BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1
1.2 Identifikasi Masalah ................................................................... 3
1.3 Tujuan dan Kegunaan ............................................................... 4
1.4 Metode Pendekatan ................................................................. 4
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN KAJIAN EMPIRIS ..................................... 7
2.1 Kajian Teoritis............................................................................ 7
2.1.1 Pengertian Notaris ............................................................ 15
2.1.2 Tinjuan Jabatan Notaris.................................................... 19
2.1.3 Tanggung Jawab Notaris.................................................. 22
2.2 Kajian Empiris ........................................................................... 24
2.2.1 Notaris Pengganti Khusus ................................................ 24
2.2.2 Magang ............................................................................ 26
2.2.3 Usia Pensiun .................................................................... 27
2.2.4 Kewenangan Notaris dalam Membuat Akta Terkait
Pertanahan ...................................................................... 29
2.2.5 Kewenangan Notaris dalam Membuat Akta Risalah
Lelang ............................................................................... 32
2.2.6 Notaris Yang Diangkat Sebagai Pajabat Negara .............. 33
2.2.7 Pelaksanaan Pengawasan Notaris................................... 35
1
3.6 UU No. 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas
Tanah Jo. UU No. 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan atas
UU No. 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas
Tanah ........................................................................................ 41
3.7 UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah ...................................................................................... 43
3.8 UU No. 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, Lagu
Kebangsaan dan Lambang Negara........................................... 43
2
BAB I
PENDAHULUAN
1 Shidarta, Moralitas Profesi Hukum, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), hal.
127.
4
Perubahan UUJN tersebut dimaksudkan untuk lebih
menegaskan dan memantapkan tugas, fungsi, dan kewenangan
Notaris sebagai pejabat yang menjalankan pelayanan publik sehingga
lebih menjamin perlindungan dan kepastian hukum bagi
masyarakat. Selain itu, perubahan UUJN dimaksudkan agar ada
sinkronisasi antar peraturan perundang-undangan sehingga tugas,
fungsi, dan kewenangan Notaris dapat dilaksanakan dengan baik.
RUU Perubahan atas UUJN merupakan usul inisiatif Dewan
Perwakilan Rakyat Indonesia Republik Indonesia (DPR RI) dan
ditugaskan kepada Badan Legislasi DPR RI untuk menyiapkan RUU
beserta Naskah Akademisnya sebagaimana tercantum dalam
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2011
berdasarkan Keputusan DPR RI No. 02B/DPR RI/II/2010-2011
tanggal 14 Desember 2010 yang sekarang sudah masuk Prolegnas
Prioritas Tahun 2012 berdasarkan Keputusan DPR RI No. 08/DPR
RI/II/2011-2012 tanggal 16 Desember 2012.
5
5. Pengaturan terhadap pengawasan pelaksanaan jabatan Notaris
yang sampai saat ini belum bisa dilaksanakan sepenuhnya.
6. Relevansi keberadaan Notaris pengganti khusus dalam
perkembangannya saat ini.
7. Terdapat penafsiran rangkap jabatan dalam hal Notaris yang
menjadi pejabat negara.
6
Selain itu, Badan Legislasi telah mengundang pakar kenotariatan
dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dari Universitas Padjadjaran,
yaitu Prof. Dr. Wiratni Ahmadi, SH.
Pengumpulan data ke lapangan telah dilakukan pada tanggal
18-21 April 2011 di 2 (dua) provinsi, yaitu Provinsi Sumatera Utara
dan Provinsi Sulawesi Selatan, dengan pemangku kepentingan
maupun para pakar sebagai berikut:
1. Provinsi Sumatera Utara
a. Pengurus Wilayah INI/IPPAT Sumatera Utara.
b. Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU).
c. Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kantor Wilayah Sumatera
Utara.
d. Kementerian Hukum dan HAM Kantor Wilayah Sumatera
Utara.
e. Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL)
Sumatera Utara.
2. Provinsi Sulawesi Selatan
a. Kementerian Hukum dan HAM Kantor Wilayah Sulawesi
Selatan, Majelis Pengawas Notaris Wilayah Provinsi Sulawesi
Selatan dan Majelis Pengawas Daerah Kabupaten Gowa.
b. Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Hasanuddin
(UNHAS).
c. Pengurus Wilayah INI/IPPAT Sulawesi Selatan.
d. Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL)
Sulawesi Selatan.
Adapun masukan dari masyarakat diperoleh dari Kunjungan
Kerja Badan Legislasi DPR RI pada tanggal 19-21 Mei 2011 di 3 (tiga)
provinsi, yaitu Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, dan Provinsi Bali dengan pemangku kepentingan
maupun para pakar sebagai berikut:
1. Provinsi Jawa Tengah
Masukan dari Provinsi Jawa Tengah berasal dari:
a. Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Jawa Tengah.
b. Kanwil Badan Pertanahan Nasional Jawa Tengah.
c. Pengurus Wilayah INI Jawa Tengah.
d. Pengurus Wilayah IPPAT Jawa Tengah.
e. Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro.
f. Kantor Badan Pertanahan Kabupaten Magelang.
g. Pengurus Daerah INI/IPPAT Kabupaten Magelang.
2. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Masukan dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berasal dari:
7
a. Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Daerah Istimewa
Yogyakarta.
b. Kanwil Badan Pertanahan Nasional Daerah Istimewa
Yogyakarta.
c. Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Daerah
Istimewa Yogyakarta.
d. Pengurus Wilayah INI Daerah Istimewa Yogyakarta.
e. Pengurus Wilayah IPPAT Daerah Istimewa Yogyakarta.
f. Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
3. Provinsi Bali
Masukan dari Provinsi Bali berasal dari:
a. Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Bali.
b. Kanwil Badan Pertanahan Nasional Bali.
c. Kelompok Ahli Bidang Hukum Pemerintah Provinsi Bali.
d. Pengurus Wilayah INI/IPPAT Bali.
e. Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali.
8
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN KAJIAN EMPIRIS
3
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: Liberty,
1981, hal. 149.
4 Ibid, hal. 110.
5 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermesa, Cetakan ke XVIII,
1984, hal.178.
10
Yang dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta
yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan
rumah tangga dan tulisan-tulisan lain yang dibuat tanpa
perantaraan seorang pejabat umum. (KUHPerd. 1875, 1878, 1880
dst., 1902; S. 1867-29.) (s.d.t. dg. S. 1916-42, 43; s.d.u. dg. S.
