai kewajiban Notaris untuk merahasiakan isi akta: “…bahwa saya

akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan

saya…”

Selain itu, berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 jo. Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2014, dalam menjalankan jabatannya Notaris mempunyai

kewajiban lain yang diatur dalam Pasal 16, yaitu :

14
1) Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib:

a. bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan

menjagakepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;

b. membuat akta dalam bentuk minuta akta dan menyimpannya sebagai

bagian dari protokol Notaris;

c. melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada minuta

akta;

d. mengeluarkan grosse akta, salinan akta, atau kutipan akta berdasarkan

minuta akta;

e. memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang

ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;

f. merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala

keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah

atau janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;

g. menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang

memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak

dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih

dari satu buku, dan mencatat jumlah minuta akta, bulan, dan tahun

pembuatannya pada sampul setiap buku;

h. membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak

diterimanya surat berharga;

i. membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan

waktu pembuatan akta setiap bulan;

j. mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau

daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada

15
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang

hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan

berikutnya;

k. mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada

setiap akhir bulan;

l. mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara Republik

Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan,

dan tempat kedudukan yang bersangkutan;

m. membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling

sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk

pembuatan akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat

itu juga oleh penghadap, saksi, dan notaris; dan

n. menerima magang calon Notaris.

Menyimpan minuta akta sebagaimana dimaksud huruf b tidak berlaku, dalam

hal Notaris mengeluarkan akta dalam bentuk originali. Pengecualian terhadap

kewajiban pembacaan akta sebagaimana dimaksud pada huruf m tidak wajib

dilakukan, jika penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena penghadap

telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa

hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta pada setiap halaman minuta akta

diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris. Ketentuan ini dikecualikan terhadap

pembacaan kepala akta, komparasi, penjelasan pokok akta secara singkat dan jelas,

serta penutup akta. Jika ketentuan tersebut tidak dipenuhi, maka berdasarkan

ketentuan Pasal 16 ayat (9) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014, akta yang

bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.

16
Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf

a sampai dengan huruf i dapat dikenai sanksi berupa:

1) peringatan tertulis;

2) pemberhentian sementara;

3) pemberhentian dengan hormat; atau

4) pemberhentian dengan tidak hormat.

Selain dikenai sanksi tersebut, pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 16 ayat

(1) huruf j dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut

penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris. Notaris yang melanggar

ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n dapat dikenai sanksi berupa

peringatan tertulis.

Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 di antara Pasal 16 dan Pasal 17

disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 16A sehingga berbunyi sebagai berikut:

1) Calon Notaris yang sedang melakukan magang wajib melaksanakan ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a.

2) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon Notaris juga

wajib merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala

keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta.

Kewajiban-kewajiban notaris disertai pula dengan larangan-larangan bagi

Notaris dalam menjalankan jabatannya sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 17

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 sebagai berikut:

1) Notaris dilarang:

a. menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;

17
b. meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja

berturut-turut tanpa alasan yang sah;

c. merangkap sebagai pegawai negeri;

d. merangkap jabatan sebagai pejabat negara;

e. merangkap jabatan sebagai advokat;

f. merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik

negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta;

g. merangkap jabatan sebagai PPAT dan/atau Pejabat Lelang Kelas II di

luar tempat kedudukan Notaris;

h. menjadi Notaris pengganti; atau

i. melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama,

kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan

martabat jabatan Notaris.

2) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

dikenai sanksi berupa:

a. peringatan tertulis;

b. pemberhentian sementara;

c. pemberhentian dengan hormat; atau

d. pemberhentian dengan tidak hormat.

Larangan-larangan tersebut dimaksudkan untuk menjamin kepentingan

masyarakat yang memerlukan jasa notaris. Selanjutnya, larangan dalam ketentuan

Pasal 17 huruf a tersebut dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum kepada

masyarakat dan sekaligus mencegah terjadinya persaingan tidak sehat antar Notaris

18
dalam menjalankan jabatannya. Salah satu upaya dalam mencegah persaingan

tersebut, Notaris hendaknya memperhatikan ketentuan mengenai honorarium yang

merupakan hak Notaris atas jasa hukum yang diberikan sesuai dengan

kewenangannya (Pasal 36 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 jo. Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2014) dengan tidak memungut biaya yang terlampau murah

dibanding rekan-rekan Notaris lainnya, namun dengan tetap melaksanakan kewajiban

dalam memberikan jasa hukum di bidang kenotariatan secara cuma-cuma kepada

orang yang tidak mampu, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 37 Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014.

Berkaitan dengan kedudukan dan wilayah jabatan Notaris, Pasal 18 Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014

menyatakan bahwa Notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah kabupaten atau

kota, dan mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah propinsi dari tempat

kedudukannya. Selanjutnya Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014

menyatakan, bahwa Notaris wajib mempunyai hanya satu kantor, yaitu di tempat

kedudukannya. Tempat kedudukan Notaris sebagai PPAT wajib mengikuti tempat

kedudukan Notaris, selain itu Notaris tidak berwenang secara berturut-turut dengan

tetap menjalankan jabatan di luar tempat kedudukannya, apabila melanggar maka

dikenai sanksi berupa:

a. peringatan tertulis;

b. pemberhentian sementara;

c. pemberhentian dengan hormat; atau

d. pemberhentian dengan tidak hormat.

