Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

PERIKATAN, PERJANJIAN, DAN WANPRESTASI


Diajukan untuk Memenuhi Tugas pada Mata Kuliah Hukum Perdata
Dosen pengampu
Hisyam Asyiqin, S.Sy., M.H

Disusun oleh :
Ahmad Hadi Restu Fauzy (20320044)

Dian Ridzki Amalia

PROGRAM STUDI
HUKUM EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT DAARUL QUR’AN
2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
1. Latar Belakang..........................................................................................1
2. Rumusan Masalah.....................................................................................1
3. Tujuan Penulisan.......................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................3
A. Istilah dan Pengertian Perikatan dan Hukum Perikatan............................3
B. Sumber Hukum Perikatan.........................................................................3
C. Jenis Perikatan...........................................................................................3
D. Istilah dan Defenisi Perjanjian..................................................................7
E. Bagian-bagian dari Perjanjian...................................................................7
F. Syarat Sah Perjanjian................................................................................8
G. Wanprestasi.............................................................................................10
H. Bentuk dan Syarat Wanprestasi..............................................................11
I. Penyebab Terjadinya Wanprestasi..........................................................12
J. Akibat Hukum Wanprestasi....................................................................13
BAB III PENUTUP..............................................................................................16
A. Kesimpulan.............................................................................................16
B. Saran........................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................17
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Puji syukur kehadirat Allah SWT. Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat-Nya lah kami dapat menelesaikan tugas makalah yang berjudul Perikatan,
Perjanjian, Dan Wanprestasi (Hukum Perdata).

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
yang diberikan oleh Bapak Hisyam Asyiqin, S.Sy., M.H pada mata kuliah Fiqh
Muamalah. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
tentang hukum tata negara bagi para pembaca dan juga bagi penullis.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Hisyam Asyiqin,


S.Sy., M.H yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami jalani.

Kami juga mengucapkan teruma kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
tepat waktu. Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna dan masih ada kesalahan yang harus diperbaiki. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Tangerang, 27 Maret 2022

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Dalam kehidupan bermasyarakat sehari - hari banyak orang yang tidak
sadar bahwa disetiap harinya selalu melakukan perikatan. Hal-hal kecil seperti
membeli suatu barang, sewa menyewa, pinjam meminjam, hal- hal ini adalah
termasuk suatu perikatan. Perikatan di Indonesia, diatur dalam buku III KUH
Perdata (Burgerlijk Wetboek). Hukum perdata, banyak sekali cakupannya, salah
satunya adalah perikatan.

Perikatan merupakan salah satu hubungan hukum dalam harta kekayaan antara
dua orang atau lebih, di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu barang dan
pihak lain berkewajiban atas sesuatu barang . Hubungan hukum dalam harta
kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian
atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan atau perjanjian.

Di dalam hukum perikatan, semua orang dapat melakukan perikatan yang


bersumber dari perjanjian, perjanjian ini dalam bentuk apapun atau bagaimanapun
baik itu yang diatur dalam undang-undang ataupun tidak, inilah yang biasa disebut
kebebasan berkontrak. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat apa yang dengan
tegas ditentukan didalamnya melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya
persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan atau undang-undang. Syarat-
syarat yang diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk
dalam suatu persetujuan, walaupun tidak dengan tegas diatur dalam perjanjian
tersebut.

2. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Perikatan, Perjanjian dan Wanprestasi?
2. Bagaimana Sumber Hukum Perikatan?
3. Apa saja bagian-bagian dari perjanjian?
4. Apa saja bentuk dan syarat wanprestai?
3. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian dari Perikatan, Perjanjian dan Wanprestasi.
2. Mengetahui Sumber Hukum Perikatan.
3. Mengetahui bagian-bagian dari perjanjian.
4. Mengetahui bentuk dan syarat wanprestai.
1.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Istilah dan Pengertian Perikatan dan Hukum Perikatan.


