Anda di halaman 1dari 26

Makalah

SYARAT-SYARAT PENGAMBILAN HARTA PUSAKA


SETELAH MENIKAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Fiqh Mawaris

Dosen Pengampu : Riri Silvia, M.A

Disusun oleh :

Mawarni

PROGRAM STUDI AHWAL SYAHKHSYIYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUL ARAFAH

SUMATERA UTARA

2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah Swt atas nikmat karunia-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas makalah ini. Sholawat dan salam tidak lupa pula kita
panjatkan kepada junjungan nabi besar kita Muhammad saw,yang mana beliau
telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman terang menderang.
Tak lupa pula kami mengucapkan terimakasih yang sebanyak banyaknya
kepada dosen kami Ustadzah Riri Silvia, M.A dosen mata kuliah Fiqh Mawaris.
Dan kami juga meminta maaf kepada dosen,dan teman teman sekalian apabila
masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Dan kami juga
mengharapkan kritik dan saran masukan dari teman-teman sekalian.

Lau Bekeri, 03 April 2021


Penulis

 
 

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................i


DAFTAR ISI .....................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................2
C. Tujuan Penulisan.....................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Konsep Harta Dalam Islam.....................................................................3
B. Status Harta Bersama Dalam Pernikahan...............................................6
C. Pembagian Harta Bersama Dalam Pernikahan.......................................7
BAB III PENUTUP...........................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................23

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seorang laki-laki atau perempuan, ketika belum menikah mereka
mempunyai hak dan kewajiban yang utuh. Hak dan kewajiban yang berkaitan
dengan kehidupannya, hak dan kewajiban akan harta miliknya dan
sebagainya. Kemudian setelah mereka mengikatkan diri dalam lembaga
perkawinan, maka mulai saat itulah hak kewajiban mereka menjadi satu.
Pengertian menjadi satu tersebut bukan berarti hak dan kewajiban masing-
masing pihak akan meleburkan diri, melainkan hak dan kewajiban mereka
tetap utuh walaupun mereka telah bersatu dalam kehidupannya. Untuk itulah
mereka harus memahami dan menghormati satu sama lain. Tidak merasa
salah satu sebagai penguasa dan lainnya menjadi budak, tidak merasa salah
satu dari mereka paling berjasa dan lainnya menumpang.
Pemahaman tentang hak dan kewajiban ini menjadi sangat penting dan
sangat mendasar, apabila kita akan mengkaji lebih dalam tentang
konsekuensi-konsekuensi dari kehidupan perkawinan, karena dalam
kehidupan perkawinan, akan melahirkan hak dan kewajiban antara lain
tentang anak dan hak kewajiban tentang harta. Bahkan kemudian akan ada
kemungkinan permasalahan pembagian harta bila perkawinan putus baik
karena perceraian atau karena kematian.
Permasalahan muncul berkaitan dengan pembagian warisan apabila
pewaris salah satu meninggal dunia baik istri maupun suami yang terlebih
dahulu meninggal hingga terbukanya warisan, dalam hal suami istri
mempunyai anak maka ahli waris yang berhak menerimanya adalah
istri/suami yang masih hidup dengan anak- anaknya sesuai pembagian dalam
hukum Islam, namun pembagian warisan akan menjadi semakin rumit
manakala suami istri tidak mempunyai keturunan atau hanya mempunyai
anak angkat kemudian salah satu pewaris meninggal dunia (baik suami
ataupun istri) maka terdapat ahli waris lain dari pihak pewaris yang
meninggal dunia tersebut untuk mendapat bagian disamping ada hak waris
istri yang ditinggalkan pewaris, yang dikalangan awam hukum pembagian

1
warisan tersebut menjadi polemik di lingkungan keluarga hingga berujung
sengketa di Pengadilan.
Hal yang sering terjadi dimasyarakat manakala seorang suami meninggal
dan tidak mempunyai anak, seringkali ahli waris dari suami merasa tidak rela
untuk menyerahkan bagian warisan yang menjadi hak istrinya dengan
menguasai harta-harta yang ditinggalkan meskipun ada bukti-bukti yang
menunjukkan tentang kepemilikan harta bersama tersebut, kemudian dalam
kasus lain manakala terjadi perceraian antara suami dan istri sementara
mereka mempunyai anak, menyangkut harta bersama yang bukti
kepemilikannya tercantum nama suami atau nama istri seringkali tidak
secara sukarela untuk membaginya bersama secara kekeluargaan, bahkan
meskipun telah ada putusan perceraian di Pengadilan Agama dan telah
diputus oleh Hakim mengenai status harta bersama untuk dibagi diantara
suami istri, seringkali tidak segera dilaksanakan oleh salah satu pihak yang
namanya tercantum dalam bukti kepemilikan tersebut.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana konsep harta dalam Islam?
2. Bagaimana status harta bersama dalam pernikahan?
3. Bagaimana pengambilan harta bersama dalam pernikahan?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu :
1. Untuk mengetahui konsep harta dalam Islam.
2. Untuk mengetahui status harta bersama dalam pernikahan.
3. Untuk mengetahui pengambilan harta bersama dalam pernikahan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Harta Dalam Islam


Sebelum berbicara masalah harta bersama dalam perkawinan, sebaiknya
kita mengenal terlebih dahulu tentang “konsep harta dalam rumah tangga
Islam:
1. Bahwa harta merupakan tonggak kehidupan rumah tangga, sebagaimana
firman Allah SWT:
ِ ِ
‫وه ْم‬ ً َ‫اء أ َْم َو الَ ُك ُم الَّ ت ي َج َع َل اللَّ هُ لَ ُك ْم ق ي‬
ُ ُ‫ام ا َو ْار ُز ق‬ َ ‫الس َف َه‬
ُّ ‫َو اَل ُت ْؤ تُ وا‬
‫وه ْم َو قُ ولُ وا لَ ُه ْم َق ْو اًل َم ْع ُر وفً ا‬ ِ
ُ ‫س‬
ُ ‫اك‬
ْ ‫يه ا َو‬َ ‫ف‬
Artinya: ·Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang
belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu)
yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja
dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-
kata yang baik.”(Qs. an-Nisa’ ayat 5)

