Dosen Pengampuh :
Risfiana Mayangsari, MH
2. Yupinde (2011120027)
FAKULTAS SYARIAH
2022
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI………………………………………………………………………i
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 1
C. Fungsi/Kegunaan Makalah ........................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 3
A. Pengertian Korelasi ................................................................................... 3
B. Kedudukan dan Hubungan Hukum Pajak ................................................. 3
C. Korelasi Hukum Pajak Dengan Hukum Perdata ....................................... 4
D. Korelasi Hukum Pajak Dengan Hukum Pidana ........................................ 6
BAB III PENUTUP ................................................................................................ 8
A. Kesimpulan................................................................................................ 8
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 10
i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengertian Pajak adalah iuran atau pungutan wajib yang harus dibayar oleh
rakyat (wajib pajak) kepada negara berdasarkan undang-undang, dimana uang
pajak tersebut akan digunakan untuk kepentingan pemerintah dan
kesejahteraan masyarakat umum. Di Indonesia, pajak merupakan sumber
keuangan negara yang paling utama yang digunakan sebesar-besarnya untuk
kesejahteraan masyarakat umum.
Pada dasarnya hukum pajak ini tidak terlepas atas 2 (dua) hukum, yaitu
Hukum Publik (Hukum Pidana) dan Hukum Perdata. Dimana antar Hukum
Pajak dengan Hukum Pidana dan Hukum Pajak dengan Hukum Perdata,
masing-masing memiliki korelasi (hubungan) yang sangat erat antara satu
dengan yang lainnya. didalam Hukum Perpajakan bukan hanya sebatas
hubungannya dengan Hukum Pidana dan Perdata saja, tetapi Hukum Pajak
juga memiliki korelasi yang erat dengan Hukum Tata Usaha Negara.
Dalam pembahasan maklah kali ini, penulis akan menjelaskan apasajakah
korelasi (hubungan ) antara Hukum Pajak dengan Hukum Pidana dan Hukum
Perdata. Untuk pembahasan lebih lanjut dan terperinci penulis telah
memaparkannya di bab II Pembahasan.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini ialah:
1. Apakah yang dimaksud dengan korelasi?
2. Bagaimanakah kedudukan Hukum Pajak?
3. Seperti apakah hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Perdata?
4. Seperti apakah hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Pidana?
1
C. Fungsi/Kegunaan Makalah
Adapun fungsi/kegunaan dari makalah ini ialah:
1. Menjelaskan pengertian korelasi
2. Menjelaskan kedudukan Hukum Pajak
3. Menjelaskan hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Perdata
4. Menjelaskan hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Pidana
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Korelasi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korelasi adalah
hubungan timbal balik atau sebab akibat.1 Korelasi hukum atau hubungan
hukum merupakan hubungan antara dua subjek atau lebih, di mana hak dan
kewajiban suatu pihak bertemu dengan hak dan kewajiban pihak lain. Hukum
sebagai himpunan peraturan-peraturan mengatur hubungan sosial. Hubungan
hukum memberikan suatu hak kepada subjek hukum untuk berbuat sesuatu
atau menuntut sesuatu yang diwajibkan oleh hak itu, serta terlaksananya
kewenangan/hak dan kewajiban yang dijamin oleh hukum. Hubungan hukum
terdiri atas ikatan-ikatan antara individu dengan individu, individu dengan
masyarakat, dan seterusnya. Di dalam hubungan hukum terdapat 2 (dua) segi,
yaitu segi bevoegdheid (kewenangan/hak) dengan segi plicht (kewajiban).2
3
kewajiban membayar pajak, maka hukum pajak merupakan bagian hukum
publik.
Hubungan hukum pajak dengan hukum pidana dapat dilihat dari adanya
sanksi pidana atas kealpaan dan kesengajaan terhadap Wajib Pajak yang
melanggar ketentuan perpajakan. Hukum pajak mempunyai ruang lingkup
yang luas, tidak hanya menelaah keadaan-keadaan dalam masyarakat yang
dihubungkan dengan pengenaan pajak dan merumuskan serta menafsirkan
peraturan hukum dengan memperhatikan keadaan ekonomi dan keadaan
masyarakat, hukum pajak juga memuat unsur hukum pidana dan peradilan
seperti yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak. Sedangkan hubungan pajak dengan hukum perdata adalah
bahwa hukum pajak mencari dasar kemungkinan atas kejadian-kejadian ,
keadaan-keadaan, dan perbuatan-perbuatan hukum yang bergerak dalam
lingkungan perdata, seperti penghasilan, kekayaan, perjanjian penyerahan
hak, dan sebagainya.