1919-609, 775.) Dengan penandatanganan sebuah tulisan di
bawah tangan disamakan pembubuhan suatu cap jempol dengan
suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang notaris atau
seorang pejabat lain yang ditunjuk undang-undang, yang
menyatakan bahwa pembubuh cap jempol tersebut dikenalnya
atau telah diperkenalkan kepadanya, bahwa isi akta telah
dijelaskan kepada orang itu, dan bahwa setelah itu cap jempol
tersebut dibubuhkan pada tulisan tersebut di hadapan pejabat
yang bersangkutan. Pegawai ini harus membukukan tulisan
tersebut. Dengan undang-undang dapat diadakan aturan-aturan
lebih lanjut tentang pernyataan dan pembukuan termaksud. (S.
1916-46; RBg. 286.)
Jadi untuk dapat digolongkan sebagai akta suatu surat harus
ada tanda tangannya seperti yang disyaratkan dalam Pasal 1869
KUHPerdata bahwa suatu akta yang, karena tidak berkuasa atau
tidak cakapnya pegawai dimaksud di atas (Pasal 1868
KUHPerdata) atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak
dapat diperlakukan sebagai akta otentik namun demikian
mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan jika ia
ditandatangani oleh para pihak.
Keharusan adanya tandatangan bertujuan untuk
membedakan akta yang satu dari akta yang lainnya atau akta
yang dibuat oleh orang lain, jadi fungsi tandatangan tidak lain
adalah untuk memberikan ciri sebuah akta atau untuk
mengindividualisir sebuah akta karena identifikasi dapat dilihat
dari tanda tangan yang dibubuhkan pada akta tersebut dan
dengan penandatanganan itu seseorang dianggap menjamin
tentang kebenaran dari apa yang ditulis dalam akta itu. Yang
dimaksudkan dengan penandatangan dalam akta ini adalah
membubuhkan nama dari si penanda tangan, sehingga
membubuhkan paraf, yaitu singkatan tanda tangan saja dianggap
belum cukup, nama tersebut harus ditulis tangan oleh si
penandatangan sendiri atas kehendaknya sendiri. Dipersamakan
dengan tanda tangan pada suatu akta dibawah tangan adalah
sidik jari (cap jari atau cap jempol) yang dikuatkan dengan suatu
keterangan yang diberi tanggal oleh seorang Notaris atau pejabat
11
lain yang ditujuk oleh undang-undang, yang menyatakan bahwa
ia mengenal orang yang membubuhkan sidik jari atau orang itu
diperkenalkan kepadanya, dan bahwa isi akta itu telah dibacakan
dan dijelaskan kepadanya, kemudian sidik jari itu dibubuhkan
pada akta di hadapan pejabat tersebut, pengesahan sidik jari ini
lebih dikenal dengan waarmerking.
2. Surat itu harus memuat peristiwa yang menjadi dasar sesuatu
hak atau perikatan. Jadi surat itu harus berisikan suatu
keterangan yang dapat menjadi bukti yang dibutuhkan, dan
peristiwa hukum yang disebut dalam surat itu haruslah
merupakan peristiwa hukum yang menjadi dasar dari suatu hak
atau perikatan.
3. Surat itu diperuntukkan sebagai alat bukti
Jadi surat itu memang sengaja dibuat untuk dijadikan alat bukti.
Menurut ketentuan aturan Bea Materai Tahun 1921 dalam Pasal
23 ditentukan antara lain: bahwa semua tanda yang ditanda
tangani yang diperbuat sebagai buktinya perbuatan kenyataan
atau keadaan yang bersifat hukum perdata dikenakan bea
materai tetap sebesar Rp.25,-. Oleh karena itu sesuatu surat yang
akan diuji pembuktian di pengadilan harus ditempeli bea materai
secukupnya(sekarang sebesar Rp.6.000,-). Berdasarkan
ketentuan dan syarat-syarat tersebut di atas, maka surat jual
beli, surat sewa menyewa, bahkan sehelai kwitansi adalah suatu
akta, karena ia dibuat sebagai bukti dari suatu peristiwa hukum
dan tanda tangani oleh berkepentingan.
Akta Notaris adalah akta otentik, suatu tulisan yang sengaja
dibuat untuk membuktikan suatu peristiwa atau hubungan hukum
tertentu. Sebagai suatu akta yang otentik, yang dibuat dalam bentuk
yang sudah ditentukan oleh Undang-Undang (Pasal 38 UUJN),
dibuat di hadapan pejabat-pejabat (pegawai umum) yang diberi
wewenang dan di tempat di mana akta tersebut dibuat. Maka akta
Notaris itu memberikan kekuatan pembuktian yang lengkap dan
sempurna bagi para pihak yang membuatnya. Kesempurnaan akta
Notaris sebagai alat bukti, maka akta tersebut harus dilihat apa
adanya, tidak perlu dinilai atau ditafsirkan lain, selain yang tertulis
dalam akta tersebut.
Akta Notaris merupakan perjanjian para pihak yang mengikat
mereka yang membuatnya, oleh karena itu syarat-syarat sahnya
perjanjian harus dipenuhi. Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur
tentang syarat sahnya perjanjian, ada syarat subyektif yaitu syarat
12
yang berkaitan dengan subjek yang mengadakan atau membuat
perjanjian, yang terdiri dari kata sepakat dan cakap bertindak untuk
melakukan suatu perbuatan hukum, dan syarat obyektif yaitu syarat
yang berkaitan dengan perjanjian itu sendiri atau berkaitan dengan
objek yang dijadikan perbuatan hukum oleh para pihak, yang terdiri
dari suatu hal tertentu dan sebab yang tidak dilarang. 6
Akibat hukum tertentu jika syarat subyektif tidak terpenuhi
maka perjanjian dapat dibatalkan sepanjang sepanjang ada
permintaan oleh orang-orang tertentu atau yang berkepentingan.
Syarat obyektif ini ika tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi
hukum, tanpa perlu ada permintaan dari para pihak, dengan
demikian perjanjian dianggap tidak pernah ada dan tidak mengikat
siapa pun.
Syarat subyektif perjanjian dicantumkan dalam akta Notaris
dalam awal akta dan syarat obyektif dicantumkan dalam Badan Akta
sebagai isi akta, Isi akta merupakan perwujudan dari Pasal 1338
KUHPerdata mengenai kebebasan berkontrak dan memberikan
kepastian dan perlindungan hukum kepada para pihak mengenai
perjanjian yang dibuatnya. Dengan demikian, jika dalam awal akta ,
terutama syarat-syarat para pihak yang menghadap Notaris tidak
memenuhi syarat subyektif, maka atas permintaan orang tertentu
tersebut dapat dibatalkan. Jika dalam isi akta tidak memenuhi
syarat objektif, maka dianggap membatalkan seluruh badan akta,
termasuk membatalkan syarat objektif. Syarat subjektif ditempatkan
sebagai sebagai bagian dari awal akta, dengan alasan meskipun
syarat subyektif tidak dipenuhi sepenjang tidak ada pengajuan
pembatalan dengan cara gugatan dari orang-orang tertentu, maka isi
akta yang berisi syarat objektif tetap mengikat para pihak, hal ini
berbeda jika syarat objektif tidak dipenuhi, maka akta dianggap
tidak pernah ada.