19
Selain sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Nomor

2 Tahun 2014, mengenai larangan bagi Notaris juga diatur dalam Pasal 18 Keputusan

Menteri Kehakiman dan HAM Nomor M-01.HT.03.01 Tahun 2003 Tentang

Kenotarisan (selanjutnya disebut Kepmenkeh Nomor M-01.HT.03.01 Tahun 2003),

Notaris dilarang :

a. membuka kantor cabang atau mempunyai kantor lebih dari satu;

b. melakukan tindakan atau perbuatan yang dapat merendahkan martabat jabatan

Notaris;

c. meninggalkan daerah kerja lebih dari tiga hari, kecuali ada izin dari Pejabat

yang berwenang atau dalam keadaan cuti.

d. mengadakan promosi yang menyangkut jabatan Notaris melalui media cetak

maupun media elektronik;

e. membacakan dan menandatangani akta di luar wilayah kerja Notaris yang

bersangkutan:

f. menyimpan protokol setelah Notaris yang bersangkutan diberhentikan oleh

Menteri;

g. merangkap jabatan sebagai ketua atau anggota lembaga tinggi negara tanpa

mengambil cuti jabatan.

h. merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik

negara/badan usaha milik daerah, pegawai swasta;

i. merangkap jabatan sebagai pejabat pembuat akta tanah di luar wilayah kerja

Notaris.

j. menolak calon Notaris magang di kantornya.

20
Dalam menjalankan kewenangannya, Notaris dibatasi oleh larangan-larangan

yang ditentukan oleh Undang-Undang. Hal ini diperlukan agar notaris tau mengenai

batas-batas apa yang boleh dan apa yang dilarang oleh Undang-Undang. Mengenai

perilaku sebagai Notaris, Ismail Saleh menyatakan ada empat hal pokok yang harus

diperhatikan yakni:14

1) Mempunyai integritas moral yang mantap

Segala pertimbangan moral harus melandasi pelaksanaan tugas profesinya.

Walaupun akan memperoleh imbalan jasa yang tinggi, namun sesuatu yang

bertentangan dengan moral yang baik harus dihindarkan.

2) Harus jujur terhadap klien maupun diri sendiri (kejujuran intelektual)

Notaris harus mengetahui akan batas-batas kemampuannya, tidak memberi

janji-janji menggunakan jasanya. Kesemuanya itu merupakan suatu ukuran

tersendiri tentang kadar kejujuran intelektual seorang notaris.

3) Sadar akan batas-batas kewenangannya

Notaris harus menaati ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku tentang

seberapa jauh ia dapat bertindak dan apa yang boleh serta apa yang tidak boleh

dilakukan. Adalah bertentangan dengan perilaku profesional apabila seorang

notaris ternyata berdomisili dan bertempat tinggal tidak di tempat

kedudukannya sebagai notaris. Atau memasang papan dan mempunyai kantor di

tempat kedudukannya, tetapi tempat tinggalnya di lain tempat. Seorang Notaris

juga dilarang untuk menjalankan jabatannya di luar daerah jabatannya. Apabila

ketentuan tersebut dilanggar, maka akta yang bersangkutan akan kehilangan

daya otentiknya.

4) Tidak semata-mata berdasarkan uang

14
Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006),
hlm.51

21
Sekalipun keahlian Notaris dapat dimanfaatkan sebagai daya upaya yang

lugas untuk mendapatkan uang, namun dalam melaksanakan profesinya ia tidak

semata-mata didorong oleh pertimbangan uang. Seorang Notaris harus tetap

berpegang teguh kepada rasa keadilan yang hakiki, tidak terpengaruh oleh

jumlah uang, dan tidak semata-mata menciptakan alat bukti formal mengejar

adanya kepastian hukum, tetapi mengabaikan rasa keadilan.

Disamping itu, Notaris juga dalam menjalankan jabatannya harus menjunjung

tinggi serta melaksanakan Kode Etik Notaris yakni:

1) Senantiasa menjunjung tinggi hukum dan azas Negara serta bertindak sesuai

dengan makna sumpah jabatannya.

2) Mengutamakan pengabdiannya kepada kepentingan masyarakat dan Negara.15

UUJN juga mengamanatkan agar Notaris berhimpun dalam satu wadah

organisasi Notaris sesuai dengan pasal 82 ayat (1) (Notaris berhimpun dalam satu

wadah Organisasi Notaris) dengan kriteria yang pertama mempunyai anggaran dasar

dan anggaran rumah tangga yang memuat ketentuan tentang tujuan organisasi, kedua

mempunyai daftar anggota yang salinannya disampaikan kepada Menteri dan Majelis

Pengawas Notaris, ketiga berbentuk perkumpulan berbadan hukum dan keempat

mampu menetapkan dan menegakkan Kode Etik Notaris.16

Pasal 4 Kode Etik Notaris mengatur mengenai larangan. Larangan tersebut

meliputi hal-hal sebagai berikut :

1) Mempunyai lebih dari 1 (satu) kantor, baik kantor cabang maupun kantor

perwakilan.
15
Andasasmita, Notaris Selayang Pandang, (Bandung: Penerbit Alumni, 1983), hlm.158.
16
Abdul Ghofur, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum dan Etika, (Yogyakarta:UII,2009),
hlm.101-121.

22
Larangan ini diatur pula dalam Pasal 19 UUJN sehingga pasal ini dapat

diartikan pula sebagai penjabaran UUJN. Mempunyai satu kantor harus

diartikan termasuk kantor PPAT. Misalnya :

a. memasang papan nama di dua tempat, dapat dianggap sebagai Kantor

cabang

b. harus menyamakan tempat kedudukan antara Notaris dan PPAT.

