Anda di halaman 1dari 9

KAWIN HAMIL

“Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Tambahan


Mata Kuliah”
FIQH

Disusun Oleh:
Muhammad Rizki Herlambang

Dosen Pengampu:
H. Umar Muchtar Siregar, LC. M.A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARULARAFAH
LAU BEKERI DELI SERDANG
SUMATERA UTARA
T.A 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan rahmat
dan karunia-Nya lah kami dapat menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul “ Nikah hamil
menurut kompilasi hukum islam”. Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas kelompok
mata kuliah hukum perkawinan di indonesia.

Dalam penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, dan arahan dari semua
pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini kami ingin menyampaikan terima kasih kepada
pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.

Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Akhir kata kami mengucapkan
terima kasih, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi setiap pembaca.

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan yang maha esa. Perkawinan wanita hamil adalah seorang wanita hamil sebelum
melangsungkan akad nikah, kemudian dinikahi oleh pria yang menhamilinya.
Perkawinan hamil mempunyai tujuan, untuk memperoleh ketenangan hidup yang penuh
cinta dan kasih sayang, sekaligus memenuhi kebutuhan biologis yang merupakan sarana
untuk meneruskan dan mememlihara keturunan, menjaga kehormatan dan tujuan ibadah.
Selain itu, tujuan perkawinan adalah untuk mencegah perzinahan agar tercipta ketenangan dan
ketentraman bagi yang bersangkutan, keluarga dan masyarakat. Tujuan yang paling utama
adalah menjaga ras manusia dari keturunan yang rusak, sebab dengan perkawinan akan jelas
nasabnya.
Maka dari itu, masalah perkawinan hamil harus dibutuhkan penelitian dan perhatian.
Oleh karena itu disini penulis ingin memaparkan makalah tentang Nikah hamil

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi tentang Nikah hamil?
2. Bagaimana status anak dalam Kawin Hamil?

BAB II
PEMBAHASAN

1
A. Nikah Hamil
1. Defenisi nikah hamil
Perkataan ini di tetapkan dalam Hukum Islam sebagai istilah yang dapat di artikan
sebagai perkawinan seorang pria dengan wanita yang sedang hamil. Hal ini terjadi karena
dua kemunkinan; yaitu di hamili dulu baru dikawini, atau dihamili oleh orang lain baru di
kawini oleh orang yang bukan menghamilinya.
Bayi yang lahir dari wanita yang di hamili tanpa di kawini terlebih dahulu, disebut
oleh ahli hukum islam sebagai istilah anak zina (anak dari orang yang terlaknat). Jadi
istilah tersebut, bukan nama bayi yang lahir itu, tetapi istilah yang di nisbatkan kepada
kedua orang tuanya yang telah berbuat zina, atau melakukan perbuataan yang terlaknat.
Sedangkan bayi yang di lahirkan tetap suci dari dosa dan tidak mewarisi perbuatan yang
telah dilakukan oleh orang tuanya.[6]
Kawin hamil ialah kawin dengan seseorang wanita yang hamil di luar nikah, baik
dikawini oleh laki-laki yang menghamilinya maupun oleh laki-laki bukan yang
menghamilinya.[7]
Oleh karena itu, masalah kawin dengan perempuan yang hamil diperlukan ketelitian
dan perhatian yang bijaksana terutama oleh pegawai pencatat nikah. Hal itu,
dimaksudkan adanya fenomena sosial mengenai kurangnya kesadaran masyarakat
muslim terhadap kaidah- kaidah moral, agama dan etika terjadinya seorang pria yang
bukan menghamilinya tetapi ia menikahinya.[8]
2. Dasar Hukum Kawin Hamil
Dalam pasal 53 Kompilasi Hukum Islam mengatur perkawinan, sebagaimana
diungkapkan di bawah ini:
Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang
menghamilinya.
Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan
tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil tidak diperlukan
perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Selain itu, hukum kawin dengan wanita yang hamil diluar nikah, para ulama berbeda
pendapat sebagai berikut:

2
Ulama Madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi‟i, dan Hambali)berpendapat
bahwa perkawinan keduanya sah dan boleh bercampur sebagai suami istri, dengan
ketentuan bila si pria itu yang menghamilinya dan kemudian baru ia mengawininya.
Ibnu Hazm (Zahiriyah) berpendapat bahwa keduanya boleh (sah) dikawinkan dan
boleh pula bercampur dengan ketentuan bila telah bertaubat dan menjalani hukuman dera
(cambuk) karena keduanya telah berzina.[9]
“larangan menikahi pezina” yang terdapat dalam Surat An-Nur ayat 3 yaitu:
ۖ َّ‫ض ? ِربْنَ بِ ُخ ُم? ِر ِهنَّ َعلَ ٰى ُجيُ??وبِ ِهن‬ ْ َ‫وج ُهنَّ َواَل يُ ْب ِدينَ ِزينَتَ ُهنَّ إِاَّل َما ظَ َه َر ِم ْن َها ۖ َو ْلي‬ َ ‫ص ِر ِهنَّ َويَ ْحفَ ْظنَ فُ ُر‬ َ ٰ ‫ضنَ ِمنْ أَ ْب‬ ْ ‫ض‬ ُ ‫ت يَ ْغ‬ ِ َ‫َوقُل لِّ ْل ُمؤْ ِم ٰن‬
‫َواَل يُ ْب ِدينَ ِزينَتَ ُهنَّ إِاَّل لِبُ ُعولَتِ ِهنَّ أَ ْو َءابَٓائِ ِهنَّ أَ ْو َءابَٓا ِء بُ ُعولَتِ ِهنَّ أَ ْو أَ ْبنَ??ٓائِ ِهنَّ أَ ْو أَ ْبنَ??ٓا ِء بُ ُع??ولَتِ ِهنَّ أَ ْو إِ ْخ? ٰ َونِ ِهنَّ أَ ْو بَنِ ٓى إِ ْخ? ٰ َونِ ِهنَّ أَ ْو بَنِ ٓى‬
۟ ‫ال أَ ِو ٱلطِّ ْف ِل ٱلَّ ِذينَ لَ ْم يَ ْظ َه ُر‬ ٰ
َ ِّ‫ت ٱلن‬
ۖ ‫س ?ٓا ِء‬ ِ ‫?و ٰ َر‬ ْ ?‫وا َعلَ ٰى َع‬ ِ ‫ٱلر َج‬ ِّ َ‫سٓائِ ِهنَّ أَ ْو َما َملَ َكتْ أَ ْي ٰ َمنُ ُهنَّ أَ ِو ٱلتَّبِ ِعينَ َغ ْي ِر أُ ۟ولِى ٱإْل ِ ْربَ ِة ِمن‬ َ ِ‫أَ َخ ٰ َوتِ ِهنَّ أَ ْو ن‬
َ‫ض ِربْنَ ِبأ َ ْر ُجلِ ِهنَّ لِيُ ْعلَ َم َما يُ ْخفِينَ ِمن ِزينَتِ ِهنَّ ۚ َوتُوبُ ٓو ۟ا إِلَى ٱهَّلل ِ َج ِمي ًعا أَ ُّيهَ ٱ ْل ُمؤْ ِمنُونَ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِ ُحون‬ ْ َ‫\واَل ي‬َ

Artinya: Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang


berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak
dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang
demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.[10]

Maksud ayat ini adalah tidak pantas orang yang beriman kawin dengan yang berzina,
demikian pula sebaliknya. Persoalan menikahkan wanita hamil apabila di lihat dari KHI,
penyelesainnya jelas dan sederhana cukup dengan satu pasal dan tiga ayat. yang menikahi
wanita hamil adalah pria yang menghamilinya, hal ini termasuk penangkalan terhadap
terjadinya pergaulan bebas.. Asas pembolehan pernikahan wanita hamil ini di maksud
kan untuk memberi perlindungan kepastian hukum kepada anak yang ada dalam
kandungan, dan logikanya untuk mengakhiri status anak zina.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Hal ini dimuat dalam pasal 57 ayat 1 KHI
yang berbunyi “seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang
menghamilinya”.
Akad perkawinan yang dilangsungkan antara perempuan yang hamil di luar nikah
dengan laki-laki yang menghamilinya tidak harus menunggu sampai melahirkan bayinya.
Pernikahan dapat dilangsungkan pada saat perempuan tersebut masih dalam keadaan
hamil. Dan akad tesebut juga sah, seperti yang tertera dalam pasal 53 ayat 2 KHI

3
“Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa
menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya”.
Akad perkawinan yang dilangsungkan pada saat perempuan tersebut masih dalam
keadaan hamil sudah dianggap sah demi hukum. Setelah anak yang dikandung itu lahir,
maka tidak diperlukan perkawinan ulang lagi antara perempuan dan laki-laki tadi. Ini
seperti yang termaktub dalam pasal 53 ayat 3 KHI “Dengan dilangsungkannya
perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang
dikandung lahir”.

