Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH PENGERTIAN, SEJARAH, DAN SUMBER

HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA


Diajukan Untuk Memenuhi Mata Kuliah Hukum Acara Peradilan Agama

Dosen Pengampu : Devi Kasumawati, M.H.

Disusun Oleh :

Thasya Khoiro Aryadiwinanta (2021508087)

Riski Saputra (2021508069)

PROGRAM STUDI HUKUM

KELUARGA FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN AJI MUHAMMAD


IDRIS

SAMARINDA

TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.

Puji syukur senantiasa kami haturkan kepada Allah SWT. Karena berkat
limpahan rahmat dan karunia-Nya, makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dan
tepat pada waktunya. Sholawat beserta salam semoga tetap tercurahkan kepada
baginda Nabi Muhammad SAW. Beliau telah membawa kita dari kehidupan yang
anarkis menuju kehidupan yang harmonis. Semoga kita selalu mendapat syafaat dan
pertolongan beliau, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Aamiin.
Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Hukum Acara
Peradilan Agama” semester 6 program studi Hukum Keluarga (HK) pada Universitas
Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda. Oleh karena itu, saya haturkan
terima kasih banyak kepada Ibu Devi Kasumawati, M.H. Selaku dosen pengampu
mata kuliah ini, yang membimbing kami dalam menyusun makalah ini.
Penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena
itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga saja makalah ini dapat bermamfaat
bagi kita semua.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh

Samarinda, 29 Februari 2023

Penyusun

Kelompok 1

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
A. Latar Belakang...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................2
C. Tujuan Pembahasan...................................................................................2
BAB II.....................................................................................................................3
PEMBAHASAN.....................................................................................................3
A. Pengertian Hukum Acara Peradilan Islam.................................................3
B. Sejarah Hukum Acara................................................................................4
C. Sumber-sumber Hukum Acara Peradilan Islam........................................7
BAB III....................................................................................................................9
PENUTUP...............................................................................................................9
A. Kesimpulan................................................................................................9
B. Saran..........................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peradilan Agama, merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman
di Indonesia. Dalam klasifikasinya, Peradilan Agama merupakan satu dari tiga
peradilan khusus yang ada di Indonesia, dua lainnya adalah Peradilan Militer
dan Peradilan Tata Usaha Negara.1
Peradilan secara bahasa (etimologi) dalam bahasa Arab disebut dengan
Al-Qadha yang mempunyai beberapa pengertian, yakni al-Faragh yang berarti
putus atau selesai, al-Adaa’ artinya menunaikan atau membayar, al-hukm
artinya mencegah atau menghalangi, bisa juga diartikan membuat suatu
ketetapan.2
Menurut ahli fiqh Peradilan dapat disimpulkan dalam artian merupakan
tempat seseorang untuk memohonkan keadilan dalam hal menyelesaikan
masalahnya, serta memiliki wewenang untuk itu dalam suatu wilayah
kekuasaan serta setiap putusannya wajib dituruti.
Sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia,
Peradilan Agama memiliki kewenangan absolut yang diatur oleh Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 perubahan pertama yakni Undang-Undang
Nomor 3 tahun 2006 dan perubahan kedua Undang-Undang Nomor 50 tahun
2009 tentang Peradilan Agama. Adanya kewenangan absolut itu menjadikan
Peradilan Agama, baik dalam pengadilan tingkat pertama dan banding, tidak
salah dalam menerima suatu perkara yang diajukan kepadanya karena menjadi
kewenangan lingkungan peradilan lain.

1
Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia Sejarah Pemikiran dan Realita, (Malang:
UIN Malang Press, 2009), hlm. 15.
2
Alaiddin Koto, et.al, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), hlm. 10.

1
Kewenangan absolut adalah kewenangan Badan Peradilan dalam
memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa
oleh badan peradilan lain, baik dalam lingkungan pengadilan yang sama
maupun dalam lingkungan peradilan yang lain.3

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Hukum Acara Peradilan Agama ?
2. Bagaimana Sejarah Hukum Acara ?
3. Apa saja Sumber-sumber Hukum Acara Peradilan Agama ?

C. Tujuan Pembahasan
Untuk mengetahui pengertian Hukum Acara Peradilan Agama, serta
sejarahnya dan juga dasar-dasar dalam Hukum Acara Peradilan Agama.