Menurut bentuknya akta dapat dibagi menjadi akta otentik dan
akta di bawah tangan. Pengertian akta otentik dapat ditemukan
dalam pasal 1868 KUHPer yaitu akta yang di dalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan
pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana
akta itu dibuatnya atau dengan kata lain akta otentik adalah akta
yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh
penguasa menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan baik
6 Habib Adjie, Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia, Bandung: Mandar
Maju, 2009, hal. 37.
13
dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan, yang
mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang
berkepentingan.
Suatu akta otentik dapat dibagi lebih lanjut menjadi akta yang
dibuat oleh pejabat dan akta yang dibuat oleh para pihak. Akta
otentik yang dibuat oleh pejabat merupakan akta yang dibuat oleh
pejabat yang memang berwenang untuk itu dengan mana pejabat itu
menerangkan apa yang dilihat serta apa yang dilakukannya. Adapun
akta otentik yang dibuat oleh para pihak berarti akta tersebut dibuat
oleh pejabat yang berwenang atas inisiatif dari para pihak yang
berkepentingan tersebut, contohnya adalah akta jual beli, akta
hibah, dan lain-lain. Sedangkan yang dimaksud dengan akta di
bawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian
oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat jadi hanya
antara para pihak yang berkepentingan saja. Dalam KUHPer diatur
dalam Pasal 1875 bahwa suatu tulisan di bawah tangan yang diakui
oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, atau yang
dengan cara menurut undang-undang dianggap sebagai diakui,
memberikan terhadap orang-orang yang menandatanganinya serta
para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak dari pada
mereka bukti yang sempurna seperti suatu akta otentik, dan
demikian pula berlakulah ketentuan pasal 1871 untuk tulisan itu.
Akta mempunyai dua fungsi yaitu fungsi formil (formalitas
causa) dan fungsi alat bukti (probationis causa). Fungsi formil artinya
akta berfungsi untuk lengkapnya atau sempurnanya suatu
perbuatan hukum, jadi bukan sahnya perbuatan hukum. Jadi
adanya akta merupakan syarat formil untuk adanya suatu
perbuatan hukum. Fungsi alat bukti berarti akta mempunyai fungsi
sebagai alat bukti, karena sejak awal akta tersebut dibuat dengan
sengaja untuk pembuktian di kemudian hari.
Sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta ini tidak
membuat sahnya perjanjian tetapi hanyalah agar dapat digunakan
sebagai alat bukti di kemudian hari. Akta Otentik sebagai Alat Bukti
yang Sempurna, pembuktian dalam hukum acara mempunyai arti
yuridis berarti hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara atau
yang memperoleh hak dari mereka dan tujuan dari pembuktian ini
adalah untuk memberi kepastian kepada Hakim tentang adanya
suatu peristiwa-peristiwa tertentu. Maka pembuktian harus
dilakukan oleh para pihak dan siapa yang harus membuktikan atau
yang disebut juga sebagai beban pembuktian berdasarkan pasal 163
HIR ditentukan bahwa barang siapa yang menyatakan ia mempunyai
14
hak atau ia menyebutkan sesuatu perbuatan untuk menguatkan
haknya itu atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu
harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu. Ini
berarti dapat ditarik kesimpulan bahwa siapa yang mendalilkan
sesuatu maka ia yang harus membuktikan.
Menurut sistem dari HIR hakim hanya dapat mendasarkan
putusannya atas alat-alat bukti yang sudah ditentukan oleh
UndangUndang. Menurut pasal 164 HIR alat-alat bukti terdiri dari :
1. Bukti tulisan;
2. Bukti dengan saksi;
3. Persangkaan;
4. pengakuan;
5. sumpah.
Untuk dapat membuktikan adanya suatu perbuatan hukum,
maka diperlukan alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian
Dalam hal ini agar akta sebagai alat bukti tulisan mempunyai
kekuatan pembuktian yang sempurna, maka akta tersebut harus
memenuhi syarat otentisitas yang ditentukan oleh undang-undang,
salah satunya harus dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang
berwenang. Dalam hal harus dibuat oleh atau di hadapan pejabat
yang berwenang inilah profesi Notaris memegang peranan yang
sangat penting dalam rangka pemenuhan syarat otentisitas suatu
surat atau akta agar mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna karena berdasarkan pasal 1 UUJN Notaris adalah pejabat
umum yang berwenang untuk membuat akta otentik.
Akta otentik merupakan alat bukti yang sempurna,
sebagaimana dimaksud dalam pasal 1870 KUHPerdata. Akta otentik
memberikan diantara para pihak termasuk para ahli warisnya atau
orang yang mendapat hak dari para pihak itu suatu bukti yang
sempurna tentang apa yang diperbuat/ dinyatakan di dalam akta ini.
Kekuatan pembuktian sempurna yang terdapat dalam suatu akta
otentik merupakan perpaduan dari beberapa kekuatan pembuktian
dan persyaratan yang terdapat padanya. Ketiadaan salah satu
kekuatan pembuktian ataupun persyaratan tersebut akan
mengakibatkan suatu akta otentik tidak mempunyai nilai kekuatan
pembuktian yang sempurna dan mengikat sehingga akta akan
kehilangan keotentikannya dan tidak lagi menjadi akta otentik.
15
Dalam suatu akta otentik harus memenuhi kekuatan
pembuktian lahiriah, formil dan materil, yaitu : 7
1. Kekuatan pembuktian lahiriah, yang dimaksud dengan kekuatan
pembuktian lahir berarti kekuatan pembuktian yang didasarkan
atas keaadaan lahir akta itu sendiri. Menurut Efendi, Bachtiar
dkk, kekuatan pembuktian lahir sesuai dengan asas “acta publica
probant seseipsa” yang berarti suatu akta yang lahirnya tampak
sebagai akta otentik serta memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan maka akta itu berlaku atau dapat dianggap sebagai
akta otentik sampai terbukti sebaliknya.