2) Memasang papan nama dan/atau tulisan yang berbunyi “Notaris/Kantor

Notaris” di luar lingkungan kantor.

Larangan ini berkaitan dengan kewajiban yang terdapat dalam Pasal 3 ayat

(9) Kode Etik Notaris sehingga tindakannya dapat dianggap sebagai

pelanggaran atas kewajibannya.

Misalnya : memasang papan nama tambahan di tempat tertentu yang

dianggap ramai (di luar lingkungan kantor) , dapat dianggap sebagai promosi.

3) Melakukan publikasi atau promosi diri, baik sendiri maupun secara bersama-

sama

Dengan mencantumkan nama dan jabatannya, menggunakan sarana media

cetak dan atau elektronik dalam bentuk iklan, ucapan selamat, ucapan bela

sungkawa, ucapan terima kasih, kegiatan pemasaran, kegiatan sponsor baik

dalam bidang sosial, keagamaan maupun olah raga.

Larangan ini merupakan konsekuensi logis dari kedudukan Notaris sebagai

Pejabat Umum dan bukan sebagai Pengusaha/Kantor Badan Usaha sehingga

publikasi/promosi tidak dapat dibenarkan.

23
Misalnya : mengirimkan ucapan melalui karangan bunga ke perusahaan

tertentu dengan mencantumkan jabatan dan nama, memasang iklan di surat

kabar mencantumkan nama dan jabatan, ikut serta dalam iklan di media

elektronik dengan menggunakan kantornya dimana terpampang nama dan

jabatan notaris.

4) Bekerjasama dengan biro jasa/orang/Badan Hukum yang pada hakikatnya

bertindak sebagai perantara untuk mencari atau mendapatkan klien.

Notaris adalah Pejabat Umum dan apa yang dilakukan merupakan

pekerjaan jabatan dan bukan dengan tujuan pencarian uang atau keuntungan

sehingga penggunaan biro jasa/orang/badan hukum sebagai perantara pada

hakikatnya merupakan tindakan pengusaha dalam pencarian keuntungan yang

tidak sesuai dengan kedudukan peran dan fungsi Notaris.

Misalnya : menggunakan biro jasa untuk memperoleh klien dengan

menawarkan tarif tertentu/berbagi honor.

5) Menandatangani akta yang proses pembuatan minutanya telah disiapkan oleh

pihak lain.

Jabatan Notaris harus mandiri,jujur dan tidak berpihak sehingga pembuatan

minuta yang telah dipersiapkan oleh pihak lain tidak memenuhi kewajiban

Notaris yang terdapat dalam Pasal 3 ayat (4) Kode Etik Notaris.

Misalnya : membacakan dan menandatangani akta yang minuta aktanya

telah dipersiapkan oleh Notaris lain.

6) Mengirimkan minuta kepada klien untuk ditandatangani

24
Penandatanganan akta Notaris merupakan bagian dari keharusan agar akta

tersebut dikatakan sebagai akta otentik. Selain hal tersebut, Notaris menjamin

kepastian tanggal penandatanganan.

Misalnya :Mengirimkan minuta akta untuk ditandatangani oleh klien baik

melalui klien itu sendiri mapun melalui karyawan, hal ini dilarang karena

kewajiban notaris menyaksikan akta akta yang di buat dan ditandatangani

dihadapannya.

7) Berusaha atau berupaya dengan jalan apapun agar seseorang berpindah dari

Notaris lain kepadanya, baik upaya itu ditujukan langsung kepada klien yang

bersangkutan maupun melalui perantara orang lain.

Berperilaku baik dan menjaga hubungan baik dengan sesama rekan

diwujudkan antara lain dengan tidak melakukan upaya baik langsung maupun

tidak langsung mengambil klien rekan.

Misalnya : melalui biro jasa/perantara /karyawan kita atau karyawan notaris

lain menawarkan jasa notaris ditempat tertentu atau di kantor rekan kita tersebut

supaya membuat akta di kantor kita.

8) Melakukan pemaksaan kepada klien dengan cara menahan dokumen-dokumen

yang telah diserahkan dan/atau melakukan tekanan psikologis dengan maksud

agar klien tersebut tetap membuat akta padanya.

Pada dasarnya setiap pembuatan akta harus dilakukan dengan tanpa adanya

paksaan dari siapapun termasuk dari Notaris. Kebebasan membuat akta

merupakan hak dari klien itu.

25
Misalnya : Apabila datang klien ke kantor kita akan minta dibuatkan dan

telah menyerahkan data /dokumen yang kita minta, akan tetapi karena sesuatu

hal klien tersebut membatalkan membuat aktanya di kita, dengan khawatir

berpindah kepada notaris lain ,kemudian kita menahan data/dokumen yang telah

diserahkan kepada kita dengan berbagai alasan.

9) Melakukan usaha-usaha baik langsung maupun tidak langsung yang menjurus

ke arah timbulnya persaingan yang tidak sehat dengan sesama rekan Notaris.

Persaingan yang tidak sehat merupakan pelanggaran terhadap Kode Etik

sehingga upaya yang dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung

harus dianggap sebagai pelanggaran Kode Etik.

Misalnya : menjelek jelekan pekerjaan rekan notaris lain

10) Menetapkan honorarium yang harus dibayar oleh klien dengan jumlah lebih

rendah dari honorarium yang telah ditetapkan perkumpulan.

