Anda di halaman 1dari 115

SKRIPSI

ANALISIS HUKUM PERSEKONGKOLAN TENDER


PENGADAAN BARANG/JASA EVENT ORGANIZER (EO)
LOMBA KETERAMPILAN SISWA (LKS) SEKOLAH MENENGAH
KEJURUAN (SMK) TINGKAT NASIONAL DINAS PENDIDIKAN
PROVINSI SULAWESI SELATAN TAHUN ANGGARAN 2008
(STUDI KASUS: PUTUSAN KPPU No.05/KPPU-L/2009)

OLEH:

INDI AISYAH
B 111 06 120

BAGIAN HUKUM PERDATA


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2010

1
HALAMAN JUDUL

ANALISIS HUKUM PERSEKONGKOLAN TENDER


PENGADAAN BARANG/JASA EVENT ORGANIZER (EO)
LOMBA KETERAMPILAN SISWA (LKS) SEKOLAH MENENGAH
KEJURUAN (SMK) TINGKAT NASIONAL DINAS PENDIDIKAN
PROVINSI SULAWESI SELATAN TAHUN ANGGARAN 2008
(STUDI KASUS: PUTUSAN KPPU No.05/KPPU-L/2009)

Oleh

INDI AISYAH
B 111 06 120

SKRIPSI

Diajukan sebagai Tugas Akhir dalam rangka Penyelesaian Studi


Sarjana dalam Program Kekhususan Hukum Perdata
Program Studi Ilmu Hukum

Pada

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR
AGUSTUS 2010

i
ii
iii
iv
ABSTRAK

INDI AISYAH (B11106120), Analisis Hukum Persekongkolan


Tender Pengadaan Barang/Jasa Event Organizer (EO) Lomba
Keterampilan Siswa (LKS) Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Tingkat Nasional Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun
Anggaran 2008 (Studi Kasus: putusan KPPU No. 05/KPPU-L/2009)
dengan bimbingan oleh Bapak Ahmadi Miru sebagai Pembimbing I
dan Bapak Winner Sitorus sebagai Pembimbing II.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme tender yang
dilaksanakan oleh Terlapor I dikaitkan dengan Keputusan Presiden Nomor
80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan
persekongkolan tender yang terjadi antara Terlapor I, Terlapor II, dan
Terlapor III Berdasarkan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Makassar yaitu pada Kantor
Perwakilan Daerah Komisi Pengawas Persaingan Usaha kota Makassar,
Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan, serta masing-masing 2 (dua)
pihak yang terlibat dalam kasus yang dibahas dalam penulisan ini yang
penulis mengambil data secara langsung dari sebuah penelitian baik
yang dilakukan melalui wawancara dengan pihak terkait serta berupa
data lainnya yang diperoleh melalui kepustakaan yang relevan yaitu
literatur, dokumen-dokumen serta peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan masalah tersebut.
Berdasarkan analisis yuridis terhadap fakta dan data tersebut,
maka penulis berkesimpulan antara lain:
1. Ada beberapa hal pada mekanisme tender yang
dilaksanakan oleh Terlapor I tidak sesuai dengan Keppres 80 Tahun 2003
yaitu Terlapor I menetapkan persyaratan melampirkan Surat Keterangan
Memiliki Kinerja Baik dari pemerintah setempat/dimana kegiatan
tersebut dilaksanakan yang bertentangan dengan Lampiran Keppres 80
Tahun 2003 BAB II.A.1.a.4, adanya penetapan calon pemenang tender
yaitu Terlapor II yang tidak memenuhi persyaratan kualifikasi dan
diusulkannya Terlapor II dan Terlapor III menjadi calon pemenang yang
bertentangan dengann Lampiran I Keppres 80 Tahun 2003 Bab
I.A.1.i.1).a).
2 Telah terjadi persekongkolan tender vertikal antara Terlapor I
dan Terlapor II yaitu indikasi persekongkolan pada saat pembuatan
persyaratan untuk mengikuti tender/lelang dan indikasi persekongkolan
pada saat evaluasi dan penetapan pemenang tender/lelang. Pada tender
ini juga diduga terjadi persekongkolan tender horizontal antara Terlapor II
dan Terlapor III dengan adanya kesamaan kesalahan pengetikan dalam
dokumen tender, Terlapor III tidak melakukan perubahan atau penurunan
penawaran harga, dan tidak diajukannya sanggahan oleh Terlapor III pada
tender ulang. Namun perilaku Terlapor III tersebut tidak dapat dikatakan
sebagai usaha untuk melakukan persekongkolan dengan Terlapor II.

v
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT


atas segala limpahan rahmat, hidayah, dan karunia-Nya yang senantiasa
memberi petunjuk dan membimbing langkah penulis sehingga penulis
dapat merampungkan skripsi ini sebagai salah satu syarat tugas akhir
pada jenjang Studi Strata Satu (S1) pada Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin.
Segenap kemampuan telah penulis curahkan demi kesempurnaan
penulisan skripsi ini. Namun demikian, sebagai manusia yang tentunya
memiliki keterbatasan, tidak menutup kemungkinanan masih ditemukan
kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu, segala masukan dalam
bentuk kritik dan saran yang sifatnya membangun senantiasa penulis
harapkan demi kesempurnaan penulisan di masa yang akan datang.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan untaian terima
kasih yang tak terhingga kepada keluargaku tercinta, yaitu kedua orang
tua penulis, kepada Ayahanda Ir. Muh. Yasin HG., MS dan Ibunda Ummi
Zuraida yang senantiasa merawat, mendidik, dan memotivasi penulis
dengan penuh kesabaran dan kasih sayang dari kecil hingga saat ini.
Kepada kakak penulis, Angraeni tresna Dewi, Cesar AM, dan Muh.
Wanhar Yasin yang selama ini telah memotivasi dan membantu penulis.
Terima kasih banyak atas segala nasehat, dan petuah yang Ibu
sampaikan dalam menghadapi berbagai aral rintangan hidup.
Terima kasih pula penulis haturkan kepada:
1. Rektor Universitas Hasanuddin dan segenap jajarannya
2. Dekan dan segenap jajaran Pembantu Dekan Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin.
3. Bapak Dr. Anshori Ilyas,S.H.,M.H. dan Ibu Prof. Dr. Farida
Patittingi,S.H.,M.Hum., begitu banyak pelajaran dan pengalaman

vi
berharga yang telah beliau berikan dan tak akan pernah penulis
lupakan.
4. Ketua bagian Hukum Perdata dan para dosen di bagian Hukum
Perdata, serta dosen-dosen pada Fakultas Hukum Unhas.
5. Bapak Prof. Dr. Ahmadi Miru,S.H.M.H., selaku Pembimbing I, di
tengah kesibukan dan aktivitasnya, beliau telah bersedia
membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini
6. Bapak Winner Sitorus, S.H., M.H., LLM., selaku Pembimbing II yang
selalu menyediakan waktunya untuk dapat berdiskusi, membimbing
dan menyemangati penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
7. Ibu Prof. Dr. Nurhayati Abbas, S.H.,M.H., Bapak Prof. Dr. Anwar
Borahima,S.H.,M.H., dan Ibu Dr. Nurfaidah Said,S.H.,M.H.,M.Si.
selaku Tim Penguji atas segala saran dan masukan yang sangat
berharga dalam penyusunan skripsi ini.
8. Para Staf Akademik, Bagian Kemahasiswaan dan Perpustakaan
yang telah banyak membantu penulis.
9. Bapak dan Ibu Di KPD KPPU Makassar, Dinas Pendidikan Provinsi
Sulawesi Selatan, Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan
Penanaman Modal Kota Makassar, PT. Makassar Promosindo, dan
PT. Surya Agung di Makassar atas segala bantuan dan motivasinya
kepada penulis.
10. Teman-temanku tercinta Arwinny, Agnesia Paerong, Diptarina,
A.Wiwik Pratiwi, Putri Chandra Ayu, Rafiqah Fachruddin, dan
Nurliana, terima kasih banyak atas dukungannya selama ini dan telah
meluangkan waktunya untuk menemani penulis.
11. Sahabat-sahabatku di Maros Nurhikmah Fajriani, Nurul Hudayani,
dan Nuraeni Natsir yang dengan penuh pengertian dan kesabaran
mendengar segala keluh kesah penulis.
12. Teman-teman Eksaminasi 06, Kanda-kanda Delik 05 , serta Adik-
adik Ekstradisi 07 dan Notaris 08, atas motivasi dan
kebersamaannya.

vii
13. Keluarga besar ALSA LC UH, Tim MCC UNAIR dan ALSA Indonesia,
terima kasih atas segala bantuan dan motivasinya.
14. Seluruh teman-teman di LPMH, BSDK, MPM, dan LP2KI
15. Keluarga KKN Profesi 2009, Lokasi Rumah Tahanan Negara Klas 1
Makassar atas segala kisah dan kebersamaan yang pernah tercipta.
16. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang
telah memberikan motivasi, dukungan, sumbangan pemikiran,
bantuan materi maupun non materi, penulis haturkan terima kasih.
Semoga Allah SWT senantiasa membalas pengorbanan tulus yang
telah diberikan dengan segala limpahan rahmat dan hidayah dariNya.
Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Amin.

Makassar, Agustus 2010

Penulis

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN.............................................................. ii
HALAMAN PERSETUJUAN UJIAN SKRIPSI ................................. iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................... iv
ABSTRAK ....................................................................................... v
KATA PENGANTAR ........................................................................ vI
DAFTAR ISI...................................................................................... x

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ............................................................. 1

1.2. Rumusan Masalah........................................................ 3

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian.................................. 4

1.3.1. Tujuan Penelitian ................................................ 4

1.3.2. Kegunaan Penelitian ........................................... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tindakan yang Dilarang dalam Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.. .......... 6

2.1.1. Perjanjian yang Dilarang ................................... 6

2.1.2. Kegiatan yang Dilarang ..................................... 17

2.1.3. Posisi Dominan. ................................................ 21


2.2. Pengertian dan Unsur-Unsur Persekongkolan
dalam Tender.............................................................. 25

2.2.1. Pengertian dan Unsur-Unsur Persekongkolan . 25

ix
2.2.2. Pengertian Tender ........................................... 30

2.3. Bentuk dan Indikasi Persekongkolan dalam Tender 32

2.3.1. Bentuk Persekongkolan dalam Tender.. ........ 32

2.3.2. Indikasi Persekongkolan dalam Tender... ...... 34

2.4 Tugas dan Kewenangan Komisi Pengawas Persaingan

Usaha.. ...................................................................... 39

2.4.1. Tugas Komisi Pengawas Persaingan Usaha. .. 39

2.4.2. Kewenangan Komisi Pengawas Persaingan

Usaha.............................................................. 41

BAB 3 KASUS POSISI

Kasus Posisi Persekongkolan Tender dalam

Pengadaan Barang/Jasa EO LKS SMK Tingkat

Nasional Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi

Selatan Tahun Anggaran 2008................................. 44

BAB 4 PERUMUSAN INTISARI PUTUSAN

Pertimbangan Hukum yang Menjadi Dasar Hukum

Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha atas

Laporan tentang Adanya Dugaan Pelanggaran

Pasal 22 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999... 48

BAB 5 ANALISIS KASUS


5.1 Mekanisme Tender yang Dilaksanakan oleh Terlapor I
Dikatkan dengan Keppres 80 Tahun 2003 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.................. 56

x
5.2 Dugaan Persekongkolan Tender antara Terlapor I,
Terlapor II, dan Terlapor III Berdasarkan Pasal 22
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 .................... 81

BAB 6 SIMPULAN
6.1 Simpulan................................................................ 101
6.2 Saran ................................................................... 102

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xi
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada hakikatnya orang menjalankan kegiatan usaha adalah untuk

memperoleh keuntungan dan penghasilan dalam rangka memenuhi

kebutuhan hidup, baik kebutuhan primer, sekunder, maupun kebutuhan

tersier. Atas dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup itulah yang

mendorong banyak orang menjalankan kegiatan usaha, baik kegiatan

usaha yang sejenis maupun kegiatan usaha yang berbeda. Keadaan yang

demikian itulah sesungguhnya yang menimbulkan atau melahirkan

persaingan usaha di antara para pelaku usaha. Oleh karena itulah,

persaingan dalam dunia usaha merupakan hal yang biasa terjadi.1

Persaingan usaha yang sehat (fair competition) akan memberikan

akibat positif bagi para pelaku usaha, sebab dapat menimbulkan motivasi

atau rangsangan untuk meningkatkan efesiensi, produktivitas, inovasi,

dan kualitas produk yang dihasilkannya. Selain menguntungkan bagi para

pelaku usaha, tentu saja konsumen memperoleh manfaat dari persaingan

usaha yang sehat itu, yaitu adanya penurunan harga, banyak pilihan, dan

peningkatan kualitas produk.2

1
Hermansyah, 2008, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, Hlm 9.
2
Ibid. Hlm 9-10.

1
Berkembangnya dunia usaha di Indonesia mengakibatkan lahirnya

perusahaan-perusahaan yang mempunyai keinginan yang tinggi untuk

mengalahkan pesaing-pesaingnya agar menjadi perusahaan yang besar

dan paling kaya. Hal ini tentu saja akan menimbulkan masalah-masalah

baru sehingga terjadi apa yang dinamakan persaingan usaha tidak sehat.

Berdasarkan Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

yang dimaksud dengan persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan

antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau

pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau

melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.

Salah satu bentuk tindakan yang dapat mengakibatkan persaingan

tidak sehat adalah persekongkolan dalam tender, yang merupakan salah

satu bentuk kegiatan yang dilarang oleh UU No. 5/1999. Prinsip-prinsip

umum yang perlu diperhatikan dalam tender adalah transparansi,

penghargaan atas uang, kompetisi yang efektif dan terbuka, negosiasi

yang adil, akuntabilitas dan proses penilaian, dan non-diskriminatif.3

Salah satu perkara persekongkolan tender yang ditangani oleh

KPPU adalah tender kegiatan EO LKS SMK Tingkat Nasional Dinas

Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun Anggaran 2008. Panitia

tender kegiatan EO LKS SMK Tingkat Nasional Dinas Pendidikan

Provinsi Sulawesi Selatan Tahun Anggaran 2008 terbukti secara sah dan

3
KPPU, Pedoman Pasal 22 tentang Larangan Pesekongkolan Tender. 2008: hlm. 4.

2
meyakinkan melanggar Pasal 22 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999

tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Di sini dapat dilihat bahwa panitia tender EO LKS SMK berkedudukan

sebagai pihak lain dan bukanlah pelaku usaha. Pelaku usaha pada

kegiatan tender ini adalah para peserta tender. Salah satunya yakni PT.

Makassar Promosindo, dengan alamat kantor di Jl. Pengayoman No. 15A

Makassar. Alangkah anehnya, jika KPPU memutuskan panitia tender yang

berkedudukan sebagai pihak lain dinyatakan melanggar Pasal 22 UU

No. 5 Tahun 1999, sedangkan pelaku usaha yaitu PT. Makassar

Promosindo tidak dinyatakan melanggar Pasal 22 UU No. 5 Tahun1999.

Sehingga dapat dikatakan bahwa ada unsur Pasal 22 UU No. 5 Tahun

1999 yang tidak terpenuhi yaitu unsur pelaku usaha.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulis tertarik

untuk mengkaji tentang persekongkolan tender Event Organizer (EO)

Lomba Keterampilan Siswa (LKS) Tingkat Nasional Dinas Pendidikan

Provinsi Sulawesi-Selatan Tahun 2008.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis merumuskan

masalah hukum yakni:

a. Bagaimanakah mekanisme tender yang dilaksanakan oleh

Terlapor I dikaitkan dengan Keputusan Presiden Nomor 80

Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah ?

3
b. Bagaimanakah persekongkolan tender yang terjadi antara

Terlapor I, Terlapor II, dan Terlapor III berdasarkan Pasal 22

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ?

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini

adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui mekanisme tender yang dilaksanakan oleh

Terlapor I dikaitkan dengan Keputusan Presiden Nomor 80

Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

b. Untuk mengetahui persekongkolan tender yang terjadi antara

Terlapor I, Terlapor II, dan Terlapor III Berdasarkan Pasal 22

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

1.3.2 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat dan kegunaan

sebagai berikut:

a) Diharapkan memberikan sumbangsih terhadap wawasan bagi

pengembangan terutama yang berkaitan dengan hukum

persaingan usaha tidak sehat,

4
b) Diharapkan memberikan hasil yang dapat digunakan sebagai

pertimbangan dalam pengambilan keputusan, maupun

pedoman bagi pejabat dan pihak-pihak lain.

c) Sebagai penambah bahan bacaan bagi praktisi dan masyarakat

dalam upaya memahami penegakan hukum persaingan usaha

di Indonesia.

d) Sebagai bahan acuan dalam upaya memahami dan mengkaji

keberadaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam sistem

hukum di Indonesia.

5
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tindakan yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun


1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat
Undang-Undang larangan praktek monopoli membuat tiga kategori

tindakan-tindakan yang dilarang yaitu pertama, perjanjian yang dilarang.

Kedua, kegiatan yang dilarang, dan Ketiga, posisi dominan. Didalam

kategori ”perjanjian yang dilarang” ditentukan ada sepuluh tindakan yang

tidak boleh dilakukan oleh pelaku usaha, sedangkan untuk “kegiatan yang

dilarang” ditentukan ada empat tindakan yang dilarang dan “posisi

dominan” ditentukan ada tiga tindakan yang tidak diperbolehkan.

2.1.1 Perjanjian yang Dilarang

Berdasarkan Pasal 1 Angka 7 Undang-Undang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang dimaksud dengan

perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk

mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama

apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.

Jika kita bandingkan definisi yang diberikan dalam Undang-Undang

dengan ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

yang merumuskan perjanjian sebagai suatu perbuatan dengan mana satu

orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.

Maka dapat kita lihat bahwa pada prinsipnya secara esensi tidak ada

6
suatu perbedaan yang berarti, hanya saja dalam Undang-Undang definisi

yang diberikan telah secara tegas menyebutkan pelaku usaha sebagai

subjek hukumnya.4

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, subjek hukum

di dalam perjanjian tersebut adalah pelaku usaha. Pasal 1 Angka 5

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengatur bahwa yang dimaksud

dengan pelaku usaha adalah:5

Setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang


berbentuk badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama
melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha
dalam bidang ekonomi.

Berdasarkan perumusan di atas subjek hukum di dalam perjanjian

bisa berupa orang perseorangan atau badan usaha yang berbadan hukum

atau bukan badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara. Badan

usaha yang dimaksud adalah badan usaha yang didirikan dan

berkedudukan atau melakukan kegiatan usaha dalam wilayah hukum

negara Republik Indonesia. Dengan kata lain, badan usaha asing tidak

dapat dijerat dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Pasalnya,

hanya badan usaha yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan

kegiatan usaha dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia yang

dapat dijerat dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Demikian

pula, baik Batang Tubuh maupun Penjelasan Undang-Undang Nomor 5

4
Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, 1999, Seri Hukum Bisnis Anti Monopoli, Jakarta: Rajawali
Pers, hlm 21.