2. Kekuatan Pembuktian Formil, artinya dari akta otentik itu
dibuktikan bahwa apa yang dinyatakan dan dicantumkan dalam
akta itu adalah benar merupakan uraian kehendak pihak-pihak
yang menghadap pada saat yang tercantum dalam akta. Secara
formil, akta otentik menjamin kebenaran dan kepastian hari,
tanggal, bulan, tahun, pukul (waktu) menghadap, dan para pihak
yang menghadap, tanda tanga para pihak, Notaris dan saksi dan
tempat akta dibuat. Dalam arti formil pula akta Notaris
membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan yaitu yang
dilihat, didengar dan dialami sendiri oleh Notaris sebagai Pejabat
Umum dalam menjalankan jabatannya. Akta dibawah tangan
tidak mempunyai kekuatan pembuktian formil, terkecuali bila si
penanda tangan dari surat/akta itu mengakui kebenaran tanda
tangannya.
3. Kekuatan Pembuktian Materiil, merupakan kepastian tentang
materi suatu akta, bahwa apa yang tersebut dalam akta
merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang
membuat akta. Keterangan yang disampaikan pengahadap
kepada Notaris dituangkan dalam akta dinilai telah benar. Jika
keterangan para penghadap tidak benar, maka hal tersebut
adalah tanggung jawab para pihak sendiri.
4. Nilai Pembuktian Akta Otentik Dalam Putusan Pengadilan
Pejabat Notaris fungsinya mencatatkan apa-apa yang
dikehendaki dan dikemukakan oleh para pihak yang menghadap
Notaris tersebut. Notaris tidak berkewajiban untuk menyelidiki
secara materil apa-apa yang dikemukakan oleh penghadap
Notaris tersebut sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku.
Jika kemudian ternyata terbukti bahwa yang menghadap Notaris
tersebut bukanlah orang yang sebenarnya, sehingga
menimbulkan kerugian orang yang sebenarnya, maka
7Bachtiar, Efendi dkk, Surat Gugat dan Hukum Pembuktian dalam Perkara
Perdata, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hal. 63.
16
pertanggungjawaban pidana tidak dapat dibebankan kepada
Notaris.
Karena unsur kesalahannya tidak ada, dan Notaris telah
melaksanakan tugas jabatan sesuai aturan hukum yang berlaku,
maka Notaris tersebut harus dilepaskan dari tuntutan. 8 Notaris
sebagai pengemban amanat dan kepercayaan masyarakat dan
perannya yang penting dalam lalu lintas hukum, sudah selayaknya
Notaris mendapatkan perlindungan hukum dalam menjalankan
jabatannya termasuk pula dalam hal Notaris diduga melakukan
pelanggaran kode etik dan dugaan unsur pidana harus
dikedepankan asas praduga tak bersalah dan peranan yang serius
dari perkumpulan untuk memberikan perlindungan hukum. Dalam
gugatan untuk menyatakan akta Notaris tersebut tidak sah,
makaharus dibuktikan ketidakabsahan dari aspek lahiriah, formil
dan materil akta Notaris.
2.1.1 Pengertian Notaris
Munculnya lembaga Notaris dilandasi kebutuhan akan
suatu alat bukti yang mengikat selain alat bukti saksi.
Adanya alat bukti lain yang mengikat, mengingat alat bukti
saksi kurang memadai lagi sebab sesuai dengan
perkembangan masyarakat, perjanjian-perjanjian yang
dilaksanakan anggota masyarakat semakin rumit dan
kompleks. Istilah Notaris pada dasarnya berasal dari kata
“notarius” (bahasa latin), yaitu nama yang diberikan pada
orang-orang Romawi di mana tugasnya menjalankan
pekerjaan menulis atau orang-orang yang membuat catatan
pada masa itu, yang kemudian menjadi istilah atau titel bagi
golongan orang penulis cepat atau stenografer. Notaris sendiri
adalah salah satu cabang dari profesi hukum yang tertua di
dunia. Hampir selama seabad lebih, eksistensi Notaris dalam
memangku jabatannya didasarkan pada ketentuan Reglement
Of Het Notaris Ambt In Nederlandsch No. 1860 : 3 yang mulai
berlaku 1 Juli 1860. Dalam kurun waktu itu, Peraturan
Jabatan Notaris mengalami beberapa kali perubahan. Pada
saat ini, Notaris telah memiliki Undang-Undang tersendiri
dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris (UUJN).
8 Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administrasi terhadap Notaris sebagai Pejabat
Publik, Surabaya: Refika Aditama, 2007, hal. 77.
17
Pengertian Notaris dalam sistem Civil Law yang diatur
dalam Pasal 1 Ord, stbl. 1860 nomor 3 tentang Jabatan
Notaris di Indonesia mulai berlaku tanggal 1 Juli 1860 yang
kemudian diterjemahkan oleh R. Soegondo disebutkan
pengertian Notaris adalah: Pejabat umum, khususnya (satu-
satunya) yang berwenang untuk membuat akta-akta otentik
tentang semua tindakan, perjanjian-perjanjian, dan
keputusan-keputusan yang diharuskan oleh perundang-
undangan umum untuk dikehendaki oleh yang
berkepentingan bahwa hal itu dinyatakan dalam surat
otentik, menjamin tanggalnya, menyimpan akta-akta dan
mengeluarkan grosse, salinan-salinan (turunan-turunan) dan
kutipan-kutipannya, semuanya itu apabila pembuatan akta-
akta demikian itu atau dikhususkan itu atau dikhususkan
kepada pejabat-pejabat atau orang-orang lain.
Demi untuk kepentingan Notaris dan untuk melayani
kepentingan masyarakat Indonesia, maka pemerintah
berupaya untuk memberikan paying hukum pada profesi
Notaris sehingga pada tanggal 6 Oktober 2004 telah disahkan
Peraturan Jabatan Notaris yang kita sebut dengan Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
(UUJN). Berdasarkan sejarah, Notaris adalah seorang pejabat
Negara/pejabat umum yang dapat diangkat oleh Negara
untuk melakukan tugas-tugas Negara dalam pelayanan
hukum kepada masyarakat demi tercapainya kepastian
hukum sebagai pejabat pembuat akta otentik dalam hal
keperdataan.
Tugas Notaris adalah mengkonstantir hubungan hukum
antara para pihak dalam bentuk tertulis dan format tertentu,
sehingga merupakan suatu akta otentik. Ia adalah pembuat
dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum. 9 Jasa
Notaris dalam proses pembangunan dirasakan semakin lama
semakin meningkat, hal ini dipengaruhi oleh kebutuhan
hukum di dalam masyarakat. Sesuai dengan kewenangan
yang dimilikinya, maka Notaris merupakan pejabat umum
yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya. Jabatan Notaris ini tidak dapat
ditempatkan di lembaga legislatif, eksekutif ataupun
yudikatif. Notaris diharapkan memiliki posisi netral, sehingga
9 Tan Thong Kie, Studi Notariat, Serba-serbi Praktek Notaris, Buku I (Jakarta :PT
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000), hal. 159.