Penetapan honor yang lebih rendah dianggap telah melakukan persaingan

yang tidaksehat yang dilakukan melalui penetapan honor Misalnya : pada

umumnya didaerah di tempat kita berkantor honor pembutan aktanya Rp

100.000,-, karena ingin kantornya laku menetapkan tarif Rp 50.000,-. Hal ini

akan mengakibatkan persaingan yang tidak sehat dan akan terjadi hubungan

yang kurang baik antar sesama rekan notaris , kalau sudah begitu akan

menjatuhkan harkat dan martabat jabatan notaris. Dan jabatan kita akan

dipermainkan oleh klien

26
11) Mempekerjakan dengan sengaja orang yang masih berstatus karyawan kantor

Notaris lain tanpa persetujuan terlebih dahulu dari Notaris yang bersangkutan.

Mengambil karyawan rekan Notaris dianggap sebagai tindakan tidak terpuji

yang dapat mengganggu jalannya kantor Rekan Notaris.

Misalnya : membujuk karyawan notaris lain agar mau bekerja padanya

dengan imbalan/ gaji lebih besar.

12) Menjelekkan dan/atau mempersalahkan rekan Notaris atau akta yang dibuat

olehnya.

Dalam hal seorang Notaris menghadapi dan/atau menemukan suatu akta

yang dibuat oleh rekan sejawat yang ternyata didalamnya terdapat kesalahan-

kesalahan yang serius dan/atau membahayakan klien, maka Notaris tersebut

wajib memberitahukan kepada rekan sejawat yang bersangkutan atas kesalahan

yang dibuatnya dengan cara yang tidak bersifat menggurui, melainkan untuk

mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan terhadap klien yang

bersangkutan ataupun rekan sejawat tersebut.

Misalnya : tanpa memberitahu klien yang datang pada kita , kita telpon

rekan notaris yang membuat akta yang salah tersebut dengan bahasa yang baik

dan sopan dan kepada klien tersebut cukup disampaikan untuk datang lagi ke

notaris tersebut untuk menyerahkan salinan aktanya.

13) Membentuk kelompok sesama rekan sejawat yang bersifat eksklusif dengan

tujuan untuk melayani kepentingan suatu instansi atau lembaga, apalagi

menutup kemungkinan bagi Notaris lain untuk berpartisipasi.

27
Notaris wajib memperlakukan rekan Notaris sebagai keluarga seprofesi,

sehingga diantara sesama rekan Notaris harus saling menghormati, saling

membantu serta selalu berusaha menjalin komunikasi dan tali silaturahmi.

Misalnya : bekerjasama dengan rekan rekan notaris tertentu untuk

mengerjakan pekerjaan dari suatu instansi tertentu dan menutup rekan rekan

yang lain untuk ikut serta dengan cara cara yang kurang baik.

14) Menggunakan dan mencantumkan gelar yang tidak sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Mencantumkan gelar yang tidak sah merupakan tindak pidana, sehingga

Notaris dilarang menggunakan gela-gelar tidak sah yang dapat merugikan

masyarakat dan Notaris itu sendiri.

Misalnya : mencantumkan gelar gelar yang tidak ada kaitannya dengan

pendidikan

15) Melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut sebagai

pelanggaran terhadap Kode Etik Notaris, antara lain namun tidak terbatas pada

pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam UUJN;

Penjelasan Pasal 19 ayat (2) UUJN; Isi Sumpah Jabatan Notaris; Hal-hal

yang menurut ketentuan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan/atau

keputusan-keputusan lain yang sudah ditetapkan organisasi INI yang tidak

boleh dilakukan anggota.

Pasal 5 Kode Etik Notaris mengatur mengenai hal-hal yang merupakan

pengecualian, sehingga tidak termasuk pelanggaran. Hal tersebut meliputi:

28
1) Memberikan ucapan selamat, ucapan duka cita dengan menggunakan kartu

ucapan, surat, karangan bunga ataupun media lainnya dengan tidak

mencantumkan Notaris, tetapi hanya nama saja. Yang dibolehkan sebagai

pribadi dan tidak dalam jabatan. Tidak dimaksudkan sebagai promosi tetapi

upaya menunjukkan kepedulian sosial dalam pergaulan.

2) Pemuatan nama dan alamat Notaris dalam buku panduan nomor telepon, fax

dan telex yang diterbitkan secara resmi oleh PT. Telkom dan/atau

instansiinstansi dan/atau lembaga-lembaga resmi lainnya. Hal tersebut dianggap

tidak lagi sebagai media promosi tetapi lebih bersifat pemberitahuan.

3) Memasang 1 (satu) tanda penunjuk jalan dengan ukuran tidak melebihi 20 x 50

cm, dasr berwarna putih, huruf berwarna hitam, tanpa mencantumkan nama

Notaris serta dipasang dalam radius maksimum 100 meter dari Kantor Notaris.

Hal ini diperbolehkan untuk dipergunakan sebagai papan penunjuk, bukan

papan promosi

29
BAB III

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

1. Notaris/PPAT Sebagai Pihak Pelapor Yang Mengindikasi Adanya Tindak

Pidana Pencucian Uang?

