Anda di halaman 1dari 63

LINGKUNGAN BISNIS DAN HUKUM KOMERSIL

HUKUM PERIKATAN

DOSEN PENGAMPU: SERLY SE, M.Ak

Oleh:
Nila Septiana Wahyuni (1862201194)
Raja Fitri Annisa (1762201088)
Rizkiyani (1762201020)
Yesi Rahma Fitri (1762201065)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS LANCANG KUNING
2019

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat
menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Lingkungan Bisnis dan Hukum
Komersil tentang “Hukum Perikatan”.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai aspek perikatan. Kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi
perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat
tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami
sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan
saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Pekanbaru, 23 Februari 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... i


DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
1.1 LATAR BELAKANG .................................................................. 1
1.2 RUMUSAN MASALAH .............................................................. 2
1.3 TUJUAN PENULISAN ................................................................ 2
BAB II HUKUM PERIKATAN ....................................................................... 3
2.1 KONSEP DASAR PERIKATAN DAN HUKUM PERIKATAN 3
2.2 PERIKATAN YANG LAHIR DARI PERJANJIAN.................... 5
2.3 PERIKATAN YANG LAHIR DARI UNDANG-UNDANG ....... 18
2.4 PENYEBAB HAPUSNYA PERIKATAN.................................... 27
2.5 BEBERAPA PERJANJIAN BERNAMA ..................................... 41
2.6 CONTOH KASUS DAN ANALISIS KASUS ............................. 55
BAB III PENUTUP ............................................................................................ 59
3.1 KESIMPULAN ............................................................................. 59
3.2 SARAN.......................................................................................... 59
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 60

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam kehidupan sehari-hari banyak orang yang tidak sadar bahwa mereka
disetiap harinya selalu melakukan perikatan. Hal-hal seperti membeli suatu
barang, sewa menyewa, pinjam meminjam, hal tersebut termasuk suatu perikatan.
Perikatan di Indonesia, diatur dalam buku ke III KUH Perdata (BW). Dalam
hukum perdata, banyak sekali cakupannya, salah satunya adalah perikatan.
Perikatan merupakan salah satu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan
antara dua orang atau lebih, di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan
pihak lain berkewajiban ataas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini
merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa
hukum lain yang menimbulkan perikatan.
Di dalam hukum perikatan, setiap orang dapat melakukan perikatan yang
bersumber dari perjanjian, perjanjian apapun atau bagaimanapun baik itu yang
diatur dalam undang-undang ataupun tidak, inilah yang disebut kebebasan
berkontrak. Suatu persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas
ditentukan didalamnya melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya
persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan atau undang-undang. Syarat-
syarat yang diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk
dalam suatu persetujuan, walaupun tidak dengan tegas diatur didalamnya.
Dalam makalah ini, kami akan membahas tentang konsep perikatan dan hal-
hal yang terkait di dalamnya sampai dengan berakhirnya atau terhapusnya suatu
perikatan.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari perikatan ?
2. Apa saja jenis-jenis perikatan itu ?
3. Apa definisi wanprestasi dan keadaan memaksa ?
4. Bagaimana suatu perikatan itu berakhir ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mengetahui apa Pengertian dari Perikatan
2. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai jenis-jenis perikatan
3. Mengetahui apa definisi wanprestasi dan keadaan memaksa
4. Untuk mengetahui bagaimana cara untuk menghapuskan perikatan

2
BAB II

HUKUM PERIKATAN

2.1 Konsep Dasar Perikatan dan Hukum Perikatan


2.1.1 Istilah dan Pengertian Perikatan dan Hukum Perikatan
Hukum perikatan merupakan istilah yang paling luas cakupannya. Istilah
”perikatan” merupakan kesepadanan dari istilah Bahasa Belanda ”Verbintenis”
(Munir Fuady, 1999: 1). Istilah hukum perikatan mencakup semua ketentuan
dalam buku ketiga KUH Perdata.
Buku ketiga KUH Perdata tidak memberikan penjelasan yang spesifik
tentang pengertian perikatan, namun demikian, para ahli memberikan pengertian
tentang perikatan ini diantaranya yang disampaikan oleh Mariam Darus
Badrulzaman, bahwa perikatan dimaknai sebagai ”hubungan (hukum) yang terjadi
di antara dua orang atau lebih, yang terletak di bidang harta kekayaan, dengan
pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi
tersebut” (1994: 3), sedangkan Hukum Perikatan dimaknai sebagai seperangkat
aturan yang memberikan pengaturan terhadap dilaksanakannya perikatan.

2.1.2 Sumber Hukum Perikatan


Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan ”Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik
karena perjanjian, baik karena undang-undang”. Maknanya, perikatan bersumber
dari, 1) Perjanjian, 2) Undang-Undang. Namun demikian, perikatan juga dapat
bersumber dari Jurisprudensi, Hukum Tertulis dan Hukum Tidak Tertulis serta
Ilmu Pengetahuan Hukum.

2.1.3 Jenis Perikatan


Perikatan menurut para ahli dibedakan dalam berbagai jenis sebagai berikut:
1. Menurut Ilmu Hukum Perdata:
a. Dilihat dari objek nya:

3
1) Untuk memberikan sesuatu;
2) Untuk berbuat sesuatu;
3) Untuk tidak berbuat sesuatu;
4) Perikatan manasuka;
5) Perikatan fakultatif;
6) Perikatan generic dan spesifik;
7) Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi;
8) Perikatan yang sepintas lalu dan terus menerus;
b. Dilihat dari subjeknya:
1) Perikatan tanggung menanggung (hoofdelijk/solidair);
2) Perikatan pokok & tambahan (principale & accessoir);
c. Dilihat dari daya kerjanya:
1) Perikatan dengan ketetapan waktu;
2) Perikatan bersyarat.
2. Menurut Undang-undang:
a. Perikatan untuk memberikan sesuatu (Pasal 1235–1238 KUH Perdata).
b. Perikatan untuk berbuat sesuatu dan perikatan untuk tidak berbuat
sesuatu (Pasal 1239 s.d Pasal 1242 KUH Perdata).
c. Perikatan Bersyarat (Pasal 1253, 1259 – 1267 KUH Perdata).
d. Perikatan manasuka/alternative (Pasal 1272 – 1277 KUH Perdata).
e. Perikatan Tanggung Renteng/ Tanggung Menanggung (Pasal 1278-
1303 KUH Perdata).
f. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi (Pasal 1296–
1303 KUH Perdata).
g. Perikatan dengan ancaman hukuman (Pasal 1304 – 1312 KUH Perdata).

2.1.4 Prestasi dan Wanprestasi


Prestasi atau dalam hukum kontrak dikenal juga dalam istilah Inggris
sebagai performance adalah pelaksanaan dari isi kontrak yang telah diperjanjikan
menurut tata cara yang telah disepakati bersama (term and condition). Macam-
macam prestasi adalah yang diatur dalam Pasal 1234 KUH Perdata.

4
Wanprestasi atau yang juga dikenal dengan cidera janji; default;
nonfulfillment; ataupun breach of contract adalah suatu kondisi tidak
dilaksanakannya suatu prestasi/ kewajiban sebagaimana mestinya yang telah
disepakati bersama – sebagaimana yang dinyatakan dalam kontrak.
Wanprestasi dapat terjadi karena kesengajaan; kelalaian ataupun tanpa
kesalahan (kesangajaan dan/kelalaian). Konsekuensi yuridis dari wanprestasi
adalah timbulnya hak dari pihak yang dirugikan dalam kontrak tersebut untuk
menuntut ganti rugi dari pihak yang melakukan wanprestasi.
Bentuk-bentuk ataupun model wanprestasi adalah :
1.Wanprestasi berupa tidak memenuhi prestasi;
2.Wanprestasi berupa terlambat memenuhi prestasi;
3.Wanprestasi berupa tidak sempurna memenuhi prestasi.

2.1.5 Keadaan Memaksa (Overmacht)


Overmacht artinya keadaan memaksa. Dalam suatu perikatan jika Debitur
dikatakan dalam keadaan memaksa sehingga tidak dapat memenuhi prestasinya
karena suatu keadaan yang tak terduga lebih dahulu dan tidak dapat
dipertanggungkan kepadanya, Debitur tidak dapat dipersalahkan/di luar kesalahan
Debitur. Dengan perkataan lain Debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya
karena overmacht bukan karena kesalahannya akan tetapi karena keadaan
memaksa, maka Debitur tidak dapat dipertanggung gugatkan kepadanya. Dengan
demikian Kreditur tidak dapat menuntut ganti rugi sebagaimana hak yang dimiliki
oleh Kreditur dalam wanprestasi.

2.2 Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian


2.2.1 Pengertian dan Bentuk Perjanjian
Adapun yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu perhubungan hukum
antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak
menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban
untuk memenuhi tuntutan itu.Pihak yang berhak menuntut sesuatu, dinamakan

5
kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi
tuntutan dinamakan debitur atau si berhutang.
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada
seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbulah suatu hubungan antara dua orang tersebut
yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua
orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian
perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau
ditulis.
Dengan demikian hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa
perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan,
disampingnya sumber-sumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan,
karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua
perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya. Perkataan kontrak,
lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.

2.2.2 Unsur-Unsur Perjanjian


Berdasarkan uraian di atas, suatu perjanjian memiliki unsur yang dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu unsur essensialia dan bukan essensialia.
Terhadap yang disebutkan belakangan ini terdiri atas unsur naturalia dan
accidentalia.
1) Unsur Essensialia
Eksistensi dari suatu perjanjian ditentukan secara mutlak oleh unsur
essensialia, karena tanpa unsur ini suatu janji tidak pernah ada. Contohnya
tentang “sebab yang halal”, merupakan essensialia akan adanya perjanjian.
Dalam jual beli, harga dan barang, yang disepakati oleh penjual dan pembeli
merupakan unsur essensialia.
2) Unsur Naturalia
Unsur ini dalam perjanjian diatur dalam undang-undang, tetapi para pihak
boleh menyingkirkan atau menggantinya. Dalam hal ini ketentuan undang-
undang bersifat mengatur atau menambah (regelend atau aanvullendrecht).

6
Misalnya, kewajiban penjual menanggung biaya penyerahan atau kewajiban
pembeli menanggung biaya pengambilan. Hal ini diatur dalam Pasal 1476
KUH Perdata: “Biaya penyerahan dipikul oleh si penjual, sedangkan biaya
pengambilan dipikul oleh si pembeli”.
3) Unsur Accidentalia
Unsur ini sama halnya dengan unsur naturalia dalam perjanjian yang
sifatnya penambahan dari para pihak. Undang-undang (hukum) sendiri tidak
mengatur tentang hal itu. Contohnya dalam perjanjian jual beli, benda-benda
pelengkap tertentu bisa ditiadakan.

2.2.3 Asas-Asas Perjanjian


1) Asas Konsensualisme
Yaitu asas yang menyatakan bahwa terbentuknya suatu perjanjian
dikarenakan adanya perjumpaan kehendak (consensus) dari pihak- pihak.
Perjanjian pada pokoknya dapat dibuat bebas tidak terikat bentuk dan
tercapai tidak secara formil, tetapi cukup melalui consensus belaka.
2) Asas Kekuatan Mengikat Perjanjian
Yaitu asas yang menyatakan bahwa para pihak harus memenuhi apa yang
mereka sepakati dalam perjanjian yang mereka buat. Terikatnya para pihak
dalam suatu perjanjian tidak semata- mata terbatas pada apa yang
diperjanjikan akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain yang
dikehendaki oleh asas-asas moral, kepatutan dan kebiasaan. Dari ketentuan
tersebut dapat dikatakan bahwa kekuatan mengikat dari suatu perjanjian itu
baru ada, bila perjanjian yang dibuat menurut hukum. Dengan menekankan
‘secara sah’ berarti bahwa perjanjian yang dibuat tersebut harus memenuhi
persyaratan yang ditentukan, yaitu ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata.
3) Asas Kebebasan Berkontrak
Yaitu asas yang menyatakan bahwa para pihak menurut kehendak, bebasnya
masing- masing dapat membuat perjanjian dan setiap orang bebas mengikat
diri dengan siapa pun yang mereka kehendaki. Pihak-pihak juga dapat bebas
menentukan cakupan isi serta persyaratan dari suatau perjanjian dengan

7
ketentuan bahwa perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa, baik ketertiban
umum maupun kesusilaan.
4) Asas Iktikad Baik
Yaitu asas yang sangat mendasar dan penting untuk diperhatikan terutama
didalam membuat suatu perjanjian maksudnya disini adalah bertindak
sebagai pribadi yang baik yang diartikan sebagai kejujuran seseorang
(dalam arti subjektif) , juga dapat diartikan sebagai iktikad yang baik yang
ditujukan untuk menilai pelaksanaan suatu perjanjian yang dimana
pelaksanaan perjanjian tersebut harus tetap berjalan dengan mengindahkan
norma-norma kepatutan dan kesusilaan serta harus berjalan diatas rel yang
benar (dalam arti objektif).
5) Asas Kepercayaan
Yaitu asas dimana seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak
lain, menumbuhkan kepercayaan diantara kedua belah pihak bahwa satu
sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan mematuhi isi dari
perjanjian tersebut. Dengan kepercayaan ini, maka kedua belah pihak
mengikatkan dirinya dan untuk keduanya perjanjian itu mempunyai
kekuatan mengikat sebagai undang-undang.

2.2.4 Jenis–Jenis Perjanjian


1) Perjanjian Sepihak dan Timbal Balik
Perjanjian Sepihak adalah suatu perjanjian yang dinyatakan oleh salah satu
pihak saja, tetapi mempunyai akibat dua pihak, yaitu pihak yang memiliki
hak tagih yang dalam bahasa bisnis disebut pihak kreditur, dan pihak yang
dibebani kewajiban yang dalam bahasa bisnis disebut debitur.
Contoh Perjanjian Sepihak adalah “hibah” yang diatur dalam Pasal 1666
KUH Perdata, yang menyatakan bahwa: “Suatu persetujuan dengan mana si
pengibah, sewaktu hidupnya dengan cuma-cuma dan tidak dapat ditarik
kembali, menyerahkan suatu benda guna keperluan si penerima hibah yang
menerima penyerahan itu”.