18
apabila ditempatkan di salah satu dari ketiga badan negara
tersebut maka Notaris tidak lagi dapat dianggap netral.
Dengan posisi netral tersebut, Notaris diharapkan untuk
memberikan penyuluhan hukum untuk dan atas tindakan
hukum yang dilakukan Notaris atas permintaan kliennya.
Dalan hal melakukan tindakan hukum untuk kliennya,
Notaris juga tidak boleh memihak. Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa Notaris haruslah memiliki kedudukan yang
netral sehingga keterangan yang dibuatnya dapat diandalkan
sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh.
Secara teoritis pembatasan kekuasaan negara yang
dikemukakan oleh John Locke ataupun Montesquie,
kekuasaan dalam negara harus dipisahkan menjadi 3 (tiga)
bagian yang masing-masing berdiri sendiri-sendiri dengan
tugasnya masing-masing, yaitu:
1. Kekuasaan legislatif, yaitu kekuasaan membuat peraturan
perundang-undangan yang berlaku di dalam negara;
2. Kekuasaan eksekutif, yaitu kekuasaan untuk
menyelenggarakan peraturan perundang-undangan
maupun mengawasai pelaksanaannya;
3. Kekuasaan yudikatif, yaitu kekuasaan yang tidak
termasuk kedua kekuasaan tersebut di atas.
Kemudian teori tersebut dikembangkan oleh Montesquie
yang lebih menekankan pada pemisahaan kekuasaan negarav
yang lebih tegas. Kekuasaan negara haruslah dipisahkan
menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu:
1. Kekuasaan legislatif, yaitu kekuasaan untuk membuat
peraturan perundang-undangan;
2. Kekuasaan eksekutif, yaitu kekuasaan untuk
melaksanakan peraturan perundang-undangan; dan
3. Kekuasaan yudikatif, yaitu kekuasaan untuk
mepertahankan peraturan perundang-undangan.
Meskipun kemudian timbul beberapa teori-teori
kekuasaan negara lainnya seperti teori catur praja dari Van
Vollenhoven, teori panca praja dari Lemaire dan teori dwi
paraja dari A.M. Donner, namun teori kekuasaan negara dari
John Locke dan Montesquie selalu menjadi rujukan dan
pembahasan kekuasaan negara. Kekuasaan negara dianggap
tidak terbatas, sehingga kekuasaan negara yang telah
dipisahkan atau dibagikan seperti tersebut di atas, tidak
akan menghabiskan kekuasaan negara. Kekuasaan negara
19
masih tetap ada bahkan dpaat diberikan kepada institusi-
institusi lain yang dikehendaki oleh negara.
Salah satu fungsi negara yaitu dapat memberikan
pelayanan umum kepada rakyatnya. Pemisahan atau
pembagian kekuasaan negara seperti tersebut di atas,
khususnya eksekutif dengan tugas untuik melayani
kepentingan umum dalam bidang hukum publik. Eksekutif
biasa disebut dengan Pemerintah. Namun dalam hukum
adminsitrasi mereka yang mengsiis posisi di eksekutif disebut
sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Tidak semua
[pelayanan umum tersebut dapat dilakukan oleh eksekutif,
karena adanya batasan-batasan yang boleh dilakukan oleh
eksekutif berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai jabatan di eksekutif. Dan jika eksekutif
sebagai pejabat tata usaha negara mengeluarkan suatu
keputusan yang bersifat konkrit, individual dan final ternyata
merugikan orang-perorangan atau badan hukum perdata
lainnya, maka yang merasa dirugikan dapat mengajukan
keputusan tersebut ke PTUN atau jika terlebih dapat
menempuh prosedur banding atau keberatan.
Seorang Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya
harus memiliki keterampilan profesi di bidang hukum juga
harus dilandasi dengan tanggung jawab dan moral yang
tinggi serta pelaksanaan terhadap tugas jabatannya maupun
nilai-nilai dan etika, sehingga dapat menjalankan tugas
jabatannya sesuai dengan ketentuan hukum dan kepentingan
masyarakat. Notaris dalam melaksanakan tugasnya secara
profesional harus menyadari kewajibannya, bekerja sendiri,
jujur, tidak berpihak dan penuh rasa tanggung jawab dan
memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat yang
memerlukan jasanya dengan sebaik-baiknya untuk
kepentingan umum (public). Dalam melaksanakan tugas dan
jabatannya seorang Notaris harus berpegang teguh pada Kode
Etik Jabatan Notaris sebab tanpa itu, harkat dan martabat
profesionalisme akan hilang. 10
Salah satu bentuk pelayanan negara kepada rakyatnya
yaitu negara memberikan kesempatan kepada rakyat untuk
memperoleh tanda bukti atau dokumen hukum yang
berkaitan dengan hukum perdata, untuk keperluan tersebut
maka diberikanlah kepada Pejabat Umum yang dijabat oleh
10 Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, (Sinar Grafika, Jakarta, 2006), hal.
34.
20
Notaris. Dan minuta atas akta tersebut menjadi milik negara
yang harus disimpan sampai batas waktu yang tidak
ditentukan. Sebagai bentuk yang menjalankan kekuasaan
negara maka yang diterima oleh Notaris dalam kedudukan
sebagai jabatan haruslah memakai lambang negara yakni
burung garuda,
Dengan konstruksi tersebut, maka dapat diartikan
bahwa Notaris menjalankan sebagian kekuasaan negara
dalam bidang hukum perdata untuk melayani kepentingan
rakyat yang memerlukan bukti atau dokumen hukum
berbentuk akta otentik yang diakui oleh negara sebagai bukti
yang sempurna. Otensitas akta Notaris bukan pada kertasnya
namun akan tetapi akta yang dibuat di hadapan Notaris
sebagai Pejabat Umum dengan segala kewenangannya sesuai
dengan Pasal 1868 KUH Perdata, yang berbunyi:
“ Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk
yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di
hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu
ditempat dimana akta dibuatnya. ”
21
pengembangan jabatan Notaris adalah pelayanan kepada
masyarakat (klien) secara mandiri dan tidak memihak dalam
bidang kenotariatan yang pengembangannya dihayati sebagai
panggilan hidup bersumber pada semangat pengabdian
terhadap sesama manusia demi kepentingan umum serta
berakar dalam penghormatan terhadap martabat manusia
pada umumnya dan martabat Notaris pada khususnya.
