Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

POLITIK HUKUM KENOTARIATAN

KEWENANGAN, KEWAJIBAN DAN LARANGAN


TEMPAT KEDUDUKAN, FORMASI DAN WILAYAH JABATAN
NOTARIS

Dosen Pengampu :
Prof. Dr. Bayu Dwi Anggono, S.H., M. H.

Oleh :
Olga Tasia Lorent 220720201012
Dinda Daniswara Defitri 220720201013
Nadya Kirana Puspitasari 220720201014
Ringga Artha Putra 220720201015
Elzha Putri Widya Yurisa 220720201016
Yusmi Zam Zam Maharani 220720201017
Firmansyah Fikri Hayqal 220720201018
Elliani Sudjana 220720201019
Berliana Ayu Saputri 220720201020
Septian Putri Nindiasari 220720201021
Dhimas Pratama Windyarto 220720201022

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JEMBER
2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidyah, dan inayah-Nya, sehingga dapat menyelesaikan
Makalah “Kewenangan, Kewajiban Larangan dan Tempat Kedudukan serta
Formasi Dan Wilayah Jabatan Notaris” mata kuliah Politik Hukum Kenotariatan,
yang di peruntukan untuk memenuhi nilai tugas.

Makalah ini telah disusun dengan semaksimal mungkin dan mendapatkan


bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah
ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak-
pihak dan anggota kelompok yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah
ini.

Terlepas dari itu semua, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kata, kalimat maupun tata bahasanya. Oleh
karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala kritik dan saran dari
pembaca, dan mohon maaf atas kesalahan yang ada di dalamnya.

Akhir kata, kami berharap semoga makalah “Kewenangan, Kewajiban


dan Larangan serta Tempat Kedudukan Formasi dan Wilayah Jabatan Notaris” ini
dapat bermanfaat, berguna, memudahkan dan menambah wawasan literatur
pengetahuan pembaca baik untuk para akademisi maupun masyarakat umum
lainnya.

Jember,16 September 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halam Judul ............................................................................................................... i


Kata Pengantar ........................................................................................................... ii
Daftar Isi.................................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................... 3
1.3 Tujuan ......................................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kewenangan, Kewajiban dan Larangan Notaris ........................................ 7
2.2 Tempat Kedudukan, Formasi dan Wilayah Jabatan Notaris .................... 14
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Kasus Notaristerkait Kewenangan ............................................................ 18
3.2 Kasus Notaris terkait Kewenangan, Kewajiban dan Larangan Notaris .... 22
3.3 Kasus Notaris Terkait Wilayah Jabatan .................................................... 25
BAB IV PUNUTUP
4.1 Kesimpulan ............................................................................................... 29
Daftar Pustaka .......................................................................................................... 30

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Notaris merupakan salah satu pejabat publik yang kedudukannya sangat
dibutuhkan di masa sekarang ini. Di masa modern ini, masyarakat tidak lagi
mengenal perjanjian yang berdasarkan atas kepercayaan satu sama lain seperti
yang mereka kenal dulu. Setiap perjanjian yang dilakukan oleh masyarakat pasti
akan mengarah kepada Notaris sebagai sarana keabsahan perjanjian yang mereka
lakukan. Karena itulah, kedudukan Notaris menjadi semakin penting di masa
seperti sekarang ini.

Seperti pejabat yang lain, Notaris juga memiliki kewenangan tersendiri


yang tidak dimiliki oleh pejabat negara yang lainnya. Selain kewenangannya, para
Notaris juga memiliki kewajiban dan larangan yang wajib mereka patuhi dalam
pelaksanaan tugas jabatannya. Dengan berdasar pada Undang-undang No. 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, para Notaris di Indonesia wajib untuk
memahami apa yang menjadi wewenang dan kewajiban mereka serta larangan
yang tidak boleh dilakukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya.

Dalam pelaksanaan wewenang, jika misalnya ada seorang pejabat yang


melakukan suatu tindakan diluar atau melebihi kewenangannya, maka
perbuatannya itu akan dianggap sebagai perbuatan melanggar hukum. Demikian
pula dengan Notaris, para Notaris wajib untuk mengetahui sampai di mana batas
kewenangannya. Selain wewenang yang mereka miliki, Notaris juga memilki
kewajiban yang harus mereka penuhi dalam pelaksanaan tugas jabatannya serta
larangan yang tidak boleh dilakukan yang apabila ketiga hal ini dilanggar maka
Notaris yang bersangkutan akan memperoleh sanksi sesuai dengan ketentuan yang
telah diatur dalam Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN).1

Akta Notaris sudah pasti akta otentik, tapi akta otentik bisa juga akta
Notaris, Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), risalah lelang dan akta

1
Abdul Ghofur Anshori. Lembaga Kenotariatan Indonesia, Perspektif Hukum dan Etika. UII
Press. Yogyakarta. 2009.

4
catatan sipil. (Habib Adjie,2013). Selanjutnya, didalam Pasal 1 Angka 1Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris menyebut bahwa: “Notaris
adalah Pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan memiliki
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau
berdasarkan Undang-Undang lainnya”. Menjadi seorang Notaris harus dapat
memberikan kepastian hukum kepada masyarakat yang memang menggunakan
jasa seorang Notaris. Akta yang dibuat Notaris memiliki kekuatan pembuktian
yang sempurna tidak seperti pada akta dibawah tangan.

Akta dibawah tangan adalah akta yang dibuat sendri oleh piahk-pihak yang
berkepentinagan tanpa bantuan pejabat umum. Sedangkan akta otentik merupakan
produk Notaris yang sangat dibutuhkan masyarakat demi terciptanya suatu
kepastian hukum. (Andi A.A.Prajitno, 2010)2. Selanjutnya, Notaris hanya
berkedudukan disatu tempat dikota atau kabupaten dan memiliki kewenangan
wilayah jabatan seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukannya. Dalam
larangan jabatan Notaris Berdasarkan Pasal 17 huruf a Undang-Undang Jabatan
Notaris menyebutkan bahwa: “Notaris dilarang menjalankan jabatan diluar
wilayah jabatannya”.

Misalnya, seorang Notaris memiliki wilayah kerja di Nusa Tenggara Barat


dan berkedudukan di Lombok Barat, tidak dapat membuka peraktik atau membuat
akt?a otentik di wilyah Bali (batas wilayah yuridis adalah provinsi). Notaris haru
tersebuts berwenang sepanjang mengenai tempat dimana akta dibuat maksud-nya
setiap Notaris ditentukan wilayah jabatanya sesuai tempat kedudukanya. 3 Untuk
itu Notaris hanya berwenang membuat akta yang berada didalam wilayah
jabatannya. Akta yang dibuat diluar wilayah jabatnya hanya berkedudukan seperti
akta dibawah tangan. (G.H.S Lumban Tobing, 1996).4 Berdasarkan penjelasan
latar belakang diatas penulis akan membahas mengenai permasalahan sebagai
berikut :
2
Andi A.A. Prajitno. Apa dan Siapa Notaris di Indonesia. Citra Aditya. Surabaya. Bakti. 2010.
hlm. 51
3
Jurnal. Annisa Fitria. Aspek Hukum Akta Notaris Yang Dibuat Diluar Wilayah Jabatan
NOTARIS. Lex Jurnalica Volume 18 Nomor 1, April 2021.
4
G.H.S Lumban Tobing. Peraturan Jabatan Notaris, Cet. 3. Erlangga. Jakarta. 1996.

