Anda di halaman 1dari 18

HUKUM PERIKATAN I

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah


Hukum Jaminan
Dosen Pengampu :
Fenny Fatriany, S. H., M. Hum.

Disusun Oleh :
Adil Regi Faizal 1203050186
Amelia Hanifah 1203050009
Dani Ramadan 1203050020
Ikmal Maulana Abdullah 1203050188
Resty Annisa Putriani 1203050140
Saskia Fazrin Khoirunnisa 1203050156
Tsakila Malahayati 1203050168
Velvi Arsita Suandi 1203050170
Wildan Abil Ramadita 1203050176
Wirdan Lutfi Insani 1203050179

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
KOTA BANDUNG
KATA PENGANTAR

Puji syukur mari kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan
rahmat serta hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan mahkalah ini dengan baik.
Shalawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad
SAW.
Makalah yang berjudul “Hukum Perikatan I” ini disusun untuk memenuhi tugas mata
kuliah Hukum Jaminan dan juga sebagai bahan penambah ilmu pengetahuan serta informasi
yang kami harapkan dapat bermanfaat untuk mahasiswa. Kami selaku pemakalah juga izin
mengucapkan terima kasih kepada Ibu Fenny Fatriany, S.H., M.Hum. selaku dosen pengampu
yang telah memberikan kami tugas ini sehingga bermanfaat pula menambah pengetahuan kami.
Makalah ini kami susun dengan segala upaya dan semaksimal mungkin. Akan tetapi, kita
menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini tentu tidak bisa dibilang sempurna dan masih
banyak kesalahan serta kekurangan. Maka dari itu kami sebagai penyusun makalah ini
mengharapkan adanya kritik, saran ,dan pesan dari semua yang membaca makalah ini agar
menjadi bahan koresi untuk kami.

Bandung, 3 Oktober 2023


Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................................ii
BAB I...............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................................2
C. Tujuan...................................................................................................................................2
BAB II.............................................................................................................................................3
PEMBAHASAN..............................................................................................................................3
A. Definisi Hukum Perikatan....................................................................................................3
B. Perbedaan Hukum Perikatan dan Hukum Perjanjian............................................................4
C. Syarat Hukum Perikatan.......................................................................................................6
D. Asas-asas Hukum Perikatan...............................................................................................11
BAB III..........................................................................................................................................16
PENUTUP.....................................................................................................................................16
Kesimpulan................................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................17

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perikatan/ verbintenis dalam hukum perdata adalah hubungan hukum yang terjadi di
antara dua orang atau lebih, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya
wajib memenuhi prestasi. Dasar hukum perdata tersebut tertuang dalam pasal 1233
KUHPerdata yang berbunyi: suatu perikatan, dimana suatu perikatan dapat dilahirkan dari
suatu persetujuan/ perjanjian atau undang-undang. Perikatan yang tertuang dari undang-
undang dapat dibagi atas perikatan yang lahir dari suatu perbuatan yang diperbolehkan dan
yang lahir dari perbuatan yang berlawanan dengan hukum (Onrechmatig). Adapun perbuatan
melawan hukum di Indonesia secara normatif selalu merujuk pada ketentuan Pasal 1365
KUHPerdata1.

Perikatan dalam arti luas, meliputi semua hubungan hukum antara dua pihak, dimana
disatu pihak ada hak dan di lain pihak ada kewajiban. Orang pada umumnya memberikan
perumusan perikatan dalam arti sebagai yang dimaksud oleh Buku III KUH Perdata, atau
sering juga disebut “dalam arti sempit” sebagai hubungan hukum dalam lapangan hukum
kekayaan, dimana disatu pihak ada hak dan dilain pihak ada kewajiban. Hukum perdata
Eropa mengenal adanya perikatan yang ditimbulkan karena undang-undang dan perikatan
yang ditimbulkan karena perjanjian. Hukum Perikatan ialah ketentuan-ketentuan yang
mengatur hak dan kewajiban subjek hukum dalam tindakan hukum kekayaan.

