Anda di halaman 1dari 17

SISTEM PERADILAN ISLAM DI ACEH

“Disusun Untuk Tugas Mata Kuliah Sejarah Peradilan Islam”

Disusun oleh :

Mawarni (019020030)

Dosen pengampu :

Evriza Noverda Nasution, M.A

PROGRAM STUDI AHWAL SYAHKHSYIYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUL ARAFAH

SUMATERA UTARA

2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah Swt atas nikmat karunia-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas makalah ini. Sholawat dan salam tidak lupa pula kita
panjatkan kepada junjungan nabi besar kita Muhammad saw,yang mana beliau
telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman terang menderang.
Tak lupa pula kami mengucapkan terimakasih yang sebanyak banyaknya
kepada dosen kami Ustadzah Evriza Noverda Nasution, M.A dosen mata kuliah
Sejarah Peradilan Islam
Dan kami juga meminta maaf kepada dosen,dan teman teman sekalian apabila
masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Dan kami juga
mengharapkan kritik dan saran masukan dari teman-teman sekalian.

Lau Bekeri, 28 Mei 2021


Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 2
C. Tujuan Pembahasan.............................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Mahkamah Syar’iyah............................................................................ 3
B. Sejarah Perkembangan Terbentuknya Mahkamah Syar’iyah dari
Masa Ke Masa...................................................................................... 5
C. Kompetensi Mahkamah Syari’iyah...................................................... 10
BAB III PENUTUP......................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masyarakat Aceh pada dasarnya menampilkan adat dan Islam sebagai
unsur yang dominan dalam mengendalikan gerak masyarakat. Agama Islam
telah membentuk identitas masyarakat Aceh sejak masa awal penyebaran
Islam. Untuk melihat bagaimana sebenarnya budaya orang Aceh, dapat dilihat
dari faktor-faktor yang mempengaruhi kebudayaan itu sendiri. Dalam
kenyataannya budaya Aceh telah beratus-ratus tahun dipengaruhi oleh ajaran
agama Islam, pengaruh ini telah masuk kedalam semua sendi kehidupan
masayarakat Aceh, seperti dalah hal siasat peperangan, kesenenian, pergaulan
masyarakat, pendidikan dan pengajaran sampai kepada kehidupan sosial–
masyarakat lainnya.1
Aceh merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang diberikan
keistimewaan oleh pemerintah pusat. Keistimewaan yang diberikan itu
dikarenakan kontribusi Aceh dalam memberikan semangat juang yang tinggi
pada masa perjuangan untuk memperebutkan kemerdekaan RI Indonesia yang
diproklamirkan pada 17 Agustus 1945.2
Aceh meminta agar pemerintah memberikan hak otonomi khusus kepada
Aceh, dan pemerintah pusat juga tidak keberatan memberikannya.
Sedangkan di provinsi lain, tidak dikenal Mahkamah Syar’iyah sebagai
lembaga pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili dan
menyelesaikan persoalan-persoalan yang diajukan oleh umat Islam
kepadanya. Di daerah lain dikenal dengan nama Peradilan Agama sebagai
pengadilan yang berwenang, memeriksa, mengadili, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.3

1
Ali Geno Berutu, “Penerapan Syariat Islam Aceh dalam Lintas Sejarah”, Jurnal Hukum,
Vol.13, No.2, November 2016, h..166-165.
2
Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah, Cet.2, Sinar
Grafika, Jakarta, 2010, h..11-12.
3
Abdullah Tri Wahyudi, Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Contoh Surat-surat
Dalam Praktik Hukum Acara di Peradilan Agama, Cet.2, Mandarmaju,, Bandung, 2018, h..8