Istilah dan Pengertian Perikatan dan Hukum Perikatan. Hukum perikatan
merupakan istilah yang paling luas cakupannya. Istilah ”perikatan” merupakan
kesepadanan dari istilah Bahasa Belanda ”Verbintenis” (Munir Fuady, 1999: 1).
Istilah hukum perikatan mencakup semua ketentuan dalam buku ketiga KUH
Perdata.

Buku ketiga KUH Perdata tidak memberikan penjelasan yang spesifik tentang
pengertian perikatan, namun demikian, para ahli memberikan pengertian tentang
perikatan ini diantaranya yang disampaikan oleh Mariam Darus Badrulzaman,
bahwa perikatan dimaknai sebagai ”hubungan (hukum) yang terjadi di antara dua
orang atau lebih, yang terletak di bidang harta kekayaan, dengan pihak yang satu
berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi tersebut” (1994:
3), sedangkan Hukum Perikatan dimaknai sebagai seperangkat aturan yang
memberikan pengaturan terhadap dilaksanakannya perikatan.

B. Sumber Hukum Perikatan.


Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan ”Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik
karena perjanjian, baik karena undang-undang”. Maknanya, perikatan bersumber
dari, 1) Perjanjian, 2) Undang-Undang. Namun demikian, perikatan juga dapat
bersumber dari Jurisprudensi, Hukum Tertulis dan Hukum Tidak Tertulis serta
Ilmu Pengetahuan Hukum. Dasar Hukum Mahar dari Al Qur’an

C. Jenis Perikatan.
Perikatan menurut para ahli dibedakan dalam berbagai jenis sebagai
berikut:Harta atau bendanya berharga.

1. Menurut Ilmu Hukum Perdata:


a. Dilihat dari objek nya:
1) Untuk memberikan sesuatu;
2) Untuk berbuat sesuatu;
3) Untuk tidak berbuat sesuatu;
4) Perikatan manasuka;
5) Perikatan fakultatif;
6) Perikatan generic dan spesifik;
7) Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi;
8) Perikatan yang sepintas lalu dan terus menerus;
b. Dilihat dari subjeknya:
1) Perikatan tanggung menanggung (hoofdelijk/solidair);
2) Perikatan pokok & tambahan (principale & accessoir);
c. Dilihat dari daya kerjanya:
1) Perikatan dengan ketetapan waktu;
2) Perikatan bersyarat.
2. Menurut Undang-undang:
a. Perikatan untuk memberikan sesuatu (Pasal 1235 – 1238 KUH Perdata):

Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, termaktub kewajiban yang


berutang untuk menyerahkan harta benda yang bersangkutan dan
merawatnya sebagaimana bapak rumah tangga yang baik, sampai pada
saat penyerahannya. Perikatan ini prestatienya adalah untuk memberikan
sesuatu (menyerahkan) yang dikenal juga dengan istilah levering dan
merawatnya. Kewajiban menyerahkan adalah kewajiban pokok, sedangkan
kewajiban merawat adalah kewajiban preparatoir, yang dilaksanakan oleh
debitur menjelang pemenuhan kewajiban pokoknya. Contoh perikatan
untuk memberikan sesuatu adalah Jual Beli, Sewa Beli, Tukar Menukar.
b. Perikatan untuk berbuat sesuatu dan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu
(Pasal 1239 s.d Pasal 1242 KUH Perdata). KUH Perdata tidak
memberikan pernyataan secara tegas tentang perikatan untuk berbuat
sesuatu dan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu.(Lihat lebih lanjut
ketentuan Pasal 1239 s/d 1242 KUH Perdata).