8
Mengenai Perjanjian Timbal Balik adalah perjanjian yang memuat hak pada
salah satu pihak, dan hak tersebut sekaligus menjadi kewajiban bagi pihak
lawannya. Contoh Perjanjian Timbal Balik ini adalah perjanjian jual beli
yang diatur dalam Pasal 1457 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa: “Jual
beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan
dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk
membayar harga yang telah dijanjikan”.
2) Perjanjian Cuma-Cuma dan atas Beban
Kedua jenis perjanjian ini diatur dalam Pasal 1314 KUH Perdata yang
menyebutkan bahwa: “... Suatu persetujuan adalah suatu persetujuan dengan
mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang
lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. Suatu persetujuan
atas beban, adalah suatu persetujuan yang mewajibkan masing-masing pihak
memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu”.
Berdasakan ketentuan di atas, dapat dikatakan bahwa perjanjian cuma-cuma
adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak. Misal
ketentuan Pasal 1666 KUH Perdata tentang hibah dan Pasal 875 KUH
Perdata tentang testament, yang isinya telah disebutkan di muka.
Adapun Perjanjian atas Beban adalah perjanjian yang menyatakan prestasi
dari pihak yang satu selalu terdapat tegen prestasi dari pihak lawannya dan
antara kedua prestasi itu ada hubungannya atas suatu titel tertentu, misalnya,
jual beli, tukar-menukar, dan lain sebagainya.
3) Perjanjian Bernama dan Tidak Bernama
Mengenai kedua jenis perjanjian ini dapat dibaca dalam Pasal 1319 KUH
Perdata, bahwa: “Semua persetujuan, baik yang mempunyai suatu nama
khusus, maupun yang tidak terkenal, dengan suatu nama tertentu, tunduk
pada peraturan-peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang
lalu”.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, terdapat dua macam perjanjian, yaitu
perjanjian yang oleh undang-undang diberikan suatu nama khusus yang
dapat disebut sebagai Perjanjian Bernama (benoemde). Adapun perjanjian

9
yang dalam undang-undang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, yang
dapat disebut sebagai Perjanjian Tidak Bernama (onbenoemde).
Dengan demikian, Perjanjian Bernama adalah perjanjian-perjanjian yang
dikenal dengan nama tertentu dan mempunyai pengaturan secara khusus
dalam undang-undang. Sedangkan Perjanjian Tidak Bernama adalah
perjanjian-perjanjian yang tidak diberi nama dan pengaturan secara khusus
dalam undang-undang.
4) Perjanjian Konsensual dan Riil
Perjanjian Konsensual adalah perjanjian yang dilakukan oleh dua pihak atau
lebih, di mana bila mereka telah mencapai persesuaian (persetujuan)
kehendak untuk mengadakan perikatan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1338
KUH Perdata perjanjian tersebut sudah mempunyai kekuatan mengikat
bagaikan undang-undang bagi mereka.
Mengenai Perjanjian Riil terjadi sebaliknya yaitu perjanji yang hanya
berlaku sesudah terjadi penyerahan barang. Misalnya perjanjian penitipan
barang yang diatur dalam Pasal 1694 KUH Perdata yang berbunyi:
“Penitipan adalah terjadi, apabila seseorangan menerima suatu barang dari
seorang lain, dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan
mengembalikannya dalam wujud asalnya”.
Dengan demikian, Perjanjian Riil adalah perjanjian antara dua orang atau
lebih, di mana keterikatan mereka ditentukan, bukan karena kosensus
(kesepakatan), tetapi terjadi setelah dilakukan penyerahan (perbuatan riil)
atas barang yang dijanjikan itu. Berdasarkan hal itu, Perjanjian Riil
merupakan suatu perjanjian yang mengingkari asas konsensus.
5) Perjanjian Obligatoir dan Kebendaan
Perjanjian Obligatoir adalah perjanjian yang hanya menyoalkan kesepakatan
para pihak untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain. Hal
ini dianut oleh sistem dalam KUH Perdata. Misalnya, dalam jual beli, walau
telah tercapai konsensus antara penjual dengan pembeli tentang barang dan
harga (uang), belumlah mengakibatkan beralihnya hak milik atas benda itu
dari tangan penjual ke tangan pembeli.

10
Untuk itu diperlukan Perjanjian Kebendaan, yaitu suatu perjanjian dengan
mana seseorang menyerahkan haknya atas suatu benda kepada pihak lain,
atau suatu perjanjian yang membebankan kewajiban pihak, untuk
menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain. Penyerahan itu sendiri
merupakan perjanjian kebendaan.
6) Perjanjian Formal
Perjanjian Formal adalah suatu perjanjian yang tidak hanya harus memenuhi
asas konsensus, tetapi juga harus dituangkan dalam suatu bentuk tertentu
atau harus disertai dengan formalitas tertentu.
7) Perjanjian Liberatoir
Perjanjian Liberatoir atau perjanjian yang menghapuskan perikatan adalah
perjanjian antara dua pihak yang isisnya adalah untuk menghapuskan
perikatan yang ada antara mereka. Contohnya disebutkan dalam Pasal 1438
KUH Perdata yang menyatakan bahwa: “Pembebasan sesuatu utang tidak
dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan”.
8) Perjanjian Pembuktian
Perjanjian Pembuktian adalah perjanjian yang memuat keinginan para pihak
untuk menetapkan alat-alat bukti yang dapat digunakan dalam hal terjadi
perselisihan antara para pihak kelak.
9) Perjanjian Untung-untungan
Perjanjian Untung-untungan adalah perjanjian yang prestasi atau objeknya
ditentukan kemudian. Hal ini dapat dijumpai dalam ketentuan Pasal 1774
KUH Perdata yang berbunyi: “Suatu perjanjian untung-untungan adalah
suatu perjanjian yang hasilnya mengenai untung ruginya, baik bagi semua
pihak, maupun bagi sementara pihak, bergantung kepada suatu kejadian
yang belum tentu. Demikian adalah perjanjian penanggungan, bunga cagak
hidup, perjudian dari pertaruhan. Perjanjian yang pertama diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang”.
10) Perjanjian Campuran
Perjanjian Campuran adalah perjanjian yang mempunyai ciri-ciri dari dua
atau lebih perjanjian bernama. Jenis perjanjian ini tidak diatur dalam

11
undang-undang, teapi di dalamnya mempunyai nama sendiri, yang unsur-
unsurnya mirip atau sama dengan unsur-unsur perjanjian bernama, yang
terjalin menjadi satu sedemikian rupa sehingga tak dapat dipisah-pisahkan
sebagai perjanjian yang berdiri sendiri. Contohnya perjanjian sewa beli.

2.2.5 Janji untuk Pihak Ketiga


Pada dasarnya orang hanya dapat memperjanjikan sesuatu hak untuk dirinya
sendiri. Hal ini dapatdisimpulkan dari Pasal 1325 KUH Perdata. Lebih jelas lagi
dari ketentuan Pasal 1340 ayat (2) KUH Perdata, yang mengatakan bahwa “... tak
dapat pihak ketiga mendapat manfaat karenanya, selain dalam hal yang diatur
dalam Pasal 1317 KUH Perdata”.
Janji untuk Pihak Ketiga hanya dapat dilakukan dalam perjanjian timbal
balik karena ada hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak, maka dari itu, orang
senantiasa memperjanjikan sesuatu hak untuk dirinya sendiri. Atas dasar itu,
melalui perjanjian timbal balik dapat dengan sah memperjanjikan suatu hak untuk
pihak ketiga.
Syarat lain yang penting untuk diketahui adalah ketentuan Pasal 1317 ayat
(2) KUH Perdata: “Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu seperti itu tidak
boleh menarik kembali, apabila pihak ketiga tersebut telah mengatakan hendak
mempergunakannya”.

2.2.6 Syarat Sahnya Perjanjian


Suatu kontrak dianggap sah dan dapat mengikat para pihak, apabila
memenuhi syarat-syarat sah yang telah ditentukan. Syarat-syarat tersebut
dibedakan sebagai berikut:
1. Syarat Sah Umum:
a. Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata.
1) Konsensus disebut juga kesepakatan kehendak;
2) Cakap atau wenang berbuat;
3) Perihal Tertentu;
4) Causa Halal.

12
KUH Perdata juga memberikan pengaturan umum atas syarat sah perjanjian
selain yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu :
b. Berdasarkan Pasal 1338-1339 KUH Perdata.
1) Syarat Itikad Baik;
2) Syarat sesuai dengan kebiasaan;
3) Syarat sesuai dengan kepatutan;
4) Syarat sesuai dengan kepentingan umum.
Syarat sah umum berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata ini dibagi atas
syarat sah subjektif dan syarat sah objektif. Syarat sah subjektif adalah memenuhi
unsur adanya konsensus atau kesepakatan para pihak. Maknanya, ketika
kesepakatan telah dicapai oleh para pihak maka di antara para pihak telah tercapai
kesesuaian pendapat tentang hal-hal yangmenjadi pokok perjanjiannya.
Kesepakatan yang telah tercapai ini juga tidak boleh diakibatkan oleh adanya
paksaan, penipuan maupun kesilapan dari para pihak.
Selain itu, unsur yang harus dipenuhi dalam syarat sah subjektif adalah
adanya kecakapan atau wenang berbuat oleh para pihak. Kewenangan berbuat ini
oleh hukum dianggap sah apabila perjanjian yang dilakukan oleh orang-orang
ataupun subjek yang memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Orang yang sudah dewasa.
b. Orang yang tidak ditempatkan di bawah pengampuan.
c. Orang yang tidak dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan
tertentu. Seperti, kontrak jual beli yang dilakukan oleh suami istri.
Tidak dipenuhinya salah satu dari syarat subjektif dalam perjanjian akan
mengakibatkan timbulnya konsekwensi yuridis bahwa perjanjian tersebut “dapat
dibatalkan” atau dalam bahasa lain voidable, vernietigebaar. Pembatalan ini dapat
dilakukan oleh pihak yang berkepentingan. Seandainya tidak dibatalkan maka,
kontrak tersebut dapat dilaksanakan seperti suatu kontrak yang sah.
Syarat sah objektif berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata terdiri dari perihal
tertentu dan kausa halal atau kausa yang diperbolehkan. Perihal tertentu
maksudnya adalah bahwa yang menjadi objek dalam suatu perjanjian haruslah
berkaitan dengan hal tertentu, jelas dan dibenarkan oleh hukum.

13
Syarat kausa yang halal atau yang diperbolehkan maksudnya adalah bahwa
kontrak tersebut tidak boleh dibuat untuk melakukan hal-hal yang bertentangan
dengan hukum. Konsekwensi yuridis yang timbul dari tidak dipenuhinya salah
satu syarat objektif ini akan mengakibatkan kontrak tersebut “tidak sah” atau
“batal demi hukum” (null and void).
2. Syarat Sah Khusus
a. Syarat tertulis untuk kontrak tertentu;
b. Syarat akta notaris untuk kontrak tertentu;
c. Syarat akta pejabat untuk kontrak tertentu;
d. Syarat izin dari yang berwenang.

2.2.7 Para Pihak (Subjek Perikatan)


Sebagaimana telah disampaikan bahwa perikatan adalah hubungan hukum
yang terjadi diantara dua orang atau lebih yang terletak di bidang harta kekayaan,
dengan mana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib
memenuhi prestasi tersebut. Pihak yang berhak atas prestasi adalah pihak yang
aktif, lazim disebut sebagai kreditur atau yang berpiutang. Sebaliknya, pihak yang
pasif atau pihak yang wajib memenuhi prestasi disebut dengan debitur atau yang
berutang, mereka inilah yang disebut sebagai subjek atau para pihak dalam
perikatan.
Keberadaan para pihak dapat berupa orang ataupun badan hukum/badan
usaha. Tentang debitur atau yang berutang disyaratkan harus selamanya diketahui,
karena seseorang tidaklah dapat menagih seorang lainnya jika keberadaannya
tidak diketahui ataupun tidak dikenal. Berbeda halnya dengan kreditur, boleh
seseorang yang tidak diketahui ataupun tidak disyaratkan untuk diketahui
keberadaannya. Selain itu, keberadaan debitur dan kreditur dapat digantikan.
Penggantian debitur harus diketahui oleh kreditur, namun penggantian kreditur
dapat terjadi secara sepihak. (Maria Darus Badrul Zaman, 1994: 4).

14
2.2.8 Objek Perikatan
Pasal 1234 KUH Perdata memberikan pengaturan tentang objek ataupun
jenis perikatan. Objek dalam perikatan adalah sesuatu yang ingin dicapai oleh
kedua belah pihak di dalam perprestasian itu. Objek dalam hukum perikatan lazim
juga disebut sebagai prestasi dalam perikatan, yaitu:
1. Untuk memberikan sesuatu;
2. Untuk berbuat sesuatu;
3. Untuk tidak berbuat sesuatu.

2.2.9 Penafsiran Perjanjian


1. Definisi
Penafsiran perjanjian menurut pasal 1342 ini adalah suatu doktrin yang
mengajarkan bahwa jika pengertian setiap kata atau kalimat tertulis dalam
perjanjian dengan bahasa jelas, lengkap, dan tidak mengandung ambiguitas maka
atas perjanjian tersebut tidak diperlukan penafsiran perjanjian lagi. Sebagaimana
dinyatakan dalam pasal 1342 KUH Perdata, yaitu :
“Jika kata–kata dalam suatu perjanjian sudah jelas, maka tidak lagi
diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran.”
Namun pada kenyataannya dalam praktek tidak bisa diterapkan apa adanya.
Ada unsur keadilan dan kepatutan untuk menuntut adanya penafsiran lebih lanjut
sehingga penerapan pasal ini masih menimbulkan pengecualian – pengecualian
yaitu metode – metode penafsiran lain yang dapat digunakan jika memang
membutuhkan pemahaman lebih lanjut atas suatu perjanjian. Pengecualian –
pengecualian tersebut antara lain :
 Diperkenankan melakukan penafsiran sosiologis
 Diperkenankan melakukan perjanjian untuk memperjelas istilah
 Diperkenankan penafsiran perjanjian yang disesuaikan dengan maksud para
pihak.

15
2. Macam–macam Penafsiran
1) Penafsiran berdasarkan pasal 1343 KUH perdata merupakan penafsiran
gramatikal yaitu metode penafsiran untuk sedapat mungkin berpegang
teguh dan tidak menyimpang dari teks yang tertulis.
2) Penafsiran berdasarkan pasal 1344 KUH Perdata adalah penafsiran
praktis yaitu penafsiran atas suatu perjanjian yang didalamnya terdapat
kata – kata, kalimat, atau klausula yang tidak jelas sehingga memiliki
lebih dari satu pengertian, maka hal ini pengertian perjanjian dipilih
menurut pengertian yang dapat dilaksanakan oleh pihak – pihak yang
melakukan perjanjian dibandingkan dengan pengertian yang tidak dapat
dipraktekkan.
3) Penafsiran berdasarkan pasal 1348 KUH Perdata merupakan penafsiran
terintegrasi, yaitu penafsiran yang menafsirkan suatu klausula dari
kontrak sebagai bagian yang berkesinambungan dari keseluruhan isi
tersebut.
4) Penafsiran berdasarkan pasal 1350 KUH perdata merupakan Penafsiran
teleogis, yaitu penafsiran yang tidak terlalu berpegang pada bunyi teks
dari perjanjian tetapi lebih mempertimbangkan maksud dan tujuan dari
perjanjian maksud dari pembuat perjanjian tersebut.

