Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH HUKUM BISNIS EKONOMI

TINJAUAN YURIDIS PEMBIAYAAN KONSUMEN KENDARAAN BERMOTOR

Disusun oleh

1. Siti Hidayah
2. Sigit F
3. Ayu Sekarini

November 2022
DAFTAR ISI

A. LATAR BELAKANG ............................................................................ 2

B. PERUMUSAN MASALAH ................................................................... 4

C. PEMBAHASAN ..................................................................................... 5

1. Pengertian Perjanjian ..................................................................... 5

2. Syarat Sahnya Perjanjian ................................................................ 7

3. Asas-asas Hukum Perjanjian .......................................................... 9

4. Macam-macam Perjanjian. ........................................................... 10

5. Akibat-akibat Perjanjian ............................................................... 11

6. Hapusnya Perjanjian..................................................................... 12

7. Tinjauan Umum Tentang Lembaga Pembiayaan Konsumen (Consumer


Finance) ....................................................................................... 14

8. Dasar Hukum Perjanjian Pembiayaan Konsumen (Consumer finance).


17

9. Kedudukan Para Pihak dalam Pembiayaan Konsumen (Consumer


Finance) ....................................................................................... 19

PENUTUP .................................................................................................. 21

A. SARAN ....................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 22

1
A. LATAR BELAKANG

Pembiayaan konsumen merupakan salah satu bentuk lembaga pembiayaan yang

memenuhi kebutuhan masyarakat, karena pembiayaan konsumen tidak mensyaratkan

penyerahan barang sebagai jaminan, tetapi hanya secara langsung melakukan

penjaminan titipan atas barang yang akan dibiayai, lebih fleksibel dibandingkan

dengan sistem pembiayaan lainnya. Sejak zaman penjajahan Belanda, Indonesia telah

menggunakan jaminan amanah sebagai bentuk jaminan yang bersumber dari ilmu

hukum. Lembaga penjaminan titipan mengizinkan wali amanat untuk menguasai

benda yang dijaminkan, menggunakan jaminan titipan untuk melakukan kegiatan

usaha pembiayaan pinjaman, atau tetap menguasai benda jaminan yang dititipkan.

Bentuk jaminan ini banyak digunakan dalam transaksi pinjam meminjam karena

proses loadingnya yang dianggap sederhana, mudah dan cepat, namun di sisi lain tidak

menjamin kepastian hukum. Hal ini disebabkan saat ini, banyak lembaga pembiayaan

(finance) dan bank (bank umum maupun perkreditan) menyelenggarakan

pembiayaan bagi konsumen (consumer finance), sewa guna usaha (leasing), anjak

piutang (factoring). Mereka umumnya menggunakan tata cara perjanjian yang

mengikutkan adanya jaminan.

Objek yang dijaminkan. Dalam praktiknya, sebuah lembaga keuangan

menyediakan barang bergerak (seperti sepeda motor atau mesin industri) yang diminta

oleh konsumen dan kemudian bertindak sebagai debitur (penerima kredit/pinjaman)

atas nama konsumen. Oleh karena itu, debitur tunduk kepada kreditur (kreditur) atas

dasar fidusia. Artinya debitur yang merupakan pemilik barang menjadi wali amanat

dan kreditur berada pada posisi wali amanat. Cara sederhana dari trust bond adalah

2
debitur/pihak yang memiliki barang menyerahkan pembiayaan kepada kreditur,

kemudian kedua belah pihak sepakat untuk menggunakan trust bond atas barang milik

debitur, diaktakan, dan dicatat dalam daftar trust. kreditur yang menjadi wali amanat

akan menerima sertifikat kepercayaan, dan memberikan salinannya kepada debitur.

Akibat hukum dari surat keterangan ini sama dengan putusan pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap.

Fakta di lapangan menunjukan, lembaga pembiayaan dalam melakukan

perjanjian pembiayaan mencantumkan kata-kata dijaminkan secara fidusia. Tetapi

ironisnya tidak dibuat dalam akta notaris dan tidak didaftarkan di Kantor

Pendaftaran Fidusia untuk mendapat sertifikat. Akta semacam itu dapat disebut akta

jaminan fidusia di bawah tangan. Sebenarnya akta di bawah tangan ini dapat

menimbulkan resiko bagi perusahaan pembiayaan, bisa saja perusahaan mengalami

kerugian.