Dari uraian tersebut diatas, kemudian dapat diketahui unsur-unsur penting dari suatu
perikatan, yaitu2:

1. Hubungan Hukum Hubungan-hubungan yang terjadi dalam lalu lintas masyarakat, hukum
melekatkan “hak” pada satu pihak dan melekatkan “kewajiban” pada pihak lainnya.
2. Kekayaan Unsur kekayaan semakin lama sukar untuk dipertahankan, karena di dalam
masyarakat terdapat juga hubungan hukum yang tidak dapat dinilai dengan uang. Namun
kalau terhadapnya tidak diberikan akibat hukum, rasa keadilan tidak akan dipenuhi. Dan

1
Evi Ariyani, Hukum Perjanjian, Penerbit Ombak, Yogyakarta.
2
Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan
Penjelasan, Penerbit Alumni, Bandung, 1983

1
ini bertentangan dengan salah satu tujuan dari pada hukum yaitu mencapai keadilan. Oleh
karena itu sekarang kriteria di atas tidak lagi dipertahankan sebagai kriteria, maka
ditentukan bahwa sekalipun suatu hubungan hukum itu tidak dapat dinilai dengan uang,
tetapi kalau masyarakat atau rasa keadilan menghendaki agar suatu hubungan itu diberi
akibat hukum, maka hukumpun akan melekatkan akibat hukum pada hubungan tadi.
3. Pihak-Pihak Apabila hukum tadi dijajak lebih jauh lagi maka hubungan hukum itu harus
terjadi antara dua orang atau lebih. Pihak yang berhak atas prestasi, pihak yang aktif
adalah kreditur atau siberpiutang dan pihak yang wajib memenuhi prestasi, pihak yang
pasif adalah debitur atau siberhutang.
4. Prestasi Menurut Pasal 1234 KUH Perdata prestasi itu dibedakan atas:
a. Memberikan sesuatu
b. Berbuat sesuatu
c. Tidak berbuat sesuatu
Perikatan yang ditimbulkan karena undang-undang lazim disebut perikatan dari undang-
undang. Adanya hak dan kewajiban timbul diluar kehendak subjek hukumnya. Perikatan ini
dapat disebabkan oleh tindakan tidak melawan hukum dan tindakan melawan hukum.
Sedangkan perikatan yang ditimbulkan karena perjanjian lazim disebut “perjanjian”, hak dan
kewajiban yang timbul dikehendaki oleh subjek-subjek hukum. Bahkan, terkadang hak dan
kewajiban itu sering merupakan tujuan dalam menjalankan tindakannya(Satrio 1995).
Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah
yaitu berdasarkan syarat sahnya perjanjian, berlaku sebagai undang – undang bagi mereka
yang membuatnya”. Maksudnya, semua perjanjian mengikat mereka yang tersangkut bagi
yang membuatnya, mempunyai hak yang oleh perjanjian itu diberikan kepadanya dan
berkewajiban melakukan hal-hal yang ditentukan dalam perjanjian. Setiap orang dapat
mengadakan perjanjian, asalkan memenuhi syarat yang ditetapkan dalam Pasal 1320
KUHPerdata. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perikatan ada dua
macam, yaitu perikatan yang lahir karena undang-undang dan perikatan yang lahir karena
perjanjian. Berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata setiap orang bebas mengadakan
perjanjian(Kartini Muljadi 2003).

2
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian dari Definisi Hukum Perikatan?
2. Apa Perbedaan Hukum Perikatan dan Hukum Perjanjian?
3. Apa yang menjadi Syarat Hukum Perikatan?
4. Apa saja Asas-asas Hukum Perikatan?

