PERJANJIAN/KONTRAK
HAM: 16 0007
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmaanirrohiim.
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat
kesempurnaan nikmat dan karuniaNYA penyusun dapat menyelesaikan makalah
ini dengan sebaik-baiknya. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada
Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya, para sahabatnya dan para
pengikutnya hingga akhir zaman. Aamiin.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
…………………………………………………………………………………………. i
DAFTAR ISI ……………………………………………………………….
…………………………………… ii
BAB I PENDAHULUAN
…………………………………………………………………………………… 1
A. Latar Belakang ……………………………………………….. …..
…………………………………. 1
B. Permasalahan …………………………………………………. ……
…………………………………. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………
………………………………………. 3
I. Tinjauan Umum Perjanjian ………………………………
……………………………………….. 3
A. Pengertian Perjanjian ………………………………. …………………………………………
3
B. Unsur – Unsur Perjanjian …………………………………………………………………….. 4
C. Asas – Asas Perjanjian …………………………………………………………………………
D. Prinsip -Prinsip Dasar Kontrak dan Karakteristik Kontrak …………………… 6
E. Syarat Sah Perjanjian …………………………………………………………………………..
BAB III KESIMPULAN
……………………………………………………………………………………. 29
DAFTAR PUSTAKA
………………………………………………………………………………………………….. iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum Perdata merupakan sekumpulan aturan yang memuat ketentuan bagaimana seseorang
bertingkah laku baik di keluarga maupun di masyarakat sekitar. Salah satu aspek dari hukum
perdata yang dapat mengatur tingkah laku manusia adalah perjanjian dan pada suatu perjanjian
tentu diberlakukan asas pact sunt servanda. Artinya, perjanjian yang lahir akan mengikat para
pihak layaknya suatu undang-undang baik perjanjian yang berasal dari kesepakatan bersama
maupun yang berasal dari kesepakatan salah satu pihak dalam perjanjian (perjanjian standar).
Perjanjian atau persetujuan yang termuat pada Buku III Bab II pasal 1313-pasal 1352
KUHPerdata merupakan hal yang sangat sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari baik di
pasar, di sekolah, bahkan di dunia pekerjaan.
Menurut sejarah, Perjanjian Standar (Baku) sebenarnya sudah dikenal sejak zaman yunani kuno
(423-347 SM), Revolusi Industri yang terjadi di awal abad ke-19 telah menyebabkan munculnya
perjanjian atau kontrak baku. Awalnya, timbulnya produksi massal dari pabrik-pabrik dan
perusahaan-perusahaan tidak menimbulkan perubahan apa-apa. Tetapi ”standardisasi” dari
produksi ternyata membawa desakan yang kuat untuk pembakuan dari perjanjian-perjanjian.
Hampir 99 persen perjanjian yang di buat di Amerika serikat berbentuk perjanjian standar begitu
juga di Indonesia perjanjian standar bahkan merambah ke sektor properti dengan cara-cara yang
secara yuridis masih kontroversional misalnya, di perbolekan membeli satuan rumah susun
secara inden dalam bentuk perjanjian standar.
Dewasa ini, perkembangan dunia bisnis semakin meningkat termasuk di dalam maupun di luar
negeri. Dengan perkembangan demikian, pengusaha-pengusaha tentu memiliki cara tersendiri
untuk mengembangkan bisnis yang dikelola dengan baik. Di Indonesia sendiri, dengan
berkembangnya dunia bisnis berdampak pula pada peningkatan ekonomi dan stabilitas negara
sehingga kelak dapat menciptakan lapangan kerja dan kesejahteraan rakyat. Peningkatan usaha
saat ini menimbulkan akibat meningkatnya perjanjian dengan syarat-syarat yang telah ditentukan
terlebih dahulu bahkan sebelum perjanjian disepakati oleh pengusaha. Untuk mengatur syarat-
syarat tersebut, pihak pengusahalah yang secara sepihak berperan aktif. Hal ini karena pengusaha
berada pada posisi lebih superior daripada konsumen ataupun perjanjian standar ini sering
digunakan antara golongan ekonomi kuat dengan ekonomi lemah.