3
Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2015), hlm. 85.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Acara Peradilan Agama


Menurut Wirjono Prodjodikoro, beliau mengistilahkan hukum acara
perdata merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara
bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan cara
bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan
berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.
Sedangkan R Subekti, berpendapat bahwa hukum acara itu mengabdi
kepada hukum materiil, maka dengan sendirinya setiap perkembangan dalam
hukum materiil itu sebaik selalu diikuti dengan sesuai hukum acaranya.
MH Tirtaamidjaya mengatakan bahwa hukum acara perdata ialah akibat
yang timbul dari hukum perdata materiil.
Sementara Soepomo berpendapat bahwa tugas hakim di peradilan dalam
kasus perdata ialah mempertahankan tata hukum perdata, menetapkan apa
yang ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara.
Sudikno Mertokusumo menuliskan bahwa hukum acara perdata ialah
peratiuran hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya
hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim atau peraturan hukum yang
menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata
materiil.4
Konkritnya hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya
mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutuskannya dan
pelaksanaannya dari pada putusannya.

4
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, Yogyakarta, Liberty, 1988, h. 28,

3
Karena itu sesuai dengan pasal 54 UU No. 7 tahun 1989 Jo UU Nomor 3
tahun 2006 dinyatakan bahwa “hukum acara yang berlaku pada pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara Perdata yang berlaku
pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur
secara khusus dalam undang-undang ini”.
Adapun perkara-perkara dalam bidang perkawinan berlaku hukum acara
khusus dan selebihnya berlaku hukum acara perdata pada umumnya. Hukum
acara ini meliputi kewenangan relatif pengadilan agama, pemanggilan,
pemeriksaan, pembuktian dan biaya perkara serta pelaksanaan putusan.5
Sehingga dapat disimpulkan bahwa hukum acara Peradilan Agama adalah
peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara mentaatinya hukum perdata
materiil dengan perantaraan hakim atau bagaimana bertindak di muka
pengadilan agama dan bagaimana cara hakim bertindak agar hukum itu
berjalan sebagaimana mestinya.
Karena itu hakim harus menguasai hukum acara (hukum formal)
disamping hukum materiil. Menerapkan hukum materiil secara benarbenar
tentu menghasilkan putusan yang adil dan benar.

B. Sejarah Hukum Acara


Berbicara mengenai sejarah hukum perdata, maka ada dua hal yang
diuraikan yaitu tentang sejarah ketentuan perundang-undangan yang mengatur
hukum acara di peradilan dan sejarah lembaga peradilan di Indonesia.
Sebagaimana diketahui bahwa ketentuan yang mengatur hukum acara di
lingkungan peradilan umum adalah Herziene Indonesia Reglement (HIR).
HIR ini mengatur tentang acara dibidang perdata dan bidang pidana. Dengan
berlakunya UU No. 8 tahun 1981 tentan kitab undang-undang Hukum Acara

5
A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Peradilan Agama, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 1996, h. 9

4
Pidana (KUHAP), maka pasal-pasal yang mengatur hukum acara pidana
dalam HIR dinyatakan tidak berlaku.
Nama semula dari Herziene Indonesia Reglement (disingkat HIR) adalah
Inlandsch Reglement (IR), yang berarti reglement Bumi Putera. Perancang IR
adalah Mr. HL Wichers, waktu itu presiden dari Hooogerechtshop, yaitu
badan pengadilan tinggi di Indonesia di Zaman kolonial Belanda. Dengan
surat keputusan Gubernur Jenderal Rochussen tertanggal 5 Desember 1846
No. 3, Mr. Wichers tersebut diberi tugas untuk merancang sebuah reglement
(peratuan) tentang “administrasi”, polisi dan proses perdata serta proses
“pidana” bagi golongan bumi putera.
Pembaharuan IR menjadi HIR dalam tahun 1941 (staatblad 1941-44)
ternyata tidak membawa perubahan suatu apapun pada hukum acara perdata
di muka Pengadilan Negeri. Yang dinamakan pembaharuan pada IR itu
sebetulnya hanya terjadi dalam bidang acara pidana saja, sedangkan dalam
hukum acara perdata tidak ada perubahan. Terutama pembaharuan itu
mengenai pembentukan aparatur kejaksaan atau penutut umum yang berdiri
sendiri dan langsung dibawah pimpinan procereur General, sebab dalam IR
apa yang dinamakan jaksa itu pada hakikatnya tidaklah lain dan tidak lebih
dari pada seorang bawahan dari asisten residen, yang adalah seorang pejabat
pamong praja.
Pada zaman Hindia Belanda sesuai dengan dualisme hukum, maka
pengadilan dibagi atas peradilan gubernemen dan peradilan pribumi. Peradilan
Gubernemen di Jawa dan Madura di satu pihak dan di luar jawa dilain pihak.
Dibedakan peradilan untuk golongan Eropa (Belanda) dan untuk golongan
Bumiputera. Pada umumnya peradilan Gubernemen untuk golongan Eropa
pada tingkat pertama ialah Raad van justitie sedangkan untuk golongan
Bumiputera ialah landraad. Kemudia Raad van Justitie ini juga menjadi
peradilan banding untuk golongan pribumi yang diputus oleh landraad.
Hakim-hakim pada kedua macam peradilan tersebut tidak tentu. Banyak orang

