Anda di halaman 1dari 33

ASPEK HUKUM DALAM BISNIS

HUKUM PERJANJIAN & KONTRAK

HUKUM BISNIS

Dosen pembimbing : H.M. CHAIRUL IDRAH, SH.MM.MH

Disusun Oleh: HELMI PRIMA

MAGISTER MANAJEMEN
UNIVERSITAS BATANGHARI JAMBI
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kita berbagai macam
nikmat, sehingga aktifitas hidup yang kita jalani ini akan selalu membawa keberkahan,
baik kehidupan di alam dunia ini, lebih-lebih lagi pada kehidupan akhirat kelak, sehingga
semua cita-cita serta harapan yang ingin kita capai menjadi lebih mudah dan penuh
manfaat.

Terima kasih sebelum dan sesudahnya kami ucapkan kepada Dosen serta teman-teman
sekalian yang telah membantu, baik bantuan berupa moriil maupun materil, sehingga
makalah ini terselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan. Kami menyadari sekali,
didalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan serta banyak kekurangan-
kekurangnya, baik dari segi tata bahasa maupun dalam hal pengkonsolidasian kepada
dosen serta teman-teman sekalian, yang kadang kala hanya menturuti egoisme pribadi,
untuk itu besar harapan kami jika ada kritik dan saran yang membangun untuk lebih
menyempurnakan makalah-makalah kami dilain waktu.

Harapan yang paling besar dari penyusunan makalah ini ialah, mudah-mudahan apa yang
kami susun ini penuh manfaat, baik untuk pribadi, teman-teman, serta orang lain yang
ingin mengambil atau menyempurnakan lagi atau mengambil hikmah dari judul ini
ASPEK HUKUM DALAM BISNIS sebagai tambahan dalam menambah referensi yang
telah

Jambi 10 April 2017


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... 2
DAFTAR ISI......................................3

BAB I : PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang4
I.2 Identifikasi Masalah...5
I.3 Perumusan Masalah6

BAB II : PEMBAHASAN
II.1 Pengertian hukum perjanjian & kontrak...7
II.2 Dasar-dasar hukum perjanjian & kontrak....10
II.3 Sistem pengaturan hukum perjanjian & kontrak.....15
II.4 Karakteristik hukum perjanjian & kontrak..17
II.5 Asas-asas hukum perjanjian & kontrak20
II.6 Teknik perancangan perjanjian.22

BAB III : KESIMPULAN...29

BAB IV : PENUTUP..31
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG
Sebagai mahluk sosial manusia selalu berhubungan dengan manusia lainnya. Interaksi
yang terjalin dalam komunikasi tersebut tidak hanya berdimensi kemanusiaan dan sosial
budaya, namun juga menyangkut aspek hukum, termasuk perdata. Naluri untuk
mempertahankan diri, keluarga dan kepentingannya membuat manusia berfikir untuk
mengatur hubungan usaha bisnis mereka ke dalam sebuah perjanjian
Salah satu bidang hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut
pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Maka hukum
perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti
misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta
benda, perjanjian, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.
Hukum Perdata adalah hukum antar perorangan yang mengatur hak dan kewajiban
perorangan yang satu terhadap yang lain di dalam hubungan keluarga dan di dalam
pergaulan masyarakat. Pelaksanaannya diserahkan kepada masing-masing pihak.Perkataan
Hukum Perdata dalam arti yang luas meliputi semua hukum privat materiil, yaitu segala
hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan. Keberadaan hukum
perdata yang mengatur hubungan sesama manusia atau masyarakat merupakan warisan
peninggalan politik Pemerintah Hindia Belanda. Pedoman politik bagi Pemerintah Hindia
Belanda terhadap hukum di Indonesia dituliskan dalam pasal 131 Indische staatsregeling,
yang dalam pokoknya sebagai berikut:
Pemerintah Hindia Belanda melakukan modifikasi atas hukum perdata dengan
memuat sekumpulan peraturan perundang-undangan dalam suatu kitab yang bernama
Burgerlijk Wetboek yang sekarang dikenal dengan istilah Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, selanjutnya disebut KUHPer. Kitab hasil peninggalan warisan pemerintah Hindia
Belanda ini hingga kini masih berlaku sebagai pedoman hukum materil. Adapun
sistematika yang dipakai oleh KUHPer yang terdiri atas empat buku ini adalah sebagai
berikut:
a) Buku I yang bertitel Perihal Orang, memuat hukum tentang diri seseorang dan
Hukum Keluarga.
b) Buku II yang bertitel Perihal Benda, memuat hukum perbendaan serta Hukum
Waris.
c) Buku III yang bertitel Perihal Perikatan, memuat hukum kekayaan yang mengenai
hak-hak dan kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak-pihak tertentu.
d) Buku IV yang bertitel perihal pembuktian dan Lewat Waktu (Daluarsa), memuat
perihal alat-alat pembuktian dan akibat lewat terhadap hubungan-hubungan hukum.

I.2 IDENTIFIKASI MASALAH


Dari latar belakang tersebut, Penulis akan membatasi pokok bahasan makalah ini. Kami
membatasi masalah menjadi :
1. Pengertian hukum dan perjanjian kontrak
2. Aturan Mengenai dasar-dasar hukum prtjanjian kontrak
3. karakteristik hukum perjanjian &kontrak

I.3 PERUMUSAN MASALAH


-Apakah yang dimaksud dengan hukum perjanjian & kontrak?
-Apa saja yang menjadi dasar hukum perjanjian & kontrak?
-Apa saja asas-asas yang terdapat dalam hukum perjanjian & kontrak?
-Apa saja penyebab batalnya perjanjian/kontrak?

1.4 TUJUAN PENULISAN


1. Untuk mengetahui apa dasar-dasar hukum dan perjanjian kontrak
2. Untuk mengetahui sistem pengaturan hukum dan perjanjian kontrak
3. Untuk mengetahui Asas-asas hukum perjanjian kontrak
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Pengertian Hukum Perjanjian & Kontrak
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lainnya atau
dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Kontrak atau contracts
(dalam bahasa Inggris) dan overeenskomst (dalam Bahasa Belanda) dalam pengertian yang
lebih luas kontrak sering dinamakan juga dengan istilah perjanjian.
Istilah kontrak atau perjanjian dalam sistem hukum nasional memiliki pengertian yang
sama, seperti halnya di Belanda tidak dibedakan antara pengertian contract dan
overeenkomst. Kontrak adalah suatu perjanjian (tertulis) antara dua atau lebih orang
(pihak) yang menciptakan hak dan kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan hal
tertentu.
A. Definisi perjanjian/ kontrak menurut para ahli
1. Menurut UU KUH Perdata dalam Buku 2 bab 1 tentang Perikatan pasal 1313,
menyebutkan Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih
mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih[[1]]
2. Setiawan menilai bahwa rumusan Pasal 1313 BW tersebut selain tidak lengkap juga
terlalu luas. Dinilai tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja.
Disebut sangat luas karena kata perbuatan mencakup juga perwakilan sukarela dan
perbuatan melawan hukum. Karenanya, Setiawan mengusulkan perumusannya menjadi
perjanjian adalah perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih[[2]]
3. Dalam KBBI[[3]] kontrak adalah
a. perjanjian (secara tertulis) antara dua pihak dalam perdagangan, sewa-menyewa, dsb
b. persetujuan yang bersanksi hukum antara dua pihak atau lebih untuk melakukan atau
tidak melakukan kegiatan.
c. mengikat dengan perjanjian (tentang mempekerjakan orang dsb).
d. Menyewa
4. Polak[[4]] menganggap bahwa suatu persetujuan tidak lain adalah suatu perjanjian
(afspraak) yang mengakibatkan hak dan kewajiban.
Perikatan dan perjanjian adalah suatu hal yang berbeda. Perikatan dapat lahir dari suatu
perjanjian dan Undang-undang. Suatu perjanjian yang dibuat dapat menyebabkan lahirnya
perikatan bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut.
Sebagai bahan perbandingan untuk membantu memahami perbedaan dua istilah tersebut,
perlu dikutip pendapat Prof Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian mengenai
perbedaan pengertian dari perikatan dengan perjanjian. Beliau memberikan definisi dari
perikatan sebagai berikut
Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak,
berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain, dan pihak
yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
Sedangkan perjanjian didefinisikan sebagai berikut:
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain
atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.