Masalah lain yang sering timbul adalah konsumen menjual atau menggadaikan

motor yang belum lunas angsurannya kepada pihak lain tanpa sepengetahuan

perusahaan pembiayaan. Perlindungan para pihak dalam praktek perjanjian

pembiayaan konsumen hanya sebatas itikad baik dari para pihak dalam bentuk

perjanjian tertulis sebagai dokumen yang menjadi dasar kepastian hukum. Dalam hal

ini terdapat kemungkinan salah satu pihak dalam perjanjian tidak melakukan

prestasinya sesuai dengan perjanjian.

3
B. PERUMUSAN MASALAH

Sehubungan dengan urain dalam latar belakang tersebut di atas, maka dapat

dirumuskan permasalahan pokok yang menyangkut tinjauan yuridis pembiayaan

konsumen kendaraan bermotor sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pelaksanaan perjanjian kredit kendaraan bermotor pada

perusahaan pembiayaan konsumen ditinjau dari segi yuridis?

2. Apakah prinsip kesepakatan sukarela yang seimbang dapat ditegakkan jika

terjadi wanprestasi oleh salah satu pihak?

4
C. PEMBAHASAN

1. Pengertian Perjanjian

Pasal 1313 KUHPerdata mendefinisikan perjanjian sebagai berikut: “Perjanjian

adalah perbuatan satu orang atau lebih untuk mengikatkan diri kepada satu orang atau

lebih”. Mengenai pembatasan-pembatasan tersebut, para ahli hukum perdata

umumnya berpendapat bahwa pengertian atau pembatasan yang diatur dalam Pasal

1313 KUHPerdata tidak lengkap, atau bahkan terlalu luas, dan masih banyak

kekurangan. Kelemahan pasal 1313 KUHPerdata adalah sebagai berikut:

a. Hanya menyangkut sepihak saja.

Hal tersebut dapat dilihat dalam perumusan “satu orang atau lebih” kata

“mengikatkan” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari dua pihak.

Seharusnya dirumuskan “saling mengikatkan diri” jadi consensusantara pihak-

pihak.

b. Kata “perbuatan” mencakup tanpa consensus.

Pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa

kuasa, tindakan melawan hukum yang tidak mengandung consensus.

c. Pengertian perjanjian terlalu luas.

Pengertian perjanjian dalam Pasal tersebut terlalu luas karena mencakup

juga pelangsungan perkawinan, janji kawin juga diatur dalam lapangan hukum

keluarga.

d. Tanpa menyebut tujuan.

Dalam Pasal 1313 KUH Perdata tidak disebutkan tujuan mengadakan

perjanjian, sehingga pihak-pihak mengaitkan diri itu tidak jelas untuk apa

5
(Abdul Kadir Muhammad,1992:78)

Berdasarkan kelemahan-kelemahan tersebut di atas, maka kiranya perlu

diadakan perbaikan-perbaikan mengenai perjanjian tersebut. Pengertian perjanjian

akan lebih baik apabila “sebagai satu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”

(J Satrio 1982:322).

Para ahli hukum memberikan suatu pengertian perjanjian yang berbeda-beda.

Perjanjian adalah:”Suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling

mengikatkan diri untuk melaksanankan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”

(Abdul Kadir Muhammad,1992:78). Persetujuan ini merupakan arti yang pokok

dalam dunia usaha dan menjadi dasar dari kebanyakan transaksi dagang.

Sedangkan Subekti memberikan pengertian perjanjian adalah “suatu peristiwa

dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling

berjanjiuntuk melaksanakan suatu hal” (Subekti, 1991 : 1). Dari peristiwa itulah,

timbul hubungan antara dua orang tersebu yang dinamakan perikatan. Dalam

bentuknya perjanjian ini berupa rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji

atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis

Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua

pihak, berdasarkan yang mana pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak

yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan itu. Pihak

yang berhak menuntut sesuatu dinamakan kreditur sedangkan pihak yang

berkewajiban untuk memenuhi dinamakan debitur atau si berhutang.

6
2. Syarat Sahnya Perjanjian

Suatu perjanjian dianggap sah apabila mengikat kedua belah pihak dan

memenuhi syarat-syarat perjanjian yang tercantum dalam pasal 1320 KUH Perdata

yaitu :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri.