3
Men Wih Widianto, “Pengantar Hukum Pajak”
https://books.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=ry9sEAAAQBAJ&oi=fnd&pg=PP1&dq=jurnal+t
entang+hubungan+hukum+pajak+dengan+hukum+perdata&ots=PlsnMiVsMW&sig=ZNl4bh84nH
1Xp5tTIzSl3AJ1ctI&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false, akses 18 Oktober 2022, pukul 12.42
WIB.
4
Prof. Mr. W.F. Prins dalam bukunya Het Belastingrescht van Indonesie,
menyatakan bahwa .hubungan erat ini sangat mungkin sekali timbul karena
banyak dipergunakan istilah-istilah Hukum Perdata dalam Hukum Pajak
walaupun sebagai prinsip harus di pegang teguh, bahwa pengertian-pengertian
yang dianut oleh Hukum Perdata tidak selalu dianut dalam Hukum Pajak.
Misalnya mengenai istilah .tempat tinggal. atau domisili, diatur baik dalam
Hukum Perdata maupun dalam Hukum Pajak.
Di dalam Hukum Perdata domisili diatur dalam Pasal 17 sampai dengan
Pasal 25 BW., sedangkan dalam Hukum Pajak antara lain dalam Undang-
undang lama yaitu Pasal 1 ayat (2) Ordonansi PPh 1932 jo pasal 1 ayat (2)
Ordonansi PPd 1944 dan dalam Undang-undang Pajak baru Pasal 2 ayat (5)
dan ayat (6) UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Untuk jelasnya
bunyi pasal-pasal tersebut adalah :
a. Pasal 17 B.W :. Setiap orang dianggap mempunyai tempat tinggalnya
dimana ia menempatkan pusat kediamannya. Dalam hal tak adanya tempat
tinggal yang demikian, maka tempat kediaman sewajarnya dianggap
sebagai tempat tinggal.
b. Pasal 2 ayat (5) UU. No. 7 Tahun 1983 :. Seseorang atau suatu badan
berada, bertempat tinggal, atau berkedudukan di Indonesia ditentukan
menurut keadaan sebenarnya.
c. Pasal 2 ayat (6) UU No. 7 Tahun 1983 :. Direktur Jenderal Pajak
berwenang menetapkan seseorang atau suatu badan berada, bertempat
tinggal atau bertempat kedudukan.
Dengan adanya kedua ketentuan tersebut maka ketentuan yang ada dalam
Hukum Pajak yang dianut oleh Fiskus, karena merupakan ketentuan yang
khusus (lex spescialis). Pengaruh Hukum Pajak terhadap hukum Perdata
akibat dari Lex specialis derogate lex generale, maka dalam setiap Undang-
undang, penafsiran yang harus dianut pertama kali adalah yang ada di
ketentuan yang khusus. Ketentuan dalam Hukum Pajak mengenyampingkan
ketentuan dalam Hukum Perdata, hak majikan memotong Pajak.
5
a. Di dalam Pasal 16025 B.W. menyatakan bahwa : .Si majikan diwajibkan
membayar kepada si buruh upahnya pada waktu yang telah ditentukan.
b. Di dalam Hukum Pajak diatur baik dalam Undang-undang Pajak lama
maupun yang baru.
Pasal 23 Ordonansi Pajak Upah dan Pasal 17a Ordomamsi PPd 1944
menyatakan bahwa: majikan diberi hak untuk memotong lebih dahulu Pajak
Upah/PPh Pasal 17a sebelumnya menerima gaji. Di dalam Pasal 21 UU No. 7
Tahun 1983 dinyatakan pada ayat (1). Pemotongan pajak atas penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan dan penyetorannya ke Kas Negara, wajib
dilakukan oleh Pemberi kerja yang membayar gaji, upah dan honorarium
dengan nama apapun, sebagai imbalan atas pekerjaan yang dilakukan oleh
pegawai atau orang lain yang dilakukan di Indonesia.4
4
Adrian Sutedi, “Hukum Pajak”
https://books.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=ry9sEAAAQBAJ&oi=fnd&pg=PP1&dq=jurnal+t
entang+hubungan+hukum+pajak+dengan+hukum+perdata&ots=PlsnMiVsMW&sig=ZNl4bh84nH
1Xp5tTIzSl3AJ1ctI&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false, akses 18 Oktober 2022, pukul 12.42
WIB, hlm 9-11.
6
mendadai berbagai aspek kegiatan penyelenggaraan negara baik
pembangunan di pusat dan di daerah. Sepertihalnya untuk pembangunan
fasilitas umum, membiayai anggaran keseharan dan pendidikan serta kegiatan
produktif lainnya.