5
Eropa (Belanda) menjadi landraad. Dan adapula orang Bumiputera di Jawa
menjadi hakim pengadilan keresidenan yang yurisdiksinya untuk orang
Eropa.6
Orang timur asing dipecah dalam urusan peradilan ini. Dalam perkara
perdata, orang Cina tunduk pada sistem Peradilan di Eropa sedangkan pada
perkara pidana tunduk kepada peradilan Bumi putera. Pada puncaknya
peradilan Hindia Belanda ada Hoogerechtschop itu ada procureur general
(Semacam Jaksa Agung). Sebagaimana telah disebutkan dimuka, bentuk
peradilan gubernemen di Jawa Madura di satu pihak dan di luar Jawa Madura
di lain pihak.
Begitu pula, hukum materiil sebagaimana terjelma dalam undang-undang
atau yang bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi warga masyarakat
tentang bagaimana orang selayaknya berbuat atau tidak berbuat di dalam
masyarakat.
Hukum bukanlah semata-mata sekedar sebagai pedoman untuk dibaca,
dilihat atau diketahui saja, melainkan untuk dilaksanakan atau ditaati. Hukum
harus dilaksanakan. Siapakah yang melaksanakan hukum? Dapatlah
dikatakan, bahwa setiap orang melaksanakan hukum. Setiap hari kita
melaksanakan hukum.
Pelaksanaan dari pada hukum materiil, khususnya hukum materiil perdata,
dapatlah berlangsung secara diam-diam diantara para pihak yang
bersangkutan tanpa melalui pejabat atau instansi resmi. Akan tetapi sering
terjadi, bahwa hukum materiil perdata itu di langgar sehingga ada pihak yang
dirugikan dan terjadilah gangguan keseimbangan kepentingan di dalam
masyarakat. Dalam hal ini amaka hukum materiil perdata yang telah dilanggar
itu haruslah dipertahankan atau ditegakan.7

6
M. Taufik Makaro, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2004
7
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, h. 1

6
Untuk melaksanakan hukum materiil perdata terutama dalam hal ada
pelanggaran atau untuk mempertahankan berlangsungnya hukum materiil
perdata dalam hal ada tuntutan hak diperlukan rangkaian peraturan-peraturan
hukum lain disamping hukum materiil perdata itu sendiri. Peraturan hukum
inilah yang disebut hukum formil atau hukum acara perdata.

C. Sumber Hukum Acara Peradilan Agama


Peradilan Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia, yang wewenangnya
memeriksa memutuskan dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama islam dibidang: 1) Perkawinan; 2)
kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan bedasarkan hukum islam; 3)
wakaf dan shadaqah.
Untuk melaksanakan tugasnya tersebut, Peradilan Agama mempergunakan
Acara yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan, bahkan
juga Acara dalam hukum tidak tertulis(Maksudnya hukum formal islam yang
belum diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan negara
Indonesia).
Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 7 tahun 1989, maka
Hukum Acara Peradilan Agama sudah kongkrit, yaitu: “Hukum Acara yang
berlaku di Pengadilan Agama Adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku
pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur
secara khusus dalam Undang-undang Peradilan Agama”.8
Menurut pasal di atas, Hukum Acara Peradilan Agama sekarang besumber
(garis besarnya) kepada dua aturan, yaitu :
1. Yang terdapat daam UU Nomor 7 tahun 1989
2. Yang berlaku di lingkungan peradilan umum

