Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

ASPEK HUKUM DALAM BISNIS


“SUBJEK DAN OBJEK PERJANJIAN "

Dosen Pengampu:
Widyo Raharjo, S.H., M.Kn.,

Disusun Oleh :

1. Moh. Khaerul Anan 042011433214

2. Andre Wibowo Putra 042011433216

3. Nur Izzatun Nisak 042011433218

4. Yasmin Azizah 042011433222

5. Yohana Berliana 042011433226

PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS AIRLANGGA

2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ...................................................................................................................... 2

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .................................................................................................. 4

B. Rumusan Masalah ............................................................................................. 4

C. Tujuan ............................................................................................................... 4

D. Kajian Teori ...................................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN

A. Subjek Perjanjian…………………………….....................................................6
B. Objek Perjanjia……………………………………………………………….…7
C. Studi Kasus…………………………………….………………………………..7
1. Pelaksanaan Perjanjian Pemberian Kuasa dalam Hal Pembelian Tiket
Pesawat (Studi Kasus di PT Nabawi Tour & Travel)………………… ……7
2. Upaya Perusahaan Pembiayaan Konsumen untuk Menyelesaikan
WANPRESTASI Berupa Pengalihan Objek Perjanjian Kepada Pihak
Ketiga............................................................................................................ 11
3. Pelaksanaan Perjanjian Jual Beli Sepeda Motor dengan Sistem Indent
Perspektif Ekonomi Islam (Studi Pada Dealer Pt. Thamrin Brother Kota
Bengkulu)…………………………………………………………………...12

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ...................................................................................................... 15

B. Saran ............................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 16

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan karunianya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “...........”.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Aspek Hukum Dalam Bisnis Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga.

Penulis selaku penyusun ingin berterima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu mulai dari persiapan, proses pengerjaan, hingga penyelesaian makalah ini. terutama
kepada bapak Widyo Raharjo, S.H., M.Kn., selaku dosen mata kuliah Aspek Hukum Dalam
Bisnis yang telah membimbing dan mengarahkan kami dalam seluruh rangkaian proses
pengerjaan makalah ini.

Dalam penyusunan makalah ini penulis menyadari bahwa masih terdapat kesalahan dan
kekurangan yang kemudian penulis membutuhkan kritik dan saran dari banyak pihak untuk
menyempurnakan makalah ini. Semoga makalah ini bisa memberikan manfaat akademis dan
praktis bagi berbagai pihak serta menjadi inspirasi bagi semua pihak yang akan
mengembangkan makalah maupun kajian yang terkait dengan tema makalah ini.

Surabaya, 18 September 2021

(Kelompok 13)

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dewasa ini perjanjian yang dilakukan banyak terkait dengan masalah
perdagangan atau bisnis dan berbicara tentang hukum perjanjian baik yang
disadari dan tidak disadari, oleh karena itu setiap orang harus diberi
pemahaman tentang seluk beluk dari perjanjian paling tidak mengetahui
ketentuan penting dalam hukum perjanjian. Mengacu juga pada ketentuan dalam
Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 alinea keempat yang berbunyi: “Kemudian
daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia”.
Landasan hukum dalam upaya memberikan perlindungan tidak terkecuali
bagi orang orang yang melakukan perbuatan hukum tertentu seperti halnya transaksi
jual beli. Umumnya kita tidak benar benar menyadari bahwa apa yang kita lakukan
adalah suatu perbuatan hukum yang dapat menimbulkan
suatu akibat hukum apabila terjadi kecurangan atau salah satu pihak
mengingkari adanya perjanjian tersebut. Jadi apapun yang kita lakuan dalam
jual beli dapat dituntut ke muka hukum apabila ada sebuah kecurangan
didalamnya.Pada pokoknya substansi perjanjian merupakan kehendak dan
keinginan para pihak yang berkepentingan.Dengan demikian susbtansi
perjanjian dapat mencakup objek, hak dan kewajiban para pihak dan lainnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja yang menjadi subjek perjanjian?
2. Apa saja yang menjadi objek perjanjian?
3. Bagaimana studi kasus dalam subjek dan objek perjanjian?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui subjek dalam perjanjian
2. Untuk mengetahui objek dalam perjanjian
3. Untuk mengetahui studi kasus tentang subjek dan objek perjanjian