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Definisi Hukum Perikatan
2. Untuk Mengetahui Perbedaan Hukum Perikatan dan Hukum Perjanjian
3. Untuk Mengetahui Syarat Hukum Perikatan
4. Untuk Mengetahui Asas-asas Hukum Perikatan

3
BAB II

PEMBAHASAN
A. Definisi Hukum Perikatan
Pengertian Hukum Perikatan
Hukum perikatan adalah hukum yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak
dalam perjanjian. Ini mencakup hak-hak seperti hak kepemilikan, hak pembayaran, hak
penggunaan, dan sebagainya. Dengan adanya hukum perikatan yang jelas, para pihak dapat
memahami dan melindungi hak-hak mereka sesuai dengan perjanjian yang dibuat.
Definisi perikatan menurut para ahli
1. Definisi Perikatan menurut Pitlo adalah “suatu hubungan hukum yang bersifat harta
kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu memiliki hak
(kreditur) dan pihak yang lain memiliki kewajiban (debitur) atas suatu prestasi”.
2. Definisi Perikatan menurut H.F.A. Vollmar adalah Ditinjau dari isinya, ternyata bahwa
perikatan itu ada selama seseorang itu (debitur) harus melakukan suatu prestasi yang
mungkin dapat dipaksakan terhadap (kreditur), kalau perlu dengan bantuan hakim.
3. Definisi Perikatan menurut R.Setiawan perikatan merupakan hubungan hukum yang telah
diatur dan diakui.
4. Definisi Perikatan menurut Profesor Soediman kartihadiprojo adalah kesemuanya kaidah
hukum yang mengatur hak dan kewajiban seseorang yang bersumber pada tindakannya
dalam lingkungan hukum kekayaan.
5. Definisi Perikatan menurut Von Savigny merupakan hak dari seseorang atau pihak
kreditur terhadap pihak debitur
6. Definisi Perikatan menurut Subekti adalah Perikatan adalah suatu hubungan hukum
antara dua orang atau dua pihak,berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut
sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi
tuntutan itu. 3

3
Komariah, Hukum Perdata (edisi revisi), UMM Press, Malang, 2016, hal 117.

4
B. Perbedaan Hukum Perikatan dan Hukum Perjanjian
Pengertian Perikatan
Perikatan dapat diartikan sebagai suatu hubungan hukum antara satu orang atau satu
pihak dengan satu orang atau pihak lain yang menimbulkan hak dan kewajiban para pihak.
Para pihak ini merupakan subjek hukum yang membuat dan terikat dengan perikatan
tersebut. Para pihak yang membuat perikatan dapat subjek hukum sebagai manusia maupun
subjek hukum bukan manusia seperti baran hukum, perkumpulan bisnis, perkumpulan sosial,
dan perkumpulan lainnya yang memenuhi syarat sebagai subjek hukum dan memiliki legal
standing untuk melakukan perbuatan hukum berupa perikatan tersebut. 4 Perikatan diatur
dalam buku KUHPer dalam buku III yang bersifat kontraktual dan non – kontraktual.5
Pengertian Perjanjian
Perjanjian (verbintenis) mengandung pengertian suatu hubungan hukum kekayaan/hukum
harta benda yang memberikan kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh suatu
prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi. 6 Perjanjian
adalah hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lain
dalam bidang harta kekayaan, dimana subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan
begitu juga dengan subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya
sesuai dengan yang telah disepakati.7
Perbedaan Perjanjian dan Perikatan

4
Purba, Hasim dan Purba, Muhammad Hadyan Yurhas. 2019. Dasar – dasar Pengetahuan Ilmu Hukum. Jakarta:
Sinar Grafika
5
Agustina, Rosa. 2012. Hukum Perikatan (Law of Obligations). Bogor: Pustaka Laras
6
Harahap, M Yahya. 1982. Segi – segi Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni
7
S, Salim H. 2010. Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika

5
Dari definisi diatas terlihat bahwa perjanjian dapat menimbulkan perikatan tapi perikatan
ada bukan hanya karena adanya perjanjian, melainkan juga hal lain, misalnya karena undang-
undang. Jika ditelaah, perikatan menimbulkan suatu hubungan hukum yang dapat bersifat
sepihak dan relatif. Hubungan hukum dalam perikatan disebut relatif karena hubungan
tersebut hanya dapat dipertahankan dan dimintai pertanggungjawabannya terhadap orang-
orang tertentu. Orang tertentu yang dimaksud adalah para pihak yang terikat karena
persetujuan atau ketentuan undang-undang. Dalam perjanjian, hal yang terjadi adalah suatu
perbuatan hukum. Perbuatan hukum kemudian menimbulkan hubungan hukum/perikatan.
Namun, hubungan tersebut umumnya bersifat timbal balik karena dalam perjanjian masing-
masing pihak memiliki hak dan kewajibannya masing-masing sehingga tidak hanya
meletakkan hak disatu pihak atas prestasi yang menjadi kewajiban pihak lainnya. Suatu
perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu atau ada objek yang diperjanjikan kedua belah
pihak.
Kemudian, menurut pasal 1332 KUH Perdata, hanya barang yang dapat
diperdagangkan/barang tertentu yang dapat ditentukan jenisnya yang dapat menjadi pokok
perjanjian. Sedangkan dalam perikatan tidak ada ketentuan mengenai objek karena perikatan
dapat dilakukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat
sesuatu. Dalam perjanjian terdapat syarat sah dimana para pihak harus sepakat terlebih
dahulu untuk mengikatkan dirinya. Artinya, harus ada kemauan dan kehendak dari masing-
masing pihak. Hal tersebut berbeda untuk perikatan. Karena perikatan yang dilahirkan karena
undang-undang dapat terjadi dengan sendirinya tanpa persetujuan dan kehendak dari para
pihak untuk terikat satu sama lain. Perjanjian menganut asas kebebasan berkontrak sehingga
para pihak bebas menentukan apa saja ketentuan yang perlu ada di dalam perjanjian yang
dibuat selama ketentuan yang ada didalamnya tidak bertentangan dengan hukum dan
perjanjian dilaksanakan dengan itikad baik, perjanjian tersebut sah dan berlaku sebagai
undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Dalam perikatan, salah satu ketentuan
yang juga berlaku dan mengikat para pihak adalah hukum positif di Indonesia. Hal ini karena
sumber perikatan berasal dari ketentuan undang-undang sehingga perikatan bahkan dapat
terjadi dan ada serta mengikat para pihak sejak diundangkannya ketentuan tersebut terlepas
dari apakah para pihak setuju atau tidak dengan undang-undang yang ada.

6
C. Syarat Hukum Perikatan
Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan
mana pihak yang berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Sedangkan perjanjian adalah
suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan suatu hal.

Hubungan perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan.
Perjanjian adalah sumber perikatan, di sampingnya sumber-sumber lain. Perikatan yang lahir
dari perjanjian, memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu
perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari Undang-Undang diadakan oleh Undang-
Undang diluar kemampuan para pihak yang bersangkutan. Apabila dua orang mengadakan
suatu perjanjian, maka mereka bermaksud supaya antara mereka berlaku suatu perikatan
hukum.8

Hukum kontrak atau perjanjian di Indonesia masih menggunakan peraturan pemerintah


kolonial Belanda yang terdapat dalam Buku III Burgerlijk Wetboek. Dalam kitab Undang-
Undang Hukum Perdata menganut sistem terbuka (open system), artinya bahwa para pihak
bebas mengadakan kontrak dengan siapapun, menentukan syarat-syaratnya, pelaksanaannya,
maupun bentuk kontraknya baik secara tertulis maupun lisan.9 Disamping itu, membuat
kontrak telah dikenal dalam KUH Perdata. Hal ini sesuai dengan Pasal 1338 ayat 1 KUH
Perdata yang berbunyi: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya”.10 Dalam perencanaan atau pembuatan kontrak hal
penting yang harus diperhatikan oleh para pihak adalah syarat sahnya perjanjian atau
kontrak.

Syarat-syarat Sahnya Perjanjian Pasal 1320 KUHPeradata menentukan ada 4 (empat)


yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian, yakni: 11

a. Sepakat para pihak, Kata sepakat didalam perjanjian pada dasarnya adalah pertemuan
atau persesuaian kehendak antara para pihak didalam perjanjian. Seseorang dikatakan
memberikan persetujuannya atau kesepakatannya (Toestemming) jika ia memang
8
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 1990), hlm 1
9
Ahmad Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), hlm. 147
10
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1338 ayat 1
11
Subekti, R. 1984. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa.

