Anda di halaman 1dari 27

HALAMAN JUDUL

Makalah Kelompok XI

HUKUM ACARA PERDATA


Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah: Pengantar Hukum Indonesia
Dosen: Sabarudin Ahmad, S. Sy., M.H.

Disusun oleh

Azizah (2112130168)

Silvia Anggraini (2112130137)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA


FAKULTAS SYARI’AH
PRODI HUKUM EKONOMI SYARI’AH
KELAS A
TAHUN 1443 H / 2021 M
KATA PENGANTAR

Bismillāḥirraḥmānirrahīm

Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam yang kepada-Nya kita

menyembah dan kepada-Nya pula kita memohon pertolongan. Shalawat serta

salam kepada Nabi Junjungan kita yakni Nabi Muhammad SAW, beserta para

keluarga dan sahabat serta seluruh pengikutnya hingga akhir zaman.

Dengan rahmat dan hidayah dari Allah SWT, kami diberikan kemampuan

untuk menyelesaikan tugas dari Bapak Sabarudin Ahmad, S. Sy., M.H. untuk

membuat makalah yang memuat materi tentang “Hukum Acara Perdata”.

Kami ucapan terima kasih kami kepada semua pihak yang telah membantu

dalam proses penyusunan makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah ini

kurang sempurna, maka apabila terdapat kesalahan dalam makalah ini mohon

dimaafkan dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

Palangka Raya, Desember 2021

P
enulis

i
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...........................................................................................1

B. Rumusan Masalah.....................................................................................1

C. Tujuan Penulisan.......................................................................................2

D. Metode Penulisan......................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Acara Perdata.............................................................3

B. Sumber dan Asas-Asas Hukum Acara Perdata.........................................4

C. Pembuktian Hukum Acara Perdata.........................................................12

D. Pelaksanaan Hukum Acara Perdata.........................................................14

BAB III PENUTUP

Kesimpulan..............................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Persoalan hukum yang menyelimuti masyarakat Indonesia kian hari

makin beragam dan berkembang seiring dengan kemajuan zaman saat ini.

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sebagai makhluk sosial sering

melakukan perbuatan hukum dengan orang lain seperti jual beli, sewa

menyewa, tukar-menukar, dan sebagainya. Hubungan yang lahir dari

perbuatan hukum itu tidak selamanya berakhir dengan baik, terkadang tidak

jarang berakhir dengan konflik dan sengketa yang berujung di pengadilan.

Untuk menuntut hak-hak yang lahir dari hubungan hukum itu

diperlukan tata cara dan pengaturan agar tuntutan hak tersebut berjalan sesuai

dengan hukum, dalam proses peradilan dikenal adanya hukum acara

khususnya hukum acara perdata. Pada kesempatan ini, makalah kami yang

sederhana ini akan membahas mengenai hukum acara perdata seperti

mengenai pengertian dari hukum acara perdata, sumber dan asas-asas hukum

acara perdata, pembuktian hukum acara perdata, dan pelaksanaan hukum

acara perdata.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini, yakni:

1. Apakah pengertian dari hukum acara perdata?

2. Apa saja sumber dan asas-asas hukum acara perdata?

3. Apa yang dimaksud dari pembuktian hukum acara perdata?

4. Bagaimana pelaksanaan hukum acara perdata?

1
2

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dalam makalah ini, yakni:

1. Untuk mengetahui dan memahami pengertian hukum acara perdata.

2. Untuk mengetahui dan memahami sumber dan asas-asas hukum acara

perdata.

3. Untuk mengetahui dan memahami pembuktian hukum acara perdata.

4. Untuk mengetahui dan memahami pelaksanaan hukum acara perdata.

D. Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode library

research (studi pustaka) karena pengumpulan literature (pustaka) diambil

dari sumber seperti buku dan artikel jurnal dari internet.


BAB II PEMBAHASAN

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Acara Perdata


Hukum acara perdata adalah hukum perdata formil yang pada

dasarnya merupakan peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara

mempertahankan, memelihara dan menegakkan hukum perdata materiil

melalui pengadilan apabila terjadi pelanggaran terhadap hukum perdata

materiil atau terjadi sengketa. Hukum acara perdata juga merupakan

peraturan hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara perdata melalui

pengadilan, sejak diajukan gugatan sampai dengan pelaksanaan putusan

pengadilan guna diputuskannya suatu keadilan dalam suatu perkara.1

Berikut ini dikutip beberapa definisi hukum acara perdata menurut

para ahli hukum;2

1. Menurut Wirjono Prodjodikoro, hukum acara perdata adalah rangkaian

peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak dihadapan

pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama

lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan hukum perdata.