Adanya syarat-syarat (klausul) sepihak tersebut tentunya menguntungkan pengusaha ataupun
pihak lebih tinggi kedudukannya dibandingkan pihak lain dalam perjanjian. Akan tetapi bagi
konsumen, justru merupakan pilihan yang tidak menguntungkan karena hanya dihadapkan pada
suatu pilihan, yaitu, menerima walaupun dengan berat hati. Perjanjian standar diterima oleh para
pengusaha umumnya dan dijadikan model perjanjian tidak hanya di negara-negara maju,
melainkan juga di negara-negara berkembang sebagai dasar prinsip ekonomi, yaitu, dengan
usaha sedikit mungkin, dalam waktu sesingkat mungkin, dengan biaya seringan mungkin,
dengan cara sepraktis mungkin, memperoleh keuntungan sebesar mungkin.
Dalam hubungan hukum sesama pengusaha, perjanjian standar hampir tidak menimbulkan
masalah apapun karena mereka berpegang pada prinsip ekonomi yang sama dan menerapkan
sistem bersaing secara sehat dalam melayani konsumen. Namun, yang sering menjadi masalah
dengan adanya perjanjian standar ini yaitu kemampuan konsumen untuk memenuhi syarat-syarat
yang dibuat oleh pengusaha tidak selalu sama. Misalnya, banyak tempat jual beli barang kredit
menetapkan harga cicilan per bulan dengan bunga yang cukup tinggi sehingga memberatkan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam suatu perjanjian nterdapat pokok perjanjian yang merupakan unsure pembentuk
perjanjian. Perjanjian mempunyai 3 unsur yaitu :
1. Unsur Essentialia, adalah unsur yang mutlak harus ada di dalam suatu perjanjian. Tanpa
adanya unsur tersebut, perjanjian tidak mungkin ada.
2. Unsur Naturalia, adalah unsur yang lazimnya melekat pada perjanjian, yaitu unsur yang tanpa
diperjanjikan khusus dalam perjanjian secara diam-diam pun telah melekat pada perjanjian.
Misalnya penjual harus menjamin pembeli terhadap cacat-cacat tersembunyi.
3. Unsur Accidentalia, adalah unsur yang harus tegas dinyatakan dalam perjanjian. Jika
keberadaan unsur accidentalia ini tidak ditegaskan maka klausula dari unsur accidentalia tidak
tercantum dengan sendirinya dalam perjanjian.
3. Asas Pacta Sunt Servanda, berkaitan dengan akibat hukum yang ditimbulkan dari suatu
perjanjian. Selain itu, asas ini juga dikenal sebagai asas kepastian hukum. Asas ini berarti bahwa
para pihak yang terkait dalam perjanjian terikat oleh kesepakatan yang telah dibuat seperti
layaknya Undang-Undang.
Prof. Soedikno Mertokusumo mengemukakan bahwa sudah selayaknya suatu yang telah
disepakati oleh kedua belah pihak dipatuhi oleh kedua belah pihak. Apabila salah satu pihak
dalam perjanjian tidak melaksanakan prestasi, maka pihak lain dalam perjanjian berhak untuk
memaksakan pemenuhannya melalui jalur litigasi yang berlaku.
4. Asas Itikad Baik (good trouw), berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian. Itikad baik dalam hal
ini memiliki dua pengertian, yaitu :
• Itikad baik dalam arti subjektif, diartikan sebagai kejujuran seorang dalam melakukan suatu
perbuatan hukum. Ini merupakan sikap batin seseorang sejak dimulai atau pada awal perjanjian.
• Itikad baik dalam arti objektif
Dapat diartikan bahwa pelaksaan perjanjian haruslah dilaksanakan sedemikian rupa sehingga
tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
5. Asas Kepribadian, terdapat dalam pasal 1315 KUHPerdata yang menyatkan bahwa “pada
umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta diterapkannya
suatu janji daripada untuk dirinya sendiri.” Ketentuan tersebut dipertegas pula dengan pasal 1340
ayat (1) KUHperdata yang berbunyi “suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang
membuatnya.”
Namun terdapat pengecualian terhadap asas kepribadian ini, yaitu sebagimana diatur dalam pasal
1317 KUHPerdata dan diperluas dalam pasal 1318 KUHPerdata. Pasal 1317 KIUHPerdata
menyebutkan bahw aperjanjian yang memuat suatu hak atau kepentingan pihak ketiga tidak
dapat ditarik kembali, apabila pihak ketiga tersebut menyatakan kehendaknya untuk
mempergunakannya. Sedangkan pasal 1318 KUHPerdata dimaksudkan bahwa suatu perjanjian
dapat dianggap perjanjian juga untuk para ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak
daripadanya, kecuali ditetapkan lain secara tegas atas kesimpulan dari sifat perjanjian. Hal ini
berlaku untuk perjanjian yang jangka waktunya lama.