Adanya Jabatan Notaris dikehendaki oleh aturan hukum
dengan maksud untuk membantu melayani masyarakat yang
membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik
mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang
dikehendaki oleh para pihak agar dituangkan dalam bentuk
akta otentik untuk dijadikan sebagai alat bukti yang
berdasarkan peraturan perundangundangan bahwa tindakan
hukum tertentu wajib dibuat dalam bentuk akta otentik.
Aturan hukum Jabatan Notaris di Indonesia, dari pertama
kali banyak mengalami perubahan dan bermacam-macam.
Dari beberapa aturan hukum yang ada, kemudian
dimasukkan ke dalam satu aturan hukum, yaitu UUJN.
Misalnya tentang pengawasan, pengangkatan dan
pemberhentian Notaris. Dengan lahirnya UUJN maka telah
terjadi unifikasi hukum dalam pengaturan Notaris di
Indonesia dan UUJN merupakan hukum tertulis sebagai alat
ukur bagi keabsahan Notaris dalam menjalankan tugas
jabatannya. Mengenai pengangkatan Notaris ditentukan
dalam Pasal 3 UUJN yang ditambah lagi syarat sebagaimana
tersebut dalam Bab II Pasal 2 ayat (1) dan Tata Cara
Pengangkatan Notaris diatur dalam Bab III, Pasal 3-8
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Nomor M.01.HT.03.01 Tahun 2006.
Pengertian Jabatan harus berlangsung terus menerus
(berkesinambungan) dapat diberlakukan kepada Notaris,
meskipun seseorang sudah pensiunan dari jabatannya
sebagai Notaris, atau dengan berhentinya seseorang sebagai
Notaris, maka berhenti pula kedudukannya sebagai Notaris.
Sedangkan Notaris sebagai Jabatan, akan tetapi ada akta-
akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris yang sudah
pensiun tersebut akan tetap diakui dan akan disimpan
(sebagai suatu kesinambungan) oleh notaries pemegang
protokolnya. Notaris tidak dapat melakukan tindakan
apapun, seperti merubah isi akta, tapi yang dapat
22
dilakukannya yaitu merawat dan mengeluarkan salinan atas
permintaan para pihak yang namanya tersebut dalam akta
atau para ahli warisnya. Mereka yang menjalankan tugas
jabatan Notaris oleh umur biologis. Umur yuridis akta Notaris
bila sepanjang masa, sepanjang aturan hukum yang
mengatur jabatan Notaris masih ada, dibandingkan dengan
umur biologi Notaris sendiri yang akan berakhir karena
notaries meninggal dunia.
Peraturan Jabatan Notaris yang terdiri beberapa
substansi kemudian dimasukkan dalam satu aturan hukum,
yaitu UUJN. Misalnya tentang pengawasan, pengangkatan,
dan pemberhentian Notaris. Dengan lahirnya UUJN maka
telah terjadi unifikasi hukum dalam pengaturan Notaris di
Indonesia dan UUJN merupakan hukum tertulis sebagai alat
ukur bagi keabsahan Notaris dalam menjalankan tugas
jabatannya.
Notaris sebagai pejabat publik mempunyai karakteristik
sebagai berikut : 11
1. Sebagai Jabatan
UUJN merupakan unifikasi dibidang pengaturan jabatan
Notaris, artinya satu-satunya aturan hukum dalam
bentuk undangundang yang mengatur Jabatan Notaris di
Indonesia, sehingga segala hal yang berkaitan dengan
Notaris di Indonesia harus mengacu kepada UUJN.
Jabatan Notaris merupakan suatu lembaga yang
diciptakan oleh Negara. Menempatkan Notaris sebagai
jabatan merupakan suatu bidang pekerjaan atau tugas
yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan
dan fungsi tertentu (kewenangan tertentu) serta sifat
berkesinambungan sebagai suatu lingkungan pekerjaan
tetap.
2. Notaris mempunyai kewenangan tertentu
Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus
dilandasi aturan hukumnya sebagai batasan agar jabatan
dapat berjalan dengan baik dan tidak bertabrakan dengan
wewenang jabatan lainnya. Dengan demikian, jika seorang
pejabat (Notaris) melakukan tindakan tidak di luar
wewenang yang telah ditentukan, dapat dikategorikan
sebagai perbuatan melanggar wewenang. Wewenang
Pakar, dan Penelitian Terhadap Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris, lampiran 2, hal. 13; Kanwil Kemenhukham Jateng, Pengwil INI-IPPAT
Yogyakarta, dan akademisi Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta,
Hasil Kunjungan Kerja Badan Legislasi DPR RI Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris, lampiran 3, hal. 15.
15 Pengwil INI-IPPAT SUMUT, dan KPKNL Medan, Akademisi di Magister
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara dan Kanwil Kemenhukham, Masukan RDPU,
Pakar, dan Penelitian Terhadap Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris, lampiran 2, hal. 13.
27
Tidak relevannya Notaris pengganti khusus pada saat ini
antara lain karena:
1. Pertumbuhan calon Notaris yang cukup pesat dengan
dibukanya program kenotariatan di hampir semua
perguruan tinggi negeri unggulan.
2. Formasi Notaris yang cukup besar. Saat ini di Indonesia
formasi jabatan Notaris yang tersedia + 18 ribu dan
sementara ini sudah diisi 11 ribu untuk populasi
penduduk 230 juta. Sebagai perbandingan, di Jepang
dengan jumlah penduduk 126 juta terdapat 500 Notaris.
Belanda dengan jumlah penduduk 18 juta terdapat 1439
Notaris dan China dengan penduduk 1,3 milyar
mempunyai 1500 Notaris. 16
3. Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh
wilayah provinsi dari tempat kedudukannya.
4. Tindakan Notaris atau keluarganya untuk membuat akta
bagi dirinya atau keluarganya bersifat insidental saja.
Berdasarkan pada kenyataan di atas keberadaan Notaris
Pengganti Khusus untuk saat ini sudah tidak relevan
mengingat jika di sebuah kabupaten atau kota hanya ada
seorang Notaris, dan Notaris tersebut ingin membuat akta
untuk dirinya atau keluarganya, maka Notaris yang
bersangkutan dapat datang kepada Notaris yang
berkedudukan di kabupaten atau kota sepanjang masih
dalam provinsi yang sama, sehingga tidak perlu lagi untuk
mengangkat Notaris Pengganti Khusus.