5
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana akibat hukum jika Notaris melakukan pelanggaran terkait
Kewenangan, Kewajiban dan Larangan Notaris?
2. Bagaimana akibat hukum jika Notaris yang membuat akta di luar wilayah
jabatannya?
3. Bagaimana akibat hukum akta yang dibuat atau ditandatangani di luar
wilayah jabatan Notaris?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami peraturan dan teoritis serta akibat
hukum terkait Notaris jika melakukan pelanggaran terkait Kewenangan,
Kewajiban dan Larangan Notaris.
2. Untuk mengetahui dan memahami peratutan terkait Tempat Kedudukan,
Formasi dan Wilayah Jabatan Notaris
3. Untuk mengetahui dan memahami akibat hukum Notaris dan akta Notaris
yang dibuat atau ditandatangan di luar wilayah Jabatannya.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kewenangan, Kewajiban dan Larangan Notaris


2.1.1 Kewenangan Notaris

Kewenangan Notaris tersebut dalam Pasal 15 dari ayat (1) sampai dengan
ayat (3) UUJN, yang dapat dibagi menjadi tiga (Habib Adjie, 2008 : 78) :

a. Kewenangan Umum Notaris

Pasal 15 ayat (1) UUJN menegaskan bahwa salah satu kewenangan Notaris
yaitu membuat akta secara umum. Hal ini dapat disebut sebagai Kewenangan
Umum Notaris dengan batasan sepanjang : Tidak dikecualikan kepada pejabat
lain yang telah ditetapkan oleh undang-undang.

Menyangkut akta yang harus dibuat adalah akta otentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh aturan hukum untuk
dibuat atau dikehendaki oleh yang bersangkutan. Mengenai kepentingan subjek
hukumnya yaitu harus jelas untuk kepentingan siapa suatu akta itu dibuat.Namun,
ada juga beberapa akta otentik yang merupakan wewenang Notaris dan juga
menjadi wewenang pejabat atau instansi lain, yaitu:

1. Akta pengakuan anak di luar kawin (Pasal 281 BW),


2. Akta berita acara tentang kelalaian pejabat penyimpan hipotik (Pasal
1227 BW),
3. Akta berita acara tentang penawaran pembayaran tunai dan konsinyasi
(Pasal 1405, 1406 BW),
4. Akta protes wesel dan cek (Pasal 143 dan 218 WvK),
5. Surat kuasa membebankan Hak Tanggungan (Pasal 15 ayat [1] UU
No.4 Tahun 1996),
6. Membuat akta risalah lelang.

7
Berdasarkan wewenang yang ada pada Notaris sebagaimana tersebut dalam
Pasal 15 UUJN dan kekuatan pembuktian dari akta Notaris, maka ada 2 hal yang
dapat kita pahami, yaitu :

1. Notaris dalam tugas jabatannya memformulasikan keinginan/tindakan


para pihak ke dalam akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum
yang berlaku.
2. Akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian
yang sempurna, sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan
alat bukti yang lainnya. Jika misalnya ada pihak yang menyatakan
bahwa akta tersebut tidak benar, maka pihak yang menyatakan tidak
benar inilah yang wajib membuktikan pernyataannya sesuai dengan
hukum yang berlaku.

b. Kewenangan Khusus Notaris

Kewenangan Notaris ini dapat dilihat dalam Pasal 15 ayat (2) UUJN yang
mengatur mengenai kewenangan khusus Notaris untuk melakukan tindakan
hukum tertentu, seperti :
1. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di
bawah tangan dengan mendaftarkannya di dalam suatu buku khusus ;
2. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftarkannya
dalam suatu buku khusus ;
3. Membuat salinan (copy) asli dari surat-surat di bawah tangan berupa
salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan
dalam surat yang bersangkutan ;
4. Melakukan pengesahan kecocokan antara fotokopi dengan surat
aslinya ;
5. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta ;
6. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, atau
7. Membuat akta risalah lelang

8
Khusus mengenai nomor 6 (membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan)
banyak mendapat sorotan dari kalangan ahli hukum Indonesia dan para Notaris
itu sendiri. Karena itulah akan sedikit dibahas mengenai masalah ini.

Pasal 15 ayat (2) huruf j UUJN memberikan kewenangan kepada Notaris


untuk membuat akta di bidang pertanahan. Ada tiga penafsiran dari pasal tersebut
(Habib Adjie, 2008 : 84) yaitu:
1. Notaris telah mengambil alih semua wewenang PPAT menjadi
wewenang Notaris atau telah menambah wewenang Notaris.
2. Bidang pertanahan juga ikut menjadi wewenang Notaris.
3. Tidak ada pengambil alihan wewenang dari PPAT ataupun dari Notaris,
karena baik PPAT maupun Notaris telah mempunyai wewenang
sendiri-sendiri.

Jika kita melihat dari sejarah diadakannya Notaris dan PPAT itu sendiri
maka akan nampak bahwa memang Notaris tidak berwenang untuk membuat akta
di bidang pertanahan. PPAT telah dikenal sejak sebelum kedatangan bangsa
penjajah di negeri Indonesia ini, dengan berdasar pada hukum adat murni yang
masih belum diintervensi oleh hukum-hukum asing. Pada masa itu dikenal adanya
(sejenis) pejabat yang bertugas untuk mengalihkan hak atas tanah di mana inilah
yang merupakan cikal bakal dari keberadaan PPAT di Indonesia.

Dengan demikian, dapat dilihat bahwa lembaga PPAT yang kemudian


lahir hanya merupakan kristalisasi dari pejabat yang mengalihkan hak atas tanah
dalam hukum adat. Adapun mengenai keberadaan Notaris di Indonesia yang
dimulai pada saat zaman penjajahan Belanda ternyata sejak awal memang hanya
memiliki kewenangan yang terbatas dan sama sekali tidak disebutkan mengenai
kewenangan Notaris untuk membuat akta di bidang pertanahan.