2. Menurut Sudikno Mertokusumo, hukum acara perdata adalah peraturan

hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum

perdata materiil dengan perantaraan hakim atau peraturan hukum yang

menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata

materiil. Hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya


1
Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Jakarta: Prenadamedia
Group, 2018), 1.
2
Laila M. Rasyid dan Herinawati, Hukum Acara Perdata, (Lhokseumawe: Unimal
Press, 2015), 1.

3
4

mengajukan tuntutan hak, cara memeriksa dan cara memutusnya, serta

bagaimana pelaksanaan daripada putusannya.

3. Menurut R. Subekti, hukum acara perdata adalah mengabdi kepada hukum

materiil, setiap perkembangan dalam hukum materiil itu, sebaiknya selalu

diikuti dengan penyesuaian hukum acaranya.

B. Sumber dan Asas-Asas Hukum Acara Perdata

1. Sumber Hukum Acara Perdata

Pada dasarnya, ketika berbicara mengenai hukum acara perdata

Indonesia, tenyata sampai kini masih tetap berpedoman kepada hukum

acara perdata hasil peninggalan kolonial. Oleh karena berdasarkan asas

konkordansi, sistem hukum acara perdata Indonesia mengadopsi hukum

acara perdata dari Belanda, Sumber hukum acara perdata adalah tempat

di mana dapat ditemukannya ketentuan-ketentuan hukum acara perdata

yang berlaku di Indonesia. Berikut sumber hukum acara perdata di

Indonesia:3

a. HIR (Herziene Indoneisch Reglement)

HIR ini dibagi dua yaitu bagian hukum acara pidana dan acara

perdata, yang diperuntukkan bagi golongan Bumiputra dan Timur

Asing di Jawa dan Madura untuk berperkara di muka Laandard.

Bagian acara pidana dari Pasal 1 sampai dengan 114 dan Pasal 246

sampai dengan Pasal 371. Bagian acara perdata dari Pasal 115 sampai

3
Endang Hadrian dan Lukman Hakim, Hukum Acara Perdata di Indonesia:
Permasalahan Eksekusi dan Mediasi, (Yogyakarta: Penerbit Deepublish, 2020), 2-4.
5

dengan 245. Sedangkan titel ke 15 yang merupakan peraturan rupa-

rupa (Pasal 372 s.d. 394) meliputi acara pidana dan acara perdata.

b. RBg (Rechtsreglement voor de Buitengewesten)

RBg yang ditetapkan dalam Pasal 2 Ordonansi 11 Mei 1927 adalah

pengganti berbagai peraturan yang berupa reglemen yang tersebar dan

berlaku hanya dalam suatu daerah tertentu saja. RBg berlaku untuk di

luar Jawa dan Madura.

c. Rv (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering)

Adalah reglemen yang berisi ketentuan-ketentuan hukum acara

perdata yang berlaku khusus untuk golongan Eropa dan yang

dipersamakan dengan mereka untuk berperkara di muka Raad Van

Justitie dan Residentie Gerecht.

d. BW (Burgelijk Wetboek)

Burgerlijk Werboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

meskipun sebagai kodifikasi Hukum Perdata Materiil, namun juga

memuat Hukum Acara Perdata, terutama dalam Buku IV tentang

pembuktian dan daluwarsa (Pasal 1865 sampai dengan Pasal 1993).

Selain itu, juga terdapat dalam beberapa Pasal Buku I, misalnya

tentang tempat tinggal atau domisili (Pasal 17 sampai dengan Pasal

25), serta beberapa Pasal Buku II dan Buku III (misalnya Pasal 533,

Pasal 535, Pasal 1244, dan Pasal 1365).

e. WyK (Wetboek van Koophandel)


6

Wetboek van Koophandel (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang),

meskipun juga sebagai kodifikasi Hukum Perdata Materiil, namun di

dalamnya ada beberapa Pasal yang memuat ketentuan Hukum Acara

Perdata (misalnya Pasal 7. Pasal 8, Pasal 9, Pasal 22, Pasal 23. Pasal

32, Pasal 255, Pasal 258, Pasal 272, Pasal 273, Pasal 274, dan Pasal

275).

f. Berbagai Undang-Undang yang berkaitan dengan Hukum Acara

Perdata, seperti:

1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan

di Jawa dan Madura.

2) Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-

Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan,

Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil.

3) Undang-Undang Nomor Tahun 1974 tentang Perkawinan.

4) Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Kemudian mengalami perubahan dengan Undang-Undang Nomor 5

Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, namun

hukum acara perdata dalam undang-undang ini tidak mengalami

perubahan.

5) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.

Kemudian mengalami perubahan dengan Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009.

6) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat


7

7) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman. Kemudian mengalami perubahan dengan Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009.

8) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penunda Kewajiban Pembayaran Utang.

g. Yurisprudensi.

h. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA).

i. Instruksi dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA).

j. Adat Kebiasaan.

k. Perjanjian Internasional.

l. Doktrin.

2. Asas-asas Hukum Acara Perdata

Dalam hukum acara perdata ada beberapa asas yaitu :4

a. Hakim Bersifat Menunggu

Hakim bersifat menunggu maksudnya ialah hakim bersifat menunggu

datangnya tuntutan hak diajukan kepadanya, kalau tidak ada tuntutan

hak atau penuntutan maka tidak ada hakim. Jadi apakah akan ada

proses atau tidak, apakah suatu perkara atau tuntutan hak itu akan

diajukan atau tidak, sepenuhnya diserahkan kepada pihak yang

berkepentingan (Pasal 118 HIR, 142 RBg.). Asas dari hukum acara

perdata pada umumnya ialah bahwa pelaksanaannya, yaitu inisiatif

untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang

4
Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Jakarta: Prenadamedia
Group, 2018), 9-14.
8

berkepentingan.

b. Hakim Bersifat Pasif

Hakim di dalam memeriksa perkara perdata bersikap pasif berarti

kata bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan

kepada hakim untuk diperiksa pada asasnya ditentukan oleh para

pihak yang beperkara dan bukan oleh hakim. Hakim hanya

membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala

hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan (Pasal 4

ayat (2) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).

Hakim terikat pada peristiwa yang menjadi sengketa yang diajukan

oleh para pihak. Hanya peristiwa yang disengketakan sajalah yang

harus dibuktikan. Para pihaklah yang diwajibkan untuk membuktikan

dan bukan hakim. Jadi, pegertian pasif ini yaitu bahwa hakim tidak

menentukan luas daripada pokok sengketa. Hakim tidak boleh

menambah atau menguranginya. Akan tetapi itu semuanya tidak

berarti bahwa hakim tidak aktif sama sekali tidak aktif. Selaku

pimpinan sidang, hakim harus aktif memimpin dan memeriksa

perkara, dan haruslah berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala

hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan.

c. Sifatnya Terbuka Persidangan

Sidang pemeriksaan di pengadilan pada asasnya adalah terbuka untuk

umum, yang berarti bahwa setiap orang dibolehkan hadir dan

mendengarkan pemeriksaan di persidangan. Tujuannya ialah untuk


9

memberi perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang

peradilan serta untuk lebih menjamin objektivitas peradilan dengan

memper- tanggungjawabkan pemeriksaan yang fair (Pasal 19 ayat (1)

dan 20 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman).

Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum,

namun apabila ditentukan lain oleh undang-undang atau apabila

berdasarkan alasan-alasan yang penting yang dimuat di dalam berita

acara yang diperintahkan oleh hakim, maka persidangan dilakukan

dengan pintu tertutup, contohnya dalam perkara perceraian yang

mana diatur oleh undang-undang.

d. Mendengarkan Kedua Belah Pihak

Dalam Pasal 5 ayat 1 UU No. 4 Tahun 2004 mengandung arti bahwa

di dalam hukum acara perdata yang beperkara harus sama-sama

diperhatikan, berhak atas perlakuan yang sama dan adil serta masing-

masing harus diberi kesempatan untuk memberikan pendapatnya. Di

dalam hukum acara perdata kedua belah pihak diperlakukan sama,

tidak memihak dan didengar bersama-sama. Pengadilan mengadili

menurut hukum dengan tidak membedakan orang, seperti yang

dimuat dalam Pasal 4 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009. Hakim tidak

boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar, bila

pihak lawan tidak didengar atau tidak diberi kesempatan untuk

mengeluarkan pendapatnya.

e. Putusan Harus Disertai Alasan-alasan


10

Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan putusan yang

dijadikan dasar untuk mengadili (Pasal 25 UU No. 4 Tahun 2004

Pasal 184 ayat (1), 319 HIR, 618 RBg.). Alasan-alasan atau

argumentasi itu dimaksudkan sebagai pertanggungjawaban hakim

daripada putusanya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang

lebih tinggi dan ilmu hukum, sehingga oleh karenanya mempunya

nilai objektif. Hal yang sama dijumpai dalam Pasal 50 (1) UU No. 48

Tahun 2009 yang menentukan "Putusan pengadilan selain harus

memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari

peraturan perundang-undangan yang berngkutan atau sumber hukum

tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

f. Beracara Dikenakan Biaya

Beracara Dikenakan Biaya Untuk beperkara pada asasnya dikenakan

biaya (Pasal 2 ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009 dan Pasal 121 ayat (4),