Sepakat mereka yang mengikatkan diri artinya pihak-pihak yang

mengikatkan perjanjian ini mempunyai persesuaian kehendak tentang hal-hal

pokok dari perjanjian yang diadakan. Kata sepakat ini lahir dari kehendak yang

bebas dari kedua belah pihak, mereka menghendaki secara timbal balik. Dengan

kata sepakat maka perjanjian tidak dapat ditarik secara sepihak saja namun atas

kehendak kedua belah pihak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa

sepakat yang dimaksud adalah perjanjian atau perikatan yang timbul atau lahir

sejaktercapainya kesepakatan, sebagaimana diatur dalam pasal 1321 KUH

Perdata yang memberikan pengertian bahwa perjanjian yang diadakan para

pihak itu tidak akan terjadi bilamana ada kekhilafan, paksaan atau penipuan

dalam kesesepakatan yang dilakukan.

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

Kecakapan untuk membuat suatu perikatan artinya orang yang membuat

perjanjian harus cakap menurut hukum. Menurut pasal 1329 KUH Perdata

“setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan jika ia oleh undang-undang

tidak dinyatakan cakap”, sedangkan orang-orang yang tidak termasuk cakap

hukum dalammembuat persetujuan diatur dalam pasal 1330 KUH Perdata yaitu:

1) Orang-orang yang belum dewasa

2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan

7
3) Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang

c. Suatu hal tertentu.

Yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu barang yang

jelas atau tertentu. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit

harus ditentukanjenisnya, jumlahnya walaupun tidak diharuskan oleh undang-

undang.

d. Suatu sebab yang halal (causa)

Kata ‘causa’ berasal dari bahasa latin artinya sebab. Sebab adalah suatu

yang menyebabkan orang membuat perjanjian. Tetapi yang dimaksud dengan

causa yang halal bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau mendorong

orang membuat perjanjian melainkan sebab dalam arti isi perjanjian itu sendiri

yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak yang

melakukan perjanjian.

Undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang

mengadakan perjanjian, namun yang diperhatikan atau yang diawasi oleh undang-

undang ialah isi perjanjian itu, yang menggambarkan tujuan yang hendak dicapai

oleh pihak-pihak, apakah dilarang undang-undang atau tidak.

Dari uraian tentang syarat-syarat sahnya perjanjian di atas maka syarat

tersebut dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu syarat subjektif dan syarat objektif.

Syarat subjektif terdapat dalam dua syarat pertama karena melekat pada diri orang

yang menjadi subjek perjanjian, apabila tidak terpenuhi maka perjanjian itu dapat

dibatalkan oleh salah satu pihak, sedangkan syarat objektif terdapat dalam dua

syarat yang terakhir, apabila syarat objektif tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut

batal demi hokum.

8
3. Asas-asas Hukum Perjanjian

a. Asas Kepribadian

Asas kepribadian ini dapat kita lihat dalam pasal 1315 KUH Perdata

yang berbunyi pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama

sendiriatau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri.

Maksud mengikatkan diri pada pasal 1315 KUH Perdata adalah diajukan pada

memikul kewajiban-kewajiban atau menyanggupi melakukan sesuatu,

sedangkan meminta ditetapkannya suatu janji ditujukan pada memperoleh hak-

hak atas sesuatu ataumengenai sesuatu.

b. Asas Konsensualitas

Arti asas konsensualitas pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang

timbul, karena itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok

dan tidak diperlukan suatu formalitas.(Subekti, 1982 : 15) Dari asas ini dapat

disimpulkan bahwa perjanjian itu cukup secara lisan saja, namun undang-

undang menetapkan bahwasannya suatu perjanjian diharuskan diadakan secara

tertulis tetapi yang demikian itu merupakan suatu pengecualian. Pada umumnya

perjanjian itu adalah sah dalam arti sudah mengikat. Apabila sudah tercapai

kesepakatan mengenai kesepakatan yang pokok dalam perjanjian.

Berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata atau suatu pengertian bahwa untuk

membuat suatu perjanjian harus ada kesepakatan antara pihak-pihak yang

membuat perjanjian.

Berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata menentukan suatu perjanjian tidak

dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena

alasan- alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

9
Para pihak yang membuat undang-undang itu telah mengikatkan dirinya

untuk memenuhi perjanjian yang dibuat secara sah adalah berlaku sebagai

undang-undang(Subekti, 1982 : 15).

c. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas ini berhubungan dengan isi perjanjian. Pada dasarnya setiap orang

bebas untuk mengadakan dan menentukan isi perjanjian.Asas kebebasan

berkontrak inilah yang memungkinkan lahirnya perjanjian-perjanjian baru yang

tidak terdapat dalam KUH Perdata dan dapat masuk dan berkembang di

Indonesia. Meskipun demikian tidak berarti bahwa terhadap perjanjian tersebut

tidak dapat diberlakukan KUHPerdata.

Hukum perjanjian itu menganut sistem terbuka hal ini tercantum dalam

pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat

secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka membuatnya

4. Macam-macam Perjanjian.

a. Perjanjian jual beli

Perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu

menyanggupi akan menyerahkan hak milik atas suatu barang, serdangkan pihak

lainnya menyanggupi akan membayar sejumlah uang sebagai harganya

(Subekti, 1985:161-162). Terjadinya perjanjian ini jika kedua belah pihak

mencapai persetujuan tentang barang dan harganya.

b. Perjanjian sewa menyewa.

Perjanjian sewa menyewa adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu

menyanggupi akan menyerahkan suatu benda untuk dipakai selama suatu jangka

waktu tertentu, sedangkan pihak lainnya menyanggupi akan membayar harga


10
yang telah ditetapkan untuk pemakaian itu pada waktu-waktu yang ditentukan

(Subekti, 1985:164). Tujuan dari perjanjian ini untuk memberikan hak

pemakaian saja, bukan hak milik atas suatu benda.

c. Pemberian atau hibah.

Pemberian ialah suatu perjanjian (obligatoir), dimana pihak yang satu

menyanggupi dengan cuma-cuma (Om Niet) dengan secara mutlak (onherroepelijk)

memberikan suatu benda pada pihak yang lainnya, pihak mana menerima

pemberian itu (Subekti, 1985:165). Perjanjian tersebut tidak dapat dicabut menurut

kehendak satu pihak saja.

d. Perjanjian perdamaian.

Perjanjian perdamaian adalah suatu perjanjian di mana dua pihak membuat

suatu perdamaian untuk menyingkiri atau mengakhiri suatu perkara, dalam

perjanjian mana masing-masing melepaskan sementara hak-hak atau tuntutannya

(Subekti, 1985:172). Perjanjian ini harus dibuat secara tertulis dan tidak boleh

secara lisan

5. Akibat-akibat Perjanjian

Akibat–akibat yang ditimbulkan karena adanya perjanjian diatur dalam pasal-

pasal KUH Perdata yaitu :

Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain

dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-

undang dinyatakan untuk itu dan perjanjian itu dilaksanakan dengan itikad baik.

Sesuai dengan pasal 1338 KUH Perdata.

11
Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas

dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat

perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Sesuai

dengan pasal 1339 KUH Perdata.

Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Suatu

perjanjian tidak dapat membawa rugi dan manfaat bagi pihak ketiga (selain dalam

hal yang diatur dalam pasal 1317 KUH Perdata). Sesuai pasal 1340 KUH Perdata.

Tiap orang yang berpiutang boleh mengajukan batalnya segala perbuatan

yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh orang yang berpiutang, asalkan dapat

dibuktikan. Sesuai dengan pasal 1341 KUH Perdata.

6. Hapusnya Perjanjian

a. Pembayaran.

Pembayaran ialah pelaksanaan atau pemenuhan tiap perjanjian secara suka

rela, artinya tidak dengan paksaan atau eksekusi (R.Subekti:152).pada dasarnya

hanya orang yang berkepentingan saja yang dapat melakukan pembayaran secara

sah.

b. Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan.

Suatu cara pembayaran untuk menolong si berhutang dalam hal si

berpiutang tidak suka menerima pembayaran.

c. Pembaharuan hutang.

Pembaharuan hutang adalah suatu pembuatan perjanjian baru yang

menghapuskan suatu perikatan lama, sambil meletakkan suatu perikatan baru

(R.Subekti:156). Dengan adanya suatu pembaharuan hutang, dianggap hutang

12
yang lama telah hapus.

d. Kompensasi atau perhitungan hutang timbal balik.