Namun, hal ini akan menjadi riskan jika kita melihat hierarki peraturan
yang mengatur mengenai keberadaan dan wewenang kedua pejabat negara ini.
Keberadaan Notaris ditegaskan dalam suatu UU yang di dalamnya menyebutkan
bahwa seorang Notaris memiliki kewenangan untuk membuat akta di bidang

9
pertanahan. Sedangkan keberadaan PPAT diatur dalam suatu PP (No.37 Tahun
1998) yang secara hierarki tingkatannya lebih rendah jika dibandingkan dengan
UU (No.30 Tahun 2004) yang mengatur keberadaan dan wewenang Notaris.

Sampai sekarang pun hal ini masih menjadi perdebatan di berbagai


kalangan baik pakar hukum maupun Notaris dan/atau PPAT itu sendiri. Jalan
tengah yang dapat diambil adalah bahwa Notaris juga dapat memiliki wewenang
di bidang pertanahan sepanjang bukan wewenang yang telah ada pada PPAT.

c. Kewenangan Notaris Yang Akan Ditentukan Kemudian

Yang dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) UUJN dengan kewenangan yang
akan ditentukan kemudian adalah wewenang yang berdasarkan aturan hukum lain
yang akan datang kemudian (ius constituendum) (Habib Adjie, 2008 : 82).
Wewenang Notaris yang akan ditentukan kemudian, merupakan wewenang yang
akan ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Batasan mengenai apa yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan


ini dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tetang
Peradilan Tata Usaha Negara bahwa : Yang dimaksud dengan peraturan
perundang-undangan dalam undang-undang ini ialah semua peraturan yang
bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat
Bersama Pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, serta semua
keputusan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di tingkat pusat maupun
tingkat daerah, yang juga mengikat secara umum.5

Berdasarkan uraian di atas, bahwa kewenangan Notaris yang akan ditentukan


kemudian tersebut adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh
lembaga negara (Pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat) atau
Pejabat Negara yang berwenang dan mengikat secara umum. Dengan batasan

5
Habib Adjie. Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU No.30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris. Rafika Aditama. Bandung. 2008. Hal. 83

10
seperti ini, maka peraturan perundang-undangan yang dimaksud harus dalam
bentuk undang-undang dan bukan di bawah undang-undang.

2.1.2 Kewajiban Notaris

Pada dasarnya Notaris adalah pejabat yang harus memberikan pelayanan


sebaik-baiknya kepada masyarakat yang memerlukan bukti otentik. Namun dalam
keadaan tertentu, Notaris dapat menolak untuk memberikan pelayanan dengan
alasan-alasan tertentu (Pasal 16 ayat [1] huruf d UUJN). Dalam penjelasan pasal
ini, ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan “alasan untuk menolaknya” adalah
alasan yang mengakibatkan Notaris tidak berpihak, seperti adanya hubungan
darah atau semenda dengan Notaris sendiri atau dengan suami/istrinya, salah satu
pihak tidak mempunyai kemampuan bertindak untuk melakukan perbuatan, atau
hal lain yang tidak dibolehkan oleh undang-undang.

Di dalam praktiknya sendiri, ditemukan alasan-alasan lain sehingga Notaris


menolak untuk memberikan jasanya, antara lain:6

1. Apabila Notaris sakit sehingga tidak dapat memberikan jasanya, jadi


berhalangan secara fisik.
2. Apabila Notaris tidak ada di tempat karena sedang dalam masa cuti.
3. Apabila Notaris karena kesibukan pekerjannya tidak dapat melayani
orang lain.
4. Apabila surat-surat yang diperlukan untuk membuat suatu akta tidak
diserahkan kepada Notaris.
5. Apabila penghadap atau saksi yang diajukan oleh penghadap tidak
dikenal oleh Notaris atau tidak dapat diperkenalkan kepadanya.
6. Apabila yang berkepentingan tidak mau membayar biaya bea materai
yang diwajibkan.

6
(Habib Adjie, 2008 : 87 dikutip dari R.Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia,
Suatu Penjelasan, 1982 : 97-98)

11
7. Apabila karena pemberian jasa tersebut, Notaris melanggar sumpahnya
atau melakukan perbuatan melanggar hukum.
8. Apabila pihak-pihak menghendaki bahwa Notaris membuat akta dalam
bahasa yang tidak dikuasai oleh Notaris yang bersangkutan, atau
apabila orang-orang yang menghadap berbicara dengan bahasa yang
tidak jelas, sehingga Notaris tidak mengerti apa yang sebenarnya
dikehendaki oleh mereka.

Dengan demikian, jika memang Notaris ingin menolak untuk memberikan


jasanya kepada pihak yang membutuhkannya, maka penolakan tersebut harus
merupakan penolakan dalam arti hukum, dalam artian ada alasan atau argumentasi
hukum yang jelas dan tegas sehingga pihak yang bersangkutan dapat
memahaminya.

Khusus untuk Notaris yang melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf I
dan k UUJN, di samping dapat dijatuhi sanksi yang terdapat di dalam Pasal 85
UUJN, juga dapat dikenakan sanksi berupa akta yang dibuat di hadapan Notaris
hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau suatu
akta menjadi batal demi hukum (Pasal 84 UUJN). Maka apabila kemudian
merugikan para pihak yang bersangkutan, maka pihak tersebut dapat menuntut
biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris. Sedangkan untuk pasal 16 ayat (1)
huruf l dan m UUJN, meskipun termasuk dalam kewajiban Notaris, tapi jika
Notaris tidak melakukannya maka tidak akan dikenakan sanksi apapun.

Ketentuan pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN jika tidak dilaksanakan oleh
Notaris dalam arti Notaris tidak mau menerima magang, maka kepada Notaris
yang bersangkutan tidak dikenai sanksi apapun. Namun demikian meskipun tanpa
sanksi, perlu diingat oleh semua Notaris bahwa sebelum menjalankan tugas
jabatannya sebagai Notaris, yang bersangkutan pasti pernah melakukan magang
sehingga alangkah baiknya jika Notaris yang bersangkutan mau menerima
magang sebagai bentuk tanggung jawab moral terhadap kelangsungan dunia
Notaris di Indonesia.

12
Selain kewajiban untuk melakukan hal-hal yang telah diatur dalam UU,
Notaris masih memiliki suatu kewajiban lain. Hal ini berhubungan dengan
sumpah/janji Notaris yang berisi bahwa Notaris akan merahasiakan isi akta dan
keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan Notaris. Secara umum,
Notaris wajib merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam
pembuatan akta Notaris, kecuali diperintahkan oleh undang-undang bahwa
Notaris tidak wajib merahasiakan dan memberikan keterangan yang diperlukan
yang berkaitan dengan akta tersebut. Dengan demikian, hanya undang-undang
saja yang dapat memerintahkan Notaris untuk membuka rahasia isi akta dan
keterangan/pernyataan yang diketahui oleh Notaris yang berkaitan dengan
pembuatan akta yang dimaksud.

