Anda di halaman 1dari 13

UJIAN AKHIR SEMESTER HUKUM ACARA PERDATA

PENGERTIAN HUKUM MATERIIL DAN HUKUM FORMIL


DAN SUMBER HUKUM ACARA PERDATA
DI INDONESIA

Dosen Pengampu :
Dr. Abdul Hamid, S.H., M.H.

Disusun Oleh :
Anggi Jepita Sari Sinaga
2108010255

UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN


MUHAMMAD ARSYAD AL BANJARI
FAKULTAS HUKUM
BANJARMASIN
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah yang berjudul “Pengertian Hukum Materiil Dan Hukum
Formil Dan Sumber Hukum Acara Perdata Di Indonesia” dapat tersusun
sampai dengan selesai. Tidak lupa pula, Penyusun mengucapkan terima kasih
terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh
lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi
kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami.
Penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Penulis juga berharap semoga makalah
ini mampu memberikan pengetahuan tentang pentingnya pemahaman Hukum
Materiil dan Hukum Formil.

Banjarmasin, Januari 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................... ii
BAB 1. PENDAHULUAN......................................................................... 1
1.1. Latar Belakang............................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah........................................................................ 2
1.3. Tujuan.......................................................................................... 3
BAB 2. PEMBAHASAN............................................................................ 4
2.1. Hukum Materiil dan Formil......................................................... 4
2.1.1. Pengertian Hukum Materiil............................................... 4
2.1.2. Ketentuan Hukum Formil................................................. 4
2.2. Sumber Hukum Acara Perdata di Indonesia............................... 6
BAB 3. PENUTUP...................................................................................... 8
3.1. Kesimpulan.................................................................................. 8
3.2. Saran............................................................................................. 9
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hukum materiil, baik yang tertulis sebagaimana tertuang dalam peraturan


perundang-undangan atau bersifat tidak tertulis merupakan pedoman bagi setiap
warga masyarakat bagaimana mereka selayaknya berbuat atau tidak berbuat di
dalam masyarakat1. Dari sini dapat dipahami, bahwa hukum itu bukanlah sekedar
untuk pedoman bacaan, dilihat ataupun diketahui, melainkan juga untuk ditaati
dan dilaksanakan. Pada hakikatnya, pelaksanaan hukum materiil itu umumnya
berada dalam kekuasaan masing-masing individu yang melakukan hubungan
keperdataan tanpa melalui pejabat atau instansi yang berwenang. Akan tetapi
sesuatu yang sering terjadi adalah hukum materiil tersebut dilanggar. Sehingga
dari sini ada pihak yang merasa dirugikan dan terjadilah gangguan keseimbangan
kepentingan di dalam masyarakat. Melihat dari hal tersebut, maka hukum materiil
yang telah dilanggar haruslah ditegakkan melalui sistem penegak hukum yang
telah ditetapkan oleh hukum.
Penegak hukum yang dimaksudkan adalah seluruh pejabat yang
melakukan tugas untuk menegakkan hukum di suatu negara sesuai dengan
peraturan perundang-undang yang berlaku, seperti halnya : kepolisian, kejaksaan
serta badan peradilan, baik peradilan umum ataupun juga peradilan agama. Salah
satu dari penegak hukum yang ada di negara indonesia ini adalah peradilan
agama. Fungsi dari peradilan agama adalah untuk menegakkan hukum serta
memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat. Ketentuan tentang Hukum Acara
yang berlaku di lingkungan Pengadilan Agama baru disebut secara tegas sejak
diterbitkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang susunan dan Kekuasaan
Peradilan Agama, selain itu juga di dalamnya diatur tentang Hukum Acara yang
berlaku di lingkungan Peradilan Agama. Kemudian dirubah dengan Undang-
undang Nomor 3 Tahun 2006 selanjutnya disempurnakan dengan Undang-undang
Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.

1
Laili, Afrohatul. "Pandangan Hakim Merangkap Pembuktian Dan Putusan Pengadilan
Dalam Satu Waktu Sidang (Studi Di Pengadilan Agama Mojokerto)." Sinda: Comprehensive
Journal of Islamic Social Studies 2, no. 1 (2022): 45.
1
2