2.2.10 Actio Pauliana


Yang dimaksud dengan Actio Pauliana (claw-back atau annulment of
prefential transfer) adalah suatu upaya hukum untuk membatalkan transaksi yang
dilakukan oleh Debitur untuk kepentingan Debitur tersebut yang dapat merugikan
kepentingan para Krediturnya. Misalnya, menjual barang-barangnya sehingga
barang tersebut tidak dapat disita-dijaminkan oleh pihak Kreditur diatur dalam
ketentuan KUH Perdata yaitu Asas Privity of Contract (asas personalia) yang
terdapat dalam Pasal 1340 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut:
“Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya”.

16
Sebagai asas, privity of contract tidaklah berlaku secara kaku, dalam arti
masih dimungkinkan untuk dikecualikan. Dalam Pasal 1341 diatur mengenai
Actio Pauliana yang berbunyi sebagai berikut:
1) Meskipun demikian, tiap orang berpiutang boleh mengajukan batalnya
segala perbuatan yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh si berpiutang
dengan nama apapun juga, yang merugikan orang-orang berpiutang, asal
dibuktikan, bahwa ketika perbuatan dilakukan, baik si berutang maupun
orang dengan atau untuk siapa si berutang itu berbuat, mengetahui bahwa
perbuatan itu membawa akibat yang merugikan orang-orang yang
berpiutang.
2) Hak-hak yang diperolehnya dengan itikad baik oleh orang-orang pihak
ketiga atas barang-barang yang menjadi pokok perbuatan yang batal itu,
dilindungi
3) Untuk mengajukan hal batalnya perbuatan- perbuatan yang dilakukan
dengan cuma-cuma oleh si berutang, cukuplah si berpiutang membuktikan
bahwa si berutang pada waktu melakukan perbuatan itu tahu, bahwa ia
dengan berbuat demikian merugikan orang-orang yang mengutangkan
padanya, tak peduli apakah orang yang menerima keuntungan juga
mengetahuinya atau tidak”.
Actio Pauliana juga merupakan sarana yang diberikan oleh undang-undang
kepada tiap-tiap Kreditur untuk mengajukan pembatalan atas segal perbuatan yang
tidak diwajibkan yang telah dilakukan oleh Debitur dimana perbuatan tersebut
telah merugikan Kreditur. Ada satu unsur penting yang menjadi patokan dalam
pengaturan Actio Pauliana dalam Pasal 1341 KUH Perdata, yaitu unsur itikad baik
(good faith). Pembuktian ada atau tiadanya unsur itikad baik menjadi landasan
dalam menentukan perbuatan tersebut termasuk perbuatan yang tidak diwajibkan
atau diwajibkan.
Ketentuan Actio Pauliana dalam Pasal 1341 KUH Perdata ini berkaitan
dengan ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata yang mengatur mengenai prinsip
paritas creditorium. Hal ini karena dengan Pasal 1131 KUH Perdata ditentukan
bahwa semua harta kekayaan Debitur demi hukum menjadi jaminan atas utang-

17
utang Debitur. Dengan demikian, maka Debitur sebenarnya tidak bebas terhadap
harta kekayaannya ketika ia memiliki utang kepada pihak lain, dalam hal ini
kepada Kreditur.
Jika dilihat dari Pasal 1341 ayat (1) dan ayat (2) KUHPerdata di atas, dapat
diketahui bahwa ada 2 (dua) macam perbuatan hukum yang tidak diwajibkan,
antara lain sebagai berikut:
1. Perbuatan hukum yang bersifat timbal balik (lihat Pasal 1341 ayat (1)
KUHPerdata). Perbuatan hukum yang bersift timbal balik adalah suatu
perbuatan hukum dimana ada dua pihak yang saling berjanji. Contohnya:
perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa, dan lain-lain;
2. perbuatan hukum yang bersifat sepihak (lihat Pasa 1341 ayat (3)
KUHPerdata) Perbuatan hukum yang bersifat sepihak adalah suatu
perbuatan hukum dimana hanya ada satu pihak yang mempunyai kewajiban
atas prestasi terhadap pihak lain. Contohnya: Hibah.
Dalam sistem hukum perdata dikenal ada tiga jenis Actio Pauliana, yakni:
1. Actio Pauliana (umum) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1341
KUHPerdata,
2. Actio Pauliana (waris) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1061
KUHPerdata,
3. Actio Pauliana dalam kepailitan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 41
sampai Pasal 47 UUKPPU.

2.3 Perikatan yang Lahir dari Undang-Undang


2.3.1 Sekilas tentang Perikatan yang Lahir dari Undang-Undang
Perikatan-perikatan yang lahir dari undang-undang diatur dalam Pasal 1352
KUH Perdata dan Pasal 1353 KUH Perdata. Dalam Pasal 1352 KUH Perdata yang
menyebutkan bahwa:
“Perikatan-perikatan yang dilahirkan demi undang-undang, timbul dari undang-
undang saja, atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang”.
Dalam Pasal 1353 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa:

18
“Perikatan-perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, terbit dari perbuatan
halal atau perbuatan melawan hukum”.
Berdasarkan dua ketentuan pasal tersebut, maka perikatan-perikatan yang
lahir dari undang-undang jenisnya dapat disebutkan sebagai berikut.
 Perikatan lahir dari undang-undang saja (Pasal 1352 KUH Perdata)
 Perikatan lahir dari akibat perbuatan orang; yang dalam hal ini dapat
dibedakan lagi menjadi:
 Perikatan yang lahir dari akibat perbuatan halal (Pasal 1352 KUH
Perdata).
 Perikatan yang lahir dari akibat perbuatan melanggar hukum (Pasal
1353 KUH Perdata).

2.3.2 Perikatan Lahir Dari Undang-Undang Saja


1. Tentang Hak Alimentasi
Hak alimentasi adalah suatu hak yang dapat dilakukan kepada pihak lawan
karena undang-undang menetapkan hak tersebut. Misalnya hak yang diajukan
oleh orang tua kepada anaknya yang mampu dan hak yang diajukan oleh kepada
orang tuanya diatur dalam Pasal 298 KUH Perdata yang menyatakan, bahwa:
“Tiap-tiap anak dalam umur berapapun juga, berwajib menaruh kehormatan dan
keseganan terhadap bapak dan ibunya. Si bapak dan si ibu, keduanya berwajib
memelihara dan mendidik sekalian anak mereka yang belum dewasa. Kehilangan
hak untuk memangku kekuasaan orang tua atau untuk menjadi wali tak
membebaskan mereka dari kewajiban, memberi tunjangan-tunjangan dalam
keseimbangan dengan pendapatan mereka, guna memelihara pembiayaan dan
pendidikan itu. Terhadap anak-anak yang telah dewasa berlakulah ketentuan-
ketentuan tercantum dalam bagian ketiga bab ini”.
2. Tentang Hukum Tetangga
Hak dan kewajiban pihak-pihak yang bertetangga diatur oleh undang-
undang dan antara lain disebutkan dalam Pasal 625 KUH Perdata yang berbunyi:
“Antara pemilik-pemilik pekarangan yang satu sama lain bertentangan adalah
berlaku beberapa hak dan kewajiban, baik yang berpangkal pada letak pekarangan

19
mereka karena alam, maupun yang berdasar atas ketentuan-ketentuan undang-
undang”.

2.3.3 Perikatan Lahir dari Akibat Perbuatan Halal


1. Megurus Kepentingan Orang Lain
Mengurus kepentingan orang lain ialah suatu perbuatan mengurus
kepentingan orang lain secara sukarela tanpa ada perintah untuk itu, baik dengan
pengetahuan maupun tanpa pengetahuan dari orang yang diurus kepentingan nya
itu.
2. Pembayaran yang Tidak Diwajibkan
Mengenai perikatan semacam ini diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut.
a. Pasal 1359 ayat (1) KUH Perdata:
“Tiap-tiap pembayaran memperikirakan adanya suatu utang; apa yang
telah dibayarkan dengan tidak diwajibkan dapat dituntut kembali”.
b. Pasal 1360 KUH Perdata:
“Barang siapa secara khilaf atau dengan mengetahuinya telah menerima
sesuatu yang tidak harus dibayarkan padanya, diwajibkan
mengembalikan barang yang tak harus dibayarkan itu kepada orang dari
siapa ia telah menerimanya”.
c. Pasal 1361 KUH Perdata:
“Jika seseorang yang secara khilaf mengira bahwa ia berutang
membayar suatu utang maka ia adalah berhak menuntut kembali dari si
berpiutang apa yang telah dibayarkan nya”.
Berdasarkan ketiga pasal tersebut, ada tiga bentuk pembayaran yang tidak
diwajibkan, yaitu:
a. pembayaran tanpa adanya utang;
b. pembayaran kepada orang yang bukan berpiutang;
c. pembayaran oleh orang yang bukan berutang.
Dalam praktik yang banyak terjadi adalah dalam bentuk yang pertama, yaitu
pembayaran tanpa adanya utang dengan contoh sebagai berikut.
a. Seorang membayar karena kekhilafan suatu utang yang telah dibayarnya.

20
b. Pemenuhan suatu perikatan yang batal karena hukum.
3. Perikatan Bebas
Perikatan seperti ini disebutkan dalam Pasal 1359 ayat (2) KUH Perdata
yang berbunyi “terhadap perikatan-perikatan bebas, yang secara sukarela telah
dipenuhi tak dapat dilakukan penuntunan kembali”.
Di dalam KUH Perdata hanya disebutkan beberapa contoh dari perikatan
bebas, seperti yang diatur dalam Pasal 1788 KUH Perdata:
“Undang-undang tidak memberi suatu tuntutan hukum dalam halnya suatu
Utang yang terjadi karena perjudian atau pertaruhan”.
Perikatan bebas adalah perikatan dimana kreditur tidak mempunyai hak
untuk menuntut pelaksanaan suatu prestasi, walaupun dengan bantuan Hakim.
Sebaliknya debitur tidak mempunyai kewajiban hukum untuk memenuhi suatu
prestasi. Debitur hanya mempunyai kewajiban moral untuk memenuhinya.
Misalnya, pembayaran bunga yang tidak diperjanjikan, seperti yang disebutkan
dalam pasal 1766 KUH Perdata:
“Siapa yang telah menerima pinjaman dan membayar bunga yang telah
diperjanjikan tidak dapat menuntutnya kembali maupun mengurangi dari jumlah
pokok....”.
Contoh perikatan bebas (wajar), selain diatur dalam Pasal 1788 KUH
Perdata, diatur juga di dalam Pasal 1791 KUH Perdata yang mengatakan bahwa:
“seorang yang sukarela telah membayar kekalahannya, sekali-kali tak
diperbolehkan menuntutnya kembali, kecuali apabila dari pihaknya si pemenang
telah dilakukan kecurangan atau penipuan”.

2.3.4 Perbuatan Melanggar Hukum


1. Pengertian Perbuatan Melanggar Hukum
Menurut Vollenhoven, Perbuatan Melanggar Hukum dikatakan sebagai
“Perbuatan yang tidak diperbolehkan”. Dalam hal itu oleh Wirjono Prodjodikoro
(1996:12), berpendapat bahwa perbuatan melanggar hukum meliputi segala
lapangan hidup orang-orang dalam suatu masyarakat. Kata “perbuatan melanggar
hukum’ mengandung pengertian yang lebih sempit, yaitu tidak hanya perbuatan

21
yang langsung melanggar hukum, tetapi juga perbuatan yang secara langsung
melanggar peraturan lain di luar hukum, berupa peraturan di lapangan kesusilaan,
keagamaan, dan sopan santun.
2. Akibat Perbuatan Melanggar Hukum
Berdasarkan ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata, maka syarat dari
perbuatan melawan hukum itu, yaitu
 Harus ada perbuatan;
 Harus ada kesalahan
 Harus ada kerugian
3. Harus Ada Perbuatan
Dalam hal ini perlu ditanyakan apakah arti kata “perbuatan” dalam melawan
hukum itu? Menurut Moegni Djojodirjo, yang dimaksud dengan “perbuatan”
dalam melawan hukum itu melekat sifat aktif dan pasif dari suatu perbuatan. Sifat
aktif dapat dilihat apabila dengan sengaja melakukan suatu perbuatan yang
menimbulkan suatu kerugian pada orang lain.
4. Apakah Arti “Melawan Hukum”?
a. Ajaran Sempit
Sebelum tahun 1919, Hoge Raad berpendapat dan menafsirkan
Perbuatan Melawan Hukum secara sempit, yaitu sebagai berbuat atau
tidak berbuat sesuatu yang melanggar hak orang lain, atau bertentangan
dengan kewajiban hukum pelaku yang telah diatur oleh undang-undang.
Perbuatan Melawan Hukum adalah perbuatan melawan undang-
undang. Banyak gugatan pada waktu itu berdasarkan perbuatan
melawan hukum gagal karena perbuatan sebagai dasar gugatan nya itu
tidak diatur dalam undang-undang.
b. Ajaran Luas
Perbuatan Melawan Hukum menurut ajaran luas meliputi hal-hal
sebagai berikut.
1) Melanggar hak subjektif orang lain yang berarti melanggar
wewenang khusus yang diberikan oleh hukum kepada seseorang.
Yurisprudensi memberi arti hak subjektif adalah:

22
- Hak-hak perorangan seperti kebebasan, kehormatan, dan nama
baik;
- Hak atas harta kekayaan, hak kebendaan, dan hak mutlak lainnya.
2) Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku. Kewajiban hukum disini
diartikan sebagai kewajiban yang berdasarkan hukum, baik tertulis
maupun tidak tertulis (termasuk perbuatan pencurian, penipuan, atau
penggelapan).
3) Bertentangan dengan kaidah kesusilaan, yaitu semua norma yang ada
dalam masyarakat dan yang tidak merupakan hukum, kebiasaan, atau
agama.
4) Bertentangan dengan kepatutan yang berlaku dalam lalu lintas masyarakat
terhadap diri dan org lain, dalam hal ini meliputi:
- Perbuatan yang merugikan orang lain, tanpa kepentingan yang layak;
- Perbuatan yang tidak berguna yang menimbulkan bahaya bagi orang
lain.
5. Harus Ada Kesalahan
Pengertian “kesalahan” disini menurut pendapat Vollmar (dalam Purwahid
Patrik, 1994:82).
 Kesalahan dari arti subjektif (abstrak), apakah orang yang bersangkutan
umumnya dapat di pertanggungjawabkan atas perbuatannya itu?
 Kesalahan dalam arti objektif (konkret), apakah ada keadaan memaksa
(overmacht atau force majeure)?
6. Harus Ada Kerugian
Didalam ketentuan pasal 1365 KUH Perdata, ditentukan kewajiban bagi
pelaku perbuatan melawan hukum untuk membayar ganti kerugian. Walaupun
begitu, KUH Perdata tidak mengatur lebih lanjut mengenai ganti kerugian
tersebut, Pengganti kerugian karena tidak dipenuhi perikatan beda dengan
pengganti kerugian karena perbuatan melawan hukum.
Dalam pengganti kerugian yang disebutkan sebelumnya meliputi biaya,
kerugian, dan bunga. Seperti yang disebutkan dalam Pasal 1246 KUH Perdata
yang mengatakan bahwa:

