Anda di halaman 1dari 38

DAFTAR ISI

BAB 1..................................................................................................................................... 2
PENDAHULUAN.................................................................................................................... 2
A. LATAR BELAKANG MASALAH.................................................................................................2
B. RUMUSAN MASALAH.............................................................................................................5
C. TUJUAN PENELITIAN..............................................................................................................5
D. MANFAAT PENELITIAN...........................................................................................................5
BAB II..................................................................................................................................... 7
TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................................... 7
A. PERJANJIAN...........................................................................................................................7
1. Syarat Sah Perjanjian...............................................................................................7
2 Asas-asas Perjanjian..............................................................................................10
3 Unsur-unsur Perjanjian..........................................................................................15
4 Akibat Perjanjian yang Sah...................................................................................18
5 Pengertian Perjanjian Kerja Sama......................................................................19
B. PRESTASI DAN WANPRESTASI............................................................................................19
1. Prestasi.......................................................................................................................19
2. Wanprestasi..............................................................................................................24
C. PERJANJIAN KERJA SAMA ANTARA PEMERINTAH KOTA DAN EVENT ORGANIZER
SWASTA....................................................................................................................................28
1. Pengertian Event Organizer.......................................................................................28
2. Pemerintah Kota Makassar........................................................................................30
BAB III.................................................................................................................................. 34
METODE PENELITIAN........................................................................................................ 34
A. LOKASI PENELITIAN.............................................................................................................34
B. JENIS DAN SUMBER DATA..................................................................................................34
C. TEKNIK PENGUMPULAN DATA............................................................................................34
D. ANALISIS DATA....................................................................................................................35
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................ 36
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial. Hal ini pulalah

yang menjadikan manusia selalu memerlukan bantuan orang lain dalam setiap

hal dalam kehidupannya. Salah satunya ialah dalam melaksanakan sesuatu

terkhusus pada pekerjaannya.

Karena hal tersebut lah manusia melakukan kerja sama, seiring waktu

“kerjasama” semakin berkembang antar manusia. Salah satunya ialah dengan

adanya perjanjian dalam setiap lahirnya kerjasama. Perjanjian dan Kontrak lahir

guna mengikat, dan menjelaskan mengenai hak dan kewajiban dari tiap pihak

yang melaksanakan perjanjian tersebut.

Ditambah dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang

mengakibatkan banyaknya perubahan aspek kehidupan masyarakat seperti

budaya, ekonomi, politik, dan Pendidikan tidak terkecuali bidang jasa. Semakin

maju teknologi yang ada, memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk

mempermudah segala kegiatan mereka. Dengan majunya teknologi dan ilmu

pengetahuan tersebut, maka semakin mudah pula seseorang atau badan

menggunakan bantuan jasa dari pihak lain. Hal-hal tersebut sering terjadi dalam

kehidupan bermasyarakat seperti contoh kasus yang diangkat oleh penulis.

Pada bidang hukum perdata, perjanjian merupakan salah satu hal yang

sangat penting dan dibutuhkan dalam melakukan hubungan atau ikatan hukum.
Perjanjian diatur pula dalam BW (Burgerlijk Wetboek). Ketentuan-ketentuan

mengenai perjanjian mengacu pada pasal 1313 sampai dengan 1351 BW. Dalam

pasal-pasal tersebut mengurai tentang ketentuan-ketentuan umum, perikatan-

perikatan untuk memberikan sesuatu, perikatan-perikatan untuk membuat

sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, syarat-syarat yang diperlukan untuk sah nya

perjanjian-perjanjian, akibat perjanjian-perjanjian, dan penafsiran perjanjian-

perjanjian.

Secara sederhana, pengertian perjanjian dijelaskan pada pasal 1313 BW

yang berbunyi:

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Pasal ini menerangkan secara sederhana tentang pengertian perjanjian

yang menggambarkan tentang adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri.

Pengertian ini sebenarnya tidak begitu lengkap, tetapi dengan pengertian ini,

sudah jelas bahwa perjanjian itu terdapat satu pihak mengikatkan diri terhadap

pihak lain.

Pengertian ini seharusnya menerangkan juga tentang adanya dua pihak

yang saling mengikatkan diri tentang sesuatu hal. Artinya kalau hanya disebutkan

bahwa satu pihak mengikatkan diri kepada pihak lain, maka tampak seolah-olah

yang dimaksud hanyalah perjanjian sepihak, tetapi kalua disebutkan juga tentang

adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri, maka pengertian perjanjian ini

meliputi baik perjanjian sepihak maupun perjanjian dua pihak.1

Dalam perjanjian berlaku asas kebebasan berkontrak, artinya pihak-pihak

bebas untuk membuat kontrak/perjanjian apapun, baik yang sudah ada

pengaturannya maupun yang belum ada pengaturannya dan bebas menentukan


1
Prof. Dr. Ahmadi Miru, S.H., M.S. dan Sakka Pati, S.H., M.H, Hukum Perikatan (Penjelasan
Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2016, hlm. 63-64
sendiri isi kontrak. Dalam buku III KUHPerdata yang menganut sistem terbuka

berkedudukan sebagai hukum pelengkap dalam arti ketentuan-ketentuan dari

Buku III KUHPerdata tersebut berlaku apabila para pihak dalam perjanjian tidak

membuat ketentuan sendiri.2

Adapun bentuk perjanjian yang biasanya hadir pada kerja sama seperti

yang diangkat oleh penulis dalam hal ini pemerintah kota dengan pihak swasta

adalah surat perjanjian kerja sama atau lebih akrab dengan istilah SPK (Surat

Perintah Kerja. SPK sendiri adalah sebuah surat perjanjian yang dibuat pihak

pemerintah kota, yang nantinya akan digunakan oleh investor dan pengelola,

sebagai bukti tertulis yang berkekuatan hukum dan mengikat kedua belah pihak.

Lebih spesifik, surat perjanjian kerja sama berisi clausul kesepakatan

atau perjanjian tertulis antara dua belah pihak atau lebih yang mengurai tentang

hak dan kewajiban masing-masing pihak. Surat ini bersifat mengikat pihak-pihak

yang bekerja sama untuk melakukan dan tidak melakukan aktifitas tertentu.

Dalam dunia bisnis, surat atau dokumen seperti ini lebih akrab dengan

sebutan Memorandum of Understanding atau mou yang berisi tentang deskripsi

atau uraian dari sebuah proyek yang akan dilaksanakan.

Asas kebebasan berkontrak tetap memiliki Batasan, salah satunya

tertuang dalam pasal 1337 BW3

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, penulis tertarik untuk

melakukan penelitian yang hasilnya akan dituangkan dalam suatu karya tulis

ilmiah dengan judul, “PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJA SAMA ANTARA

PEMERINTAH KOTA MAKASSAR DENGAN EVENT ORGANIZER SWASTA

2
Hananto Praseto, Pembaharuan Hukum Perjanjian Sportenter Tainment Berbasis Nilai Keadilan
(Jurnal), 2017

3
Rosa Agustina, Guru Besar Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Indonesia
DALAM PENGELOLAAN PROGRAM KERJA DINAS PARIWISATA KOTA

MAKASSAR”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka permasalahan yang akan dikaji

sebagai berikut:

1. Apa saja syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam melakukan perjanjian

antara pemerintah kota makassar dengan event organizer swasta dalam

pengelolaan program kerja dinas pariwisata kota makassar?

2. Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum terhadap pihak pihak yang

melakukan perjanjian terkait kerja sama antara pemerintah kota makassar

dengan event organizer swasta dalam pengelolaan program kerja dinas

pariwisata kota makassar?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian berdasarkan rumusan masalah diatas ialah

sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui syarat syarat yang harus dipenuhi dalam melakukan

perjanjian antara pemerintah kota makassar dengan event organizer swasta

dalam pengelolaan program kerja dinas pariwisata kota makassar.

2. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap pihak pihak yang

melakukan perjanjian kerja sama antara pemerintah kota makassar dengan

event organizer swasta dalam pengelolaan program kerja dinas pariwisata

kota makassar.

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian diatas, maka kegunaan penelitian ini adalah:


1. Manfaat teoritis adalah untuk pengembangan ilmu hukum khususnya

mengenai Pelaksanaan perjanjian kerja sama antara pemerintah kota

makassar dengan event organizer swasta dalam pengelolaan program kerja

dinas pariwisata kota makassar.

2. Manfaat praktis adalah untuk dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi

siapa saja, dan sebagai bahan informasi kepada peneliti lainnya dalam

penyusunan suatu karya ilmiah yang ada kaitannya dengan judul diatas.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perjanjian

Buku III KUH Perdata mengatur tentang Verbintenissenrecht, dimana

tercakup pula istilah Overeenkomst. Dikenal dari 3 terjemahan Verbentenis, yaitu

perikatan, perutangan dan perjanjian, sedangkan Overeenkomst ada 2

terjemahan, yaitu perjanjian dan persetujuan. Pengertian dari perjanjian itu

sendiri, diatur dalam Buku III dan Bab II KUH Perdata. Pasal 1313 KUH Perdata

berbunyi:

“Suatu perjanjian (persetujuan) adalah satu perbuatan dengan mana satu orang,
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.4

1. Syarat Sah Perjanjian

Syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata atau

Pasal 1365 buku IV NBW (BW Baru) Belanda. Pasal1320 KUHPerdata

menentukan empat syarat sahnya perjanjian, antara lain :

1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak;


2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum;
3. Adanya objek, dan;
4. Adanya kausa yang halal.

Keempat hal itu, dikemukakan berikut ini :

. Kesepakatan (Toesteming/Izin) Kedua Belah Pihak

Syarat yang pertama sahnya kontrak adalah kesepakatan atau

konsensus para pihak. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1)

KUHPerdata. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian

pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya.

Yang sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat
4
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustitia, Yogyakarta, 2009, hlm. 41.
dilihat/diketahui orang lain. Ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan

kehendak, yaitu dengan:

a. Bahasa yang sempurna dan tertulis;


b. Bahasa yang sempurna secara lisan;
c. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan.
Karena dalam kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan
dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak
lawannya;
d. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;
e. Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan.

Pada dasarnya, cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak, yaitu

dengan bahasa yang sempurna secara lisan dan secara tertulis. Tujuan

pembuatan perjanjian secara tertulis adalah agar memberikan kepastian

hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna, di kala timbul

sengketa di kemudian hari.

2 Kecakapan Bertindak

Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk

melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang

akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan

perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang

untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh

Undang-Undang. Orang yang cakap dan berwenang untuk melakukan

perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa. Ukuran kedewasaan

adalah telah berumur 21 tahun dan atau sudah kawin. Orang yang tidak

berwenang untuk melakukan perbuatan hukum

a. Anak di bawah umur (minderjarigheid);


b. Orang yang ditaruh di bawah pengamuan, dan
c. Istri (Pasal 1330 KUHPerdata). Akan tetapi dalam perkembangannya
istri dapat melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 31 UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. SEMA No. 3 Tahun 1963.
. Adanya Objek Perjanjian (Onderwerp der Overeenskomst)

Yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian).

Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi

hak kreditur. Prestasi ini terdiri dari perbuatan positif dan negatif. Menurut

Pasal 1234 KUHPerdata, Prestasi terdiri dari memberikan sesuatu, berbuat

sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu.5

Suatu objek tertentu atau prestasi tertentu merupakan objek perjanjian,

prestasi yang wajib dipenuhi. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-

kurangnya dapat ditentukan. Kejelasan mengenai objek perjanjian adalah

untuk memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban pihak-pihak. Jika

objek perjanjian atau prestasi itu kabur, tidak jelas, sulit, bahkan tidak

mungkin dilaksanakan, perjanjian itu batal (nietig,void).6

. Adanya Causa Yang Halal (Geoorloofde Oorzaak)

Dalam Pasal 1320 KUHPerdata tidak dijelaskan pengertian oorzaak

(causa yang halal). Di dalam Pasal 1337 KUHPerdata hanya disebutkan

causa yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan

dengan Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

Syarat yang pertama dan kedua disebut syarat subjektif, karena

menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat

ketiga dan keempat disebut syarat objektif, karena menyangkut objek

perjanjian. Apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi maka

perjanjian itu dapat dibatalkan. Artinya, bahwa salah satu pihak dapat

mengajukan kepada pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang

disepakatinya. Tetapi apabila para pihak tidak ada yang keberatan maka
5
Salim HS. 2015. Hukum Kontrak (buku kesebelas). Jakarta: Sinar Grafika. hlm.34
6
Muhammad, Abdulkadir. 2014. Hukum Perdata Indonesia. Bandung : PT. Citra AdityaBakti. hlm.
302
perjanjian itu tetap dianggap sah. Syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi

maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya, bahwa dari semula perjanjian

itu dianggap tidak ada.7

2Asas-asas Perjanjian

a. Asas Kebebasan Berkontrak

Hukum perjanjian di Indonesia menganut sistem terbuka, hal ini berarti

hukum memberikan kebebasan untuk mengadakan perjanjian yang

dikehendaki asal tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban

umum dan kesusilaan.8 Dengan diaturnya sistem terbuka, maka hukum

perjanjian menyiratkan asas kebebasan berkontrak yang dapat disimpulkan

dari Pasal 1338 (1) KUHPerdata yang menjelaskan bahwa

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-


undang bagi mereka yang membuatnya.”