7
Tahun 1999 tidak menjelaskan lebih lanjut apakah orang perseorangan di

sini juga harus berkedudukan atau melakukan kegiatan usaha di dalam

wilayah hukum negara Republik Indonesia atau tidak.6

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan

praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, terdapat beberapa

perjanjian yang dilarang sebagai berikut:

a. Oligopoli

Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

mencantumkan larangan oligopoli yang mengatur bahwa pelaku usaha

dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara

bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan/atau pemasaran

barang dan/atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek

monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Berdasarkan Pasal 4

ayat (1) jelaslah bahwa Undang-Undang hanya melarang oligopoli yang

dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan

usaha tidak sehat. Ini berarti dengan sendirinya sepanjang penguasaan

produksi dan/ atau pemasaran barang dan/atau jasa tersebut tidak

mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha

tidak sehat, maka usaha tersebut tidak dilarang oleh undang-undang.7

Berdasarkan Pasal 4 ini, perjanjian oligopoli dilarang apabila dapat

merugikan persaingan, jadi bukan per se illegal. Hal ini menarik karena

larangan oligopoli hanya dimasukkan dalam kategori perjanjian yang

6
Rachmadi Usman, 200,. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, hlm 38.
7
Ibid, hlm. 42-43.

8
dilarang, yang dapat mempersempit cakupan larangan tersebut mengingat

keterbatasan arti perjanjian.8

b. Penetapan Harga

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang perjanjian untuk

penetapan harga sebagaimana diatur dalam Pasal 5, 6, 7, dan 8. Adapun

perjanjian penetapan harga yang dilarang oleh undang-undang

persaingan usaha tidak sehat adalah sebagai berikut :9

1) Penetapan Harga Antar Pelaku Usaha

Penetapan harga (price fixing) antar pelaku usaha dilarang

sebab penetapan harga secara bersama-sama dikalangan pelaku

usaha ini akan menyebabkan tidak berlakunya hukum pasar

tentang harga yang terbentuk dari adanya penawaran dan

permintaan.10

Akan tetapi Undang-Undang memberikan pengecualian

terhadap larangan membuat perjanjian tentang penetapan harga

antar pelaku usaha ini, yaitu jika perjanjian penetapan harga

tersebut dibuat dalam hal:11

a) dalam suatu usaha patungan, atau

b) didasarkan pada Undang-Undang yang berlaku.

8
Ayudha D Prayoga et al. (Ed), 2000, Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di
Indonesia, Jakarta: Projek ELIPS.
9
Munir Fuady, 2003, Hukum Anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat. Bandung:
PT Citra Aditya Bakti, hlm 54.
10
Ibid. hlm 56.
11
Lihat UU No. 5 Tahun 1999, Psl 5 ayat (2).

9
2) Penetapan Harga yang Berbeda terhadap Barang dan atau

Jasa yang Sama

Pembuatan perjanjian yang berisikan penetapan harga yang

berbeda terhadap barang dan atau jasa yang sama dilarang

dilarang oleh Pasal 6 Undang-Undang Anti Monopoli. Dalam hal ini

yang dilarang adalah membuat perjanjian yang memberlakukan

diskriminasi terhadap kedudukan konsumen lainnya dengan jalan

memberikan harga yang berbeda-beda terhadap barang/jasa yang

sama. Diskriminasi harga baru layak dilarang oleh hukum monopoli

dan persaingan usaha tidak sehat manakala perbedaan harga

terhadap konsumen yang satu dengan yang lainnya pada

prinsipnya tidak merupakan refleksi dari perbedaan marginal cost

yang dikeluarkan oleh pihak penjual tersebut. 12

3) Penetapan harga di bawah harga pasar dengan pelaku usaha

lain

Penetapan harga di bawah harga pasar dengan pelaku

usaha lain dilarang oleh Pasal 7 dari Undang-Undang Anti

Monopoli. Larangan tersebut berlaku apabila penetapan harga di

bawah harga pasar tersebut dapat mengakibatkan terjadinya

persaingan usaha tidak sehat. Larangan pembuatan perjanjian

yang berisikan penetapan harga barang atau jasa di bawah harga

pasar atau yang dikenal dengan istilah “anti dumping” ini

12
Munir Fuady, Op Cit, hlm 56-57.

10
dimaksudkan agar pihak pesaingnya tidak dirugikan karena barang

atau jasanya tidak laku, padahal harga barang/jasanya sesuai

dengan harga pasar. Maka pihak yang kurang kuat modalnya tentu

tidak sanggup menyainginya. Apabila pesaing satu demi satu

berguguran karena barangnya tidak laku, pihak yang membuat

perjanjian tadi kembali menaikkan harga dengan sangat tinggi, hal

ini sangat merugikan pihak konsumen.13

4) Penetapan Harga Jual Kembali

Penetapan harga jual kembali dilarang oleh Pasal 8 UU No.

5 Tahun 1999. Yang dimaksudkan adalah bahwa seorang pelaku

usaha dilarang untuk membuat suatu perjanjian dengan pelaku

usaha lainnya bahwa pihak pembeli barang/jasa tersebut tidak akan

menjual atau memasok barang/jasa tersebut di bawah harga yang

telah ditetapkan bersama. Sebab seharusnya pihak pembeli bebas

untuk menetapkan harga dari barang/jasa yang sudah dibelinya

sesuai dengan penawaran dan permintaan yang ada di pasar.14

c. Perjanjian Pembagian Wilayah

Perjanjian pembagian wilayah dalam Pasal 9 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 mengatur:

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku


usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah
pemasaran atau lokasi pasar terhadap barang dan atau jasa
sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan persaingan usaha tidak sehat.

13
Ibid, hlm 60
14
Ibid.

11
Dari ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

dapat disimpulkan bahwa pembagian wilayah tidak termasuk per se illegal.

Oleh karena itu perjanjian yang demikian hanya dilarang apabila dapat

mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak

sehat.

d. Pemboikotan

Pelaku usaha juga dilarang untuk membuat perjanjian untuk

melakukan pemboikotan (boycott). Pemboikotan ini merupakan perjanjian

horizontal antara pelaku usaha pesaing untuk menolak mengadakan

hubungan dagang dengan pelaku usaha lain. Larangan membuat

perjanjian pemboikotan diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999:

1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku


usaha pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha
lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan
pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku
usaha pesaingnya, untuk menolak menjual setiap barang
dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan
tersebut:
a) merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku
usaha lain;atau
b) membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau
membeli setiap barang dan atau jasa dari pasar yang
bersangkutan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999, tidak disyaratkan adanya dampak negatif dari perjanjian

pemboikotan tersebut. Akan tetapi Pasal 10 angka (2) mensyaratkan

adanya kerugian yang diderita pelaku usaha lain sebagai akibat

12
pemboikotan atau halangan perdagangan barang dan/atau jasa dipasar

bersangkutan. Namun demikian, tidak berarti harus ada syarat dampak

negatif terhadap persaingan, karena terpenuhinya syarat di dalam ayat (2)

terebut tidak berarti persaingan pasti akan berkurang.15

e. Kartel

Larangan membuat perjanjian kartel ini diatur dalam Pasal

11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang menetapkan bahwa:

pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku


usaha saingannya yang bermaksud mempengaruhi harga
dengan mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang
dan/atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

f. Trust

Pasal 12 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang pelaku

usaha membuat perjanjian trust, yang melahirkan praktek monopoli

dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Pasal 12 ini mengatur:

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku


usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk
gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar,
dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan
hidup masing-masing perusahaan perseroan anggotanya, yang
bertujuan mengontrol produksi dan/atau pemasaran atas
barang dan/atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak
sehat.

Berdasarkan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,

perjanjian trust dilarang apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :16

15
Rachmadi Usman, Op Cit, hlm 55-56.
16
Munir Fuady, Op.Cit., hlm 65.

13
1) Adanya suatu perjanjian;
2) Perjanjian tersebut dibuat dengan pelaku usaha lain;
3) Dengan perjanjian tersebut dibentuk suatu kerja sama
dengan cara membentuk perusahaan yang lebih besar;
4) Akan tetapi perusahaan anggota trust masing tetap eksis;
5) Tujuannya adalah untuk mengontrol produksi barang
dan/atau jasa.
6) Tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

g. Oligopsoni

Jika istilah oligopoli ditujukan terhadap keadaan pasar di mana

hanya dua atau tiga perusahaan saja yang menjadi penjual terhadap

produk tertentu, maka sebaliknya dengan pengertian oligopsoni, di pasar

hanya ada dua atau tiga pembeli yang membeli produk tertentu. Perjanjian

yang mengakibatkan terbentuknya oligopsoni dilarang oleh Pasal 13

Undang-Undang Anti Monopoli, yang berbunyi:17

1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku


usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama
menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat
mengendalikan harga atas barang dan/atau jasa dalam
pasar yang bersangkutan, yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat.
2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-
sama menguasai pembelian dan atau penerimaan pasokan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) apabila 2 (dua)
atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha
menguasai lebih 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa
pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Dengan demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 13 tersebut, dapat

disimpulkan yang terkena larangan membuat perjanjian oligopsoni adalah

17
Munir Fuady, Op cit, hlm 66.

14
perjanjian yang dibuat pelaku usaha yang satu dengan pelaku usaha lain,

yang bertujuan sebagai berikut :18

1) secara bersama-sama;
2) menguasai pembelian dan/atau penerimaan pasokan atas
suatu barang, jasa, atau barang dan jasa tertentu;
3) dapat mengendalikan harga atas barang, jasa, atau barang
dan jasa dalam pasar yang bersangkutan;
4) menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima pesen) pangsa
pasar satu jenis barang atau jenis barang tertentu. Pangsa
pasar adalah persentase nilai jual atau beli barang atau jasa
tertentu yang dikuasai oleh pelaku usaha pada pasar
bersangkutan dalam kalender tertentu;
5) perjanjian yang dibuat tersebut ternyata dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat. Berarti perjanjian oligopsoni
tidak akan dilarang sepanjang tidak menimbulkan
monopolisasi dan/atau tetap menciptakan pasar kompetitif
dan/atau tidak merugikan masyarakat.

h. Integrasi Vertikal

Integrasi vertikal atau penguasaan pasar dari hulu ke hilir ini

meskipun mungkin bisa menghasilkan produk dengan harga paling murah,

tetapi hal tersebut dapat menimbulkan persaingan curang yang dapat

merusak sendi-sendi perekonomian masyarakat .19

Pasal 14 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menentukan

bahwa larangan perjanjian integrasi vertikal, yakni:

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku


usaha lain untuk menguasai produksi sejumlah produk yang
termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa
tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil
pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian
langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat atau merugikan
masyarakat.

18
Rachmadi Usman, Op.Cit, hlm 59-60.
19
Munir Fuady. Op.Cit, hlm 67-68.

15
i. Perjanjian Tertutup

Perjanjian tertutup termasuk perjanjian yang dilarang, dibuat pelaku

usaha untuk membuat perjanjian tertutup dengan pelaku usaha lainnya.

Dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 diatur:

1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku


usaha lain yang membuat persyaratan bahwa pihak yang
menerima barang dan/atau jasa hanya akan memasok atau
tidak memasok kembali barang dan/atau jasa tersebut
kepada pihak tertentu dan/atau tempat tertentu.
2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain
yang mengatur persyaratan bahwa pihak yang menerima
barang dan/atau jasa tertentu harus bersedia membeli
barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.
3) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga
tertentu atas barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha
pemasok.
a. harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari
pelaku usaha pemasok;
b. tidak akan membeli barang dan/atau jasa yang sama
atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi
pesaing dari pelaku usaha pemasok.

j. Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha

untuk membuat perjanjian dengan pihak luar negeri jika perjanjian

tersebut dapat menimbulkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha

tidak sehat. Hal ini diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999 bahwa:

pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di


luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak
sehat.

16
Dari Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dapat

disimpulkan bahwa perjanjian dengan pihak luar negeri yang dilarang

adalah yang dibuat pelaku usaha dengan perjanjian yang memuat

ketentuan-ketentuan tidak wajar atau dapat menimbulkan praktek

monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Dengan demikian,

membuat perjanjian dengan pihak luar negeri sah-sah saja selama tidak

menimbulkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. 20

2.1.2 Kegiatan yang dilarang

Kegiatan yang dilarang diatur dalam Pasal 17 sampai dengan

Pasal 24 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yaitu:

a. Monopoli

Pengertian monopoli terdapat pada Pasal 1 angka 1 Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999, yaitu penguasaan atas produksi dan/atau

pemasaran barang dan/jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu

kelompok pelaku usaha.

Pasal 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 berbunyi:

1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi


dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat.
2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan
penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang
dan/atau jasa sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)
Pasal ini apabila:
a. barang dan/atau jasa yang bersangkutan belum ada
substansinya; atau

20
Rachmadi Usman. Op Cit hlm 62

17
b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke
dalam persaingan usaha barang dan/atau jasa yang
sama; atau
c. satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha
menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa
pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

b. Monopsoni

Adapun dasar larangan kegiatan monopsoni ini diatur dalam

Pasal 18 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 sebagai berikut:

1) Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau


menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam
pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak
sehat.
2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai
penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila satu pelaku
usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih
dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang
atau jasa tertentu.

Jika dalam hal monopoli, seorang atau satu kelompok usaha

menguasai pangsa pasar yang besar untuk menjual suatu produk, maka

dengan istilah monopsoni, dimaksudkan sebagai seorang atau satu

kelompok usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar untuk

membeli suatu produk.

c. Penguasaan Pasar

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga melarang kegiatan

penguasaan pasar oleh pelaku usaha, baik sendiri maupun bersama

pelaku usaha lain. Pasal 1 Angka 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999 merumuskan pengertian pasar adalah lembaga ekonomi di mana

18
para pembeli dan penjual, baik secara langsung maupun tidak langsung,

dapat melakukan transaksi perdagangan barang dan/atau jasa.

Penguasaan pasar dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

diatur dalam Pasal 19, 20, dan Pasal 21.

Pasal 19

Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan,


baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat yaitu:
a. menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk
melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar
bersangkutan; atau
b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha
pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan
pelaku usaha pesaingnya itu; atau
c. membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau
jasa pada pasar bersangkutan; atau
d. melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha
tertentu.

Pasal 20

Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau


jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga
yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau
mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.

Pasal 21

Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam


menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi
bagian dalam komponen harga barang dan atau jasa yang
dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

Dari penjelasan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

diatur bahwa indikasi biaya yang dimanipulasi terlihat dari harga yang

lebih rendah dari harga seharusnya. Kecurangan dalam menetapkan

19
biaya produksi dan biaya lainnya ini bukan saja melanggar Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999, tetapi juga melanggar peraturan

perundang-undangan lainnya.21

d. Persekongkolan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang kegiatan

persekongkolan yang diatur dalam Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24. Hal-

hal yang diatur dalam Pasal tersebut, yakni:

Pasal 22
Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk
mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga
dapat mangakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

Pasal 23
Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk
mendapatkan inforamsi kegiatan usaha pesaingnya yang
diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat
mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat.

Pasal 24
Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk
menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau
jasa yang ditawarkan atau yang dipasok di pasar bersangkutan
menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun
ketepatan waktu yang dipersyaratkan.
Dari pasal-pasal di atas jenis-jenis persekongkolan yang dilarang

oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 sebagai berikut:

1) persekongkolan untuk mengatur pemenang tender;

2) persekongkolan untuk memperoleh rahasia perusahaan;

3) persekongkolan untuk menghambat pasokan produk.

21
Munir Fuady, Op.Cit, hlm 81.

20
2.1.3 Posisi Dominan

Pengertian posisi dominan diatur pada Pasal 1 Angka 4 Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 bahwa posisi dominan adalah

Keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang


berarti dipasar yang bersangkutan dalam kaitan pangsa pasar
yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi
diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan
dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada
pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk
menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa
tertentu.

Bentuk-bentuk kegiatan posisi dominan yang dilarang diatur pada

Pasal 25 sampai dengan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

Terdapat 4 (empat) macam bentuk kegiatan posisi yang dilarang, yaitu:

a. Kegiatan Posisi Dominan

Selain melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian atau

kegiatan tertentu yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan/atau

persaingan usaha tidak sehat, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga

melarang pelaku usaha yang dianggap memiliki posisi dominan untuk

melakukan kegiatan-kegiatan tertentu.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 25 mengatur:

1) Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik


secara langsung maupun tidak langsung untuk:
a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan
untuk mencegah dan atau manghalangi konsumen
memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik
dari segi harga maupun kualitas; atau
b. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau
c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi manjadi
pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.

21
2) Pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana
dimaksud ayat (1) apabila:
a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha
menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa
pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; atau
b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha
menguasai 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih
pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Unsur posisi dominan ini dianggap telah terpenuhi jika terjadi

keadaan seperti berikut):22

1) Penguasaan 50% (lima puluh persen) pangsa pasar atau


lebih dari satu jenis produk oleh satu pelaku usaha atau
satu kelompok pelaku usaha; atau
2) Penguasaan 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar
atau lebih dari satu jenis produk oleh dua atau tiga pelaku
usaha atau kelompok pelaku usaha.

b. Jabatan Rangkap

Dalam rangka mencegah terjadinya praktek monopoli dan/atau

persaingan usaha tidak sehat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga

melarang adanya hubungan yang terafiliasi, yakni melarang seseorang

menduduki jabatan rangkap pada waktu yang bersamaan pada

perusahaan lain.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 26 mengatur:

seseorang yang menduduki jabatan Direksi atau Komisaris dari


suatu perusahaan, pada waktu bersamaan dilarang merangkap
menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain, apabila
perusahan-perusahaan tersebut:
a. berada dalam pasar bersangkutan yang sama;atau
b. memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis
usaha; atau
c. secara bersama dapat menguasai pangsa pasar.

22
Munir Fuady. Op.Cit, hlm 86-87

22
Yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

Agar memenuhi larangan Pasal 26, harus memenuhi unsur-unsur

sebagai berikut : 23

1) minimal adanya dua perusahaan;


2) seseorang mempunyai jabatan di dua perusahaan tersebut;
3) jabatan rangkap tersebut baik sebagai direksi atau sebagai
komisaris;
4) jabatan rangkap tersebut dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat;
5) kedua perusahaan tersebut mempunyai salah satu
hubungan bisnis sebagai berikut:
a. berada pada pasar yang bersangkutan; atau
b. ada keterkaitan erat dalam bidang dan atau jenis usaha;
atau
c. menguasai pangsa pasar atas produk tertentu secara
bersama-sama.

c. Pemilikan Saham

Kepemilikan saham pada beberapa perusahaan yang dapat

mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha

tidak sehat dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 27.