1
Kewenangan Pengadilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah memiliki
perbedaan. Mahkamah Syar’iyah diberikan kewenangan untuk mengadili
perkara-perkara jinayah yang telah diatur didalam qanun-qanun atau didalam
hukum positif Aceh. Hal tersebut tidak diberikan kepada Pengadilan Agama
untuk menyelesaikan kasus-kasus pidana.
Di Indonesia sendiri terdapat beberapa macam peradilan di bawah
Mahkamah Agung sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman yang membagi empat
kekuasaan kehakiman, yakni Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama,
Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Militer. Keempat lingkungan
Peradilan itu merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman, sesuai dengan
ruang lingkup wewenangnya masing-masing yang berpuncak pada
Mahkamah Agung. Dari keempat lembaga tersebut, disebutkan pula
Mahkamah Syar’iyah sebagai lembaga kekuasaan kehakiman dibawah
lingkungan Pengadilan Agama. Disini penulis akan mengupas bagaimana
sejarah perkembangan Mahkamah Syariah di Nanggroe Aceh Darussalam
dari masa ke masa dan Kompetensinya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan Mahkamah Syar’iyah?
2. Bagaimana perkembangan terbentuknya Mahkamah Syar’iyah dari masa
ke masa?
3. Bagaimana Kompetensi Mahkamah Syar’iyah?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui Pengertian Mahkamah Syar’iyah.
2. Untuk mengetahui perkembangan terbentuknya Mahkamah Syar’iyah
dari masa ke masa.
3. Untuk mengetahui Kompetensi Mahkamah Syar’iyah.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Mahkamah Syar’iyah
Sistem pemerintahan Negara Kesatuan Negara Republik Indonesia
menurut UUD 1945 mengatur tentang otonomi khusus suatu daerah atau
bersifat istimewa. Daerah yang telah mendapat otonomi khusus tersebut
adalah Provinsi Papua dan Provinsi Aceh. Keduanya tetap dalam bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan hal tersebut merupakan
perwujudan di dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Salah satu bentuk
formal otonomi khusus Aceh adalah implementasi syariat Islam yang
kemudian dibentuklah Mahkamah Syar'iyah yang menjadi salah satu bagian
dan otonomi khusus Aceh.4
Mahkamah Syar'iyah adalah lembaga peradilan yang dibentuk
berdasarkan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam
serta melaksanakan syariat Islam dalam wilayah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Mahkamah Syar'iyah merupakan pengadilan khusus dalam
lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut
kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam
lingkungan peradilann umum sepanjang kewenangannya menyangkut
kewenangan peradilan umum.5
Ada 2 (dua) hal yang melatarbelakangi lahirnya Mahkamah Syar'iyah di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pertama. sebagai upaya
merekonstruksikan hukum yang bersendi hukum Islam. Kedua,
menghidupkan kembali pepatah Aceh Adat bak Poteu Meureuhom. Hukum
bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, dan Reusam bak Laksama.
Sebagai mana di dalam Pasal 25 menyatakan (1) Peradilan Syariat Islam
provinsi NAD sebagai bagaian dari sistem peradilan nasional dilakukan oleh
Mahkamah Syar’iyah yang bebas dari pengaruh pihak manapun. (2)
Kewenangan Mahkamah Syar’iyah sebagaimanan dimaksudkan pada ayat (1)

4
Mardani, Op.cit, h. 33.
5
Yusrizal, dkk, “Kewenangan Mahkamah Syar’iyah di Aceh Sebagai Pengadilan Khusus
dalam Penyelesaian Sengketa”, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Vol.13, No.53, April 2011, h. 70-71

3
didasarkan atas syariat islam dalam sistem hukum nasional yang diatur lebih
lanjut dengan qanun provinsi NAD. (3) Kewenangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diberlakukan bagi pemeluk agama Islam.
Pelaksanaan Peradilan Agama di NAD adalah Mahkamah Syar'iyah
untuk peradilan tingkat pertama dan Mahkamah Syar’iyah untuk Propinsi
sebagai pengadilan tingkat Banding dan untuk tingkat kasasi dilakukan oleh
Mahkamah Agung sebagai peradilan tertinggi.6
Bagi pencari keadilan yang tidak puas dengan putusan banding dapat
mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung paling lambat 30 hari
sejak didaftarkan di Kepaniteraan Mahkamah Agung. Bahkan terhadap
putusan Mahkamah Syar'iyah yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
pihak yang bersangkutan dapat mengajukan PK (peninjauan kembali) kepada
Mahkamah Agung. apabila terdapat hal atau keadaan tertentu dalam peraturan
perundang-undangan atau ada navum (bukti baru). Perkara PK tersebut
menyangkut nikah, talak, cerai, dan rujuk diselesaikan paling lambat 30 hari.
sejak didaftarkan di Kepaniteraan Mahkamah Agung.7
Hukum acara yang berlaku pada Mahkamah Syar'iyah adalah hukum
acara yang diatur dalam Qanun Aceh peraturan perundang-undangan sejenis
peraturan daerah (perda) provinsi Aceh. Apabila ada sengketa kompetensi
antara Mahkamah Syar'iyah dengan pengadilan dalam lingkungan peradilan
lain menjadi wewenang MA untuk tingkat pertama dan terakhir.