Notaris sebagai pejabat umum, merupakan salah satu organ Negara yang

dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberikan pelayanan umum kepada

masyarakat, teristimewa dalam pembuatan akta otentik sebagai alat bukti yang

sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang keperdataan. 17 Wewenang

Notaris salah satunya yakni membuat akta otentik dalam hal perbuatan hukum

seseorang, akta otentik sengaja dibuat untuk dijadikan sebagai alat bukti tertulis

dikemudian hari. Akta otentik harus sesuai dengan peristiwa yang terjadi, klien

akan.memberikan kelengkapan berkas dan keterangan kepada Notaris, dari dua hal

tersebut nantinya akan Notaris tuangkan ke dalam akta otentik. Suatu akta memiliki

kekuatan bukti otentik, maka haruslah ada kewenangan dari pejabat umum yang

membuat, dalam hal ini Notaris, untuk membuat akta otentik yang bersumber dari

Undang-Undang.

Dalam menjalankan tugas jabatannya Notaris membuat akta otentik dengan

cara menformulasikan keinginan para pihak (klien) yang dituangkan ke dalam akta

otentik, sehingga ketika klien memberi berkas maupun informasi harus sesuai dengan

kenyataan, karena akan ada akibat hukum dikemudian hari mengenai keterangan para

pihak yang disampaikan kepada Notaris. Notaris juga harus melihat apakah berkas itu

asli atau tidak yang memungkinkan berkas itu dipalsu oleh klien demi kelancaran

17
Habib Adjie..Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) sebagai Unifikasi Hukum Pengaturan Notaris.
Jakarta: Renvoi, 2005, hlm. 130

30
pembuatan akta otentik. Sesuai Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia

Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Penerapan Prinsip Mengenali

Pengguna Jasa Bagi Notaris (PMPJ), untuk pencegahan dan pemberantasan tindak

pidana pencucian uang, prinsip mengenali pengguna jasa wajib diterapkan oleh

Notaris. Menurut Pasal 4 ayat (1) Permenkumham Nomor 9 Tahun 2017

menyebutkan bahwa dalam menerapkan prinsip mengenali pengguna jasa, Notaris

wajib:

a. Memiliki kebijakan dan prosedur untuk mengelola dan memitigasi risiko

pencucian uang dan/atau pendanaan terorisme yang diidentifikasi sesuai

dengan penilaian risiko; dan

b. Melakukan penilaian risiko dan mengelompokkan Pengguna Jasa berdasarkan

tingkat risiko terjadinya tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana

pendanaan terorisme.

Dengan adanya menejemen mengenali pengguna jasa orang perseorangan

yang bersumber dari profil, karakteristik, bisnis, Negara, produk diharapkan Notaris

dapat mengetahui dari mana sumber dana didapat, namun hal lain yang menyelimuti

Notaris yang berkaitan dengan keterangan klien adalah rahasia menjaga kepentingan

para pihak sesuai dengan amanat Undang-Undang Jabatan Notaris Pasal 16 ayat (1)

huruf F yang menegaskan bahwa dalam menjalankan jabatannya Notaris wajib

merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala keterangan

yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai dengan sumpah/ janji jabatan, kecuali

undang-undang menentukan lain.

Ketentuan mengenai kewajiban seorang Notaris untuk merahasiakan segala

sesuatu yang terkait dengan isi dan keterangan mengenai akta yang dibuatnya,

31
melahirkan ketentuan tentang hak ingkar (verschoningsplicht) seorang Notaris yang

dapat diterapkan apabila seorang Notaris ketika diminta untuk menjadi saksi di

persidangan dan atau tidak berbicara di persidangan berkaitan dengan permasalah

hukum akta yang dibuat Notaris. Dengan demikian Pasal 4 ayat (2) jo Pasal 16 ayat

(1) huruf F Undang Undang Jabatan Notaris (Perubahan) mengatur secara jelas bahwa

seorang Notaris dalam menjalankan profesinya diwajibkan menjaga seluruh informasi

yang berhubungan dengan akta, baik informasi klien, keterangan yang disampaikan

oleh klien, maupun hal-hal lain yang berkaitan dengan isi akta, terkecuali Undang-

Undang menentukan lain. Seiring dengan maraknya tindak pidana pencucian uang,

maka Notaris diwajibkan teliti dalam menerima dan memeriksa berkas serta informasi

yang diterima, ciri khas utama dari Tindak Pidana Pencucian Uang adalah kejahatan

yang dilakukan secara ganda dengan bentuk Pencucian uang sebagai kejahatan yang

bersifat Follow Up Crime (Kejahatan Lanjutan), sedangkan kejahatan asalnya disebut

sebagai Predicate Deffense/Core Crime atau sebagai unlawful activity yaitu kejahatan

asal yang menghasilkan uang yang kemudian dilakukan proses pencucian.(Munir

Fuady,2013:36)

Ketentuan Pasal 18 UU No 8 tahun 2010 disebutkan bahwa Pihak Pelapor

wajib menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa, Jo Pasal 8 PP 43 tahun 2015

Pihak Pelapor Dalam Pencegahan dan Pemberantasan TPPU yang menyatakan bahwa

pihak pelapor wajib menyampaikan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan

kepada PPATK untuk kepentingan atau untuk dan atas nama Pengguna Jasa, Prinsip

Mengenali pengguna jasa yang harus dilakukan Notaris meliputi:

a. Identifikasi yaitu pengumpulan informasi dan dokume pengguna jasa;

b. Verifikasi yaitu meniliti informasi dan dokumen yang diberikan pengguna jasa

dan melakukan pertemuan langsung pengguna jasa;

32
c. Pemantauan transaksi yaitu mengetahui kesesuaian transaksi yang dilakukan

dengan profil pengguna jasa.