Hakekat antara perikatan dan perjanjian pada dasarnya sama, yaitu merupakan hubungan
hukum antara pihak-pihak yang diikat didalamnya, namun pengertian perikatan lebih luas
dari perjanjian, sebab hubungan hukum yang ada dalam perikatan munculnya tidak hanya
dari perjanjian tetapi juga dari aturan perundang-undangan

II.2 Pengaturan Hukum Perjanjian/Kontrak


Hukum kontrak diatur dalam Buku III KUH Perdata, yang terdiri dari 18 bab dan 631
pasal. Dimulai dari Pasal 1233 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1864 KUH Perdata.
Secara lebih terperinci[[5]]
1) Perikatan pada umumnya (Pasal 1233 1312)
2) Perikatan yang dilahirkan dari perjanjian (Pasal 1313 1351).
3) Hapusnya perikatan (Pasal 1381 1456).
4) Jual beli ( Pasal 1457 1540).
5) Tukar menukar (Pasal 1541 1546).
6) Sewa Menyewa ( Pasal 1548 1600).
7) Persetujuan untuk melakukan pekerjaan(Pasal 1601 1617).
8) Persekutuan ( Pasal 1618 1652).
9) Badan Hukum (Pasal 1653 1665).
10) Hibah (Pasal 1666 1693).
11) Penitipan barang ( Pasal 1694 1739).
12) Pinjam pakai (Pasal 1740 1753).
13) Pinjam-meminjam (Pasal 1754 1769).
14) Bunga tetap atau abadi (Pasal 1770 1773)
15) Perjanjian untung-untungan (Pasal 1774 1791).
16) Pemberian Kuasa (Pasal 1792 1819).
17) Penanggung utang (Pasal 1820 1850).
18) Perdamaian (Pasal 1851 1864 KUHPerdata) .

II.3 Unsur-Unsur Kontrak


Adapun unsur-unsur dari perjanjian/kontrak adalah[[6]]
1) Unsur Esensiali
Unsur Esensiali merupakan unsur yang harus ada dalam suatu kontrak karena tanpa adanya
kesepakatan tentang unsur esensiali ini maka tidak ada kontrak. Sebagai contoh, dalam
kontrak jual beli harus ada kesepaktan mengenai barang dan harga karena tanpa
kesepakatan menegenai barang dan harga dalam kontrak jual beli, kontrak tersebut batal
demi hukum karena tidak ada hal tertentu yang diperjanjikan
2) Unsur Naturalia
Unsur Naturalia merupakan unsur yang telah diatur dalam undang-undang apabila tidak
diatur oleh para pihak dalam kontrak , undang-undang yang mengaturnya. Dengan
demikian, unsur naturalia ini merupakan unsur yang selalu dianggap ada dalam kontrak.
Sebagai contoh, jika dalam kontrak todak diperjanjikan tentang cacat tersembunyi, secara
otomatis berlaku ketentuan dalam BW bahwa penjual yang harus menanggung cacat
tersembunyi
3) Unsur Aksidentalia
Unsur ini merupakan unsur yang nanti ada atau mengikat para pihak jika para pihak
memperjanjikannya. Sebagai contoh. Dalam kontrak jual beli dengan angsuran
diperjanjikan bahwa apabila pihak debitur lalai dalam membayar utangnya dikenakan
denda dua persen perbulan keteralambatan, dan apabila debitur lalai membayar selama tiga
bulan berturut-turut, barang yang sudah dibeli dapat ditarik kembali oleh kreditor tanpa
melalui pengadilan.
II.4 Karakteristik Kontrak dan akibat perjanjian/kontrak

Seperti diketahui bersama bahwa Hukum kontrak adalah bagian hukum perdata
(privat). Hukum ini memusatkan perhatian pada kewajiban untuk melaksanakan kewajiban
sendiri (self imposed obligation). Disebut sebagai bagian dari hukum perdata disebabkan
karena pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam kontrak, murni
menjadi urusan pihak-pihak yang berkontrak.
Kontrak, dalam bentuk yang paling klasik, dipandang sebagai ekspresi kebebasan
manusia untuk memilih dan mengadakan perjanjian. Kontrak merupakan wujud dari
kebebasan (freedom of contract) dan kehendak bebas untuk memilih (freedom of choice).
Akibat hukum dari perjanjian yang sah adalah berlakunya perjanjian sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya. Yang dimaksud dengan berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya, adalah bahwa kesepakatan yang dicapai oleh para
pihak dalam perjanjian mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya suatu undang-
undang. Para pihak dalam perjanjian tidak boleh keluar dari perjanjian secara sepihak,
kecuali apabila telah disepakati oleh para pihak atau apabila berdasarkan pada alasan-
alasan yang diatur oleh undang-undang atau hal-hal yang disepakati dalam perjanjian.
Sekalipun dasar mengikatnya perjanjian berasal dari kesepakatan dalam perjanjian,
namun suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan
didalamnya,tetapi juga mengikat untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian
diharuskan oleh kepatutan, dan kebiasaan atau undang-undang. Untuk itu setiap perjanjian
yang disepakati harus dilaksanakan dengan itikad baik dan adil bagi semua pihak.

II.5 Para Pihak dalam Kontrak


Pada dasarnya setiap orang dapat melakukan kontrak dengan siapa saja yang
dikehendaki sepanjang orang tersebut tidak dilarang oleh undang-undang untuk melakukan
kontrak. Pihak-pihak dalam kontrak ini dapat berupa orang perorangan atau badan usaha
yang bukan badan hukum atau badan hukum.
Berikut adalah penggolongan pihak dalam perjanjian dimana pembagian tersebut
dilakukan karena hubungan hukum antara masing-masing golongan memiliki aturan
berbeda[[7]] :
a) Pelaku Usaha
Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk
badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah
hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi[[8]]
b) Konsumen
Konsumen adalah setiap orang atau pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat , baik bagi kepentingan diri sendiri,keluarga,orang lain maupun makhluk hidup
lain dan tidak untunk diperdagangkan[[9]]
c) Nonprofesional
Ninprofesional yang dimaksud disini adalah orang yang mengadakan penjualan barang,
tetapi sebenaranya penjualan tersebut bukan merupakan pekerjaannya sehingga walaupun
orang yang membeli barang menggunakan barang tersebut, namun tidak dapat
digolongkan sebagai konsumen sebagaiman diatur dalam UUPK karena dia tidak
berhadapan dengan pelaku usaha.