Pasal 1239 KUH Perdata sebagai pasal awal, pada bagian ketiga dari Bab
Kesatu tentang Perikatan-Perikatan Umum menyatakan bahwa, “Tiap-tiap
perikatan untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila
si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya
dalam kewajibannya memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga”.
Ketentuan Pasal tersebut di atas, memberikan pengaturan tentang tuntutan
ganti rugi yang dapat diajukan oleh si yang berpiutang, ketika yang
berutang tidak memenuhi perikatannya.

c. Perikatan Bersyarat (Pasal 1253, 1259 – 1267 KUH Perdata): Pasal 1253
KUH Perdata menyatakan bahwa “Perikatan adalah bersyarat jika
digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih
belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan perikatan, sehingga
terjadinya peristiwa semacam itu menurut terjadi atau tidak terjadinya
peristiwa tersebut”.
Syarat tersebut harus dinyatakan secara tegas dalam perikatan. Namun
batasan terhadap syarat tersebut telah diatur dalam undang-undang yaitu:
1) bertujuan melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilaksanakan;
2) bertentangan dengan kesusilaan;
3) dilarang undang-undang;
4) pelaksanaannya tergantung dari kemauan orang yang terikat. Pasal
1266 KUH Perdata memberikan pengaturan tentang “Ingkar janji
yang merupakan syarat batal dalam suatu perjanjian timbal balik”.
5) Perikatan dengan ketetapan waktu (Pasal 1268 – 1271 KUH
Perdata); Perikatan dengan ketetapan waktu adalah suatu perikatan
yang tidak menangguhkan perikatan, hanya menangguhkan
pelaksanaannya.
d. Perikatan manasuka/alternative (Pasal 1272 – 1277 KUH Perdata);
Dalam perikatan alternative ini, debitur dibebaskan jika ia menyerahkan
salah satu barang yang disebutkan dalam perikatan, tetapi ia tidak dapat
memaksa yang berpiutang untuk menerima sebagian dari barang yang satu
dan sebagian dari barang yang lain.
e. Perikatan Tanggung Renteng/ Tanggung Menanggung (Pasal 1278 – 1303
KUH Perdata):
Perikatan tanggung menanggung atau tanggung renteng terjadi antara
beberapa orang berpiutang, jika didalam perjanjian secara tegas kepada
masing-masing diberikan hak untuk menuntut pemenuhan seluruh hutang,
sedangkan pembayaran yang dilakukan kepada salah satu membebaskan
orang yang berhutang meskipun perikatan menurut sifatnya dapat dipecah
atau dibagi antara orang yang berpiutang tadi.
Tanggung renteng dibedakan yang aktif dan pasif. Tanggung renteng aktif
adalah perikatan tanggung menanggung yang pihaknya terdiri dari
beberapa kreditur. Sedangkan yang pasif adalah terjadinya suatu perikatan
tanggung menanggung diantara orang-orang yang berutang yang
mewajibkan mereka melakukan suatu hal yang sama. salah seorang dari
kreditur dapat dituntut untuk seluruhnya, dan pemenuhan dari salah
seorang membebaskan orang-orang berutang lainnya terhadap si
berpiutang/kreditur.
f. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi (Pasal 1296 –
1303 KUH Perdata);
pada perikatan ini, objeknya adalah mengenai suatu barang yang
penyerahannya, atau suatu perbuatan yang pelaksanaannya dapat dibagi-
bagi, baik secara nyata ataupun perhitungan.
g. Perikatan dengan ancaman hukuman (Pasal 1304 – 1312 KUH Perdata).
Ancaman hukuman adalah suatu keterangan, yang sedemikian rupa
disampaikan oleh seseorang untuk adanya jaminan pelaksanaan perikatan.
Maksud adanya ancaman hukuman ini adalah :
1) untuk memastikan agar perikatan itu benar-benar dipenuhi;
2) untuk menetapkan jumlah ganti rugi tertentu apabila terjadi
wanprestasi dan untuk menghindari pertengkaran tentang hal
tersebut.
Ancaman hukuman ini bersifat accessoir. Batalnya perikatan pokok
mengakibatkan batalnya ancamanhukuman. Batalnya ancaman hukuman
tidak berakibat batalnya perikatan pokok.