D. Kajian Teori

4
Istilah perjanjian berasal dari bahasa inggris yaitu contract,Menurut Subekti
dalam Ali dan Poernnama (2016:1) mengemukakan bahwa “suatu kontrak atau
perjanjian adalah suatu peristiwa di mana sebrang berianji kepada orang atau di mana
dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”Menurut Rijan dan
Koesoemawati (2009:5) mengemukakan bahwa "kesepakatan antar dua orang atau
lebih tentang sesuatu hal, baik dibuat secara tertulis atau lisan".Menurut Subekti dalam
Setiawan (2016:1) mengemukakan bahwa "perikatan dikatakan sebagai hubungan
hukum antara dua orang atau dua pihak,berdasarkan mana pihak yang satu berhak
menuntut suatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk
memenuhi tuntutan itu".
Definisi perjanjian juga telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Pasal 1313, yaitu bahwa perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih. Kata persetujuan tersebut merupakan terjemahan dari perkataan overeekomst
dalam bahasa Belanda. Kata overeekomst tersebut lazim diterjemahkan juga dengan
kata perjanjian. Jadi persetujuan dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut sama artinya
dengan perjanjian.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Subjek Perjanjian
Subjek dari perbuatan hukum adalah subjek hukum. Subjek hukum terdiri dari
manusia serta badan hukum. Maka dari pada itu semua manusia dan badan hukum dapat
melakukan perjanjian, dengan syarat manusia (orang) dan badan hukum tersebut sudah
dinyatakan cakap menurut hukum.
1. Subjek Perjanjian berupa Manusia (Orang)
R. Subekti berpendapat yang dikatakan subjek perjanjian adalah:
a. Yang membuat perjanjian (orang) sudah cakap atau sanggup melakukan
perbuatan hukum tersebut.
b. Para pihak yang membuat perjanjian harus melaksanakan perjanjian dengan
dasar kebebasan menentukan kehendaknya. Artinya dalam membuat
perjanjian tidak ada paksaan dari pihak manapun, tidak ada kehilafan, atau
penipuan. Karena sepakat diantara keduanya akan mengikat mereka.
2. Badan Hukum Badan hukum adalah badan-badan perkumpulan dari orang-orang
yang diciptakan oleh hukum. Badan hukum sebagai subjek hukum dapat bertindak
hukum (melakukan perbuatan hukum) seperti halnya manusia. Karena badan
hukum dapat melakukan persetujuan-persetujuan. Persetujuan-persetujuan yang
dilakukan oleh badan hukum menggunakan perantara orang sebagai pengurusnya
Badan hukum dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Badan Hukum Publik (Publiek Recht Persoon)
Badan hukum publik adalah badan hukum yang didirikan secara publik dimana
tujuan pendiriaanya untuk kepentingan publik atau orang banyak. Dengan
demikian badan hukum publik merupakan badan hukum negara yang dibentuk
oleh yang berkuasa (pemerintah) dengan dasar Undang-Undang yang
dijalankan secara fungsional. Contohnya adalah Bank Indonesia dan
Perusahaan Negara.
b. Badan Hukum Privat (Privat Recht Persoon)
Badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum sipil atau perdata yang mana
didirikan untuk kepentingan orang yang ada di dalam badan hukum itu sendiri.
Berbeda dengan badan hukum publik yang tidak mencari keuntungan

6
didalamnya, badan hukum privat didirikan karena untuk mencari keuntungan
sebuah kelompok, yang bergerak dibidang sosial, pendidikan, ilmu
pengerahuan, dan lain-lain dengan mengacu pada hukum yang sah. Contohnya
adalah Perserooan Terbatas, Koperasi, Yayasan, Badan Amal.
Akibat dari subjek hukum yang tidak sah maka suatu perjanjian yang dibuat
dapat dibatalkan (voidable).