2. Kewajiban Suami yang berkenaan dengan harta adalah sebagai berikut:


a. Memberikan mahar kepada istri, sebagaimana firman Allah SWT :
ِ ٍ ِ ِ ِ ِ
ً ‫ فَ إ ْن ط ْب َن لَ ُك ْم َع ْن َش ْي ء م ْن هُ َن ْف‬-ۚ ً‫ص ُد قَ ات ِه َّن ن ْح لَ ة‬
‫سا‬ َ ‫اء‬ َ ‫س‬ َ ِّ‫َو آتُ وا الن‬
‫فَ ُك لُ وهُ َه نِ يئً ا َم ِر يئً ا‬
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang
kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian
jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu
dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (Qs. an-Nisa’
ayat 4)

b. Memberikan nafkah kepada istri dan anak, sebagaimana firman


Allah SWT :

َّ‫َن يُتِ م‬ ِ ِ ِ ُ ‫ َو ال َْو الِ َد‬-۞


ْ ‫اد أ‬
َ ‫َر‬َ ‫ ل َم ْن أ‬-ۖ ‫َو اَل َد ُه َّن َح ْو لَ ْي ِن َك ام لَ ْي ِن‬
ْ ‫ات ُي ْر ض ْع َن أ‬
ِ ‫ود لَ ه ِر ْز ُق ه َّن و كِ س و ُت ه َّن بِ الْم ع ر‬
‫ اَل‬-ۚ‫وف‬ ُْ َ ُ َ ْ َ ُ ُ ِ ُ‫ْم ْو ل‬ َ ‫ َو َع لَ ى ال‬-ۚ َ‫اع ة‬
َ ‫ض‬ َ ‫الر‬َّ
ِ‫ود لَ ه بِ و لَ ِد ه‬ ِ ِ ِ َّ ‫ض‬ َ ُ‫ اَل ت‬-ۚ ‫س إِ اَّل ُو ْس َع َه ا‬ ُ َّ‫تُ َك ل‬
َ ُ ٌ ُ‫ار َو ال َد ةٌ ب َو لَ د َه ا َو اَل َم ْو ل‬ ٌ ‫ف َن ْف‬

3
‫اض ِم ْن ُه َم ا‬ ٍ ‫ص ا اًل َع ْن َت َر‬ ِ َ ‫ فَ ِإ ْن أَر‬-ۗ‫ك‬
َ ‫اد ا ف‬ َ َ ِ‫ث ِم ثْ ُل َٰذ ل‬ ِ ‫ار‬ِ ‫ َو َع لَ ى الْ َو‬-ۚ
ِ
‫َو اَل َد ُك ْم فَ اَل‬
ْ ‫َن تَ ْس َت ْر ض عُ وا أ‬ َ ‫ َو إِ ْن أ‬-ۗ ‫اح َع لَ ْي ِه َم ا‬
ْ ‫َر ْد تُ ْم أ‬ َ َ‫او ٍر فَ اَل ُج ن‬
ُ ‫ش‬ َ َ‫َو ت‬
‫اع لَ ُم وا‬ ِ ‫ج نَ اح َع لَ ي ُك م إِ َذ ا س لَّ م ت م م ا آ َت ي ت م بِ الْم ع ر‬
ْ ‫ َو َّات ُق وا اللَّ هَ َو‬-ۗ‫وف‬ ُ ْ َ ْ ُْ َ ُْْ َ ْ ْ َ ُ
‫ير‬ ِ َ ُ‫َن اللَّ هَ بِ م ا َت ْع م ل‬ َّ ‫أ‬
ٌ ‫ون بَص‬ َ َ
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama
dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan
penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu
menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena
anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya
ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika
kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa
bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al-Baqarah: 233)

c. Suami tidak boleh mengambil harta istri, kecuali dengan izin dan
ridhonya, sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur'an surat an-
Nisa’ ayat 4, sebagaimana sudah disebutkan di atas.
“Jika mereka (istri-istri kamu) menyerahkan dengan penuh kerelaan
sebagian mas kawin mereka kepadamu, maka terimalah pemberian
tersebut sebagai harta yang sedap dan baik akibatnya”

d. Jika terjadi perceraian antara suami istri, maka ketentuannya sebagai


berikut:
1) Istri mendapat seluruh mahar jika ia telah melakukan hubungan
sex dengan suaminya, atau salah satu diantara kedua suami istri
tersebut meninggal dunia dan mahar telah ditentukan, dalam hal
ini Allah SWT berfirman :
ِ َ ‫اس تِ ْب َد‬
‫ار ا فَ اَل‬ ُ ‫ان َز ْو ٍج َو آ َت ْي تُ ْم إِ ْح َد‬
ً َ‫اه َّن ق ْن ط‬ َ ‫ال َز ْو ٍج َم َك‬ َ ‫َو إِ ْن أ‬
ْ ‫َر ْد تُ ُم‬
ُ ‫ أَتَ أ‬-ۚ ‫ْخ ُذ وا ِم ْن هُ َش ْي ئً ا‬
‫ْخ ُذ ونَ هُ ُب ْه تَ انًا َو إِ ثْ ًم ا ُم بِ ينً ا‬ ُ ‫تَ أ‬
Artinya : “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan
isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada
seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka
janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang
sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan

4
jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang
nyata?” (Qs. An-Nisa : 20).