Jika seseorang yang berhutang, mempunyai suatu piutang pada si

berpiutang, sehingga dua orang itu sama-sama berhak untuk menagih piutang

satu kepada yang lainnya, maka hutang piutang antara kedua orang itu dapat

diperhitungkan untuk suatu jumlah yang sama (R. Subekti157). Menurut pasal

1462 KUHPerdata perhitungan itu terjadi dengan sendirinya. Artinya, tidak

perlu para pihak menuntut diadakannya perhitungan itu.

e. Percampuran hutang.

Percampuran hutang terjadi misalnya, jika siberhutang kawin dalam

percampuran kekayaan dengan si berpiutang atau jika si berhutang

menggantikan hak-hak peminjam karena menjadi warisnya ataupun sebaliknya

(R. Subekti158)

f. Pembebasan hutang.

Pembebasan hutang ialah suatu perjanjian baru dimana si berpiutang

dengan sukarela membebaskan si berhutang dari segala kewajibannya (R.

Subekti159).

g. Hapusnya barang yang dimaksudkan dalam perjanjian.

Menurut pasal 1444 KUHPerdata, jika suatu barang tertentu yang

dimaksudkan dalam perjanjian hapus atau karena suatu larangan yang dikeluarkan

oleh pemerintah, tidak boleh diperdagangkan atau hilang hingga tidak terang

keadaannya, maka perikatan menjadi hapus, asal saja hapus atau hilangnya barang

itu sama sekali diluar kesalahan si berhutang dan sebelumnya ia lalai

menyerahkannya.

13
h. Pembatalan perjanjian.

Perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh orang-orang yang menurut undang-

undang tidak cakap untuk bertindak sendiri, begitu pula yang dibuat karena

paksaan, kekhilafan atau penipuan ataupun mempunyai sebab yang bertentangan

dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum, dapat dibatalkan.

Pada umumnya pembatalan ini berakibat bahwa keadaan antara kedua belah

pihak dikembalikan seperti pada waktu perjanjian belum dibuat.

7. Tinjauan Umum Tentang Lembaga Pembiayaan Konsumen (Consumer

Finance)

a. Pengertian Pembiayaan Konsumen.

Kegiatan pembiayaan konsumen mulai diperkenalkan dalam usaha

perusahaan pembiayaan dimulai pada waktu dikeluarkannya keputusan Presiden

No. 61 Tahun 1988 Tentang Lembaga Pembiayaan yang diikuti dengan Surat

Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.1251/KMK.013/1988

Tentang Ketentuan DanTata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan, terakhir

diubah, dengan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia

No.448/KMK.017/2000 Tentang Perusahaan Pembiayaan.

Pembiayaan konsumen merupakan salah satu model pembiyaan yang

dilakukan oleh perusahaan finansial, disamping kegiatan seperti leasing,

factoring, kartu kredit dan sebagainya. Target pasar dari model pembiayaan

konsumen ini sedah jelas yaitu konsumen.suatu istilah yang dipakai sebagai

lawan produsen.

14
Disamping itu besarnya biaya yang diberikan per konsumen relatif kecil

mengingat barang yang dibidik untuk dibiayai secara pembiayaan konsumen

adalah barang- barang keperluan yang akan dipakai oleh konsumen untuk

keperluan hidupnya, misalnya barang-barang keperluan rumah tangga seperti

televisi, lemari es, mobil dan sebagainya. Karena itu, risiko dari pembiayaan ini

juga menyebar, berhubung akan terlibat banyak konsumen dengan pemberian

biaya yang relatif kecil, ini lebih aman bagi pihak pemberi biaya.

Pranata hukum pembiayaan konsumen dipakai sebagai terjemahan dari

istilah Consumer finance. Pembiayaan konsumen ini tidak lain dari sejenis kredit

konsumsi (consumer credit), hanya saja jika pembiayaan konsumen dilakukan

olehperusahaan pembiayaan, sementara kredit konsumsi diberikan oleh bank.

Namun demikian pengertian kredit konsumsi secara substantif sama saja dengan

pembiayaan konsumen.

Menurut A. Abdurahman dalam buku Munir Fuady ( 2000:162): “Kredit

konsumsi adalah kredit yang diberikan kepada konsumen-konsumen guna

pembelian barang-barang konsumsi dan jasa-jasa seperti yang dibedakan dari

pinjaman-pinjaman yang digunakan untuk tujuan-tujuan produktif atau dagang.