182,183 HIR; serta Pasal 145 ayat (4), 192-194 RBg.). Biaya perkara

ini meliputi biaya kepaniteraan dan biaya panggilan, pemberitahuan

para pihak serta biaya materai. Biaya tersebut juga dikeluarkan untuk

pengacara atas bantuan yang dimintakan kepadanya. Namun bagi

yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara, dapat mengajukan

perkara secara Cuma-cuma dengan mendapatkan izin untuk

dibebaskan dari pembayaran biaya perkara, dengan mengajukan surat

keterangan tidak mampu yang dibuat oleh kepala polisi (Pasal 23 HIR,

273 RBg.).
11

g. Tidak ada Keharusan Mewakilkan

HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan perkaranya

kepada orang lain, sehingga pemeriksaan terjadi secara langsung

terhadap pihak yang langsung berkepentingan. Akan tetapi, para pihak

dapat dibantu atau diwakili oleh kuasanya kalau dikehendakinya.

Dengan demikian, hakim tetap wajib memeriksa sengketa yang

diajukan kepadanya, meskipun para pihak tidak mewakilkan kepada

seorang kuasa. Wewenang untuk mengajukan gugatan dengan lisan

tidak berlaku bagi kuasa. Dengan memeriksa para pihak yang

berkepentingan secara langsung hakim dapat mengetahui lebih jelas

persoalannya.

h. Peradilan Dilakukan dengan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan

(Pasal 2 Ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009)

Sederhana, maksudnya acaranya jelas, mudah dipahami dan tidak

berbelit-belit. Makin sedikit dan sederhana formalitas dalam beracara

maka semakin baik. Sebaliknya terlalu banyak formalitas atau

peraturan akan sulit dipahami dan akan menimbulkan beraneka ragam

penafsiran schingga kurang menjamin adanya kepastian hukum.

Cepat, maksudnya jalannya peradilan yang cepat dan proses

penyelesaíannya tidak berlarut-larut. Biaya ringan, maksudnya biaya

yang serendah mungkin sehingga dapat terjangkau oleh masyarakat.

Biaya perkara yang tinggi membuat orang enggan beracara di

pengadilan.
12

C. Pembuktian Hukum Acara Perdata

Pembuktian dalam hukum acara perdata menduduki tempat yang

sangat penting. Pembuktian merupakan suatu upaya untuk meyakinkan

hakim tentang kebenaran dalil-dalil gugatan/bantahan yang dikemukakan

dalam suatu persengketaan di persidangan. Pembuktian dalam hukum acara

perdata dikenal dua macam, yakni : hukum pembuktian materiil dan hukum

pembuktian formil. Hukum pembuktian materiil mengatur tentang dapat atau

tidak diterimanya alat-alat bukti tertentu di persidangan serta mengatur

tentang kekuatan pembuktian suatu alat bukti. Sedangkan hukum pembuktian

formil mengatur cara bagaimana mengadakan pembuktian seperti terdapat di

dalam RBg dan HIR. Hal-hal yang harus dibuktikan oleh pihak yang

berperkara adalah peristiwanya atau kejadian-kejadian yang menjadi pokok

sengketa, bukan hukumnya, sebab yang menentukan hukumnya adalah

Hakim. Dari peristiwa yang harus dibuktikan adalah kebenarannya,

kebenaran yang harus dicari dalam hukum acara perdata adalah kebenaran

formil, sedangkan dalam hukum acara pidana adalah kebenaran materiil.

Upaya mencari kebenaran formil, berarti hakim hanya mengabulkan apa yang

digugat serta dilarang mengabulkan lebih dari yang dimintakan dalam petitum

(Pasal 178 HIR/189 ayat (3) RBG). Hakim hanya cukup membuktikan

dengan memutus berdasarkan bukti yang cukup.

Alat-alat bukti yang sah menurut hukum acara perdata sebagaimana

diatur dalam Pasal 164 HIR/284 RBg, yaitu : surat-surat, saksi-saksi,

pengakuan, sumpah dan persangkaan hakim. Selain pasal 164 HIR/284 RBg
13

pembuktian harus dikaitkan pula dengan pasal 131 (1) HIR yang mengatur

tentang dibacakannya alat bukti yang diajukan oleh pihak oleh hakim di

persidangan untuk didengar pihak lawan, Pasal 137 HIR/163 RBg yang

mengatur tentang pihak lawan dapat meminta agar diperlihatkan kepadanya

bukti-bukti surat yang diajukan oleh pihak lawannya, Pasal 167 HIR tentang

pihak berperkara dapat meminta salinan bukti milik pihak lawannya.