B. Sejarah Perkembangan Terbentuknya Mahkamah Syar’iyah dari Masa


ke Masa
Mahkamah Syar'iyah Aceh masih terjaga eksistensinya sampai sekarang.
Proses terbentuknya Mahkamah Syar'iyah tidak langsung jadi, akan tetapi
memiliki latar belakang sejarah yang sangat panjang. Berikut yaitu
perkembangannya dari masa ke masa:
1. Zaman Kesultan Aceh

6
Abdullah Tri Wahyudi, “Kewenangan Absolut Peradilan Agama di Indonesia Pada Masa
Kolonial Belanda Hingga Masa Pasca Reformasi”, Yudisia, Vol. 7, No. 2, Desember 2016, h. 302
7
Mardani, Op.cit, h. 35-36.

4
Zaman kejayaan Aceh, Peradilan Syariat Islam dipegang oleh
“Qadhi Malikul Adil”. Status Qadhi Malikul Adil tersebut sederajat atau
dipersamakan dengan posisi Mahkamah Agung sekarang. Pada saat itu
kedudukannya di Kuta Raja (sekarang dikenal dengan Banda Aceh).
Oleh karena statusnya sebagai mahkamah tertinggi, maka setiap putusan
dari Mahkamah yang lebih rendah (putusan Qadhi Ulee Balang) dapat
dimintakan banding kepada Qadhi Malikul Adil.8
Bentuk pemerintahan dan peradilan pada masa kerajaan Aceh dibagi
menjadi beberapa tingkatan, yaitu: peradilan tingkat Gampong, peradilan
tingkat mukim, peradilan ulee balang dan pengadilan Sultan. Dalam
menjalankan peradilan di tingkat Gampong, susunan dan tata kerjanya
terdiri dari juru damai tingkat pertama yang diketuai oleh Keusyik dan
juru damai tingkat kedua yang diketuai oleh imeum masjid atau imam
mukim. Juru damai tingkat pertamahanya menyelesaikan perkara-perkara
perdata dan pidana yang diajukan oleh penduduk daerahnya.
Peradilan tingkat mukim berkedudukan di daerah kemukiman yang
diketuai oleh kepala mukim sebagai hakim ketua dengan anggota-
anggotanya yang terdiri dari imeum masjid yang bersangkutan, keuchik
dan cerdik pandai. Peradilan mukim merupakan pengadilan tingkat kedua
yang mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan oleh pihak
yang tidak puas terhadap putusan yang diberikan oleh pengadilan tingkat
Gampong. Para pihak yang berperkara dibebankan biaya perkara yang
digunakan untuk keperluan persidangan. Biaya itu disebut dengan istilah
“hak ganceng”.
Pengadilan Ulee Balang diketuai oleh Ulee Balang sendiri, wakil
ketua, seorang ulama atau Qadhi yang diangkat oleh Ulee Balang,
anggotanya terdiri dari kepala mukim dan imeum masjid atau cerdik
pandai dari wilayah kekuasaannya.
Pengadilan Sultan merupakan pengadilan tertinggi yang mengadili
perkara-perkara besar dan perkara yang dimintakan banding atau
semacam permohonan kasasi. Susunan pengadilan ini diketuai oleh