Sedangkan menurut Pasal 2 ayat (4) huruf A sampai dengan D

Permenkumham Nomor 9 Tahun 2017 tentang Prinsip Mengenali Pengguna Jasa,

kewajiban Notaris dalam menerapkan Prinisp Mengenali Pengguna Jasa, dilakukan

pada saat:

a. Melakukan hubungan usaha dengan pengguna jasa;

b. Terdapat transaksi keuangan dengan mata uang rupiah dan atau mata uang

asing yang nilainya paling sedikit atau setara dengan Rp. 100.000.000,-

(seratus juta rupiah);

c. Terdapat transaksi keuangan yang terkait tindak pidana pencucian uang;

d. Notaris meragukan kebenaran informasi yang dilaporkan pengguna jasa.

Dari uraian diatas, dapat dilihat bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 17

ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya disebut sebagai UU

Pencegahan dan Pemberantasan TPPU) Jo Pasal 3 PP 43 Tahun 2015, Pemerintah

memasukkan Notaris sebagai pihak pelapor. Notaris termasuk kedalam kategori pihak

pelapor dalam adanya dugaan tindak pidana pencucian uang, sebagaimana disebutkan

dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor

Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya

disebut sebagai PP Pihak Pelapor Dalam Pencegahan dan Pemberantasan TPPU) yang

menyebutkan bahwa pihak pelapor selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2

33
mencakup juga: a. Advokat; b. Notaris; c. Pejabat Pembuat Akta Tanah; d. Akuntan;

e. Akuntan Publik; f. Perencana Keuangan.

Pasal 4 juga menyebutkan bahwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan

Pasal 3 wajib menerapkan prinsip mengenali pengguna Jasa. Sejauh ini Notaris

berkewajiban untuk mengenal lebih jauh profile, latar belakang pengguna jasa

kemudian dapat melaporkan apabila ada kecurigaan terhadap klien terkait dengan

transaksi keuangan mencurigakan yang mencolok yang berbeda dengan identitas

sebenarnya, namun di lain sisi, Notaris seakan akan di bebani oleh pembuktian secara

materiil oleh Peraturan Pemerintah Dalam Pencegahan dan Pemberantasan TPPU,

yang mewajibkan Notaris mengenali hingga menggali identitas pengguna jasa secara

rinci, sampai sejauh mana Notaris harus mengenali profile, latar belakang klien,

sumber dana, karena tidak disebutkan secara eksplisit dalam Undang-Undang Jabatan

Notaris

Selanjutnya dengan tidak disebutkan secara jelas prosedur dan format

pelaporan bagi Notaris sebagai pihak pelapor yang wajib menyampaikan laporan

kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait Transaksi

Keuangan Mencurigakan maka membuat Notaris sulit untuk mengetahui sumber dana

para pihak karena Notaris tidak mempunyai kewajiban dalam Undang-Undang

Jabatan Notaris untuk mggali lebih dalam perihal tersebut. Bahwa ketentuan dalam PP

Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan TPPU khususnya Pasal 3 dapat

mengancam profesi Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, wajib lapor

terhadap perbuatan hukum yang dilakukan oleh pengguna jasa yang diduga terindikasi

tindak pidana pencucian uang. Setiap Notaris wajib melakukan pelaporan terhadap

berbagai macam akta yang dibuatnya, termasuk legalisasi dan waarmeking. Disisi lain

Notaris berkewajiban melaporkan dugaan Transaksi Keuangan Mencurigaan, disisi

34
lain hal tersebut menjadi ancaman bagi profesinya. Namun ketika Notaris tidak

melaporkan maka akan dikenakan ancaman pada Pasal 322 KUHP yang menyebutkan

bahwa Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya

karena jabatan atau pencariannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam

dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak

sembilan ribu rupiah. 2. Ratio Legis Pasal 16 ayat (1) Huruf F Undang-Undang

Jabatan Notaris Terkait Kewajiban Notaris/PPAT Merahasiakan Akta dengan

Pengecualian Usaha-Ketentuan mengenai kewajiban Notaris merahasiakan akta

tertuang padal Pasal 16 ayat (1) huruf F Undang Undang Jabatan Notaris yang

menyebutkan bahwa dalam menjalankan jabatan Notaris wajib merahasiakan segala

sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna

pembuatan Akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang

menentukan lain. Sedangkan Kode Etik PPAT ada dalam peraturan lebih lanjut yaitu

Pasal 28 ayat (2) huruf c Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun

2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan

Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Yang berwenang mengangkat dan memberhentikan dengan tidak hormat dari

jabatan PPAT jika melanggar kode etik profesi yang berkaitan dengan rahasia jabatan

adalah Kepala Badan Pertanahan Nasional. Kode etik profesi PPAT disusun oleh

Organisasi PPAT dan/atau PPAT Sementara dan ditetapkan oleh Kepala BPN yang

berlaku secara nasional (Pasal 69 Perka BPN 1/2006). Organisasi PPAT yang

dimaksud saat ini adalah Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT) Artinya

Notaris/PPAT dalam menjalankan jabatan kepercayaan maka Notaris wajib menjaga

rahasia akta demi kelancaran pembuatan akta dan kepentingan para pihak serta

sebagai bentuk tanggung jawab Notaris dalam menjalankan jabatan yang dimaksud

35
dengan jabatan kepercayaan adalah Notaris sebagai pejabat publik mengemban

amanah dan kepercayaan masyarakat yang harus dijalankan dengan hati-hati dan

sebaik-baiknya, kemudian dalam Pasal 16 Undang-Undang Jabatan Notaris juga

menegaskan pengecualian terhadap rahasia jabatan yakni frasa “kecuali Undang-

Undang menentukan lain” yang artinya ketika ada UndangUndang lain memuat

ketentuan terkait membuka rahasia jabatan, maka Notaris harus tunduk pada hukum

yang berlaku. Sumpah jabatan Notaris/PPAT maupun kode etik Notaris/PPAT

keduanya memuat tentang rahasia jabatan yang dimiliki oleh Notaris.