II.6 Asas-asas Hukum Kontrak


Berdasarkan teori, di dalam suatu hukum kontrak terdapat 5 (lima) asas yang
dikenal menurut ilmu hukum perdata. Kelima asas itu antara lain adalah: asas kebebasan
berkontrak (freedom of contract), asas konsensualisme (concsensualism), asas kepastian
hukum (pacta sunt servanda), asas itikad baik (good faith) dan asas kepribadian
(personality). Berikut ini adalah penjelasan mengenai asas-asas dimaksud:

1. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)


Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1)
KUHPer, yang berbunyi: Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak
untuk:
a. membuat atau tidak membuat perjanjian;
b. mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
c. menentukan isis perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta
d. menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.

Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham


individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh
kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui antara lain
ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rosseau.
Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa saja
yang dikehendakinya. Dalam hukum kontrak asas ini diwujudkan dalam kebebasan
berkontrak. Teori leisbet fair ini menganggap bahwa the invisible hand akan menjamin
kelangsungan jalannya persaingan bebas. Karena pemerintah sama sekali tidak boleh
mengadakan intervensi didalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat.

2. Asas Konsensualisme (concensualism)


Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPer. Pada
pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata
kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa
perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya
kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan
pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.Asas konsensualisme muncul diilhami dari
hukum Romawi dan hukum Jerman. Didalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas
konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal.
Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam
hukum adat disebut secara kontan). Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian
yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta
bawah tangan). Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan
contractus innominat. Yang artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk
yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUHPer adalah berkaitan
dengan bentuk perjanjian.

3. Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda)


Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan
asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Istilah Pacta Sunt Servanda berarti
janji itu mengikat. Yang dimaksudkan adalah bahwa suatu kontrak yang dibuat secara
sah oleh para pihak mengikat para pihak tersebut secara penuh sesuai isi kontrak tersebut.
Istilah terkenalnya adalah my word is my bonds atau sesuai dengan tampilan bahasa
Indonesia jika sapi dipegang talinya, jika manusia dipegang mulutnya. Mengikatnya
secara penuh atas kontrak yang dibuat oleh para pihak tersebut oleh hukum kekuatannya
dianggap sama saja dengan kekuatan mengikat mengikat dari suatu undang-undang.
Karena itu, apabila suatu pihak dalam kontrak tidak menuruti kontrak yang telah
dibuatnya, oleh hukum disediakan ganti rugi atau bahkan pelaksanaan kontrak secara
paksa.
Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus
menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah
undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang
dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat
(1) KUHPer.
4. Asas Itikad Baik (good faith)
Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPer yang berbunyi:
Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Asas ini merupakan asas bahwa para
pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan
kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad
baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada
itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari
subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat
ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-
norma yang objektif.Berbagai putusan Hoge Raad (HR) yang erat kaitannya dengan
penerapan asas itikad baik dapat diperhatikan dalam kasus-kasus posisi berikut ini. Kasus
yang paling menonjol adalah kasus Sarong Arrest dan Mark Arrest. Kedua arrest ini
berkaitan dengan turunnya nilai uang (devaluasi) Jerman setelah Perang Dunia I.

5. Asas Kepribadian (personality)


Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan
melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini
dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPer. Pasal 1315 KUHPer menegaskan:
Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk
dirinya sendiri. Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian,
orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUHPer berbunyi:
Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya. Hal ini mengandung maksud
bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang
membuatnya.

II.7 Syarat Sahnya Perjanjian


A. Syarat sah yang subyekif berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata
Disebut dengan syarat subyektif karena berkenaan dengan subyek perjanjian. Konsekuensi
apabila tidak terpenuhinya salah satu dari syarat subyektif ini adalah bahwa kontrak
tersebut dapat dapat dibatalkan atau dimintakan batal oleh salah satu pihak yang
berkepentingan. Apabila tindakan pembatalan tersebut tidak dilakukan, maka kontrak tetap
terjadi dan harus dilaksanakan seperti suatu kontrak yang sah.

1. Adanya kesepakatan kehendak (Consensus, Agreement)


Dengan syarat kesepakatan kehendak dimaksudkan agar suatu kontrak dianggap sah oleh
hukum, kedua belah pihak mesti ada kesesuaian pendapat tentang apa yang diatur oleh
kontrak tersebut. Akan tetapi, walaupun terjadi kesepakatan para pihak yang melahirkan
perjanjian, terdapat kemungkinan bahwa kesepakatan yang telah dicapai tersebut
mengalami kecacatan atau yang biasa disebut cacat kehendak atau cacat kesepakatan
sehingga memungkinkan perjanjian tersebut dimintakan pembatalan oleh pihak yang
merasa dirugikan oleh perjanjian tersebut.
Cacat kehendak/cacat kesepakatan dapat terjadi karena hal-hal diantaranya yaitu:[[10]]
a) Paksaan (dwang, duress)
b) Penipuan (bedrog, fraud)
c) Kekhilafan/kesesatan
d) Penyalahgunaan keadaan
Sebagaimana pada pasal 1321 dan pasal 1449 KUH Perdata menentukan bahwa kata
sepakat tidak sah apabila diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau
penipuan sehingga menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkannya.

2. Wenang / Kecakapan berbuat menurut hukum (Capacity)


Syarat wenang berbuat maksudnya adalah bahwa pihak yang melakukan kontrak haruslah
orang yang oleh hukum memang berwenang membuat kontrak tersebut. Sebagaimana pada
pasal 1330 KUH Perdata menentukan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat
perikatan, kecuali undang-undang menentukan bahwa ia tidak cakap. Mengenai orang-
orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian dapat kita temukan dalam pasal 1330
KUH Perdata, yaitu
a) Orang-orang yang belum dewasa
b) Mereka yang berada dibawah pengampuan
c) Wanita yang bersuami. Ketentuan ini dihapus dengan berlakunya Undang-Undang
No.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Karena pasal 31 Undang-Undang ini menentukan
bahwa hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dan masing-masing berhak untuk
melakukan perbuatan hukum.

B. Syarat sah yang objektif berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata


Disebut dengan syarat objektif karena berkenaan dengan obyek perjanjian. Konsekuensi
hukum apabila tidak terpenuhinya salah satu objektif akibatnya adalah kontrak yang dibuat
batal demi hukum. Jadi sejak kontrak tersebut dibuat kontrak tersebut telah batal.

3. Obyek / Perihal tertentu


Dengan syarat perihal tertentu dimaksudkan bahwa suatu kontrak haruslah berkenaan
dengan hal yang tertentu, jelas dan dibenarkan oleh hukum. Mengenai hal ini dapat kita
temukan dalam pasal 1332 ddan1333 KUH Perdata.
Pasal 1332 KUH Perdata menentukan bahwa
Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu
perjanjian
Sedangkan pasal 1333 KUH Perdata menentukan bahwa
Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit
ditentukan jenisnya,Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja
jumlah itu terkemudian dapat ditentukan / dihitung
4. Kausa yang diperbolehkan / halal / legal
Maksudnya adalah bahwa suatu kontrak haruslah dibuat dengan maksud / alasan yang
sesuai hukum yang berlaku. Jadi tidak boleh dibuat kontrak untuk melakukan hal-hal yang
bertentangan dengan hukum. Dan isi perjanjian tidak dilarang oleh undang-undang atau
tidak bertentangan dengan kesusilaan / ketertiban umum (Pasal 1337 KUH Perdata). Selain
itu pasal 1335 KUH Perdata juga menentukan bahwa suatu perjanjian yang dibuat tanpa
sebab atau dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang adalah tidak mempunyai
kekuatan hukum.