23
“Biaya, rugi, dan bunga yang olehnya si berpiutang boleh dituntut akan
penggantiannya, terdirilah pada umumnya atas rugi yang telah diderita dan untung
yang sedianya harus dapat dinikmatinya....”.
Begitu juga ketentuan Pasal 1243 KUH Perdata mengatakan bahwa:
“Penggantian biaya, rugi, dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan,
barulah mulai diwajibkan apabila si berutang setelah dinyatakan lalai memenuhi
perikatan.
Gugatan penggantian kerugian karena perbuatan melawan hukum, meliputi:
a. dapat berupa uang (dapat dengan uang pemaksa)
b. memulihkan dalam keadaan semula (dapat dengan uang pemaksa)
c. larangan untuk mengulangi perbuatan itu lagi (dengan uang pemaksa)
d. dapat meminta keputusan hakim bahwa perbuatannya bersifat melawan
hukum
Perbuatan yang dapat digugat berdasarkan ketentuan Pasal 1365 KUH
Perdata antara lain:
a. perusakan barang (menimbulkan kerugian materiil)
b. gangguan
c. menyalahgunakan hak (orang menggunakan barang miliknya, tujuannya
untuk merugikan orang lain
7. Perbuatan Melawan Hukum oleh Badan Hukum
Perbuatan melawan hukum tidak hanya dilakukan oleh dirinya sendiri,
tetapi juga oleh para wakilnya. Ia harus menanggung perbuatan wakilnya itu.
Persoalan tanggung gugat daripada badan hukum terhadap perbuatan melawan
hukum adalah menyangkut pertanyaan soal perwakilan. Wakil adalah orang yang
mewakili, tidak hanya mengikat terhadap perbuatan melawan hukum yang ia
lakukan, tetapi juga terhadap perbuatan melawan hukum sepanjang itu sebagai
perbuatan perwakilkan dan pelaksanaan dari tugas perwakilkannya.
8. Perbuatan Melawan Hukum dari Penguasa
Perbuatan penguasa dapat diuji dengan perbuatan melawan hukum yang
baru lainnya yaitu:
a. bertentangan dengan kesusilaan

24
b. bertentangan dengan sikap hati-hati, yang sebagaimana patutnya ada dalam
masyarakat
9. Tanggung Jawab terhadap Perbuatan Orang Lain
Pertanyaan tersebut diatur dalam Pasal 1367 KUH Perdata.
1) Seorang tidak saja bertanggung jawab tentang kerugian yang
disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang
disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau
disebabkan oleh barang-barang yang berada dibawah pengawasan nya.
2) Orang tua dan wali bertanggung jawab tentang kerugian yang
disebabkan oleh anak-anak belum dewasa, yang tinggal pada mereka
melakukan kekuasaan orang tua atau wali.
3) Guru-guru sekolah dan Kepala-kepala tukang bertanggung jawab
tentang kerugian yang diterbitkan oleh murid-murid dan tukang-tukang
mereka selama waktu orang-orang ini berada dibawah pengawasan
mereka.
4) Tanggung jawab yang disebutkan di atas berakhir, jika orang tua-orang
tua, wali-wali, guru-guru sekolah, dan kepala-kepala tukang itu
membuktikan bahwa mereka tidak dapat mencegah perbuatan untuk
mana mereka seharusnya bertanggung jawab itu.
Dalam pembahasan ini, ada dua cara tanggung gugat, yaitu:
a. tanggung gugat perorangan, dapat dikenakan Pasal 1365 KUH Perdata,
karena ia sendiri melakukan perbuatan melawan hukum;
b. anggung gugat kualitatif, dapat dikenakan Pasal 1367 dan 1365 KUH
Perdata karena dalam sifat tertentu. Misalnya, sebagai majikan, sebagai
orang tua, sebagai pemilik gedung, dan lain-lain;
10. Tanggung Jawab terhadap Pembunuhan dan Melukai
Kedua perbuatan ini diatur dalam dua pasal sebagai berikut.
a. Pasal 1370 KUH Perdata
“Dalam halnya suatu pembunuhan dengan sengaja atau kurang hati-
hatinya seorang, maka suami atau istri yang ditinggalkan,anak atau
orang si korban yang lazimnya mendapat nafkah dari pekerjaan si

25
korban, mempunyai hak untuk menuntut suatu ganti rugi yang harus
dinilai menurut kedudukan dan kekayaan kedua belah pihak, serta
menurut keadaaan.
b. Pasal 1371 KUH Perdata
“Penyebab luka atau cacatnya sesuatu anggota badan dengan sengaja
atau karena kurang hati-hati memberikan hak kepada si korban untuk
selain pengganti biaya-biaya penyembuhan, menuntut penggantian
kerugian yang disebabkan oleh luka atau cacat tersebut.
11. Tanggung Jawab terhadap Penghinaan
Pasal 1372 KUH Perdata berbunyi “Tuntunan perdata tentang hal
penghinaan adalah bertujuan mendapat pengganti kerugian serta pemulihan
kehormatan dan nama baik”. Dalam menilai satu dan lain, hakim harus
memperhatikan berat dan ringan nya penghinaan, begitu pula pangkat, kedudukan,
serta kemampuan kedua belah pihak, dan pada keadaaan.
Dalam hal ini perlu dipertanyakan tentang:
a. Apakah yang dimaksud dengan penghinaan itu?
b. Apa yang dapat digugat dalam perkara penghinaan?
Rutten menjelaskan bahwa penghinaan yang dimaksud dalam Pasal 1372
KUH Perdata itu adalah kejahatan yang diatur dalam Pasal 310 KUHP, yang
berbunyi:
1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atas nama baik seseorang,
dengan menuduh sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu
diketahui umum, diancam karena pencemaran, dengan pidana penjara paling
lama sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan,
dipertujukan atau ditempelkan di muka umum, maka yang bersalah karena
pencemaran tertulis, diancam pidana penjara paling lama satu tahun empat
bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan
terang-terangan dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa
untuk bela diri.

26
Mengenai pertanyaa yang kedua tentang apa yang dapat digugat, dapat
disebutkan sebagai berikut:
a. Gugatan kerugian terhadap kerugian materiill yang diderita.
b. Gugatan kerugian berupa uang terhadap kerugian yang tidak berwujud.
c. Suatu keterangan bahwa perbuatan itu fitnah atau penghinaan.
d. Penempelan putusan hakim untuk diketahui umum.
12. Tanggung Jawab terhadap Pemilik Hewan dan Gedung
a. Pemilik Hewan
Kerugian yang ditimbulkan oleh hewan, undang-undang menetapkan
tanggung jawabnya kepada pemiliknya atau pemakai hewan itu. Hal ini
dinyatakan dalam Pasal 1368 KUH Perdata yang berbunyi: “Pemilik
seekor binatang atau siapa yang memakainya adalah selama binatang
itu dipakainya, bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan
oleh binatang tersebut, baik binatang itu ada di bawah pengawasannya
maupun tersesat atau terlepas dari pengawasannya”.
b. Pemilik Gedung
Tanggung Jawab pemilik gedung diatur dalam Pasal 1369 KUH Perdata
yang berbunyi: “Pemilik sebuah gedung adalah bertanggung jawab atas
kerugian yang disebabakan ambruknya gedung itu untuk seluruhnya
atau sebagian, jika ini terjadi karena kelalaian dalam pemeliharaannya,
atau karena sesuatu cacat dalam pembangunan maupun tatanannya”.

2.4 Penyebab Hapusnya Perikatan


Berakhirnya perikatan atau hapusnya perikatan disebabkan oleh 10 hal,
yang mana hal ini terdapat dalam pasal 1381 KUH Perdata pada buku ketiga,
yaitu :
1. Karena pembayaran;
2. Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau
penitipan;
3. Karena pembaruan utang;
4. Karena perjumpaan utang atau kompensasi;

27
5. Karena percampuran utang;
6. Karena pembebasan utang;
7. Karena musnahnya barang yang terutang;
8. Karena kebatalan atau pembatalan;
9. Karena berlakunya suatu syarat pembatalan, yang diatur dalam Bab I buku
;dan
10. Karena lewat waktu, yang akan diatur dalam suatu bab tersendiri.
Berikut akan disampaikan pemaparan masing-masing sebab hapusnya
perikatan:

2.4.1 Pembayaran
Yang dimaksudkan dengan pembayaran oleh hukum perikatan adalah setiap
tindakan pemenuhan janji antara debitor dengan kreditor, bagaimanapun bentuk
dan sifat dari janji tersebut. Dengan terjadinya pembayaran ini maka
terlaksanalah/terpenuhinya perjanjian di antara kedua belah pihak sehingga
terhentilah hubungan hukum antara mereka yang membuat janji. (Peraturan
tentang pembayaran ini terdapat dari pasal 1382 – 1403 KUH Perdata ).
Ketentuan Pasal 1382 KUH Perdata menyatakan, ”Tiap perikatan dapat
dipenuhi oleh siapa saja yang berkepentingan, sepertinya seorang yang turut
berutang atau seorang penanggung utang. Suatu perikatan bahkan dapat
dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga, yang tidak mempunyai
kepentingan, asal saja orang pihak ketiga itu bertindak atas nama dan untuk
melunasi utangnya si berutang, atau jika ia bertindak atas namanya sendiri,
asal ia tidak menggantikan hak-hak si berpiutang”.
Berdasarkan Pasal tersebut, yang mempunyai kewajiban untuk
melaksanakan pembayaran adalah debitur, namun demikian selain debitur ada
juga pihak-pihak lain yang dapat melakukan pembayaran yaitu :
1) Dia adalah seorang yang turut berutang;
Pemenuhan perikatan oleh seorang turut berutang menghapuskan perikatan
yang ada antara debitor dengan kreditor, dengan pengertian bahwa dengan
dipenuhinya kewajiban debitor oleh seorang yang turut berutang, debitor

28
dibebaskan dari kewajibannya untuk melakukan kewajiban yang sama
berdasarkan pada perikatan yang sama. Ketentuan ini merupakan penjabaran
dari Pasal 1280 KUH Perdata yang menyatakan ”Di pihak debitor terjadi
suatu perikatan tanggung menanggung, manakala mereka semua wajib
melaksanakan satu hal yang sama, sedemikian rupa sehinga salah satu
dapat dituntut untuk seluruhnya, dan pelunasan oleh salah satu dapat
membebaskan debitor lainnya terhadap kreditor”.
2) Seorang penanggung utang;
Ketentuan mengenai penanggungan utang dapat dilihat pada Pasal 1820
KUH Perdata yang menyatakan “Penanggungan ialah suatu persetujuan
di mana pihak ketiga demi kepentingan kreditur, mengikatkan diri
untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur itu tidak memenuhi
perikatannya.”
Berdasarkan pasal tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa suatu
penanggungan utang adalah diberikan secara sukarela atas kehendak dari
penanggung secara pribadi. Selain itu, pelunasan utang debitor kepada
kreditor oleh seorang penanggung utang ini adalah dalam kondisi setelah
ternyata bahwa benda-benda debitor yang menjadi jaminan pelunasan
utangnya debitor (haftung) tidak mencukupi untuk melunasi hutangnya
kepada kreditor. Ketentuan penting lainnya tentang penanggungan utang ini
dapat dilihat pada Pasal 1839 KUH Perdata, yang berbunyi: ”Penanggung
yang telah membayar, dapat menuntutnya kembali dari debitor utama,
baik penanggungan itu telah diadakan dengan maupun tanpa
pengetahuan debitor utama. Penuntutan kembali ini dilakukan baik
mengenai uangnya pokok maupun mengenai bunga serta biaya-biaya.
Mengenai biaya-biaya tersebut, penanggung hanya dapat menuntutnya
kembali, sekedar ia telah memberitahukan kepada debitor utama
tentang tuntutan – tuntutan yang ditujukan kepadanya, di dalam
waktu yang patut. Penanggung ada juga mempunyai hak menuntut
penggantian biaya, rugi dan bunga, jika ada alasan untuk itu”.

29
Selanjutnya dalam Pasal 1840 KUH Perdata disebutkan bahwa
”Penanggung yang telah membayar menggantikan demi hukum segala
hak kreditor terhadap debitor”. Maknanya debitor yang kewajibannya
kepada kreditor telah dipenuhi oleh penanggung tidak pernah lepas dari
kewajibannya untuk memenuhi kewajibannya semula. Seorang penanggung
yang telah membayarkan utangnya debitor kepada kreditor, dapat menuntut
kembali dari debitor tersebut, dengan tidak memperhatikan apakah
penanggungan itu telah diadakan dengan maupun tanpa sepengetahuan
debitor tersebut. Penuntutan ini dapat atas utang pokok yang telah
dibayarkan maupun atas bunga serta biaya-biaya yang telah dikeluarkan.
3) Seorang pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan, asal saja orang
pihak ketiga itu bertindak atas nama dan untuk kepentingan melunasi
hutangnya debitur, atau pihak ketiga tersebut bertindak atas namanya
sendiri, asal ia tidak menggantikan hak-hak kreditur.
Penggantian oleh seorang pihak ketiga ini diatur dalam Pasal 1400 KUH
Perdata yang berbunyi:
”Subrogasi atau penggantian hak-hak kreditor kepada seorang pihak
ketiga yang membayar kepada kreditor, dapat terjadi baik karena
persetujuan maupun demi undang-undang”.
Berdasarkan rumusan ini dapat diketahui bahwa:
a) Pelunasan utang debitor terhadap kreditor demi hukum dapat dilakukan
oleh pihak ketiga;
b) Penggantian ini dapat terjadi, baik dikarena undang-undang maupun
dikarenakan adanya perjanjian yang dibuat oleh para pihak.
Penggantian oleh pihak ketiga ini dapat terjadi dikarenakan adanya
kepentingan dari pihak ketiga tersebut ataupun terjadi oleh seorang
pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan.
Perpindahan itu terjadi karena persetujuan ( pasal 1401 KUH Perdata) :
1. Bila kreditur, dengan menerima pembayaran dan pihak ketiga, menetapkan
bahwa orang ini akan menggantikannya dalam menggunakan hak–haknya,
gugatan-gugatannya, hak–hak istimewa dan hipotek-hipoteknya terhadap