Kekuatan pembuktian bersifat sempurna dan mengikat, artinya hakim harus

menganggap semua yang tertera dalam akta yang diajukan sebagai bukti itu

merupakan hal yang benar, kecuali pihak lawan dapat membuktikan dengan

akta lain bahwa akta yang diajukan tidak benar. Mengikat artinya hakim

terikat dengan akta yang diajukan oleh pihak sebagai bukti, selama akta

tersebut dibuat sesuai dengan ketentuan undang-undang tentang sahnya suatu

akta. Suatu alat bukti dianggap sah memiliki nilai sebagai alat bukti yang

mempunyai nilai kekuatan pembuktian, apabila telah mencapai batas minimal

pembuktian. Dalam hal ini terkait dengan alat bukti permulaan yang

merupakan alat bukti yang tidak memenuhi batas minimal alat bukti, sehingga

alat bukti tersebut tidak dapat diterima sebagai bukti untuk mendukung dalil

gugatan kecuali ditambah dengan paling sedikit satu alat bukti lagi. Hal-hal

yang tidak perlu dibuktikan dalam acara pembuktian di persidangan antara

lain : segala sesuatu yang dianggap telah diketahui oleh umum, hal-hal yang

dilihat sendiri oleh hakim di persidangan dalam proses persidangan, seperti

pihak tergugat tidak hadir, hal-hal yang diajukan oleh penggugat yang diakui

oleh tergugat.
14

Pasal 163HIR/283 RBG mengatur beban pembuktian dibebankan

kepada pihak yang berkepentingan, tidak hanya kepada penggugat tetapi bisa

juga kepada tergugat, yakni ketika tergugat menyangkal dalil gugatan. Pokok-

pokok dalam ketentuan pasal tersebut pada intinya mengatur tentang beberapa

hal antara lain : dalam proses perdata soal pembuktian dilakukan oleh para

pihak yang berperkara bukan hakim, penggugat harus dapat membuktikan

hak-haknya yang digugat dan sebaliknya tergugat harus dapat membuktikan

penyangkalannya atas dalil-dalil gugatan penggugat, hakim harus membagi

beban pembuktian kepada para pihak dan juga harus mengatur fakta yang

harus dibuktikan baik oleh penggugat maupun tergugat karena pembagian

beban pembuktian sangat menentukan suatu perkara, hakim harus menilai

bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak apakah fakta-fakta itu benar terjadi

dengan bukti-bukti yang diajukan. Hal-hal lain yang perlu menjadi

pertimbangan hakim dalam pembuktian adalah sebagai berikut : beban

pembuktian yang terkait dengan siapa yang terlebih dahulu membuktikan dan

kapan beban pembuktian diberikan kepada penggugat dan tergugat, alat-alat

bukti apa saja yang sah menurut hukum, apakah alat bukti tersebut telah

mencapai batas minimal sehingga memiliki kekuatan pembuktian.5

D. Pelaksanaan Hukum Acara Perdata

Sebelum sampai kepada pengambilan putusan dalam setiap perkara

perdata yang ditangani, terlebih dahulu harus melalui proses dan tahapan

pemeriksaan persidangan, tanpa melalui proses tersebut, hakim tidak akan

5
Martha Eri Safira, Hukum Acara Perdata, (Ponorogo: CV. Nata Karya, 2017),
57-59.
15

dapat mengambil keputusan. Melalui proses ini pula, semua pihak baik

penggugat maupun tergugat (dapat diwakilkan oleh Penasihat

Hukum/Pengacara/Advokat yang bekerja di kantor hukum sebagai kuasa

hukumnya) diberi kesempatan yang sama untuk mengajukan segala

sesuatunya dan mengemukakan pendapatnya, serta menilai hasil pemeriksaan

persidangan menurut perspektifnya masing-masing. Proses persidangan ini

merupakan salah satu aspek hukum formil yang harus dilakukan oleh hakim

untuk dapat memberikan putusan dalam perkara/kasus perdata. Proses

pemeriksaan persidangan perkara perdata di pengadilan yang dilakukan oleh

hakim, secara umum diatur dalam peraturan perundang-undangan yaitu HIR

(Herzien Indonesis Reglement) dan Rbg (Rechtsreglement Buitengewesten).