B. Objek Perjanjian
Objek perjanjian harus dapat ditentukan. Tidak dilihat dari apakah barang itu
sudah ada untuk sekarang atau yang akan ada nanti. Sehingga yang dapat menjadi objek
perjanjian antara lain:
1. Barang yang dapat diperdagangkan
2. Barang yang dapat ditentukan jenisnya
Tidak menjadi masalah jika untuk sekarang jumlahnya tidak bisa ditentukan, yang
jelas dikemudian hari jumlahnya dapat ditentukan.
3. Barang-barang yang akan ada dikemudian hari.
Selain itu ada barang yang tidak dapat dijadikan objek perjanjian, yaitu:
1. Barang diluar perdagangan, misalnya senjata resmi yang dipakai negara
2. Barang yang dilarang Undang-Undang, misalnya narkoba
3. Warisan yang belum terbuka
Subekti menambahkan terkait objek perjanjian:
1. Yang telah dijanjikan para pihak harus jelas agar dapat mementukan hak dan
kewajiban para pihak.
2. Yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan Undang-Undang, ketentuan umum,
kesusilaan.

Jika suatu objek perjanjian tidak sesuai maka perjanjian yang dibuat batal demi
hukum (void/noid).

C. Studi Kasus

1. PELAKSANAAN PERJANJIAN PEMBERIAN KUASA DALAM HAL


PEMBELIAN TIKET PESAWAT (Studi Kasus di PT Nabawi Tour & Travel)
Perseroan Terbatas Nabawi Mulia Tour & Travel merupakan perusahaan yang
bergerak dalam bidang tour & travel (biro perjalanan ibadah haji, umroh dan wisata

7
religi) yang berkantor pusat di Jalan Suryodiningratan 3 Yogyakarta, dalam hal
melakukan perjanjian pemberian kuasa ini diwakilkan oleh Direktur Utama PT
tersebut. Sedangkan Perseroan Terbatas X (cabang X Group) adalah biro perjalanan
umroh dan haji plus (penyalur atau perantara tiket pesawat) yang berkantor pusat di
Yogyakarta, dalam hal melakukan perjanjian pemberian kuasa ini diwakilkan oleh
Direktur Utama PT X tersebut.
Merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan melakukan
wawancara kepada Kuasa Hukum Pihak I (PT Nabawi Mulia Tour & Travel) yang
menangani secara langsung kasus yang diteliti, ditemukan temuan-temuan berikut
ini: mulanya Pihak I (PT Nabawi Mulia Tour & Travel) akan memberangkatkan 25
jamaah umroh pada bulan Februari dan bulan Mei pada tahun 2017. Lalu Pihak II
(PT X) menawarkan harga tiket pesawat Garuda Indonesia yang lebih murah kepada
Pihak I (PT Nabawi Mulia Tour & Travel) dan Pihak I (PT Nabawi Mulia Tour &
Travel) menyetujui tawaran Pihak II (PT X). Setelah menyepakati harga, kemudian
melakukan transaksi dengan membayarkan sebesar Rp 163.312.000 kepada Pihak
II (PT X) untuk kemudian dibelikan tiket pesawat sesuai dengan perjanjian lisan
tersebut.
Namun, Pihak II (PT X) tidak membayarkan uang tersebut ke Pihak Penjual
(Maskapai Garuda Indonesia), padahal beberapa minggu lagi jamaah umroh akan
berangkat. Akhirnya Pihak II (PT Nabawi Mulia Tour & Travel) berinisiatif untuk
membayar tiket yang sudah dipesan sebesar Rp 163.312.000 kepada Pihak Penjual
(Maskapai Garuda Indonesia) agar jamaah tetap bisa melaksanakan ibadah umroh.
Dalam hal ini Pihak II (PT X) telah melakukan wanprestasi dan Pihak I (PT Nabawi
Mulia Tour & Travel) merugi sebesar Rp 163.312.000.
Setelah adanya kasus tersebut, Pihak I (PT Nabawi Mulia Tour & Travel) dan
Pihak II (PT X) kemudian mengadakan perjanjian kesepakatan bersama secara
tertulis dengan diwakilkan oleh kuasa hukum masing-masing. Perjanjian tersebut
berisi bahwa Pihak I (PT. Nabawi Mulia Tour & Travel) dan Pihak II (PT. X ) akan
menyelesaikan permasalahan secara kekeluargaan, kesanggupan Pihak II (PT. X )
untuk membayar uang sebesar Rp 163.312.000,00 kepada Pihak I (PT. Nabawi
Mulia Tour & Travel) dengan cara diangsur beberapa kali mulai tanggal 15 Juni
2017 hingga 15 September 2017 dan apabila Pihak II (PT. X ) tidak membayarkan
uang sesuai dengan yang diperjanjikan, maka Pihak II (PT. X ) bersedia untuk
ditindak sesuai hukum yang berlaku yaitu hukum pidana maupun hukum perdata.