Notaris sebagai jabatan kepercayaan wajib untuk menjaga rahasia yang

dipercayakan orang yang menggunakan jasa Notaris kepadanya. Hubungan profesi

notaris dengan organisasi diatur dalam kode etik notaris (KEN). KEN memuat unsur

kewajiban, larangan, pengecualian dan sanksi yang akan dijatuhkan apabila notaris

melakukan pelanggaran terhadap kode etik. Selain itu kode etik juga mengatur tata

cara penegakkan kode etik dan pemecatan sementara sebagai anggota INI. Rahasia

jabatan tidak sekedar merupakan ketentuan etik melainkan menjadi asas hukum yang

diberikan verschoningsrecht.18

Mahkamah Agung telah mengeluarkan surat keterangan Nomor

MA/Pemb/3425/86 tanggal 12 April 1986 yang mengatur antara lain: a.Notaris yang

akan diperiksa atau dimintai keterangan harus jelas kedudukan dan perannya, apakah

sebagai saksi atau tersangka terhadap akta-akta yang dibuatnya dan/atau selaku

pemegang protokol; b.Dalam kedudukan dan perannya sebagai saksi, maka

pemeriksaaan tidak perlu dilakukan peyumpahan, kecuali ada cukup kuat alasan,

bahwa ia tidak dapat hadir dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana

diatur dalam Pasal 116 ayat (1) KUHAP.

18
Pingkan Sundah, TinjauanYuridis Terhadap Tidak Dilaksanakannya Kewajiban Jabatan Notaris
Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014, Jurnal: ejournal.unsrat.ac.id, hlm. 37

36
Sanksi terhadap Notaris yang membuka rahasia jabatannya dengan

mengabaikan hak ingkar yang melekat padanya dapat dikenai sanksi:

a. Sanksi pidana: melanggar Pasal 322 ayat (1) KUHP

b. Sanksi Perdata: Pasal 1365 KUHPerdata

c. Sanksi administrati: Pasal 16 ayat (11) dan ayat (12).

Sanksi kode etik Notaris Apabila pemanggilan dan pemeriksaan Notaris oleh

penyidik kepolisian tidak mengindahkan prosedur hukum yang berlaku, maka

dikhawatirkan akan terjadi kesewenang-wenangan dan menimbulkan ketidakpastian

hukum. Segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum adalah benteng untuk

menghalangi kesewenang-wenangan.19 Notaris dapat berperan sebagai saksi dalam

proses peradilan, peranan Notaris sebagai saksi pada proses peradilan erat kaitannya

dengan substansi sumpah jabatanitu sendiri. Disatu sisi dengan adanya sumpah

jabatan Notaris yang didalamnya terkandung rahasia jabatan mengharuskan Notaris

untuk tidak memberi keterangan apapun mengenai akta, disisi lain pada kenyataannya

ketentuan rahasia jabatan dan hak ingkar ini diterobos dengan danya kepentingan

negara yang lebih tinggi dan besar serta adanya ketentuan eksepsional, sehingga

Notaris dalam berperan dalam proses peradilan.

Berangkat dari pembahasan mengenai prinsip mengenal pengguna jasa, tidak

ada ruginya bagi Notaris/PPAT untuk lebih hati-hati kedepannya dalam melakukan

transaksi dengan penghadapnya dalam upaya melakukan pencegahan dalam Tindak

Pidana Pencucian Uang berdasarkan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang

(TPPU) Nomor 8 Tahun 2010, dan untuk itu ada beberapa hal yang perlu dilakukan

oleh Notaris, yaitu:

19
Satjipto Rahardjo. Hukum dan Masyarakat. Bandung: Angkasa, 2004, hlm. 102

37
a. Kegiatan mengenali pengguna jasa yaitu sesuai Undang-Undang No.8 Tahun

2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

(TPPU) terdapat beberapa pengaturan mengenai kewajiban Pengguna jasa

seperti memberikan identitas dan informasi yang benar, sumber dana, dan

tujuan transasksi pihak lain tersebut.

b. Pengelolaan resiko yaitu Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (PMPJ)

atau penerapan Program Prinsip Mengenal Nasabah dan Anti Pencucian Uang

(APU PPT), merupakan bagian penting bagi manajemen risiko yang baik,

terutama dalam pengelolaan risiko reputasi, risiko operasi, risiko hukum dan

risiko konsentrasi, yang satu dengan lainnya saling berhubungan.