‫َخ ْذ َن ِم ْن ُك ْم ِم يثَ اقً ا‬ ٍ ‫ض ُك ْم إِ لَ ٰى َب ْع‬


َ ‫ض َو أ‬ ُ ‫ض ٰى َب ْع‬
َ ْ‫ْخ ُذ ونَ هُ َو قَ ْد أَف‬
ُ ‫ف تَ أ‬
َ ‫َو َك ْي‬
‫غَ لِ يظً ا‬
Artinya : “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali,
padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang
lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah
mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.”(Qs. An-Nisa : 21)

2) Istri mendapat setengah mahar jika dia belum melakukan


hubungan sex dengan suaminya dan mahar telah ditentukan,
sebagaimana firman Allah SWT :

َ ‫ض تُ ْم لَ ُه َّن فَ ِر‬
ً‫يض ة‬ ْ ‫وه َّن َو قَ ْد َف َر‬ُ ‫س‬ ْ ‫وه َّن ِم ْن َق ْب ِل أ‬
ُّ ‫َن تَ َم‬ ُ ‫َو إِ ْن طَ لَّ ْق تُ ُم‬
-ۚ ‫اح‬ِ ‫َو َي ْع ُف َو الَّ ِذ ي بِ يَ ِد ِه عُ ْق َد ةُ النِّ َك‬
ْ ‫ون أ‬ َ ‫َن َي ْع ُف‬ْ ‫ض تُ ْم إِ اَّل أ‬
ْ ‫ف َم ا َف َر‬ ُ ‫ص‬ ْ ِ‫فَ ن‬
‫ إِ َّن اللَّ هَ بِ َم ا‬-ۚ ‫ض َل َب ْي نَ ُك ْم‬
ْ ‫س ُو ا ال َْف‬ َّ ِ‫ب ل‬
َ ‫ َو اَل َت ْن‬-ۚ ‫لت ْق َو ٰى‬ ُ ‫َن َت ْع ُف وا أَ ْق َر‬
ْ ‫َو أ‬
‫ير‬ ِ َ ُ‫َت ْع م ل‬
ٌ ‫ون بَص‬ َ
Artinya : “Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum
kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu
sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari
mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu
itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang
ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa.
Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu
kerjakan.” (Qs Al Baqarah : 237).

3) Istri mendapat mut’ah (uang pesangon) jika dia belum


melakukan hubungan sex dengan suaminya dan mahar belum
ditentukan, sebagaimana firman Allah SWT :

‫ض وا لَ ُه َّن‬ُ ‫َو َت ْف ِر‬


ْ ‫وه َّن أ‬
ُ ‫س‬ ُّ ‫اء َم ا لَ ْم تَ َم‬ َّ ِ
َ ‫س‬ َ ِّ‫اح َع لَ ْي ُك ْم إ ْن طَ ل ْق تُ ُم الن‬
َ َ‫اَل ُج ن‬
ً َ‫ْم ْق تِ ِر قَ َد ُر هُ َم ت‬ ِ ‫ و م ِّت ع وه َّن َع لَ ى ال‬-ۚ ً‫يض ة‬
‫اع ا‬ ُ ‫ْم وس ِع قَ َد ُر هُ َو َع لَ ى ال‬ ُ ُ ُ َ َ َ ‫فَ ِر‬
‫ين‬ ِ ِ ‫ ح ًّق ا َع لَ ى ال‬-ۖ‫وف‬ ِ ‫بِ الْم ع ر‬
َ ‫ْم ْح س ن‬ ُ َ ُْ َ
Artinya : “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas
kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu
bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan

5
maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah
(pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut
kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya
(pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu
merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat
kebajikan.” (Qs Al Baqarah : 236).

B. Status Harta Bersama dalam Pernikahan


Salah satu pengertian harta bersama dalam perkawinan adalah harta milik
bersama suami-istri yang diperoleh oleh mereka berdua selama di dalam
perkawinan, seperti halnya jika seseorang menghibahkan uang, atau sepeda
motor, atau barang lain kepada suami istri, atau harta benda yang dibeli oleh
suami isteri dari uang mereka berdua, atau tabungan dari gaji suami dan gaji
istri yang dijadikan satu, itu semuanya bisa dikatagorikan harta bersama.
Pengertian tersebut sesuai dengan pengertian harta bersama yang disebutkan
di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu :
“harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”.
Untuk memperjelas pengertian di atas, hal-hal di bawah ini perlu menjadi
catatan:
1. Barang-barang yang dibeli dari gaji (harta) suami, seperti kursi, tempat
tidur, kulkas, kompor, mobil adalah milik suami dan bukanlah harta harta
bersama, termasuk dalam hal ini adalah harta warisan yang didapatkan
suami, atau hadiah dari orang lain yang diberikan kepada suami secara
khusus.
2. Barang-barang yang dibeli dari gaji (harta) suami, kemudian secara
sengaja dan jelas telah diberikan kepada istrinya, seperti suami yang
membelikan baju dan perhiasan untuk istrinya, atau suami membelikan
motor dan dihadiahkan untuk istrinya, maka harta tersebut, walaupun
dibeli dengan harta suami, tetapi telah menjadi harta istri, dan bukan pula
termasuk dalam harta gono-gini.
3. Barang-barang yang dibeli dari harta istri, atau orang lain yang
menghibahkan sesuatu khusus untuk istri, maka itu semua adalah
menjadi hak istri dan bukan merupakan harta harta bersama.

6
Tentang harta bersama dalam Islam menurut Ismail Muhammad Syah
sebagaimana dikutip oleh Yahya Harahap, beliau mengatakan bahwa,
pencarian bersama suami istri mestinya masuk dalam rubu’ul mu’amalah.
Tetapi ternyata secara khusus tidak dibicarakan. lebih lanjut beliau
mengatakan, mungkin hal ini disebabkan oleh karena pada umumnya
pengarang dari kitab-kitab tersebut adalah orang Arab, sedang adat Arab tidak
mengenal adanya adat mengenai pencarian bersama suami istri itu. Tetapi di
sana ada dibicarakan mengenai masalah perkongsian yang dalam bahasa Arab
disebut syarikah atau syirkah. Mungkin perkataan syarikah dalam bahasa
Indonesia sekarang itu berasal dari bahasa Arab. Seterusnya beliau
mengatakan, oleh karena masalah pencaraian bersama suami istri ini adalah
termasuk perkongsian atau syirkah. Dalam hal syirkah, beliau katakan bahwa
harta bersama masuk pada pembahasan syirkah mufawadah dan abdan.1
Lebih lanjut Menurut Yahya Harahap dalam perumusan masalah harta
bersama yang terdapat dalam Bab XIII yang terdiri dari Pasal 85 sampai
dengan Pasal 97, panitia perumus KHI malakukan pendekatan dari jalur
aturan syirkah syirkah abdan dan adat.