II.8 Saat Lahirnya Perjanjian


Menetapkan kapan saat lahirnya perjanjian mempunyai arti penting bagi :
a) kesempatan penarikan kembali penawaran;
b) penentuan resiko;
c) saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluwarsa;
d) menentukan tempat terjadinya perjanjian.

Ada beberapa teori yang bisa digunakan untuk menentukan saat lahirnya kontrak yaitu:
a. Teori Pernyataan (Uitings Theorie)
Menurut teori ini, kontrak telah ada/lahir pada saat atas suatu penawaran telah ditulis surat
jawaban penerimaan. Dengan kata lain kontrak itu ada pada saat pihak lain menyatakan
penerimaan/akseptasinya.
b. Teori Pengiriman (Verzending Theori).
Menurut teori ini saat pengiriman jawaban akseptasi adalah saat lahirnya kontrak. Tanggal
cap pos dapat dipakai sebagai patokan tanggal lahirnya kontrak.
c. Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie).
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat jawaban akseptasi diketahui isinya
oleh pihak yang menawarkan.
d. Teori penerimaan (Ontvangtheorie).
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat diterimanya jawaban, tak peduli
apakah surat tersebut dibuka atau dibiarkan tidak dibuka. Yang pokok adalah saat surat
tersebut sampai pada alamat si penerima surat itulah yang dipakai sebagai patokan saat
lahirnya kontrak.[[11]]

II.9 Jenis-jenis Perjanjian


A. Berdasarkan Hak dan Kewajiban
Penggolongan ini dilihat dari Hak dan Kewajiban para pihak. Adapun perjanjian-perjanjian
yang dilakukan para pihak menimbulkan hak dan kewajiban-kewajiban pokok seperti pada
jual beli dan sewa-menyewa.
1. Perjanjian Sepihak
Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang hanya ada kewajiban pada satu pihak, dan hanya
ada hak pada hak lain. Perjanjian yang selalu menimbulkan kewajiban-kewajiban hanya
bagi satu pihak.
Misalnya perjanjian pinjam pakai
2. Perjanjian Timbal Balik
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian dimana hak dan kewajiban ada pada kedua belah
pihak. Jadi pihak yang berkewajiban melakukan suatu prestasi juga berhak menuntut suatu
kontra prestasi.
Misalnya perjanjian jual-beli dan Perjanjian sewa-menyewa[[12]]
Perjanjian timbal balik dibagi dua,yaitu:
a. Perjanjian timbal balik sempurna
b. Perjanjian timbal balik tidak sempurna
Perjanjian timbal balik tidak sempurna senantiasa menimbulkan suatu kewajiban pokok
bagi satu pihak, sedangkan pihak lainnya wajib melakukan sesuatu. Di sini tampak adanya
prestasi yang seimbang satu sama lain. Misalnya, si penerima pesan senantiasa wajib untuk
melaksanakan pesan yang dikenakan atas pundak orang memberi pesan. Penerima pesan
melaksanakan kewajiban tersebut, apabila si penerima pesan telah mengeluarkan biaya-
biaya atau olehnya telah diperjanjikan upah, maka pemberi pesan harus
menggantikannya.[[13]]

B. Keuntungan yang diperoleh


Penggolongan ini didasarkan pada keuntungan salah satu pihak dan adanya prestasi dari
pihak lainnya.
1. Perjanjian Cuma-Cuma
Perjanjian Cuma-Cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu
pihak saja.
Misalnya perjanjian hibah, perjanjian pinjam pakai
2. Perjanjian Asas Beban
Perjanjian asas beban adalah perjanjian atas prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat
kontra prestasi dari pihak lain dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut
hukum.
Misalnya saja A menjanjikan kepada B suatu jumlah tertentu, jika B menyerahkan sebuah
benda tertentu pula kepada A.[14]

C. Nama dan Pengaturan


Penggolongan ini didasarkan pada nama perjanjian yang tercantum di dalam Pasal 1319
KUH Perdata dan Artikel 1355 NBW. Di dalam pasal 1319 KUH Perdata dan Artikel 1355
NBW hanya disebutkan dua macam perjanjian menurut namanya, yaitu perjanjian
nominaat (bernama) dan perjanjian innominaat (tidak bernama).
1. Perjanjian Bernama (nominaat)
Isilah kontrak nominaat merupakan terjemahan dari nominaat contract. Kontrak nominaat
sama artinya dengan perjanjian bernama atau benoemde dalam bahasa Belanda. Kontrak
nominaat merupakan perjanjian yang dikenal dan terdapat dalam pasal 1319 KUH Perdata.
Pasal 1319 KUH Perdata berbunyi:
Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus, maupun yang tidak dikenal
dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan
bab yang lalu.
Misalnya Perjanjian jual beli, sewa menyewa, penitipan barang, pinjam pakai, asuransi,
perjanjian pengangkutan.[[15]]

2. Perjanjian Tidak Bernama (innominaat)


Perjanjian tidak bernama merupakan perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup dan
berkembang dalam masyarakat.[[16]] Jenis perjanjian tidak Bernama ini diatur di dalam
Buku III KUH Perdata, hanya ada satu pasal yang mengatur tentang perjanjian innominaat,
yaitu Pasal 1319 KUH Perdata yang berbunyi:
Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan
suatu nama tertentu tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab
yang lalu
a. Perjanjian campuran
Perjanjian campuran adalah perjanjian yang mengandung berbagai unsur dari berbagai
perjanjian. Perjanjian ini tidak diatur dalam BW maupun KUHD.
Misalnya perjanjian sewa beli (gabungan sewa-menyewa dan jual-beli).
Setiap orang diperbolehkan/bebas membuat perjanjian bernama, tak bernama, maupun
perjanjian campuran, karena Hukum Perikatan dan Hukum Perjanjian yang diatur dalam
Buku III KUH Per merupakan hukum pelengkap (aanvulent recht)[[17]]