Pada garis besar, proses persidangan perdata pada peradilan tingkat

pertama di Pengadilan Negeri terdiri dari beberapa tahap sebagai berikut:6

1. Tahap Mediasi

Pada hari sidang yang telah ditetapkan, penggugat dan tergugat telah

hadir, maka majelis hakim sebelum melanjutkan pemeriksaan, wajib untuk

mengusahakan upaya perdamaian dengan mediasi, yaitu suatu cara

penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh

kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Mediator

merupakan seorang hakim pengadilan (yang bukan memeriksa perkara)

dan dapat juga merupakan seseorang dari pihak lain yang sudah memiliki

sertifikat sebagai mediator.


6
Suria Nataadmadja, “Proses dan Tahapan Persidangan Perkara Perdata” dalam
https://www.surialaw.com/news/proses-dan-tahapan-persidangan-perkara-perdata/
(5Desember 2021).
16

Kesempatan mediasi diberikan oleh majelis hakim selama 40 hari,

dan apabila masih belum cukup dapat diperpanjang selama 14 hari. Pada

kesempatan tersebut para pihak akan mengajukan apa yang menjadi

tuntutannya secara berimbang untuk mendapatkan titik temu dalam

penyelesaian sengketa secara win-win solution. Apabila dalam proses ini

telah tercapai kesepakatan, maka dapat dituangkan dalam suatu akta

perdamaian yang ditandatangani oleh para pihak dan diketahui oleh

mediator. Akta kesepakatan ini disampaikan kepada majelis hakim untuk

mendapatkan putusan perdamaian. Akan tetapi sebaliknya, jika dalam

jangka waktu tersebut tidak tercapai perdamaian dan kesepakatan, maka

mediator akan membuat laporan kepada majelis hakim yang menyatakan

mediasi telah gagal dilakukan.

2. Tahap Pembacaan Gugatan (termasuk Jawaban, Replik, dan Duplik)

Apabila majelis hakim telah mendapatkan pernyataan mediasi gagal

dari mediator, maka pemeriksaan perkara akan dilanjutkan ke tahap ke-2

yaitu pembacaan surat gugatan. Kesempatan pertama diberikan kepada

pihak penggugat untuk membacakan surat gugatannya. Pihak penggugat

pada tahap ini juga diberikan kesempatan untuk memperbaiki surat

gugatannya apabila terdapat kesalahan-kesalahan, sepanjang tidak

merubah pokok gugatan, bahkan lebih dari itu pihak penggugat dapat

mencabut gugatannya. Kedua kesempatan tersebut diberikan sebelum

tergugat mengajukan jawabannya.


17

Setelah pembacaan surat gugatan, maka secara berimbang

kesempatan kedua diberikan kepada pihak tergugat atau kuasanya untuk

membacakan jawabannya. Jawaban yang dibacakan tersebut dapat

berisikan hanya bantahan terhadap dalil-dalil gugatan itu saja, atau dapat

juga berisikan bantahan dalam eksepsi dan dalam pokok perkara. Bahkan

lebih dari itu, dalam jawaban dapat berisi dalam rekonpensi (apabila pihak

tergugat ingin menggugat balik pihak penggugat dalam perkara tersebut).

Acara jawab-menjawab ini akan berlanjut sampai dengan replik dari

pihak penggugat dan duplik dari pihak tergugat. Replik merupakan

penegasan dari dalil-dalil penggugat setelah adanya jawaban dari tergugat,

sedangkan duplik penegasan dari bantahan atau jawaban tergugat setelah

adanya replik dari penggugat. Dengan berlangsungnya acara jawab-

menjawab ini sampai kepada duplik, akan menjadi jelas apa sebenarnya

yang menjadi pokok perkara antara pihak penggugat dan tergugat. Apabila

jawaban tergugat terdapat eksepsi mengenai kompetensi pengadilan, yaitu

pengadilan yang mengadili perkara tersebut tidak berwenang memeriksa

perkara yang bersangkutan, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 136 HIR

atau Pasal 162 Rbg majelis hakim akan menjatuhkan putusan terhadap

eksepsi tersebut.

3. Tahap Pembuktian

Tahap pembuktian merupakan tahap yang cukup penting dalam

semua proses pemeriksaan perkara, karena dari tahap ini nantinya yang

akan menentukan apakah dalil penggugat atau bantahan tergugat yang


18

akan terbukti. Dari alat-alat bukti yang diajukan para pihak, majelis hakim

dapat menilai peristiwa hukum apa yang terjadi antara penggugat dengan

tergugat sehingga terjadi perkara. Dari peristiwa hukum yang terbukti

tersebut nantinya majelis hakim akan mempertimbangkan hukum apa yang

akan diterapkan dalam perkara dan memutuskan siapa yang menang dan

kalah dalam perkara tersebut.