C. Pembagian Harta Bersama dalam Pernikahan


1. Pembagian Harta Bersama dalam Pernikahan Menurut Islam
Setelah mengetahui pengertian harta bersama, timbul pertanyaan
berikutnya, bagaimana membagi harta harta bersama tersebut menurut
Islam? Di dalam Islam tidak ada aturan secara khusus bagaimana
membagi harta harta bersama. Islam hanya memberika rambu-rambu
secara umum di dalam menyelesaikan masalah harta bersama.
Pembagian harta bersama tergantung kepada kesepakatan suami dan
istri. Kesepakatan ini di dalam Al Qu’ran disebut dengan istilah “Ash
Shulhu” yaitu perjanjian untuk melakukan perdamaian antara kedua
belah pihak (suami istri) setelah mereka berselisih. Allah SWT berfirman
:

1
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama UU. No. 7 Tahun
1989, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), h. 270-271

7
ْ ‫اح َع لَ ْي ِه َم ا أ‬
‫َن‬ َ َ‫اض ا فَ اَل ُج ن‬ ً ‫َو إِ ْع َر‬ ْ ‫وز ا أ‬
ً ‫ش‬ ُ ُ‫ت ِم ْن َب ْع لِ َه ا ن‬
ْ َ‫َو إِ ِن ْام َر أَةٌ َخ اف‬
ُّ ‫س‬ ِ ِ ْ ‫ و أ‬-ۗ ‫الص لْح َخ ْي ر‬ ِ ‫ي‬
-ۚ ‫الش َّح‬ ُ ‫ُح ض َر ت ا أْل َ ْن ُف‬ َ ٌ ُ ُّ ‫ َو‬-ۚ ‫ْح ا‬ ً‫صل‬ ُ ‫ص ل َح ا َب ْي َن ُه َم ا‬ ْ ُ
‫ون َخ بِ ًير ا‬ َ ‫َو إِ ْن تُ ْح ِس نُ وا َو َت َّت ُق وا فَِإ َّن اللَّ هَ َك‬
َ ُ‫ان بِ َم ا َت ْع َم ل‬
Artinya : “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap
tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya
mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu
lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir.
Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara
dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah
adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. an-Nisa : 128).

Ayat di atas menerangkan tentang perdamaian yang diambil oleh


suami istri setelah mereka berselisih. Biasanya di dalam perdamaian ini
ada yang harus merelakan hak-haknya, pada ayat di atas, istri merelakan
hak-haknya kepada suami demi kerukunan antar keduanya. Hal ini
dikuatkan dengan sabda Rasulullah SAW:
Dari Amru’ bin Auf al Muzani dari bapaknya dari kakeknya bahwa
Rasulullah saw bersabda: Perdamaian adalah boleh di antara kaum
muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal dan
perdamaian yang menghalalkan yang haram: (HR Abu Dawud, Ibnu
Majah, dan disahihkan oleh Tirmidzi).
Begitu juga dalam pembagian harta bersama, salah satu dari kedua
belah pihak atau kedua-duanya kadang harus merelakan sebagian hak-
nya demi untuk mencapai suatu kesepakatan. Umpamanya: suami istri
yang sama-sama bekerja dan membeli barang-barang rumah tangga
dengan uang mereka berdua, maka ketika mereka berdua melakukan
perceraian, mereka sepakat bahwa istri mendapatkan 40 % dari barang
yang ada, sedang suami mendapatkan 60 %, atau istri 55 % dan suami 45
%, atau dengan pembagian lainnya, semuanya diserahkan kepada
kesepakatan mereka berdua.
Memang kita temukan di dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam)
dalam Peradilan Agama, Pasal 97, yang menyebutkan bahwa: Janda atau
duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama
sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjianperkawinan”.
Keharusan untuk membagi sama rata, yaitu masing-masing
mendapatkan 50%, seperti dalam KHI di atas, ternyata tidak mempunyai

8
dalil yang bisa dipertanggung jawabkan, sehingga pendapat yang benar
dalam pembagian harta harta bersama adalah dikembalikan kepada
kesepakatan antara suami istri.
Kesepakatan tersebut berlaku jika masing-masing dari suami istri
memang mempunyai andil di dalam pengadaan barang yang telah
menjadi milik bersama, biasanya ini terjadi jika suami dan istri sama-
sama bekerja. Namun masalahnya, jika istri di rumah dan suami yang
bekerja, maka dalam hal ini tidak terdapat harta gono-gini, dan pada
dasarnya semua yang dibeli oleh suami adalah milik suami, kecuali
barang-barang yang telah dihibahkan kepada istri, maka menjadi milik
istri.
2. Pembagian Harta Bersama dalam Pernikahan Menurut Hukum
Positif Indonesia
Suatu perbuatan hukum yang menjadi penyebab timbulnya harta
bersama adalah "perkawinan" baik perkawinan yang diatur berdasarkan
Pasal 26 KUHPdt dan seterusnya, maupun perkawinan yang diatur dalam
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Putusnya perkawinan karena perceraian ada dua sebutan yaitu "cerai
gugat" dan "cerai talak", penyebutan ini menunjukkan kesan adanya
perselisihan antara suami dan isteri. Dalam hal ini hak untuk memecah
perkawinan melalui perceraian tidak lagi monopoli suami. Isteri diberi
hak untuk mengajukan gugatan cerai. Perceraian dengan talak biasa
disebut cerai talak hanya berlaku bagi mereka yang melangsungkan
perkawinan menurut agama Islam. Sedangkan perceraian dengan gugatan
biasa disebut dengan cerai gugat berlaku bagi mereka yang
melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dan bukan agama
Islam.
Efek lanjutan yang timbul dari sebuah perceraian selain penetapan
tentang status hak asuh anak, nafkah, juga tentang pembagian harta
bersama, yang tidak jarang ini juga menimbulkan konflik baru antara
suami dan istri pasca perceraian. Oleh karena itu idealnya suami dan istri
harus memahami hak dan kewajiban masing-masing terutama