Pasal tersebut berbunyi:

Pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada


beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha
dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama,
atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan
usaha yang sama pada pasar bersangkutan yang sama,
apabila kepemilikan terebut mengakibatkan:
a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha
menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa
pasar satu jenis barang atau jasa tertentu;
b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha
menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa
pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

23
Ibid, hlm 88.

23
d. Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan Perusahaan

Pasal 28 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengatur tentang

penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan perusahaan, yakni:

1) Pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan atau


peleburan badan usaha yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat.
2) Pelaku usaha dilarang melakukan pengambilalihan saham
perusahaan lain apabila tindakan tersebut dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat.
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan atau
peleburan badan usaha yang dilarang sebagimana yang
dimaksud ayat (1), dan ketentuan mengenai pengambilalihan
saham perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pengertian penggabungan, peleburan dan pengambilalihan

masing-masing dijelaskan pada Pasal 1 angka 1, angka 2 dan angka 3

Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1998 sebagai berikut:

Pasal 1 Angka 1
Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh
satu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan
perseroan lain yang telah ada dan selanjutnya perseroan yang
menggabungkan diri menjadi bubar.

Pasal 1 Angka 2
Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan dua
perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara
membentuk satu perseroan baru dan masing-masing perseroan
yang meleburkan diri menjadi bubar.

Pasal 1 Angka 3
Pengambillaihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh
badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih
baik seluruh maupun sebagian besar saham perseroan, yang
dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap
perseroan tersebut.

24
Suatu hal yang wajar apabila penggabungan, peleburan,dan

pengambilalihan ini mendapat pengaturan dalam hukum persaingan.

Alasannya, tindakan penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan

dapat berdampak secara langsung pada hidup matinya persaingan.

Bahkan ada suatu keadaan di mana ketika penggabungan, peleburan,

dan pengambilalihan dilakukan, tindakan tersebut bisa menguntungkan

konsumen. Namun, pada saat yang bersamaan hal ini juga bisa

mematikan persaingan sehat. Keadaan yang demikian perlu mendapat

pengaturan. Dalam hukum persaingan, keuntungan konsumen tidak dapat

dijadikan alasan untuk membenarkan tindakan penggabungan, peleburan,

dan pengambilalihan yang dilakukan. Alasannya, yang dipentingkan

dalam hukum persaingan bagaimana agar persaingan sehat bisa terus

berlangsung. Hukum persaingan tidak dimaksudkan semata-mata untuk

memberi keuntungan pada konsumen.24

2.2 Pengertian dan Unsur-Unsur Persekongkolan dalam Tender

2.2.1. Pengertian dan Unsur-Unsur Persekongkolan

Istilah persekongkolan di semua kegiatan masyarakat hampir selalu

berkonotasi negatif. Pandangan ini disebabkan, bahwa pada hakikatnya

persekongkolan atau konspirasi bertentangan dengan keadilan, karena

tidak memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh penawar untuk

24
Hikmahwanto Juwana, 1999, Merger, konsolidasi, dan Akuisisi dalam Perspektif Hukum
Persaingan Usaha dan UU No. 5/1999, Newsletter Nomor 38 Tahun X. Jakarta: Yayasan Pusat
Pengkajian Hukum. Sebagaimana dikutip dalam Rachmadi Usman, Op.Cit, hlm 92.

25
mendapatkan objek barang dan/atau jasa yang ditawarkan

penyelenggara. Akibat adanya persekongkolan tender, penawar yang

mempunyai itikad baik menjadi terhambat untuk masuk pasar, dan akibat

lebih jauh adalah terciptanya harga yang tidak kompetitif.25

Pengertian persekongkolan dikemukakan dalam Pasal 1 Angka 8

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang mengatur bahwa:

Persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerja


sama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha
lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi
kepentingan usaha yang bersekongkol.

Berdasarkan kamus hukum, persekongkolan adalah suatu kerja

sama antara dua pihak atau lebih yang secara bersama-sama melakukan

tindakan yang melanggar hukum. Pengertian tentang persekongkolan

dalam tender menurut beberapa Negara adalah suatu perjanjian antara

beberapa pihak untuk memenangkan persaingan dalam suatu tender.26

Pasal 22 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat berbunyi “ Pelaku Usaha

dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau

menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya

persaingan usaha tidak sehat.”

Pemahaman Pasal 1 Angka 8 agak berbeda dengan pengertian

persekongkolan dalam UU No. 5 tahun 1999 Pasal 22. Perbedaan


25
Adrian Sutedi, 2009, Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa dan Berbagai
Permasalahannhya, Jakarta: Sinar Grafika, hlm 222.
26
KPPU, Pedoman Pasal 22 tentang Larangan Pesekongkolan Tender, 2008: hlm. 10.

26
tersebut adalah, bahwa Pasal 22 mencantumkan adanya pihak lain selain

pelaku usaha dalam persekongkolan.27

Pasal 22 di atas dapat diuraikan ke dalam beberapa unsur sebagai

berikut :28

1) Unsur Pelaku Usaha

Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Angka 5, pelaku usaha

adalah:

“ Setiap orang atau badan usaha baik yang berbentuk badan


hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum
Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-
sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan
usaha dalam bidang ekonomi”.

2) Unsur Bersekongkol

Bersekongkol adalah “ Kerja sama yang dilakukan oleh pelaku

usaha dengan pihak lain atas insiatif siapapun dan dengan cara

apapun dalam upaya memenangkan perserta tender tertentu.”

Unsur bersekongkol antara lain dapat berupa :

a) kerja sama antara dua pihak atau lebih;

b) secara terang-terangan maupun diam-diam melakukan

tindakan penyesuaian dokumen dengan peserta lainnya;

c) membandingkan dokumen tender sebelum penyerahan;

d) menciptakan persaingan semu;

27
Adrian Sutedi, Op Cit, hlm 231
28
KPPU, Pedoman Pasal 22 tentang Larangan Pesekongkolan Tender. 2008: hlm. 8

27
e) menyutujui dan atau memfasilitasi terjadinya

persekongkolan;

f) tidak menolak melakukan suatu tindakan meskipun

mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa tindakan

tersebut dilakukan untuk mengatur dalam rangka

memenangkan peserta tender;

g) pemberian keempatan ekslusif oleh penyelenggara tender

atau pihak terkait secara langsung maupun tidak langsung

kepada pelaku usaha yang mengikuti tender, dengan cara

melawan hukum.

Kerja sama antara dua pihak atau lebih dengan diam-diam

biasanya dilakukan secara lisan, sehingga membutuhkan pengalaman

dari lembaga pengawas persaingan guna membuktikan adanya

kesepakatan yang dilakukan secara diam-diam. Dalam penawaran tender

yang dikuasai oleh kartel akan semakin mempersulit upaya penyelidikan

ini, kecuali terdapat anggota yang “berkhianat” membuka adanya

persekongkolan tersebut.29

3) Unsur Pihak Lain

Pihak lain adalah :

“ Para pihak (vertikal dan horizontal) yang terlibat dalam proses


tender yang melakukan persekongkolan tender baik pelaku

29
Adrian Sutedi, Op.Cit, hlm 232.

28
usaha sebagai peserta tender dan atau subjek hukum lainnya
yang terkait dengan tender tersebut.”
Adanya unsur “pihak lain” menunjukkan bahwa persekongkolan

selalu melibatkan lebih dari satu pelaku usaha.30

4) Unsur Mengatur dan atau Menentukan Pemenang Tender

Mengatur dan atau menentukan pemenang tender adalah:

“ suatu perbuatan para pihak yang terlibat dalam proses tender


secara bersekongkol yang bertujuan untuk menyingkirkan
pelaku usaha lain sampai pesaingnya dan/atau untuk
memenangkan peserta tender tertentu dengan berbagai cara”.
Pengaturan dan atau penentuan pemenang perserta tender
tersebut antara lain ditentukan dalam hal penetapan kriteria
pemenang, persyaratan teknik, keuangan, spesifikasi, proses
tender, dan sebagainya.31
5) Unsur Persaingan Usaha Tidak Sehat

Persaingan usaha tidak sehat adalah :

“ Persaingan antarpelaku usaha dalam menjalankan kegiatan


produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang
dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau
menghambat persaingan usaha”.
Unsur ini menunjukkan bahwa persekongkolan menggunakan

pendekatan rule of reason32, karena dapat dilihat dari kalimat “…sehingga

dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”.33

30
Ibid
31
KPPU, Pedoman Pasal 22 tentang Larangan Pesekongkolan Tender. 2008: hlm. 8.
32
Pendekatan rule of reason, yaitu penerapan hukum dengan mempertimbangkan alasan-
alasan dilakukannya suatu tindakan atau suatu perbuatan oleh pelaku usaha. apakah perbuatan
tersebut menghambat persaingan atau tidak.(Hermansyah, Op Cit.,hlm 79)
33
E.Thomas Sulivana dan Jeffrey L. Harrison, Understanding Antitrust and Its Economic
Implications (New York: Matthew Bander & Co, 1994), hlm 85. Sebagaimana dikutip dalam Adrian
Sutedi, Op.Cit hlm 237

29
Pendekatan rule of reason merupakan suatu pendekatan hukum

yang digunakan lembaga pengawas persaingan untuk

mempertimbangkan faktor-faktor kompetitif dan menetapkan layak atau

tidaknya suatu hambatan perdagangan. Artinya, untuk mengetahui

apakah hambatan tersebut bersifat mencampuri, mempengaruhi atau

bahkan mengganggu proses persaingan.34

Pendekatan rule of reason dalam Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun

1999 yang harus diterapkan terhadap persekongkolan tender ini akan

lebih menyulitkan pihak KPPU dalam proses penyelidikannya. Hal ini

mengingat persekongkolan tender di banyak negara umumnya

menggunakan pendekatan per se illegal, yakni dengan cara membuktikan

adanya kesepakatan kolusif maka pihak pengawas dapat menjatuhkan

denda atau sanksi administratif terhadap para pelaku usaha yang

melakukannya.35

2.2.2 Pengertian Tender

Berdasarkan penjelasan Pasal 22 UU No. 5/1999, tender adalah

tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk

mengadakan barang-barang atau untuk menyediakan jasa. Dalam hal ini

tidak disebut jumlah yang mengajukan penawaran (oleh beberapa atau

34
Ibid.
35
Ibid.

30
oleh satu pelaku usaha dalam hal penunjukan/pemilihan langsung).

Pengertian tender tersebut mencakup tawaran mengajukan harga untuk:36

1) Memborong atau melaksanakan suatu pekerjaan.

2) Mengadakan barang dan atau jasa.

3) Membeli suatu barang dan atau jasa.

4) Menjual suatu barang dan atau jasa.

Dalam prakteknya pengertian tender adalah sama dengan

pengertian "lelang". Pelelangan adalah serangkaian kegiatan untuk

menyediakan kebutuhan barang/ jasa dengan cara menciptakan

persaingan yang sehat di antara penyedia barang/ jasa yang setara dan

memenuhi syarat, berdasarkan metode dan tata cara tertentu yang telah

ditetapkan dan diikuti oleh pihak-pihak yang terkait secara taat asas

sehingga terpilih penyedia jasa terbaik. Definisi tersebut merupakan

bentuk operasional pelaksanaan Pasal 22 UU. No. 5 Tahun 1999 yang

ada di lapangan. Dari definisi tersebut, pengertian tender dan lelang tidak

dibedakan.37

Para pihak dalam tender terdiri atas pemilik pekerjaan/projek yang

melakukan tender dan pelaku usaha yang ingin melaksanakan projek

yang ditenderkan (peserta tender). Tender yang bertujuan untuk

memperoleh pemenang tender dalam iklim tender yang kompetitif harus

terdiri atas dua atau lebih pelaku usaha akan berkompetisi dalam

36
KPPU, Pedoman Pasal 22 tentang Larangan Pesekongkolan Tender. 2008: hlm. 7.
37
Komisi Pengawas Persaingan Usah,. Guideline Tender. Jakarta: 2007

31
mengajukan harga suatu projek yang ditawarkan, sehingga apabila

peserta tender hanya satu, maka pilihan pemilik pekerjaan menjadi lebih

terbatas. Keterbatasan pilihan sangat tidak menguntungkan bagi pemilik

pekerjaan karena ide dasar pelaksanaan tender adalah mendapatkan

harga terendah dengan kualitas terbaik. Dengan keberadaan lebih dari

dua peserta tender akan terjadi persaingan dalam pengajuan harga untuk

memborong, mengadakan, atau menyediakan barang/jasa.38

Setelah berbicara mengenai tender, maka tidak terlepas dari

pengadaan barang/jasa. Kontrak pengadaan mempunyai fungsi penting

dalam pembangunan perekonomian negara karena di samping bersifat

rutin dan melibatkan keuangan negara yang jumlahnya sangat besar ,

kebiijakan di sektor pengadaan merupakan bagian dari strategi

pembangunan ekonomi.39

2.3 Bentuk dan Indikasi Persekongkolan dalam Tender

2.3.1 Bentuk Persekongkolan dalam Tender

Persekongkolan dalam tender sering dikaitkan dengan pengadaan

barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh Pemerintah (Goverrnment

Procurement). Namun, jangkauan UU No.5/1999 dapat mencakup tidak

38
Yakub Adi Kristanto, 2006, Analisis Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 dan Karakteristik
Putusan KPPU Tentang Persekongkolan Tender.
39
Yohanes Sogar Simamora, 2009, Hukum Perjanjian Prinsip Kontrak Pengadaan Barang
dan Jasa oleh Pemerintah, Surabaya: Laksbang Pressindo, hlm 5.

32
hanya kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga termasuk

kegiatan yang dilakukan oleh sektor swasta. 40

Persekongkolan dalam tender dapat dibedakan pada tiga bentuk,

yaitu persekongkolan horizontal, persekongkolan vertikal, dan gabungan

persekongkolan vertikal dan horizontal. Berikut penjelasan atas ketiga

jenis persekongkolan tersebut:41

1) Persekongkolan Horizontal

Merupakan persekongkolan yang terjadi antara pelaku usaha atau

penyedia barang dan jasa dengan sesama pelaku usaha atau penyedia

barang dan jasa pesaingnya. Persekongkolan ini dapat dikategorikan

sebagai persekongkolan dengan menciptakan persaingan semu di antara

peserta tender.

2) Persekongkolan Vertikal

Merupakan persekongkolan yang terjadi antara salah satu atau

beberapa pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa dengan panitia

tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan jasa atau pemilik

pemberi pekerjaan. Persekongkolan ini dapat terjadi dalam bentuk dimana

panitia tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan atau jasa

pemilik atau pemberi pekerjaan bekerjasama dengan salah satu atau

beberapa peserta tender.

40
Adrian Sutedi, 2009, Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa dan Berbagai
Permasalahannhya, Jakarta: Sinar Grafika hlm.227.
41
KPPU, Pedoman Pasal 22 tentang Larangan Pesekongkolan Tender. 2008: hlm. 14.

33
3) Persekongkolan Horizontal dan Vertikal

Merupakan persekongkolan antara panitia tender atau panitia

lelang atau pengguna barang dan jasa atau pemilik atau pemberi

pekerjaan dengan pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa.

Persekongkolan ini dapat melibatkan dua atau tiga pihak yang terkait

dalam proses tender. Salah satu bentuk persekongkolan ini adalah tender

fiktif, dimana baik panitia tender, pemberi pekerjaan, maupun sesama

para pelaku usaha melakukan suatu proses tender hanya secara

administratif dan tertutup.

2.3.2 Indikasi Persekongkolan dalam Tender

Tender yang berpotensi menciptakan persaingan usaha tidak sehat

atau menghambat persaingan usaha adalah:42

1. Tender yang bersifat tertutup atau tidak transparan dan tidak

diumumkan secara luas, sehingga mengakibatkan para pelaku

usaha yang berminat dan memenuhi kualifikasi tidak dapat

mengikutinya;.

2. Tender yang bersifat diskriminatif dan tidak dapat diikuti oleh

semua pelaku usaha dengan kompetensi yang sama;

42
KPPU, Pedoman Pasal 22 tentang Larangan Pesekongkolan Tender. 2008: hlm. 12.

34
3. Tender dengan persyaratan dan spesifikasi teknis atau merek

yang mengarah kepada pelaku usaha tertentu sehingga

menghambat pelaku usaha lain untuk ikut.

Untuk mengetahui telah terjadi tidaknya persekongkolan dalam

tender, berikut dijelaskan berbagai indikasi persekongkolan yang sering

dijumpai pada pelaksanaan tender. Perlu diperhatikan bahwa, hal-hal

berikut ini merupakan indikasi persekongkolan, sedangkan bentuk atau

perilaku persekongkolan maupun ada tidaknya persekongkolan tersebut

harus dibuktikan melalui pemeriksaan oleh Tim Pemeriksa atau majelis

KPPU.43

1) Indikasi persekongkolan pada saat perencanaan, antara lain meliputi :


a. Pemilihan metode pengadaan yang menghindari pelaksanaan
tender/lelang secara terbuka.
b. Pencantuman spesifikasi teknik, jumlah, mutu, dan/atau waktu
penyerahan barang yang akan ditawarkan atau dijual atau dilelang
yang hanya dapat disuplai oleh satu pelaku usaha tertentu.
c. Tender / lelang dibuat dalam paket yang hanya satu atau dua
peserta tertentu yang dapat mengikuti/melaksanakannya.
d. Ada keterkaitan antara sumber pendanaan dan asal barang/jasa
e. Nilai uang jaminan lelang ditetapkan jauh lebih tinggi daripada nilai
dasar lelang.
f. Penetapan tempat dan waktu lelang yang sulit dicapai dan diikuti.

2) Indikasi persekongkolan pada saat pembentukan panitia, antara lain


meliputi :
a. Panitia yang dipilih tidak memiliki kualifikasi yang dibutuhkan
sehingga mudah dipengaruhi.
b. Panitia terafiliasi dengan pelaku usaha tertentu.
c. Susunan dan kinerja Panitia tidak diumumkan atau cenderung
ditutup-tutupi.

3) Indikasi persekongkolan pada saat Prakualifikasi perusahaan atau


Praelang, antara lain meliputi :

43
Ibid.

35
a. Persyaratan untuk mengikuti prakualifikasi membatasi dan/atau
mengarah kepada pelaku usaha tertentu.
b. Adanya kesepakatan dengan pelaku usaha tertentu mengenai
spesifikasi, merek, jumlah, tempat, dan/atau waktu penyerahan
barang dan jasa yang akan ditender atau dilelangkan.
c. Adanya kesepakatan mengenai cara, tempat, dan/atau
pengumuman tender/lelang.
d. Adanya pelaku usaha yang diluluskan dalam prakualifikasi
walaupun tidak atau kurang memenuhi persyaratan yang telah
ditetapkan.
e. Pantia memberikan perlakuan khusus/istimewa kepada pelaku
usaha tertentu.
f. Adanya persyaratan tambahan yang dibuat setelah prakualifikasi
dan tidak diberitahukan kepada semua peserta.
g. Adanya pemegang saham yang sama diantara peserta atau Panitia
atau pemberi pekerjaan maupun pihak lain yang terkait langsung
dengan tender/lelang ( benturan kepentingan ).