Kredit yang demikian itu dapat mengandung risiko yang lebih besar daripada

kredit dagang biasa, maka dari itu biasanya kredit itu diberikan dengan tingkat

bunga yang lebih tinggi”.

Definisi pembiayaan konsumen (consumer finance) berdasarkan Surat

Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.448/KMK.017/2000

Tentang Perusahaan Pembiayaan, pembiayaan konsumen (consumer

finance) adalah “kegiatan yang dilakukan dalam bentuk dana bagi konsumen

15
untuk pembelian barang yang pembayarannya dilakukan secara angsuran atau

berkala oleh konsumen”. Berdasarkan definisi tersebut, terdapat beberapa hal

yang perlu digaris bawahi dan merupakan dasar dari kegiatan pembiayaan

konsumen, yaitu;

1) Pembiayaan konsumen dalah merupakan salah satu alternatif

pembiayaan yang dapat diberikan kepada konsumen.

2) Obyek pembiayaan usaha jasa pembiayaan konsumen adalah

barang kebutuhankonsumen, biasanya kendaraan bermotor, alat

kebutuhan rumah tangga, komputer, barang-barang elektronika,

dan lain sebagainya.

3) Sistim pembayaran angsuran dilakukan secara berkala, biasanya

dilakukan secara bulanan dan ditagih langsung kepada

konsumen.

4) Jangka waktu pengembalian, bersifat fleksibel tidak terikat

dengan ketentuan seperti financial lease.

Berdasarkan pengertian di atas, kegiatan pembiayaan konsumen hampir

sama dengan sewa guna usaha dengan hak opsi (financial lease), namun ada

beberapa hal yang membedakan keduanya yaitu:

1) Kepemilikan barang atau objek pembiayan yang dilakukan berbeda, dalam

transaksi sewa guna usaha (leasing) berada pada lessor sedangkan pada

pembiayaan konsumen berada pada konsumen yang kemudian diserahkan

secara fidusia kepada perusahaan pembiayaan.

2) Tidak ada batasan jangka waktu pembiayaan, seperti dalam financial lease

jangka waktu pembiayaan diatur sesuai dengan obyek barang modal yang

16
dibiayai oleh lessor.

3) Pembiayaan konsumen tidak membatasi pembiayaan kepada calon konsumen

yang telah mempunyai NPWP, mempunyai kegiatan usaha dan atau

pekerjaan bebas, seperti ketentuan sewa guna usaha (leasing).

4) Perlakuan perpajakan antara transaksi sewa guna usaha (leasing) dan

transaksi pembiayaan konsumen, berbeda baik dari sisi perusahaan

pembiayaan maupun dari sisi konsumen.

5) Kegiatan sales anda lease back dimungkinkan dalam transaksi sewa guna

usaha(leasing), sedangkan dalam transaksi pembiayaan konsumen ketentuan

ini belum diatur.

Kinerja aktivitas pembiayaan konsumen sehari-hari mirip dengan aktivitas

penjamin keuangan untuk individu, sehingga dalam praktiknya, produk

pembiayaan konsumen digunakan sebagai pengganti aktivitas tersebut.

Sedangkan transaksi pembiayaan konsumen biasanya dilakukan oleh

perusahaan pembiayaan, seperti sewa pembiayaan, dimana debitur yang belum

pernah memiliki barang konsumsi menjadi subjek pembiayaan konsumen.

8. Dasar Hukum Perjanjian Pembiayaan Konsumen (Consumerfinance).

Dasar hukum dari pembiayaan konsumen di Indonesia dapat dibedakan

menjadi dua yaitu;

a. Dasar Hukum Substantif

Perjanjian pembiayaan konsumen (Consumer Finance) tidak diatur dalam

KUH Perdata, sehingga merupakan perjanjian tidak bernama. Dalam pasal 1338

KUH Perdata disebutkan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah,

berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Sebenarnya

17
yangdimaksud dalam pasal ini adalah

Suatu perjanjian yang dibuat secara sah artinya tidak bertentangan dengan

undang-undang mengikat kedua belah pihak. Perjanjian itu pada umumnya tidak

dapat ditarik kembali kecuali dengan persetujuan tertentu dari kedua belah pihak

atau berdasarkan alasan yang telah ditetapkan oleh Undang-undang.