9
menyangkut harta perkawinan. Secara normatif, apabila kita melihat
peraturan yang mengatur tentang harta perkawinan, kita dapat mengkaji
dari beberapa pasal dalam KUHPdt dan Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan.
Harta bersama menurut Pasal 119 KUHPdt pada pokoknya
dikemukakan bahwa terhitung sejak saat perkawinan dilangsungkan,
demi hukum terjadilah persatuan bulat harta kekayaan suami dan isteri
sejauh tidak diadakan perjanjian perkawinan tentang hal tersebut.
Berdasarkan ketentuan ini dapat diartikan bahwa yang dimaksud harta
bersama adalah "Persatuan harta kekayaan seluruhnya secara bulat baik
itu meliputi harta yang dibawa secara nyata (aktiva) maupun berupa
piutang (pasiva), serta harta kekayaan yang akan diperoleh selama
perkawinan".
Menurut Pasal (35) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan harta
benda dalam perkawinan meliputi:
a. Harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
b. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda
yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah
dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain.
Berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia, harta bersama
dibagi dengan seimbang antara mantan suami dan mantan isteri. Hal ini
tentunya apabila tidak ada perjanjian perkawinan mengenai pisah harta
dilakukan oleh pasangan suami isteri yang dilakukan sebelum dan
sesudah berlangsungnya akad nikah. Dasar hukum tentang harta bersama
dapat ditelusuri melalui Undang-undang dan peraturan berikut:
a. UU Perkawinan Pasal 35 ayat (1), disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama
masa perkawinan. Artinya harta kekayaan yang diperoleh sebelum
terjadinya perkawinan tidak disebut sebagai harta bersama;
b. KUHPerdata Pasal 119, disebutkan bahwa sejak saat
dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta

10
bersama menyeluruh antara suami isteri, sejauh tentang hal itu tidak
diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan.
Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan tidak boleh
ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami dan
isteri;
c. Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 85, disebutkan bahwa adanya
harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan
adanya harta milik masing-masing suami atau isteri. Pasal ini sudah
menyebutkan adanya harta bersama dalam perkawinan. Dengan kata
lain, KHI mendukung adanya persatuan harta perkawinan (harta
harta bersama). Meskipun sudah bersatu, tidak menutup
kemungkinan adanya sejumlah harta milik masing-masing pasangan
baik suami maupun isteri.
d. Pada KHI Pasal 86 ayat (1) dan (2), kembali dinyatakan bahwa pada
dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan isteri karena
perkawinan (ayat (1)); pada ayat (2) lebih lanjut ditegaskan bahwa
pada dasarnya harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai
penuh olehnya, demikian juga sebaliknya.

Harta bersama meliputi :


a. Harta yang diperoleh sepanjang perkawinan berlangsung;
b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali
yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri;
c. Harta yang diperoleh sebagai hadiah/pemberian atau warisan apabila
ditentukan demikian.
Dengan demikian, segala urusan yang berkenaan dengan harta
bersama harus didasari ketiga sumber hukum positif tersebut. Mengenai
harta bersama, dalam Pasal 37 UU No.1 Tahun 1974 mengenai
Perkawinan menentukan bahwa bila perkawinan putus karena perceraian,
harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud
dengan hukumnya masing-masing ialah hukum agama, hukum adat, dan
hukum-hukum lainnya.

11
Bagi umat Islam, ketentuan pembagian harta bersama diatur dalam
KHI Pasal 97 dinyatakan bahwa “Janda atau duda cerai hidup masing-
masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan
lain dalam perjanjian perkawinan”, sedangkan bagi penganut agama
lainnya diatur dalam KUHPerdata Pasal 128 yang menyebutkan bahwa
“setelah bubarnya persatuan, maka harta benda kesatuan dibagi dua
antara suami dan isteri atau antara para ahli waris mereka masing-
masing, dengan tidak memperdulikan soal dari pihak yang manakah
barang-barang itu diperoleh”.
Berkaitan dengan harta barsama, hukum positif juga memberikan
perlindungan hukum terhadap harta bersama tersebut. Perlindungan ini
berupa peletakan sita jaminan terhadap harta bersama jika dikhawatirkan
salah satu pihak suami-istri akan melakukan kecurangan, seperti
mengalihkan sebagian besar harta bersama kepada pihak ketiga dengan
maksud ketika perceraian telah terjadi, harta bersama yang di dapat pihak
yang melakukan kecurangan tersebut akan lebih banyak dari yang
seharusnya. Sita jaminan dalam hal ini biasa kita kenal dengan istilah sita
marital.
Pasal 53 UU Perkawinan membagi harta dalam perkawinan menjadi
tiga macam, yaitu:
a. Harta Bawaan, yaitu harta yang diperoleh suami atau istri dari
sebelum perkawinan. Masing-masing mempunyai hak sepenuhnya
untuk melaukan perbuatan hukum mengenai harta benda bawaannya.
b. Harta masing-masing suami atau istri yang diperoleh melalui
warisan atau hadiah dalam perkawinan. Hak terhadap harta benda
ini sepenuhnya ada pada masing-masing suami atau istri
c. Harta Bersama atau Gono-gini, yaitu harta yang diperoleh selama
perkawinan
Yang dimaksud dengan harta gono-gini adalah harta benda yang
dihasilkan oleh suami istri selama masa perkawinan mereka. Perkawinan
yang dimaksud ialah perkawinan yang sah, sesuai dengan yang diatur di