8
Dari kasus diatas, berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata , untuk sahnya suatu
perjanjian diperlukan empat syarat dimana syarat tersebut harus dipenuhi oleh PT
Nabawi Tour & Travel dan PT X dalam melakukan perjanjian, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal.

Dalam hal pemenuhannya tidak selamanya sesuai dengan apa yang telah
disepakati dan diperjanjikan. Ketidakmampuan melakukan suatu prestasi atau disebut
dengan wanprestasi seringkali menumbulkan masalah, walaupun perjanjian pemberian
kuasa dinyatakan secara jelas dan tegas dalam suatu perjanjian.

Menurut R. Soebekti wanpretasi ada empat macam bentuk wanprestasi, dan


penerapannya dalam kasus ini, yaitu:

a. Tidak melakukan apa yang disanggupi untuk dilakukan, dalam hal ini apa yang
telah diperjanjikan tidak dilakukan.

b. Melaksanakan apa yang diperjanjikannya tetapi tidak sebagaimana yang


diperjanjikan, dalam hal ini pelaksanaan tidak sesuai dengan yang dimaksud
atau diperjanjikan.

c. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan, dalam hal
ini terdapat pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang ada dalam
perjanjian.

d. Terlambat melakukan prestasi

Unsur-unsur dari wanprestasi, adalah:

1. adanya kesalahan yaitu berupa kesengajaan dan atau kelalaian dari debitur itu
sendiri. Dalam kasus ini, PT X adalah pihak yang telah lalai untuk memenuhi
prestasi;

2. Adanya kerugian yang diderita oleh salah satu pihak. Dalam kasus ini, pihak
yang merugi adalah PT Nabawi Tour & Travel;

9
3. Adanya perjanjian yang menyimpang. Dalam kasus ini, PT X tidak memenuhi
prestasi sama sekali dan melakukan prestasi tidak seperti yang diperjanjikan,
serta melakukan hal yang tidak boleh dilakukan dalam perjanjian

4. Adanya somasi. Berdasarkan Pasal 1238 KUHPerdata yang berbunyi: “ Debitur


dinyatakan Ialai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau
berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini
mengakibatkan debitur harus dianggap Ialai dengan lewatnya waktu yang
ditentukan ”, PT X sudah menerima teguran secara lisan untuk segera melunasi
utang.

Berdasarkan penelitian penulis, upaya-upaya penyelesaian wanprestasi yang


telah dilakukan oleh kedua belah pihak diatas bila ini digambarkan teori berkaitan
dengan penyelesaian kredit secara 3R maka penjelasannya yaitu sebagai berikut:

a. Penjadwalan kembali ( Rescheduling ).

b. Persyaratan Kembali ( Reconditioning ).

c. Penataan Kembali ( Restructuring ).

Dengan adanya 3R seperti diatas, PT X dan PT Nabawi Tour & Travel telah
melakukan 2 tahap yaitu Rescheduling dan Reconditioning yang melahirkan Surat
Kesepakatan Bersama. Dan kelanjutan dari penyelesaian yang dipilih oleh PT Nabawi
Tour & Travel adalah penyelesaian secara nonlitigasi. Penyelesaian sengketa secara
nonlitigasi adalah penyelesaian masalah di luar pengadilan yang didasarkan pada
hukum.