8
Ibid, h. 30.

5
Sultan sendiri, wakil ketua adalah seorang ulama besar yang disebut
Qadhi Malikul Adil, anggota-anggota adalah beberapa ulama ulee baling
dan cerdik pandai. Penyelesaian perkara-perkara besar seperti perkara
yang diancam dengan hukuman had dan qishash diketuai oleh Sultan
sedangkan perkara biasa diketuai oleh Qadhi Malikul Adil sebagai ketua
siding.
2. Zaman Hindia Belanda
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda tidak ada pemisahan antara
Pengadilan Agama dengan Pengadilan Negeri. Pada waktu itu hanya ada
satu corak pengadilan untuk mengadili dan menyelesaikan perkara baik
yang berhubungan dengan golongan Eropa atau yang dipersamakan
dengan golongan Eropa maupun golongan bumi Putera sendiri.
Pada masa ini, Peradilan Syari’at Islam di Aceh merupakan bagian
dari Peradilan Tingkat Ulee Balang yang diketuai oleh Ulee Balang itu
sendiri. Untuk tingkat afdeeling dan onderafdeeling disebut dengan
“Meusapat” dipimpin oleh Controleur dan Ulee Balang serta pejabat-
pejabat tertentu sebagai anggotanya. Berkaitan dengan perkara hukum
tentang agama diserahkan kepada Qadhi Ulee Balang untuk
memutuskannya.9
3. Zaman Pemerintahan Jepang
Penjajahan Jepang yang dimulai sejak tahun 1942 semakin
mempertajam polarisasi di antara ulama dan Ulebalang. Sejalan dengan
kebijakan Jepang untuk mendekati Islam, pemerintah penduduk
mendirikan semacam dewan penasihat masalah agama dan menempatkan
Daud Beureueh sebagai pemimpinnya. Namun, untuk kaum Ulebalang,
pemerintah Jepang juga Mendirikan dewan penasihat yang dipimpin oleh
Teuku Muhammad Hasan. Kebajikan ini tentu saja tidak dapat meredam
semangat patriotisme dan antikolonialisme di kalangan rakyat Aceh. 10

9
Ibid, h. 31
10
Qurrotul Aini, dkk. “Mahkamah Syar’iyah di Nanggroe Aceh Darussalam: dalam Lintas
Sejarah dan Eksistensinya”, Yudisia, Vol.7, No.1. Juni 2016, h..105-106

6
Jepang mengeluarkan Undang-Undang “Atjeh Syu Rey” No. 12
tanggal 15 Februari 1844 tentang Mahkamah Agama (Syukio Hooin) ada
tiga tingkatan Peradilan di Aceh:
a. Syukio Hooin berkedudukan di Kuta Raja
b. Seorang kepala Qadhi, yang anggotanya setiap kabupaten sekarang
ini.
c. Seorang Qadhi Son di setiap Son (Sekarang Kecamatan).
Syukyo Hooin merupakan pengadilan tingkat banding aras putusan
Kepala Qadhi dan Qadhi Son. Tugas Qadhi Son pada saat itu mirip
dengan tugas Kepala KUA Kecamatan saat ini. Syukyo Hooin atas
anggota-nnggota harian dan anggota-anggota biasa. Salah seorang dari
anggota harian diangkat menjadi Ketua (lintyo) oleh Atjeh Syu Tyokan
berdasarkan rekomendasi dari Kepala Pengadilan Negeri Kutaraja yang
dipilih dari ulama yang cerdik pandai, jujur dan berpengaruh di dalam
daerah Aceh. Pada saat itu sebagai Ketua Atjeh Syu Tyokan adalah
Tengku H. Ja'far Shiddiq, sedangkan anggota-anggota harian adalah
Tengku Muhammad Daud Beureueh dan Tengku Muhammad Hasbi Ash-
Shiddreqv. serta Said Abubakar.
4. Awal Kemerdekaan
Pada awal Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya bertepatan
pada 17 Agustus 1945, Mahkamah Syar’iyah Aceh lebih dikembangkan
kepada tiga tingkatan, yaitu: Mahkamah Syar’iyah Kenegerian (di
kecamatan) ada 106 buah, Mahkamah Syar’iyah (di Kewedanaan) ada 20
buah dan Mahkamah Syar’iyah Daerah Aceh di Kuta Raja sebagai
Pengadilan tingkat terakhir waktu itu. Namun pada tahun 1947
Mahkamah ini hanya berwenang menangani perkara-perkara di bidang
hukum keluarga (nafkah, harta bersama, hak pengampuan anak,
perceraian, dan pengesahan perkawinan), serta kewarisan.
Pada masa berdirinya Negara Federal Republik Indonesia Serikat
pada 1949, Pengadilan yang diakui oleh Konstitusi Republik Indonesia
Serikat (KRIS) adalah Pengadilan Swapraja, adat dan agama bahkan
yang ada sebelum KRIS tetap berlaku. Pengadilan Agama masih tetap