12
dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas
Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Harta gono-gini menjadi milik bersama suami istri, meskipun yang
bekerja hanya suami saja atau istri saja. Mengenai sejak kapan
terbentuknya harta gono-gini, itu ditentukan oleh rasa keadilan masing-
masing pihak, namun secara umum ditentukan menurut kewajaran, bukan
waktu.
Pada dasarnya pembagian harta gono-gini haruslah dilakukan secara
adil, sehingga tidak menimbulkan ketidakadilan antara mana yang
merupakan hak suami dan mana hak istri. Cara mendapatkan harta gono-
gini adalah sebagai berikut:
a. Pembagian harta gono-gini dapat diajukan bersamaan dengan saat
mengajukan gugat cerai dengan menyebutkan harta bersama dan
bukti-bukti bahwa harta tersebut diperoleh selama perkawinan dalam
“posita” (alasan mengajukan gugatan). Permintaan pembagian harta
disebutkan dalam petitum (gugatan).
b. Pembagian harta gono-gini diajukan setelah adanya putusan
perceraian, artinya mengajukan gugatan atas harta bersama.
Bagi yang menganut agama Islam, gugatan atas harta gono-gini
diajukan ke pengadilan agama di wilayah tempat tinggal istri. Untuk non-
Islam gugatan pembagian harta gono-gini diajukan ke pengadilan negeri
tempat tinggal termohon. Harta gono-gini baru dapat dibagi bila putusnya
hubungan perkawinan karena kematian mempunyai ketentuan hukum
yang pasti sejak saat kematian salah satu pihak, formal mulai saat itu
harta gono-gini sudah boleh dibagi.
Apabila keputusan hakim yang menentukan putusnya hubungan
perkawinan belum mempunyai kekuatan pasti, maka harta gono-gini
antara suami dan istri itu belum dapat dibagi.
Mengacu pada Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor
89K/Sip/1968, selama seorang janda tidak kawin lagi dan selama
hidupnya harta gono-gini dipegang olehnya tidak dapat dibagi guna
menjamin penghidupannya. Dalam Pasal 156 Komplikasi Hukum Islam

13
putusnya perkawinan karena perceraian terhadap harta bersama adalah
harta bersama tersebut dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut
dalam Pasal 97 yang memuat ketentuan bahwa janda atau duda cerai
hidup masing-masing berhak seperdua dari harta gono-gini sepanjang
tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Ketentuan dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Komplikasi
Hukum Islam Pasal 97 sejalan dengan ketentuan dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, yaitu cara pembagiannya biasanya adalah
dengan membagi rata, masing-masing (suami-istri) mendapat setengah
bagian dari harta gono-gini tersebut.
Harta gono-gini ini tidak dapat disamakan dengan harta warisan,
karena harta warisan adalah harta bawaan, bukanlah harta bersama. Oleh
karena itu, harta warisan tidak dapat dibagi dalam pembagian harta gono-
gini sebagai akibat perceraian. Hal inilah yang menjadi pegangan
pengadilan agama dalam memutus pembagian harta gono-gini tersebut.
Diundangkannya Undang-Undang Perkawinan, kewenangan
mengadili terkait sengketa harta gono-gini bagi orang yang beragama
Islam mulanya merupakan sesuatu hal yang dipermasalahkan. Hal ini
disebabkan karena Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang tersebut tidak
menunjuk secara tegas bahwa sengketa harta bersama bagi orang yang
beragama islam diselesaikan melalui peradilan agama.
Walaupun sebenarnya telah memberi sinyal kewenangan kepada
peradilan agama untuk menyelesaikannya. Hal ini terlihat pada Pasal 37
tersebut: “bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur
menurut hukumnya masing-masing”. Pasal ini seharusnya ditafsirkan
sedemikian rupa, sehingga apabila orang yang bersengketa itu beragama
Kristen maka diselesaikan menurut hukum mereka, begitu pula jika yang
bersengketa itu beragama Islam, maka diselesaikan menurut hukum
Islam. Tetapi, oleh karena sengketa harta bersama masih dianggap
termasuk dalam lembaga hukum adat, maka kewenangan itu tetap berada
di pengadilan negeri, sekalipun yang bersengketa itu orang beragama
Islam.

14
Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama dalam Pasal 49 dan penjelasan Ayat (2) angka
(10), ditegaskan bahwa “yang dimaksud dengan bidang perkawinan yang
di atur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
antara lain adalah penyelesaian harta bersama”. Undang-Undang tentang
Peradilan Agama tersebut tidak memformulasi harta bersama secara
spesifik, oleh karena itu untuk formula harta bersama harus dilihat
ketentuan Pasal, 35, 36, dan 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan.
Dalam Pasal tersebut disebutkan bahwa yang termasuk harta
bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan.
Ketentuan mengenai pembagian dan besar porsi perolehan masing-
masing suami istri dari harta bersama apabila terjadi perceraian, baik
cerai hidup maupun cerai mati, atau suami istri hilang, kita jumpai di
dalam ketentuan Pasal 96 dan Pasal 97 Komplikasi Hukum Islam. Pasal
96 berbunyi:
a. Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak
pasangan hidup lebih lama;
b. Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri
atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian
matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan
pengadilan agama.
Pasal 97 berbunyi: “janda atau duda cerai hidup masing-masing
berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain
dalam perjanjian perkawinan. Pasal-Pasal di atas menegaskan bahwa
pembagian harta bersama antara suami dan istri yang cerai hidup maupun
cerai mati, atau karena salah satunya hilang, masing-masing mereka
mendapat seperdua atau setengah harta bersama.
Tidak diperhitungkan siapa yang bekerja, dan atas nama siapa harta
bersama itu terdaftar. Selama harta benda itu diperoleh selama dalam
masa perkawinan sesuai dengan Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang

15
Perkawinan, maka harta yang diperoleh tersebut merupakan harta
bersama, dan dibagi dua antara suami dan istri.
Ketentuan Pasal-Pasal di atas telah menggeser secara tegas ketentuan
pembagian harta gono-gini yang berlaku pada masyarakat adat di
Indonesia seperti pada masyarakat adat Aceh dan masyarakat ada di Jawa
tersebut di atas.
Mahkamah Agung telah mendukung ketentuan yang tercantum
dalam Pasal 96 dan Pasal 97 Komplikasi Hukum Islam tentang
pembagian harta bersama serta besaran perolehan masing-masing suami-
dengan putusan-putusannya.
Apabila salah satu meninggal terlebih dahulu lazimnya harta gono-
gini berada di bawah penguasaan dan pengelolaan salah satu yang hidup,
sebagaimana halnya saat masa perkawinan. Pihak yang masih hidup
berhak menggunakan harta milik bersama itu untuk keperluan hidupnya
serta anak-anak yang masih kecil, tetapi jika keperluan hidupnya sudah
cukup diambilkan harta bersama itu, maka sebagian lain selayaknya
almarhum setelah dikurangi hutang-hutang.
Jika ada anak, maka harta bersama itu diwariskan kepada anak
sebagai harta asal mereka. Jika yang meninggal terlebih dahulu itu suami,
maka selama janda belum kawin lagi, barang-barang harta gono-gini
yang tertinggal padanya itu tetap tidak dibagi-bagi, guna menjamin
kehidupannya demikianlah putusan Mahkamah Agung Reg. No. 189
K/Sio./1959, tanggal 8 Juli 1959 yang mengatakan bahwa selama janda
belum kawin lagi, harta bersama tetap dikuasai janda guna keperluan
hidupnya.
Apabila tidak mempunyai anak, maka sesudah yang hidup lebih
lama lagi tadi itu (janda atau duda), maka harta tersebut wajib secara
hukum dibagikan kepada kerabat suami dan istri dengan jumlah yang
sama besar sebesar bagian suami istri itu jika mereka masih hidup, atau
jika pantas maka yang sudah berkecukupan mengalah dan diberikan
kepada yang berkekurangan berdasarkan asas kepantasan dan kelayakan.