Dari hasil penelitian penulis, penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh PT


Nabawi Tour & Travel dan PT X adalah dengan cara Konsultasi dan Negosiasi, adapun
penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Konsultasi

Konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara


suatu pihak tertentu, yang disebut dengan klien, dengan pihak lain yang

10
merupakan pihak konsultan, yang memberikan pendapatnya kepada kliennya
untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut.

Dalam kasus ini, sebagai klien adalah PT Nabawi Tour & Travel dan
Master Justice sebagai pihak konsultan. Hasil keputusan mengenai penyelesaian
sengketa yaitu PT Nabawi Tour & Travel memutuskan untuk mengadakan
negosiasi dengan PT X dimana masing-masing pihak yang bersengketa
diwakilkan oleh kuasa hukum masing-masing.

2. Negosiasi

Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa dimana antara dua orang


atau lebih atau para pihak yang mempunyai hal atau bersengketa saling
melakukan kompromi atau tawar menawar terhadap kepentingan penyelesaian
suatu hal atau sengketa untuk mencapai kesepakatan. Diharapkan akan tercipta
win-win solution dan akan mengakhiri sengketa tersebut secara baik. Tenggang
waktu penyelesaian paling lama 14 hari, dan penyelesaian tersebut harus
dilakukan dalam bentuk pertemuan langsung oleh dan diantara para pihak yang
bersengketa.

Berdasarkan penelitian penulis, hasil penyelesaian sengketa dari


negosiasi kedua belah pihak yang bersengketa adalah terciptanya Surat
Kesepatan Bersama, lalu kemudian hasil negosiasi yang kedua yaitu Pihak II
(PT Nabawi Tour & Travel) tidak melanjutkan ke jalur Litigasi atau pengadilan.

2. Upaya Perusahaan Pembiayaan Konsumen Untuk Menyelesaikan


Wanprestasi Berupa Pengalihan Objek Perjanjian Kepada Pihak Ketiga
(Studi Kasus Di PT Trihammas Finance Cabang Madiun)
Madiun merupakan salah satu kota dengan perkembangan industri yang
lumayan maju, banyaknya industri tersebut maka secara tidak langsung berdampak
dengan kebutuhan masyarakat, khususnya kebutuhan dalam bidang transportasi
darat yaitu mobil. Kegunaan mobil tersebut juga beragam, ada yang dijadikan
kendaraan umum, kendaraan komersil, dan kendaraan pribadi. Untuk memiliki
sebuah mobil tidaklah mudah, karena tingginya harga mobil secara tunai.
Berdasarkan keadaan tersebut, maka Trihamas finance membuka cabang di
Madiun, tepatnya pada tanggal 6 september 2007 yang berkedudukan di Jalan

11
Letjen MT. Haryono Nomor 79, Madiun. Adapun tujuan pembukaan cabang di
Madiun yaitu untuk membantu masyarakat memiliki sebuah kendaraan khususnya
mobil baik untuk kendaraan umum, komersil maupun pribadi dengan memberikan
fasilitas pembiayaan berupa pembelian secara angsuran atau kredit.
Perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan mengikat mereka untuk
mematuhinya. Hal tersebut juga terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata
yang menyebutkan bahwa: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Akan tetapi dalam
kenyataan tidak selalu sesuai dengan apa yang diharapkan, misalnya pada
perjanjian pembiayaan dengan penyerahan hak milik secara fidusia di Trihamas
Finance Cabang Madiun, telah terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh debitur.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, bentuk wanprestasi yang
dilakukan debitur yaitu berupa pengalihan objek perjanjian kepada pihak ketiga,
dan berikut ini diambil dua contoh kasus pengalihan objek perjanjian kepada pihak
ketiga yang terjadi di Trihamas Finance Cabang Madiun.