Dengan demikian asas konsensualisme yang terdapat dalam Pasal

1320 KHUPerdata mengandung arti “kemauan” (will) para pihak untuk saling

mengingatkan diri. Asas konsensualisme mempunyai hubungan yang sangat

erat dengan asas kebebasan berkontrak. Kebebasan berkontrak adalah

suatu asas yang sangat penting dalam suatu perjanjian. Kebebasan ini

adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia

b. Asas Konsensualisme

Arti luas konsensualisme ialah pada dasarnya perjanjian dan

perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik

tercapainya kesepakatan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah

sah apabila sudah sepakat mengenai hal yang pokok dan tidaklah

7
Salim HS. 2015. Op.Cit. Hlm.34-35
8
A. Qirom Syamsudin Meliala, Pokok-pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya,
Liberty, Yogyakarta, 2004, hlm. 9
diperuntukan suatu formalitas. Dikatakan juga, bahwa perjanjian-

perjanjian itu pada umumnya “konsensuil”.9 Ada kalanya undang-undang

menetapkan, bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diharuskan

perjanjian itu dilakukan secara tertulis (perjanjian “perdamaian”) atau

dengan akta notaris (perjanjian penghibahan barang tetap), tetapi hal

yang demikian itu merupakan suatu kekecualian. Yang lazim, bahwa

perjanjian itu sudah sah dalam arti sudah mengikat, apabila sudah

tercapai kesepakatan mengenai hal-hal yang pokokdari perjanjian itu.

Jual beli, tukar menukar, sewa-menyewa adalah perjanjian yang

konsensuil

Asas Konsensualisme merupakan “roh” dari suatu perjanjian. Hal ini

tersimpul dari kesepakatan para pihak, namun demikian pada situasi

tertentuterdapat perjanjian yang tidak mewujudkan kesepakatan yang

sesungguhnya. Hal ini disebabkan adanya kecacatan kehendak

(wilsgebreke) yang mempengaruhi timbulnya perjanjian. Dalam BW cacat

kehendak meliputi tiga hal, yaitu :

5 Kesesatan atau dwaling.


5 Penipuan atau bedrog.
5 Paksaan atau dwang

c. Asas Kepercayaan

Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain,

menumbuhkan kepercayaan diantara kedua belah pihak itu bahwa satu

sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi

prestasinya dibelakang hari. Tanpa adanya kepercayaan itu, maka

perjanjian tidak mungkin diadakan oleh kedua belah pihak.

9
Subekti, Hukum Perjanjian, Op.cit, hlm. 15
Dengan kepercayaan ini, kedua belah pihak mengikatkan diri dan

keduanya itu mempunyai kekuatan hukum mengikat sebagai undang-

undang.

d. Asas Kekuatan Mengikat

Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 (1) KUHPerdata yang menjelaskan

bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-

undang bagi mereka yang membuatnya. Sebenarnya dimaksudkan oleh

Pasal tersebut, tidak lain dari pernyataan bahwa tiap perjanjian mengikat

kedua belah pihak,10 yang tersirat pula ajaran asas kekuatan mengikat

yang dikenal juga adagium-adagium “Pacta sunt servanda” yang berarti

janji yang mengikat.

Di dalam suatu perjanjian mengandung suatu asas kekuatan

mengikat. Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata

terbatas pada yang diperjanjikan, akan tetapi terhadap beberapa unsur lain

sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral.

Demikianlah sehingga asas moral, kepatuhan dan kebiasaan yang mengikat

para pihak.

e. Asas Kepastian Hukum

Asas ini menetapkan para pihak dalam persamaan derajat tidak ada

perbedaan, walaupun ada perbedaan warna kulit, bangsa, kekayaan,

kekuasaan, jabatan dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat

adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua belah pihak untuk

menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan Yang Maha

Esa.

f. Asas Keseimbangan
10
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, P.T. Intermasa, Jakarta, 2004, hlm. 127
Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan

perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas

persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika

diperlukan dapat menuntut perlunasan prestasi melalui kekayaan debitur,

namun debitur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu

dengan itikad baik. Dapat dilihat disini kedudukan kreditur yang kuat

seimbang dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, sehingga

kedudukan kreditur dan debitur seimbang.11

g. Asas Kepastian Hukum

Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum.

Kepastian ini terungkap dari kekuasaan mengikat perjanjian tersebut yaitu

sebagai undang-undang bagi para pihak.

h. Asas Moral

Asas ini terlihat dalam perikatan wajar, dimana suatu perbuatan

sukarela dari seseorang menimbulkan hak baginya untuk membuat

kontra prestasi dari pihak debitur. Juga hal ini terlihat dari

zaakwaarneming, dimana seseorang yang akan melakukan suatu

perbuatan dengan sukarela (moral) yang bersangkutan mempunyai

kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya

juga, asas ini terdapat dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Faktor-faktor yang

memberikan motivasi pada yang bersangkutan yang melakukan berbuatan

hukum itu berdasarkan pada kesusilaan, sebagai panggilan dari hati

nuraninya.

11
Mariam Firdaus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009,
hlm, 88
i. Asas Kepatutan

Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Asas kepatutan

disini berkaitan dengan kekuatan mengenai isi dari perjanjian.

j. Asas Kebiasaan

Asas ini diatur dalam Pasal 1339 jo Pasal 1347 KUHPerdata, yang

dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya

mengikat untuk hal-hal yang diatur secara tegas, tetapi juga hal-hal yang

dalam keadaan dan kebiasaan yang diikuti

k. Asas Itikad Baik

Pasal 1338 ayat (3) BW menyatakan bahwa:

“perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan itikad

baik adalah:

“Kepercayaan, keyakinan yang teguh, maksud, kemauan (yang baik)”.

Dalam Kamus Hukum Fockema Andrea dijelaskan bahwa itikad baik (te

goeder trouw: good fith) adalah:

“Maksud, semangat yang menjiwai para perserta dalam suatu


perbuatan hukum atau tersangkut dalam hubungan hukum”.

Wirdjono Prodjodikoro memberikan batasan itikad baik dengan

istilah “dengan jujur” atau “secara jujur”.12

Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik maksudnya

perjanjian itu dilaksanakan menurut kepatutan dan keadilan. Pengertian

itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) BW bersifat dinamis, artinya dalam

melaksanakan perbuatan ini kejujuran harus berjalan dalam hati sanubari

seorang manusia. Jadi selalu mengingat bahwa manusia sebagai anggota

12
Mariam Firdaus Badrulzaman, Ibid, hlm. 134.
masyarakat harus jauh dari sifat merugikan pihak lain, atau menggunakan

kata-kata secara membabi buta pada saat kedua belah pihak membuat

suatu perjanjian. Kedua belah pihak harus selalu memperhatikan hal-hal ini,

dan tidak boleh menggunakan kelalaian pihak lain yang menguntungkan diri

pribadi.