16
Pembagian harta gono-gini ini tidak dapat digugat oleh sembagarang ahli
waris apalagi orang lain.
Menurut putusan Mahkamah Agung Reg. No. 258 K/Sip./1959,
pembagian harta gono-gini tidak dapat dituntut oleh orang lain dari pada
anak atau istri atau suami dari yang meninggalkan gono- gini. Dalam
Undang-Undang Perkawinan, pengaturan harta bersama tersebut belum
memperoleh penyelesaian yang tuntas.
Pasal 37 menyebutkan bila perkawinan putus karena perceraian,
harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Adapun yang
dimaksud dengan rumusan “hukumnya masing- masing” adalah hukum
agama, hukum adat atau hukum-hukum lainnya”.
Pentingnya Perjanjian Perkawinan Terhadap Harta Gono-Gini
Atau Harta Bersama
Perjanjian perkawinan diperlukan untuk mempermudah dalam
memisahkan mana yang merupakan harta gono-gini dan mana yang
bukan agar jika terjadi perceraian, pembagian harta gono-gininya dapat
dengan mudah diselesaikan.
Dengan begitu perselisihan antar pasangan suami istri yang sudah
bercerai tidak perlu berkepanjangan. Lebih lagi mereka harus
menyelesaikan persoalan-persoalan lain yang berkenaan dengan
pemutusan hubungan perkawinan mereka. Maka untuk itu perjanjian
perkawinan tetap penting dan bermanfaat bagi siapa saja yang terikat
dalam hubungan perkawinan.
Secara khusus, perjanjian perkawinan dibuat untuk melindungi
secara hukum harta bawaan masing-masing pihak suami istri. Artinya
perkawinan dapat berfungsi sebagai media hukum untuk menyelesaikan
masalah-masalah rumah tangga yang terpaksa harus berakhir, baik karena
perceraian maupun kematian. Dengan adanya perjanjian perkawinan,
maka akan jelas dibedakan mana yang merupakan harta gono-gini yang
perlu dibagi dua secara merata.
Perjanjian perkawinan juga berguna untuk mengamankan aset dan
kondisi ekonomi keluarga. Jika suatu saat terjadi penyitaan terhadap

17
seluruh aset keluarga karena bisnis bangkrut, dengan adanya perjanjian
perkawinan, maka ekonomi keluarga akan bisa aman. Ketika hendak
membuat perjanjian perkawinan, pasangan calon pengantin biasanya
memandang bahwa perkawinan itu tidak hanya membentuk sebuah
rumah tangga saja, namun ada sisi lain yang harus dimasukkan dalam
poin-poin perjanjian. Tujuannya, tidak lain agar kepentingan mereka
tetap terjaga. Perjanjian perkawinan juga sangat bermanfaat bagi kaum
perempuan.
Adanya perjanjian perkawinan, maka hak-hak dan keadilan bagi
soorang Istri dapat terlindungi. Perjanjian perkawinan dapat dijadikan
pegangan agar suami tidak memonopoli harta gono-gini dan harta
kekayaan pribadi istrinya. Disamping itu, dari sudut pemberdayaan
perempuan, perjanjian tersebut bisa menjadi alat perlindungan
perempuan dari segala kemungkinan terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT). Perjanjian perkawinan memang tidak diharuskan. Hanya
banyak manfaat yang bisa dirasakan jika sebuah perkawinan itu juga
diserta adanya perjanjian perkawinan terlebih dahulu.
Pemahaman akan perlu atau tidaknya sebuah perjanjian perkawinan
itu biasanya didasarkan atas kesepakatan antara calon suami dan calon
istri yang hendak berumah tangga. Apabila salah satu dari mereka tidak
setuju, maka hal tersebut tidak dapat dipaksakan. Oleh karena sifatnya
yang tidak wajib, tidak adanya perjanjian perkawinan tidak otomatis
menggugurkan status perkawinan mereka. Pembuatan perjanjian
perkawinan lebih didorong karena adanya kemungkinan hak-hak dari
pihak yang akan terganggu jika perkawinan mereka dilangsungkan.
Perjanjian perkawinan biasanya berupa perjanjian antara calon suami
istri yang akan melangsungkan perkawinan dengan ketentuan mereka
sepakat untuk mengadakan perjanjian pisah harta, yaitu harta yang
mereka miliki bukan harta gono-gini, namun menjadi harta pribadi
masing-masing. Meskipun demikian, isi perjanjian itu sesungguhnya
tidak hanya memuat ketentuan itu. Berdasarkan ketentuan yang berlaku
dalam KUHPerdata, kedua calon suami istri diberikan kebebasan untuk