8
Darmansyah Hasyim, Hukum Acara peradilan Agama, (Lambung Mangkurat University
Press), Hlm 4

7
3. Peraturan perundang-undangan menjadi inti Hukum Acara Perdata
Peradilan Umum, antara lain :
a. HIR (Het Herziene Inlandsche Reglement) atau disebut juga
RIB (Reglement Indonesia yang di Baharui)
b. Rgb (Rechts Reglement Buitengewesten) atau disebut juga
Reglement untuk daerah Seberang, maksudnya untuk luar
Jawa-Madura.
c. Rsv (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering) yang
zaman jajahan Belanda dahulu berlaku untuk Raad van Justitie.
d. BW (Burgerlijke Wetboek) atau disebut juga Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata Eropa
e. Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989, tentang peradilan umum

Peraturan perundang-undangan tentang Acara Perdata yang sama-sama


berlaku bagi lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama, adalah :

a. UU Nomor 48 tahun 2009, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok


Kekuasaan Kehakiman
b. UU Nomor 14 tahun 1985, tentang Mahkamah Agung
c. UU Nomor 1 tahun 1974 dan PP Nomor 9 tahun 1975, tentang
perkawinan dan pelaksanaannya

Jika demikian halnya, maka Peradilan Agama dalam Hukum Acara


minimal harus memperhatikan UU Nomor 7 tahun 1989, ditambah dengan 8
macam peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan. Selain itu,
Peradilan Agama masih harus memperhatikan hukum proses menurut Islam.
Kesemuanya inilah yang dinamakan sumber Hukum Acara Peradilan Agama.9

9
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara peradilan Agama, (PT RajaGrafindo Persada), Hlm 20-21

8
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pengadian Agama dibentuk melalui Undang-Undang, dengan daerah
hukum meliputi wilayah Kota atau Kabupaten. Susunan Pengadilan Agama
terdiri dari Pimpinan (Ketua PA dan Wakil Ketua PA), Hakim Anggota,
Panitera, Sekretaris, dan Juru Sita. Pengadilan Agama adalah salah satu dari
Peradilan Negara Indonesia yang sah yang bersifat peradilan khusus.
Pendaftaran perkara harus memenuhi syarat-syarat kelengkapan yang
diajukan ke Pengadilan Agama yaitu dengan melalui Panitera. Setelah perkara
terdaftar dikepaniteraan wajib secepatnya menyampaikan berkas perkara itu
kepada ketua Pengadilan Agama, disertai “usul tindak” atau “saran tindak”,
yang kira-kira berbunyi“sudah di teliti dan syarat formal cukup”. Atas dasar
itu ketua Pengadilan Agama dapat menunjuk majelis hakim yang akan
memeriksa dan mengadili masalah tersebut, dengan surat penetapan, disebut
“penunjukan majelis hakim” (PMH).

B. Saran
Penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh
karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
para pembaca. Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga saja makalah
ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

9
DAFTAR PUSTAKA

Arto Mukti A. Praktek Perkara Perdata pada Peradilan Agama. Yogyakarta :


Pustaka Pelajar, 1996

Asikin Zainal, Hukum Acara Perdata di Indonesia. Jakarta : Kencana, 2015.

Hasyim Darmansyah, Hukum Acara Peradilan Agama. Lambung Mangkurat


University Press.

Koto Alaiddin, Sejarah Peradilan Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Makaro M. Taufik, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata. Jakarta : PT. Rineka Cipta,
2004.

Mertokusumo Sudikno, Hukum Acara Perdata. Yogyakarta : Liberty, 1988.

Roihan A. Rasyid. Hukum Acara Peradilan Agama. PT Raja Grafindo Persada.

Zuhriah Erfaniah, Peradilan Agama Indonesia Sejarah Pemikiran dan Realita.


Malang : UIN Malang Press, 2009

Anda mungkin juga menyukai