Pemahaman substansi itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) BW tidak

harus diinterpretasikan secara gramatikal, bahwa itikad baik hanya muncul

sebatas pada pelaksaan perjanjian.Itikad baik harus dimaknai dalam seluruh

proses perjanjian, artinya itikad baik harus melandasi hubungan para pihak

pada tahap pra perjanjian, perjanjian dan pelaksanaan perjanjian. Dengan

demikian fungsi itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) BW mempunyai sifat

dinamis melingkupi keseluruhan proses perjanjian tersebut

3 Unsur-unsur Perjanjian

Suatu perjanjian apabila diuraikan unsur-unsur yang ada didalamnya,

maka unsur-unsur tersebut dapat dikelompokkan dalam beberapa kelompok

adalah sebagai berikut :

Unsur Esensialia

Unsur esensialia dalam perjanjian mewakili ketentuan-kekentuan berupa

prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak, yang

mencerminkan sifat dari perjanjian tersebut, yang membedakan secara prinsip

dari jenis perjanjian lainya. Unsur essensialia ini pada umumnya dipergunakan

dalam memberikan rumusan, definisi atau pengertian dari suatu perjanjian. 13

13
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2003, Perikatan yang lahir dari perjanjian, Jakarta, Raja
Grafindo Persada, hlm. 85
Dari sekian banyak perjanjian yang diatur diluar Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, yang acapkali sering disebut dengan perjanjian tidak bernama, dalam

hal ini dapat digolongkan kedalam tiga golongan besar yaitu :14

a. Perjanjian yang secara prinsip masih mengandung unsur esensilia dari salah

satu perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata, misalnya perjanjian

pemberian kredit oleh perbankan, yang mengandung unsur-unsur

esensialia dari perjanjian pinjam meminjam. Terhadap jenis perjanjian ini,

makanya ketentuan yang berlaku didalam KUHPerdata, sejauh perjanjian

tersebut tidak boleh disimpangi dan atau mengandung ketentuan-ketentuan

yang tidak diatur secara khusus atau berada oleh para pihak,

b. Perjanjian yang mengandung kombinasi dari unsur-unsur esensialia dari dua

atau lebih perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata, misalnya perjanjian

sewa-beli, yang mengandung baik unsur-unsur esensialia jual beli maupun

sewa menyewa yang diatur dalam KUHPerdata. Untuk perjanjian-perjanjian

jenis ini, maka kita harus jeli untuk melihat unsur esensialia mana yang

paling dominan, yang sebenarnya menjadi tujuan diadakan perjanjian ini,

untuk kemudian dapat menentukan secara pasti ketentuan-ketentuan

memaksa mana yang diatur dalam KUHPerdata yang dapat dan harus

diterapkan untuk tiap-tiap perjanjian, serta ketentuan mana dalam

KUHPerdata yang boleh disimpangi serta diatur secara berbeda oleh para

pihak.

c. Perjanjian yang sama sekali tidak mengandung unsur-unsur esensialia dari

perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata, seperti misalnya perjanjian sewa

guna usaha dengan hak opsi atau yang lebih populer dengan nama

(Financial Lease). Meskipun dalam perjanjian sewa guna usaha dengan hak
14
Ibit hlm hlm. 87-89
opsi ini, diatur mengenai masalah sewa menyewa, dan opsi untuk membeli

kebendaan yang disewa guna usahakan dengan hak opsi, namun jika dilihat

dari sifat transaksi sewa guna usaha secara keseluruhan, transaksi ini tidak

mengandung unsur sewa menyewa maupun jual beli, melainkan lebih

merupakan suatu bentuk pembiyaan diluar lembaga perbankan. Jadi dalam

hal ini harus dapat ditentukan terlebih dahulu unsur-unsur esensialia dari

perjanjian ini, baru kemudian dapat kita kembangkan untuk mencari dan

menentukan secara tepat kapan wanprestasi terjadi, apa akibat-akibat

wanprestasi tersebut, serta bagaimana menegakkan kembali kewajiban

debitor yang sebenarnya terhadap kreditor tanpa merugikan kepentingan

kreditor.

Unsur Naturalia

Unsur naturalia ini adalah unsur yang lazimnya melekat pada perjanjian,

yaitu unsur yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam suatu perjanjian

secara diam-diam dengan sendirinya dianggap ada dalam perjanjian karena

sudah merupakan pembawaan atau melekat pada perjanjian. 15 Unsur naturalia

unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu, setelah unsur essesialia

nya diketahui secara pasti misalnya dalam perjanjian yang mengandung unsur

essensialia jual-beli, pasti terdapat unsur naturalia berupa kewajiban dari

penjual untuk menanggung kebendaan yang dijual dari cacat-cacat

tersembunyi.

Ketentuan ini tidak dapat disimpangi oleh para pihak, karena sifat jual beli

menghendaki hal yang demikian. Masyarakat tidak akan mentolerir suatu jual

15
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Universitas Atma Jaya Yogyakarta,
2010, hlm 110-111
beli dimana penjual tidak mau menanggung cacat-cacat tersembunyi dari

kebendaan yang dijual olehnya.16

Unsur Aksidentalia

Unsur aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang

merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh

para pihak, yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara

bersama-sama oleh para pihak. Dengan demikian maka unsur ini pada

hakekatnya bukan merupakan suatu bentuk prestasi yang harus dilaksanakan

atau dipenuhi oleh para pihak17

4 Akibat Perjanjian yang Sah

Akibat hukum dari dibuatnya perjanjian adalah:

a. Berlaku Sebagai Undang-Undang

Perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang

mengadakan perjanjian artinya bahwa perjanjian yang dibuat mempunyai

kekuatan mengikat dan memaksa serta memberi kepastian hukum bagi

pihak-pihak yang membuat perjanjian.

b. Tidak Dapat Ditarik Kembali Secara Sepihak

Karena perjanjian merupakan hasil kesepakatan kedua belah pihak maka

apabila ingin ditarik kembali atau dibatalkan harus disetujui oleh kedua belah

pihak juga.

c. Pelaksanaan Dengan Itikad Baik

16
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op Cit, hlm. 88-89
17
Ibid hlm. 89-90.
Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan baik (Pasal 1338 ayat 2

KUHPerdata). Yang dimaksud dengan itikad baik tersebut adalah ukuran

objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian yang harus sesuai dengan

norma kepatutan dan kesusilaan.

5 Pengertian Perjanjian Kerja Sama

Pengertian Perjanjian Kerjasama dapat kita lihat yaitu Suatu perbuatan

dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang

atau lebih hal ini tertuang pada Pasal 1313 KUHPerdata. Suatu perjanjian antara

dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk berbuat atau tidak

berbuat suatu hal yang khusus.18

B. Prestasi dan Wanprestasi

1. Prestasi

Yang dimaksud dengan prestasi (performance) dari suatu perjanjian adalah

pelaksanaan terhadap hal-hal yang telah diperjanjikan atau yang telah ditulis

dalam suatu perjanjian oleh kedua belah pihak yang telah mengikatkan diri untuk

itu. Jadi, memenuhi prestasi dalam perjanjian adalah ketika para pihak

memenuhi janjinya.19

Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 1234 KUH Perdata, maka prestasi

dari suatu perjanjian terdiri dari :

1.      Memberikan sesuatu

2.      Berbuat sesuatu

3.      Tidak berbuat sesuatu20

18
Black’s LawDictionary
19
Menurut Dr. Munir Fuady, S.H., M.H., LL.M. .Konsep Hukum Perdata,hlm. 207
20
Menurut J.Satrio S.H. Hukum Perikatan Perikatan Pada Umumnya,hlm. 50
Dengan demikian kita dapat katakan, bahwa semua perikatan sebagai

yang dikenal oleh KUHPerdata dapat kita golongkan ke dalam salah satu dari

ketiga kelompok perikatan tersebut diatas.