4) Indikasi persekongkolan pada saat pembuatan persyaratan untuk


mengikuti tender/lelang maupun pada saat penyusunan dokumen
tender/lelang, antara lain meliputi adanya persyaratan tender/lelang
yang mengarah kepada pelaku usaha tertentu terkait dengan
sertifikasi barang, mutu, kapasitas dan waktu penyerahan yang harus
dipenuhi.
5) Indikasi persekongkolan pada saat pengumuman tender atau lelang,
antara lain meliputi:
a. Jangka waktu pengumuman tender/lelang sangat terbatas.
b. Informasi dalam pengumuman tender/lelang dengan sengaja dibuat
tidak lengkap dan tidak memadai. Sementara informasi lebih
lengkap diberikan hanya kepada pelaku usaha tertentu.
c. Pengumuman tender/lelang dilakukan oleh media dengan
jangkauan yang sangat terbatas, misalnya pada surat kabar yang
tidak dikenal ataupun pada papan pengumuman yang jarang dilihat
publik atau pada surat kabar dengan jumlah eksamplar yang tidak
menjangkau sebagian besar terget yang diinginkan.
d. Pengumuman tender/lelang dimuat pada surat kabar dengan
ukuran iklan yang sangat kecil atau pada bagian layout surat kabar
yang sering kali dilewatkan oleh pembaca yang menjadi target
tender/lelang.

6.) Indikasi persekongkolan pada saat pengambilan dokumen


tender/lelang, antara lain meliputi:
a. Dokumen tender/lelang yang diberikan tidak sama bagi seluruh
calon peserta tender/lelang.

36
b. Waktu pengambilan dokumen tender/lelang yang diberikan sangat
terbatas.
c. Alamat atau pengambilan dokumen tender/lelang sulit ditemukan
oleh calon peserta tender/lelang.
d. Panitia memindahkan tempat pengambilan dokumen tender/lelang
secara tiba-tiba menjelang penutupan waktu pengambilan dan
perubahan tersebut tidak diumumkan secara terbuka.

7.) Indikasi persekongkolan pada saat penentuan harga perkiraan sendiri


atau harga dasar lelang, antara lain meliputi:
a. Adanya dua atau lebih harga perkiraan sendiri atau harga dasar
atas satu produk atau jasa yang ditender/dilelangkan.
b. Harga perkiraan sendiri atau harga dasar hanya diberikan kepada
pelaku usaha tertentu.
c. Harga perkiraan sendiri atau harga dasar ditentukan berdasarkan
pertimbangan yang tidak jelas dan tidak wajar.

8.) Indikasi persekongkolan pada saat penjelasan tender atau open


house lelang, antara lain meliputi:
a. Informasi atas barang/jasa yang ditenderkan atau dilelang tidak
jelas dan cenderung ditutupi.
b. Penjelasan tender/lelang dapat diterima oleh pelaku usaha yang
terbatas sementara sebagian besar calon peserta lainnya tidak
dapat menyetujuinya.
c. Panitia bekerja secara tertutup dan tidak memberi layanan atau
informasi yang seharusnya diberikan secara terbuka.
d. Salah satu calon peserta tender/lelang melakukan pertemuan
tertutup dengan panitia.

9.) Indikasi persekongkolan pada saat penyerahan dan pembukaan


dokumen atau kotak penawaran tender/lelang, antara lain:
a. adanya dokumen penawaran yang diterima setelah batas waktu.
b. Adanya dokumen yang dimasukkan dalam satu amplop bersama-
sama dengan penawaran peserta tender/lelang yang lain.
c. Adanya penawaran yang diterima oleh panitia dari pelaku usaha
yang tidak mengikuti atau tidak lulus dalam proses kualifikasi atau
proses administrasi.
d. Terdapat penyesuaian harga penawaran pada saat-saat akhir
sebelum memasukkan penawaran.
e. Adanya pemindahan lokasi/tempat penyerahan dokumen
penawaran secara tiba-tiba tanpa pengumuman secara terbuka.

10.) Indikasi persekongkolan pada saat evaluasi dan penetapan


pemenang tender/lelang, antara lain meliputi:
a. Jumlah peserta tender/lelang yang lebih sedikit dari jumlah peserta
tender/lelang dalam tender atau lelang sebelumnya.

37
b. Harga yang dimenangkan jauh lebih tinggi atau lebih rendah dari
harga tender/lelang sebelumnya oleh perusahaan atau pelaku
usaha yang sama.
c. Para peserta tender/lelang memasukkan harga penawaran yang
hampir sama.
d. Peserta tender/lelang yang sama, dalam tender atau lelang yang
berbeda mengajukan harga yang berbeda untuk barang yang
sama, tanpa alasan yang logis untuk menjelaskan perbedaan
tersebut.
e. Panitia cenderung untuk memberi keistimewaan pada peserta
tender/lelang tertentu.
f. Adanya beberapa dokumen penawaran tender yang mirip.
g. Adanya dokumen penawaran yang ditukar atau dimodifikasi oleh
panitia.
h. Proses evaluasi dilakukan ditempat yang terpencil atau
tersembunyi.
i. Perilaku dan penawaran para peserta tender/lelang dalam
memasukkan penawaran mengikuti pola yang sama dengan
beberapa tender atau lelang sebelumnya.

11.) Indikasi persekongkolan pada saat pengumuman calon pemenang,


antara lain meliputi:
a. Pengumuman diumumkan secara terbatas sehingga
pengumuman tersebut tidak diketahui secara optimal oleh pelaku
usaha yang memenuhi persyaratan, misalnya diumumkan pada
media massa yang tidak jelas atau diumumkan melalui faksimili
dengan nama pengirim yang kurang jelas.
b. Tanggal pengumuman tender/lelang ditunda dengan alasan yang
tidak jelas.
c. Peserta tender/lelang memenangkan tender atau lelang
cenderung berdasarkan giliran yang tetap.
d. Ada peserta tender/lelang yang memenangkan tender atau lelang
secara terus menerus di wilayah tertentu.
e. Ada selisih harga yang besar antara harga yang diajukan
pemenang tender/lelang dengan harga penawaran peserta
lainnya, dengan alasan yang tidak wajar atau tidak dapat
dijelaskan.

12.) Indikasi persekongkolan pada saat pengajuan sanggahan, antara


lain meliputi :
a. Panitia tidak menanggapi sanggahan peserta tender/lelang.
b. Panitia cenderung menutup-nutupi proses dan hasil evaluasi.
13.) Indikasi persekongkolan pada saat penunjukan pemenangan
tender/lelang dan penandatanganan kontrak, antara lain meliputi:

38
a. Surat penunjukan pemenang tender/lelang telah dikeluarkan
sebelum proses sanggahan diselesaikan.
b. Penerbitan surat penunjukan pemenang tender/lelang mengalami
penundaan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
c. Surat penunjukan pemenang tender/lelang tidak lengkap.
d. Konsep kontrak dibuat dengan menghilangkan hal-hal penting
yang seharusnya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam
kontrak.
e. Penandatanganan kontrak dilakukan secara tertutup.
f. Penandatanganan kontrak mengalami penundaan tanpa alasan
yang tidak dapat dijelaskan.

14.) Indikasi persekongkolan pada saat pelaksanaan dan evaluasi


pelaksanaan, antara lain meliputi:
a. Pemenang tender/lelang mensub-kontrakkan pekerjaan kepada
perusahaan lain atau peserta tender/lelang yang kalah dalam
tender atau lelang tersebut.
b. Volume atau nilai projek yang diserahkan tidak sesuai dengan
ketentuan awal, tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
c. Hasil pengerjaan tidak sesuai atau lebih rendah dibandingkan
dengan ketentuan yang diatur dalam spesifikasi teknis, tanpa
alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.

2.4 Tugas dan Kewenangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha

2.4.1 Tugas Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 secara tegas

mengatur tugas komisi meliputi:

a. Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat

mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau

persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal

4 sampai dengan Pasal 16;

b. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan/atau

tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya

39
praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat

sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24;

c. Melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya

penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan

terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak

sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai dengan

Pasal 28;

d. Mengambil tindakan sesuai dengan wewenang komisi

sebagaimana diatur dalam Pasal 36;

e. Memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan

pemerintah yang berkaitan terhadap praktek monopoli dan/atau

persaingan usaha tidak sehat;

f. Menyusun pedoman dan/atau publikasi yang berkaitan dengan

Undang-Undang ini;

g. Memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi

kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Berdasarkan Pasal tersebut, Komisi Pengawas Persaingan Usaha

ditugaskan melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat

mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha

tidak sehat, bertugas melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha

dan/atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya

praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, dan melakukan

penilaian terhadap ada atau tidaknya penyalahgunaan posisi dominan

40
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau

persaingan usaha tidak sehat, yang disebabkan penguasaan pasar yang

berlebihan, jabatan rangkap, pemilikan saham dan penggabungan,

peleburan dan pengambilalihan badan usaha atau saham. Dengan

demikian, pada prinsipnya fungsi dan tugas utama Komisi Pengawas

Persaingan Usaha adalah melakukan kegiatan penilaian terhadap

perjanjian, kegiatan usaha, dan penyalahgunaan posisi dominan yang

dilakukan pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha. Dalam hal terjadi

pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, di mana

pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha telah membuat perjanjian

yang dilarang atau melakukan perbuatan yang terlarang atau

penyalahgunaan posisi dominan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha

berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif dengan

memerintahkan pembatalan atau penghentian perjanjian-perjanjian dan

kegiatan-kegiatan usaha yang dilarang, serta penyalahgunaan posisi

dominan yang dilakukan pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha

tersebut.44

2.4.2 Kewenangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Sesuai dengan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,

secara lengkap kewenangan yang dimiliki Komisi Pengawas Persaingan

Usaha meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut;

44
Rachmadi Usman, Op Cit., 105-106.

41
a. Menerima laporan dari masyarakat dan/atau pelaku usaha

tentang dugaan terjadinya monopoli dan/atau persaingan usaha

tidak sehat;

b. Melakukan penelitian tentang dugaan dengan adanya kegiatan

usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli

dan/atau persaingan usaha tidak sehat;

c. Melakukan penyelidikan dan/atau pemeriksaan terhadap kasus

dugaan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak

sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha

atau yang ditemukan oleh Komisi sebagai hasil dari

penelitiannya;

d. Menyimpulkan hasil dari penyelidikan dan/atau pemeriksaan

tentang ada atau tidak adanya praktek monopoli dan/atau

persaingan usaha tidak sehat;

e. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan

pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang ini;

f. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap

orang yang dianggap mengetahui pelangaran terhadap

Undang-Undang ini;

g. Meminta bantuan penyidik45 untuk menghadirkan pelaku usaha,

saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud

45
Pengertian penyidik di sini adalah penyidik sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-
Undang Nomor 8 tajun 1981, yaitu pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai
negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh UU untuk melakukan penyidikan.

42
huruf e dan f Pasal ini, yang tidak tersedia memenuhi panggilan

Komisi;

h. Meminta keterangan dari instansi pemerintah dalam kaitannya

dengan penyelidikan dan/atau pemeriksaan terhadap pelaku

usaha yang melanggar ketentuan Undang-Undang ini;

i. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau

alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;

j. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian

di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat;

k. Memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang

diduga melakukan praktek monopoli dan/atau persaingan

usaha tidak sehat.

l. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada

pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-Undang ini.

Dari rincian tugas dan wewenang dari KPPU seperti terlihat

tersebut di atas, terlihat bahwa kewenangan KPPU hanya terbatas pada

kewenangan administratif.46, termasuk menjatuhkan ganti kerugian dan

denda; ia tidak mempunyai hak menjatuhkan sanksi pidana pokok dan

tambahan, yang merupakan wewenang badan peradilan.47

46
Munir Fuady , Op Cit.,hlm 103.
47
Rachmadi Usman, Op Cit.,hlm 110.

43
BAB 3

KASUS POSISI

3.1 Kasus Posisi Dugaan Persekongkolan Tender dalam


Pengadaan Barang/Jasa EO LKS SMK Tingkat Nasional Dinas
Pendidikan Provinsi Sulawesi-Selatan Tahun Anggaran 2008

Para terlapor pada kasus pelanggaran Pasal 22 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 yang ditangani oleh KPPU yakni terlapor I Panitia

tender kegiatan Event Organizer (EO) Lomba Keterampilan Siswa (LKS)

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Tingkat Nasional Dinas Pendidikan

Provinsi Sulawesi Selatan Tahun Anggaran 2008, Terlapor II PT.

Makassar Promosindo, dengan alamat kantor di Jl. Pengayoman Nomor

15A Makassar yang melakukan kegiatan usaha di bidang Jasa

Penyelenggaraan Pameran Advertising sebagai calon pemenang I

(selanjutnya disebut sebagai pemenang tender), dan terlapor III PT.

Cinggarindo Galba yang berkedudukan di Jakarta Selatan sebagai calon

pemenang II.

Panitia tender mengadakan pengumuman tender di harian

Ujungpandang Ekspress dan Media Indonesia tanggal 26 April 2008.

Terdapat 38 peserta yang mendaftar. Setelah proses tender

dilaksanakan, panitia tender mengumumkan Terlapor II, yakni PT.

Makassar Promosindo sebagai pemenang tender. Diumumkannya

Terlapor II sebagai pemenang tender tersebut mengundang reaksi demo

dari peserta tender lainnya ke kantor Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi

Selatan dan beberapa sanggahan dari peserta tender. Pengumuman ini

44
kemudian dibatalkan oleh Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi

Selatan karena terdapat kekeliruan. Keputusan Kepala Dinas Pendidikan

kemudian diumumkan oleh Terlapor I pada tanggal 27 Mei 2008 yang

pada intinya menyatakan Pembatalan Pengumuman Pelelangan Nomor

011/Pan/LKS/SMK.2008 dan akan melakukan evaluasi ulang terhadap

dokumen penawaran yang masuk. Terlapor pertama kemudian

mengundang peserta tender pertama untuk mengikuti tender kedua.

Setelah proses tender tahap kedua dilaksanakan, pada tanggal 5

Juli 2008 Terlapor I mengusulkan Terlapor II sebagai Calon Pemenang I

dan Terlapor III sebagai calon pemenang II. Kepala Dinas Pendidikan

Provinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 6 Juni 2008 mengeluarkan surat

persetujuan yang pada intinya menyetujui usulan pemenang tender dari

Terlapor I dan pada tanggal 6 Juni 2008 tersebut, Terlapor I

mengumumkan calon pemenang yaitu Terlapor II sebagai calon

pemenang I dan Terlapor III sebagai calon pemenang II. Setelah

Terlapor I mengumumkan hal tersebut, terdapat dua perusahaan yang

mengajukan sanggahan yaitu PT. Debindo dan CV. Dimensi.

Pada tanggal 3 Desember 2008, sekretariat Komisi Pengawas

Persaingan Usaha (KPPU) menerima laporan tentang adanya dugaan

pelanggaran Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 pada tender

kegiatan tersebut.

45
Terdapat indikasi persekongkolan secara horisontal dan vertikal

yang dilakukan oleh Terlapor I, Terlapor II, dan Terlapor III, yaitu:

1) Persekongkolan Horisontal:

a) Kerjasama dalam penyiapan dokumen penawaran tender

antara Terlapor II dan Terlapor III dengan ditemukan adanya

kesamaan kesalahan pengetikan pada dokumen: “Daftar Kode

dan Nama Bidang Lomba”, “RAB Penyiapan Bahan Lomba”

dan “Rincian Biaya Penyiapan (Sewa) Alat Lomba.

b) Persaingan semu (shame competition) antara Terlapor II dan

Terlapor III dengan tidak adanya perbaikan harga oleh Terlapor

III pada tender ulang meskipun Terlapor I telah menurunkan

pagu anggaran sebesar Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta

rupiah); dan dengan tidak adanya sanggahan oleh Terlapor III

pada tender ulang yang dapat diartikan Terlapor III tidak

merasa dirugikan dengan ditetapkannya Terlapor II sebagai

pemenang pada tender ulang tersebut.

2) Persekongkolan Vertikal:

a) Mempersempit persaingan dengan cara menggugurkan 22

peserta tender (dari 24 peserta tender yang memasukkan

dokumen penawaran) pada evaluasi administrasi, sehingga

peserta tender yang lulus evaluasi administrasi hanya 2 peserta

tender yaitu Terlapor II dan Terlapor III.

46
b) Pengaturan dan penentuan Terlapor II sebagai pemenang

tender oleh Terlapor I dengan cara mengganti metode

pelelangan yang semula sistem gugur menjadi sistem

penilaian/merit point sehingga memungkinkan penilaian yang

bersifat subjektif oleh Terlapor I terhadap Terlapor II dan

Terlapor III.

Berdasarkan kasus posisi di atas, penulis akan melakukan

penelitian tentang persekongkolan tender vertikal yang terjadi yaitu antara

Terlapor I dan Terlapor II dan persekongkolan tender horisontal antara

Terlapor II dan Terlapor III.

47
BAB 4

PERUMUSAN INTISARI PUTUSAN

4.1 Pertimbangan Hukum yang Menjadi Dasar Putusan Majelis


Komisi Pengawas Persaingan Usaha atas Laporan tentang
Adanya Dugaan Pelanggaran Pasal 22 Undang-undang Nomor
5 Tahun 1999
1. Unsur Pelaku Usaha

1.1 Yang dimaksud pelaku usaha berdasarkan Pasal 1 angka 5

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah “orang perorangan

atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan

badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan

kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik

sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian,

menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang

ekonomi”;

1.2 Pelaku usaha yang dimaksud dalam perkara ini adalah

Terlapor II dan Terlapor III.

1.3 Dengan demikian, unsur pelaku usaha terpenuhi

2. Pihak Lain

2.1 Berdasarkan Pedoman Pasal 22 Undang-undang Nomor 5 Tahun

1999 yang dimaksud dengan pihak lain adalah “para pihak (vertikal

dan horizontal) yang terlibat dalam proses tender yang melakukan

persekongkolan tender baik pelaku usaha sebagai peserta tender

48
dan/atau subjek hukum lainnya yang terkait dengan tender

tersebut”;

2.2 Pihak lain dalam perkara ini adalah Terlapor I;

2.3 Dengan demikian, unsur Pihak Lain terpenuhi;

3. Unsur Bersekongkol

3.1 Yang dimaksud dengan bersekongkol berdasarkan Pedoman

Pasal 22 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah “kerja sama

yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pihak lain atas inisiatif

siapapun dan dengan cara apapun dalam upaya memenangkan

peserta tender tertentu”;

3.2 Berdasarkan Pedoman Pasal 22 Undang-undang Nomor 5 Tahun

1999, persekongkolan dapat terjadi dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu

persekongkolan horizontal, persekongkolan vertikal, dan gabungan

dari persekongkolan horizontal dan vertikal

3.3 Yang dimaksud dengan persekongkolan horizontal adalah

persekongkolan yang terjadi antara pelaku usaha atau penyedia

barang dan jasa dengan sesama pelaku usaha atau penyedia

barang dan jasa pesaingnya; persekongkolan vertikal adalah

persekongkolan yang terjadi antara salah satu atau beberapa

pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa dengan panitia tender

atau panitia lelang atau pengguna barang dan jasa atau pemilik

49
atau pemberi pekerjaan, sedangkan gabungan persekongkolan

horizontal dan vertikal adalah persekongkolan antara panitia tender

atau panitia lelang atau pengguna barang dan jasa atau pemilik

atau pemberi pekerjaan dengan sesama pelaku usaha atau

penyedia barang dan jasa;

3.4 Persekongkolan Horizontal

3.4.1 Terdapat tindakan persekongkolan horizontal antara Terlapor II

dengan Terlapor III dalam bentuk adanya kesamaan kesalahan

pengetikan pada dokumen penawaran teknis antara Terlapor II

dan Terlapor III.