Dalam praktiknya, jika ternyata Notaris sebagai saksi atau tersangka,


tergugat, ataupun dalam pemeriksaan oleh Majelis Pengawas Notaris membuka
rahasia dan memberikan keterangan/ pernyataan yang seharusnya wajib
dirahasiakan, sedangkan undang-undang tidak memerintahkannya, maka atas
pengaduan pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut Notaris yang
bersangkutan. Dalam hal ini, dapat dikenakan Pasal 322 ayat (1) dan (2) KUHP,
yaitu membongkar rahasia, yang padahal sebenarnya Notaris wajib
menyimpannya. Bahkan sehubungan dengan perkara perdata, yaitu apabila
Notaris berada dalam kedudukannya sebagai saksi, maka Notaris dapat meminta
untuk dibebaskan dari kewajibannya untuk memberikan kesaksian, karena
jabatannya menurut undang-undang diwajibkan untuk merahasiakannya.7

2.1.3 Larangan Notaris

Larangan Notaris merupakan suatu tindakan yang dilarang untuk dilakukan


oleh Notaris. Jika larangan ini dilanggar oleh Notaris, maka kepada Notaris yang
melanggar akan dikenakan sanksi sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 85
UUJN. Dalam hal ini, ada suatu tindakan yang perlu ditegaskan mengenai
substansi Pasal 17 huruf b, yaitu meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari

7
Habib Adjie. Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU No.30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris. Rafika Aditama. Bandung. 2008. Hal. 90

13
tujuh hari berturut-turut tanpa alasan yang sah. Bahwa Notaris mempunyai
wilayah jabatan satu provinsi (Pasal 18 ayat [2] UUJN) dan mempunyai tempat
kedudukan pada satu kota atau kabupaten pada propinsi tersebut (Pasal 18 ayat [1]
UUJN).

Yang sebenarnya dilarang adalah meninggalkan wilayah jabatannya (provinsi)


lebih dari tujuh hari kerja. Dengan demikian, maka dapat ditafsirkan bahwa
Notaris tidak dilarang untuk meninggalkan wilayah kedudukan Notaris
(kota/kabupaten) lebih dari tujuh hari kerja.

2.2 Tempat Kedudukan, Formasi dan Wilayah Jabatan Notaris

Wilayah kerja/wilayah jabatan Notaris meliputi seluruh wilayah provinsi


dari tempat kedudukannya. Artinya, Notaris tersebut berwenang untuk membuat
akta sepanjang perbuatan hukum tersebut dilakukan masih dalam wilayah
kerjanya, yang meliputi seluruh propinsi di tempat kedudukan Notaris yang
bersangkutan.8

Notaris hanya berkedudukan disatu tempat dikota/kabupaten, dan memiliki


kewenangan wilayah jabatan seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukanya.
Dalam larangan Jabatan Notaris Pasal 17 huruf a UUJN menyebutkan bahwa
”Notaris dilarang menjalankan jabatan diluar wilayah jabatanya”. Batas yuridiksi
yang diperlakukan adalah provinsi sehingga apabila melewati batas itu maka
terdapat pembatasan.Misalkan seorang Notaris yang memiliki wilayah kerja di
Surabaya tidak dapat membuka praktik atau membuat akta autententik di wilayah
Jogjakarta.

Dengan demikian, Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat


dimana akta dibuat maksudnya setiap Notaris ditentukan wilayah jabatanya sesuai
dengan tempat kedudukanya.Untuk itu Notaris hanya berwenang membuat akta
yang berada di dalam wilayah jabatanya. Akta yang dibuat diluar wilayah

8
Pasal 18 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris.

14
jabatanya hanya berkedudukan seperti akta di bawah tangan.9 Pembatasan atau
larangan Notaris ditetapkan untuk menjaga Notaris dalam menjalankan praktiknya
dan tentunya akan lebih bertanggung jawab terhadap segala tugas serta
kewajibanya.

Dalam Pasal 18 ayat (1) dan (2) UUJN menyebutkan bahwa Notaris
mempunyai tempat kedudukan di daerah kabupaten atau kota; dan Notaris
mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah propinsi dari tempat
kedudukanya. Selanjutnya, dalam Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) menyebutkan
bahwa Notaris wajib mempunyai satu kantor yitu di tempat kedudukanya; dan
Notaris tidak berwenang secara teraturmenjalankan jabatan di luar tempat
kedudukanya.

Menurut Pasal 18 ayat (1) Notaris mempunyai tempat kedudukan di


daerah kabupaten atau kota. Kedudukan Notaris di daerah kota atau kabupaten
sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia di bagi atas
propinsi, dan daerah propinsi dibagi atas kabupaten dan kota. Bahwa pada tempat
kedudukan Notaris berarti Notaris berkantor di derah kota kabupaten dan hanya
mempunyai 1 (satu) kantor pada derah kota kabupaten (Pasal 19 ayat [1] UUJN).
Kebutuhan Notaris pada satu daerah kota atau kabupaten akan disesuaikan dengan
formasi yang ditentukan pada daerah kota atau kabupaten berdasarkan Keputusan
Menteri (Pasal 22 UUJN).

Formasi Jabatan Notaris ini terdiri dari 3 (tiga) klasifikasi wilayah yaitu: 10

1. Klasifikasi A adalah Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang terdiri dari


Kota Administrasi Jakarta Pusat, Kota Administrasi Jakarta Selatan,
Kota Administrasi Jakarta Barat, Kota Administrasi Jakarta Utara, Kota
Administrasi Jakarta Timur.

9
G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit. hlm 49- 50.
10
Pasal 11, Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 26 tahun 2014 tentang Formasi Jabatan
Notaris.

15
2. Klasifikasi B adalah Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surabaya,
Kota Medan dan Kota Makassar.
3. Klarifikasi C adalah Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kota Depok, Kota
Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan,
Kabupaten Tangerang, Kabupaten Sidoarjo, Kota Yogyakarta,
Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kota Surakarta, Kabupaten Deli
Serdang, Kabupaten Gowa, Kota Batam, Kota Pekanbaru, Kota
Denpasar, Kabupaten Badung, dan Kabupaten Gianyar.
4. Klasifikasi D adalah kabupaten/kota selain kategori A, Kategori B dan
Kategori Daerah C.

Keterkaitan antara tempat kedudukan Notaris dengan wilayah jabatan


Notaris dapat diartikan bahwa Notaris mempunyai wilayah kerja satu propinsi dari
tempat kedudukannya, artinya Notaris dapat saja membuat akta di luar tempat
kedudukannya selama sepanjangmasih berada pada propinsi yang sama. Notaris
yang membuat akta diluar tempat kedudukannya tersebut tidak dilakukan secara
teratur Pasal 19 ayat (2) Undang-undangJabatan Notaris (UUJN) Nomor 30 Tahun
2004. Tempat kedudukan tersebut bagi Notarisbukanlah bersifat selamanya.
Terhadap Notaris yang ingin pindah tempat kedudukan satuwilayah jabatan tetap
dimungkinkan karena merupakan hak bagi setiap Notaris. Terhadap Notaris yang
berkeinginan untuk pindah wilayah satu jabatan terlebih dahulu harus memenuhi
syarat-syarat sebagaimana telah diatur dalam Pasal 23 Undang-undang Jabatan

Notaris (UUJN) Nomor 30 Tahun 2004, yaitu:11

1. Notaris dapat mengajukan permohonan pindah wilayah jabatan


Notaris secara tertulis kepada Menteri.
2. Syarat pindah wilayah jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah setelah 3 (tiga) tahun berturut-turut melaksanakan tugas jabatan
pada daerah kabupaten atau kota tertentu tempat kedudukan Notaris.