Bentuk-bentuk atau wujud Prestasi

1. Perikatan untuk memberikan sesuatu

Yang menjadi ukuran disini adalah objek perikatannya, wujud prestasinya,

yaitu berupa suatu kewajiban bagi debitur untuk memberikan sesuatu kepada

kreditur. Arti “memberikan sesuatu” kiranya akan menjadi jelas, kalau kita

meninjaunya dengan hubungan obligator selalu perlu diikuti dengan

levering/penyerahan, yang berupa memberikan sesuatu, baik berupa benda

bertubuh maupun tidak bertubuh. Hubungan obligatoir dapat muncul baik atas

dasar perjanjian maupun undang-undang.

Sebagai contoh dari perikatan untuk memberikan sesuatu dapat kita

kemukakan kewajiban penjual untuk menyerahkan benda objek jual beli. Asal

diingat, bahwa kewajiban untuk memberikan sesuatu tidak harus berupa

penyerahan untuk dimiliki oleh yang menerima, tetapi termasuk juga didalamnya

kewajiban orang yang menyewakan untuk menyerahkan objek sewa kepada si

penyewa.

Ada diantara sarjana yang menganggap kewajiban penyerahan benda

menurut jenis sebagai perikatan untuk melakukan sesuatu,namun para sarjana

pada umumnya menanggapnya tetap sebagai perikatan untuk memberikan

sesuatu

2. Perikatan untuk melakukan sesuatu

Pembuat undang-undang lalai untuk memberikan kepada kita suatu

patokan untuk membedakan antara perikatan untuk memberikan dan untuk


melakukan sesuatu, karena “memberikan sesuatu” sebenarnya juga “melakukan

sesuatu”. Itulah sebabnya ada yang mengusulkan pembagian antara perikatan

untuk “memberikan sesuatu” dan perikatan untuk “melakukan atau tidak

melakukan tindakan yang lain” yang lain dari pada memberikan sesuatu. Orang

yang menutup perjanjian pemborongan atau untuk melakukan sesuatu pekerjaan

tertentu, memikul kewajiban perikatan untuk melakukan sesuatu, demikian pula

kewajiban debitur dalam suatu perjanjian pengangkutan.

3. Perikatan untuk tidak melakukan sesuatu

Di sini kewajiban prestasinya bukan sesuatu yang bersifat aktif, tetapi

justru sebaliknya, bersifat pasif, yang dapat berupa tidak berbuat sesuatu atau

membiarkan sesuatu berlangsung. Seorang majikan ada kalanya dalam

perjanjian dengan buruhnya, sengaja mencantumkan klausula, agar sesudah

berakhirnya hubungan kerja si buruh dalam jangka waktu tertentu-tidak bekerja

pada perusahaannya yang menghasilkan/memproduksi produk-produk yang

sama (yang demikian terkenal dengan sebutan “concurrentie beding” , vide pasal

1602x KUHPerdata). Perjanjian seperti itu menimbulkan perikatan yang berisi

kewajiban pada si buruh untuk tidak melakukan sesuatu, yang dalam hal ini

berupa “tidak bekerja pada perusahaan lain” yang menghasilkan produk sejenis

dengan yang dihasilkan oleh perusahaan dengan siapa ia menutup perjanjian itu.

Di samping itu juga ada perikatan yang berkewajiban untuk tidak

melakukan sesuatu, yang mengambil wujud, untuk membiarkan suatu keadaan

berlangsung.

Contoh yang sering muncul dalam praktek.

Pada perjanjian pendirian perseroan, didalamnya biasanya dicantumkan

conccurentie-beding, yang berbunyi sebagai berikut :


“Selama berlangsungnya Perseroan ini,para persero ,tanpa persetujuan para
pesero yang lain,dilarang untuk menjalankan jabatan lain selain daripada
sebagai advokat dan pengacara, melakukan usaha atau memangku jabatan
bebas (onbezoldigde ambtenaar). Persero yang melanggar ketentuan ini, wajib
untuk membayar kepada kawan perseronya yang lain, uang denda yang dapat
ditagih secara seketika dan sekaligus sebesar Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah)”21

Sifat Prestasi

a. Prestasi Tertentu

Prestasi itu harus tertentu atau paling tidak dapat ditentukan, karena

kalau tidak, bagaimana kita bisa menilai apakah debitur telah memenuhi

kewajiban prestasinya dan apakah kreditur sudah mendapat sepenuhnya apa

yang memang menjadi haknya? Prestasi tersebut bisa berupa kewajiban untuk

menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.

Karena Perjanjian berdasarkan pasal 1320 dan selanjutnya, harus

memenuhi syarat-syarat tertentu, maka perikatan yang lahir dari perjanjian

seperti itu tentunya juga telah memenuhi syarat tersebut. ”Salah satu syaratnya

adalah hal tertentu” (een bepaalde onderwerp), yang maksudnya tidak lain

adalah bahwa objek perikatan, yaitu prestasi dan sehubungan dengan itu, juga

obyek dari prestasi atau zaaknya harus tertentu, sedang mengenai jumlahnya,

asal nantinya “dapat ditentukan atau dihitung”. Kalau dipenuhi syarat tersebut,

maka dianggaplah bahwa objek prestasinya sudah “tertentu”. Ketentuan tentang

obyek prestasi “tertentu” hanya mempunyai kepentingan praktis pada perikatan

yang lahir dari perjanjain saja (pasal 1320 sub 3 dan 1333), karena pada

perikatan-perikatan yang lahir dari undang-undang, undang-undang sendiri

sudah menentukan apa itu prestasinya dan tentunya sudah “tertentu”.

Harus diakui, bahwa in abstracto sukar bagi kita untuk secara pasti

menetapkan batas-batas untuk menentukan, yang bagaimana yang dikatakan


21
Ibid. Menurut J.Satrio S.H. Hukum Perikatan Perikatan Pada Umumnya,hlm. 50-53
“tertentu” dan bagaimana yang “tak tertentu”. Yang pasti kalau prestasinya sama

sekali tidak tertentu di sana tidak ada perikatan. Perikatan untuk membangun

rumah tanpa penjelasan lebih lanjut tidak mempunyai kekuatan apa-apa. Orang

tidak mengetahui dimana harus dibangun, modelnya seperti apa, besarnya

seberapa dan lain-lain. Sebaliknya juga tidak disyaratkan, bahwa prestasi itu

harus sudah ditentukan secara rinci dalam semua seginya. Bahwa semula

prestasi itu “belum tertentu” tidak apa-apa, karena syaratnya juga asal kemudian

dapat ditentukan (bepaaldbaar bukan bepald). Penegasannya lebih lanjut yang

membuat prestasi menjadi “tertentu” bisa para sendiri, bisa juga pihak ketiga

(pasal 1465), bisa juga Keputusan Hakim (pasal 1356, 1601 W), atau oleh

keadaan lain, misalnya pada jual beli dengan ketentua harga pasar pada saat

penyerahan.

Selanjutnya ada asas yang berlaku disini, yaitu bahwa pihak kreditur

mempunyai kepentingan atas prestasi tersebut. Hal ini adalah sesuai dengan

tujuan hukum sendiri yang tidak lain adalah pengaturan kepentingan.

b. Tidak disyaratkan bahwa prestasi harus mungkin dipenuhi

Memang rasanya adalah logis bahwa prestasi tersebut harus sesuatu

yang mungkin untuk dipenuhi, kalau tidak tentunya perikatan tersebut adalah

Batal. Namun apa ukuran "tidak mungkin" dipenuhi? tidak mungkin untuk siapa?