3.4.2 Kesamaan kesalahan pengetikan tersebut terjadi karena Terlapor I

telah memberikan CD berisi softcopy spesifikasi teknis kepada para

peserta tender, termasuk kepada Terlapor II dan Terlapor III;

3.4.3 Terlapor III tidak melakukan perubahan harga penawaran

meskipun pagu anggaran telah diturunkan oleh Terlapor I;

3.4.4 Terlapor III tidak merubah harga penawaran karena semata-mata

dengan alasan bisnis dan informasi dari harga barang dan jasa

pada saat itu dan dengan memperhitungkan biaya-biaya yang

akan timbul untuk transportasi dan akomodasi karena Terlapor III

berkedudukan di Jakarta, sementara pelaksanaan acara berada di

Makassar;

50
3.4.5 Terlapor III tidak mengajukan sanggahan dengan ditetapkannya

Terlapor II sebagai pemenang tender;

3.4.6 Terlapor III tidak mengajukan sanggahan karena Terlapor III

dinyatakan Tidak Lengkap (TL) dalam pembukaan dokumen dan

dinyatakan dalam Berita Acara Pembukaan Dokumen, sehingga

Terlapor III merasa sudah tidak ada kesempatan untuk menang;

3.4.7 Dengan demikian, unsur persekongkolan horizontal antara

Terlapor II dan Terlapor III tidak terpenuhi;

3.5 Persekongkolan Vertikal

3.5.1 Terlapor I telah mempersempit persaingan dengan cara

menetapkan persyaratan melampirkan Surat Keterangan Memiliki

Kinerja Baik dari pemerintah setempat/dimana kegiatan tersebut

dilaksanakan;

3.5.2 Terlapor I telah mempersempit persaingan diantara peserta tender

dengan cara melakukan kesalahan evaluasi dengan meloloskan

Terlapor III yang telah dinyatakan Tidak Lengkap (TL)

sebagai calon pemenang II dan menyatakan Tidak Lengkap (TL)

penawaran PT. Taria dan CV. Green Production, meskipun

keduanya telah memenuhi persyaratan;

3.5.3 Terlapor I telah merubah sistem tender dari sistem gugur

menjadi sistem nilai (merit point system) memungkinkan Terlapor I

51
membuat penilaian subjektif kepada Terlapor II dan Terlapor III

untuk mengatur Terlapor II sebagai pemenang tender;

3.5.4 Majelis Komisi menilai tindakan Terlapor I sebagaimana

diuraikan pada butir 3.5.1. sampai dengan butir 3.5.3. bagian

Tentang Hukum tersebut memiliki dampak yang menguntungkan

bagi Terlapor II meskipun Terlapor II tidak melakukan tindakan

secara aktif kepada Terlapor I untuk mempengaruhi penilaian

Terlapor I;

3.5.5 Majelis Komisi menilai tindakan Terlapor I sebagaimana

diuraikan pada butir 3.5.1. sampai dengan butir 3.5.3. bagian

Tentang Hukum merupakan tindakan yang dapat dikategorikan

sebagai tindakan persekongkolan vertikal untuk memfasilitasi

Terlapor II sebagai pemenang tender;

3.5.6 Dengan demikian, unsur persekongkolan vertikal antara

Terlapor I dengan Terlapor II terpenuhi;

4. Unsur Mengatur dan/atau Menentukan Pemenang Tender;

4.1 Yang dimaksud dengan mengatur dan/atau menentukan

pemenang tender berdasarkan Pedoman Pasal 22 Undang-undang

Nomor 5 Tahun 1999 adalah suatu perbuatan para pihak yang

terlibat dalam proses tender secara bersekongkol yang bertujuan

untuk menyingkirkan pelaku usaha lain sebagai pesaingnya

52
dan/atau untuk bertujuan memenangkan peserta tender tertentu

dengan berbagai cara;

4.2 Yang dimaksud dengan tender berdasarkan penjelasan Pasal 22

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah tawaran mengajukan

harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan

barang-barang, atau untuk menyediakan jasa;

4.3 Yang dimaksud tender dalam perkara ini adalah Tender

Kegiatan Event Organizer (EO) Lomba Keterampilan Siswa (LKS)

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Tingkat Nasional Dinas

Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun Anggaran 2008

4.4 Perilaku Terlapor I yang dengan sengaja melakukan tindakan

sebagaimana diuraikan dalam butir 3.5.1. sampai dengan butir

3.5.3. bagian Tentang Hukum merupakan bentuk memfasilitasi

Terlapor II untuk menentukan Terlapor II sebagai pemenang tender;

4.5 Dengan demikian, unsur mengatur dan/atau menentukan

pemenang tender antara Terlapor I dan Terlapor II terpenuhi;

5. Unsur Persaingan Usaha Tidak Sehat

5.1 Yang dimaksud dengan persaingan usaha tidak sehat

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 6 Undang-undang

Nomor 5 Tahun 1999 adalah persaingan antara pelaku usaha

dalam menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang

53
dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan

hukum atau menghambat persaingan usaha;

5.2 Tindakan persekongkolan antara Terlapor I dengan Terlapor

II, pada Tender Kegiatan Event Organizer (EO) Lomba

Keterampilan Siswa (LKS) Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

Tingkat Nasional Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan

Tahun Anggaran 2008 sebagaimana diuraikan pada butir 3.5.

bagian Tentang Hukum merupakan tindakan tidak jujur dan

melawan hukum yang mengakibatkan persaingan usaha tidak

sehat;

5.3 Dengan demikian, unsur persaingan usaha tidak sehat antara

Terlapor I dengan Terlapor II terpenuhi;

Menimbang bahwa sebagaimana tugas Komisi yang dimaksud

dalam Pasal 35 huruf e Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, Majelis

Komisi merekomendasikan kepada Komisi untuk memberikan saran dan

pertimbangan kepada Pemerintah dan pihak terkait, sebagai berikut:

a. Meminta Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan untuk

memberikan sanksi kepada Panitia Tender karena tidak

menjalankan proses tender dengan benar dan dengan sengaja

menfasilitasi Terlapor II untuk menjadi pemenang tender;

b. Memberikan saran kepada Gubernur Sulawesi Selatan untuk

menginstruksikan kepada Kepala Dinas Pendidikan berikut instansi

54
di bawahnya untuk membuat dan melaksanakan aturan tender

sesuai ketentuan yang berlaku dengan memperhatikan prinsip-

prinsip persaingan usaha yang sehat;

Menimbang bahwa perkara ini tidak dalam ruang lingkup

sebagaimana yang dikecualikan dalam Pasal 50 Undang-undang Nomor 5

Tahun 1999;

Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di

atas, maka mengingat Pasal 43 ayat (3) Undang-undang Nomor 5 Tahun

1999, Majelis Komisi:

MEMUTUSKAN

1. Menyatakan Terlapor I: Panitia Tender Kegiatan Event Organizer

(EO) Lomba Keterampilan Siswa (LKS) SMK Tingkat Nasional

terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22 Undang-

undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli

dan Persaingan Usaha Tidak Sehat;

2. Menyatakan Terlapor II: PT. Makassar Promosindo dan Terlapor III:

PT. Cinggarindo Galba tidak terbukti melanggar Pasal 22 Undang-

undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli

dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

55
BAB 5

ANALISIS KASUS

5. I Mekanisme Tender yang Dilaksanakan oleh Terlapor I


Dikaitkan dengan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

LKS SMK diselenggarakan untuk memacu siswa dalam

meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran. Ditargetkan, para

siswa dan lulusannya mampu menembus dan berkompetisi pada skala

nasional maupun internasional. Dalam jangka pendek, kegiatan ini terbukti

berhasil memberikan wahana pada siswa untuk menunjukan kemampuan

dan keterampilan yang dimiliki, sedangkan dalam jangka panjang

merupakan tahapan penting untuk memasuki dunia kerja yang

sesungguhnya bagi lulusan SMK. Dalam dimensi masyarakat, kegiatan

LKS ini dapat menguatkan kepercayaan terhadap keberadaan dan potensi

SMK sebagai institusi pendidikan yang berkualitas untuk menyediakan

teknisi tingkat menengah.

Lomba Keterampilan Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (LKS

SMK) XVI 2008 telah dilaksanakan dari tanggal 24 s/d 28 Juni 2008 di

Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. Provinsi Jawa Tengah

berhasil meraih sebanyak 13 medali emas dari 50 bidang lomba.

Sementara peringakat kedua ditempati oleh Provinsi Jawa Timur dengan

meraih sebanyak 10 medali emas, sedangkan peringkat ketiga diraih oleh

Provinsi Sulawesi Selatan dengan meraih lima medali emas. Adapun

56
peringkat keempat dan kelima ditempati Provinsi Jawa Barat dan DKI

jakarta dengan masing-masing meraih sebanyak empat medali emas.

Penyerahan piala bergilir Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas)

diserahkan oleh Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan

Menengah Depdiknas kepada perwakilan juara umum pada Sabtu

(28/06/2008) malam di Celebes Convention Center (CCC), Makassar,

Provinsi Sulawesi Selatan.

Dalam melaksanakan kegiatan Lomba Keterampilan Siswa ini,

Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan selaku tuan rumah kegiatan,

membuka adanya tender pekerjaan pengadaan barang/jasa Event

Organizer (EO) Lomba Keterampilan Siswa (SMK). Dalam malaksanakan

tender ini, panitia tender harus berpedoman pada Keppres Nomor 80

Tahun 2003 tentang Pangadaan Barang/Jasa Pemerintah. untuk

menentukan mekanisme tender, maka ada 3 hal yang perlu diperhatikan

yaitu prosedur pemilihan penyedia barang/jasa, metoda penyampaian

dokumen penawaran, dan metoda evaluasi penawaran.

1) Prosedur pemilihan penyedia barang/jasa

Dalam kegiatan pekerjaan event organizer ini, prosedur dilakukan

dengan metoda pelelangan umum dengan pasca kualifikasi. Pelelangan

umum adalah metoda pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan

secara terbuka dengan pengumuman secara luas melalui media massa

dan papan pengumuman resmi untuk penerangan umum sehingga

57
masyarakat luas dunia usaha yang berminat dan memenuhi kualifikasi

dapat mengikutinya.48 Langkah-langkah kegiatan tender ini adalah:

a. Pengumuman

Pengumuman kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah

mensyaratkan adanya pengumuman secara terbuka melalui surat

kabar nasional dan/atau surat kabar provinsi.49 Pengumuman

pelelangan yang ditujukan kepada perusahaan besar

menggunakan surat kabar yang menjangkau provinsi atau

nasional.50 Untuk pengadaan dengan metoda pelelangan

umum/terbatas yang bernilai di atas Rp. 1.000.000.000,00 (satu

miliar rupiah) diumumkan sekurang-kurangnya di satu surat kabar

nasional dan satu surat kabar provinsi di lokasi kegiatan

bersangkutan.51 Dalam pengadaaan barang/jasa EO LKS SMK ini

lelang diumumkan di surat kabar nasional yaitu di Media Indonesia

dan surat kabar provinsi yaitu Ujungpangdangekspress pada

tanggal 26 April 2008. Pemilihan surat kabar sebagaimana

dimaksud agar calon penyedia barang/jasa dan masyarakat dapat

dengan mudah mendapatkan informasi mengenai rencana kegiatan

pengadaan barang/jasa pemerintah.

48
Pedoman Pelaksanaan Pengadaan barang/jasa Pemerintah.
49
Lih. Pasal 4 huruf I Keppres 80/2003. Ditambahkan dalam Perpres 8 Tahun 2006
(Perubahan Keempat Keppres 80 tahun 2003) Pasal 1 Angka (2)
50
Sabinus Sadar, Rita M, Vincent K, 2009, Kiat Memenangkan Tender Barang/Jasa. Jakarta:
Forum Sahabat, hal. 60.
51
Lih. Pasal 20A Keppres Nomor 80 tahun 2003. Ditambahkan dalam Perpres 8 Tahun 2006
(Perubahan Keempat) Pasal I Angka (8)

58
b. Pendaftaran/Pengambilan Dokumen

Penyedia barang/jasa yang berminat menjadi peserta lelang

mendaftar di tempat yang telah ditentukan dalam pengumuman

sesuai jadwal yang ditetapkan yaitu sejak tangal 28 April 2008

pukul 09.00WITA di Aula LT.3 Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi-

Selatan sampai dengan 13 Mei 2008 dan pada lelang pertama ini

terdapat 38 (tiga puluh delapan) peserta yang mendaftar.

c. Penjelasan Pekerjaan (Aanwijzing) dan Pembuatan Berita


Acara Penjelasan Pekerjaan

Penjelasan lelang dilakukan di tempat dan pada waktu yang

ditentukan yaitu pada hari Jumat tanggal 9 Mei 2008, bertempat

Ruang Rapat Lt.3 Dinas Pendidikan Provinsi Sulsel dan dihadiri

oleh para penyedia barang/jasa yang terdaftar dalam daftar

peserta lelang. Ketidakhadiran penyedia barang/jasa pada saat

penjelasan lelang tidak dapat dijadikan dasar untuk

menolak/menggugurkan penawaran. Dalam acara penjelasan

lelang, hal-hal yang dijelaskan kepada peserta lelang yaitu tentang

dokumen Pelelangan/Rencana Kerja dan Syarat-Syarat (RKS)

pekerjaan pelaksanaan kegiatan EO LKS SMK Tingkat Nasional

XVI Tahun 2008. Pada proses Aanwijzing ini dihadiri oleh 24

peserta tender yang masing-masing mewakili perusahaannya.

Rapat dibuka secara resmi pada jam 14.30 wita oleh pemimpin

rapat yaitu Ir.Hj.Nurbaya, MM., selaku ketua panitia dengan

menyampaikan ucapan doa dan syukur kepada Allah SWT. Pada

59
rapat ini, peserta rapat menunjuk 2 (dua) orang saksi sebagai wakil

peserta lelang dan keduanya bersedia mewakili seluruh peserta

lelang sebagai saksi untuk untuk menandatangani Berita Acara

Aanwijzing. Dua orang saksi tersebut yaitu Irwan Wijaja dan Abdi

Razak. Pemimpin rapat menyatakan bahwa akan membacakan

seluruh pasal demi pasal yang tertuang dalam RKS dan setelah

selesai pembacaan akan dilanjutkan dengan penjelasan kerangka

acuan kerja dan tehnis. Dalam proses Aanwijzing ini peserta rapat

diperkenankan untuk mengajukan pertanyaan dan memberikan

usul kepada panitia tender. Pemberian penjelasan mengenai pasal-

pasal dokumen pemilihan penyedia barang/jasa yang berupa

pertanyaan dari peserta dan jawaban dari panitia/panitia

pengadaan serta keterangan lain termasuk perubahannya, harus

dituangkan dalam Berita Acara Penjelasan (BAP) yang

ditandatangani oleh panitia pengadaan dan wakil dari peserta yang

hadir yang telah ditunjuk/disepakati oleh peserta tender.

d. Penyampaian dan Pembukaan Dokumen Penawaran

Pada akhir batas waktu penyampaian dokumen penawaran,

panitia pengadaan membuka rapat pembukaan dokumen

penawaran, menyatakan dihadapan para peserta pelelangan

bahwa saat pemasukan dokumen penawaran telah ditutup sesuai

waktunya, menolak dokumen penawaran yang terlambat dan/atau

tambahan dokumen penawaran, kemudian membuka dokumen

60
penawaran yang masuk.52 Pada kegiatan tender ini, penyampaian

dan pembukaan dokumen penawaran dilaksanakan pada hari rabu,

14 Mei 2008 pukul 13.55 wita di ruang rapat LT.3 Dinas Pendidikan

Prov. Sulsel, menolak dokumen penawaran yang telah terlambat

dan/atau tambahan dokumen penawaran yang terlambat dan/atau

tambahan dokumen penawaran, kemudian membuka dokumen

penawaran yang masuk. Panitia kemudian meminta kesediaan

peserta untuk menunjuk 2(dua) orang saksi. Dari dokumen

penawaran yang masuk, panitia bersama saksi melakukan:

a) Menghitung jumlah sampul dokumen penawaran yang

masuk.

b) Membuka sampul utama, dan dilanjutkan membuka sampuI

II (data administrasi dan Teknis)

c) Membacakan masa berlaku penawaran pada Surat

Penawaran Tanpa Harga, dan Nilai Jaminan Penawaran.

d) Panitia pelelangan segera membuat berita acara pembukaan

dokumen penawaran sampul I dan ditandatanagani oleh

panitia dan wakil peserta yang ditunjuk.

e) Pembukaan dokumen penawaran sampul II dilakukan

bersama antara panitia dan peserta yang diundang.

f) Panitia meminta kepada peserta 2 orang saksi untuk

bersama-sama panitia membacakan dokumen penawaran

52
Lampiran I Keppres 80 Tahun 2003 Bab II A.1.e

61
yang terdapat pada Sampul II, berita acara ditandatangani

oleh panitia pengadaan yang hadir dan wakil dari peserta.

g) Berita Acara Pembukaan Penawaran (BAPP) dibagikan

kepada peserta yang hadir tanpa dilampiri dokumen

penawaran, dan peserta yang tidak hadir dapat mengambil

langsung kepada panitia.

e. Evaluasi Penawaran

Pelaksanaan evaluasi penawaran dilakukan oleh panitia

pengadaan terhadap semua penawaran yang masuk. Evaluasi

tersebut meliputi evaluasi administrasi, teknis, dan harga

berdasarkan kriteria, metoda, dan tatacara evaluasi yang telah

ditetapkan dalam dokumen pemilihan penyedia barang/jasa.

Penawaran yang memenuhi syarat adalah penawaran yang sesuai

ketentuan, syarat-syarat dan spesifikasi yang ditetapkan dalam

dokumen, tanpa ada penyimpangan yang bersifat penting/pokok atau

penawaran bersyarat yaitu jenis penyimpangan yang berpengaruh

terhadap hal-hal yang sangat substantive dan akan mempengaruhi

lingkup, kualitas dan hasil/kinerja/performance pekerjaan.

f. Usulan Penetapan Pemenang

Panitia tender membuat dan menyampaikan laporan kepada

pejabat yang berwenang mengambil keputusan untuk menetapkan

pemenang lelang, melalui Kepala Dinas Pendidikan Prov. Sulawesi

Selatan.

62
g. Penetapan Pemenang lelang

Setelah panitia tender mengusulkan terlapor II yaitu PT.