11
Pasal 23 Ayat Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

16
3. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan setelah
mendapat rekomendasi dari Organisasi Notaris.
4. Waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak termasuk cuti yang
telah dijalankan oleh Notaris yang bersangkutan.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan pindah wilayah
jabatan Notaris diatur dalam Peraturan Menteri.

Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal 23 Undang-


Undang Jabatan Notaris (UUJN) Nomor 30 Tahun 2004 diajukan setelah
mendapat rekomendasi dari Organisasi Notaris. Waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) Pasal 23 UndangUndang Jabatan Notaris (UUJN) Nomor 30 Tahun
2004 , tidak termasuk cuti yang telah dijalankan oleh Notaris yang bersangkutan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan pindah satu wilayah
jabatan Notaris diatur dalam Peraturan Menteri.

Bagian Kedua Formasi Jabatan Notaris Pasal 21, Menteri berwenang


menentukan Formasi Jabatan Notaris pada daerah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat 1 dengan mempertimbangkan usul dari Organisasi Notaris. Pasal 22,
yang pertama Formasi Jabatan Notaris ditetapkan berdasarkan: 12

a. kegiatan dunia usaha;


b. jumlah penduduk; dan atau
c. rata-rata jumlah akta yang dibuat oleh dan atau di hadapan Notaris
setiap bulan.

Pasal 24 Dalam keadaan tertentu atas permohonan Notaris yang


bersangkutan, Menteri dapat memindahkan seorang Notaris dari satu wilayah
jabatan ke wilayah jabatan lain.

12
Pasal 23 Ayat Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

17
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Kasus Notaris Terkait Kewenangan Notaris


3.1.1 Kasus Posisi
Berikut merupakan contoh konkret kasus mengenai Kewenangan Notaris:
Notaris Feny Sulifadarti dituding melanggar etika profesi Notaris oleh majelis
hakim Pengadilan Tipikor. Tidak hanya berperan ganda, Fenny juga
menggelapkan sejumlah data tanah dalam akta jual beli. Majelis Hakim
Pengadilan Tipikor menuding Notaris proyek pengadaan tanah Badan Pengawas
Tenaga Nuklir (Bapeten), Feny Sulifadarti melanggar etika profesi Notaris.
Tuduhan itu ditenggarai karena Fenny berperan ganda dalam proses penjualan
tanah tersebut. Fenny mengaku berperan sebagai kuasa penjual dan pembuat akta
jual beli tanah.

Notaris boleh menjadi kuasa penjual dengan syarat akta jual beli itu dibuat
oleh Notaris lain. untuk menghindari hal itu, makanya saudara Feny Sulifadarti
membuat surat kuasa dibawah tangan. Menanggapi tudingan itu, Fenny
menyatakan bahwa itu adalah kemauan dari pemberi kuasa. menurutnya, pemilik
tanah, Komarudin dan Lasiman, meminta dirinya untuk menjual tanah mereka
dengan harga sama dengan Indrawan Lubis.Lasiman membantah pernyataan
Fenny. Sebelumnya, dalam kesaksiannya, Lasiman membeberkan bahwa Fenny
yang menawarkan jasa untuk menjadi kuasa penjual.

Hal senada juga diutarakan oleh Komarudin. Fenny yang menawarkan.


Komarudin mengaku awam soal penjualan tanah, karena itu ia menerima tawaran
Fenny. Mendengar hal itu, Fenny bersikukuh dialah yang benar. Tidak hanya itu,
Fenny juga mengaku menerima uang penjualan tanah dari pihak Bapeten.
Anehnya, uang sebesar Rp19 miliar, tidak langsung diberikan kepada pemilik
tanah. Fenny langsung memotong uang tersebut dengan dalih untuk membayar
pajak-pajak dan fee buat dirinya. Fenny menerangkan fee yang dia terima selaku
kuasa penjual Notaris sebesar Rp312 juta.

18
Uang itu digelontorkan untuk biaya pembuatan akta jual beli plus
pengurusan izin lokasi. Namun, ia tidak merinci besarnya biaya pengurusan.
Sementara itu untuk biaya pajak, Fenny menerangkan biaya pajak yang dikenakan
terdiri dari pajak penjual, pembeli dan pajak waris. Semua sudah saya laporkan
kepada pemilik tanah, terangnya.

Namun, setelah dikonfrontir dengan Komarudin dan Lasiman, keduanya


membantah hal itu. Keduanya menerangkan Fenny tidak pernah menunjukan
bukti pembayaran pajak kepada mereka. Komarudin dan Lasiman mengaku
mereka menandatangani kuitansi kosong. Terkait dengan penandatanganan akta
jual beli, Fenny selaku Notaris tidak pernah mempertemukan pihak penjual dan
pembeli untuk menandatangani akta. Menurut Hakim Mansyurdin , sebagai
pejabat umum pembuat akta harusnya Fenny bertindak profesional. Jangan jadi
makelar tanah.

3.1.2 Analisis Kasus


Berdasarkan kasus diatas telah dapat dibuktikan bahwa Notaris tersebut
melakukan pelanggaran, tidak hanya terhadap UU Jabatan Notaris tetapi juga
Kode Etik Notaris.

Etika Kepribadian Notaris menyebutkan bahwa Notaris wajib:

a. Memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik


b. Menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat Jabatan Notaris
Bertindak jujur, mandiri, tidak berpihak, penuh rasa tanggung jawab

Dengan menjadi kuasa penjual Notaris Feny Sulifadarti tersebut sudah


bertindak tidak menghormati dan tidak menjunjung tinggi harkat dan martabat
Jabatan Notaris, serta tidak bertindak jujur, dan tidak penuh rasa tanggang jawab.
Hal itu terlihat jelas karena pada kenyataannya bahwa seyogyanya seorang
Notaris tidak boleh menjadi kuasa penjual, tetapi ia mengingkari hal tersebut
dengan cara membuat Surat Kuasa dari penjual kepada dirinya selaku kuasa
penjual secara di bawah tangan. Selain itu, sikap tidak jujur Notaris tersebut juga

19
terlihat dalam hal ia memberikan kuitansi kosong untuk ditanda tangani oleh
penjual.

Sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap Notaris yang melakukan pekerjaan


lain, terhadap Notaris Feny Sulifadarti, tindakan pertama yang dilakukan adalah
melaporkan Notaris tersebut kepada MPD dimana ia berkedudukan. Melalui
laporan tersebut maka MPD mengambil tindakan yaitu menyelenggarakan sidang
untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran
pelaksanaan Jabatan Notaris, kemudian membuat dan menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud kepada Majelis Pengawas Wilayah.

Setelah laporan tersebut diterima oleh MPW maka MPW


menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas
laporan masyarakat yang disampaikan melalui Majelis Pengawas Wilayah;
memanggil Notaris yang bersangkutan untuk dilakukan pemeriksaan atas laporan
tersebut. Kemudian MPW dapat memberikan sanksi berupa teguran lisan atau
tertulis, mengusulkan pemberian sanksi terhadap Notaris kepada Majelis
Pengawas Pusat berupa;

a. Pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai 6 (enam) bulan,


b. Pemberhentian dengan tidak hormat.

Setelah laporan tersebut diteruskan kepada MPP maka MPP mengusulkan


pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri.
Sanksi pemberhentian dengan tidak hormat adalah sanksi yang terberat yang
kenakan terhadap Notaris yang melakukan pelanggaran Kode Etik dan UU
Jabatan Notaris.

Pelanggaran terhadap kode etik Notaris oleh oknum Notaris dalam


menjalankan jabatannya, yaitu Notaris menempatkan pegawai/asistennya di suatu
tempat tertentu antara lain : di kantor perusahaan. kantor bank yang menjadi klien
Notaris tersebut, untuk memproduksi akta-akta yang seolah-oleh sama dengan dan
seperti akta yang memenuhi syarat formal. Kedua, Notaris lebih banyak waktu

20
melakukan kegiatan diluar kantornya sendiri, dibandingkan dengan apa yang
dilakukan di kantor serta wilayah jabatannya.

Ketiga Beberapa oknum Notaris untuk memperoleh kesempatan supaya


dipakai jasanya oleh pihak yang berkepentingan antara lain instansi perbankan
dan perusahaan real estate, berperilaku tidak etis atau melanggar harkat dan
martabat jabatannya yaitu : memberikan jasa- imbalan berupa uang komisi kepada
instansi yang bersangkutan. bahkan dengan permufakatan menyetujui untuk
dipotong langsung secara prosentase dari jumlah honorarium. Besarnya cukup
bahkan ada yang sampai 60%. Atau mengajukan permohonan seperti dan
semacam rekanan dan menandatangani suatu perjanjian dengan instansi yang
sebetulnya adalah klien dari Notaris itu sendiri dengan syarat-syarat yang
ditentukan oleh instansi tersebut.

Taktik banting harga yang terjadi di kalangan Notaris diakibatkan oleh


Penumpukkan penempatan Notaris di suatu daerah tertentu. Hal ini menjadikan
persaingan tidak sehat diantara kalangan Notaris. Hal ini akibat makin ketatnya
persaingan pada profesi jabatan Notaris, sejalan dengan banyaknya berdiri
praktikpraktik Notaris baru, oleh karena itu untuk menyiasati kondisi yang
sedemikian sebagian Notaris memasang tariff untuk jasanya dengan harga
dibawah standar.

Berdasarkan contoh di atas, rnasalah yang paling mendasar adalah etika


dan moral seorang Notaris, yang notabene adalah seorang pejabat umum. Kalau
menyangkut etika dan moral, sulit mengaturnya dalarn bentuk peraturan, baik di
tingkat kode etik maupun tingkat peraturan umum. Itu benar-benar menyangkut
pribadi Notaris yang bersangkutan. Dampak dari kasus tersebut para Notaris telah
menyelewengkan tugas jabatannya dan mengambil pekerjaan di luar
wewenangnya.

Sanksi dalam Kode Etik tercantum dalam pasal 6 : Sanksi yang dikenakan
terhadap anggota yang melakukan pefanggaran Kode Etik dapat berupa :

a. Teguran

21
b. Peringatan
c. Schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan perkumpulan
d. Onzetfing ( pemecatan) dari keanggotaan perkumpulan
e. Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan Perkumpufan13

3.2 Kasus Notaris Terkait Kewenangan, Kewajiban Dan Larangan Notaris


3.2.1 Kasus Posisi
Sanksi Hukum dan Mekanisme Pemberian Sanksi bagi Notaris yang
Melakukan Penipuan, Pemalsuan dan Pelanggaran Jabatan (Putusan Nomor
09/pdt.G/2021/PN.Kpn Berdasarkan UUJN dan Kode Etik Notaris). Salah satu
kasus yang terjadi adalah kasus mengenai penipuan dan pemalsuan yang
dilakukan. Notaris di Kabupaten Malang. Kasus ini bermula pada tanggal 28
September 2022 dimana terdapat seorang bernama ITW (Penggugat) yang
membeli sebidang tanah SHM 128 seluas 12.370 M2 yang terletak di Provinsi
Jawa Timur. Kemudian Penggugat membuat akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli
No. 189 dan Akta Kuasa Menjual No. 199 dihadapan Notaris & PPAT AP. 2
Tahun kemudian pada tanggal 14 Januari 2022, penggugat membeli lagi sebidang
tanah SHM 169 seluas 5.220 M2 dan SHM170 seluas 3.410 m2 dan kemudian
transaksi tersebut dicatatkan pada akta perjanjian pengikatan Jual Beli No.79 dan
Akta Kuasa Menjual No. 80 yang dibuat dihadapan Notaris & PPAT AP.

Penggugat selaku klien telah mempercayai Notaris AP, oleh karena itu
kemudian Penggugat mempercayakan dokumen SHM 128, 169, dan 170 kepada
Notaris AP untuk dilakukan pemecahan sertifikat. Namun kemudian tanpa
sepengetahuannya, Notaris AP mengalihkan dokumen atas milik Penggugat
tersebut secara diam-diam kepada dirinya sendiri melalui rekan sejawat yaitu
Notaris & PPAT FSS. Karena tindakan tersebut Penggugat sangat dirugikan
secara moril dan immaterial. Penggugat juga telah dirugikan secara materil
sejumlah kurang lebih Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah). Oleh karena
kerugian yang dialami Penggugat tersebut, Penggugat kepada Pengadilan Negeri

13
Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1993.

22
Kepanjen pada tanggal 13 Januari 2021 sebagaimana berdasarkan putusan Nomor
09/Pdt.G/2021/PN.Kpn tertanggal 19 Juni 2021.