Atas dasar orang itu lalu orang diwaktu dulu membedakan antara obyektif tidak

mungkin dan subjektif tidak mungkin. Dikatakan bahwa prestasinya obyektif tidak

mungkin, kalau siapun berkedudukan si debitur dalam perikatan tersebut tidak

mungkin untuk memenuhi kewajiban itu. Umpamanya saja kewajiban untuk

menyerahkan matahari. Pada yang subyektif tidak mungkin,orang

memperhitungkan akan diri/subyek debitur. Debitur yang bersangkutan tidak


mungkin untuk memenuhi kewajibannya, umpama saja si lumpuh akan

membawa mobil (menjadi sopir) kreditur ke Semarang

c. Prestasi yang halal

Sebagai nanti akan dibicarakan lebih lanjut, perikatan lahir dari adanya

perjanjian atau undang-undang. Karena untuk sahnya perjanjian disyaratkan

bahwa ia tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan

ketertiban umum (pasal 1337 jo pasal 23 A.B), maka perikatan pun tidak mungkin

mempunyai isi prestasi yang dilarang oleh undang-undang, sudah tentu tidak

mungkin berisi suatu kewajiban yang terlarang.22

2. Wanprestasi

Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban

sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur

dengan debitur.23 Wanprestasi atau tidak dipenuhinya janji dapat terjadi baik

karena disengaja maupun tidak disengaja24

Seorang debitur dikatakan lalai, apabila ia tidak memenuhi kewajibannya

atau terlambat memenuhinya tetapi tidak seperti yang telah diperjanjikan.25

Wanprestasi terdapat dalam pasal 1243 KUHPerdata, yang menyatakan

bahwa:

“Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan,
barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi
perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau
dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau
dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya”.26

22
Ibid. Menurut J.Satrio S.H. Hukum Perikatan Perikatan Pada Umumnya, hlm. 28-32
23
Salim HS,Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW),(Jakarta: 2008), hlm. 180.
24
Ahmadi Miru,Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Jakarta:Rajawali Pers,2007), hlm.
74
25
Subekti,Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,(Jakarta:PT. ArgaPrinting, 2007), hlm.146
26
Ahmadi Miru, Sakka Pati,Hukum Perikatan,(Jakarta:Rajawali Pers,2008), hlm. 12
Kata lain wanprestasi juga dapat diartikan suatu perbuatan ingkar janji

yang dilakukan oleh salah satu pihak yang tidak melaksanakan isi perjanjian, isi

ataupun melaksanakan tetapi terlambat atau melakukan apa yang sesungguhnya

tidak boleh dilakukannya.

Mengenai pengertian dari wanprestasi, menurut Ahmadi Miru wanprestasi

itu dapat berupa perbuatan :

1.Sama sekali tidak memenuhi prestasi.


2.Prestasi yang dilakukan tidak sempurna.
3.Terlambat memenuhi prestasi.
4.Melakukan apa yang dalam perjanjian dilarang untuk dilakukan27

Sedangkan menurut A. Qirom Syamsudin Meliala wanprestasi itu dapat berupa:

1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali

Sehubungan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasi maka

dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.

2. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.

Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka

debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktu, sehingga dapat

dikatakan wanprestasi.

3. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.

Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru

tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi

prestasi sama sekali28

Abdul kadir Muhammad, menyatakan wanprestasi terjadi dikarenakan

adanya 2 (dua) kemungkinan yaitu:

1. Keadaan memaksa (overmach/force mejeur).


27
Ahmadi Miru, Sakka Pati,ibid , hlm. 74
28
A. QiromSyamsuddin Meliala, Pokok-pokok Hukum Perjanjian, (Yogyakarta: Liberty,1985), hlm.
26
2. Karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan maupun lalai

Overmach adalah suatu keadaan atau kejadian yang tidak dapat diduga-

duga terjadinya, sehingga menghalangi seorang debitur untuk melakukan

prestasinya sebelum ia lalai untuk apa dan keadaan mana tidak dapat

dipersalahkan kepadanya.

Overmachtdi terbagi dua, yaitu:

1. Overmachtmutlak adalah apabila prestasi sama sekali tidak dapat


dilaksanakan oleh siapapun.
2. Overmacht yang tidak mutlak adalah pelaksanaan prestasi masih
dimungkinkan, hanya memerlukan pengobanan dari debitur.

Kesengajaan maupun lalai, kedua hal tersebut menimbulkan akibat yang

berbeda, dimana akibat akibat adanya kesengajaan, si debitur harus lebih

banyak mengganti kerugian dari pada akibat adanya kelalaian.

Surat peringatan yang menyatakan debitur telah melakukan wanprestasi

disebut dengan somasi.

Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur kepada

debitur yang berisi ketentuan bahwa kreditur menghendaki pemenuhan prestasi

seketika atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan dalam pemberitahuan

itu.

Dari ketentuan pasal 1238 KUHPerdata dapat dikatakan bahwa debitur

dinyatakan apabila sudah ada somasi (in grebeke stelling).

Somasi itu bermacam bentuk, seperti menurut pasal 1238 KUHPerdata

adalah:

1. Surat perintah

Surat perintah tersebut berasal dari hakim yang biasanya berbentuk

penetapan. Dengan surat penetapan ini juru sita memberitahukan secara lisan
kepada debitur kapan selambat-lambatnya dia harus prestasi. Hal ini biasa

disebut “exploit juru sita”

2. Akta sejenis

Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta notaris.

3. Tersimpul dalam perikatan itu sendiri.

Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah menentukan saat

adanya wanprestasi.

Menurut Sri Soedewi Masyehoen Sofwan, debitur dinyatakan wanprestasi

apabila memenuhi 3 (tiga) unsur, yaitu:

1.Perbuatan yang dilakukan debitur tersebut dalam disesalkan.


2.Akibatnya dapat diduga lebih dahulu baik dalam arti yang objektif yaitu orang
yang normal dapat menduga bahwa keadaan itu akan timbul. Maupun dalam
arti yang subjektif, yaitu sebagai orang yang ahli dapat menduga keadaan
demikian akan timbul.
3.Dapat diminta untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya, artinya bukan
orang gila atau lemah ingatan29

Apabila seorang dalam keadaan-keadaan tertentu beranggapan bahwa

perbuatan debiturnya akan merugikan, maka ia dapat minta pembatalan

perikatan30

Menurut pendapat yang paling banyak dianut, bukanlah kelalaian debitur

yang menyebabkan batal, tetapi putusan hakim yang membatalkan perjanjian,

sehingga putusan itu bersifat “constitutief” dan tidak “declaratoir”. Malahan

hakim itu mempunyai suatu kekuasaan “discretionair” artinya ia berwenang

menilai wanprestasi debitur. Apabila kelalaian itu dianggapnya terlalu kecil hakim

berwenang untuk menolak pembatalan perjanjian, meskipun ganti rugi yang

diminta harus diluluskan.