3. Pelaksanaan Perjanjian Jual Beli Sepeda Motor dengan Sistem Indent


Perspektif Ekonomi Islam (Studi Kasus Pada Dealer Pt. Thamrin Brother
Kota Bengkulu)
Tingginya minat masyarakat untuk memiliki sepeda motor baru dengan
fasilitas yang dimilikinya, mengakibatkan kelangkaan barang yang sudah siap pada
dealer, akibat permintaan customer atas tipe dan warna tertentu yang diinginkan
lebih banyak sedangkan ketidaksiapan stock barang pada dealer sepeda motor
Yamaha Thamrin Brother, maka terjadilah jual beli sepeda motor yang ditawarkan
pihak dealer tersebut kepada konsumen dengan menggunakan sistem indent
(Pesanan). Dalam konteks jual beli indent, para pihak yang melakukan perjanjian
dituangkan dalam kontrak, dan pihak lainnya menyetujui akan syarat dan ketentuan,
sehingga mencapai kesepakatan yang kuat.
Demikian juga halnya pada proses pelaksanaan perjanjian jual beli sepeda
motor dengan sistem indent pada dealer PT. Thamrin Brother Kota 44
Bengkulu.Sistem indent nyaris sama halnya dengan jual beli sepeda motor biasa.
Yaitu pada awalnya biasanya konsumen mencari informasi terkait barang yang
diinginkannya dan diterangkan oleh sales conter dari pihak dealer. Berdasarkan
pengumpulan data yang diperoleh penulis yang dilakukan pada dealer PT. Thamrin

12
Brother Kota Bengkulu maka penulis menanyakan secara langsung kepada sales
conter sepeda motor Yamaha tersebut.
Dari wawancara yang dilakukan oleh penulis dengan sales counter sepeda motor
Yamaha pada PT. Thamrin Brother di atas maka kesimpulan dari penulis dapat
dibuat beberapa rangkuman sebagai berikut:
a. Indent adalah sebagai tahap akan melahirkan perjanjian jual beli, yaitu setelah
pihak bersepakat tentang harga dan barang tersebut. Sekalipun barang belum
diserahkan dan harganya belum dilunasi oleh konsumen. Tetapi konsumen pada
saat melakukan transaksi indent harus membayar uang muka kepada PT.
Thamrin Brother atau Sales tersebut sebagai uang muka atau jaminan. Dan
konsumen mengisi formulir (SPK) Surat Pemesanan Kendaraan, berisikan jenis
kendaraan, warna sepeda motor, tipe motor, serta uang muka pemesanan yang
disetorkan. Dan ditandatangani oleh sales dan juga konsumen yang melakukan
transaksi Indent. Tetapi didalam konsumen mengisi formulir (SPK) ini tidak
disebutkan waktu penyerahan barang secara tertulis, hanya saja sales conter
tersebut menjanjikan barang tersebut setidaknya satu minggu barang sampai ke
konsumen tersebut, dan jika terjadi keterlambatan dealer juga tidak bisa dituntut
atau tidak adanya ganti rugi yang diberikan ke konsumen sebagai kelalaian
akibat dari keterlambatan sepeda motor yang menjadi objek indent.
b. Dalam perjanjian transaksi jual beli indent ini, pihak PT. Thamrin Brother
bertanggung jawab penuh atas kerusakan atau bila terjadi kecacatan barang
yang menjadi objek Indent setelah penyerahan atau sebelumnya, tetapi
konsumen hanya mengetahui hak dan kewajiban dari penjelasan formulir
pemesanan barang pada saat terjadi akad indent. Semua ketentuan dan 48
ketetapan diatur oleh perusahaan, konsumen hanya memastikan barang yang
dipesan sesuai tipe, warna dan kelengkapan sepeda motor tersebut. Dan harga
pun sudah ditentukan oleh pihak perusahaan tersebut.

Tinjauan Ekonomi Islam Terhadap Pelaksanaan Perjanjian Jual Beli Sepeda


Motor dengan Sistem Indent pada Dealer PT. Thamrin Brother Kota Bengkulu

1. Ketentuan terkait rukun salam

13
Jika dilihat dari segi ijab dan qabulnya, maka dalam praktek indent pada dealer
sepeda motor Yamaha di PT. Thamrin Brother Kota Bengkulu. Sales conter
melakukan akad perjanjian indent secara lisan dan diikuti dengan perjanjian tertulis.
Sehingga apabila pihak konsumen melanggar perjanjian tersebut yang telah
disepakati, maka pihak dealer dapat menggugat pihak tersebut. Subjek perjanjian
dalam akad salam adalah sales conter dan konsumen. Sedangkan objek dalam
perjanjian itu adalah sepeda motor Yamaha. Dilihat dari hasil pengamatan penulis
bahwa akad yang dilakukan antara kedua belah pihak dalam perjanjian sah, karena
telah sesuai dengan akad salam dalam Islam.