7
berlaku berdasarkan staatblad 1882 No. 152. Sementara khusus di Aceh,
pembubaran provinsi ini menjadikan lembaga pengadilan agama tidak
terurus dan tidak jelas statusnya. Keadaan ini menjadi lebih parah lagi
karena pada tahun yang sama juga keluar UU No. 1 Darurat 1951 yang
intinya membubarkan semua Peradilan Swapraja dan meleburkannya ke
dalam Pengadilan Negeri.
Meskipun pengadilan agama tidak dibubarkan akan tetapi di sisi lain
kedudukan Pengadilan negeri semakin kuat dan system hukum warisan
colonial membuat Pengadilan Agama terpinggirkan. Setelah Provinsi
Aceh dibentuk kembali pada tahun 1956, usul untuk pemberian status
yang lebih jelas dan diakui secara resmi kepada lembaga bentukan UU
No. 1 Darurat 1957, pemerintah pusat mengeluarkan PP No. 29 tahun
1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama di seluruh Aceh serta
susunan dan kewenangannya.
5. Periode Tahun 1970-1999
Pada tahun 1970-1999 Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di
Aceh dikembangkan ke seluruh Indonesia, kecuali Jawa-Madura dan
sebagian Kalimantan Selatan dan Timur. Pengembagan ini diatur
berdasarkan PP No. 45 tahun 1957 sekaligus mencabut PP No. 29 Tahun
1957). Menurut PP yang terdiri dari 13 pasal itu, Pengadilan Agam
tingkat pertama disebut dengan nama Pengadilan Agama/ Mahkamah
Syar’iyah, sedangkan tingkat banding disebut Pengadilan Agama/
Mahkamah Syar’iyah Provinsi.11
Dengan hadirnya UU No. 14 tahun 1970, kedudukan pengadilan
agama sejajar dengan pengadilan umum, pengadilan militer dan
pengadilan tata usaha Negara, pembinaan tehnis yustisial dilakukan oleh
Mahkamah Agung. Sedangkan Organisatoris, administratif dan financial
dilakukan oleh Departemen Agama. Kemudian pada tahun 1980
berdasarkan keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No. 6 tahun
1980, penyebutan pengadilan agama menjadi sama yakni pengadilan
agama. Menurut Hamid Sarong, masuknya otoritas eksekutif dalam

11
Ahmad R, “Peradilan Agama di Indonesia”, Yudisia,Vol.6, No.6, Desember 2015, h..332

8
kekuasaan kehakiman ini disinyalir sebagai salah satu factor penyebab
utama kekuasaan kehakiman di negeri ini menjadi tidak independen.
6. Era Reformasi
Setelah Orde Baru tumbang, lahirlah Undang-Undang No. 44 tahun
1999 tentang keistimewaan Aceh, yang memberikan kewenangan relatif
luas pada Provinsi Aceh. Undang-Undang No. 44 tahun 1999
mengangkat dan menghidupkan kembali Keistimewaan Aceh dan
memungkinkan secara nyata dalam masyarakat. Dalam penjelasan
Undang-undang nomor 44 tahun 1999 dinyatakan bahwa isi Keputusan
Perdana Menteri RI No.1/Missi/59 tentang keistimewaan Provinsi Aceh
yang meliputi agama, peradatan, dan pendidikan yang selanjutnya
diperkuat dengan Undang-undang No. 12 tahun 1999 tentang
pemerintahan daerah bahkan disertai dengan pembahasan peran ulama
dalam menentukan kebijakan daerah.
Secara normatif yuridis, Aceh telah memiliki landasan untuk
melaksanakan syari’at Islam. Landasan normatif yuridis adalah Undang-
Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan
Aceh dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggro
Aceh Darussalam. Pasal 49 Qanun Nomor 10 Tahun 2002
mengamanatkan bahwa Mahkamah Syar’iyah diberi kewenangan baru
untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara-perkara jinayat.
Pemberlakuan jinayat merupakan sesuatu yang baru bagi sejarah
peradilan agama di Indonesia. Pasal 49 qanun nomor 10 tahun 2002
tentang Peradilan Syariat Islam.
Wewenang sebagaimana termuat dalam Pasal 49 didasarkan pada
Pasal 25 UU Nomor 18 Tahun 2001 yang menyebutkan bahwa
kewenangan Mahkamah Syar’iyah didasarkan atas syari’at Islam dalam
system hukum nasional yang diatur lebih lanjut dengan qanun provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Sebelum dikeluarkan keputusan presiden RI
No. 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD,
terdapat dua pandangan tentang pembentukan Mahkamah Syar’iyah