30
debitur; Subrogasi ini harus dinyatakan dengan tegas dan dilakukan
bersamaan dengan waktu pembayaran.
2. Bila debitur menjamin sejumlah uang untuk melunasi utangnya, dan
menetapkan bahwa orang yang meminjamkan uang itu akan mengambil alih
hak-hak kreditur, agar subrogasi ini sah, baik perjanjian pinjam uang
maupun tanda pelunasan, harus dibuat dengan akta otentik, dan dalam surat
perjanjian pinjam uang harus diterangkan bahwa uang itu dipinjam guna
melunasi utang tersebut; sedangkan dalam surat tanda pelunasan harus
diterangkan bahwa pembayaran dilakukan dengan uang yang dipinjamkan
oleh kreditur baru. Subrogasi ini dilaksanakan tanpa bantuan kreditur.
Subrogasi terjadi karena undang-undang ( pasal 1402 KUH Perdata) :
1. untuk seorang kreditur yang melunasi utang seorang debitur kepada
seorang kreditur lain, yang berdasarkan hak istimewa atau hipoteknya
mempunyai suatu hak yang lebih tinggi dan pada kreditur tersebut
pertama;
2. untuk seorang pembeli suatu barang tak bergerak, yang memakai uang
harga barang tersebut untuk melunasi para kreditur, kepada siapa
barang itu diperikatkan dalam hipotek;
3. untuk seorang yang terikat untuk melunasi suatu utang bersama-sama
dengan orang lain, atau untuk orang lain dan berkepentingan untuk
membayar utang itu;
4. untuk seorang ahli waris yang telah membayar utang-utang warisan
dengan uangnya sendiri, sedang ia menerima warisan itu dengan hak
istimewa untuk mengadakan pencatatan tentang keadaan harta
peninggalan itu.
Pasal 1382 ayat (2) KUH Perdata memungkinkan hapusnya perikatan
dikarenakan pembayaran yang dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak
berkepentingan dengan syarat bahwa:
a. pihak ketiga tersebut haruslah bertindak untuk dan atas nama debitor dan
untuk melunasi utang debitor; atau

31
b. dalam hal pihak ketiga tersebut bertindak untuk dan atas namanya sendiri,
maka ia harus menegaskan bahwa pembayaran atau pelunasan yang
dilakukan oleh nya tersebut tidak dengan tujuan untuk menggantikan hak-
hak kreditor.

2.4.2 Penawaran Pembayaran Tunai yang Diikuti oleh Penyimpanan atau


Penitipan
Alasan kedua yang menghapuskan perikatan adalah dilakukannya
pembayaran tunai dengan diikuti oleh penyimpanan atau penitipan. (Ketentuan
terhadapnya dapat kita lihat pada Pasal 1404 sampai dengan 1412 KUH Perdata).
Penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penyimpanan atau penitipan,
hanya berlaku untuk perikatan yang mempunyai janji untuk menyerahkan atau
memberikan sesuatu yang berupa benda bergerak.
Ketentuan Pasal 1404 KUH Perdata menyatakan bahwa, ”Jika si
berpiutang menolak pembayaran, maka si berutang dapat melakukan
penawaran pembayaran tunai apa yang diutangnya, dan jika si berpiutang
menolaknya, menitipkan uang atau barangnya kepada Pengadilan.
Penawaran yang demikian diikuti dengan penitipan, membebaskan debitor
dan berlaku baginya sebagai pembayaran asal penawaran itu telah
dilakukan menurut undang-undang sedangkan apa yang dititipkan secara
itu tetap atas tanggungan kreditor”.
Ketentuan Pasal 1404 KUH Perdata ini bertujuan untuk memberikan
perlindungan bagi seorang debitor yang beritikad baik, dalam hal mana ia
bermaksud untuk melakukan pembayaran sesuai dengan kewajibannya.
Penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penyimpanan atau penitipan ini
untuk dapat sahnya dilakukan, harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai
berikut dan berlaku mutlak serta memaksa. Persyaratan dimaksud adalah diatur
dalam ketentuan Pasal 1405 KUH Perdata:
1. Penawaran dilakukan kepada seorang kreditor atau kepada seorang yang
berkuasa menerimanya untuk kepentingan/atas nama kreditor;
2. Penawaran itu dilakukan oleh seorang yang berkuasa untuk membayar;

32
3. Penawaran itu mengenai semua utang pokok dan bunga yang dapat ditagih,
beserta biaya yang telah ditetapkan dan mengenai sejumlah uang untuk
biaya yang belum ditetapkan, dengan tidak mengurangi penetapan semula;
4. Ketetapan waktu yang telah ditentukan telah tiba, jika ketetapan waktu itu
dibuat untuk kepentingan kreditor;
5. Syarat yang mana utang telah dibuat dan telah terpenuhi;
6. Penawaran itu dilakukan di tempat yang menurut persetujuan, pembayaran
harus dilakukan dan jika tiada suatu persetujuan khusus mengenai itu,
kepada kreditor pribadi atau di tempat tinggal yang sungguh-sungguh atau
di tempat tinggal yang telah dipilihnya;
7. Penawaran itu dilakukan oleh seorang Notaris atau juru sita, kedua – duanya
disertai dengan dua orang saksi. Pada prinsipnya, suatu penawaran
pembayaran tunai yang disertai dengan penyimpanan atau penitipan, selama
telah dilaksanakan menurut ketentuan Pasal 1405 KUH Perdata dan Pasal
1406 KUH Perdata tersebut di atas maka telah demi hukum menghapuskan
perikatan tersebut, untuk kepentingan dari tidak hanya debitor melainkan
juga mereka yang terikat secara tanggung menanggung dengan debitor, dan
juga para penanggung utang debitor.
Agar suatu penyimpanan sah, tidak perlu adanya kuasa dan Hakim ( pasal
1406 KUH Perdata ) :
1. Bahwa sebelum penyimpanan itu, kepada kreditur disampaikan suatu
keterangan yang memuat penunjukan hari, jam dan tempat penyimpanan
barang yang ditawarkan;
2. Bahwa debitur telah melepaskan barang yang ditawarkan itu, dengan
menitipkannya pada kas penyimpanan atau penitipan di kepaniteraan pada
Pengadilan yang akan mengadilinya jika ada perselisihan beserta bunga
sampai pada saat penitipan;
3. Bahwa oleh Notaris atau jurusita, masing-masing disertai dua orang saksi,
dibuat berita acara yang menerangkan jenis mata uang yang disampaikan,
penolakan kreditur atau ketidaktenangannya untuk menerima uang itu dan
akhirnya pelaksanaan penyimpanan itu sendiri;

33
4. Bahwa jika kreditur tidak datang untuk menerimanya, berita acara tentang
penitipan diberitahukan kepadanya, dengan peringatan untuk mengambil
apa yang dititipkan itu.

2.4.3 Pembaharuan Utang


Pembaharuan utang dikenal juga dengan istilah novasi, merupakan salah satu
bentuk hapusnya perikatan yang terwujud dalam bentuk lahirnya perikatan baru
(Ketentuan terhadap nya dapat kita lihat pada Pasal 1413 sampai dengan 1424
KUH Perdata). Ketentuan Pasal 1413 KUH Perdata mengatur tiga macam cara
untuk melaksanakan pembaharuan utang:
1. Apabila seorang debitor membuat suatu perikatan utang baru guna orang
yang mengutangkan kepadanya, yang menggantikan utang yang lama, yang
dihapuskan karenanya;
2. Apabila seorang debitor baru ditunjuk untuk menggantikan debitor lama,
yang oleh kreditor dibebaskan dari perikatannya;
3. Apabila sebagai akibat suatu persetujuan baru, seorang kreditor baru
ditunjuk untuk menggantikan kreditor lama, terhadap siapa debitor
dibebaskan dari perikatannya.
Berdasarkan ketentuan di atas dapat diketahui bahwa, dengan terjadinya
pembaharuan utang (novasi) maka perikatan lama menjadi hapus dengan
terbentuknya perikatan baru yang dibuat oleh para pihak yang sama. Berlakunya
perikatan yang baru ini masih tetap harus mendasarkan pada ketentuan dan syarat-
syarat sahnya perjanjian.

2.4.4 Perjumpaan Utang


Perjumpaan utang yang di istilahkan dengan kompensasi adalah menunjuk
pada suatu keadaan dimana dua orang saling memiliki kewajiban atau utang satu
terhadap lainnya. Dalam kondisi ini, oleh undang-undang ditetapkan bahwa bagi
kedua belah pihak yang saling berkewajiban atau berutang tersebut, terjadilah
penghapusan utangutang mereka satu terhadap yang lainnya, dengan cara
memperjumpakan utang pihak yang satu dengan utang pihak yang lain. Hal ini

34
sebagaimana dinyatakan adalah merupakan penjabaran dari ketentuan Pasal 1425
KUH Perdata. (Ketentuan terhadap nya dapat kita lihat pada Pasal 1425 sampai
dengan 1435 KUH Perdata),
Pada Pasal 1426 KUH Perdata dinyatakan tiga (3) syarat untuk dapat
terjadinya perjumpaan utang, yaitu:
1) Kedua kewajiban atau utang yang diperjumpakan tersebut harusla utang
yang telah ada pada waktu perjumpaan serta telah jatuh tempo dan dapat
ditagih serta dapat dihitung besarnya;
2) Kewajiban atau utang tersebut ada secara bertimbal balik antara dua pihak,
yang satu merupakan debitor sekaligus kreditor terhadap yang lainnya.
Sehingga harus adanya dua pihak yang saling berutang secara timbal balik.
3) Kewajiban atau utang yang diperjumpakan tersebut haruslah utang dengan
wujud janji yang sama atau objek yang sama, atau jumlah uang yang sama.

2.4.5 Percampuran Utang.


Percampuran utang diatur dalam Pasal 1436 KUH Perdata, yang
menyatakan : ”Apabila kedudukan-kedudukan sebagai kreditor dan debitor
berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukumsuatu
percampuran utang dengan mana piutang dihapuskan”.
Pada kondisi ini, percampuran utang adalah terjadi dalam hal adanya satu
utang. Berbeda dengan perjumpaan utang yang terkait sekurang – kurangnya dua
utang yang saling bertimbal balik. Konsekuensi dari terjadinya percampuran utang
ini adalah dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1437 KUH Perdata, yang
menyatakan: ”Percampuran utang yang terjadi pada diri debitor utama,
berlaku juga untuk keuntungan para penanggung utangnya. Percampuran
yang terjadi pada diri penanggung utang, tidak sekalikali mengakibatkan
hapusnya utang pokok. Percampuran yang terjadi pada diri salah satu
debitor tanggung menanggung, tidak berlaku untuk keuntungan para
debitor tanggung menanggung lain hingga melebihi bagiannya dalam utang
yang ia sendiri menjadi debitornya”.

35
Rumusan Pasal 1437 KUH Perdata sebagaimana tersebut di atas,
mempunyai korelasi dan konsekuensi logis dengan bunyi Pasal 1820 KUH
Perdata yang mengatur tentang penanggungan utang. Percampuran utang dapat
terjadi dalam hal:
1. Perkawinan, yang dari dilangsungkannya pernikahan maka percampuran
utang secara terbatas dapat terjadi dengan bersatunya harta bersama dari
suami - istri ;
2. Merger (Penggabungan) dan konsolidasi (Peleburan).

2.4.6 Pembebasan Utang


Pembebasan utang dimaknai sebagai suatu perbuatan yang dilakukan oleh
kreditor yang membebaskan debitor dari kewajibannya untuk memenuhi janji,
atau utang berdasarkan pada perikatannya kepada kreditor tersebut. Terjadinya
pembebasan utang akan menghapuskan perikatan yang melahirkan utang yang
sedianya harus dipenuhi atau dilaksanakan oleh debitor tersebut. Ketentuan yang
berkaitan dengan pemebasan utang ini dapat dilihatdalam Pasal 1294 KUH
Perdata yang menyatakan bahwa: ”Jika kreditor telah membebaskan salah satu
debitor dari perikatannya tanggung menanggung, dan satu atau beberapa
debitor lainnya jatuh dalam keadaan tidak mampu, maka bagian orang-
orang yang tak mampu ini harus dipikul bersama-sama oleh debitor-debitor
lainya dan debitor yang telah melunasi utangnya, menurut imbangan bagian
masing-masing”.

2.4.7 Musnahnya Barang yang Terutang.


Eksistensi ataupun keabsahan dari adanya suatu perjanjian adalah
digantungkan pada keberadaan dari objek yang diperjanjikan. Hal ini sejalan
dengan ketentuan Pasal 1320 KUH sampai dengan 1333 KUH Perdata yang
mana dapat disimpulkan bahwa setiap perjanjian baik berupa untuk melakukan
sesuatu, untuk memberikan sesuatu maupun untuk tidak berbuat sesuatu adalah
harus memiliki suatu kebendaan sebagai objek perjanjiannya. Kebendaan tersebut
sebagai objek perikatan haruslah diketahui dan dapat ditentukan jenisnya.

36
Terhadap jumlahnya sendiri, apabila belum diketahui secara pasti jumlahnya
maka dapat ditentukan kemudian. Yang tidak kalah penting adalah suatu perikatan
yang mensyaratkan adanya kebendaan dalam objeknya harus lah berupa benda
yang dapat diperdagangkan, dengan tetap mengindahkan ketentuan tidak
melanggar perundangundangan, ketertiban umum maupun kesusilaan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka ketika benda yang menjadi objek
perikatannya musnah, tidak dapat diperdagangkan ataupun hilang, maka hapuslah
perikatannya, asalkan barang tersebut musnah, ataupun hilang di luar salahnya
debitor dan sebelum ia lalai menyerahkannya Pernyataan sebagaimana tersebut di
atas dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1444 KUH Perdata, yang berlaku pada
perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu.
Sejalan dengan hal ini Pasal 1235 KUH Perdata menyatakan bahwa ”Dalam
tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaktub kewajiban
untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya
sebagai kepala rumah tangga yang baik, sampai saat penyerahan”.
Dalam hal kebendaan yang musnah, hilang atau karena sesuatu hal tidak
dapat lagi diperdagangkan maka hal tersebut memberikan hak atau tuntutan ganti
rugi kepada debitor terhadap pihak ketiga mengenai kebendaan tersebut. Hal ini
menunjukkan pada pentingnya untuk menegakkan asas keadilan dan
kepatutan.Pada rumusan Pasal 1444 KUH Perdata juga diatur bahwa dalam hal
perikatan bersumber dari undang-undang sebagai perbuatan melawan hukum,
maka musnahnya kebendaan yang sedianya harus dikembalikan berdasarkan pada
perikatan yang bersumber dari undang-undang karena perbuatan melawan hukum
tersebut tidak menghapuskan kewajiban debitor untuk mengganti harga dari
kebendaan tersebut.