Negara dalam usaha melakukan pungutan pajak maka dalam proses
pembayaran bersifat memaksa, sehingga negara menetapkan sanksi atau
denda bagi wajib pajak yang tidak melakukan pembayaran pajak. Hal ini
bertujuan supaya wajib pajak semakin patuh melakukan kewajiban
perpajakan, karena mengingat kontribusi dana dari pajak memiliki fungsi
anggaran yang sangat besar demi pembangunan negara. Maka negara
membuat peraturan beserta sanksi agar dalam pembayaran pajak tidak ada
yangmenunda bahkan sampai ada yang tidak membayarkannya.
Ketentuan-ketentuan pidana yang diatur di dalam KUHP banyak
dipergunakan dalam peraturan perihal perpajakan. Hal tersebut sebagaimana
diatur dalam Pasal 38 dan Pasal 39 UU No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah
diubah dengan UU No 16 Tahun 2000 yang dengan jelas sekali menyebutkan
adanya sanksi pidana (berupa kealpaan dan kesengajaan) terhadap wajib pajak
yang melanggar ketentuan di bidang perpajakan.
Bahkan ancaman - ancaman pidana dalam perpajakan selalu mengacu pada
ketentuan di bidang Pidana, misalnya terhadap wajib pajak yang
memindahtangankan atau memindah hak atau merusak barang yang telah
disita karena tidak melunasi hutang pajaknya akan diancam sesuai dengan
ketentun KUHP Pasal 231. Kemudian ketentuan-ketentuan lainnya tindak
pidana di bidang perpajakan tertuang dalam Pasal 38 sampai Pasal 43 UU Ni
28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,
kemudiian dalam Pasal 24 sampai Pasal 27 UU Pajak Bumi dan Bangunan
serta Pasal 14 UU Bea Materai.5
5
Renaldi, “Hubungan Hukum Pajak dan Hukum Pidana”
https://www.kompasiana.com/renaldmh_/60b473468ede485154035202/hubungan-hukum-pajak-
dan-hukum-pidana, akses 19 Oktober 2022, pukul 14.26 WIB.
7
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan pada makalah ini ialah:
1. Korelasi hukum atau hubungan hukum merupakan hubungan antara dua
subjek atau lebih, di mana hak dan kewajiban suatu pihak bertemu
dengan hak dan kewajiban pihak lain.
2. Kewenangan pemungutan pajak berada pada Pemerintah sebagaimana
diatur dalam Pasal 23A Undang-undang Dasar 1945 (pengenaan dan
pemungutan pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang).
Atas dasar undang-undang dimaksudkan bahwa pajak merupakan
peralihan kekayaan dari masyarakat ke pemerintah, untuk membiayai
pengeluaran negara dengan tidak mendapatkan kontraprestasi secara
langsung.
3. Prof. Mr. W.F. Prins menyatakan bahwa hubungan antara Hukum Pajak
dengan Hukum Perdata terjadi karena banyak dipergunakan istilah-istilah
Hukum Perdata dalam Hukum Pajak walaupun sebagai prinsip harus di
pegang teguh, bahwa pengertian-pengertian yang dianut oleh Hukum
Perdata tidak selalu dianut dalam Hukum Pajak. Dengan kata lain bahwa
hukum pajak mencari dasar kemungkinan atas kejadian-kejadian ,
keadaan-keadaan, dan perbuatan-perbuatan hukum yang bergerak dalam
lingkungan perdata, seperti penghasilan, kekayaan, perjanjian penyerahan
hak, dan sebagainya.
4. Hubungan hukum pajak dengan hukum pidana dapat dilihat dari adanya
sanksi pidana atas kealpaan dan kesengajaan terhadap Wajib Pajak yang
melanggar ketentuan perpajakan. Hukum pajak mempunyai ruang
lingkup yang luas, tidak hanya menelaah keadaan-keadaan dalam
masyarakat yang dihubungkan dengan pengenaan pajak dan merumuskan
serta menafsirkan peraturan hukum dengan memperhatikan keadaan
ekonomi dan keadaan masyarakat, hukum pajak juga memuat unsur
8
hukum pidana dan peradilan seperti yang termuat dalam Undang-Undang
Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
9
DAFTAR PUSTAKA
Latifatul Fajri Dwi, https://katadata.co.id/agung/berita/62ce6883bffce/korelasi-
adalah-hubungan-sebab-akibat-berikut-penjelasan-lengkapnya, akses 19
Oktober 2022, pukul 08.11 WIB.
10