D. Tujuan perjanjian
Penggolongan ini didasarkan pada unsur-unsur perjanjian yang terdapat di dalam
perjanjian tersebut
1. Perjanjian Kebendaan
Perjanjian kebendaan adalah Perjanjian hak atas benda dialihkan atau diserahkan kepada
pihak lain. Misalnya perjanjian pembebanan jaminan dan penyerahan hak milik.
2. Perjanjian Obligatoir
Perjanjian obligatoir adalah Perjanjian yang menimbulkan kewajiban dari para pihak.[[18]]
3. Perjanjian Liberatoir
Perjanjian Liberatoir adalah Perjanjian para pihak yang membebaskan diri dari kewajiban
yang ada.Misalnya pembebasan utang (pasal 1438 KUH Per).[19]
E. Cara terbentuknya atau lahirnya perjanjian
Penggolongan perjanjian ini didasarkan pada terbentuknya perjanjian itu. Perjanjian itu
sendiri terbentuk karena adanya kesepakatan kedua belah pihak pada saat melakukan
perjanjian.
1. Perjanjian Konsensuil
Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang mengikat sejak adanya kesepakatan
(consensus) dari kedua belah pihak. Jadi perjanjian lahir sejak detik tercapainya kata
sepakat dari kedua belah pihak.
Misalnya jual beli, sewa menyewa
2. Perjanjian Riil
Perjanjian riil adalah perjanjian yang mengikat jika disertai dengan perbuatan/ tindakan
nyata. Jadi dengan adanya kata sepakat saja, perjanjian tersebut belum mengikat kedua
belah pihak.
Misalnya Perjanjian penitipan barang, perjanjian pinjam pakai
3. Perjanjian Formal
Perjanjian formal adalah Perjanjian yang terikat pada bentuk tertentu, jadi bentuknya harus
sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Jika bentuk perjanjian tersebut tidak
sesuai dengan ketentuan, maka perjanjian tersebut tidak sah.
Misalnya jual beli tanah harus dengan akta PPAT, pendirian Perseroan Terbatas harus
dengan akta Notaris.[20]
4. Bentuk Perjanjian/Kontrak
1. Perjanjian/kontrak memiliki dua bentuk yaitu bentuk tertulis dan dan tidak tertulis
(lisan) Baik berbentuk tertulis maupun tudak tertulis mengikat, asal memenuhi syarat yang
diatur Pasal 1320 Kitab Undang Undang Hukum Perdata tentang syarat sah perjanjian.
Perjanjian tidak tertulis/lisan dalam praktek kurang disukai karena perjanjian lisan sulit
dalam pembuktiannya kalau terjadi sengketa.Sedang perjanjian berbentuk tertulis yang
berupa akta otentik dan akta dibawah tangan merupakan alat bukti yang mudah dalam
pembuktianya.
II.10 Pelaksanaan Kontrak
Pada tahap pelaksanaan perjanjian, para pihak harus melaksanakan apa yang telah
dijanjikan atau apa yang telah menjadi kewajiabannya dalam perjanjian tersebut.
Kewajiban memenuhi apa yang dijanjikan itulah yang disebut sebagai Prestasi, sedangkan
apabila salah satu pihak atau bahkan kedua pihak tidak melaksanakan kewajibannya sesuai
dengan perjanjian yang telah dibuatnya, itulah yang disebut dengan Wanprestasi[[21]]

1) Prestasi (performance)
Prestasi adalah kewajiban yang harus dipenuhi para pihak dalam suatu kontrak.
Bentuk-bentuk prestasi ditentukan dalam Pasal 1234 KUH Perdata, antara lain:
1.Memberikan sesuatu,
2.Berbuat sesuatu,
3. Tidak berbuat sesuatu

2) Wanprestasi (default, nonfulfilment)


Wanprestasi atau cidera janji adalah tidak terlaksananya prestasi atau kewajiban
sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap para pihak .Wansprestasi
timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan.Adapun
bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

AKIBAT-AKIBAT WANPRESTASI
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang
melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni :
Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi),Ganti rugi sering diperinci
meliputi tinga unsur, yakni :
a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah
dikeluarkan oleh salah satu pihak
b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang
diakibat oleh kelalaian si debitor
c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan
atau dihitung oleh kreditor.
Seseorang yang tidak melaksanakan perjanjian baik karena kesengajaan atau karena
kelalaian tidak dengan sendirinya dikatakan telah melakukan wanprestasi atau cidera janji,
sehingga terhadapnya dapat dimintakan gantirugi. Berdasarkan sistem hukum di Indonesia
dan umumnya di negara-negara Civil Law, bila salah satu tidak memenuhi prestasi, maka
haruslah pihak lain dalam kontrak tersebut terlebih dahulu mengajukan peringatan yang
dikenal dengan istilah somasi (Pasal 1238 KUH Perdata). Dalam somasi ini ditentukan
jangka waktu pemenuhan prestasi. Jika waktu ini terlewati dan ternyata prestasi tidak juga
dipenuhi atau tidak sempurna dipenuhi maka barulah dapat dikatakan pihak tersebut telah
melakukan wanprestasi dan karenanya dapat dituntut ke pengadilan. Jika somasi ini tidak
diberikan terlebih dahulu, dan langsung saja diajukan gugatan ke pengadilan, maka
gugatan seperti ini disebut dengan gugatan premature (belum waktunya untuk diajukan).
Keharusan adanya somasi ini tidak dikenal dalam negara-negara yang menganut sistem
hukum anglosaxon. Bila terjadi wanprestasi, maka lainnya dapat menuntut penggantian
biaya, ganti rugi dan bunga kepada pihak yang melakukan wanprestasi.

B. Perbedaan Memorandum of Understanding (MOU) dengan Perjanjian


Memorandum of Understanding atau disebut juga nota kesepahaman merupakan suatu
bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan bisnis dan hukum. Banyak orang,
perusahaan atau para pelaku bisnis, memakai istilah itu untuk aktivitas bisnisnya. Akan
tetapi seringkali istilah tersebut menimbulkan kerancuan. Orang banyak merasa rancu
untuk membedakan antara pengertian Memorandum of Understanding (MOU) dengan
sebuah perjanjian.
Sejauh mana perbedaan Memorandum of Understanding (MoU) lebih menunjuk kepada
bentuk kesamaan pandangan bagi para pihak pembuatnya. Kesamaan pandangan bagi para
pihak dan kesamaan kehendak yang kemudian di wujudkan dalam bentuk tertulis. Adanya
kesepahaman itu bisa menimbulkan akibat bisnis bagi para pihak tergantung sejauh mana
para pihak saling bersepaham, namun belum mempunyai akibat hukum. MoU ibarat ikatan
pertunangan diantara dua orang yang dapat diputus oleh salah satu pihak dan bila
pertunangan itu diputus atau tidak diwujudkan dalam tali perkawinan, tidak membawa
konsekuensi hukum apapun. Berbeda halnya dengan Perjanjian yang ibarat perkawinan
tidak dapat diputus begitu saja tanpa adanya putusan hukum dimana pemutusan itu
menimbulkan akibat hukum terhadap anak dan harta.
Dalam MoU, kesepahaman para pihak yang tertuang dalam bentuk tertulis dimaksudkan
sebagai pertemuan keinginan antara pihak yang membuatnya. Sedangkan akibat dari
Memorandum of Understanding apakah ada dan mengikat kepada para pihak, sangat
tergantung dari kesepakatan awal pada saat pembuatan dari Memorandum of
Understanding tersebut. Ikatan yang muncul dalam MoU adalah ikatan moral yang
berlandaskan etika bisnis, sedangkan ikatan dalam perjanjian merupakan ikatan hukum
yang berlandaskan pada aturan hukum dan pada kesepakatan para pihak yang
dipersamakan dengan hukum.
Sebagai ikatan hukum pengertian perjanjian atau agreement merupakan pertemuan
keinginan (kesepakatan yang dicapai) oleh para pihak yang memberikan konsekuensi
hukum yang mengikat kepada para pihak, untuk melaksanakan poin-poin kesepakatan dan
apabila salah satu pihak ingkar janji atau wanprestasi, maka pihak yang wanprestasi
tersebut diwajibkan untuk mengganti kerugian kepada pihak yang dirugikan sebagaimana
disepakati dalam perjanjian. Sedangkan pada MoU tidak ada kewajiban yang demikian.