Makassar Promosindo sebagai pemenang lelang. Kepala Dinas

Pendidikan Prov.Sulsel kemudian menetapkannya sebagai

pemenang.

h. Pengumuman Pemenang Lelang

Bahwa diumumkannya Terlapor II (PT.Makassar

Promosindo) sebagai pemenang tender mengundang reaksi demo

dari peserta tender lainnya ke kantor Dinas Pendidikan Provinsi

Sulawesi Selatan dan beberapa sanggahan dari peserta tender.

i. Masa Sanggah

Kepada peserta lelang yang berkeberatan atas penetapan

pemenang lelang diberikan kesempatan untuk mengajukan

sanggahan secara tertulis, selambat-lambatnya dalam waktu 5

(lima) hari kerja setelah pengumuman lelang. Pada masa sanggah

ini, beberapa peserta tender dan Lembaga Swadaya Masyarakat

mendatangi dan berdemonstrasi di dalam halaman kantor Dinas

Pendidikan Prov.Sulawesi Selatan. Para demonstran mengatakan

bahwa Kepala Dinas Pendidikan dan panitia tender telah

melakukan persekongkolan dengan peserta tender tertentu. Selain

itu, dalam tender ini juga ada unsur-unsur politik dimana ada

63
desakan dari berbagai pihak untuk menghasut kinerja panitia

tender.53

2) Metoda Penyampaian Dokumen Penawaran

Pada kegiatan pengadaan ini, prosedur penyampaian

dokumen penawaran menggunakan metoda 2 (dua) sampul.

Penyampaian dokumen penawaran yang persyaratan administrasi dan

teknis dimasukkan dalam satu sampul tertutup I, sedangkan harga

penawaran dimasukkan dalam sampul tertutup II, selanjutnya sampul

I dan sampul II dimasukkan ke dalam I (satu) sampul (sampul

penutup) dan disampaikan kepada panitia pengadaan.

Pada sampul I (Data Administrasi dan Teknis) berisi

a. Data administrasi isian kualifikasi;

b. Data spesifikasi teknis;

c. Metodologi pelaksanaan EO LKS SMK Tingkat Nasional XVI

Tahun 2008;

d. Surat penawaran tanpa harga yang mencantumkan masa

berlaku penawaran (tidak perlu mencantumkan harga

penawaran)

Surat penawaran ditandatangani oleh pimpinan/direktur

utama perusahaan atau penerima kuasa dari direktur utama

yang nama penerima kuasanya tercantum dalam akte pendirian

atau perubahannya, atau kepala cabang perusahaan yang

53
Drs.Mustafa, MM,wawancara, KA.Seksi Pengembangan Tenaga Pendidikan dan
Kependidikan Bid. Dikmenjur Dinas Pendidkan Prov.SulSel, Makassar, 9 Mei 2010.

64
diangkat oleh kantor pusat yang dibuktikan dengan dokumen

outentik, atau pejabat yang menurut perjanjian kerja sama

adalah yang berhak mewakili perusahaan yang bekerjasama.

Jangka waktu berlakunya surat penawaran juga tidak boleh

kurang dari waktu yang ditetapkan.

e. Surat-surat pernyataan dan asli bermaterai Rp. 6.000,-

f. Referensi bank;

g. Copy dan asli surat jaminan penawaran;

Surat jaminan penawaran memenuhi ketentuan sebagai

berikut:

a) Diterbitkan oleh Bank Umum (tidak termasuk bank

Perkreditan rakyat) atau oleh perusahaan asurani yang

mempunyai program asuransi kerugian (surety bond)

yang mempunyai dukungan reasuransi sebagaimana

persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan;

b) Masa berlaku jaminan penawaran tidak kurang dari

jangka waktu yang ditetapkan dalam dokumen

pelelangan penyedia barang/jasa;

c) Nama peserta lelang sama dengan nama yang

tercantum dalam surat jaminan penawaran;

d) Besar jaminan penawaran tidak kurang dari nilai minimal

yang ditetapkan dalam dokumen pelelangan penyedia

barang/jasa yaitu 1 s.d. 3% dari nilai penawaran.

65
Jaminan penawaran tersebut dibuat khusus untuk

kegiatan ini.

e) Nama pengguna barang/jasa yang menerima jaminan

penawaran sama dengan nama pengguna barang yang

mengadakan pelelangan;

f) Paket pekerjaan dijamin sama dengan paket pekerjaan

yang dilelangkan;

g) Isi surat jaminan penawaran sesuai dengan ketentuan

dalam dokumen pelelangan penyedia barang/jasa.

h. Copy tanda terima Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPT)

tahun terakhir dan Surat Setoran Pajak (SSP) 3 bulan terakhir;

i. NPWP, SITU, SIUP, dan TDP;

j. Pengalaman pekerjaan;

Pada sampul II berisi:

a. Surat penawaran (asli dibubuhi materai Rp. 6.000,-)

b. Rencana Anggaran Biaya (RAB)

Di sebelah kiri atas pada sampul I ditulis: “Data Administrasi

dan Teknis” dan pada sampul II ditulis “Data Harga

Penawaran/Biaya”. Sampul I dan sampul II dimasukkan ke dalam

1(satu) sampul utama yang ditulis pada sebelah kiri atas:

“Dokumen Penawaran Pelaksanaan Event Organizer (EO) Lomba

Keterampilan Siswa (LKS) Tingkat Nasional XVI tahun 2008”

66
Tempat : Dinas Pendidikan Prov.

Sulawesi Selatan

Hari/Tanggal : …………………….

Jam pemasukan Penawaran : …………………

Dan pada kanan bawah ditulis: ditujukan kepada dan alamat

panitia.

3) Metoda Evaluasi Penawaran

Kriteria dan tata cara evaluasi harus ditetapkan dalam dokumen

pengadaan dan dijelaskan pada waktu pemberian penjelasan. Perubahan

kriteria dan tata cara evaluasi dapat dilakukan dan disampaikan secara

tertulis kepada seluruh peserta dalam waktu memadai sebelum

pemasukan penawaran. Dalam mengevaluasi penawaran, panitia

pengadaan berpedoman pada kriteria dan tata cara evaluasi yang

ditetapkan dalam dokumen pengadaan dan penjelasan sebelumnya. Pada

kegiatan tender I ini, metoda evaluasi penawaran yang digunakan adalah

sistem gugur. Urutan proses penilaian dengan sistem gugur ini adalah

sebagai berikut:

1. Evaluasi Administrasi

a. Evaluasi administrasi dilakukan terhadap penawaran yang

memenuhi syarat pada pembukaan dokumen penawaran;

b. Evaluasi administrasi dilakukan terhadap dokumen

panawaran yang masuk dan dievaluasi kelengkapan dan

keabsahan syarat administrasi. Unsur-unsur yang dievaluasi

67
pada tahap ini harus berdasarkan ketentuan-ketentuan yang

tercantum dalam dokumen pengadaan (tidak dikurangi atau

ditambah);

c. Evaluasi administrasi menghasilkan dua kesimpulan, yaitu

memenuhi syarat administrasi atau tidak memenuhi syarat

administrasi.

2. Evaluasi Teknis

a. Evaluasi teknis dilakukan terhadap penawaran yang

dinyatakan memenuhi persyaratan/lulus administrasi;

b. Faktor-faktor yang dievaluasi pada tahap ini harus sesuai

dengan kriteria yang ditetapkan dalam dokumen pengadaan

(tidak dikurangi atau ditambah)

c. Hasil evaluasi teknis adalah memenuhi syarat teknis (lulus)

atau tidak memenuhi syarat teknis (gugur).

3. Evaluasi Harga

a. Evaluasi harga hanya dilakukan terhadap penawaran yang

dinyatakan lulus/memenuhi persyaratan administrasi dan

teknis;

b. Evaluasi harga ini berdasarkan kewajaran dan responsif.

Setelah melalui segala tahapan proses tender, panitia tender

kemudian mengusulkan terlapor II yaitu PT. Makassaar Promosindo

sebagai pemenang tender. Kepala Dinas Pendidikan Prov.Sulsel

kemudian menetapkannya sebagai pemenang. Diumumkannya Terlapor II

68
(PT.Makassar Promosindo) sebagai pemenang tender mengundang

reaksi demo dari peserta tender lainnya ke kantor Dinas Pendidikan

Provinsi Sulawesi Selatan dan beberapa sanggahan dari peserta tender.

Pengumuman ini kemudian dibatalkan oleh oleh Kepala Dinas Pendidikan

Prov.Sulsel karena terdapat kekeliruan. Keputusan Kepala Dinas

kemudian diumumkan oleh panitia tender pada tanggal 27 Mei 2008 yang

pada intinya menyatakan Pembatalan Pengumuman pelelangan Nomor

011/Pan/LKS/SMK.2008 dan akan melakukan evaluasi ulang terhadap

dokumen penawaran yang masuk.

Setelah Pembatalan Pengumuman pelelangan Nomor

011/Pan/LKS/SMK.2008 diumumkan, terlapor I mengundang seluruh

peserta lelang pertama untuk mengikuti lelang kedua. Peserta tender yang

tidak mengikuti tender pertama tidak diperbolehkan untuk mengikuti

tender ulang. Pada tender ulang ini, metoda tender yang digunakan

memiliki beberapa perbedaan pada tender I. Adapun mekanisme tender

pada tender ulang yaitu:

1) Prosedur Pemilihan Penyedia Barang

a. Pengumuman, Pendaftaran, dan Pengambilan Dokumen


Penawaran

Panitia tender tidak lagi mengumumkan kegiatan tender ini

melalui media massa, namun panitia tender langsung mengundang

seluruh peserta yang mengikuti tender pertama untuk mengikuti

tender ulang dan menghadiri aanwijzing pada tanggal 2 Juni 2008.

69
b. Penjelasan Pekerjaan dan Pembuatan Berita Acara Pekerjaan

Aanwijzing dilaksanakan pada hari senin tanggal 2 Juni

2008, pukul 14.00 wita, dengan mengambil tempat di Ruang Rapat

Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi selatan. Aanwijzing dihadiri

oleh 23 peserta dan dijelaskan mengenai syarat umum,

administrasi, dan teknis. Pada tahap ini dijelaskan lagi hal-hal

mengenai RKS dimana terdapat beberapa hal yang berbeda

dengan tender pertama. Pada aanwijzing, Terlapor I didampingi

oleh Sarjono pegawai Departemen Pendidikan Nasional yang

membantu menjelaskan pekerjaan yang ditenderkan. Pada rapat

ini, peserta menunjuk 2 orang saksi sebagai wakil peserta lelang

dan keduanya bersedia mewakili seluruh peserta lelang sebagai

saksi untuk menandatangani Berita Acara Aaanwijzing yaitu Rasyid

Jafar dari PT. Surya Agung dan Muh. Ilyas dari CV. Boma Surya

Sakti.

c. Penyampaian dan Pembukaan Dokumen Penawaran

Setelah aanwijzing, peserta tender kemudian diberikan

kesempatan untuk membuat dokumen penawarannya sampai pada

batas waktu yang ditentukan yaitu tanggal 4 Juni 2008 jam 14.00

WITA dan terdapat 24 peserta yang memasukkan dokumen

penawaran. Peserta tender diperbolehkan untuk memperbaiki atau

memasukkan dokumen tender yang berbeda dengan dokumen

70
tender yang telah dimasukkan pada tender pertama.54 Penyampaian

dan pembukaan dokumen penawaran dilakukan pada tanggal 4 Juni

2010 jam 14.01 Wita. Dari dokumen penawaran yang masuk, panitia

bersama saksi memeriksa, menunjukkan dan membacakan

dihadapan para peserta mengenai:

1. Surat pernyataan minat;

2. Pakta Integritas55

3. Formulir isian penilaian kualifikasi

4. Usulan teknis

5. Surat keterangan memiliki kinerja baik dari pemerintah

setempat/dimana kegiatan tersebut dilaksanakan

6. Jaminan penawaran

7. Surat penawaran

Berdasarkan Lampiran Keppres 80 Tahun 2003 BAB

II.A.1.a.4 bahwa calon peserta lelang dari propinsi/kabupaten/kota

lain tidak boleh dihalangi/dilarang untuk mengikuti proses lelang di

propinsi/kabupaten/kota lokasi pelelangan. Surat keterangan

memiliki kinerja baik yang ditetapkan oleh panitia sudah tentu

bertentangan dengan Keppres tersebut. Hal ini sudah dijelaskan

pada saat aanwijzing dimana ada beberapa persyaratan yang harus

dilengkapi oleh peserta tender yang berbeda dengan tender pertama

54
Achmadi, wawancara, Direktur PT. Makassar Promosindo, Makassar, 25 Mei 2010.
55
Berdasarkan Pasal 1 Angka 21 Keppres 80 Tahun 2003 , Pakta Integritas adalah surat
pernyataaan yang ditandatangani oleh Pejabat Pembuat Komitmen/Pejabat Pengadaan/Unit
Layanan pengadaan/Penyedia jasa.

71
yaitu surat keterangan memiliki kinerja baik dari pemerintah

setempat dimana kegiatan tersebut diadakan. Pada saat aanwijzing

hal ini tidak menuai protes, namun pada saat pembukaan penawaran

barulah hal ini mengalami pertentangan. Dimana semua peserta

tender menginginkan agar peserta tender yang memiliki surat kinerja

baik dari pemerintah tempat kedudukan perusahaannya baik dari

yang berada diluar Makassar tetap diterima sebab tidak mungkin

perusahaan yang misalnya berkedudukan di Jakarta, Bandung, dan

Surabaya akan mendapatkan surat kinerja baik dari pemerintah

Makassar.

8. Harga penawaran

Pada proses pembukaan penawaran ini diadakan, terdapat

beberapa perusahaan yang dokumennya dinyatakan tidak lengkap

dan tidak memenuhi persyaratan. Dari 24 penawaran yang masuk

dalam tender, sebanyak 18 (delapan belas) penawaran yang

dinyatakan lengkap, 3(tiga) penawaran dinyatakan Tidak Lengkap

(TL), dan 3 (tiga) penawaran dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat

(TM).

No. Nama Perusahaan Penawaran (Rp) Keterangan

1. CV. Pelita Nusantara 7.164.306.608


2. CV. Pasrah Utama TM
3. CV. Khilafah 6.371.959.000
4. CV. Cendana Putra 5.555.550.000
5. CV. Deva Karunia Pratama 6.701.227.000
6. PT. Kurnia Buana Lestari 7.125.066.500
7. CV. Boma Surya Sakti 7.151.444.000

72
8. CV. Buana Subur Mandiri 7.354.898.000
9. CV. Mariso Jaya 6.860.000.000
10. CV. Dimensi 7.125.537.399 TM
11. CV. Barana Sakti 5.754.049.250
12. PT. Cinggarindo Galba 7.477.893.875 TL
13. PT. Maestro Indopromo 7.278.250.038
14. PT. Surya Agung 7.006.800.000
15. PT. Makassar Promosindo 7.347.000.000
16. CV. Green Production 7.496.800.000 TL
17. PT. Debindo Megapromo 7.370.000.000
18. CV. Gemilang Lestari 7.494.000.000
19. PT. Taria 7.476.500.000 TL
20. CV. Kirana Mulia 7.120.060.000 TM
21. CV. Bhakti Marga 7.423.728.920
22. PT. Smalco Dwi Putra 6.620.000.000
23. CV. Yunico Lestari 7.197.983.719
24. CV. Surya Mulia Pratama 6.543.866.000

Pada saat pembukaan dokumen penawaran tersebut

terdapat 3 (tiga) peserta yang dinyatakan tidak memenuhi karena

tidak memasukkan dokumen sesuai sistem satu sampul antara lain

PT. Pasrah Utama (tidak memasukkan harga penawaran), CV.

Dimensi (tidak memasukkan dokumen penawaran), dan CV. Kirana

Mulia (satu amplop), namun ketiga perusahaan ini tidak digugurkan

dan masih diikutsertakan dalam evaluasi administrasi. Serta

terdapat 3 perusahaan yang dinyatakan Tidak Lengkap (TL) yaitu:

Terlapor III, PT.Debindo Megapromo, dan PT. Taria, namun ketiga

perusahaan ini tidak digugurkan dan masih diikutsertakan dalam

evaluasi administrasi.

73
d. Evaluasi Penawaran

Berdasarkan Lampiran I Bab I.C.3.b.b).(1).(a) Keppres 80

Tahun 2003 evaluasi administrasi dilakukan terhadap penawaran

yang memenuhi syarat pada pembukaan penawaran. Hal ini tentu

saja bertentangan dengan apa yang telah dilakukan oleh panitia

tender dimana peserta tender yang tidak memenuhi persyaratan

tender pada tahap pembukaan dokumen penawaran tetap

dilanjutkan pada tahap evaluasi administrasi. Dari 24 (dua puluh

empat) penawaran yang masuk dalam tender, sebanyak 22 (dua

puluh dua) penawaran dinyatakan Tidak lulus evaluasi administrasi,

sebagaimana terdapat pada tabel di bawah ini;

No. Nama Perusahaan Catatan Keterangan

1. CV. Pelita Nusantara Surat penawaran


angka dan huruf tidak Tidak Lulus
sama, SPT tidak ada,
dan SIUP tidak sesuai
yang dipersyaratkan
2. CV. Pasrah Utama SIUP = Perusahaan Tidak Lulus
kecil
3. CV. Khilafah Penulisan angka pada
surat penawaran tidak Tidak Lulus
sama dalam RAB, SPT
tidak ada, dan SIUP
tidak sesuai
peruntukan
4. CV. Cendana Putra SPT tidak ada Tidak Lulus
5. CV. Deva Karunia Pratama SSP dan SPT tidak Tidak Lulus
ada
6. PT. Kurnia Buana Lestari SIUP tidak sesuai Tidak Lulus
yang dipersyaratkan
7. CV. Boma Surya Sakti SSP tidak ada Tidak Lulus
8. CV. Buana Subur Mandiri Surat penawaran
angka dan huruf tidak Tidak Lulus
sama, SPT, dan Fiskal

74
tidak ada
9. CV. Mariso Jaya TDP dan SSP tidak Tidak Lulus
ada
10. CV. Dimensi SSP, SPT, dan surat
keterangan memiliki Tidak Lulus
kinerja baik tidak ada
11. CV. Barana Sakti SSP dan SPT tidak Tidak Lulus
ada
12. PT. Cinggarindo Galba Lulus
13. PT. Maestro Indopromo SSP dan SPT tidak Tidak Lulus
ada
14. PT. Surya Agung SIUP tidak sesuai Tidak Lulus
yang dipersyaratkan
15. PT. Makassar Promosindo Lulus
16. CV. Green Production Jaminan Tidak Lulus
penawaran/dukungan
Bank tidka ada
17. PT. Debindo Megapromo Fiskal tidak ada Tidak Lulus
18. CV. Gemilang Lestari SPT tidak ada Tidak Lulus
19. PT. Taria SIUP tidak sesuai Tidak Lulus
yang dipersyaratkan
20. CV. Kirana Mulia Dokumen penawaran Tidak Lulus
dibuat satu jilid
21. CV. Bhakti Marga SIUP tidak sesuai Tidak Lulus
peruntukan
22. PT. Smalco Dwi Putra Fiskal dan data Tidak Lulus
peralatan tidak ada
23. CV. Yunico Lestari SSP dan SPT tidak Tidak Lulus
ada
24. CV. Surya Mulia Pratama Surat penawaran
angka dan huruf tidak Tidak Lulus
sama,SPT dan fiscal
tidak ada.

e. Usulan Penetapan Pemenang Tender

Setelah tahapan tender pada tender ulang ini dilaksanakan,

pada tanggal 5 Juni 2008, terlapor I mengusulkan terlapor II sebagai

calon pemenang pertama dan terlapor III sebagai calon pemenang II.