7
menghendaki apa yang disepakati. J.Satrio menyebutkan ada beberapa cara
mengemukakan kehendak tersebut, yakni: Pertama, Secara tegas. 1) Dengan akte otentik.
2) Dengan akte di bawah tangan. Kedua, Secara diam-diam. Sekalipun undang-undang
tidak secara tegas mengatakan, tetapi dari ketentuan-ketentuan yang ada, antara lain pasal
1320 jo Pasal 1338 KUHPerdata, dapat disimpulkan bahwa pada asasnya, kecuali
diterntukan lain, undangundang tidak menentukan cara orang menyatakan kehendak.
b. Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan, Pasal 1329 KUHperdata
menyatakan bahwa setiap orang adalah cakap. Kemudian Pasal 1330 menyatakan bahwa
ada beberapa orang tidak cakap untuk membuat perjanjian, yakni: Pertama, orang yang
belum dewasa; Kedua, mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; dan Ketiga, orang-
orang perempuan dalam pernikahan, (setelah diundangkannya Undang-undang no 1 tahun
1974 pasal 31 ayat 2 maka perempuan dalam perkawinan dianggap cakap hukum)
c. Suatu hal/objek tertentu, Pasal 1333 KUHPerdata menentukan bahwa suatu perjanjian
harus mempunyai pokok suatu benda (zaak) yang paling sedikit dapat ditentukan
jenisnya. Suatu perjanjian harus memiliki objek tertentu
d. Suatu sebab (causa) yang halal, Menurut Pasal 1335 jo 1337 KUHPerdata bahwa suatu
kausa dinyatakan terlarang jika bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan
ketertiban umum. Suatu kausa dikatakan bertentangan dengan undang-undang, jika kausa
di dalam perjanjian yang bersangkutan isinya bertentangan dengan undang-undang, jika
kausa di dalam perjanjian yang bersangkutan isinya bertentangan dengan undang-undang
yang berlaku.
Persyaratan tersebut diatas berkenan baik mengenai subjek maupun objek perjanjian.
Persyaratan yang pertama dan kedua berkenan dengan subjek perjanjian atau syarat subjektif.
Persyaratan yang ketiga dan keempat berkenan dengan objek perjanjian atau syarat objektif.
Pembedaan kedua persyaratan tersebut dikaitkan pula dengan masalah batal demi hukumnya
(nieteg atau null and ab initio) dan dapat dibatalkannya (vernietigbaar = voidable) suatu
perjanjian. Apabila syarat objektif dalam perjanjian tidak terpenuhi maka Perjanjian tersebut
batal demi hukum atau perjanjian yang sejak semula sudah batal, hukum menganggap
perjanjian tersebut tidak pernah ada. Apabila syarat subjektif tidak terpenuhi maka Perjanjian
tersebut dapat dibatalkan atau sepanjang perjanjian tersebut belum atau tidak dibatalkan
pengadilan, maka perjanjian yang bersangkutan masih terus berlaku.

8
D. Asas-asas Hukum Perikatan
Asas adalah dasar tapi bukan suatu yang absolut atau mutlak, artinya penerapan asas
harus mempertimbangkan keadaan khusus dan keadaan yang berubah-ubahHendi Suhendi,
Fiqih Muamalah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 9.. Pengertian perikatan
menurut Subekti dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata adalah suatu hubungan
hukum antara dua orang atau dua pihak, yang mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu
dari pihak yang lainnya yang berkewajiban memenuhi tuntutan ituSubekti, Pokok-Pokok
Hukum Perdata (Jakarta: Intermassa, 2002), hlm. 122.. Jadi, asas-asas hukum perikatan
adalah suatu fundamental tentang hukum perikatan terhadap keadaan di mana subjek hukum
satu menjalani hubungan hukum dengan subjek hukum lainnya dan subjek hukum satu
berhak untuk menuntut sesuatu dari subjek hukum lainnya. Asas-asas hukum perikatan
diketahui terdapat 5 asas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, di antaranya:
1. Asas Konsensualisme (Kesepakatan)