4. Tahap Kesimpulan

Pengajuan kesimpulan oleh para pihak setelah selesai acara

pembuktian tidak diatur dalam HIR maupun dalam RBg, akan tetapi

mengajukan kesimpulan ini timbul dalam praktek persidangan. Dengan

demikian, sebenarnya jika ada pihak yang tidak mengajukan kesimpulan,

merupakan hal yang diperbolehkan. Bahkan terkadang, para pihak

menyatakan secara tegas untuk tidak mengajukan kesimpulan, akan tetapi

memohon kebijaksanaan hakim untuk memutus dengan seadil-adilnya.

Sebenarnya, kesempatan pengajuan kesimpulan sangat perlu dilaksanakan

oleh kuasa hukum para pihak, dikarenakan melalui kesimpulan inilah

seorang kuasa hukum akan menganalisis dalil-dalil gugatannya atau dalil-

dalil jawabannya melalui pembuktian yang didapatkan selama

persidangan. Dari analisis yang dilakukan itu akan mendapatkan suatu

kesimpulan apakah dalil gugatan terbukti atau tidak, dan kuasa penggugat

memohon kepada majelis hakim agar gugatan dikabulkan. Sebaliknya

kuasa tergugat memohon kepada majelis hakim agar gugatan

penggugat ditolak.
19

5. Tahap Putusan

Setelah melalui beberapa proses dan tahapan persidangan, maka

sampailah pada proses dan tahapan terakhir, yaitu pembacaan putusan.

Menurut Sudikno Mertokusumo, putusan hakim adalah suatu pernyataan

yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu,

diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau

menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.

Setiap putusan pengadilan haruslah mempunyai kepala pada bagian

atas putusan yang berbunyi: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa”. Kepala putusan ini memberi kekuatan eksekutorial pada

putusan. Selain kepala putusan pada halaman pertama dari putusan, juga

dicantumkan identitas para pihak, yaitu pihak penggugat dan pihak

tergugat secara lengkap sesuai dengan surat gugatan dari penggugat.

Selanjutnya di dalam putusan perkara perdata memuat pertimbangan.

Pertimbangan ini dibagi menjadi dua yaitu, pertimbangan tentang

duduknya perkara dan pertimbangan tentang hukumnya. Dalam rumusan

putusan sering dibuat dengan huruf kapital dengan judul “TENTANG

DUDUKNYA PERKARA dan TENTANG PERTIMBANGAN

HUKUM“. Didalam pertimbangan tentang duduknya perkara memuat isi

surat gugatan penggugat, isi surat jawaban tergugat yang ditulis secara

lengkap, alat-alat bukti yang diperiksa di persidangan, baik alat bukti dari

pihak penggugat maupun alat bukti dari pihak tergugat. Jika terdapat saksi

yang diperiksa, maka nama saksi dan seluruh keterangan saksi tersebut
20

dicantumkan dalam pertimbangan ini, sedangkan pertimbangan hukum

suatu putusan perkara perdata adalah merupakan pekerjaan ilmiah dari

seorang hakim, karena melalui pertimbangan hukum inilah hakim akan

menerapkan hukum kedalam peristiwa konkrit dengan menggunakan

logika hukum. Biasanya pertimbangan hukum ini diuraikan secara

sistematis, dimulai dengan mempertimbangkan dalil-dalil gugatan yang

sudah terbukti kebenarannya karena sudah diakui oleh tergugat atau

setidak-tidaknya tidak dibantah oleh tergugat. Setelah merumuskan hal

yang telah terbukti tersebut, lalu akan dirumuskan pokok perkara

berdasarkan bantahan tergugat.

Pokok perkara akan dianalisis melalui bukti-bukti yang diajukan

oleh para pihak. Pertama akan diuji dengan bukti surat atau akta

otentik/dibawah tangan yang diakui kebenarannya. Bukti surat tersebut

juga akan dikonfrontir dengan keterangan saksi-saksi yang sudah didengar

keterangannya. Dengan cara demikian, maka hakim akan mendapatkan

kesimpulan dalam pokok perkara, mana yang benar diantara dalil

penggugat atau dalilnya tergugat. Bila yang benar menurut pertimbangan

hukum adalah dalil penggugat, maka gugatan akan dikabulkan, dan pihak

penggugat adalah pihak yang menang perkara. Sebaliknya berdasarkan

pertimbangan hukum putusan dalil-dalil gugatan pengugat tidak terbukti,

dan justru dalil jawaban tergugat yang terbukti, maka gugatan akan

ditolak, sehingga pihak tergugat yang menang dalam perkara tersebut.