2. Rukun dan syarat terkait akad salam pada transaksi sepeda motor Yamaha secara
Indent
Berkaca dari hasil wawancara dan pengamatan, pada transaksi sepeda motor
Yamaha secara indent belum sepenuhnya melakukan praktek akad salam yang
sesuai dengan syariat Islam, karena rukun dan syarat dari Indent pada akad salam
belum sepenuhnya terpenuhi yaitu waktu yang ditetapkan oleh perusahan atau sales
conter belum ada kepastian dari waktu penyerahan barang atau kendaraan tersebut.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Setiap perjanjian atau perikatan harusnya mempunyai unsur subjek maupun
objek. Subjek dari sebuah perjanjian adalah manusia serta badan hukum. Maka dari itu
semua manusia serta badan hukum dapat melakukan perjanjian, dengan syarat manusia
dan badan hukum tersebut sudah dinyatakan cakap dalam hukum. R. Subekti
berpendapat bahwa yang dapat dikatakan sebagai subjek perjanjian adalah: yang
membuat perjanjian (orang) sudah cakap atau sanggup melakukan perbuatan hukum
tersebut, dan para pihak yang membuat perjanjian harus melaksanakan perjanjian
dengan dasar kebebasan menentukan kehendaknya. Artinya dalam membuat perjanjian
tidak ada paksaan dari pihak manapun, tidak ada kehilafan, atau penipuan. Karena
sepakat diantara keduanya akan mengikat mereka.
Adapun untuk objek perjanjian, objek tersebut harus dapat ditentukan. Tidak
dilihat dari apakah barang itu sudah ada untuk sekarang atau yang akan ada nanti.
Sehingga yang dapat menjadi objek perjanjian antara lain:
1. Barang yang dapat diperdagangkan
2. Barang yang dapat ditentukan jenisnya
3. Barang-barang yang akan ada dikemudian hari.
Selain itu ada barang yang tidak dapat dijadikan objek perjanjian, yaitu:
1. Barang diluar perdagangan, misalnya senjata resmi yang dipakai negara
2. Barang yang dilarang Undang-Undang, misalnya narkoba
3. Warisan yang belum terbuka.

B. Saran
Dalam kehidupannya, manusia tidak dapat menghindari dari kegiatan kerjasama. Oleh
karena itu, diperlukan suatu perjanjian agar terhindar dari kerugian yang disebabkan
oleh kegiatan kerjasama, misalnya penipuan. Untuk itu, sebelum melakukan perjanjian,
baiknya seseorang perlu mengetahui siapa saja subjek dan apa saja objek yang
diperbolehkan dalam perjajian tersebut

15
DAFTAR PUSTAKA

Abror, Muhammad. 2020. Pelaksanaan Perjanjian Jual Beli Sepeda Motor dengan
Sistem Indent Perspektif Ekonomi Islam (Studi Pada Dealer Pt. Thamrin
Brother Kota Bengkulu). Skripsi

Subekti, R. 1970. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT. Pembimbing Masa. 16.

Sudikno, Mertokusumo. 1986. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta:


Liberty. 96

Suryandari, Ima. 2018. Pelaksanaan Perjanjian Pemberian Kuasa dalam Hal Pembelian
Tiket Pesawat (Studi Kasus di PT Nabawi Tour & Travel). Skripsi

Wahyudi. 2013. Upaya Perusahaan Pembiayaan Konsumen untuk Menyelesaikan


WANPRESTASI Berupa Pengalihan Objek Perjanjian Kepada Pihak Ketiga.
Skripsi. 6-17

16

Anda mungkin juga menyukai