Asas konsensualisme, artinya bahwa suatu perikatan itu terjadi (ada) sejak tercapainya
kata sepakat antara para pihakAyu Nofita Riski Lestari, “Analisis Terhadap Praktik Jual Beli
Pakaian Bekas Di Sosial Media Facebook Ditinjau Dari Undang-Undang Konvensional Dan
Hukum Islam (Studi Kasus Di Grup Pl Tulungagung Preloved 2)” (UIN Satu Tulungagung,
2019), hlm 18.. Asas konsensualisme mempunyai arti yang terpenting, bahwa untuk
melahirkan perjanjian cukup dengan sepakat saja dan bahwa perjanjian itu (dan perikatan
yang ditimbulkan karenanya) sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya konsensus.
Untuk terjadinya sebuah persetujuan pada umumnya persesuaian kehendak yang memenuhi
persyaratan-persyaratan tertentu adalah sebuah kontrak yang sah menurut hukumHerlien
Budiono, Het Evenwichtbeginsel Voor Het Indonesisch Contractenrecht (Holland: Diss
Leiden, 2001), hlm. 64.. Dasar hukum Asas konsensualisme dapat dilihat pada Pasal 1320
ayat (1) KUH Perdata. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya
perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak.
2. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-

9
undang bagi mereka yang membuatnya”. Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, maka
orang pada asasnya dapat membuat perjanjian dengan isi yang bagaimanapun juga, asal tidak
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Ruang lingkup asas
kebebasan berkontrak, menurut hukum perjanjian Indonesia adalah: kebebasan untuk
membuat atau tidak membuat perjanjian, kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia
ingin membuat perjanjian, kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian
yang akan dibuatnya, kebebasan untuk menentukan objek perjanjian, kebebasan untuk
menentukan bentuk suatu perjanjian, dan kebebasan untuk menerima atau menyimpang
ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullend, optional)Sutan Remy
Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam
Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), hlm. 147..

Berlakunya asas kebebasan berkontrak ini tidaklah mutlak, KUH Perdata memberikan
pembatasan atau ketentuan terhadapnya, inti pembatasan tersebut dapat dilihat antara
lainNiru Anita Sinaga, “Peranan Asas-Asas Hukum Perjanjian Dalam Mewujudkan Tujuan
Perjanjian,” Binamulia Hukum 7, no. 2 (2018): 116, https://doi.org/10.37893/jbh.v7i2.20.:

a. Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata, bahwa perjanjian tidak sah apabila dibuat tanpa adanya
sepakat dari pihak yang membuatnya;
b. Pasal 1320 ayat (2) KUH Perdata, kebebasan yang dibatasi oleh kecakapan untuk
membuat suatu perjanjian;
c. Pasal 1320 ayat (4) jo Pasal 1337 KUH Perdata, menyangkut causa yang dilarang oleh
undangundang atau bertentangan dengan kesusilaan baik atau bertentangan dengan
ketertiban umum;
d. Pasal 1332 KUH Perdata batasan kebebasan para pihak untuk membuat perjanjian
tentang objek yang diperjanjikan;
e. Pasal 1335 KUH Perdata, tidak adanya kekuatan hukum untuk suatu perjanjian tanpa
sebab, atau sebab yang palsu atau terlarang; dan
f. Pasal 1337 KUH Perdata, larangan terhadap perjanjian apabila bertentangan dengan
undangundang, kesusilaan baik atau ketertiban umum
3. Asas Pacta Sunt Servanda

10
Baik dalam sistem terbuka yang dianut oleh hukum perjanjian ataupun bagi prinsip
kekuatan mengikat, kita dapat merujuk pada Pasal 1374 ayat (1) BW (lama) atau Pasal 1338
ayat (1) KUH Perdata: “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya”. Adagium (ungkapan) pacta sunt servanda diakui
sebagai aturan bahwa semua persetujuan yang dibuat oleh manusia secara timbal-balik pada
hakikatnya bermaksud untuk dipenuhi dan jika perlu dapat dipaksakan, sehingga secara
hukum mengikatJohannes Ibrahim and Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis Dalam Persepsi
Manusia Modern, Cetakan 2 (Bandung: Refika Aditama, 2007), hlm. 98.. Dengan kata lain,
perjanjian yang diperbuat secara sah berlaku seperti berlakunya undang-undang bagi para
pihak yang membuatnya (Pasal 1338 ayat (1) dan ayat (2) KUH Perdata. Artinya, para pihak
harus mentaati apa yang telah mereka sepakati bersama.