18
menentukan isi perjanjian perkawinan asalkan sesuai dengan kehendak
dan kepentingan mereka, dan juga tidak bertentangan dengan kesusilaam,
hukum, agama, dan tata tertib masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa
isi perjanjian perkawinan adalah beragam.
a. Pemisahan harta kekayaan murni
Kedua belah pihak, baik suami maupun istri bersepakat untuk
memisahkan segala macam harta, utang, dan penghasilan yang
mereka peroleh, baik sebelum perkawinan maupun sesudahya. Jika
terjadi perceraian di antara mereka, tidak ada lagi pembagian harta
gono-gini karena mereka telah memperjanjikan pemisahan harta,
utang, dan penghasilan mereka selama masa perkawinan. Dalam
model ini, biaya pendidikan dan kebutuhan anak menjadi tanggung
jawab suami sebagai kepala rumah tangga. Jika perjanjian
perkawinan mengatur tentang pemisahan harta gono-gini, seorang
suami tetap berkewajiban menafkahi istri dan anak-anaknya,
meskipun dalam perjanjian perkawinan telah ditetapkan pemisahan
hartanya dengan harta istrinya.
b. Pemisahan harta bawaan
Perbedaannya dengan harta kekayaan murni, dalam isi
perjanjian ini kedua belah pihak hanya saling memperjanjikan
macam harta bawaan saja, yaitu harta, utang, dan penghasilan yang
mereka dapat sebelum perkawinan. Artinya jika nantinya mereka
bercerai, yang dibagi adalah harta gono-gini saja, yaitu harta yang
dihasilkan selama perkawinan menjadi hak masing-masing pasangan
c. Persatuan harta kekayaan
Perjanjian perkawinan juga memuat ketentuan tentang
percampuran harta kekayaan menurut Pasal 49 Ayat (1) Komplikasi
Hukum Islam, pasangan calon suami istri dapat memperjanjikan
percampuran harta kekayaan mereka, baik yang mencakup harta
gono-gini, harta bawaan, dan harta perolehan. Walaupun demikian,
perjanjian perkawinan tentang percampuran harta kekayaan juga bisa
mencakup harta gono-gini saja, tidak mencakup dua macam harta

19
lainnya. Suami istri dapat memperjanjikan ketentuan bahwa
meskipun mereka telah memberlakukan persatuan kekayaan, namun
tanpa persetujuan istri, suami tidak dapat memindahtangankan atau
membebani barang- barang tidak bergerak milik istri, surat-surat
pendaftaran dalam buku besar tentang perutangan umum, surat
berharga lainnya, dan piutang-piutang atas nama istri. Isi perjanjian
perkawinan sebenarnya tidak hanya berupa ketentuan tentang
pemisahan atau persatuan harta kekayaan pasangan suami istri, tetapi
juga berisi hal-hal lain di luar masalah harta benda perkawinan.
Perjanjian perkawinan juga dapat mencantumkan poin- poin lain di
luar masalah harta benda, asalkan isinya dapat disepakati oleh
masing-masing pasangan calon pengantin. Perjanjian perkawinan itu
bisa mencakup persoalan poligami, mahar, perceraian, dan
kesempatan untuk menempuh pendidikan lebih lanjut. Atau isinya
juga bisa perihal larangan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT) Dengan demikian perjanjian perkawinan tidak semata-mata
persoalan mengatur harta suami istri.

20
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Harta merupakan tonggak kehidupan rumah tangga, kewajiban suami yang
berkenaan dengan harta adalah memberikan mahar kepada istri, memberikan
nafkah kepada istri dan anak, dan suami tidak boleh mengambil harta istri, kecuali
dengan izin dan ridhonya.
Salah satu pengertian harta bersama dalam perkawinan adalah harta milik
bersama suami-istri yang diperoleh oleh mereka berdua selama di dalam
perkawinan, seperti halnya jika seseorang menghibahkan uang, atau sepeda motor,
atau barang lain kepada suami istri, atau harta benda yang dibeli oleh suami isteri
dari uang mereka berdua, atau tabungan dari gaji suami dan gaji istri yang
dijadikan satu, itu semuanya bisa dikatagorikan harta bersama.
Pembagian harta bersama tergantung kepada kesepakatan suami dan istri.
Kesepakatan ini di dalam Al Qu’ran disebut dengan istilah “Ash Shulhu” yaitu
perjanjian untuk melakukan perdamaian antara kedua belah pihak (suami istri)
setelah mereka berselisih. Keharusan untuk membagi sama rata, yaitu masing-
masing mendapatkan 50%, seperti dalam KHI di atas, ternyata tidak mempunyai
dalil yang bisa dipertanggung jawabkan, sehingga pendapat yang benar dalam
pembagian harta harta bersama adalah dikembalikan kepada kesepakatan antara
suami istri.
Kesepakatan tersebut berlaku jika masing-masing dari suami istri memang
mempunyai andil di dalam pengadaan barang yang telah menjadi milik bersama,
biasanya ini terjadi jika suami dan istri sama-sama bekerja. Namun masalahnya,
jika istri di rumah dan suami yang bekerja, maka dalam hal ini tidak terdapat harta
gono-gini, dan pada dasarnya semua yang dibeli oleh suami adalah milik suami,
kecuali barang-barang yang telah dihibahkan kepada istri, maka menjadi milik
istri.
Cara mendapatkan harta gono-gini adalah sebagai berikut:
a. Pembagian harta gono-gini dapat diajukan bersamaan dengan saat
mengajukan gugat cerai dengan menyebutkan harta bersama dan bukti-bukti

21
bahwa harta tersebut diperoleh selama perkawinan dalam “posita” (alasan
mengajukan gugatan). Permintaan pembagian harta disebutkan dalam petitum
(gugatan).
b. Pembagian harta gono-gini diajukan setelah adanya putusan perceraian,
artinya mengajukan gugatan atas harta bersama.
Bagi yang menganut agama Islam, gugatan atas harta gono-gini diajukan ke
pengadilan agama di wilayah tempat tinggal istri. Untuk non-Islam gugatan
pembagian harta gono-gini diajukan ke pengadilan negeri tempat tinggal
termohon. Harta gono-gini baru dapat dibagi bila putusnya hubungan perkawinan
karena kematian mempunyai ketentuan hukum yang pasti sejak saat kematian
salah satu pihak, formal mulai saat itu harta gono-gini sudah boleh dibagi.

22
DAFTAR PUSTAKA

Basyir, A. A. (2001). Hukum Waris Islam. Yogyakarta: UII Press.


Harahap, Y. (2009). Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama UU.
No, 7 Tahun 1989. Jakarta: Sinar Grafika.
Syarifuddin, A. (2004). Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Kencana.

23

Anda mungkin juga menyukai