Ada keleluasaan dari pihak yang berkepentingan untuk memberlakukan

hukum perjanjian yang termuat dalam buku III KUH Perdata tersebut, yang juga

sebagai hukum pelengkap ditambah pula dengan asas kebebasan berkontrak

tersebut memungkinkan para pihak dalam prakteknya untuk mengadakan

perjanjian yang sama sekali tidak terdapat di dalam KUH Perdata maupun

KUHD, dengan demikian oleh Undang-undang diperbolehkan untuk membuat

perjanjian yang harus dapat berlaku bagi para pihak yang membuatnya. Apabila

dalam perjanjian terdapat hal-hal yang tidak ditentukan, hal-hal tunduk pada

ketentuan Undang-undangan.

Menurut Pasal 1319 KUH Perdata, semua perjanjian, baik yang secara

khusus bernama maupun yang tidak diketahui, tentu saja tunduk pada ketentuan

umum bab ini dan bab terakhir.

Berdasarkan ketentuan tersebut, Kontrak Pembiayaan Konsumen jelas

terikat dengan Asas Umum Undang-Undang Kontrak Buku III KUHPerdata,

sehingga dalam hal terjadi perselisihan antara kedua belah pihak, ketentuan

Akun ini dapat dijadikan pedoman. . pekerjaan. Dasar hukum administrasi

b. Dasar hukum administratif pembiayaan konsumen, yaitu;

1) Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 61 Tahun 1988 Tentang

18
Lembaga Pembiayaan

2) Surat keputusan mentri republik indonesia No.1251/KMK.013/1988 Tentang

Ketentuan Dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan, yang

diperbaharui dengan,

3) Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia

No.448/KMK.017/2000 Tentang Perusahaan Pembiayaan.

9. Kedudukan Para Pihak dalam Pembiayaan Konsumen (Consumer

Finance)

Para pihak yang terkait dalam suatu transaksi pembiayaan

konsumen yaitu;

a. Pihak perusahaan pembiayaan (kreditur) adalah perusahaan pembiayaan

konsumen atau perusahaan yang telah mendapatkan izin usaha dari Menteri

Keuangan.

b. Pihak konsumen (debitur) adalah perorangan atau individu yang mendapatkan

fasilitas pembiayaan konsumen dari kreditur.

c. Pihak supplier/dealer/developer adalah perusahaan atau pihak-pihak yang

menjual atau menyediakan barang kebutuhan konsumen dalam rangka

pembiayaan konsumen (Budi Rachmat,2002:138).

19
Para pihak dalam pembiayaan konsumen mempunyai hubungan yang

dapat dilihat pada tabel sebagaimana tersebut dibawah ini :

20
PENUTUP

A. SARAN

1. Perlu dilakukan kordinasi yang baik dan benar kepada pihak konsumen terkait Hukum

perjanjian kontrak untuk menghindari terjadinya Wanprestasi didalam proses perjanjian

kontrak yang akan mengakibatkan kerugian pada salah satu pihak.

2. Didalam proses pembuatan perjanjian pembiayaan antara pihak perusahaan dengan

konsumen perlu diadakan evaluasi terkait dalam hal ini mengenai asas konsesual yaitu

pembuatan perjanjian secata sepihak karna adanya kedududukan posisi yang kuat dari

pihak perusahaan.

21
DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Az, 1999, Hukum Perlindungan Konsumen, Daya Widya, Jakarta.

Moleong, Lexy, 2000. Metodologi Penelitian Kuantitatif, Bandung: Remaja

Rosdakarya

Purwahit, Patrick, 1986 Asas Itikat Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian, Semarang:Balai

Penerbit UNDIP.

Soekadi, Edi. P.1986. Mekanisme Leasing. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung

Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung

--------. 2005 Pokok-pokok Hukum Pedata. Jakarta : Intermasa.

Subekti, R dan R Tjitrosudibio,1999, Kitab Undang-undang Hukum Perdata,Jakarta

Fuady, Munir, 2002, Hukum Tentang Pembiayaan Dalam Teori dan Praktek, Bandung: PT Citra

Aditya Bakti

22

Anda mungkin juga menyukai