Penyempurnaan terhadap Undang-undang tentang Peradilan Agama ini


memberikan penjelasan yang lebih detail mengenai Hukum Acara yang berlaku di
Peradilan Agama. Dalam Pasal 54 Undang-undang Nomor 7 Tahun 19893
dijelaskan bahwa Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan yang berlaku di
lingkup Peradilan Agama adalah Hukum Acara perdata yang berlaku pada
pengadilan di lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur secara
khusus dalam undang-undang ini2. Dari penjelesan tersebut sudah sangat jelas
bahwa Hukum Acara yang dipergunakan di dalam Peradilan Agama adalah seperti
halnya Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Umum, baik dari segi tahapan
beracara atau dari segi pemeriksaan perkaranya, kecuali peraturan yang khusus
diatur dalam Peradilan Agama. Adapun sumber Hukum Acara yang berlaku di
lingkungan Peradilan Umum diberlakukan juga untuk lingkungan Peradilan
Agama, diantaranya, Het Herzience Indonesie Reglement (HIR), Burgerlijke
Wetbook voor Indonesia (BW), Yurisprudensi tentang Hukum Acara, serta
Doktrin-doktrin yang dikemukakan oleh para sarjana.
Dalam sumber Hukum Acara di lingkungan Peradilan Agama tersebut
juga disebut tentang prosedur-prosedur beracara di pengadilan yang di dalamnya
terdapat beberapa tahapan. Tahapan-tahapan tersebut berawal dari masuknya surat
gugatan atau permohonan di pengadilan yang telah diterima oleh Majelis Hakim,
kemudian proses selanjutnya yaitu upaya damai oleh Majelis Hakim yang
kemudian dilanjutkan dengan cara mediasi. Tahap berikutnya adalah proses
pemeriksaan yang mencakup jawaban dari tergugat, replik dan duplik oleh
Penggugat dan Tergugat atau Pemohon dan Termohon, setelah itu dilanjutkan
dengan kesimpulan dari kedua pihak dan terakhir putusan hakim. Tahapan-
tahapan ini sesuai dengan yang tertuang dalam HIR (Het Herzience Indonesie
Reglement) yang terkait dengan Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Agama

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dari


Makalah yang berjudul “Pengertian Hukum Materiil Dan Hukum Formil Dan
2
Apriyanti, Nurul. "Implementasi Kebijakan Bebas Visa Kunjungan Bagi Warga Negara
Asing (WNA) di Kota Malang (Studi pada Kantor Imigrasi Kelas I Malang)." PhD diss.,
Universitas Brawijaya, 2018.
3

Sumber Hukum Acara Perdata Di Indonesia” adalah sebagai berikut :


1. Bagaimana pengertian Hukum materiil dan formil yang berlaku di Indonesia,
dan;
2. Apa saja sumber Hukum Acara Perdata yang berlaku di Indonesia.

1.3. Tujuan

Tujuan daripada penulisan Makalah yang berjudul “Pengertian Hukum


Materiil Dan Hukum Formil Dan Sumber Hukum Acara Perdata Di Indonesia”
adalah memahami pengertian hukum materiil dan hukum formil serta sumber
hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia.
BAB 2. PEMBAHASAN

2.1. Hukum Materiil dan Hukum Formil

2.1.1. Pengertian Hukum Materiil


Hukum materiil seperti yang terdapat dalam Undang-Undang atau yang
bersifat tidak tertulis, merupakan sebuah pedoman bagi setiap individu tentang
bagaimana selayaknya masyarakat berbuat/bergaul dalam masyarakat. Hukum
bukanlah sekedar sebagai pedoman untuk dilihat, dibaca, atau diketahui saja
melainkan untuk dilaksanakan atau ditaati. Penjelasan mengapa orang mentaati
hukum atau tunduk pada hukum bisa juga diberikan berdasarkan teori-teori
hukum. Teori hukum alam atau kodrati (natural law theory) misalnya mengatakan
bahwa orang mentaati hukum karena tuhan atau alam menghendaki demikian3.
Dapat dikatakan bahwa setiap individu dalam melaksanakan kegiatan
sehari-harinya haruslah berdasarkan hukum. Pelaksanaan hukum bukanlah
dimonopoli oleh pihak-pihak tertentu seperti pejabat atau penguasa. Dalam
kehidupan bermasyarakat, pastiakan melakukan interaksi antar sesama
masyarakat, dimana dalam interaksi tersebut memerlukan batasan-batasan atau
bisa dikatakan suatu aturan yang dapat mengatur dalam interaksi tersebut.
Meskipun telah ada Undang-undang atau peraturan yang bersifat nasional yang
telah disesuaikan dengan keadaan atau kehidupan hukum masyarakat Indonesia.
Di dalam penerapannya sering kali ditemukan banyaknya permasalahan baru,
diantaranya adalah kekerasan. Kekerasan yang dilakukan oleh aparatur Negara
dalam menjalankan tugasnya dilapangan khusunya pada saat melakukan eksekusi.
Permasalahan mengenai kekerasan aparatur negara akan tetap menjadi suatu
permasalahan yang sangat menarik, karena kekerasan sangat erat kaitannya
dengan perampasan hak perlindungan seseorang/masyarakat.