Cara Menafsirkan Perjanjian


Perjanjian tidak menimbulkan perselisihan apabila dilaksanakan berdasarkan
kesepakatan-kesepakatan yang dituangkan didalamnya. Akan tetapi, kadangkala perbedaan
penafsiran terhadap kesepakatan dalam perjanjian dapat menimbulkan perselisihan
diantara para pihak yang terikat didalamnya sehingga mengganggu pelaksanaannya. Oleh
karena itu KUHPerdata telah mengatur tata cara penafsiran perjanjian sebagai berikut:
1. Jika kata-kata suatu perjanjian jelas, tidaklah diperkenankan untuk menyimpang dari
pada perjanjian dengan cara penafsiran;
2. Jika kata-kata suatu perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran, harus
dilakukan penyelidikan terhadap maksud para pihak yang membuat perjanjian tersebut
daripada hanya berpatokan pada kata-kata dalam perjanjian;
3. Jika terhadap suatu janji dapat diberikan dua macam pengertian, maka haruslah dipilih
pengertian yang memungkinkan janji dalam perjanjian dapat dilaksanakan daripada
memberikan pengertian yang tidak mungkin terlaksana;
4. Jika terhadap kata-kata dalam perjanjian dapat diberikan dua macam pengertian, maka
harus dipilih pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian;
5. Terhadap hal-hal yang menimbulkan keragu-raguan atas pengertian dan pelaksanaan
perjanjian, maka hal yang meragukan tersebut haruslah ditafsirkan menurut kebiasaan
dalam negara atau tempat dimana perjanjian dibuat;
6. Hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan atau dianggap secara diam-
diam dimasukkan dalam perjanjian, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan dalam
perjanjian;
7. Semua janji yang dibuat dalam suatu perjanjian harus diartikan dalam hubungan satu
sama lain, yaitu tiap janji harus ditafsirkan berdasarkan kesepakatan dalam perjanjian
secara keseluruhan, artinya tidak dapat ditafsirkan sendiri-sendiri terlepas dari janji-janji
lain dalam perjanjian;
8. Jika terjadi keragu-raguan terhadap suatu hal dalam perjanjian, maka suatu perjanjian
harus ditafsirkan atas kerugian orang yang telah meminta diperjanjikannya sesuatu hal, dan
untuk keuntungan orang yang telah mengikatkan dirinya untuk itu.

IV. Teknik Perancangan Perjanjian


Di dalam ketentuan pasal 1320 KUHPerdata, disebutkan keberlakuan perjanjian di
Indonesia memuat 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
1. adanya kesepakatan para pihak yang mengadakan perjanjian;
2. para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut mempunyai kapasitas (juga
kewenangan) hukum untuk melakukan perjanjian;
3. hal yang diperjanjikan jelas; dan
4. sebab perjanjian halal.
Penegasan terhadap keberlakuan dari perjanjian yang telah memenuhi keempat unsur
tersebut sebagai suatu aturan hukum yang mengikat kedua belah pihak, ditegaskan dalam
1338 KUHPerdata yaitu suatu Perjanjian merupakan suatu undang-undang bagi para
pembuatnya. Keberlakuan perjanjian sebagai sebuah undang-undang mengikat bagi para
pihak dan memaksa para pihak untuk melaksanakannya. Karena Perjanjian memiliki akibat
yang sangat besar terhadap para pembuatnya, maka Perjanjian sepatutnya dipersiapkan dan
dibuat sebaik mungkin untuk melindungi para pihak dan menjamin hal diperjanjikan dalam
Perjanjian terlaksana. Untuk itu perlu dipahami hal-hal dasar dalam teknik perancangan
Perjanjian berikut ini.

Hal-hal yang perlu dipersiapkan dalam membuat perjanjian


Sebelum membuat Perjanjian sebaiknya terlebih dahulu memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
1. Penguasaan terhadap bisnis yang diperjanjikan dalam Perjanjian;
2. Identifikasi para pihak dalam Perjanjian;
3. Penguasaan regulasi;
4. Penggunaan tenaga lain;
5. Praktek Kebiasaan Internasional atau Regional (lokal)

Lebih jauh keempat hal diatas diuraikan berikut ini:


1. Penguasaan Terhadap Bisnis dalam Perjanjian
Pembuatan suatu Perjanjian sangat tergantung terhadap aspek bisnis yang diperjanjikan
dalam Perjanjian, sehingga diperlukan pengetahuan yang memadai atas bisnis tersebut.
Biasanya keuntungan yang ditawarkan oleh jenis bisnis tertentu menyebabkan pelaku
bisnis tertarik untuk
melakukan investasi atau kerjasama, namun tidak semua jenis bisnis dikuasai oleh para
pelaku bisnis sehingga diperlukan orang yang menguasai bisnis tersebut yang dapat
membantu para pelaku bisnis memahami seluk beluk bisnis dimaksud. Ada baiknya pelaku
bisnis yang hendak melakukan Perjanjian bisnis meminta bantuan pihak yang mempunyai
wawasan luas tentang bisnis tersebut.
2. Identifikasi Para Pihak
Suatu Perjanjian merupakan bentuk kesepakatan pihak-pihak yang melakukan perjanjian,
sehingga dalam penyusunan perjanjian dituntut ketepatan penempatan pihak. Kesalahan
penempatan pihak dalam Perjanjian akan berakibat tidak mengikatnya pihak yang
dikehendaki sebagai pihak, misalkan apabila yang menjadi pihak dalam perjanjian adalah
perseroan, maka hendaknya perjanjian ditandatangani oleh wakil perseroan menurut
anggaran dasar, yaitu direksi sesuai dengan kewenangan direksi tersebut atau
setidaktidaknya pihak yang menerima kuasa untuk melakukan Perjanjian tersebut;
Disamping aspek legal formal diatas, juga patut dipertimbangkan latar belakang
kebudayaan serta kekuatan ekonomi serta aspek-aspek lain yang akan mempengaruhi isi
perjanjian. Aspek-aspek tersebut akan menentukan materi dan teknik melakukan negosiasi
atas materi-materi (hal-hal) yang akan menjadi bahan dalam perjanjian-perjanjian antara
para pihak.
3. Penguasaan Regulasi
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa Perjanjian yang dibuat tergantung pada jenis
bisnis yang diperjanjikan, karena itu regulasi yang berkaitan dengan Perjanjian juga tidak
selalu sama. Penguasaan akan jenis bisnis dalam Perjanjian membawa pada tuntutan untuk
menguasai regulasi yang berkaitan dengannya, sehingga perlu dipastikan bahwa apa yang
diperjanjikan dalam Perjanjian telah disesuaikan dengan regulasi yang mengaturnya, mulai
dari regulasi besar sampai yang terkecilnya, mulai dari undang-undang sampai pada
keputusan kepala instansi terkait. Kadangkala beberapa ketentuan dalam regulasi tidak
menunjang aspek Perjanjian, maka perlu disepakati untuk dikesampingkan. Ketentuan-
ketentuan dalam regulasi ada yang dapat dikesampingkan dan ada yang tidak, maka
diperlukan pengenalan terhadap sifat-sifat dari ketentuan dalam regulasi terkait.
4. Penggunaan Tenaga Lain
Untuk memastikan suatu perjanjian dibuat dengan baik, maka sebaiknya pihak yang
melakukan perjanjian meminta bantuan tenaga-tenaga profesional sesuai dengan aspek
bisnis yang diperjanjikan. Bila meminta bantuan penasihat hukum, hendaknya penasihat
hukum yang tidak hanya mengerti hukumnya tetapi juga yang mengerti bisnisnya, dan
sedapat mungkin pada Perjanjian-Perjanjian yang sifatnya sangat khusus dilibatkan pihak-
pihak yang ahli di bidangnya.
5. Praktek Kebiasaan Internasional atau Regional (lokal)
Apabila salah satu unsur dalam perjanjian tersebut melibatkan unsur internasional, maka
memahami praktek-praktek kebiasaan internasional juga sebaiknya dimengerti. Namun
apabila unsur lokal sangat menentukan dalam perjanjian tersebut, maka nilai-nilai lokal
tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Unsur lokal atau internasional bisa pada subyek
perjanjian atau obyek dari perjanjian yang akan dibuat.
Tahapan-tahapan Perancangan Perjanjian
Suatu Perjanjian tidak terjadi begitu saja, tetapi setelah melalui tahapan-tahapan tertentu,
maka kita perlu mengetahui tahapan-tahapan penyusunan hingga berakhirnya suatu
Perjanjian sebagai berikut:[[22]]
1. Munculnya kesepakatan dasar diantara para pihak untuk membuat Perjanjian;
2. Negosiasi atas rancangan Perjanjian;
3. Penandatanganan Perjanjian;
4. Penerapan Perjanjian; dan
5. Timbulnya perselisihan dalam Perjanjian.