29
Sri Soedewi Masyohen Sofwan,Hukum Acara Perdata Indonesia dalam Teori dan Praktek,
(Yogyakarta: Liberty, 1981), hlm. 15
30
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum,(Jakarta:Balai Pustaka, 1986), hlm. 246-247
C. Perjanjian Kerja sama antara Pemerintah Kota dan Event Organizer
Swasta

1. Pengertian Event Organizer

Kata Event bisa di artikan sebagai sebuah program, acara atau sebuah

bentuk kegiatan yang tidak dilakukan setiap hari atau sebuah bentuk kegiatan

yang diadakan secara khusus, sedangkan Organizer sendiri lebih kepada

sebutan untuk para pelaku kegiatan, baik perorangan atau lebih secara bersama-

sama dan teratur dalam sebuah koordinasi yang terstruktur untuk mencapai

tujuan.

Sehingga dari kedua kata itu sering kita mendengar beberapa definisi

event organizer adalah sekumpulan orang dengan tujuan yang sama untuk

melaksanakan sebuah kegiatan atau sebagian besar kemudian

menyimpulkannya sebagai pelaksana acara. atau dewasa ini di populerkan

dengan undang undang serta peraturan pemerintah dengan istilah

Penyelenggara jasa hiburan dan rekreasi.

Maka jika melihat kepada pernyataan di atas tidak salah bila sebagian

besar orang mengartikan Event Organizer itu hanya sekedar sebagai "pelaksana

acara atau kegiatan", namun jika didefinisikan kepada sebuah bidang usaha atau

pekerjaan profesional maka menurut saya pengertian itu mengecilkan arti dan

definisi pekerjaan itu sendiri, karena apa yang terkandung di dalam sebuah

perusahaan yang bergerak di bidang jasa Event Organizer sangatlah komplek

dan butuh tingkat profesionalitas yang tinggi.

Tentu hal ini berbeda dengan konteks sekedar pelaksana acara, karena

dibutuhkan integritas serta komitmen yang kuat dari para pelakunya. Jadi definisi

yang tepat untuk event organizer adalah sebuah bidang usaha atau pekerjaan
yang membutuhkan kreatifitas bagi pelaksananya serta terorganisasi secara

menyeluruh dari hal-hal yang kecil hingga besar, dari persiapan, pelaksanaan

hingga pekerjaan itu selesai, semua terukur dalam skema-skema yang sudah di

tetapkan dari awal guna terpenuhinya tujuan maupun kebutuhan yang ingin

dicapai oleh klien31

2. Pemerintah Kota Makassar

Pemerintah Daerah di Indonesia adalah penyelenggara pemerintahan

daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi

seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pemerintah daerah

adalah Gubernur, Bupati, atau Wali kota, dan Perangkat Daerah sebagai unsur

penyelenggara pemerintahan daerah.

Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah

provinsi. Daerah provinsi itu dibagi lagi atas daerah kabupaten dan daerah kota.

Setiap daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota mempunyai

pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.

Gubernur, Bupati dan Wali Kota masing-masing sebagai Kepala

Pemerintah Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota dipilih secara

demokratis. Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali

urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan

Pemerintah Pusat.32

31
https://www.kompasiana.com/edhivirgi/5c76f3e6ab12ae0b207da852/event-organizer-dan-
event-organizer-istilah-dan-perbedaannya?page=all. Di akses pada tanggal 21 Februari 2020
pukul 22:42
32
https://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintah_daerah_di_Indonesia. Di akses pada tanggal 21
Februari 2020 pukul 21:29
Selanjutnya, khusus pada Pemerintah Kota Makassar telah diurai

secara jelas dalam Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 8 Tahun 2016

Tentang Pembentukan Dan Susunan Perangkat Daerah dengan Rahmat Tuhan

Yang Maha Esa Walikota Makassar.

Kemudian, dalam regulasi tersebut tertuang seluruh komponen yang

menjadi bagian dari Pemerintah Kota Makassar. Beberapa hal yang diurai dalam

peraturan tersebut ialah ketentuan umum pada Pasal 1 yakni:

1. Daerah adalah Kota Makassar.


2. Kota adalah Kota Makassar.
3. Gubernur adalah Gubernur Sulawesi Selatan.
4. Walikota adalah Walikota Makassar.
5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD
adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan
sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
6. Pemerintah Daerah adalah Walikota sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah otonom.
7. Perangkat Daerah adalah unsur pembantu kepala daerah dan DPRD
dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Daerah.
8. Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD
adalah Perangkat Daerah Kota Makassar yang menyelenggarakan Urusan
Pemerintahan Daerah berdasarkan tugas dan fungsinya.
9. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan Urusan Pemerintahan oleh
Pemerintah Daerah dan DPRD menurut azas otonomi dan Tugas
Pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
10. Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi
kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian
negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah untuk melindungi,
melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.
11. Sekretariat Daerah adalah unsur staf yang mempunyai tugas dan fungsi
membantu Walikota dalam penyusunan kebijakan dan
pengkoordinasian administratif terhadap pelaksanaan tugas perangkat
Daerah serta pelayanan administratif.
12. Sekretariat DPRD adalah unsur pelayanan administrasi dan
pemberian dukungan terhadap tugas dan fungsi DPRD.
13. Inspektorat Daerah adalah unsur pengawas penyelenggaraan
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
14. Dinas Daerah adalah unsur pelaksana Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Daerah.
15. Badan Daerah adalah unsur penunjang Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Daerah.
16. Unit Pelaksana Teknis Dinas adalah unsur pelaksana teknis dinas yang
melaksanakan kegiatan teknis operasional dan/atau kegiatan teknis
penunjang tertentu.
17. Unit Pelaksana Teknis Badan adalah unsur pelaksana teknis badan untuk
melaksanakan kegiatan teknis operasional dan/atau kegiatan teknis
penunjang tertentu.
18. Kecamatan adalah perangkat Daerah yang bersifat kewilayahan yang
dibentuk dalam rangka meningkatkan koordinasi penyelenggaraan
pemerintahan, pelayanan publik, dan pemberdayaan masyarakat kelurahan.
19. Kelurahan adalah perangkat kecamatan yang dibentuk untuk membantu
atau melaksanakan sebagian tugas camat.

Selanjutnya, selain itu Pemerintah Kota sebagai organisasi tentunya memiliki

bagian-bagiannya tersendiri, guna mempermudah jalannya sistem yang

dibangun oleh pemerintah sendiri. Hal ini tertuang dalam Susunan dan Tipe

Perangkat Daerah Pasal 5 (D) Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 8

Tahun 2016, yaitu:

1. Dinas Pendidikan dengan Tipe A


2. Dinas Kesehatan dengan Tipe A
3. Dinas Pekerjaan Umum dengan Tipe A
4. Dinas Penataan Ruang dengan Tipe A
5. Dinas Perumahan dan Kawasan PermukimandenganTipe A
6. Satuan Polisi Pamong Praja dengan Tipe A
7. Dinas Pemadam Kebakaran dengan Tipe A
8. Dinas Sosial dengan Tipe A
9. Dinas Ketenagakerjaan dengan Tipe A
10. Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan Tipe
A
11. Dinas Ketahanan Pangandengan Tipe A
12. Dinas Lingkungan Hidup dengan Tipe A
13. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil dengan Tipe A
14. Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana dengan Tipe A
15. Dinas Perhubungan dengan Tipe A
16. Dinas Komunikasi dan informatika dengan Tipe A
17. Dinas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah dengan Tipe A
18. Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu dengan
Tipe A
19. Dinas Pemuda dan Olahraga dengan Tipe A
20. Dinas Kebudayaan dengan Tipe A
21. Dinas Perikanandan Pertanian dengan Tipe A
22. Dinas Pariwisata dengan Tipe A
23. Dinas Perdagangan dengan Tipe A
24. Dinas Perpustakaan dengan Tipe B
25. Dinas Kearsipan dengan Tipe C
26. Dinas Pertanahan dengan Tipe C

Yang menjadi perhatian penulis dalam hal ini adalah Dinas Pariwisata.