D. Istilah dan Defenisi Perjanjian


Perjanjian lazim dikenal ataupun disebut sebagai kontrak, yang merupakan
adopsi dari istilah Inggris “contract”, serta juga dikenal sebagai “agreement” atau
“overeenkomst” dalam bahasa Belanda. Selain itu, dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, perjanjian juga dikenal dengan istilah “persetujuan”. Defenisi
dari perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang berbunyi “Suatu
persetujuan adalah suatu perbuatan yang terjadi antara satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau lebih”.

Defenisi di atas menurut Mariam Darus Badrulzaman (1994:18) dianggap


terlalu luas dan tidak lengkap. Terlalu luas karena didalamnya juga dianggap
dapat mencakup hal-hal mengenai janji kawin, yang merupakan perbuatan di
dalam hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga, namun istimewa
sifatnya karena mendapatkan pengaturan hukum tersendiri. Dianggap tidak
lengkap, karena didalamnya hanya merumuskan perjanjian secara sepihak saja.
Black’s Law Dictionary memberikan pengertian perjanjian sebagai “an agreement
between two or more persons which creates an obligations to do or not to do a
peculiar things”. Pengertian lain disampaikan ole Munir Fuady (2002: 9) “..
adalah suatu perjanjian atau serangkaian perjanjian dimana hukum Memberikan
ganti rugi terhadap wanprestasi dari kontrak tersebut, dan oleh hukum,
pelaksanaan dan kontrak tersebut dianggap merupakan suatu tugas yang harus
dilaksanakan”.

E. Bagian-bagian dari Perjanjian


Secara prinsip, para pihak bebas untuk menentukan dan mengatur sendiri
isi kontraknya sesuai dengan asas kebebasan berkontrak. Bagian-bagian yang ada
dalam suatu kontrak sendiri dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Munir Fuady,
1999: 28) :
1. Bagian dari Perjanjian yang Essensialia; Merupakan bagian utama dari suatu
kontrak. Bagian ini harus ada, misalnya bagian tentang “harga” pada suatu
kontrak Jual Beli; bagian tentang “jenis pekerjaan” pada Perjanjian Kerja.
2. Bagian dari Perjanjian yang Naturalia; Bagian ini merupakan bagian dari
kontrak yang telah diatur oleh aturan hukum, namun fungsinya hanya bersifat
mengatur saja.
3. Bagian dari Perjanjian yang Accidentalia; Bagian ini merupakan bagian dari
kntrak yang tidak mendapatkan pengaturannya dalam hukum namun
diserahkan kepada para pihak untuk mengaturnya sesuai dengan asas
kebebasan berkontrak (freedom of contract).

F. Syarat Sah Perjanjian


Suatu kontrak dianggap sah dan dapat mengikat para pihak, apabila memenui
syarat-syarat sah yang telah ditentukan. Syarat-syarat tersebut dibedakan sebagai
berikut:
1. Syarat Sah Umum:
a. Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata.
1) Konsensus disebut juga kesepakatan kehendak;
2) Cakap atau wenang berbuat;
3) Perihal Tertentu;
4) Causa Halal.

KUH Perdata juga memberikan pengaturan umum atas syarat sah perjanjian selain
yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu :

b. Berdasarkan Pasal 1338-1339 KUH Perdata.


1) Syarat Itikad Baik;
2) Syarat sesuai dengan kebiasaan;
3) Syarat sesuai dengan kepatutan;
4) Syarat sesuai dengan kepentingan umum.

Syarat sah umum berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata ini dibagi atas syarat sah
subjektif dan syarat sah objektif. Syarat sah subjektif adalah memenuhi unsur
adanya konsensus atau kesepakatan para pihak. Maknanya, ketika kesepakatan
telah dicapai oleh para pihak maka di antara para pihak telah tercapai kesesuaian
pendapat tentang hal-hal yangmenjadi pokok perjanjiannya. Kesepakatan yang
telah tercapai ini juga tidak boleh diakibatkan oleh adanya paksaan, penipuan
maupu kesilapan dari para pihak.