Berikut ini adalah ulasan atas tahapan-tahapan diatas


1. Munculnya kesepakatan diantara para pihak untuk membuat Perjanjian
Tahapan ini diawali melalui pembicaraan rencana pembuatan Perjanjian diantara pihak-
pihak dengan saling menjajaki hal yang disepakati dalam bisnis sebelum menuangkannya
dalam Perjanjian. Dalam bentuk formalnya penjajakan ini biasanya dituangkan dalam
bentuk Letter of Intent (LoI) atau Memorandum of Understanding (MoU). Kesepakatan
dalam LoI atau MoU belum merupakan sebuah kesepakatan Perjanjian, sehingga tidak
mengikat tetapi menjadi garis-garis besar penyusunan Perjanjian.
2. Negosiasi atas Rancangan Perjanjian
Perjanjian memuat kepentingan para pihak dan karena kepentingan pihak-pihak yang
telibat dalam Perjanjian berbeda, maka untuk mencapai kesepakatan perlu dilakukan
persesuaian diantara kepentingan tersebut. Tahapan ini diwarnai dengan tawar menawar
keinginan masing-masing pihak. Karena tidak semua kepentingan para pihak dapat
disepakati, maka diperlukan kerelaan masing-masing pihak untuk tidak terlalu
memaksakan hal-hal yang sifatnya hakiki dalam Perjanjian demi tercapainya kesepakatan.
Tahapan ini merupakan tahapan paling alot dan kesempatan bagi para pihak untuk
mengetahui sejauh mana posisi masing-masing kebutuhan dalam Perjanjian, hal-hal yang
diprioritaskan, kelemahan-kelemahan rancangan Perjanjian, dan tidak jarang diselingi
dengan penggunaaan kekuatan posisi untuk memaksa pihak lain menerima tawaran
kepentingannya. Dengan demikian klausul-klausul rancangan Perjanjian bisa mengalami
pengurangan dan/atau penambahan.
3. Penandatanganan Perjanjian
Hal-hal yang telah disepakati dalam negosiasi kemudian dituangkan dalam bentuk akhir
Perjanjian untuk ditandatangani oleh para pihak. Sebelum Perjanjian ini ditandatangani,
sebaiknya terlebih dahulu dilakukan pengecekan akhir, untuk memastikan hal-hal yang
dimuat dalam Perjanjian merupakan hal-hal yang telah disepakati dalam tahapan
perundingan, termasuk pengecekan terhadap pihak-pihak yang menandatangani Perjanjian.
4. Penerapan Perjanjian
Perjanjian yang telah ditandatangani merupakan undang-undang bagi para pihak, karena
itu pelaksanaan Perjanjian tidak boleh keluar dari ha-hal yang telah disepakati. Hal-hal
yang belum diatur dalam Perjanjian hanya dapat dilaksanakan sepanjang tidak
bertentangan dengan Perjanjian, namun demikian sebaiknya dibicarakan terlebih dahulu
diantara para pihak dan bila perlu dilakukan kesepakatan tambahan sepanjang Perjanjian
mengijinkannya.
Untuk memastikan pelaksanaan Perjanjian sesuai kesepakatan, maka para pihak sepatutnya
melakukan pengawasaan terhadap pelaksanaanya, demi mencegah terjadinya wanprestasi
yang berpotensi timbulnya perselisihan diantara para pihak
5. Timbulnya Perselisihan Dalam Perjanjian
Kunci dari Perjanjian adalah kesepakatan dari para pihak. Perselisihan dalam Perjanjian
muncul karena adanya penerapan Perjanjian yang bertentangan dengan kesepakatan dalam
Perjanjian, atau tidak dipenuhinya hal-hal (prestasi) dalam Perjanjian, bahkan tidak jarang
perselisihan muncul akibat bunyi klausula Perjanjian yang multitafsir dalam
pelaksanannya yang disebabkan oleh penyusunan Perjanjian yang tidak matang dan
terukur. Sama halnya dengan hakekat Perjanjian, maka hakekat penyelesaian perselisihan
dalam Perjanjian adalah kesepakatan diantara para pihak, baik oleh kemauan sendiri
maupun karena hasil putusan pihak atau badan yang disepakati untuk menyelesaikannya,
sehingga dapat dikatakan pada dasarnya suatu perselisihan menimbulkan perik.
Sebab-sebab Berakhirnya Perjanjian
Terpenuhinya prestasi atau perikatan yang disepakati dan syarat-syarat tertentu dalam
perjanjian dapat menjadi sebab berakhirnya perjanjian, misalnya habisnya jangka waktu
yang telah disepakati dalam perjanjian atau dalam loan agreement, semua hutang dan
bunga atau denda jika ada telah dibayarkan. Secara keseluruhan, KUHPerdata pasal 1381
mengatur faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan berakhirnya perjanjian, diantaranya
karena:
1. Pembayaran
Pembayaran tidak selalu diartikan dalam bentuk penyerahan uang semata, tetapi
terpenuhinya sejumlah prestasi yang diperjanjikan juga memenuhi unsur pembayaran.
2. Penawaran pembayaran, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
Pemenuhan prestasi dalam suatu perjanjian sepatutnya dilaksanakan sesuai hal yang
diperjanjikan termasuk waktu pemenuhannya, namun tidak jarang prestasi tersebut dapat
dipenuhi sebelum waktu yang diperjanjikan. Penawaran dan penerimaan pemenuhan
prestasi sebelum waktunya dapat menjadi sebab berakhirnya perjanjian, misalnya
perjanjian pinjam meminjam yang pembayarannya dilakukan dengan cicilan, apabila pihak
yang berhutang dapat membayar semua jumlah pinjamannya sebelum jatuh tempo, maka
perjanjian dapat berakhir sebelum waktunya.
3. Pembaharuan hutang
Pembaharuan utang dapat menyebabkan berakhirnya perjanjian, sebab munculnya
perjanjian baru menyebabkan perjanjian lama yang diperbaharui berakhir. Perjanjian baru
bisa muncul karena berubahnya pihak dalam perjanjian, misalnya perjanjian novasi dimana
terjadi pergantian pihak debitur atau karena berubahnya perjanjian pengikatan jual beli
menjadi perjanjian sewa, karena pihak pembeli tidak mampu melunasi sisa pembayaran.
4. Perjumpaan Hutang atau kompensasi
Perjumpaan hutang terjadi karena antara kreditur dan debitur saling mengutang terhadap
yang lain, sehingga utang keduanya dianggap terbayar oleh piutang mereka masing-
masing.
5. Percampuran Hutang
Berubahnya kedudukan pihak atas suatu objek perjanjian juga dapat menyebabkan
terjadinya percampuran hutang yang mengakhiri perjanjian, contohnya penyewa rumah
yang berubah menjadi pemilik rumah karena dibelinya rumah sebelum waktu sewa
berakhir sementara masih ada tunggakan sewa yang belum dilunasi.