3.2.2 Analisis kasus


Berdasarkan kasus di atas telah dapat dibuktikan bahwa Notaris telah
melakukan pelanggaran penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan terkait tidak
pidana penipuan dan pemalsuan yang telah dilakukan oleh notaries AP dan dan
Notaris FSS, dimana dalam hal ini kedua notaries tersebut melakukan pemalsuan
PPJB dan akta kuasa menjual No2 tertanggal 22 November 2000 dan PPJB dan
akta kuasa menjual Nomor 10 tertanggal 16 Mei 2003 yang seharusnya akta-akta
tersebut digunakan oleh Notaris AP untuk melakukan pemecahan sertifikat atas
permintaan kliennya. Tindakan tersebut merupakan suatu perbuatan pidana karena
telah memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana yang meliputi:

1. Perbuatan (manusia), yaitu tindakan dan kejadian yang ditimbulkan


oleh oleh perbuatan tersebut
2. Memenuhi rumusan peraturan perundang-undangan
3. Bersifat melawan hukum
Sehingga berdasarkan kasus di atas, Notaris telah melanggar kewajiban
serta telah menyalahgunakan kewenangan yang diberikan kepadanya. Karena
dalam kasus ini, Notaris AP selaku Notaris yang telah diberikan kepercayaan oleh
penggugat untuk membantunya dalam melakukan proses pemecahan tanah SHM
128, 169 dan 170 tidak melakukan tugasnya sebagaimana yang telah diwajibkan.
Notaris tersebut melakukan jual beli pura-pura dihadapan Notaris FSS dan
mengalihkan seluruh SHM milik Penggugat kedalam atas namanya seakan-akan
yang melakukan jual beli dengan Penjual adalah Notaris AP.

Maka berdasarkan fakta-fakta, maka tindakan yang dilakukan oleh Notaris


AP telah terbukti dan dapat dibuktikan telah lalai atau tidak menjalankan
kewajibannya. Pelanggaran terhadap kewajiban Notaris dalam membuat suatu
akta dapat mengakibatkan kurangnya rasa percaya masyarakat terhadap Notaris
sehingga dapat memberikan dampak kepada harkat dan martabat. Oleh karena itu

23
tindakannya tersebut, sanksi yang dapat diberikan kepada Notari AP berdasarkan
UUJN terdapat pada Pasal 85, yaitu penjatuhan sanksi yang diantaranya berupa:

a. Teguran lisan
b. Teguran tertulis
c. Pemberhentian sementara
d. Pemberhentian dengan hormat
e. Pemberhentian dengan tidak hormat

Akibat Hukum dalam hal ini dapat terlihat dalam prakteknya bahwa masih
banyak Notaris yang melanggar kewajiban dan larangan tersebut dengan
menyalahgunakan kewenangan yang telah diberikan kepadanya. Pelanggaran
tersebut tidak hanya terbatas pada pelanggaran dan pengenaan sanksi berdasarkan
UUJN, namun juga dapat dapat dikenakan sanksi perdata dalah hal perbuatan
melawan hukum dan sanksi pidana dalam hal penipuan dan juga pemalsuan akta-
akta tersebut. Tindakan-tindakan tersebut, berakibat pula terhadap akta yang telah
dibuatnya, dimana pada akhirnya akta PPJB dan Kuasa Menjual yang dibuat oleh
Notaris FSS adalah batal demi hukum. Oleh karena itu Notaris AP maupun
Notaris FSS memiliki kewajiban untuk menggantikan kerugian yang telah dialami
oleh penggugat karena kesalahannya.

Selain itu UUJN, Notaris tersebut telah melanggar Pasal 16 Ayat (1) huruf
a UUJN dan Pasal 3 Kode Etik maka dapat dikenakan sanksi yang dijatuhkan oleh
Majelis Pengawas dan Dewan Kehormatan berupa teguran lisan, teguran tertulis,
pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat, hingga pemberhentian
dengan tidak hormat.

24
3.3 Kasus Notaris Terkait Wilayah Jabatan
3.3.1 Kasus Posisi
Notaris Tangerang yang melaksanakan penandatangan akta di luar wilayah
jabatannya (Studi Kasus Putusan Majelis Pemeriksa Pusat Notaris Nomor
11/B/MPPN/XII/2018 Tanggal 10 Desember 2018). Notaris berinisial MI yang
berkedudukan di Kota Tangerang, yang seharusnya hanya memiliki kewenangan
wilayah jabatan di seluruh provinsi dari tempat kedudukannya dalam hal ini
Provinsi Banten, tetapi Notaris berinisial MI membuat suatu akta di wilayah Kota
Adminitrasi Jakarta Utara yang bukan merupakan wilayah jabatannya.

Dalam fakta – fakta hukum Notaris berinisial MI sebagai Terlapor telah


membuat Akta Pengikatan Jual Beli Nomor 31 tanggal 23 Juni 2017, Akta
Pengikatan Jual Beli Nomor 34 tanggal 23 Juni 2017, Akta Kuasa Menjual Nomor
32 Tanggal 23 Juni 2017 dan Akta Kuasa Menjual Nomor 35 tanggal 23 Juni
2017 yang penandatangannya dilakukan di Pantai Indah Kapuk (PIK) Jakarta
Utara dan para pihak tidak dalam satu ruangan dan Notaris MI tidak memberikan
salinan akta atas pembuatan akta-akta tersebut kepada Pelapor yang merupakan
penghadap dan berhak atas salinan akta tersebut.

Dalam analisa hukumnya Notaris MI telah melanggar ketentuan dalam


Pasal 17 ayat (1) huruf a UUJN yang menyebutkan bahwa “Notaris dilarang
menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya” 14 dan apabila terbukti larangan
tersebut dilakukan olehnya, kepadanya dapat dikenakan sanksi-sanksi yang
tercantum di dalam Pasal 17 ayat (2) UUJN yang menyebutkan bahwa Notaris
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenal
sanksi berupa :

a. Peringatan tertulis;
b. Pemberhentian sementara;
c. Pemberhentian dengan hormat ; atau

14
Pasal 17 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

25
15
d. Pemberhentian dengan tidak hormat

Pertimbangan mengenai pemberian sanksi kepada Notaris MI, Majelis


mempertimbangkan bahwa sebelumnya Notaris MI juga telah melakukan
kesalahan yang sama dalam proses pembuatan akta yang berdasarkan pada
Putusan Majelis Pengawas Pusat Notaris Nomor 08/B/MPPN/XI/2018 tanggal 09
November 2018, bahwa terhadap yang bersangkutan telah dijatuhi sanksi
pemberhentian sementara selama 6 (enam) bulan dan memerintahkan untuk
melakukan serah terima protokol kepada Notaris pemegang protokol yang ditujuk
oleh Majelis Pengawas Daerah Notaris Kota Tangerang.