75
f. Penetapan Pemenang Tender

Pada tanggal 6 Juni 2008, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi

Sulawesi Selatan mengeluarkan surat persetujuan yang pada intinya

menyetujui usulan pemenang tender dari terlapor I

g. Pengumuman Pemenang Tender

Pada hari itu juga yaitu tanggal 6 Juni 2008, terlapor I

kemudian mengumumkan calon pemenang tender terlapor II (calon

pemenang I) dan terlapor III (calon pemenang II).

h. Masa Sanggah

Peserta tender yang berkeberatan atas penetapan

pemenang tender diberikan kesempatan untuk mengajukan

sanggahan secara tertulis, selambat-lambatnya dalam waktu 5 (lima)

hari kerja setelah pengumuman pemenang lelang. Sanggahan ini

diajukan oleh PT. Debindo dan CV.Dimensi yang pada intinya

mempertanyakan pada merit point system peserta digugurkan.

Selain itu, PT. Debindo juga mempertanyakan Terlapor III yang pada

pembukaan dokumen penawaran dinyatakan Tidak Lengkap (TL)

tapi kemudian dinyatakan sebagai calon pemenang II. Kepala Dinas

Pendidikan menjawab sanggahan PT. Debindo yang pada intinya

menyatakan bahwa Terlapor III dinyatakan memenuhi persyaratan

karena surat jaminan masih dalam jangka waktu penjaminan. Para

peserta tender yang tidak puas dengan jawaban ini kemudian

melaporkan hal ini kepada KPPU.

76
2) Metoda Penyampaian Dokumen Penawaran

Pada tender ulang ini, metoda penyampaian dokumen penawaran

yang digunakan adalah sistem satu sampul. Penyampaian penawaran

menggunakan sistem satu sampul dengan ketentuan:

a. Dokumen administrasi, dokumen teknis, dan dokumen harga

penawaran (Dokumen RAB dengan menyertakan CD-RAB),

masing-masing dijilid tersendiri (3 jilid);

b. Dokumen adminstrasi dibuat 3(tiga) rangkap (1 asli + 2 copy),

dimasukkan dalam satu amplop dan diberi label “DOKUMEN

ADMINISTRASI”

c. Dokumen teknis dibuat 3 (tiga) rangkap (1 asli + 2 copy + 1 CD

RAB), dimasukkan dalam satu amplop dan diberi label “DOKUMEN

TEKNIS”

d. Dokumen Harga Penawaran dibuat 3 (tiga) rangkap (1 asli + 2 copy

+ 1 CD RAB). Dimasukkan dalam satu amplop dan diberi label

“DOKUMEN HARGA PENAWARAN”.

e. Dokumen administrasi, dokumen teknis, dan dokumen harga

penawaran yang telah dimasukkan dalam amplop kemudian

dibungkus menjadi satu sampul (penutup) dan diberi label

“DOKUMEN PENAWARAN” pada sudut kiri atas.

Pada penyampaian dokumen penawaran pada tender ulang ini,

ada kemungkinan peserta tender yang menyusun dokumen penawaran

77
yang berbeda dengan dokumen penawaran yang dimasukkan pada tender

I, misalnya PT.Makassar Promosindo dan PT. Surya Agung.56

3) Metoda Evaluasi Penawaran

Metoda evaluasi penawaran yang digunakan pada tender ulang ini

adalah sistem nilai (merit point system) yaitu pekerjaan pengadaan barang

yang memperhitungkan keunggulan teknis sepadan dengan harganya,

mengingat penawaran harga sangat dipengaruhi oleh kualitas teknis.

Urutan proses evaluasi ini dimulai dari pemeriksaan dokumen administrasi

terhadap keabsahan dan persyaratannya, yang dilanjutkan dengan

penilaian terhadap dokumen teknis dan harga penawaran. Urutan proses

penilaian pada sistem nilai yaitu:

1. Evaluasi Administrasi: tahap evaluasi administrasi pada sistem

nilai sama dengan tahap evaluasi pada sistem gugur,

sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya pada metoda

evaluasi penawaran pada tender I.

2. Evaluasi Teknis dan Harga:

a. Sistem nilai menggunakan pendekatan/metoda kuantitatif,

yaitu dengan memberikan nilai angka terhadap unsur-unsur

teknis dan harga yang dinilai sesuai dengan kriteria yang

ditetapkan dalam dokumen pengadaan. Unsur-unsur yang

dimaksud meliputi:

56
Achmadi Gunawan, Wawancara (Direktur PT. Makassar Promosindo) 25 Mei 2010, dan
Rasyid Jafar (wakil PT. Surya Agung) 3 Juni 2010, Makassar.

78
a) Unsur-unsur penilaian teknis yaitu:

1. Metodologi pekerjaan adalah berupa pemahaman

terhadap pekerjaan yang dituangkan dalam bentuk

narasi meliputi: pendahuluan/latar belakang, tujuan,

sasaran, strategi/alur pelaksanaan (persiapan sampai

pembongkaran), uraian teknis pekerjaan,

schedule/jadwal pekerjaan, denah/layout dan desain

pekerjaan.

2. Personel pekerjaan pendukung pekerjaan dan

peralatan yang dimiliki.

3. Kemitraan (pendukung) yang diberikan dengan surat

dukungan.

4. Pengalaman pekerjaan (KD = 5 NPT)57

b) Unsur-unsur penilaian harga penawaran terhadap

kewajaran harga, yatu:

1. Total harga penawaran terhadap pagu:

1) Apabila total harga melebihi pagu anggaran, evaluasi

tidak dilanjutkan.

2) Harga terendah bukan menjadi faktor pemenang.

3) Apabila semua harga penawaran di atas pagu,

dilaksanakan pelelangan ulang.

57
Kemampuan Dasar = 5 Nilai Pengalaman Tertinggi

79
2. Harga satuan timpang yang nilainya lebih 110% dari

HPS.

3. Koreksi aritmatika dilakukan dengan:

1) Volume pekerjaan yang tercantum dalam dokumen

penawaran disesuaikan dengan yang tercantum dalam

dokumen lelang.

2) Apabila terjadi kesalahan hasil perkalian antara volume

dengan harga satuan pekerjaan, maka dilakukan

pembetulan, dengan ketentuan harga satuan dan

volume pekerjaan tidak boleh berubah.

3) Jenis pekerjaan yang tidak diberi harga satuan

dianggap sudah termasuk dalam harga satuan yang

lain, dan harga satuan pada surat penawaran tetap

dibiarkan kosong.

b. Evaluasi teknis dan harga dilakukan terhadap penawaran-

penawaran yang dinyatakan memenuhi persyaratan

administrasi, dengan memberikan penilaian (skor) terhadap

unsur-unsur teknis dengan bobot 80 dan harga penawaran

dengan bobot 20.

1. Skor nilai teknis: dengan bobot 80, yang berarti

nilai/skor tertinggi. 80 diberikan kepada penawar yang

setelah dievaluasi memperoleh nilai tertinggi.

80
2. Skor nilai harga penawaran: dengan bobot 20, yang

berarti nilai/skor tertinggi. 20 diberikan kepada penawar

yang setelah dievaluasi menunjukkan kewajaran harga

dengan penawaran harga terendah.

c. Urutan rangking hasil penilaian dilakukan berdasarkan hasil

penggabungan nilai/skor data teknis (setelah dikali dengan

bobot 80) dan nilai/skor data harga panawaran (setelah

dikali dengan bobot 20)

3. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut panitia pengadaan

membuat daftar urutan penawaran yang dimulai dari urutan

penawaran yang memiliki nilai tertinggi;

Berdasarkan hasil pembobotan nilai teknis dan harga, Terlapor

II memperoleh nilai 100, sedangkan Terlapor III memperoleh nilai

98,56.

5.2 Persekongkolan Tender antara Terlapor I, Terlapor II, dan


Terlapor III Berdasarkan Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999
Dalam pelaksanaan tender tidak ada aturan yang secara khusus

dibuat oleh pemerintah tentang mekanisme pelaksanaan tender atau

syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh para pelaku usaha, tetapi

diserahkan kepada setiap instansi tertentu untuk menentukan sendiri

syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha, serta tidak

bertentangan dengan prinsip-prinsip pengadaan barang dan jasa yang

diatur dalam Pasal 3 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80

Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa

81
Pemerintah yaitu efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan,

adil/tidak diskriminatif, dan akuntabel.58

Pada prakteknya tidak dapat dipungkiri masih banyak pelanggaran

yang berkaitan dengan persaingan usaha tidak sehat, misalnya kasus

dugaan persekongkolan tender Pengadaan Barang/Jasa Event Organizer

(EO) Lomba Keterampilan Siswa (LKS) Sekolah Menengah Kejuruan

(LKS) Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Dinas Pendidikan Provinsi

Sulawesi Selatan Tahun Anggaran 2008.

Berdasarkan penetapan pemenang yang diumumkan oleh Terlapor

I yaitu Trelapor II sebagai pemenang tender mengundang reaksi demo

dari beberapa pihak dan beberapa peserta tender yang mengajukan

sanggahan. Beberapa peserta tender melaporkan adanyan dugaan

persekongkolan tender kepada KPPU.

Pasal 22 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengatur “Pelaku

Usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau

menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya

persaingan usaha tidak sehat.” Pasal ini dapat diuraikan kedalam

beberapa unsur sebagai berikut :

58
Dendy R.Sutrisno, wawancara, ketua KPD KPPU Makassar, 7 Mei 2010.

82
1) Unsur Pelaku Usaha

Pasal 1 Angka 5 UU No. 5 Tahun 1999, menetapkan:

Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha


baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun
bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai
kegiatan dalam bidang ekonomi.

Terlapor II dan Terlapor III adalah perusahaan yang bergerak

dalam biang event organizer merupakan badan usaha yang didirikan di

Indonesia dan melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia sehingga dapat

dikatakan sebagai pelaku usaha sebagaimana yang dimaksud dalam

Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

2) Unsur Pihak Lain

Pihak lain adalah para pihak (vertikal dan horizontal) yang terlibat

dalam proses tender yang melakukan persekongkolan tender baik pelaku

usaha sebagai peserta tender dan atau subjek hukum lainnya yang terkait

dengan tender tersebut.59

Terlapor I adalah Panitia Tender Kegiatan Event Organizer (EO)

Lomba Keterampilan Siswa (LKS) SMK Tingkat Nasional Dinas

Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun Anggaran 2008, dengan

alamat kantor di Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Tamalanrea, Makassar

90245, Sulawesi Selatan yang ditunjuk dan bekerja berdasarkan Surat

Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan Nomor

410.41/PD4/176/2008 tanggal 29 Mei 2008. Terlapor I menjalankan


59
KPPU, Pedoman Pasal 22 tentang Larangan Pesekongkolan Tender. 2008: hlm. 8.

83
tugasnya sebatas pada proses pengadaan barang dan tugas tersebut

bukan merupakan bagian dari suatu proses produksi maupun distribusi

atau pemasaran suatu produk barang dan atau jasa. Sehingga dapat

dikatakan bahwa Terlapor I bukan merupakan pelaku usaha yang

menjalankan kegiatan ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1

Angka 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Dalam hal ini Terlapor I

mempunyai kedudukan sebagai pihak lain.

3) Unsur Bersekongkol

Yang dimaksud dengan bersekongkol berdasarkan Pedoman

Pasal 22 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah “kerja sama yang

dilakukan oleh pelaku usaha dengan pihak lain atas inisiatif siapapun dan

dengan cara apapun dalam upaya memenangkan peserta tender

tertentu”; Perlu diperhatikan bahwa, hal-hal berikut ini merupakan indikasi

persekongkolan sebagaimana yang telah dijelaskan oleh penulis pada

bagian tinjauan pustaka:60

a. Indikasi persekongkolan pada saat perencanaan

b. Indikasi persekongkolan pada saat pembentukan panitia

c. Indikasi persekongkolan pada saat Prakualifikasi perusahaan atau

Praelang

d. Indikasi persekongkolan pada saat pembuatan persyaratan untuk

mengikuti tender/lelang maupun pada saat penyusunan dokumen

tender/lelang
60
KPPU, Pedoman Pasal 22 tentang Larangan Pesekongkolan Tender. 2008: hlm. 12

84
e. Indikasi persekongkolan pada saat pengumuman tender atau

lelang

f. Indikasi persekongkolan pada saat pengambilan dokumen

tender/lelang

g. Indikasi persekongkolan pada saat penentuan harga perkiraan

sendiri atau harga dasar lelang

h. Indikasi persekongkolan pada saat penjelasan tender atau open

house lelang

i. Indikasi persekongkolan pada saat penyerahan dan pembukaan

dokumen atau kotak penawaran tender/lelang

j. Indikasi persekongkolan pada saat evaluasi dan penetapan

pemenang tender/lelang

k. Indikasi persekongkolan pada saat pengumuman calon pemenang,

l. Indikasi persekongkolan pada saat pengajuan sanggahan

m. Indikasi persekongkolan pada saat penunjukan pemenangan

tender/lelang dan penandatanganan kontrak

n. Indikasi persekongkolan pada saat pelaksanaan dan evaluasi

pelaksanaan

Persekongkolan Vertikal

Merupakan persekongkolan yang terjadi antara salah satu atau

beberapa pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa dengan panitia

85
tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan jasa atau pemilik

pemberi pekerjaan. Persekongkolan ini dapat terjadi dalam bentuk dimana

panitia tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan atau jasa

pemilik atau pemberi pekerjaan bekerjasama dengan salah satu atau

beberapa peserta tender.61

Selama proses tender dilaksanakan panitia tender telah melakukan

beberapa hal yang bertentangan dengan Keppres 80 Tahun 2003 tentang

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Sebagaimana telah dijelaskan pada

mekanisme tender di atas, diantaranya yaitu :

1. Terlapor I telah mempersempit persaingan dengan cara

menetapkan persyaratan melampirkan Surat Keterangan Memiliki

Kinerja Baik dari pemerintah setempat/dimana kegiatan tersebut

dilaksanakan. Hal ini bertentangan dengan Lampiran Keppres 80

Tahun 2003 BAB II.A.1.a.4 Bahwa calon peserta lelang dari

propinsi/kabupaten/kota lain tidak boleh dihalangi/dilarang untuk

mengikuti proses lelang di propinsi/kabupaten/kota lokasi

pelelangan.

Persyaratan ini diajukan pada saat aanwijzing pada tender

ulang. Tidak ada peserta yang mengajukan protes pada saat itu

sebab peserta tender menganggap bahwa surat keterangan

61
KPPU, Pedoman Pasal 22 tentang Larangan Pesekongkolan Tender. 2008: hlm. 11

86
memiliki kinerja baik tersebut dikeluarkan oleh pemerintah setempat

tempat kedudukan perusahaan tersebut sebab tidak mungkin

perusahaan yang berada di Jakarta surat keterangan kinerja

baiknya dibuat oleh Pemerintah Kota Makassar. Hal ini menuai

kontra pada saat pembukaan dokumen penawaran dimana panitia

tender hendak menyatakan tidak memenuhi syarat perusahaan

yang memiliki kinerja baik yang bukan dari pemerintah Makassar.

Keadaan ini membuat keadaan ruangan menjadi ricuh dan

timbulnya kondisi ini menyebabkan panitia tender tetap menerima

dokumen peserta tender yang melampirkan surat keterangan

kinerja baik dari Pemerintah di luar kota Makassar.62 Penetapan

persyaratan tender ini mengindikasikan adanya keinginan panitia

tender untuk membatasi peserta tender dan memenangkan peserta

tender dari Kota Makassar.

2. Prosedur pemilihan penyedia barang/jasa pada tahap pembukaan

dokumen penawaran. Pada tahap ini, panitia tender tidak

menggugurkan perusahaan yang tidak memenuhi syarat yaitu PT.

Pasrah Utama, CV. Dimensi, dan CV. Kirana Mulia dan tetap

diikutsertakan dalam evaluasi administrasi. Hal ini bertentangan

dengan Lampiran Keppres 80 Tahun 2003 BAB I C.3.b.a).(1).(a)

Bahawa evaluasi administrasi dilakukan terhadap perusahaan yang

memenuhi syarat pada pembukaan dokumen penawaran.

62
Maschaer, wawancara, panitia tender, Makassar, 25 Juni 2010.

87
3. Pada tahap evaluasi administrasi. Terlapor I telah mempersempit

persaingan diantara peserta tender dengan cara melakukan

kesalahan evaluasi dengan meloloskan Terlapor III yang telah

dinyatakan Tidak Lengkap (TL) sebagai calon pemenang II.

Berdasarkan berkas yang diterima oleh KPPU, Terlapor III

dinyatakan tidak lengkap karena tidak melampirkan surat

keterangan memiliki kinerja baik.

4. PT. Taria dinyatakan Tidak Lengkap (TL) karena SIUP tidak sesuai

yang dipersyaratkan, meskipun dalam penawarannya telah

melampirkan Ijin Usaha dari Dinas Pariwisata Provinsi DKI Jakarta

untuk kegiatan di antaranya pameran pariwisata termasuk event

organizer (EO). Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor : 36/M-

DAG/PER/9/2007 Pasal 8 Angka 3 mengatur Gubernur DKI Jakarta

melimpahkan kewenangan penerbitan SIUP kepada Kepala Dinas

yang bertanggungjawab di bidang perdagangan atau pejabat yang

bertanggungjawab dalam pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu

Pintu setempat. Dalam hal mendapatkan pelayanan yang efektif

dan efisien demi terciptanya Reformasi Birokrasi, maka dibentuklah

sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Sehingga dapat

dikatakan bahwa Dinas Pariwisata DKI Jakarta merupakan instansi

yang berwenang untuk mengeluarkan SIUP di bidang kegiatan

event organizer.

88
5. CV. Green Production dinyatakan Tidak Lengkap (TL) karena tidak

memiliki jaminan penawaran/dukungan bank, meskipun dalam

penawarannya telah melampirkan jaminan penawaran/surat

dukungan dari Bank BNI ITB. Pada saat pembukaan dokumen

penawaran yang dihadiri oleh peserta tender dan adanya 2 orang

saksi sebagai perwakilan peserta tender yang membuka sampul

dokumen tender memang dinyatakan tidak memiliki surat jaminan

penawaran. Namun, KPPU cuma menerima semua berkas yang

diberikan oleh panitia tender. Jika terdapat perbedaan pada saat

pembukaan dokumen penawaran dengan temuan KPPU, tentu saja

KPPU tetap berpegang pada alat bukti yang ada.63

6. Adanya beberapa peserta tender yang tidak memiliki pengalaman

sebagai penyelenggara jasa kegiatan event organizer, namun

penawarannya tetap dievaluasi oleh Terlapor I. Pada tender ulang,

panitia tender telah mengetahui perusahaan mana yang betul-betul

sebagai perusahaan event organizer dan seharusnya pada tender

ulang peserta tender yang berkecimpung di bidang event organizer

saja yang diundang dan diperbolehkan untuk mengikuti tender.

Peserta tender yang betul-betul sebagai perusahaan yang bergerak

di bidang event organizer di Makassar pada saat itu cuma ada 5

yaitu PT. Makassar Promosindo, CV. Dimensi, PT. Debindo Mega

Promo, PT. Maestro Indopromo dan CV. Mariso jaya.