Selain itu, unsur yang harus dipenuhi dalam syarat sah subjektif adalah adanya
kecakapan atau wenang berbuat oleh para pihak. Kewenangan berbuat ini oleh
hukum dianggap sah apabila perjanjian yang dilakukan oleh orang-orang ataupun
subjek yang memenuhi ketentuan sebagai berikut:

(a) Orang yang sudah dewasa.


(b) Orang yang tidak ditempatkan di bawah pengampuan.
(c) Orang yang tidak dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan
tertentu. Seperti, kontrak jual beli yang dilakukan oleh suami istri.

Tidak dipenuhinya salah satu dari syarat subjektif dalam perjanjian akan
mengakibatkan timbulnya konsekwensi yuridis bahwa perjanjian tersebut “dapat
dibatalkan” atau dalam bahasa lain voidable, vernietigebaar. Pembatalan ini dapat
dilakukan oleh pihak yang berkepentingan. Seandainya tidak dibatalkan maka,
kontrak tersebut dapat dilaksanakan seperti suatu kontrak yang sah.

Syarat sah objektif berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata terdiri dari perihal
tertentu dan kausa halal atau kausa yang diperbolehkan. Perihal tertentu
maksudnya adalah bahwa yang menjadi objek dalam suatu perjanjian haruslah
berkaitan dengan hal tertentu, jelas dan dibenarkan oleh hukum.

Syarat kausa yang halal atau yang diperbolehkan maksudnya adalah bahwa
kontrak tersebut tidak boleh dibuat untuk melakukan hal-hal yang bertentangan
dengan hukum.

Konsekwensi yuridis yang timbul dari tidak dipenuhinya salah satu syarat objektif
ini akan mengakibatkan kontrak tersebut “tidak sah” atau “batal demi hukum”
(null and void).
2. Syarat Sah Khusus
a. syarat tertulis untuk kontrak tertentu;
b. syarat akta notaris untuk kontrak tertentu;
c. syarat akta pejabat untuk kontrak tertentu;
d. syarat izin dari yang berwenang.

G. Wanprestasi
Wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak dipenuhi atau ingkar
janji atau kelalaian yang dilakukan oleh debitur baik karena tidak melaksanakan
apa yang telah diperjanjikan maupun malah melakukan sesuatu yang menurut
perjanjian tidak boleh dilakukan.

Istilah wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yaitu “wanprestatie” yang


artinya tidak dipenuhinya prestasi atau kewajiban yang telah ditetapkan terhadap
pihak-pihak tertentu di dalam suatu perikatan, baik perikatan yang dilahirkan dari
suatu perjanjian ataupun perikatan yang timbul karena undang-undang.

Wanprestasi memberikan akibat hukum terhadap pihak yang melakukannya


dan membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk
menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi,
sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan
karena wanprestasi tersebut.

Berikut definisi dan pengertian wanprestasi dari beberapa sumber buku:

 Menurut Harahap (1986), wanprestasi adalah sebagai pelaksanaan kewajiban


yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya.
Sehingga menimbulkan keharusan bagi pihak debitur untuk memberikan atau
membayar ganti rugi (schadevergoeding), atau dengan adanya wanprestasi
oleh salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut pembatalan
perjanjian.
 Menurut Muhammad (1982), wanprestasi adalah tidak memenuhi kewajiban
yang harus ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang timbul karena
perjanjian maupun perikatan yang timbul karena Undang-undang.
 Menurut Prodjodikoro (2000), wanprestasi adalah ketiadaan suatu prestasi
didalam hukum perjanjian, berarti suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai
isi dari suatu perjanjian.
 Menurut Erawaty dan Badudu (1996), wanprestasi adalah pengingkaran
terhadap suatu kewajiban yang timbul dari suatu perjanjian yang dilakukan
oleh salah satu pihak dalam perjanjian tersebut.
 Menurut Saliman (2004), wanprestasi adalah suatu sikap dimana seseorang
tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang telah
ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur.