2.4.8 Kebatalan dan Pembatalan Perikatan serta Berlakunya Syarat Batal.


Pada bagian ini, pembahasan adalah berkaitan dengan berakhirnya perikatan
yang disebabkan oleh kebatalan atau pembatalan. Pembahasanjuga akan berkaitan
dengan syarat sah subjektif dari suatu perjanjian. Untuk mengulas kaji pada
pembahasan ini, bahwa telah diketahui untuk

37
dapat sahnya suatu perjanjian haruslah memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH
Perdata yang mengatur tenatng syarat sah perjanjian. Syarat sah mana terbagi atas
syarat sah subjektif dan syarat sah objektif.
Dalam hal musnahnya barang sebagai bentuk hapusnya perikatan, maka
pembicaraan adalah berkaitan dengan syarat sah objektif dari suatu perikatan.
Ketentuan Pasal 1320 angka 1 dan 2 KUH Perdata memberikan alasan kepada
salah satu pihak dalam perjanjian untuk membatalkan perjanjian yang telah dibuat
olehnya. Bahwa pembatalan atas suatu perjanjian dapat dimintakan dalam hal:
a. Tidak telah terjadi kesepakatan bebas dari para pihak yang membuat
perjanjian, baik karena telah terjadi kekhilafan, paksaan atau penipuan pada
salah satu pihak dalam perjanjian pada saat perjanjian itu dibuat. (lihat lebih
lanjut ketentuan Pasal 1321 sampai dengan 1328 KUH Perdata). Dalam hal
ini, jika terjadi kondisi di atas maka hak untuk meminta pembatalan
perjanjian adalah pada saat ia mengetahui telah terjadinya kekhilafan,
paksaan atau penipuan pada dirinya.
b. Salah satu pihak dalam perjanjian tidak cakap untuk bertindak dalam hukum
(lihat lebih lanjut Pasal 1330 dan 1331 KUH Perdata), dan atau tidak
memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan atau perbuatan hukum
tertentu. Dalam hal ketidak cakapan, maka setelah pihak yang tidak cakap
tersebut menjadi cakap dan atau oleh wakilnya yang sah adalah berhak
untuk memintakan pembatalan perjanjian.
Perlu diingat bahwa dalam hal terjadinya salah satu atau dua keadaan
disebut di atas, maka berarti perikatan yang lahir dari perjanjian itupun hapus
demi hukum. (Ketentuan mengenai hak untuk mengajukan pembatalan sendiri
dapat dilihat pada rumusan Pasal 1446 sampai dengan 1450 KUH Perdata).
Pasal 1446 ayat 1 KUH Perdata menyatakan, ”Semua perikatan yang dibuat
oleh orang-orang yang belum dewasa, atau orang-orang yang berada di bawah
pengampuan adalah batal demi hukum (Note: disebut juga ”dapat dibatalkan”)
dan atas tuntutan yang dimajukan oleh atau dari pihak mereka, harus dinyatakan
batal (Not:”dibatalkan”), semata-mata atas dasar kebelumdewasaan atau
pengampuannya”.

38
Secara umum ketentuan Pasal 1454 KUH Perdata menentukan bahwa
penuntutan terhadap pembatalan dapat diajukan dalam jangka waktu lima (5)
tahun, terhitung sejak:
1. Dalam hal kebelumdewasaan sejak hari kedewasaannya;
2. Dalam hal pengampuan, sejak hari pencabutan pengampuan;
3. Dalam hal paksaan, sejak hari paksaan itu telah berhenti;
4. Dalam hal kekhilafan atau penipuan, sejak hari diketahuinya kekhilafan atau
penipuan itu;
5. Dalam hal perbuatan seorang perempuan bersuami yang dilakukan tanpa
kuasa suami, sejak hari pembubaran perkawinan;
6. Dalam hal batalnya suatu perikatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1341, maka sejak hari diketahuinya bahwa kesadaran yang diperlukan untuk
kebatalan itu ada. Akibat hukum dari terjadinya pembatalan ini adalah
bahwa semua kebendaan dan orang-orangnya dipulihkan sama seperti
keadaan sebelum perjanjian dibuat (lihat lebih lanjut ketentuan Pasal 1451
dan 1452 KUH Perdata).
Berlakunya syarat batal sebagai suatu sebab berakhirnya perikatan diatur
dalam Bab I Buku III Perikatan, pada Pasal 1265 KUH Perdata, yang menyatakan
”Suatu syarat batal adalah syarat yang apabila dipenuhi,menghentikan
perikatan dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula,
seolah-oleh tidak pernah ada suatu perikatan. Syarat ini tidak
menangguhkan pemenuhan perikatan; hanyalah ia mewajibkan kreditor
mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang
dimaksudkan terjadi”.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas maka dapat diketahui bahwa
setiap perikatan yang telah dibuat secara sah oleh para pihak dan bahkan telah
dilaksanakan sekalipun dapat dikembalikan keadaannya seperti semula, jika hal
tersebut memang dikehendaki oleh para pihak. Hal ini terjadi dengan
dicantumkannya klausula yang mengatur tentang syarat batal dalam perjanjian
tersebut.

39
Lebih lanjut, ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata menyatakan bahwa
”Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan
yang bertimbal balik, manakala salah satu pihaknya tidak memenuhi
kewajiban tersebut. Dalam hal yang demikian, persetujuan tidak batal demi
hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Permintaan ini
juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya
kewajiban dinyatakan di dalam persetujuan. Jika syarat batal tersebut tidak
dinyatakan dalam persetujuan maka Hakim adalah leluasa untuk, menurut
keadaan, atas permintaan tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk
masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana namun tidak boleh
lebih dari satu bulan”.

2.4.9 Lewat Waktu (Daluarsa)


Ketentuan tentang lewat waktu atau yang juga dikenal dengan daluarsa
adalah diatur dalam bagian tersendiri dalam Buku Keempat KUH Perdata, yang
dalam Pasal 1946 KUH Perdata menyatakan bahwa ”Daluarsa adalah suatu alat
untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan
dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang telah
ditentukan oleh Undang-undang”.
Ketentuan tentang daluarsa secara garis besar dimulai pada :
 Bab Ketujuh Buku Keempat tentang Pembuktian dan Daluarsa.
 Pada bagian kesatunya diatur tentang daluarsa umumnya;
 Pada bagian kedua tentang daluarsa dipandang sebagai alat untuk
memperoleh sesuatu;
 Pada Bagian ketiga tentang daluarsa dipandang sebagai suatu alasan untuk
dibebaskan dari suatu kewajiban.
 Pada Bagian keempat tentang sebab-sebab yang mencegah daluarsa.
 Pada Bagian kelima tentang sebab-sebab yang menangguhkan berjalannya
daluarsa.

40
2.5 Beberapa Perjanjian Bernama
2.5.1 Perjajian Jual Beli
1. Sekilas Mengenai Perjanjian Jual Beli
Berdasarkan ketentuan Pasal 1457 KUH Perdata, Jual Beli ditegaskan
sebagai suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang
telah dijanjikan.
Menurut Subekti (1989: 79), jual beli dikatakan suatu perjanjian dengan
mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk menyerahkan hak milik atas suatu
barang dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.
Pihak penjual berjanji menyerahkan atau memindahkan hak milik atas
barang yang ditawarkan, sedangkan pihak pembeli menjanjikan membayar harga
yang telah disetujuinya. Mengenai “penyerahannya” juga perlu dijelaskan bahwa
yang diserahkan kepada pembeli, bukan kekuasaan barang itu melainkan hak
milik atas barangnya.
Barang yang dijadikan objek jual beli haruslah “tertentu”, setidak-tidaknya
dapat ditentukan wujud dan jumlahnya saat diserahkan hak miliknya kepada
pembeli. Dengan begitu adalah sah menurut hukum jual beli mengenai panenan
yang akan datang atas bidang tanah.

2. Saat Terjadinya Jual Beli


Jual beli adalah Perjanjian Konsensual, artinya ia sudah dilahirkan sebagai
suatu perjanjian yang sah (mengikat para pihak) saat tercapainya kata sepakat
antara penjual dan pembeli mengenai unsur-unsur yang pokok (essensialia), yaitu
mengenai barang dan harganya.
Sifat konsensual dari jual beli ini disebutkan dalam Pasal 1458 KUH
Perdata yang mengatakan bahwa jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua
belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang
kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan,
maupun harganya belum dibayar.

41
Adapun ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata mensyaratkan suatu janji yang
sah itu bila memenuhi kecakapan, “kesepakatan”, hal tertentu dan sebab yang
halal. Khusus mengenai kesepakatan merupakan sifat dari suatu janji yang
berkonsensual.
Selain itu, jual beli menurut KUH Perdata merupakan obligatoir semata,
artinya jual beli itu belum memindahkan hak milik, kecuali baru menimbulkan
hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak, yang berupa memberi hak kepada si
pembeli untuk menuntut diserahkannya hak milik atas barang yang dijual.
Sifat obligatoir ini tersirat dalam pasal 1459 KUH Perdata yang
menerangkan bahwa: “hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah
kepada si pembeli selama penyerahannya belum dilakukan menurut Pasal
612,613,dan 616 KUH Perdata”.
Sistem ini berlainan dengan yang dianut oleh Pasal 1853 Code Civil, yang
menetapkan bahwa hak milik sudah berpindah kepada si pembeli sejak saat
dicapainya kesepakatan tentang barang dan harganya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1459 KUH Perdata tersebut, maka terjadi suatu
barang yang telah dijual, tetapi belum diserahkan, dijual lagi untuk kedua kalinya
oleh si penjual dan diserahkan kepada pembeli kedua maka barang itu menjadi
milik pembeli kedua itu.

3. Kewajiban Pihak Penjual


Kewajiban pihak penjual meliputi penyerahan barang yang dijadikan objek
jual beli dan menjamin cacat tersembunyi atas barang yang dijualnya, serta
menjamin aman hukum bagi pembeli dari gangguan pihak lain.
a. Melakukan Penyerahan
Penyerahan adalah pemindahan barang yang sudah dijual ke
dalam kekuasaan dan hak milik pembeli. Penyerahan harus
dilaksanakan di tempat barang yang dijual tersebut berada pada waktu
penjualan, hal tersebut apabila tidak diadakan persetujuan lain. Penjual
tidak wajib menyerahkan barang bersangkutan, apabila pembeli belum

42
membayarnya sementara penjual tidak mengizinkan penundaan
pembayaran atas barang tersebut kepadanya.
Kewajiban menyerahkan hak milik atas benda yang dijual KUH
Perdata membedakan tiga macam cara penyerahannya antara lain:
1. Penyerahan barang bergerak
Penyerahan dilakukan dengan penyerahan kekuasaan atas barang
itu, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 612 ayat (1) KUH
Perdata yang berbunyi “penyerahan kebendaan bergerak,
terkecuali tak bertubuh, dilakukan dengan penyerahan yang nyata,
akan kebendaan itu oleh atau atas nama pemilik atau dengan
penyerahan kunci-kunci dari bangunan, dalam mana kebendaan
itu berada”.
2. Penyerahan barang tetap
Terjadi dengan perbuatan “balik nama”, di hadapan pegawai.
Balik nama diatur dalam Pasal 616 KUH Perdata yang berbunyi
“penyerahan atau penunjukan akan kebendaan tak bergerak
dilakukan dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan
dengan cara seperti ditentukan dalam Pasal 620”.
3. Penyerahan barang bergerak tak bertubuh
Dilakukan dengan perbuatan yang disebut cessie, hal ini diatur
dalam Pasal 613 KUH Perdata.
Selain itu, dalam cara penyerahan perlu diingatkan bahwa
mengenai penyerahan atau levering dalam KUH Perdata menganut
sistem causal, yaitu suatu sistem yang menggantungkan sahnya levering
pada dua syarat berikut:
1. Sahnya titel yang menjadi dasar dilakukannya levering.
2. Levering tersebut dilakukan oleh orang yang berhak berbuat bebas
terhadap barang di-lever itu (Subekti, 1999: 12)
Apabila titel (jual beli, tukar-menukar, dan hibah) tidak sah, batal,
atau dibatalkan oleh hakim (karena adanya paksaan, khilaf, dan
penipuan), maka levering menjadi batal juga, begitu juga apabila orang

43
yang memindahkan tidak berkapasitas untuk itu (tidak berhak) maka
leveringnya juga batal.
Khusus untuk syarat yang kedua, sahnya levering harus dilakukan
oleh yang berhak dan ada pengecualiannya, yaitu dalam Pasal 1977 ayat (1)
KUH Perdata yang menentukan bahwa mengenai barang bergerak, siapa
yang menguasainya dianggap sebagai pemilik.
b. Menjamin Aman Hukum
Kewajiban ini timbul sebagai konsekuensi jaminan penjual kepada
pembeli bahwa barang yang dijual itu adalah betul-betul miliknya sendiri,
bebas dari beban atau tuntutan dari pihak lain. Misalnya, pembeli digugat
oleh pihak ketiga, yang menurut keterangannya barang itu miliknya sendiri.
Dalam hukum acara perdata,pembeli dapat minta kepada hakim, agar
penjual diikutsertakan dalam gugatan itu. Pihak ketiga yang ikut serta dalam
acara yang sedang berlangsung di pengadilan itu dinamakan voeging.
Mengingat hukum jual beli ini bersifat pelengkap, sebagaimana telah
disinggung di muka, maka dari pihak penjual (jika pembeli sepakat), dapat
meminimalisasi bahkan menghapuskan tanggung jawab aman hukumnya
kepada pembeli (Pasal 1493 KUH Perdata).
c. Menanggung Cacat Tersembunyi
Si penjual diwajibkan menanggung cacat tersembunyi atas barang
yang dijualnya, yang berakibat barang itu tidak dapat dipakai atau tidak
maksimal pemakainya. Seandainya si pembeli mengetahui adanya cacat itu,
maka ia tidak akan membeli barang itu kecuali dengan harga yang kurang.
Bila penjual mengetahui barang tersebut mengandung cacat, maka
selain ia mengembalikan harga pembelian, juga diwajibkan mengganti
segala kerugian. Dalam hal itu sudah barang tentu pengetahuan penjual yang
demikian itu harus dibuktikan.

4. Kewajiban Pihak Pembeli


Kewajiban utama si pembeli ialah membayar harga pembelian pada waktu
dan di tempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian (Pasal 1513 KUH

44
Perdata). Yang dimaksud dengan “harga”, tentulah berupa sejumlah uang. Jika
tidak demikian, misalnya berupa barang juga maka perjanjiannya bukan jual beli,
melainkan tukar-menukar. Begitu juga bila harga dalam bentuk jasa maka
perjanjian bernama perjanjian kerja.
Jika si pembeli tidak membayar pembelian, si penjual dapat menuntut
pembatalan pembelian, menurut ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata.
Meskipun demikian, dalam hal penjualan barang-barang dagangan dan barang
perabot rumah, pembatalan pembelian untuk keperluan si penjual akan terjadi
demi hukum dan tanpa peringatan setelah lewatnya waktu yang ditentukan untuk
mengambil barang yang dijual.