2.2.2 Magang
Magang merupakan salah satu metode pembelajaran
langsung bagi setiap peserta didik yang sedang mengikuti
pendidikan untuk jenjang tertentu maupun bagi para lulusan
baru (fresh graduated) yang akan menjalankan profesi
tertentu sebagai wahana peningkatan kompetensi bagi yang
bersangkutan. Magang merupakan wahana alih pengetahuan
dan keterampilan (transfer knowledge and skills) dari orang
yang sudah pengalaman kepada peserta magang. Oleh karena
itu, dalam magang setidak-tidaknya seorang peserta magang
harus mendapatkan pembelajaran langsung untuk
dan Penelitian Terhadap Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris, lampiran 2, hal.10.
19 Civitas Akademika MKn USU dan Kanwil Kemenhukham Provinsi SUMUT
23 Pasal 10 ayat (2) Pemindahan hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah dan didaftarkan pada Kantor
Agraria Kabupaten atau Kotamadya yang bersangkutan menurut Peraturan Pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
24 Pasal 1 angka 4: Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang selanjutnya disebut PPAT,
adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas
tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak
Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 1 angka 5:
Akta Pemberian Hak Tanggungan adalah Akta PPAT yang berisi pemberian Hak
Tanggungan kepada kreditor tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan piutangnya
33
parsial kewenangan PPAT telah diatur dalam UU No. 16
Tahun 1985 tentang Rumah Susun dan UU No. 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan. Dengan demikian,
sebenarnya dapat diartikan bahwa seorang Notaris
berwenang membuat akta yang berkaitan dengan
pertanahan.
Perbedaan penafsiran Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN
tidak dapat dibiarkan begitu saja, dan tidak bisa diselesaikan
hanya sebatas diskusi, diperdebatkan dalam rapat-rapat atau
kongres, atau hanya selesai pada batas keputusan bersama.
Apalagi hanya pada batas sebuah artikel yang menjelaskan
persoalan tersebut. Jika penafsiran tersebut tetap dibiarkan,
maka hal yang demikian mengakibatkan tidak adanya
kepastian hukum dalam masyarakat.
30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, lampiran 2, hal.3-4, Hasil Kunjungan Kerja
Badan Legislasi DPR RI Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris, lampiran 3, hal. 4-6.
27 Chairunnisa Said Selenggang, Kajian tentang Beberapa Pasal Berkenaan
Dengan Perubahan UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, disampaikan pada
Tim Penyusun Naskah Akademik dan Draft RUU tentang Perubahan Undang-Undang
No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Sekretariat Jenderal DPR RI, 15 Maret
2011. Hasil Kunjungan Kerja Badan Legislasi DPR RI Revisi Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, lampiran 3, hal.16-18.
35
sebagai pejabat negara, apakah layak untuk mendapatkan
hak cuti selama 5 (lima) tahun.
Sebagai bahan perbandingan, Pegawai Negeri Sipil yang
telah bekerja sekurang-kurangnya 6 (enam) tahun secara
terus menerus, hanya berhak untuk mendapatkan cuti besar
paling lama 3 (tiga) bulan dan tidak berhak lagi atas cuti
tahunannya dalam tahun yang bersangkutan sebagaimana
diatur dalam Pasal 9 PP No. 24 Tahun 1976 tentang Cuti
Pegawai Negeri Sipil.
Selain itu, ada beberapa undang-undang yang melarang
rangkap jabatan, yaitu:
1. Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003
tentang Advokat mengatur bahwa “Advokat yang menjadi
pejabat negara, tidak melaksanakan tugas dan profesi
Advokat selama memangku jabatan tersebut.”
2. Pasal 208 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengatur bahwa:
“(1) Anggota DPR dilarang merangkap jabatan sebagai:
a. pejabat negara lainnya;
b. hakim pada badan peradilan; atau
c. pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional
Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia,
pegawai pada badan usaha milik negara, badan
usaha milik daerah, atau badan lain yang
anggarannya bersumber dari APBN/APBD.
(2) Anggota DPR dilarang melakukan pekerjaan sebagai
pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta,
akuntan publik, konsultan, advokat atau pengacara,
Notaris, dan pekerjaan lain yang ada hubungannya
dengan tugas dan wewenang DPR serta hak sebagai
anggota DPR.”
3. Pasal 31 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial mengatur bahwa:
“Anggota Komisi Yudisial dilarang merangkap menjadi:
a. pejabat negara atau penyelenggara negara menurut
peraturan perundang-undangan;
b. hakim;
c. advokat;
d. Notaris dan/atau Pejabat Pembuat Akta Tanah;
36
e. pengusaha, pengurus atau karyawan badan usaha
milik negara atau badan usaha swasta;
f. pegawai negeri; atau
g. pengurus partai politik.”
39
Kelas II. Adapun syarat untuk dapat diangkat sebagai Pejabat Lelang
Kelas II adalah sebagai berikut:
a. sehat jasmani dan rohani;
b. berpendidikan paling rendah Sarjana (S1) diuatamakan bidang
hukum atau ekonomi manajemen/akuntansi;
c. tidak pernah dijatuhi hukuman pidana;
d. tidak pernah terkena sanksi administrasi berat dan memiliki
integritas yang tinggi, khusus untuk Pensiunan Pegawai Negeri
SIpil (PNS) DJPLN/DJKN dengan pangkat/golongan terakhir
paling rendah Penata (IIIc);
e. memiliki kantor Pejabat Lelang Kelas II paling kurang seluas
36m2;
f. tidak memiliki kredit macet dan tidak termasuk dalam daftar
orang tercela (DOT);
g. lulus pendidikan dan pelatihan untuk Pejabat Lelang Kelas II
yang diselenggarakan oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan
Keuangan Kementerian Keuangan, kecuali pensiunan PNS
DJPLN/DJKN yang pernah menjadi Pejabat Lelang atau yang
menguasai tentang lelang;
h. telah mengikuti praktik kerja (magang), kecuali pensiunan PNS
DJPLN/DJKN yang pernah menjadi Pejabat Lelang atau yang
menguasai tentang lelang; dan
i. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
Menilik pada ketentuan tersebut maka seorang Notaris tidak
serta merta berwenang membuat berita acara lelang.Yang berhak
membuat berita acara lelang adalah Pejabat Lelang.Apabila Notaris
hendak membuat berita acara lelang, Notaris tersebut terlebih dulu
harus memenuhi persyaratan menjadi Pejabat Lelang Kelas II.
Setelah persyaratan terpenuhi, Notaris tersebut kemudian diangkat
oleh Direktur Jenderal Kekayaan Negara yang bertindak atas nama
Menteri Keuangan menjadi Pejabat Lelang Kelas II. Barulah pada
saat itu Notaris tersebut mempunyai wewenang untuk membuat
berita acara lelang dalam kapasitasnya sebagai Pejabat Lelang Kelas
II.
40
d. pengakuan;
e. sumpah.