9
berkenaan dengan pelaksanaan UU No. 18 Tahun 2001. Pertama,
mahkamah syar’iyah merupakan badan peradilan tersendiri di luar
pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama. Kedua, mahkamah
syar’iyah merupakan pengembangan dari pengadilan agama dan
pengadilan tinggi agama yang mengacu kepada UU No. 7 Tahun 1989
tentang pengadilan Agama.
Akhirnya melalui proses panjang, Mahkamah Syar’iyah diresmikan
pada tanggal 1 Muharram 1424 H, yang bertepatan dengan tanggal 4
Maret 2003. Dasar hukum peresmiannya adalah kepres No. 11 Tahun
2003, yang pada hari itu dibawa dari Jakarta dan dibacakan dalam
upacara peresmian. Isi kepres tersebut adalah perubahan nama
pengadilan agama menjadi Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan Tinggi
Agama menjadi Mahkamah Syar’iyah Provinsi dengan penambahan
kewenangan yang akan dilaksanakan secara lengkap.
Penandatangan persetujuan damai antara Pemerintah RI dengan
GAM di Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005 telah melahirkan UU
No. 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh. Keberadaan UU tersebut
sangat mempengaruhi dan memperkuat kedudukan Mahkamah Syar’iyah
dengan memberikan tempat khusus sebagai lembaga yudikatif, dan
berdampingan dengan kekuasaan eksekutif dan legislatif.

C. Kompetensi Mahkamah Syar’iyah


Kompetensi relatif Mahkamah Syar'iyah adalah daerah hukum eks
Pengadilan Agama yang bersangkutan, sedangkan kompetensi relatif
Mahkamah Syar'iyah Provinsi adalah daerah hukum eks Pengadilan Tinggi
Agama Banda Aceh.
Kompetensi absolut Mahkamah Syar'iyah dan Mahkamah Syar'iyah
Provinsi adalah kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi
Agama (yang berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan
pengadilan)12 ditambah dengan kewenangan lain yang berkaitan dengan
kehidupan masyarakat dalam bidang ibadah dan syiar Islam yang ditetapkan
12
Abdullah Tri Wahyudi , Peradilan Agama di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogjakarta, 2004,
h..91

10
dalam Qanun. Kewenangan lain tersebut dilaksanakan secara bertahap sesuai
dengan kemampuan kompetensi dan ketersediaan sumber daya manusia
dalam kerangka sistem peradilan nasional.
Mahkamah Syar'iyah bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara didasarkan atas syari’at Islam dalam sistem
hukum nasional yang diatur dalam Qanun NAD No. 10 Tahun 2002 tentang
Peradilan dan syariat Islam. Yaitu meliputi dalam bidang berikut:
1. Ahwal Asy-Syakhshiah (Hukum Keluarga)
2. Mu'amalah (Hukum Perdata)
3. Jinayah. (Hukum Pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam dan diatur
dalam Qanun Aceh.
Adapun yang dimaksud dengan kewenangan dalam bidang Ahwal asy-
syakhshiah meliputi hal-hal yang diatur dalam Pasal 29 UU No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama beserta penjelasan dari pasal tersebut, kecuali
wakaf, hibah, dan shadaqah.
Yang dimaksud dengan kewenangan dalam bidang muamalat meliputi
hukum kebendaan dan perikatan seperti berikut.
1. Jual beli, utang-piutang
2. Qiradh (permodalan)
3. Musaqah, muzarah, mukhabarah (bagi hasil pertanian)
4. Wakilah (kuasa), syirkah (Perkongsian)
5. Ariyah (pinjam meminjam), hajru (penyitaan harta), syufah (hak
lenggeh), rahnun ( gadai)
6. Ihyaul mawat (pembukaan lahan), ma'din (tambang), luqathah (barang
temuan)
7. Perbankan, ijarah (sewa-menyewa), Takaful
8. Perburuhan
9. Harta rampasan
10. Wakaf, hibah, shadaqah, dan hadiah.
Yang dimaksud dengan kewenangan dalam bidang jinayat adalah sebagai
berikut

11
1. Hudud yang meliputi: zina, menuduh (qadzaf), mencuri, merampok
minuman keras dan napza, murtad, pemberontakan (bughat).
2. Qishas/diat yang meliputi: pembunuhan, penganiayaan.
3. Ta’zir ,yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang melakukan
pelanggaran syariat selain hudud dan qishas/diat meliputi: judi, khalwat,
meninggalkan shalat fardhu dan puasa Ramadhan.