63
Dendy R.Sutrisno, wawancara, ketua KPD KPPU Makassar, 7 Mei 2010.

89
7. Mengenai penilaian: besaran nilai kontrak berkaitan dengan

pengalaman perusahaan, dimana nilai Terlapor I

< Rp.1.000.000.000., (satau milyar rupiah), namun Terlapor I

memberi nilai 5 (maksimum) atau setara dengan nilai kontrak

> Rp. 1.000.000.000.,(satu milyar rupiah);

Penulis mencari tahu pengalaman perusahaan Terlapor II

apakah > Rp. 1.000.000.000., atau < Rp. 1.0000.000.000., dengan

memeriksa dan bertanya kepada pihak Terlapor II, bahwa ada

beberapa kontrak yang > Rp. 1.000.000.000 namun itu hanyalah

kontrak untuk menyediakan barang seperti baju partai. Ada

kegiatan EO yang jumlah kontraknya lebih dari Rp. 1.000.000.000

oleh satu perusahaan tertentu tetapi kegiatan tersebut berlangsung

untuk jangka waktu yang berbeda atau untuk dua kali pengerjaan

event.

Namun, satu hal yang telah dipaparkan oleh KPPU dalam

putusannya berbeda dengan analisis penulis, yaitu :

KPPU berpendapat bahwa perubahan sistem tender dari sistem

gugur menjadi sistem nilai (merit point system) memungkinkan

Terlapor I membuat penilaian subjektif kepada Terlapor II untuk

mengatur Terlapor II sebagai pemenang tender. Terlapor I

seharusnya mengubah sistem tender atas dasar kebijakan sendiri

dan/atau kesepakatan dari para peserta tender dalam aanwijzing,

bukan atas saran dari pihak lain di luar panitia tender.

90
Sistem nilai memang memberikan kesempatan kepada

panitia tender untuk memberikan penilaian subjektifnya kepada

peserta tender tertentu. Namun, berdasarakan Lampiran I BAB

I.I.3..b.1).b) Keppres 80 Tahun 2003 bahwa evaluai penawaran

dengan sistem nilai digunakan untuk pengadaan barang/jasa

lainnya yang memperhitungkan keunggulan teknis sepadan dengan

harganya, mengingat penawaran harga sangat dipengaruhi oleh

kualitas teknis. Pekerjaan menjadi EO dalam melaksanakan lomba

LKS ini menuntut kreativitas yang sangat tinggi dari pelaksananya

seperti penataan dan pembongkaran area lomba dan alat, konsep

pameran, dan lain-lain sehingga lebih tepat jika digunakan dengan

sistem nilai.64 Adanya perbedaan dengan sistem yang digunakan

pada tender pertama disebabkan karena ketua panitia mempunyai

pandangan yang berbeda dimana ketua tender pada tahap I

beranggapan bahwa evaluasi penawaran yang digunakan pada

tender pada umumnya adalah sistem gugur.65 Dan adanya saran

dari pihak lain diluar panitia tender hanyalah sekedar masukan

untuk panitia. Perubahan sistem evaluasi dari sistem gugur menjadi

sistem nilai kembali dibahas pada aanwijzing dan tidak ada satupun

64
Achmadi, wawancara, Direktur PT. Makassar Promosindo, Makassar, 25 Mei 2010 dan
Rasyid Jafar (wakil PT. Surya Agung) 3 Juni 2010, Makassar.
65
Maschaer, wawanacara, panitia tender, Makassar, 25 Juni 2010.

91
peserta tender yang merasa keberatan dengan adanya perubahan

sistem ini.66

Berdasarkan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh panitia

tender, memberikan gambaran adanya indikasi persekongkolan tender

yang dilakukan oleh panitia tender, yaitu:

1. Indikasi persekongkolan pada saat pembuatan persyaratan untuk

mengikuti tender/lelang yaitu adanya persyaratan yang ditetapkan oleh

panitia tentang Surat Keterangan Memiliki Kinerja Baik, dari Pemerintah

Kota Makassar meskipun pada akhirnya panitia tetap menerima dokumen

penawaran peserta. Sejak awal penetapan syarat ini dapat dilihat bahwa

Terlapor I berusaha mempersempit persaingan dengan cara yang tidak

benar sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Panitia cenderung

untuk memberi keistimewaan pada peserta tender/lelang tertentu maupun

pemberian kesempatan secara eksklusif oleh penyelenggara tender atau

pihak terkait secara langsung maupun tidak langsung kepada pelaku

usaha yang mengikuti tender, dengan cara melawan hukum. Contohnya

adalah dimana panitia tender dengan sengaja melakukan pengetatan

pemenuhan persyaratan Rencana kerja dan Syarat-syarat untuk

mengkondisikan gugurnya peserta lainnya.67

66
Achmadi, wawancara, Direktur PT. Makassar Promosindo, Makassar, 25 Mei 2010 dan
Rasyid Jafar (wakil PT. Surya Agung) 3 Juni 2010, Makassar.
67
L. Budi Kagramanto, 2007, Larangan Persekongkolan Tender dalam Perspektif Hukum
Persaiangan Usaha. Surabaya: Srikandi, hlm 101.

92
2. Indikasi persekongkolan pada saat evaluasi dan penetapan

pemenang tender/lelang, yaitu panitia tender melakukan kesalahan pada

evaluasi penawaran dengan menggugurkan PT.Taria dan CV.Green

Production yang sebenarnya kedua perusahaan tersebut memiliki

dokumen administrasi yang lengkap dan memberikan nilai maksimum

kepada Terlapor II padahal Terlapor II juga tidak memenuhi kualifikasi

dalam hal pengalamannya sebagai EO.

Tugas dan peranan panitia akan sangat berpengaruh terhadap

‘bersih’ tidaknya proses pengadaan barang di suatu unit kerja pemerintah

dilaksanakan. Salah satu kinerja panitia yang pada umumnya dapat

menjadi sumber penyakit hitamnya proses pengadaan barang adalah

kinerja panitia yang tidak independen. Panitia dikendalikan atau

dipengaruhi oleh keinginan dan kepentingan pihak tertentu. Dalam

melaksanakan tugas, panitia tidak bekerja secara tidak akuntabel,

profesional, dan lamban karena mereka harus selalu menunggu perintah

atau petunjuk dari pihak atasan, yang sebenarnya tidak memiliki otoritas di

bidang pengadaan. Panitia pada akhirnya ibarat robot yang tidak memiliki

kebebasan dalam melakukan analisis maupun pertimbangan teknis yang

diperlukan, oleh karena kemudi telah sepenuhnya diambil alih oleh atasan

atau pihak pendana”operasi tender” calon pemenang.68

Dalam kasus ini tidak ditemukannya bukti tindakan partisipasi aktif

yang dilakukan oleh pemenang tender, seperti melakukan pendekatan


68
Adrian Sutedi,Op.Cit. hlm. 164-165.

93
serta mengadakan kesepakatan-kesepakatan mengenai imbalan tertentu

dengan panitia tender. Catatan akhir tahun 2006 oleh KPPU menyebutkan

bahwa mekanisme pengadaan barang dan atau jasa melalui tender masih

diwarnai praktek persekongkolan yang cenderung melibatkan pejabat

birokrasi atasan panitia tender. Mereka dengan sengaja leluasa berbuat

jahat serta kolusif, karena hampir tidak ada dokumen tertulis sebagai alat

bukti untuk melacak perbuatan mereka.69

Berdasarkan penjelasan mengenai unsur bersekongkol di atas,

maka unsur persekongkolan vertikal antara Terlapor I dan Terlapor II

Terpenuhi.

Persekongkolan Horizontal

Bentuk persekongkolan horizontal ini merupakan suatu tindakan

kerjasama yang dilakukan oleh para penawar tender dengan

mengupayakan agar salah satu pihak ditentukan sebagai pemenang

tender.70 Oleh karenanya, beberapa perilaku pelaku usaha yang dapat

dikategorikan melakukan persekongkolan tender horizontal adalah:71

a. Menciptakan persaingan semu antara peserta tender. Hal ini dapat

terjadi dimana salah satu peserta tender tidak sungguh-sungguh

melengkapi dan menepati persyaratan yang diminta oleh pemberi

kerja.
69
L. Budi Kagramanto, 2007, Larangan Persekongkolan Tender dalam Perspektif Hukum
Persaiangan Usaha. Surabaya: Srikandi, hlm 22 sebagaimana dikuti dalam Persekongkolan
warnai Tender, Kompas, Kamis, 28 Desemberv2006, hlm 21.
70
Ibid, hlm. 103
71
Ibid, hlm 102.

94
b. Melakukan penyesuaian penawaran antara pelaku usaha dengan

pelaku usaha/peserta tender lainnya. Misalnya para peserta tender

sebelum menyerahkan final bid document telah membandingkan

dokumen tender yang akan diserahkan. Biasanya dalam pemilihan

kata, format, tata bahasa yang digunakan dalam penawaran,

termasuk formulasi surat berikut usulan penggelembungan/marked

up dananya.

c. Melakukan pembagian kesempatan untuk memenangkan tender

secara bergiliran diantara pelaku usaha/peserta tender. Kondisis

semacam ini dapat dilakukan diantara para pelaku usaha/peserta

tender untuk melakukan persekongkolan dengan cara saling

menyesuaikan dokumen penawaran tender dan kemudian

menetapkan peserta tender yang mana yang akan menetapkan

harga penawaran yang terbaik. Pergiliran waktu pemenang ini

dapat berhasil apabila melibatkan semua peserta tender.

Pada pelaksanaan tender ini, juga diduga terjadi

persekongkolan tender antara Terlapor II dan Terlapor III. Adapun

hal-hal yang menjadi dugaan telah terjadi persekongkolan tender

horizontal yaitu :

1. Terdapat kesamaan kesalahan pengetikan dalam dokumen

penawaran tender antara Terlapor II dan Terlapor III yaitu:

a. Pada daftar kode nama barang bidang lomba no. 34, tertulis

ledies and Men`s hair dressing, seharusnya tertulis ladies.

95
b. Pada Rencana Anggaran Biaya Penyiapan Bahan item nomor

1164, tertulis teong, seharusnya tertulis terong.

c. Pada Rencana Anggaran Biaya Penyiapan (sewa) alat lomba;

terdapat kesalahan pengetikan pada item CPU di nomor 35,

95, 126, 148, 163, 173, 193, 229, 256, 285, 332, 357, 370,

390, 434, 453, 490, 508, 511, 533, 551, 572, 583, 595, 605,

614, 631, 644, 656, 716, 853, 896, 930, 977, 1019, 1045,

1053, 1070, 1099, 1119, 1189, 1253, 1295, 1327, 1343, 1359,

1394, dan 1409, tertulis maouse, seharusnya tertulis mouse.

d. Pada Rencana Anggaran Biaya Penyiapan (Sewa) alat lomba

item 1023, tertulis stailesstel, seharusnya tertulis

stainlessteel.

e. Pada Rencana Anggaran Biaya tabel 6, tabel 7, dan tabel 8,

tertulis bahant, seharusnya tertulis bahan.

Pada saat proses aanwijzing panitia tender membagikan

softcopy spesifikasi teknis kepada semua peserta tender dalam

bentuk CD, atas usulan dari bapak Sarjono dengan tujuan untuk

mempermudah para peserta tender menyusun dokumen

penawaran. Sehingga peserta tender yang lain juga mempunyai

kesalahan yang sama dalam hal kesalahan pengetikan kata.

2. Pada tender ulang, Terlapor I telah menurunkan pagu anggaran

sebesar Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dari pagu

anggaran semula. Namun, Terlapor III tidak menurunkan atau

96
melakukan perubahan penawaran harga yaitu

Rp. 7.347.000.000 sehingga penawaran harganya lebih tinggi

daripada Terlapor II yaitu Rp. 7.477.893.875. Penawaran

harga yang diajukan semata-mata dengan alasan bisnis dan

informasi dari harga barang dan jasa pada saat itu dan dengan

memperhitungkan biaya-biaya yang akan timbul untuk

transportasi dan akomodasi karena Terlapor III berkedudukan

di Jakarta, sementara pelaksanaan acara berada di Makassar.

Dan harga tersebut masih di bawah dari HPS yang ditetapkan

oleh Terlapor I.

3. Pada tender ulang, setelah Terlapor II diumumkan sebagai

calon Pemenang I oleh Terlapor I, Terlapor III tidak melakukan

sanggahan padahal pada tender pertama Terlapor III

mengajukan sanggahan dengan ditetapkannya Terlapor II

sebagai pemenang tender. Terlapor III tidak mengajukan

sanggahan karena dokumen tendernya telah dinyatakan Tidak

Lengkap (TL) pada Berita Acara Pembukaan Dokumen

sehingga Terlapor III merasa sudah tidak ada kesempatan

untuk menang.

Dengan demikian, unsur persekongkolan horizontal antara

Terlapor II dan Terlapor III tidak terpenuhi.

4. Unsur Mengatur dan/atau Menentukan Pemenang Tender;

97
Berdasarkan Pedoman Pasal 22 Undang-undang Nomor 5 Tahun

1999, yang dimaksud dengan mengatur dan/atau menentukan pemenang

tender adalah suatu perbuatan para pihak yang terlibat dalam proses

tender secara bersekongkol yang bertujuan untuk menyingkirkan pelaku

usaha lain sebagai pesaingnya dan/atau untuk bertujuan memenangkan

peserta tender tertentu dengan berbagai cara;

Tender berdasarkan penjelasan Pasal 22 Undang-undang Nomor 5

Tahun 1999 adalah tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu

pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang, atau untuk menyediakan

jasa. Tender dalam perkara ini adalah Tender Kegiatan Event Organizer

(EO) Lomba Keterampilan Siswa (LKS) Sekolah Menengah Kejuruan

(SMK) Tingkat Nasional Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan

Tahun Anggaran 2008

Perilaku Terlapor I sebagaimana yang telah dijelaskan di atas

adalah tindakan untuk mengatur dan/atau memenangkan peserta tender

tertentu yaitu merupakan bentuk memfasilitasi Terlapor II untuk menjadi

pemenang tender. Dengan demikian, unsur mengatur dan/atau

menentukan pemenang tender oleh Terlapor I Terpenuhi;

5. Unsur Persaingan Usaha Tidak Sehat

Berdasarkan Pasal 1 Angka 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun

1999, yang dimaksud dengan persaingan usaha tidak sehat adalah

persaingan antara pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi

98
dan/atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara

tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha;

Unsur yang terakhir dari ketentuan tentang persekongkolan adalah

terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Unsur ini menunjukkan bahwa

persekongkolan menggunakan pendekatan rule of reason karena dapat

dilihat dari kalimat “…sehingga dapat mengakibatkan terjadinya

persaingan usaha tidak sehat”. Pendekatan rule of reason merupakan

pendekatan hukum yang digunakan lembaga pengawas persaingan untuk

mempertimbangkan faktor-faktor kompetitif dan menetapkan layak

tidaknya suatu hambatan perdagangan. Artinya apakah hambatan

tersebut bersifat mencampuri, atau bahkan mengganggu persaingan72

Tindakan yang dilakukan oleh Terlapor I pada tender kegiatan

Event Organizer (EO) Lomba Keterampilan Siswa (LKS) Sekolah

Menengah Kejuruan Tingkat Nasional Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi

Selatan Tahun Anggaran 2008 sebagai indikasi persekongkolan tender

merupakan tindakan tidak jujur dan melawan hukum yang menyebabkan

pelaku usaha lain tidak dapat bersaing secara sehat.

Dengan demikian, unsur persaingan usaha tidak sehat Terpenuhi.

72
E.Thomas Sullivan dan Jeffrey L.harrison, Understanding Antitrust and its Economic
Implication (New York:matthew bender & co, 1999), p. 85. Sebagaimana dikutip dari L. Budi
Kagramanto, 2007, Larangan Persekongkolan Tender dalam Perspektif Hukum Persaiangan
Usaha. Surabaya: Srikandi hlm 110-111.

99
BAB 6

SIMPULAN

6.1 SIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Ada beberapa hal pada mekanisme tender yang dilaksanakan oleh

Terlapor I tidak sesuai dengan Keppres 80 Tahun 2003 yaitu

Terlapor I menetapkan persyaratan melampirkan Surat Keterangan

100
Memiliki Kinerja Baik dari pemerintah setempat/di mana

kegiatan tersebut dilaksanakan yang bertentangan dengan

Lampiran Keppres 80 Tahun 2003 BAB II.A.1.a.4, adanya beberapa

peserta tender yang tidak memiliki keahlian, pengalaman,

kemampuan dalam pengerjaan event organizer, adanya penetapan

calon pemenang tender yaitu Terlapor II yang tidak memenuhi

persyaratan kualifikasi dengan tidak dimilikinya kemampuan pada

bidang dan subbidang pekerjaan yang sesuai untuk usaha ini yaitu

KD = 5 Npt dan Terlapor III yang pada saat pembukaan dokumen

penawarannya dinyatakan tidak lengkap namun diusulkan menjadi

calon pemenang tender di mana seharusnya Terlapor III tidak

diusulkan menjadi calon pemenang berdasarkan Lampiran I

Keppres 80 Tahun 2003 Bab I.A.1.i.1).a).

2. Telah terjadi persekongkolan tender vertikal antara Terlapor I dan

Terlapor II yaitu indikasi persekongkolan pada saat pembuatan

persyaratan untuk mengikuti tender/lelang dengan adanya

persyaratan yang ditetapkan oleh panitia tentang Surat Keterangan

Memiliki Kinerja Baik, dari Pemerintah Kota Makassar dan indikasi

persekongkolan pada saat evaluasi dan penetapan pemenang

tender/lelang. Pada tender ini juga diduga terjadi persekongkolan

tender horizontal antara Terlapor II dan Terlapor III dengan adanya

kesamaan kesalahan pengetikan dalam dokumen tender, Terlapor

III tidak melakukan perubahan atau penurunan penawaran harga,

101
dan tidak diajukannya sanggahan oleh Terlapor III pada tender

ulang atas ditetapkannya Terlapor II sebagai pemenang tender.

Namun perilaku Terlapor III tersebut tidak dapat dikatakan sebagai

usaha untuk melakukan persekongkolan dengan Terlapor II sebab

Terlapor III melakukan hal tersebut dengan alasan yang jelas.

6.2 SARAN

1. Tentang adanya keterlibatan panitia tender dalam persekongkolan

tender yang dilakukan di Dinas Pendidkan Provinsi Sulawesi

Selatan diharapkan kepada Kepala Dinas Pendidikan Provinsi

Sulawesi Selatan agar menginstruksikan setiap panitia tender agar

membuat dan melaksanakan tender sesuai dengan Keppres 80

tahun 2003 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dengan

memperhatikan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat.

2. Untuk menjamin efektivitas Undang-Undang nomor 5 Tahun 1999,

diharapkan KPPU melakukukan sosialisasi yang intensif baik

kepada pelaku usaha maupun pemerintah serta masyarakat

sehingga pelaku usaha, pemerintah maupun masyarakat dapat

lebih mematuhi ketentuan Undang-Undang No.5 Tahun 1999.

102
103

Anda mungkin juga menyukai