H. Bentuk dan Syarat Wanprestasi


Menurut Satrio (1999), terdapat tiga bentuk wanprestasi, yaitu:
1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali. Sehubungan dengan dengan debitur
yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi
prestasi sama sekali.
2. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya. Apabila prestasi debitur masih
dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi
tetapi tidak tepat waktunya.
3. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru. Debitur yang memenuhi
prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki
lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.
Sedangkan menurut Subekti, bentuk dan syarat tertentu hingga terpenuhinya
wanprestasi adalah sebagai berikut (Ibrahim, 2004):

1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.


2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Adapun syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh seorang Debitur sehingga
dikatakan dalam keadaan wanprestasi, yaitu:

A. Syarat materill, yaitu adanya kesengajaan berupa: a) kesengajaan adalah suatu


hal yang dilakukan seseorang dengan di kehendaki dan diketahui serta disadari
oleh pelaku sehingga menimbulkan kerugian pada pihak lain. b) Kelalaian,
adalah suatu hal yang dilakukan dimana seseorang yang wajib berprestasi
seharusnnya tahu atau patut menduga bahwa dengan perbuatan atau sikap yang
diambil olehnya akan menimbulkan kerugian.
B. Syarat formil, yaitu adanya peringatan atau somasi hal kelalaian atau
wanprestasi pada pihak debitur harus dinyatakan dahulu secara resmi, yaitu
dengan memperingatkan debitur, bahwa kreditor menghendaki pembayaran
seketika atau dalam jangka waktu yang pendek. Somasi adalah teguran keras
secara tertulis dari kreditor berupa akta kepada debitur, supaya debitur harus
berprestasi dan disertai dengan sangsi atau denda atau hukuman yang akan
dijatuhkan atau diterapkan, apabila debitur wanprestasi atau lalai.

I. Penyebab Terjadinya Wanprestasi


Beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya wanprestasi adalah sebagai
berikut (Satrio, 1999):

a. Adanya Kelalaian Debitur (Nasabah)

Kerugian itu dapat dipersalahkan kepadanya (debitur) jika ada unsur kesengajaan
atau kelalaian dalam peristiwa yang merugikan pada diri debitur yang dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya. Kelalaian adalah peristiwa dimana seorang
debitur seharusnya tahu atau patut menduga, bahwa dengan perbuatan atau sikap
yang diambil olehnya akan timbul kerugian.

Sehubungan dengan kelalaian debitur, perlu diketahui kewajiban-kewajiban yang


dianggap lalai apabila tidak dilaksanakan oleh seorang debitur, yaitu:

1. Kewajiban untuk memberikan sesuatu yang telah dijanjikan.


2. Kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan.
3. Kewajiban untuk tidak melaksanakan suatu perbuatan.

b. Karena Adanya Keadaan Memaksa (overmacht/force majure)

Keadaan memaksa ialah keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh pihak
debitur karena terjadi suatu peristiwa bukan karena kesalahannya, peristiwa mana
tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat
perikatan. Dalam keadaan memaksa ini debitur tidak dapat dipersalahkan karena
keadaan memaksa tersebut timbul di luar kemauan dan kemampuan debitur.

Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam keadaan memaksa adalah sebagai


berikut:

1. Tidak dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang membinasakan benda


yang menjadi objek perikatan, ini selalu bersifat tetap.
2. Tidak dapat dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang menghalangi
perbuatan debitur untuk berprestasi, ini dapat bersifat tetap atau sementara.
3. Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu
membuat perikatan baik oleh debitur maupun oleh kreditur. Jadi bukan karena
kesalahan pihak-pihak, khususnya debitur.