Dalam hal pengenalan tingkat resiko, hendaknya perlu dilakukan

pengelompokkan dan analisis terhadap identitas penghadap, profil penghadap, jumlah

transaksi, kegiatan usaha penghadap dan informasi lainnya yang dapat digunakan

untuk mengukur resiko penghadap. Jadi Rasio legis kewajiban Notaris/PPAT sebagai

pihak pelapor dalam adanya dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) bertujuan

untuk melindungi para pengemban profesi yang luhur ini. Indonesia adalah Negara

hukum yang berdasarkan Pancasila, dimana setiap warganya dituntut untuk turut

berperan serta dalam menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran, bahwa untuk

mencapai tujuan tersebut setiap Notaris/PPAT sebagai pengabdi dituntut untuk

memiliki tekad dalam menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran sebagai wujud

dari rasa tanggung jawab kepada negara, sebagai pejabat umum Notaris/PPAT

menegakkan hukum sesuai dengan profesinya dengan menyumbangkan tenaga dan

pikiran serta menjalankan tugas jabatan dengan amanah, jujur, mandi dan tidak

berpihak. Adanya Pasal 3 PP Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor

38
2. Peranan Notaris/PPAT sebagai Pihak Pelapor dalam Tindak Pidana Pencucian

Uang dalam kaitannya dengan kewajibannya menjaga kerahasiaan klien

Dalam Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang

memasukkan Notaris/PPAT dalam kategori pelapor berupaya sebagai bentuk

pencegahan penyalahgunaan terhadap oknum yang tidak bertanggung jawab terhadap

profesi mulia ini. Namun PP No. 43 Tahun 2015 tidak memberikan patokan yang

cukup jelas dan payung hukum aman bagi Notaris maupun PPAT terkait transaksi

keuangan yang mencurigakan seperti apa yang mewajibkan Notaris/PPAT membuat

laporan untuk melapor ke Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan

(PPATK), karena tujuan Notaris/PPAT dalam pengabdian kepada masyarakat yakni

untuk menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan serta mengupayakan terwujudnya

kepastian hukum. Padahal laporan tersebut berkaitan dengan besaran nilai transaksi.

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 telah mengecualikan kerahasiaan yang

harus dijaga Notaris terkait informasi yang diperoleh dari pengguna jasa dalam

menjalankan tugas jabatannya. Ditegaskan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris :

“dalam menjalankan jabatannya Notaris wajib merahasiakan segala sesuatu mengenai

Akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta

sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain”.

Bahwa aturan diatas jelas menegaskan terkait rahasia jabatan Notaris dapat

diberikan sebagai bentuk kesaksian atau keterangan apabila Undang-Undang

menentukan lain, akan tetapi ketentuan yang berlaku mengenai Notaris yang wajib

membuka rahasia jabatan bukan sebagai Undang-Undang melainkan Peraturan

Pemerintah. Jadi kesimpulan yang terdapat dalam permasalahan Notaris/PPAT

sebagai pihak pelapor dalam dugaan tindak pidana pencucian uang adalah belum

39
adanya payung hukum berupa Undang-Undang yang jelas untuk melindungi

pelaksana jabatan, sebagaimana telah diuraikan dalam Undang-Undang Jabatan

Notaris, oleh sebab itu seharusnya pemerintah khususnya Kementerian Hukum dan

HAM dan Badan Pertanahan Nasional membuat peraturan perundang undang guna

mencapai kepastian hukum terkait perlindungan hukum bagi Notaris/PPAT,

selanjutnya pelaksana jabatan dapat mengetahui dengan jelas aturan dan

mekanismenya sehingga tidak merugikan bagi Notaris/ PPAT yang bersangkutan dan

bagi organisasi sendiri.

40
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa Pengaturan Notaris dan

PPAT tidak disertai dengan ketentuan perlindungan hukum sebagai pihak pelapor dalam

Tindak pidana pencucian uang dirasa dirasa kurang tepat, karena demi menjamin

perlindungan hukum bagi pihak pelapor maka diperlukan kepastian hukum demi menjaga

keamanan dan kelancaran ketika menyampaikan pelaporan, pun juga demikian dengan

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan

dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo Permenkumham Nomor 9 Tahun

2017 tentang Penerapan prinsip mengenali pengguna jasa bagi Notaris, bahwa

sesungguhnya Notaris tidak berkewajiban untuk menggali kebenaran materiil kepada para

pengguna jasa, namun yang berwenang untuk hal tersebut adalah hakim di pengadilan.

B. Saran

Dalam penelitian ini sebagai saran adalah dalam rangka upaya perlindungan

hukum bagi Notaris oleh Majelis Kehormatan Notaris berupa pengawasan dan pemberian

sanksi serta harus sebagai gerda depan Notaris ketika berurusan dengan pihak berwenang

baik kepolisian maupun kejaksaan, Notaris tidak dapat sewenang-wenang dipanggil oleh

penyidik karena penyidik harus melalui beberapa tahapan untuk menghadirkan Notaris

sebagai saksi untuk dimintai keterangan, adapun prosedur yang wajib dilakukan oleh

41
pihak berwenang dengan cara mengirimkan surat permohonan pemanggilan Notaris

kepada Majelis Kehormatan Notaris.

42
DAFTAR PUSTAKA

Andasasmita, Notaris Selayang Pandang, Bandung: Penerbit Alumni, 1983

Abdul Ghofur, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum dan Etika,

Yogyakarta:UII,2009

GHS. L. Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Cet 3, Jakarta: Penerbit Erlangga, 1983

Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik,

Cet 2, Bandung :PT. Rafika Aditama,2009

Habib Adjie..Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) sebagai Unifikasi Hukum

Pengaturan Notaris. Jakarta: Renvoi, 2005

Tan Thong Kie. Studi Serba Serbi Praktek Notaris. Jakarta: IchtiarBaru Van Hoeve, 2000

Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,

2006

Pingkan Sundah, TinjauanYuridis Terhadap Tidak Dilaksanakannya Kewajiban Jabatan

Notaris Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014, Jurnal:

ejournal.unsrat.ac.id,

Satjipto Rahardjo. Hukum dan Masyarakat. Bandung: Angkasa, 2004

43

Anda mungkin juga menyukai