6. Pembebasan Hutang
Pembebasan hutang dapat terjadi karena adanya kerelaan pihak kreditur untuk
membebaskan debitur dari kewajiban membayar hutang, sehingga dengan terbebasnya
debitur dari kewajiban pemenuhan hutang, maka hal yang disepakati dalam perjanjian
sebagai syarat sahnya perjanjian menjadi tidak ada padahal suatu perjanjian dan dengan
demikian berakhirlah perjanjian.
7. Musnahnya barang yang terhutang
Musnahnya barang yang diperjanjikan juga menyebabkan tidak terpenuhinya syarat
perjanjian karena barang sebagai hal (objek) yang diperjanjikan tidak ada, sehingga
berimplikasi pada berakhirnya perjanjian yang mengaturnya.
8. Kebatalan atau pembatalan
Tidak terpenuhinya syarat sah perjanjian dapat menyebabkan perjanjian berakhir, misalnya
karena pihak yang melakukan perjanjian tidak memenuhi syarat kecakapan hukum. Tata
cara pembatalan yang disepakati dalam perjanjian juga dapat menjadi dasar berakhirnya
perjanjian. Terjadinya pembatalan suatu perjanjian yang tidak diatur perjanjian hanya
dapat terjadi atas dasar kesepakatan para pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338
KUHPerdata atau dengan putusan pengadilan yang didasarkan pada Pasal 1266
KUHPerdata.
9. Berlakunya suatu syarat batal
Dalam Pasal 1265 KUHPerdata diatur kemungkinan terjadinya pembatalan perjanjian oleh
karena terpenuhinya syarat batal yang disepakati dalam perjanjian.
10. Lewatnya waktu
Berakhirnya perjanjian dapat disebabkan oleh lewatnya waktu (daluarsa) perjanjian.Hal ini
diatur dalam BW pasal 1967 dan seterusnya [[23]]
BAB III
KESIMPULAN

Hukum kontrak merupakan bagian dari hukum perikatan. Pembagian antara hukum
kontrak dan hukum perjanjian tidak dikenal dalam BW karena dalam BW hanya dikenal
perikatan yang lahir dari perjanjian dan yang lahir dari Undang-undang. Menurut UU
KUH Perdata dalam Buku 2 bab 1 tentang Perikatan pasal 1313, menyebutkan Suatu
perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap
satu orang lain atau lebih.
Unsur-unsur yang terdapat dalam hukum perjanjian/kontrak yaitu Unsur Esensiali,
Unsur Naturalia, dan Unsur Aksidentalia. Sedangkan didalam suatu hukum kontrak
terdapat 5 (lima) asas yang dikenal menurut ilmu hukum perdata. Kelima asas itu antara
lain adalah: asas kebebasan berkontrak (freedom of contract), asas konsensualisme
(concsensualism), asas kepastian hukum (pacta sunt servanda), asas itikad baik (good
faith) dan asas kepribadian (personality).
Syarat sahnya perjanjian/kontrak yaitu adanya kesepakatan kehendak(Consensus,
Agreement), wenang/kecakapan berbuat menurut hukum(Capacity), Objek/perihal tertentu,
dan kausa yang diperbolehkan/halal/legal. Beberapa teori yang digunakan yang dapat
digunakan untuk menetukan saat lahirnya perjanjian yaitu Teori pernyataan, Teori
pengiriman ,Teori pengetahuan dan Teori penerimaan. Didalam pelaksanaan kontrak
terdapat Prestasi(kewajiban memenuhi perjanjian) dan Wanprestasi/ingkar janji(tidak
melaksanakan kewajiban)
Sebab berakhirnya perjanjian/kontrak yaitu pembayaran,penawaran pembayaran diikuti
dengan penyimpanan/penitipan, pembayaran hutang, perjumpaan hutang/kompensasi,
pencampuran hutang, pembebasan hutang, musnahnya barang yang terhutang,
kebatalan/pembatalan, berlakunya suatu syarat batal dan lewatnya waktu.
BAB IV
PENUTUP
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam
makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya
pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul
makalah ini.

Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman sudi memberikan kritik dan saran
yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan
makalah di kesempatan - kesempatan berikutnya.
Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang
budiman pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Elly Ria, Chainar. 2012. DIKTAT PERKULIAHAN ASPEK HUKUM DALAM BISNIS.

Elly Ria, Chainar. 2012. DIKTAT KUMPULAN TANYA JAWAB.

Atiyah. The Law of Contract. London: Clarendon Press, 1983.

Devid, Rene and John. E.C. Brierley. Major Legal Systems in the World Today. London:
Stevens & Sons, 1978.

Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty


Yogyakarta, 1999.

Rusli, Hardijan. Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1996.
Salim H.S. Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. II. Sinar Grafika,
2004.

Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata. Cet. XXVI, PT. Intermasa, 1994.______ dan R.
Tjitrosudibio. Kitab Undang-undang Hukum Perdata = Burgerlijk Wetboek (terjemahan).
Cet. 28. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. 1996.

Tim Naskah Akademik BPHN. Lokakarya Hukum Perikatan. Jakarta: Badan Pembinaan
Hukum Nasional Deparetmen Kehakiman RI, 1985.

[1] UU KUH Perdata. Buku II Bab 1 Tentang Perikatan yang lahir dari kontrak atau
persetujuan
[2] Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Jakarta: Bina Cipta, 1987, hlm.49.

[3] Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa. Depdiknas RI. 2008.

[4] Mashudi & Mohammad Chidir Ali, Bab-bab Hukum Perikatan, Bandung: Mandar
Maju, 1995, hlm.56.
[5] UU KUH Perdata. Buku I Bab 1 Tentang Perikatan pada umumnya

[6] Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak,Jakarta:Rajawali Pers,2010


hlm 31
[7] ) Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak,Jakarta:Rajawali Pers,2010
hlm 9
[8]) Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
[9]) Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
[10] Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak,Jakarta:Rajawali Pers,2010
hlm 17
[11] http://carmelcurhatmodeon.blogspot.com/2010/04/hukum-perjanjian.html
[12] Komariah,Hukum Perdata ,(UMM: Universitas Muhammadiyah Malang
Press,Malang 2008)

[13] Salim,Hukum Kontrak teori dan teknik penyusunan kontrak, (Jakarta:Sinar


Grafika:2003)

[14] Ibid,

[15] Syahmin,Hukum Kontrak Internasional,Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada 2006, hal


49
[16] Salim, Loc. Cit.

[17] Komariah, Loc. Cit.,


[18] Salim, Loc.Cit.,

[19] Syahmin,Loc.cit

[20] Komariah , Loc. Cit.

[21] Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak,Jakarta:Rajawali Pers,2010


hlm 67
[22] http://blognyadevizulkarnain.blogspot.com/2012/06/perikatan-dan-perjanjian.html

[23] Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak,Jakarta:Rajawali Pers,201

Anda mungkin juga menyukai