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasakan pembahasan sebagaimana tersebut di atas maka penulis
memberikan kesimpulan sebagai berikut.
1. Sistem pemerintahan NKRI menurut UUD 1945 mengatur tentang
otonomi khusus suatu daerah atau bersifat istimewa. Daerah yang telah
mendapat otonomi khusus tersebut adalah Provinsi Papua dan Provinsi
Aceh. Salah satu bentuk formal otonomi khusus Aceh adalah
implementasi syariat Islam yang kemudian dibentuklah Mahkamah
Syar'iyah yang menjadi salah satu bagian dan otonomi khusus Aceh.
Mahkamah Syar'iyah adalah lembaga peradilan yang dibentuk
berdasarkan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat
Islam serta melaksanakan syariat Islam dalam wilayah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, yang merupakan pengembangan dari
pengadilan agama yang telah ada.
2. Bahwa Mahkamah Syar’iyah di Aceh merupakan nama lain dari
pengadilan agama yang berwenang menerima, memeriksa, mengadili dan
memutuskan perkara yang diajukan kepadanya. Sejarah perkembangan
Mahkamah Syar’iyah di Aceh dapat dilihat dalam beberapa periode,
yaitu zaman kesultanan Aceh, zaman hindia Belanda, zaman
Pemerintahan Jepang, pada awal kemerdekaan, periode tahun 1970-1999
dan era reformasi, yang dimana Mahkamah Syar’iyah tersebut
mengalami berbagai perkembangan dan perubahan kewenangan.
3. Kompetensi relatif Mahkamah Syar'iyah adalah daerah hukum eks
Pengadilan Agama yang bersangkutan, sedangkan kompetensi relatif
Mahkamah Syar'iyah Provinsi adalah daerah hukum eks Pengadilan
Tinggi Agama Banda Aceh. Sedangkan kompetensi absolut Mahkamah
Syar'iyah dan Mahkamah Syar'iyah Provinsi adalah kewenangan
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, ditambah dengan
kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam
bidang ibadah dan syiar Islam yang ditetapkan dalam Qanun.

13
DAFTAR PUSTAKA

Aini, Qurrotul, dkk. “Mahkamah Syar’iyah di Nanggroe Aceh Darussalam: dalam


Lintas Sejarah dan Eksistensinya”. Yudisia. Vol.7, No.1. Juni 2016.
Berutu, Ali Geno. “Penerapan Syariat Islam Aceh dalam Lintas Sejarah”. Jurnal
Hukum. Vol.13, No.2. November 2016.
Mardani. 2010. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah
Syar’iyah. Cet.2. Jakarta: Sinar Grafika.
R. Ahmad. “Peradilan Agama di Indonesia”. Yudisia. Vol.6, No.6. Desember
2015
Wahyudi , Abdullah Tri. 2004. Peradilan Agama di Indonesia, Yogjakarta:
Pustaka Pelajar.
Wahyudi , Abdullah Tri. 2018. Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi
Contoh Surat-surat Dalam Praktik Hukum Acara di Peradilan
Agama.Cet.2. Bandung: Mandarmaju.
Wahyudi, Abdullah Tri. “Kewenangan Absolut Peradilan Agama di Indonesia
Pada Masa Kolonial Belanda Hingga Masa Pasca Reformasi”. Yudisia.
Vol. 7, No. 2. Desember 2016.
Yusrizal, dkk. “Kewenangan Mahkamah Syar’iyah di Aceh Sebagai Pengadilan
Khusus dalam Penyelesaian Sengketa”. Kanun Jurnal Ilmu Hukum.
Vol.13, No.53. April 2011.

14

Anda mungkin juga menyukai