Namun, Dinas Pariwisata tersebut memiliki tugas dan wewenang

sebagaimana tertuang dalam Pasal 30 Peraturan daerah Kota Makassar

nomor 8 tahun 2016 yang menjelaskan mengenai spesifikasi tugas dari

Dinas Pariwisata:

1. Dinas Pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf d


angka 22 mempunyai tugas membantu Walikota melaksanakan Urusan
Pemerintahan bidang pariwisata yang menjadi kewenangan Daerah dan
Tugas Pembantuan yang ditugaskan kepada Daerah.
2. Dinas Pariwisata dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) menyelenggarakan fungsi :
a. Perumusan kebijakan penyelenggaraan Urusan Pemerintahan
bidang pariwisata
b. Pelaksanaan kebijakan Urusan Pemerintahan bidang pariwisata
c. Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan Urusan Pemerintahan bidang
pariwisata
d. Pelaksanaan administrasi dinas Urusan Pemerintahan bidang
pariwisata
e. Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Walikota terkait dengan
tugas dan fungsinya.

Seperti yang diuraikan yang diatas, Dinas Pariwisata memiliki beberapa

program kerja di bidang Pariwisata yang biasanya berbentuk kegiatan

(Event) dengan maksud memperkenalkan seluruh aspek pariwisata yang

ada. Kegiatan-kegiatan seperti ini memerlukan peranan-peranan swasta


dalam pelaksanaannya khususnya perusahaan swasta yang bergerak

dalam bidang pengordiniran kegiatan yang lebih akrab dengan istilah event

organizer

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan berdasarkan

dengan permasalahan dan pembahasan penulisan proposal ini, maka penulis

melakukan penelitian dengan memilih lokasi penelitian di Makassar.

Pengumpulan data dan informasi akan dilaksanakan di Event Organizer

serta Dinas Pariwisata Kota Makassar dan perpustakaan Fakultas Hukum

Universitas Hasanuddin. Lokasi penelitian tersebut diatas dipilih dengan

pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan tempat yang menjadi objek

sasaran yang diangkat oleh penulis.

B. Jenis dan Sumber Data

A. Data Primer, yaitu data yang diperoleh dari hasil wawancara langsung,

dalam hal ini penulis melakukan wawancara langsung terhadap event

organizer yang menjadi objek penelitian penulis.


B. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan atau

dari berbagai literatur dengan buku-buku, internet, jurnal hukum, serta

peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan yang

diteliti.

C. Teknik Pengumpulan Data

Dalam rangka pengumpulan data primer maupun data sekunder, maka

penulis menggunakan dua jenis pengumpulan data sebagai berikut:

1. Penelitian kepustakaan: Penelitian ini dilakukan dengan cara menelaah

bahan-bahan pustaka yang relevan dengan penelitian berupa literatur-

literatur, karya ilmiah (hasil penelitian), peraturan perundang-undangan,

majalah, surat kabar, jurnal ilmiah, dokumentasi dari berbagai instansi

yang terkait dengan penelitian ini, hal ini dimaksud untuk mendapatkan

kerangka teori dari hasil pemikiran para ahli.

2. Penelitian wawancara (interview): Wawancara, yaitu pengumpulan data

dalam bentuk tanya jawab yang dilakukan secara langsung kepada

responden dalam hal ini adalah event organizer di kota Makassar yang

mengerti tentang objek penelitian penulis.

D. Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini baik data sekunder dan data

primer di susun dan di analisis secara kualitatif berdasarkan rumusan masalah

yang telah diterapkan, kemudian selanjutnya data tersebut diuraikan secara

deskriptif guna memperoleh gambaran yang dapat dipahami secara jelas dan

terarah untuk menjawab permasalahan yang penulis teliti ini.


DAFTAR PUSTAKA

Buku:

A. Qirom Syamsudin Meliala, Pokok-pokok Hukum Perjanjian Beserta


Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta, 2004

A. QiromSyamsuddin Meliala, Pokok-pokok Hukum Perjanjian, (Yogyakarta:


Liberty,1985)

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Jakarta:Rajawali


Pers,2007)

Ahmadi Miru, Sakka Pati,Hukum Perikatan,(Jakarta:Rajawali Pers,2008

Black’s LawDictionary

C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum,(Jakarta:Balai Pustaka, 1986)

Hananto Praseto, Pembaharuan Hukum Perjanjian Sportenter Tainment


Berbasis Nilai Keadilan (Jurnal), 2017

Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustitia,


Yogyakarta, 2009

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2003, Perikatan yang lahir dari perjanjian,
Jakarta, Raja Grafindo Persada
Mariam Firdaus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2009

Menurut Dr. Munir Fuady, S.H., M.H., LL.M. .Konsep Hukum Perdata

Menurut J.Satrio S.H. Hukum Perikatan Perikatan Pada Umumnya

Muhammad, Abdulkadir. 2014. Hukum Perdata Indonesia. Bandung : PT. Citra


AdityaBakti

Rosa Agustina, Guru Besar Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas


Indonesia

Salim HS. 2015. Hukum Kontrak (buku kesebelas). Jakarta: Sinar Grafika
Salim HS,Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW),(Jakarta: 2008

Sri Soedewi Masyohen Sofwan,Hukum Acara Perdata Indonesia dalam


Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Liberty, 1981)

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, P.T. Intermasa, Jakarta, 2004

Subekti, Hukum Perjanjian

Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,(Jakarta:PT. ArgaPrinting,


2007)

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Universitas Atma Jaya


Yogyakarta, 2010,

Sri Soedewi Masyohen Sofwan,Hukum Acara Perdata Indonesia dalam


Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Liberty, 1981)

Situs:

https://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintah_daerah_di_Indonesia

https://www.kompasiana.com/edhivirgi/5c76f3e6ab12ae0b207da852/event-

organizer-dan-event-organizer-istilah-dan-perbedaannya?page=all
PROPOSAL

PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJA SAMA ANTARA PEMERINTAH KOTA

MAKASSAR DENGAN EVENT ORGANIZER SWASTA DALAM

PENGELOLAAN PROGRAM KERJA DINAS PARIWISATA KOTA MAKASSAR

DI SUSUN OLEH:
ANDI NANDA JEIHAN FATIHAH M

B11116592

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2020

Anda mungkin juga menyukai