5. Perihal Risiko
Risiko merupakan kewajiban memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu
kejadian (peristiwa) di luar kesalahan salah satu pihak. Misalnya, mengenai risiko
dalam jual beli dalam BW harus ada tiga peraturan yang terkait akan hal itu, yaitu:
 Tentang barang tertentu (Pasal 1460)
 Mengenai barang yang dijual menurut berat, jumlah atau ukuran (Pasal
1461)
 Mengenai barang-barang yang dijual menurut tumpukan (Pasal 1462)
Risiko atas barang tertentu diatur dalam Pasal 1460 KUH Perdata yang
berbunyi “jika kebendaan yang dijual itu berupa suatu barang yang sudah
ditentukan maka barang ini sejak saat pembelian adalah atas tanggungan si
pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan, dan si penjual berhak
menuntut harganya”.

6. Jual Beli dengan Hak Membeli Kembali


Kekuasaan untuk membeli kembali barang yang telah dijual (recht van
wederinkoop, hak untuk membeli kembali) diterbitkan dari suatu perjanjian
dimana si penjual diberikan hak untuk mengambil kembali barangnya yang telah
dijual, dengan membeli harga pembelian yang telah diterima pembayaran biaya
yang telah dikeluarkan oleh si pembeli untuk melakukan pembelian serta

45
penyerahannya, begitu pula biaya yang diperlukan untuk pembetulan pengeluaran
dan pengeluaran yang menyebabkan barang yang dijual bertambah mahal. (Pasal
1519 dan 1532 KUH Perdata)

7. Jual Beli Piutang


Dalam Pasal 1533 KUH Perdata disetujui penjualannya menerima semua
yang melekat, seperti penanggungan-penanggungan, hak-hak istimewa dan
hipotik-hipotik. Kemudian dalam Pasal 1534 KUH Perdata disetujui “barangsiapa
yang menjual sejumlah uang atau hak tak bertubuh lainnya, harus sesuai dengan
hak itu benar” pada waktu diterima, biarpun penjualan dilakukan tanpa janji
penanggungan.

8. Hak Reklame (Menuntut Kembali)


Dalam hal jual beli dilakukan tanpa janji harga barang dapat diangsur atau
dicicil dan pembeli tidak membayar harga itu, maka selama barangnya masih
ditangannya si pembeli, penjual dapat membeli kembali itu dalam waktu 30 hari.
Dasar hukum yang diatur mengenai hak reklame berada dalam pasal 1145 KUH
Perdata. Selain itu dapat dijumpai dalam Pasal 230 KUHD, akan tetapi dalam
KUHD ini hanya berlaku dalam pembahasan si pembeli telah disetujui pailit.
Syarat untuk melakukan hak reklame yang diatur dalam KUHD, lebih ringan,
karena:
1. Jual belinya tidak harus tunai;
2. Penuntutan kembali dapat dilakukan dalam jangka waktu 60 hari;
3. Penuntutan kembali masih boleh dilakukan, meskipun barangnya sudah
beralih ke tangan orang lain.

2.5.2 Perjanjian Tukar-Menukar


Menurut Pasal 1541 KUH Perdata, tukar-menukar adalah suatu perjanjian
dengan mana kedua belah pihak mengaitkan dirinya untuk saling memberikan
suatu barang secara timbal balik, sebagai gantinya suatu barang lain. Dalam dunia
bisnis perjanjian ini dinamakan “barter”.

46
Berdasarkan definisi tersebut, tukar-menukar merupakan perjanjian yang
bersifat konsensual, artinya pihak-pihak telah terikat pada saat mereka sepakat
tentang barang yang menjadi objek perjanjian.
Selain itu, Tukar-menukar juga merupakan perjanjian obligatoir, seperti
yang berlaku dalam perjanjian jual beli. Artinya dengan kesepakatan mereka
tentang barang yang menjadi objek barter, belum memindahkan kepemilikannya,
kecuali baru melahirkan hak bagi kedua belah pihak, secara bertimbal balik.
Adapun unsur-unsurnya yaitu:
1. Adanya subjek hukum.
2. Adanya kesepakatan subjek hukum.
3. Adanya objek (barang bergerak/ barang tidak bergerak).
4. Masing-masing subjek hukum menerima barang yang menjadi objek tukar
menukar.

1. Syarat Tukar-Menukar
Untuk dapat melakukan perjanjian tukar-menukar, masing-masing pihak
harus menjadi pemilik dari barang yang mereka janjikan untuk diserahkan dalam
tukar-menukar itu. Syarat ini baru berlaku pada saat pihak yang bersangkutan
menyerahkan barangnya (tepatnya saat menyerahkan hak milik atas barangnya).
Jika pihak yang satu telah menerima barang yang ditukarkan kepadanya,
dan kemudian membuktikan bahwa pihak yang lain bukan pemilik barang tersebut
maka tak dapatlah ia dipaksa menyerahkan barang yang ia telah janjikan dari
pihaknya sendiri, melainkan hanya untuk mengembalikan barang yang telah
diterimanya itu (Pasal 1543 KUH Perdata).

2. Perihal Risiko
Risiko dalam perjanjian tukar-menukar dalam Pasal 1545 yang berbunyi:
“Jika suatu barang tertentu yang telah dijanjikan untuk ditukar, musnah di luar
kesalahan pemiliknya maka persetujuan dianggap sebagai gugur, dan siapa dari
pihaknya telah memenuhi persetujuan dapat menuntut kembali barang yang ia
telah berikan dalam tukar-menukar.

47
2.5.3 Perjanjian Sewa-Menyewa
1. Pengertian
Ketentuan KUH Perdata yang mengatur tentang sewa menyewa dapat
dilihat pada Pasal 1548 yang berbunyi: ”Sewa menyewa adalah suatu perjanjian
dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada
yang lain kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan
pembayaran suatu harga yang oleh pihak yanag tersebut terakhir itu disanggupi
pembayarannya”.
Sebagaimana halnya dengan perjanjian lainnya, sewa menyewa adalah
perjanjian konsensual yang artinya ia sudah sah dan mengikat pada detik
tercapainya sepakat mengenai unsur-unsur pokoknya yaitu barang dan harga.
Penyerahan barang untuk dapat dinikmati oleh pihak penyewa diberikan
oleh yang menyewakan, dengan mana kewajiban penyewa adalah untuk
membayar harga. Penyerahan barang hanyalah untuk dipakai dan dinikmati.

2. Jenis Sewa
Walaupun sewa-menyewa tergolong perjanjian konsensual, tetapi undang-
undang membedakan dari akibat-akibatnya antara sewa-menyewa tertulis dan
sewa-menyewa lisan. Apabila sewa-menyewa dilakukan secara tertulis, maka
sewa itu berakhir demi hukum, bila waktu yang ditentukan sudah habis. Artinya
tanpa diperlukan pemberitahuan pemberhentian.
Lain halnya bila sewa-menyewa itu dilakukan secara lisan, maka sewa itu
berakhir pada waktu pihak yang menyewakan memberitahukan kepada si
penyewa bahwa ia hendak menghentikan sewanya, pemberitahuan itu harus
dilakukan dengan mengindahkan jangka waktu yang diharuskan menurut
kebiasaan setempat.

3. Kewajiban Para Pihak


a) Kewajiban pihak yang menyewakan adalah:
1) Menyerahkan barang yang disewakan kepada si penyewa;

48
2) Memelihara barang yang disewakan sedemikian sehingga barang
tersebut dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan;
3) Memberikan kepada si penyewa kenikmatan tenteram dari barang
yang disewakan selama berlangsungnya persewaan.
b) Kewajiban pihak yang menyewa (si penyewa), utamanya adalah :
1) Memakai barang yang disewa sebagai seorang ”bapak rumah yang
baik”, sesuai dengan tujuan yang diberikan kepada barang itu
menurut perjanjian sewanya;
2) Membayar harga sewa pada waktu-waktu yang telah ditentukan
menurut perjanjian.
4. Soal Risiko
Pasal 1553 KUH Perdata menentukan, ”Jika selama waktu sewa, barang
yang disewakan musnah karena suatu kejadian yang tidak disengaja maka
persetujuan sewa gugur demi hukum. Jika barangnya hanya sebagian musnah, si
penyewa dapat memilih menurut keadaan apakah ia akan meminta bahkan
pembatalan persetujuan sewa, tetapi tidak dalam satu dari kedua hal ia berhak atas
ganti rugi”.
Pasal tersebut di atas berbicara tentang risiko dan kemungkinan yang
timbul. Tentang risiko ini penting untuk diatur sebelumnya di dalam kontrak,
untuk mengetahui dalam hal dan kondisi apa saja penyewa turut
bertanggungjawab dalam menanggung risiko. Mengenai objek perjanjian sewa
menyewa, adalah tidak dengan sendirinya perjanjian tersebut batal apabila
objeknya diperjual belikan oleh pemiliknya (kecuali telah diperjanjikan
sebelumnya).

5. Jual Beli Tidak Menghapuskan Sewa-menyewa


Ketentuan ini tegas dinyatakan dalam Pasal 1576 KUH Perdata yang
berbunyi: “Dengan dijualnya barang yang disewa, suatu persewaan yang di buat
sebelumnya, tidaklah diputuskan. Kecuali apabila ini telah diperjanjikan pada
waktu menyewakan barang”.

49
Maksud ketentuan tersebut adalah melindungi penyewa terhadap pemilik
baru bila barang yang sedang disewa itu dipindahkan ke lain tangan. Dengan
maksud yang demikian perkataan “dijual” sudah lazim ditafsirkan secara luas,
hingga tidak terbatas pada jual beli saja, tetapi meliputi juga berpindahnya hak
milik karena tukar-menukar, penghibahan, pewarisan, dan lain-lainnya.
Sebaliknya perkataan “persewaan”, lazim ditafsirkan secara sempit (terbatas),
artinya yang tidak diputuskan oleh jual beli itu atau yang harus dihormati oleh
pemilik baru, hanyalah hak sewa saja.

6. Sewa-menyewa Perumahan
Syarat yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai penghuninya hanya mereka
yang mendapat vestigingbesluit (VB) atau izin dari Kementerian Sosial.
Keadaan tersebut diteruskan oleh Pemerintah Indonesia, bahkan diperluas
hingga berlaku di seluruh wilayah Republik Indonesia dengan Undang-Undang
Darurat Nomor 3 Tahun 1958 tentang Urusan Perumahan yang ditangani Kantor
Urusan Perumahan (KUP) dan dibantu oleh Panitia Sewa-menyewa, sebagai
penasihat mengenai penetapan harga sewa dan harga bangunan.
Dengan PP No. 55 Tahun 1981 tentang Perubahan atas PP No. 49 Tahun
1963, kewenangan penyelesaian sengketa sewa-menyewa perumahan telah
dikembalikan kepada pengadilan (Subekti, 1989:50).

2.5.4 Perjanjian Untuk Melakukan Pekerjaan


1. Sekilas Mengenai Perjanjian untuk Melakukan Pekerjaan
Perjanjian untuk melakukan pekerjaan secara umum diatur dalam KUH
Perdata Pasal 1601. Berdasarkan rumusan Pasal 1601 KUH Perdata dapat
diketahui bahwa perjanjian untuk melakukan pekerjaan terbagi dalam tiga macam:
a. Perjanjian untuk Melakukan Jasa-Jasa Tertentu
Yaitu suatu perjanjian dalam hal mana satu pihak menghendaki dari
pihak lawannya untuk melakukan suatu pekerjaan untuk mencapai
tujuan tertentu dengan mana ia berkewajiban untuk membayarkan upah.
Pihak lawan yang melakukan pekerjaan tertentu ini biasa nya adalah

50
seorang ahli. Misalnya perjanjian antara pengacara dengan klien, dokter
dengan pasien.
b. Perjanjian Kerja atau Perburuhan
Yaitu suatu perjanjian antara seorang buruh atau pekerja dengan
majikan atau pemberi kerja. Selain itu, perjanjian ini memiliki ciri
bahwa adanya upah atau gaji tertentu yang telah diperjanjikan
sebelumnya, serta adanya hubungan antara majikan/pemberi kerja
dengan buruh penerima kerja, dalam hal mana majikan berhak untuk
memberikan perintah yang harus ditaati dan dikerjakan oleh buruh.
Pengaturan tentang perjanjian kerja dalam KUH Perdata adalah
terdapat dalam Pasal 1601 a KUH Perdata yang menyatakan
”Persetujuan perburuhan adalah persetujuan dengan mana pihak yang
satu si buruh mengikatkan dirinya untuk di bawah perintahnya pihak
yang lain si majikan, untuk sesuatu waktu tertentu melakukan pekerjaan
dengan menerima upah”.
Ketentuan UU Nomor 13 Tahun 2003 membedakan antara
perjanjian kerja dengan perjanjian perburuhan. Perjanjian kerja
dimaksudkan sebagai perjanjian yang dilakukan oleh majikan dengan
buruh secara perseorangan sedangkan perjanjian perburuhan adalah
perjanjian antara majikan dengan serikat buruh. Perjanjian kerja terus
mengalami perkembangan dalam pengaturan terhadapnya, bahwa selain
dengan memenuhi ketentuan umum tentang perjanjian kerja yang ada
pada KUH Perdata juga dengan memenuhi ketentuan perundang-
undangan di bidang ketenagakerjaan.
c. Perjanjian Pemborongan Pekerjaan
Pengaturan dasar dan umum terhadap perjanjian pemborongan
pekerjaan diatur dalam Pasal 1601 b KUH Perdata yang berbunyi
”Pemborongan pekerjaan adalah persetujuan dengan mana pihak yang
satu si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu
pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan dengan
menerima suatu harga yang ditentukan”.

51
Pengaturan selanjutnya dalam KUH Perdata adalah termasuk
dalam Pasal 1604 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1617 KUH
Perdata. Perjanjian ini terbagi dalam dua macam, yaitu: a) Pihak
pemborong diwajibkan untuk melakukan pekerjaannya saja, dan b)
pihak pemborong selain melaksanakan pekerjaannya juga wajib untuk
menyediakan bahannya. Kedua macam perjanjian ini akan
menghadirkan konsekuensi-konsekuensi tersendiri.