Selanjutnya terkait dengan bukti tulisan yang bias dijadikan
sebagai alat bukti, Pasal 1868 KUHPer menyebutkan:
“Suatu akta otentik adalah suatu akta yang di dalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan
pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana
akta itu dibuatnya
41
pemindahan hak diperlukan adanya akta Pejabat Pembuat Akta
Tanah. Dengan ketentuan ini berarti pada saat berlakunya UU No.
16/1985 Notaris tidak mempunyai wewenang untuk membuat akta
pemindahan hak milik atas satuan rumah susun karena telah
dinyatakan dengan jelas dalam undang-undang tersebut bahwa
pemindahan hak milik atas satuan rumah susun hanya dapat
dilakukan dengan akta PPAT yang merupakan bukti bahwa telah
dilakukan pemindahan hak.
Akan tetapi di dalam UU Rumah Susun yang baru, yakni UU
No. 20/2011, pemindahan hak milik atas satuan rumah susun yang
diatur dalam undang-undang ini hanyalah mengenai pemindahan
hak yang berupa jual beli saja. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan
Pasal 43 ayat (1) UU No. 20/2011 yang menyatakan bahwa proses
jual beli satuan rumah susun sebelum pembangunan rumah susun
selesai dapat dilakukan melalui perjanjian pengikatan jual beli yang
dibuat di hadapan Notaris. Sementara itu mengenai proses jual beli
yang dilakukan sesudah pembangunan rumah susun selesai,
dilakukan melalui akta jual beli yang dibuat di hadapan Notaris
PPAT untuk Sertifikat Hak Milik satuan rumah susun, dan dibuat di
hadapan Notaris untuk sertifikat kepemilikan bangunan gedung
satuan rumah susun sebagai bukti peralihan hak. 32
Sedangkan untuk bentuk lainnya dari pemindahan/peralihan
hak mengenai hak milik atas satuan rumah susun seperti tukar
menukar, hibah, pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng) atau
pembagian hak bersama tidak diatur di dalam UU No. 20/2011 ini.
Ketentuan yang terdapat dalam UU No. 20/2011 ini secara implisit
mengatur bahwa hanya Notaris yang juga merangkap jabatan
sebagai PPAT saja yang dapat membuat akta jual beli peralihan hak
milik atas satuan rumah susun.UU No. 20/2011 ini membuka
peluang bagi Notaris untuk membuat akta jual beli hak milik atas
rumah susun. Walaupun hanya Notaris tertentu yang dapat
membuat akta jual beli tersebut, yakni Notaris yang juga menjabat
sebagai PPAT. Akan tetapi di dalam UU Rusun yang baru ini sudah
tidak diatur lagi secara tegas ketentuan mengenai diperlukannya
42
akta Pejabat Pembuat Akta Tanahsebagai bukti telah dilakukannya
pemindahan hak.
44
Selain itu Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dikenakan sanksi
administrasi dan denda sebesar Rp 250.000,- (dua ratus lima puluh
ribu rupiah) untuk setiap laporan.
46
BAB IV
47
4. kewenangan Notaris dalam membuat akta yang berkaitan dengan
pertanahan;
5. kewenangan Notaris dalam membuat akta risalah lelang;
6. Notaris yang diangkat menjadi Pejabat Negara; dan
7. Pelaksanaan pengawasan jabatan Notaris.
Polemik atas implementasi Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana terurai di atas perlu
diberikan solusi dan penegasan sehingga tidak ada lagi multi tafsir
dalam pelaksanaannya.
50
membuat akta risalah lelang tidak hilang, karena berdasarkan
ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUJN, Notaris berwenang membuat
seluruh akta yang diinginkan para pihak sepanjang kewenangan
tersebut tidak didelegasikan kepada pejabat lain yang ditetapkan
oleh undang-undang.
6. Notaris yang diangkat menjadi Pejabat Negara
Bagi Notaris yang diangkat menjadi Pejabat Negara, Notaris
yang bersangkutan tidak lagi menunjuk Notaris Pengganti.
Notaris dimaksud berkewajiban untuk menyerahkan protokol
kepada majelis pengawas dan majelis pengawaslah yang akan
menunjuk Notaris Pengganti.
7. Pelaksanaan pengawasan jabatan Notaris
Pengawasan atas pelaksanaan jabatan Notaris
membutuhkan pendanaan yang cukup. Oleh karena itu, dalam
perubahan ini, pendanaan atas majelis pengawas ditegaskan lagi
dan diberikan wewenang kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia untuk mengaturnya. Selain itu, ditambahkan pula
ketentuan pembentukan majelis pengawas gabungan untuk
beberapa kabupaten manakala terdapat jumlah Notaris dalam
satu kabupaten lebih sedikit daripada jumlah anggota majelis
pengawas.
8. Materi Perubahan lainnnya terkait dengan perubahan/revisi
yang bersifat redaksional dan teknis.
51
BAB V
PENUTUP
52
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Adjie, Habib, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia:
Kumpulan Tulisan tentang Notaris dan PPAT. Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2009
……, Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia, Bandung: Mandar Maju,
2009
……, Sanksi Perdata dan Administrasi terhadap Notaris sebagai Pejabat
Publik, Surabaya: Refika Aditama, 2007
Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia, Yogyakarta: UII
Press, 2009
Efendi, Bachtiar, dkk, Surat Gugat dan Hukum Pembuktian dalam Perkara
Perdata, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Yogyakarta:
Liberty, 1981
Lubis, Suhrawardi K., Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.
Shidarta, Moralitas Profesi Hukum. Bandung: PT. Refika Aditama, 2006.
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermesa, Cetakan ke
XVIII, 1984
Sudiyat, Iman, Hukum Adat Sketsa Atas, Liberty, Yogyakarta, Cetakan Ke-
6, Maret 2010.
Tang Tong Kie, Studi Notariat & Serba-Serbi Praktek Notaris, Jakarta: PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2007.
Vollenhoven,Van, Het Adatrecht van Nederlandsch-Indie, jilid I.
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Peraturan Lelang atau Vendu Reglement (S. 1908 No. 189 jo. ;S. 190 No.
190)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
53
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah
Literatur
Kurniawan, Joeni Arianto, Hukum Adat dan Problematika Hukum
Indonesia, Majalah Hukum Yuridika Fakultas Hukum Unair, Volume
23, No. 1, Januari-April 2008.
Salenggang, Chairunnisa Said, Kajian Tentang Beberapa Pasal Berkenaan
dengan Perubahan Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris, disajikan pada Diskusi dengan Tim Asistensi RUU
tentang Perubahan atas UU No. 30 Tahun 2004.
Internet
54