4. Asas Itikad Baik

Dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, disebutkan bahwa perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik. Sebenarnya itikad baik yang disebut dalam bahasa yang
sering juga diterjemahkan dengan kejujuran, dapat dibedakan atas 2 (dua) macam, yaitu: (1)
Itikad baik pada waktu akan mengadakan perjanjian; dan (2) Itikad baik pada waktu
melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul dari perjanjian tersebutWirjono
Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perdata, Cetakan 7 (Bandung: Sumur Bandung, 1979),
hlm. 56.. Adapun suatu perjanjian dilaksanakan dengan itikad baik atau tidak, akan tercermin
pada perbuatan-perbuatan nyata orang yang melaksanakan perjanjian tersebut.
5. Asas Kepribadian (Personality)

Asas kepribadian atau personality tercantum dalam Pasal 1340 KUH Perdata: “Suatu
perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat
membawa rugi kepada pihakpihak ketiga; tak dapat pihak-pihak ketiga mendapat manfaat
karenanya, selain dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317. Pasal 1315 KUH Perdata
menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian
selain untuk dirinya sendiri”. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya
sebagaimana pengantar dalam Pasal 1317 KUH Perdata yang menyatakan: “Dapat pula
perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk
diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu”.

11
Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUH Perdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri
sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang
memperoleh hak dari padanya.

Di samping kelima asas itu, di dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang diselenggarakan
oleh badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dari tanggal 17-19
Desember 1985 telah berhasil dirumuskan 8 asas hukum perikatan nasional(Rahardjo 2000).
Kedelapan asas itu: asas kepercayaan, asas persamaan hukum, asas keseimbangan, asas
kepastian hukum, asas moral, asas kepatutan, asas kebiasaan, dan asas perlindunganSalim H.
S, Hukuk Kontrak: Teori Dan Teknik Penyusunan Kontrak (Jakarta: Sinar Grafika, 2010),
hlm. 13.. Secara garis besar maksud masing-masing asas ini adalah sebagai berikutMariam
Daruz Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hlm.
42-44.:

1. Asas Kepercayaan, Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain harus
dapat menumbuhkan kepercayaan diri di antara kedua pihak bahwa satu sama lain akan
memenuhi prestasinya dikemudian hari. Tanpa adanya kepercayaan itu maka perjanjian
itu tidak mungkin akan diadakan kedua belah pihak, dengan kepercayaan ini kedua pihak
mengikatkan dirinya untuk keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat
sebagai undang-undang;
2. Asas Persamaan Hak, Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat,
tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kepercayaan, kekuasaan,
jabatan, dan lain-lain;
3. Asas Moral, Asas ini terlibat dalam perikatan wajar, dimana suatu perbuatan sukarela
dimana perbuatan seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontra
prestasi dari pihak debitor. Juga hal ini terlihat di dalam zaakwaarneming, dimana
seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela (moral) yang bersangkutan
mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya,
asas ini terdapatnya dalam Pasal 1339 KUH Perdata;
4. Asas Kepatutan, Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Asas kepatutan di
sini berkaitan dengan ketentuan-ketentuan mengenai isi perjanjian;