J. Akibat Hukum Wanprestasi


Akibat hukum atau sangsi yang diberikan kepada debitur karena melakukan
wanprestasi adalah sebagai berikut:

a. Kewajiban membayar ganti rugi

Ganti rugi adalah membayar segala kerugian karena musnahnya atau rusaknya
barang-barang milik kreditur akibat kelalaian debitur. Untuk menuntut ganti rugi
harus ada penagihan atau (somasi) terlebih dahulu, kecuali dalam peristiwa-
peristiwa tertentu yang tidak memerlukan adanya teguran.
Ketentuan tentang ganti rugi diatur dalam pasal 1246 KUHPerdata, yang terdiri
dari tiga macam, yaitu: biaya, rugi dan bunga. Biaya adalah segala pengeluaran
atas pengongkosan yang nyata-nyata telah dikeluarkan oleh kreditur sedangkan
bunga adalah segala kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah
dibayangkan atau yang sudah diperhitungkan sebelumnya.

Ganti rugi itu harus dihitung berdasarkan nilai uang dan harus berbentuk uang.
Jadi ganti rugi yang ditimbulkan adanya wanprestasi itu hanya boleh
diperhitungkan berdasar sejumlah uang. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari
terjadinya kesulitan dalam penilaian jika harus diganti dengan cara lain.

b. Pembatalan perjanjian

Sebagai sangsi yang kedua akibat kelalaian seorang debitur yaitu berupa
pembatalan perjanjian. Sangsi atau hukuman ini apabila seseorang tidak dapat
melihat sifat pembatalannya tersebut sebagai suatu hukuman dianggap debitur
malahan merasa puas atas segala pembatalan tersebut karena ia merasa
dibebaskan dari segala kewajiban untuk melakukan prestasi.

Menurut KUHPerdata pasal 1266: Syarat batal dianggap selalu dicantumkan


dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak
tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal
demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Permintaan ini
juga harus dilakukan meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya
kewajiban dinyatakan dalam perjanjian. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam
persetujuan hakim adalah leluasa untuk menurut keadaan, atas permintaan si
tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi
kewajibannya, jangka waktu mana namun tidak boleh lebih dari satu bulan.

c. Peralihan risiko

Akibat wanprestasi yang berupa peralihan risiko ini berlaku pada perjanjian yang
objeknya suatu barang, seperti pada perjanjian pembiayaan leasing. Dalam hal ini
seperti yang terdapat pada pasal 1237 KUHPerdata ayat 2 yang menyatakan‚ Jika
si berutang lalai akan menyerahkannya, maka semenjak saat kelalaiannya
kebendaan adalah atas tanggungannya.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak,
yang mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lainnya yang
berkewajiban memenuhi tuntutan itu. Perjanjian adalah suatu hubungan hukum
antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat
hukum. Suatu perikatan baik yang lahir dari perjanjian maupun undang-undang
dapat berakhir karena beberapa hal diantaranya adalah karena pembayaran,
kompensasi, pembayaran utang dll. Sementara itu, hapusnya suatu perjanjian
berbeda dengan perikatan, karena suatu perikatan dapat hapus, sedangkan
persetujuannya yang merupakan sumbernya masih tetap ada.

B. Saran
Kami sebagai penulis tentunya menyadari jika makalah diatas masih terdapat
banyak kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu penulis akan
memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada banyak sumber serta
kritik yang membangun dari para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
C.S.T. Kansil., 1989, “Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia”, Balai
Pustaka, Jakarta.

R. Subekti., & R. Tjitrosudibio., 1994, “Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”,


Cetakan ke dua puluh enam, Pradnya Paramita, Jakarta.

Abdul Kadir Muhammad, 1986, “Hukum Perjanjian”, Alumni, Bandung.

https://www.dppferari.org/pengertian-bentuk-penyebab-dan-hukum-wanprestasi/

Anda mungkin juga menyukai