21

Jadi, bila ditinjau dari menang-kalahnya para pihak, maka putusan

perkara perdata dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu gugatan dikabulkan

dan gugatan ditolak, selain kedua putusan tersebut, terdapat 1 (satu) jenis

putusan lain, yaitu karena kurang sempurnanya gugatan dikarenakan tidak

memenuhi formalitasnya suatu gugatan yaitu putusan gugatan tidak dapat

diterima. Setelah putusan diucapkan oleh hakim, maka kepada para pihak

diberitahukan akan haknya untuk mengajukan upaya hukum jika tidak

menerima putusan tersebut.


BAB III PENUTUP
PENUTUP

Kesimpulan

1. Hukum acara perdata merupakan peraturan hukum yang mengatur proses

penyelesaian perkara perdata melalui pengadilan, sejak diajukan gugatan

sampai dengan pelaksanaan putusan pengadilan guna diputuskannya suatu

keadilan dalam suatu perkara. Ada beberapa definisi hukum acara perdata

menurut para ahli hukum seperti Wirjono Prodjodikoro, Sudikno

Mertokusumo dan R. Subekti.

2. Sumber hukum perdata yaitu : HIR (Herziene Indoneisch Reglement),

RBg (Rechtsreglement voor de Buitengewesten), Rv (Reglement op de

Burgerlijke Rechtsvordering), BW (Burgelijk Wetboek), WyK (Wetboek

van Koophandel), berbagai undang-undang yang berkaitan dengan hukum

acara perdata, yurisprudensi, peraturan Mahkamah Agung (PERMA),

instruksi dan surat edaran Mahkamah Agung (SEMA), adat kebiasaan,

perjanjian internasional dan doktrin. Adapun asas-asas hukum acara

perdata yaitu : hakim bersifat menunggu, hakim bersifat pasif, sifatnya

terbuka persidangan, mendengarkan kedua belah pihak, putusan harus

disertai alasan-alasan, beracara dikenakan biaya, tidak ada keharusan

mewakilkan, dan peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, biaya

ringan.;

3. Pembuktian dalam hukum acara perdata menduduki tempat yang sangat

penting. Pembuktian merupakan suatu upaya untuk meyakinkan hakim

tentang kebenaran dalil-dalil gugatan/bantahan yang dikemukakan dalam

22
23

suatu persengketaan di persidangan. Pembuktian dalam hukum acara

perdata dikenal dua macam, yakni : hukum pembuktian materiil dan

hukum pembuktian formil. Hukum pembuktian materiil mengatur tentang

dapat atau tidak diterimanya alat-alat bukti tertentu di persidangan serta

mengatur tentang kekuatan pembuktian suatu alat bukti. Sedangkan

hukum pembuktian formil mengatur cara bagaimana mengadakan

pembuktian seperti terdapat di dalam RBg dan HIR.

4. Sebelum sampai kepada pengambilan putusan dalam setiap perkara

perdata yang ditangani, terlebih dahulu harus melalui proses dan tahapan

pemeriksaan persidangan, tanpa melalui proses tersebut, hakim tidak akan

dapat mengambil keputusan. Pada garis besar, proses persidangan perdata

pada peradilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri terdiri dari beberapa

tahap seperti :

a) Tahap mediasi;

b) Tahap pembacaan gugatan (termasuk jawaban, replik, dan duplik);

c) Tahap pembuktian;

d) Tahap kesimpulan; dan

e) Tahap putusan.
DAFTAR PUSTAKA

Asikin, Zainal. Hukum Acara Perdata di Indonesia. Jakarta: Prenadamedia


Group, 2018.
Hadrian, Endang dan Lukman Hakim. Hukum Acara Perdata di Indonesia:
Permasalahan Eksekusi dan Mediasi. Yogyakarta: Penerbit Deepublish,
2020.
Nataadmadja, Suria. “Proses dan Tahapan Persidangan Perkara Perdata” dalam
https://www.surialaw.com/news/proses-dan-tahapan-persidangan-perkara-
perdata/. 5 Desember 2021.
Rasyid, Laila M. dan Herinawati. Hukum Acara Perdata. Lhokseumawe: Unimal
Press, 2015.
Safira, Martha Eri. Hukum Acara Perdata. Ponorogo: CV. Nata Karya, 2017.

24

Anda mungkin juga menyukai