2.1.2. Pengertian Hukum Formil


Hukum pidana formil adalah hukum yang digunakan sebagai dasar para
penegak hukum. Dalam artian sederhana, hukum pidana formil mengatur
bagaimana negara menyikapi perlengkapan untuk melakukan kewajiban
menyidik, menjatuhkan, menuntut dan melaksanakan pidana. Kaidah hukum
3
Meliala, Djaja Sembiring. Hukum Perdata Dalam Perspektif BW. Nuansa Aulia, 2014.
4
5

formil mengatur tata cara yang harus ditempuh dalam mempertahankan atau
menegakkan kaidah hukum materil, khususnya upaya penyelesaian perselisihan
melalui pengadilan. Oleh karena itu hukum formil sering disebut juga sebagai
hukum prosedural atau hukum acara.
Terdapat sumber hukum formil selain undang-undang, yaitu4:
1. Kebiasaan, merupakan salah satu hal yang menjadi sumber hukum menurut
sistem hukum di Indonesia. Kebiasaan dapat diartikan sebagai suatu
perbuatan yang dilakukan berulang-ulang, menurut tingkah laku yang tetap,
lazim dan normal sehingga banyak orang yang menyukai perbuatan tersebut.
2. Traktat, perjanjian yang dibuat antar negara yang dituangkan dalam bentuk
tertentu. Pasal 11 UUD menentukan ‘Presiden dengan persetujuan DPR
menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
3. Yurisprudensi, merupakan keputusan-keputusan dari hakim terdahulu untuk
menghadapi suatu perkara yang tidak diatur dalam UU dan dijadikan sebagai
pedoman bagi para hakim lainnya untuk menyelesaikan suatu perkara yang
sama.
4. Doktrin, merupakan sebuah pernyataan yang dituangkan kedalam bahasa oleh
semua ahli hukum dan hasil penyataannya disepakati oleh seluruh pihak.
Hukum agama, mengatur keseluruhan persoalan dalam kehidupan
berdasarkan atas ketentuan agama tertentu. Jika seseorang tidak memiliki iman
atau kepercayaan yang kuat maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut telah
melanggar norma atau hukum agama. Pidana formil secara umum reaksi atas delik
atau sanksi yang bertujuan untuk mendidik orang yang melakukan delik. Di dalam
buku Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya seperti dikutip
dalam klinik Hukumonline, delik formil yang dirumuskan adalah tindakan yang
dilarang dengan tidak mempersoalkan akibat dari tindakan itu. Contohnya dalam
Pasal 160 KUHP tentang Pengahasutan, 209 KUHP tentang Penyuapan, 242
KUHP tentang Sumpah Palsu dan dalam 362 KUHP tentang Pencurian. Cara
perumusan tindak pidana dengan cara formil yaitu dalam rumusan dicantumkan
secara tegas perihal larangan melakukan perbuatan tertentu.

4
Hudawati, S. N. (2020). Problematika Hukum Formil Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Syariah di Pengadilan Agama. Jurnal Penegakan Hukum dan Keadilan, 1(1), 17-40.
6

Pokok yang menjadi larangan dalam rumusan itu adalah melakukan


perbuatan tertentu. Dalam hubungannya dengan selesainya tindak pidana, jika
perbuatan yang menjadi larangan itu selesai dilakukan, tindak pidana itu selesai
pula tanpa bergantung pada akibat yang timbul dari perbuatan. Dalam artian
singkat, delik formil tidak diperlukan adanya akibat. Dengan terjadinya tindak
pidana, maka sudah dinyatakan tindak pidana tersebut telah terjadi.

2.2. Sumber Hukum Acara di Indonesia

Peraturan perundang-undangan Hukum Acara Perdata yang ada dan


berlaku sampai saat ini tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan,
baik peraturan perundang-undangan peninggalan Pemerintah Hindia Belanda
maupun peraturan perundang-undangan produk Negara Kesatuan Republik
Indonesia yaitu antara lain terdapat dalam5:
1. Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR);
2. Het Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBG);
3. Reglement op de Burgelijke Rechtsvordering voor Europeanen (RV);
4. Buku IV Burgerlijk Wetboek (BW) tentang Pembuktian dan Daluwarsa;
5. Reglement op het houden der Registers van den Burgerlijke stand voor
Europeanen;
6. Reglement Burgerlijke Stand Christen Indonesisch;
7. Reglement op het houden der Register van den Burgerlijke stand voor de
Chineezen;
8. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawa
dan Madura;
9. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
10. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan
terakhir Undang Undang Nomor 3 tahun 2009;
11. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana
telah diubah dengan Undang Undang Nomor 8 Tahun 2004 dan terakhir
Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009;
5
Cahyani, Andi Intan. "Peradilan Agama Sebagai Penegak Hukum Islam Di
Indonesia." Jurnal Al-Qadau: Peradilan Dan Hukum Keluarga Islam 6, no. 1 (2019): 119-132.
7

12. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana


telah diubah dengan Undang Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan terakhir
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009; dan
13. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Peradilan Umum
sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan
terakhir Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Peraturan perundang-undangan
produk Pemerintah Hindia Belanda masih bersifat dualistis atau mengandung
dualisme hukum acara yang berlaku untuk Pengadilan di Jawa dan Madura
dan hukum acara yang berlaku untuk pengadilan di luar Jawa dan Madura
sebagaimana terdapat dalam Het Herziene Indonesisch Reglement dan
Rechtsreglement Buitengewesten yang masih berlaku sampai saat ini.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka perlu disusun Undang-Undang
tentang Hukum Acara Perdata Nasional yang komprehensif, bersifat kodifikasi
maupun unifikasi, sehingga dapat menampung perkembangan dan kebutuhan
hukum yang berkembang dalam masyarakat dengan memperhatikan prinsip atau
asas-asas hukum acara perdata yang berlaku.
BAB 3. PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil pemaparan pembahasan diatas


adalah sebagai berikut :
1. Hukum materiil seperti yang terdapat dalam Undang-Undang atau yang
bersifat tidak tertulis, merupakan sebuah pedoman bagi setiap individu
tentang bagaimana selayaknya masyarakat berbuat/bergaul dalam masyarakat.
Hukum bukanlah sekedar sebagai pedoman untuk dilihat, dibaca, atau
diketahui saja melainkan untuk dilaksanakan atau ditaati. Penjelasan mengapa
orang mentaati hukum atau tunduk pada hukum bisa juga diberikan
berdasarkan teori-teori hukum.
2. Peraturan perundang-undangan Hukum Acara Perdata yang ada dan berlaku
sampai saat ini tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, baik
peraturan perundang-undangan peninggalan Pemerintah Hindia Belanda
maupun peraturan perundang-undangan produk Negara Kesatuan Republik
Indonesia yaitu antara lain terdapat dalam : 1) Het Herziene Indonesisch
Reglement (HIR); 2) Het Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBG); 3)
Reglement op de Burgelijke Rechtsvordering voor Europeanen (RV); 4) Buku
IV Burgerlijk Wetboek (BW) tentang Pembuktian dan Daluwarsa; 5)
Reglement op het houden der Registers van den Burgerlijke stand voor
Europeanen; 6) Reglement Burgerlijke Stand Christen Indonesisch; 7)
Reglement op het houden der Register van den Burgerlijke stand voor de
Chineezen; 8) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan
Ulangan di Jawa dan Madura; 9) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan; 10) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 2004 dan terakhir Undang Undang Nomor 3 tahun 2009; 11)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana
telah diubah dengan Undang Undang Nomor 8 Tahun 2004 dan terakhir
Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009; 12) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana telah diubah dengan

8
9

Undang Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan terakhir Undang-Undang Nomor


51 Tahun 2009; dan 13) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Peradilan Umum sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 5
Tahun 2004 dan terakhir Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Peraturan
perundang-undangan produk Pemerintah Hindia Belanda.

3.2. Saran

Berikut beberapa saran yang disampaikan penyusun adalah Pembentuk


undang-undang perlu melakukan Reformulasi dan Rasionalisasi peraturan
perundang-undangan untuk menghindari benturan interpretasi yang menyesatkan
atau sengaja dapat disesatkan dalam pelaksanaan penegakan hukum.
DAFTAR PUSTAKA

Apriyanti, N. (2018). Implementasi Kebijakan Bebas Visa Kunjungan Bagi Warga


Negara Asing (WNA) di Kota Malang (Studi pada Kantor Imigrasi Kelas
I Malang) (Doctoral dissertation, Universitas Brawijaya).
Asshiddiqie, J. (2011, November). Gagasan negara hukum Indonesia. In Makalah
Disampaikan dalam Forum Dialog Perencanaan Pembangunan Hukum
Nasional yang Diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum
Nasional Kementerian Hukum dan.
Cahyani, A. I. (2019). Peradilan Agama Sebagai Penegak Hukum Islam Di
Indonesia. Jurnal Al-Qadau: Peradilan Dan Hukum Keluarga
Islam, 6(1), 119-132.
Meliala, D. S. (2014). Hukum Perdata Dalam Perspektif BW. Nuansa Aulia.
Laili, A. (2022). Pandangan Hakim Merangkap Pembuktian Dan Putusan
Pengadilan Dalam Satu Waktu Sidang (Studi Di Pengadilan Agama
Mojokerto). SINDA: Comprehensive Journal of Islamic Social
Studies, 2(1), 49-55.

Anda mungkin juga menyukai