Selanjutnya, berdasarkan Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3) juncto Pasal 10
Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 61 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Penjatuhan Sanksi Adiminstratif terhadap Notaris yang menyatakan bahwa
penjatuhan sanksi adiministratif dilakukan secara berjenjang mulai dari sanksi
teringan sampai sanksi terberat sesuai dengan tata urutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan dalam hal tertentu Notaris yang melakukan pelanggaran yang
berat terhadap kewajiban dan larangan dapat langsung dijatuhi sanksi
adiminstratif tanpa dilakukan secara berjenjang.

Maka Menteri dapat menjatuhkan sanksi administratif berupa


pemberhentian dengan hormat dan tidak hormat atas usul Majelis Pengawas
Pusat.Setelah mempertimbangkan hal-hal tersebut diatas dan berdasarkan hasil
rapat musyawarah Majelis Pemeriksa Pusat memutuskan mengusulkan kepada
Menteri Hukum dan HAM untuk memberhentikan dengan tidak hormat Notaris
MI berkedudukan di Kota Tangerang, Banten dalam jabatannya sebagai Notaris.

3.3.2 Analisis Kasus

Akibat Hukum Akta Notaris yang Penandatangannya Dilaksanakan di


Luar Wilayah Jabatan dalam Putusan Majelis Pemeriksa Pusat Notaris Nomor
11/B/MPPN/XII/2018. Sebuah akta disebut akta Notaris karena dibuat di hadapan

15
Pasal 17 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

26
atau oleh Notaris yang memenuhi syarat yang telah ditentukan dalam UUJN. Akta
Notaris sudah pasti akta otentik, tetapi akta otentik bisa juga akta Notaris, akta
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Risalah Lelang Pejabat Lelang dan Akta
Catatan Sipil.

Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, di mana akta itu


dibuat maksudnya setiap Notaris ditentukan daerah hukumnya (daerah
jabatannya) dan hanya di dalam daerah yang ditentukan baginya itu ia berwenang
untuk membuat akta otentik. Akta yang dibuat di luar daerah jabatannya adalah
tidak sah.Selanjutnya, Pasal 1 Angka 1 UUJN menyatakan bahwa “Notaris adalah
pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini atau
berdasarkan undang-undang lainnya”.

Menjadi seorang Notaris haruslah dapat memberikan kepastian hukum


kepada masyarakat yang menggunakan jasanya.Akta yang dibuat Notaris
mempunyai kekuatan hukum sempurna, karena dibuat dalam bentuk akta autentik,
dalam tataran hukum kenotariatan yang benar mengenai akta Notaris dan Notaris.

Tanggung jawab Notaris selaku pejabat umum berhubungan dengan


kebenaran materil dibedakan 4 (empat) poin, yaitu:16

1. Tanggung jawab Notaris secara perdata terhadap kebenaran materil


terhadap akta yang dibuatnya;
2. Tanggung jawab Notaris secara pidana terhadap kebenaran materil
dalam kata yang dibuatnya;
3. Tanggung jawab Notaris berdasarkan peraturan jabatan Notaris
terhadap kebenaran materil dalam akta yang dibuatnya;
4. Tanggung jawab Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatanya
berdasarkan kode etik Notaris.

16
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2009),
hlm. 34-36

27
Akibat hukum terhadap pembuatan akta otentik yang tidak memenuhi
kewajiban Notaris berdasarkan UUJN, antara lain:

a. Sanksi Perdata Sanksi ini berupa pergantian biaya, ganti rugi dan bunga
merupakan akibat yang harus diterima Notaris atas tuntutan para
penghadap jika akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan
pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau akta akan menjadi batal
demi hukum. Akta yang batal demi hukum maka akta tersebut dianggap
tidak pernah ada dan sesuatu yang tidak pernah dibuat maka tidak dapat
dijadikan dasar suatu tuntutan dalam bentuk penggantian biaya, ganti
rugi.
b. Sanksi Administratif Sanksi ini berupa teguran lisan, teguran tertulis,
pemberentian sementara, pemberhentian dengan hormat dan
pemberhentian tidak hormat. Dalam menegakkan sanksi administratif
pada Notaris yang menjadi instrumen pengawas adalah majelis
pengawas.

28
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan

Pelanggaran terhadap kode etik Notaris oleh oknum Notaris dalam


menjalankan jabatannya rnasalah yang paling mendasar adalah etika dan moral
seorang Notaris, yang notabene adalah seorang pejabat umum. Dampak dari kasus
tersebut para Notaris telah menyelewengkan tugas jabatannya dan mengambil
pekerjaan di luar wewenangnya. Sanksi berdasarkan UUJN terdapat pada Pasal
85, yaitu penjatuhan sanksi yang diantaranya berupa:Teguran lisan, Teguran
tertulis, Pemberhentian sementara, Pemberhentian dengan hormat, Pemberhentian
dengan tidak hormat.

Sedangkan mengenai Notaris yang membuat akta diluar kewenangan luar


wilayah jabatannya, akibat hukum akta Notaris tersebut tidak menjadi akta
otentik dan akta tersebut tidak memiliki kekuatan seperti akta dibawah tangan
apabila ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan. Akta Notaris batal atau
batal demi hukum mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan
terjadi karena tidak-terpenuhinya syarat-syarat yang sudah ditentukan menurut
hukum, tanpa perlu adanya tindakan hukum tertentu dari yang bersang-kutan yang
berkepentingan Kemudian Notaris yang melakukan pembuatan akta diluar
wilayah jabatannya akan diberikan sanksi berupa teguran lisan, teguran tertulis,
yang selanjutnya dijatuhi sanksi administrative, sanksi bisa berupa pemberhentian
sementara, pember-hentian dengan hormat bahkan jika kesalahan memang benar-
benar sudah fatal dan terbukti melanggar aturan dapat diberikan sanksi berupa
pemberhentian secara tidak hormat.

29
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghofur Anshori. Filsafat Hukum. (Yogyakarta: Gadjah Mada University


Press, 2009).

Abdul Ghofur Anshori. Lembaga Kenotariatan Indonesia, Perspektif Hukum dan


Etika. UII Press. Yogyakarta. 2009.

Andi A.A. Prajitno. Apa dan Siapa Notaris di Indonesia. Citra Aditya. Surabaya.
Bakti. 2010.

G.H.S Lumban Tobing. Peraturan Jabatan Notaris. Cet. 3. Erlangga. Jakarta.


1996.

Habib Adjie, 2008 : 87 dikutip dari R.Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di


Indonesia, Suatu Penjelasan, 1982 : 97-98)

Habib Adjie. Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap Undang-


Undang No.30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Rafika Aditama.
Bandung. 2008.

Habib Adjie. Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap


UU No.30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Rafika Aditama. Bandung.
2008.

Jurnal. Annisa Fitria. Aspek Hukum Akta Notaris Yang Dibuat Diluar Wilayah
Jabatan Notaris. Lex Jurnalica Volume 18 Nomor 1, April 2021.

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 26 tahun 2014 tentang
Formasi Jabatan Notaris.

Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1993.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris..

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

30

Anda mungkin juga menyukai