Karakteristik Kontrak
Ciri khas atau karakteristik yang paling penting dari suatu kontrak adalah adanya kesepakatan
bersama (mutual consent) para pihak. Kesepakatan bersama ini bukan hanya merupakan
karakteristik dalam pembuatan kontrak, tetapi hal itu penting sebagai suatu niat yang
diungkapkan kepada pihak lain. Di samping itu, sangat mungkin untuk suatu kontrak yang sah
dibuat tanpa adanya kesepakatan bersama.
KESIMPULAN
Berdasarkan pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah “suatu perbuatan yang mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Perbuatan tersebut
menimbulkan adanya hubungan hukum perikatan, sehingga dapat dikatakan bahwa perjanjian
merupakan sumber timbulnya perikatan.
Dalam praktek bisnis orang banyak menggunakan kontrak (perjanjian yang dibuat secara tertulis)
agar dasar perikatannya jelas dan terarah, sehingga hukum perikatannya lebih jelas. Bentuk
perjanjian yang banyak digunakan di Indonesia adalah perjanjian standar atau kontrak baku,
yang mana pada umumnya, faktor pendorong berkembangnya antara lain:
1. Kemajuan teknologi.
2. Meningkatnya hubungan kerjasama antar perusahaan maupun individu.
3. Kebutuhan akan sesuatu yang harus segera dipenuhi dengan proses yang cepat.
4. Persamaan atau pengulangan perjanjian dari satu pihak ke pihak lain, yang kemudian untuk
memudahkannya, perjanjian tersebut dibuat dalam bentuk baku.
Dalam hal pembuatan perjanjian standar, asas kebebasan berkontrak masih ada namun
pelaksanaannya masih sangat kurang atau tidak dapat dilaksanakan dengan menyeluruh seperti
pada perjanjian pada umumnya. Dalam hal ini ada beberapa ketentuan dalam asas kebebasan
berkontrak yang disimpangkan. Namun hal itu bukan berarti perjanjian yang dibuat menjadi
batal. Adapun ketentuan asas kebebasan berkontrak yang disimpangi tersebut adalah:
1. Kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian. Dalam hal ini bentuk perjanjian standar
haruslah tertulis, para pihak tidak boleh menentukan perjanjian standar dalam bentuk lisan.
Dengan kata lain, bentuk perjanjian standar itu sendiri telah ditentukan. Padahal asas kebebasan
berkontrak memberikan peluang bagi para pihak untuk menentukan bentuk perjanjian.
2. Kebebasan untuk menentukan isi perjanjian. Pada umumnya perjanjian standar telah
ditentukan oleh salah satu pihak. Sehingga pihak yang satu tidak bisa ikut serta dalam
menentukan isi perjanjian. Hal ini juga menegaskan bahwa isi perjanjian dalam perjanjian
standar telah ditentukan oleh salah satu pihak saja. Padahal asas kebebasan berkontrak
memberikan peluang bagi para pihak untuk menentukan isi perjanjian.
3. Kebebasan untuk menentukan cara pembuatan perjanjian. Dalam hal ini, cara pembuatan
perjanjian juga tidak dapat ditentukan oleh para pihak. Biasanya, perjanjian ini akan lahir ketika
salah satu pihak menerima dan membubuhkan tanda tangan dalam akta atu formulir perjanjian
standar. Padahal asas kebebasan berkontrak memberikan peluang bagi para pihak untuk
menentukan cara pembuatan perjanjian.
Dalam perjanjian standar, asas kebebasan berkontrak yang dapat diwujudkan antara lain:
1. Kebebasan untuk memutuskan apakah ia akan membuat perjanjian atau tidak. Dalam hal ini,
pihak yang akan membuat perjanjian masih memiliki kebebasan untuk memutuskan membuat
suatu perjanjian atau tidak.
2. Kebebasan untuk memilih dengan siapa akan membuat suatu perjanjian. Ketentuan ini
memberikan pilihan pihak-pihak dengan siapa dia akan membuat perjanjian. Dengan kata lain,
jika salah satu pihak telah setuju untuk membuat suatu perjanjian dengan pihak yang telah
merumuskan ketentuan dalam perjanjian standar, maka pihak tersebut dianggap telah setuju
untuk membuat perjanjian dengan pihak yang merumuskan perjanjian standar tersebut.
DAFTAR PUSTAKA