2. Perjanjian Kerja atau Perburuhan


Dalam catatan kaki buku Subekti (1989: 59), yang mensitir ketentuan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara
Serikat Buruh dengan Majikan, dikatakan bahwa perjanjian perburuhan adalah
perjanjian antara majikan dengan serikat buruh, yaitu yang dahulu (dalam BW)
dinamakan collectieve arbiedsovereemkomst, sedangkan istilah perjanjian kerja,
ditunjuk pada perjanjian yang diadakan antara majikan dan seorang buruh secara
perseorangan.
a. Perlindungan bagi Buruh
Walaupun Perjanjian Perburuhan bersifat konsensual, artinya
sudah mengikat saat terjadinya kesepakatan antara buruh dan majikan
tentang pekerjaan dan upahnya, tetapi banyak ketentuan yang
menyebutkan supaya perjanjian dibuat secara tertulis agar buruh
mendapat perlindungan, misalnya:
1) Suatu peraturan yang ditetapkan oleh majikan hanya mengikat
buruh, bila buruh secara tertulis menyatakan menyetujui peraturan
itu, selain syarat berikut.
- Selembar lengkap dari peraturan tersebut dengan cuma-cuma
oleh atau atas nama majikan telah diberikan kepada buruh.
- Oleh atau atas nama majikan telah diserahkan kepada
Kemnaker suatu lembar lengkap dari peraturan tersebut yang
ditandatangani oleh majikan dan dapat dibaca oleh umum.

52
- Janji antara majikan dan buruh, di mana si buruh dibatasi
dalam kebebasan setelah berakhir hubungan kerjanya,
melakukan pekerjaan dengan suatu cara, hanyalah sah bila
janji itu dibuat secara tertulis atau dalam suatu peraturan
dengan seorang buruh dewasa.
2) Tidak diperbolehkan dan batal tiap perjanjian antara majikan di
satu pihak dan buruh di pihak lain, di mana buruh mengikatkan
dirinya untuk menggunakan upaya membeli barang-barang
keperluannya di suatu tempat atau dari orang tertentu. Janji ini
dikenal dengan nama nering-beding, artinya janji untuk
menggunakan pendapatan (upah) menurut petunjuk-petunjuk yang
diberikan oleh majikan (Subekti, 1989: 61).
3) Pembatasan kebebasan si buruh dalam melakukan pekerjaan
tertentu setelah hubungan kerja berakhir, hanya diperbolehkan bila
dibuat secara tertulis (Pasal 1601 KUH Perdata).
b. Pemutusan Hubungan Kerja
Undang-Undang membedakan perjanjian perburuhan untuk waktu
tertentu dan untuk waktu tidak tertentu. Untuk yang disebutkan
sebelumnya, berakhir secara otomatis bila waktunya sudah selesai.
Namun demikian, pada dasarnya suatu perjanjian perburuhan baik
untuk waktu tertentu maupun yang tidak tertentu dapat diputuskan baik
dari pihak buruh maupun dari pihak majikan dengan suatu pernyataan
pengakhiran, asal diperhatikan tenggang waktu perakhiran, yaitu satu
bulan (Pasal 1603g jo. Pasal 1603u KUH Perdata).
Jika hubungan kerja dibuat untuk waktu yang lebih lama dari lima
tahun atau untuk selama hidupnya seseorang tertentu, maka si buruh
berhak menghentikannya dengan pemberitahuan penghentian mulai saat
pada mana lima tahun telah lampau sejak ia mulai berlaku dengan
mengindahkan suatu tenggang waktu enam bulan (Pasal 1603u KUH
Perdata).

53
Berdasarkan ketentuan pasal-pasal yang telah disebutkan di atas,
maka dapat dikatakan bahwa hubungan kerja tanpa suatu pernyataan
penghentian dengan mengindahkan jangka waktu dianggap bertindak
berlawanan dengan hukum (onrechtmatig) dengan pembayaran ganti
rugi. Kecuali bila perbuatan itu telah dilakukan karena suatu “alasan
yang memaksa” (Subekti, 1989: 63).

2.5.5 Perjanjian Pemborongan Pekerjaan


Pemborongan kerja (aanneming van werk) ialah persetujuan/perjanjian
dengan mana pihak yang satu-pemborong (aannemer) mengikatkan diri untuk
menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain yang memborongkan
(aanbesteder) dengan menerima suatu harga (price) yang ditentukan.
Perjanjian pemborongan pekerjaan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam,
yaitu:
1. Pemborongan Wajib Memberikan Bahan
Dalam hal ini pihak pemborong diwajibkan memberikan bahan dan
pekerjaannya. Apabila dalam hal ini hasil pekerjaan menjadi musnah sebelum
diserahkan kepada pihak yang memborongkan, maka segala kerugian adalah atas
tanggungan si pemborong, kecuali apabila pihak yang memborongkan telah lalai
untuk menerima hasil pekerjaan itu. Lain halnya bila si pemborong hanya
diwajibkan melakukan pekerjaan saja, musnahnya yang disebutkan di atas, ia
hanya bertanggung jawab atas kesalahannya saja (Pasal 1605 jo. Pasal 1606 KUH
Perdata).
Maksud ketentuan tersebut adalah akibat dari suatu peristiwa di luar
kesalahan salah satu pihak yang menimpa bahan-bahan yang telah disediakan oleh
pihak yang memborongkan dipikulkan pada pihak yang memborongkan. Kecuali
pihak pemborong ada kesalahan dalam kejadian itu (hal ini harus dibuktikan),
maka barulah pemborong dapat dipertanggungjawabkan sekadar kesalahannya itu
yang menimbulkan musnahnya bahan tersebut.

54
2. Pemborongan Hanya Melakukan Pekerjaan
Jika musnahnya pekerjaan itu terjadi di luar sesuatu kesalahan dari pihak
pemborong sebelum pekerjaan itu diserahkan, sedangkan pihak yang
memborongkan telah lalai untuk memeriksa dan menyetujui pekerjaannya maka si
pemborong tidak berhak atas harga yang dijanjikan, kecuali apabila musnah
barang (pekerjaan) itu disebabkan oleh suatu cacat dalam bahannya (Pasal 1607
KUH Perdata).
Ketentuan tersebut menentukan bahwa kedua belah pihak menderita
kerugian akibat dari suatu overmacht. Pihak yang memborongkan kehilangan
bahan-bahan yang telah disediakan olehnya, sedangkan pihak pemborong
kehilangan tenaga dan biaya yang telah dikeluarkan untuk mengerjakan pekerjaan
itu. Dengan demikian, pihak yang memborongkan hanya dapat menuntut ganti
rugi, bila ia dapat membuktikan adanya kesalahan si pemborong, sedangkan pihak
pemborong hanya dapat menuntut harga yang dijanjikan itu, bila ia dapat
membuktikan bahan-bahan yang disediakan itu mengandung cacat yang
menyebabkan overmacht itu.

2.6 Contoh Kasus dan Analisis Kasus


2.6.1 Kronologis Kasus
Pada permulaan PT Surabaya Delta Plaza (PT SDP) dibuka dan disewakan
untuk pertokoan, pihak pengelola merasa kesulitan untuk memasarkannya. Salah
satu cara untuk memasarkannya adalah secara persuasif mengajak para pedagang
meramaikan komplek pertokoan di pusat kota Surabaya itu. Salah seorang
diantara pedagang yang menerima ajakan PT surabaya Delta Plaza adalah Tarmin
Kusno, yang tinggal di Sunter-Jakarta.
Tarmin memanfaatkan ruangan seluas 888,71 M2 Lantai III itu untuk
menjual perabotan rumah tangga dengan nama Combi Furniture. Empat bulan
berlalu Tarmin menempati ruangan itu, pengelola SDP mengajak Tarmin
membuat “Perjanjian Sewa Menyewa” dihadapan Notaris. Dua belah pihak
bersepakat mengenai penggunaan ruangan, harga sewa, Service Charge, sanksi
dan segala hal yang bersangkut paut dengan sewa menyewa ruangan. Tarmin

55
bersedia membayar semua kewajibannya pada PT SDP, tiap bulan terhitung sejak
Mei 1988 s/d 30 April 1998 paling lambat pembayaran disetorkan tanggal 10 dan
denda 2 0/00 (dua permil) perhari untuk kelambatan pembayaran. Kesepakatan
antara pengelola PT SDP dengan Tarmin dilakukan dalam Akte Notaris Stefanus
Sindhunatha No. 40 Tanggal 8/8/1988.
Tetapi perjanjian antara keduanya agaknya hanya tinggal perjanjian.
Kewajiban Tarmin ternyata tidak pernah dipenuhi, Tarmin menganggap
kesepakatan itu sekedar formalitas, sehingga tagihan demi tagihan pengelola SDP
tidak pernah dipedulikannya. Bahkan menurutnya, Akte No. 40 tersebut, tidak
berlaku karena pihak SDP telah membatalkan “Gentlement agreement” dan
kesempatan yang diberikan untuk menunda pembayaran. Hanya sewa ruangan,
menurut Tarmin akan dibicarakan kembali di akhir tahun 1991. Namun pengelola
SDP berpendapat sebaliknya. Akte No. 40 tetap berlaku dan harga sewa ruangan
tetap seperti yang tercantum pada Akta tersebut.
Hingga 10 Maret 1991, Tarmin seharusnya membayar US$311.048,50 dan
Rp. 12.406.279,44 kepada PT SDP. Meski kian hari jumlah uang yang harus
dibayarkan untuk ruangan yang ditempatinya terus bertambah, Tarmin tetap
berkeras untuk tidak membayarnya. Pengelola SDP, yang mengajak Tarmin
meramaikan pertokoan itu.
Pihak pengelola SDP menutup COMBI Furniture secara paksa. Selain itu,
pengelola SDP menggugat Tarmin di Pengadilan Negeri Surabaya.

2.6.2 Analisis Kasus


Setelah pihak PT Surabaya Delta Plaza (PT SDP) mengajak Tarmin Kusno
untuk meramaikan sekaligus berjualan di komplek pertokoan di pusat kota
Surabaya, maka secara tidak langsung PT Surabaya Delta Plaza (PT SDP) telah
melaksanakan kerjasama kontrak dengan Tarmin Kusno yang dibuktikan dengan
membuat perjanjian sewa-menyewa di depan Notaris. Maka berdasarkan pasal
1338 BW yang menjelaskan bahwa “Suatu perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” sehingga dengan
adanya perjanjian/ikatan kontrak tersebut maka pihak PT SDP dan Tarmin Kusno

56
mempunyai keterikatan untuk memberikan atau berbuat sesuatu sesuai dengan isi
perjanjian.
Perjanjian tersebut tidak boleh dilangggar oleh kedua belah pihak, karena
perjanjian yang telah dilakukan oleh PT SDP dan Tarmin Kusno tersebut
dianggap sudah memenuhi syarat, sebagaimana yang telah diatur dalam pasal
1320 BW. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Perjanjian diatas bisa dikatakan sudah adanta kesepakatan, karena pihak PT
SDP dan Tarmin Kusno dengan rela tanpa ada paksaan menandatangani isi
perjanjian Sewa-menyewa yang diajukan oleh pihak PT SDP yang dibuktikan
dihadapan Notaris.
Namun pada kenyataannya, Tarmin Kusno tidak pernah memenuhi
kewajibannya untuk membayar semua kewajibannya kepada PT SDP, dia tidak
pernah peduli walaupun tagihan demi tagihan yang datang kepanya, tapi dia tetap
berisi keras untuk tidak membayarnya. Maka dari sini Tarmin Kusno bisa
dinyatakan sebagai pihak yang melanggar perjanjian.
Dengan alasan inilah pihak PT SDP setempat melakukan penutupan
COMBI Furniture secara paksa dan menggugat Tamrin Kusno di Pengadilan
Negeri Surabaya. Dan jika kita kaitkan dengan Undang-undang yang ada dalam
BW, tindakan Pihak PT SDP bisa dibenarkan. Dalam pasal 1240 BW, dijelaskan
bahwa: Dalam pada itu si piutang adalah behak menuntut akan penghapusan
segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan perikatan, dan bolehlah ia
minta supaya dikuasakan oleh Hakim untuk menyuruh menghapuskan segala
sesuatuyang telah dibuat tadi atas biaya si berutang; dengan tak mengurangi hak
menuntut penggantian biaya, rugi dan bunga jika ada alasan untuk itu.

57
Dari pasal diatas, maka pihak PT SDP bisa menuntut kepada Tarmin Kusno
yang tidak memenuhi suatu perikatan dan dia dapat dikenai denda untuk
membayar semua tagihan bulanan kepada PT Surabaya Delta Plaza.

58
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak
yang mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lainnya yang
berkewajiban memenuhi tuntutan itu. Perjanjian adalah suatu hubungan hukum
antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat
hukum. Suatu perikatan baik yang lahir dari perjanjian maupun undang-undang
dapat berakhir karena beberapa hal diantaranya adalah karena pembayaran
kompensasi pembayaran utang dll. Sementara itu hapusnya suatu perjanjian
berbeda dengan perikatan karena suatu perikatan dapat dihapus sedangkan
persetujuannya yang merupakan sumbernya masih tetap ada.

3.2 Saran
Dari penjelasan yang telah kami paparkan sebelumnya terdapat sebuah
kelebihan dan kekurangannya masing-masing, namun untuk meningkatkan
pemaparan di atas adapun saran-saran untuk menunjang sebuah peningkatan dari
materi maupun penerapannya.
Alangkah baiknya jika hukum perikatan ini tidak hanya dijadikan sebagai
materi yang membantu proses pemahaman mahasiswa saja namun dapat
digunakan langsung atau dipraktekan secara langsung dalam kehidupan sehari-
hari atau dalam proses pembelajaran.
Sebaiknya pemerintah dan masyakarat dapat membangun kerja sama yang
baik dalam mengarahkan proses berlangsungnya perikatan yang ada di dalam
kehidupan sehari-hari.
Alangkah baiknya jika setiap individu dapat menerapkan dan mengerti
benar mengenai materi yang sudah kami paparkan di atas.

59
DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Prof. Dr. I Ketut Oka Setiawan. 2016. Hukum Perikatan. Cetakan-1.Jawa Timur
M.Alvi Syahrin S.H. M.H. 2017. Actio Pauliana: Konsep Hukum Dan
Problematikanya. Vol. IV, No. 1, Desember 2017, hal. 605 – 616.
Angger Hassanah.2009.Analisa Hukum Mengenai Penfsiran Perjanjian Dan
Doktrin Contra Proferentem Dalam Sengketa Ambiguitas Perjanjian
Asuransi. Skripsi .Universitas Indonesia
Kitap Undang – undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesia)
Prof. Dr. I Ketut Oka Setiawan. 2016. Hukum Perikatan. Cetakan-1.Jawa Timur
Amalia,Nanda.2012. Hukum Perikatan.Aceh.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie)

Website:

https:// studylibid.com/
Wonkdermayu.wordpress.com
www.ilmu-ekonomi-id.com
http://www.jurnalhukum.com/sebab-sebab-hapusnya-perikatan/
http://www.negarahukum.com/hukum/hapusnya-perikatan.html
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/bw3.htm#bab4

60

Anda mungkin juga menyukai