Dengan demikian status anak itu adalah sebagai anak zina, bila pria yang mengawini
ibunya itu bukan pria yang menghamilinya. Namun, bila pria yang mengawini ibunya itu
pria yang menghamilinya, maka teradi perbedaan pendapat, yakni:[11]
Bayi itu termasuk anak zina, bila ibunya di kawini setelah usia kandungannya berumur
4 bulan ke atas. Bila kurang dari 4 bulan, maka bayi tersebut adalah anak suaminya yang
sah.
Bayi itu termasuk anak zina, karena anak itu adalah anak diluar nikah, walaupun dilihat
dari segi bahasa, bahwa anak itu adalah anaknya, karena hasil dari sperma dan ovum
bapak dari ibunya itu.
B. Setatus Anak Dalam Kawin Hamil
Tentang bayi yang lahir dari padanya dimana setatusnya bukan anak dari suaminya
secara hukum. Namun secara biologis termasuk anaknya, karena kejadian bayi itu bersumber
dari zat spermanya. Maka bayi tersebut termasuk anak zina; yang sevara hukum tidak
mendapatkan warisan dari orang yang mengawini ibunya ketika ia dikandung, karena tidak di
akui sebagai ayahnya oleh hukum islam.
Hal ini sesuai dengan pendapat Al-Syekh Husain Makhluf yang berbunyi
Artinya: Bawasanya aqad nikah terhadap wanita yang sedang hamil dari hasil perzinahan,
termasuk sah menurut hukum agama. Dan di haramkan bagi suaminya untuk mengumpulinya
bila ia bukan yang menghamilinya sampai lahir (bayi di dalam kandungan). Selanjutnya ia
(suami) boleh mengumpuli (istrinya) setelah bayinya lahir, karena hal itu trmasuk perbuatan
zina. Dan anak-anak yang di lahirkan sesudah itu, termasuk keturunanya (yang sah) menurut
Hukum Agama, dan mereka (anak-anaknya) berhak menerima warisan bila keduanya telah
meninggal)[12]

4
Anak menurut hukum dibedakan menjadi dua, yaitu antara anak sah dan anak tidak sah.
Menurut Pasal 250 KUHPerdata dan Pasal 42 UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
(selanjutnya disebut UUP) yang dimaksud dengan anak sah adalah anak-anak yang dilahirkan
sepanjang perkawinan, atau dengan kata lain dapat diartikan sebagai anak yang dilahirkan
sebagai akibat perkawinan yang sah.[13]
Sedangkan anak tidak sah tidak dijelaskan secara dalam Pasal-Pasal KUHPerdata
maupun UUP, anak tidak sah dapat diartikan sebagai anak yang dilahirkan oleh seorang
wanita yang tidak terikat dalam suatu perkawinan yang sah dengan seorang laki-laki.
Berdasarkan pasal-99 ayat a-ini, jelas bahwa anak zina yang lahir setelah ibunya dinikahi
penghamilnya seperti diatur dalam pasal 53 ayat 1 KHI adalah anak sah. Sebabnya ialah anak
tersebut dilahirkan dalam perkawinan yang sah. Anak ini bukan anak yang lahir di luar
perkawinan.
Anak yang lahir di luar perkawinan-menurut pasal 186 KHI-hanya mempunyai hubungan
saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya. Oleh karena anak ini
dilahirkan dalam perkawinan yang sah, maka ia saling mewaris tidak saja dengan ibu dan
keluarga dari pihak ibunya, tetapi juga saling mewaris dengan bapak dan keluarga dari pihak
bapaknya. Dengan kata lain, tidak ada perbedaan antara anak ini dan anak yang lahir akibat
perkawinan yang sah.

5
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Perkawinan wanita hamil adalah seorang wanita yang hamil sebelum melangsungkan akad
nikah, kemudian dinikahi oleh pria yang menghamilinya. Oleh karena itu, masalah perkawinan
wanita hamil harus dibutuhkan penelitian dan perhatian yang bijaksana terutama pegawai
pembantu pencatat nikah (P3N). Status perkawinan yang telah dilakukan memang sah, baik
dilakukan saat hamil atau setelah melahirkan. Maka status anaknya adalah sah. dan hal ini
membawa implikasi bahwa anak yang pada hakikatnya anak zina, serta formal dianggap menjadi
anak yang sah.

6
DAFTAR PUSTAKA

Amir Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta, 2004.
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 1, Bandung : Pustaka Setia, 2009, Cet. VI.
Mahjuddin, Masail Al-Fiqih, (Kasus-kasus Aktual dalam Islam), Jakarta, 2012.
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,2007.
Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Haditsah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995.
Satrio I, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-undang, PT Citra Aditya
Bakti

Anda mungkin juga menyukai