12
5. Asas Kebiasaan, Asas ini diatur dalam Pasal 1339 jo 1347 KUH Perdata, yang
dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk
hal-hal yang diatur secara tegas, tetapi juga hal-hal yang dalam keadaan dan kebiasaan
yang diikuti;
6. Asas Kepastian Hukum, Kepastian sebagai suatu figur hukum harus mengandung
kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu
sebagai undang-undang bagi para pihak;
7. Asas Keseimbangan, Keseimbangan sangat perlu guna mewujudkan perlindungan dan
keadilan bagi para pihak. Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan
melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas
persamaan; dan
8. Asas Perlindungan, Semua pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian harus sama-sama
dilindungi kepentingannya. Sehubungan dengan keadilan dalam.BAB III

PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pada definisi perjanjian dan perikatan dapat ditemukan persamaan dan
perbedaan di dalamnya karena kedua hal sering kali dianggap suatu perbuatan yang sama.
Berikut poin penting persamaan dan perbedaan perikatan:

1. Persamaan, Keduanya memiliki kekuatan hukum tetap hanya saja kekuatan hukum dalam
perjanjian lebih kuat daripada perikatan. Perikatan dengan perjanjian ini memiliki hak dan
kewajiban untuk saling menyelesaikan apa yang menjadi isi dalam kontrak.
2. Tanggal, Baik perjanjian maupun perikatan didalamnya diharuskan memiliki tanggal.
Terlebih dalam perjanjian karena jika suatu perjanjian tidak memiliki tanggal (tempo), maka
perjanjian akan berakhir di persidangan jika terjadi wanprestasi.
3. Perbedaan, ada pada jenis objek yang telah ditentukan bersama. Namun, perikatan tidak
tergantung pada objek barang. Melainkan berpaku pada tindakan yang saling
menguntungkan. Sedangkan, perjanjian adalah suatu kontrak yang mengikat dengan objek
produk, barang atau benda tertentu. Karena Menurut pasal 1332 KUH Perdata, hanya barang
yang dapat diperdagangkan/barang tertentu yang dapat ditentukan jenisnya yang dapat

13
menjadi pokok perjanjian. Perjanjian akan memiliki kekuatan hukum maka dari itu akan
ada upaya hukum jika terjadi wanprestasi/pelanggaran dalam perjanjian.

Berdasarkan poin diatas dapat disimpulkan bahwa perjanjian dan perikatan bukan dua
hal yang sama terdapat perbedaan yang cukup jelas.

14
DAFTAR PUSTAKA

Badrulzaman, Mariam Daruz. 1997. Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Budiono, Herlien. 2001. Het Evenwichtbeginsel Voor Het Indonesisch Contractenrecht. Holland:
Diss Leiden.
Ibrahim, Johannes, and Lindawaty Sewu. 2007. Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia Modern.
Cetakan 2. Bandung: Refika Aditama.
Kartini Muljadi. 2003. Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian,. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Lestari, Ayu Nofita Riski. 2019. “ANALISIS TERHADAP PRAKTIK JUAL BELI PAKAIAN
BEKAS DI SOSIAL MEDIA FACEBOOK DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG
KONVENSIONAL DAN HUKUM ISLAM (STUDI KASUS DI GRUP PL
TULUNGAGUNG PRELOVED 2).” UIN Satu Tulungagung.
Prodjodikoro, Wirjono. 1979. Azas-Azas Hukum Perdata. Cetakan 7. Bandung: Sumur Bandung.
Rahardjo, Satjipto. 2000. Peranan Dan Kedudukan Asas-Asas Hukum Dalam Kerangka Hukum
Nasional Dalam Seminar Dan Lokakarya Ketentuan Umum Peraturan Perundang-
Undangan. Jakarta.
S, Salim H. 2010. Hukuk Kontrak: Teori Dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar
Grafika.
Satrio, J. 1995. Hukum Perikatan Lahir Dari Perjanjian, Buku II. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Niru Anita Sinaga. 2018. “Peranan Asas-Asas Hukum Perjanjian Dalam Mewujudkan Tujuan
Perjanjian.” Binamulia Hukum 7(2): 107–20.
Sjahdeini, Sutan Remy. 1993. Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi
Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia. Jakarta: Institut Bankir Indonesia.
Subekti. 2002. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermassa.
Suhendi, Hendi. 2001. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

15

Anda mungkin juga menyukai