Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

TUGAS DAN WEWENANG PERADILAN AGAMA


Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Acara Peradilan Agama
Dosen Pengampu: Musodikin, SHI., M.H.

Disusun oleh:
Kelompok 1

1. Nabila Inayatul Maula Abida 212131056


2. Muhammad Istaqi Maulaka 212131071

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID SURAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillahirrabilalamin Segala Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang


Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
makalah yang berjudul “Tugas dan Wewenang Peradilan Agama” ini dengan
sebaik-baik nya.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata kuliah Hukum Acara


Peradilan Agama. Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang
tugas dan wewenang Peradilan Agama bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak Musodikin, SHI., M.H.


selaku dosen pengampu Mata kuliah Hukum Acara Peradilan Agama. Ucapan
terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
diselesaikannya makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu,
saran dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Surakarta, September 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER ..................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .............................................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1
1.2 Rumusan Pembahasan ................................................................................... 2
1.3 Tujuan Makalah ............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................... 3
2.1 Pengertian Peradilan dan Peradilan Agama ................................................... 3
2.2 Pengertian Pengadilan .................................................................................... 4
2.3 Pengertian Pengadilan Agama ....................................................................... 4
2.4 Tugas Dan Wewenang Peradilan Agama ....................................................... 4
BAB III Penutup ...................................................................................................... 11
3.1 Kesimpulan .................................................................................................... 11
3.2 Saran .............................................................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peradilan Agama merupakan salah satu penyelenggara kekuasaan
kehakiman di Indonesia. Dalam uraiannya, Peradilan Agama ialah salah satu dari
tiga peradilan khusus yang ada di Indonesia, dua lainnya diantaranya yaitu
Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.1
Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan hakim di
Indonesia. Oleh karena itu, Peradilan Agama mempunyai kewenangan absolut yang
tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 atas perubahan pertama,
yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Dengan demikian, adanya
kewenangan absolut tersebut menjadikan Peradilan Agama, baik dalam pengadilan
tingkat pertama dan banding, tidak salah dalam menerima suatu perkara yang
diajukan terhadapnya sebab menjadi kewenangan lingkungan peradilan lain.2
Kewenangan Peradilan Agama di Indonesia, pada dasarnya sangat
berkaitan dengan persoalan kehidupan umat Islam, sebab ia menjadi sui generis-
nya. Idealnya, segala permasalahan yang dihadapi dan dialami oleh umat Islam, hal
tersebutlah yang menjadi kompetensi Peradilan Agama.3
Selanjutnya dalam makalah ini akan membahas lebih lanjut mengenai
pengertian tentang Peradilan Agama yang meliputi membahas terkait dengan tugas
dan wewenang Peradilan Agama.

1 Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia Sejarah Pemikiran dan Realita,


(Malang: UIN Malang Press, 2009), hlm. 15
2
Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2015), hlm. 85.
3
Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 429
B. Rumusan Pembahasan
1. Apa pengertian dari Peradilan dan Peradilan Agama?
2. Apa pengertian Pengadilan Agama?
3. Apa saja tugas dan wewenang dari Peradilan Agama?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Peradilan
2. Untuk mengetahui dari Peradilan Agama
3. Untuk mengetahui perngertian Pengadilan Agama
5. Untuk mengetahui tugas dan wewenang dari Peradilan Agama

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Peradilan dan Peradilan Agama


1.1 Pengertian Peradilan
Peradilan menurut etimologi berasal dari bahasa Arab yakni kata ‘adil
yang kemudian diserap menjadi bahasa Indonesia yang artinya proses mengadili
atau suatu usaha untuk mencari keadilan atau penyelesaian perkara untuk dan atas
nama hukum demi tegaknya hukum serta keadilan itu sendiri.4 Atau dengan kata
lain peradilan ialah suatu proses yang dilaksanakan oleh lembaga yang diberi
kewenangan untuk menyelesaikan perkara yang dilakukan dengan tata cara tertentu
yang diatur dalam hukum acara demi tegaknya hukum dan keadilan.
1.2 Pengertian Peradilan Agama
Peradilan Agama adalah bentuk terjemahan dari Bahasa Belanda yaitu kata
Godsdienstige Rechtspraak, kata godsdienst yang berrati agama, ibadat,
keagamaan, dan kata rechtspraak berarti peradilan. Jadi Godsdienstige Rechtspraak
ialah daya upaya mencari keadilan atau penyelesaian perselisihan hukum yang
dilaksanakan menurut peraturan-peraturan serta dalam lembaga-lembaga tertentu
dalam pengadilan.5
Dalam kaitanya dengan Peradilan Agama, menurut UU No. 50 Tahun
2009 tentang perubahan kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
ialah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam.6 Sedangkan dalam UU No.
3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama yakni salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu. Makna dari “rakyat

4
Sulaikin Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2018), hlm. 3
5
Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Remaja
Rosdakarya, Bandung, 1997, hlm. 4
6
Pasal 1 angka 1 UU No. 50 Tahun 2009

3
pencari keadilan” ialah setiap orang baik warga negara Indonesia maupun orang
asing yang mencari keadilan pada pengadilan di Indonesia.7
Pengadilan Agama adalah salah satu badan hukum yang bernaung di
bawah Mahkamah Agung yang mempunyai yuridiksi di Indonesia yang diatur
dengan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah
menjadi UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009 tentang perubahan
kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
1.3 Pengertian Pengadilan
Secara bahasa, pengadilan berarti dewan atau majelis yang mengadili
perkara. Sedangkan menurut istilah dalam pengertian khusus, yaitu pengadilan
merupakan suatu lembaga atau instansi tempat mengadili atau menyelesaikan
sengketa hukum di dalam rangka kekusaan kehakiman yang memiliki kekuasaan
mutlak dan relatif sesuai dengan ketentuan hukum yang menentukan atau
membentuknya.8
1.4 Pengertian Pengadilan Agama
Pengadilan Agama adalah badan yang dibentuk oleh negara sebagai
tempat untuk mencari keadilan atau menyelesaikan perkara-perkara tertentu bagi
orang yang beragama Islam berdaarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Pengadilan Agama juga merupakan suatu badan peradilan Agama pada
tingkat pertama dan berkedudukan di Ibu kota kabupaten atau kota, tetapi tidak
menutup kemungkinan adanya pengecualian. Disamping Pengadilan Agama juga
terdapat Pengadilan Tinggi Agama yang merupakan badan peradilan agama tingkat
banding serta berkedudukan di Ibu kota provinsi dan daerah hukumnya mencakup
wilayah provinsi.9
B. Tugas dan Wewenang Peradilan Agama
Tugas dan wewenang Peradilan Agama pada masa reformasi semenjak
lahirnya UU No. 3 Tahun 2006 atas perubahan UU No. 7 Tahun 1989, sudah
membawa perubahan cukup signifikan dalam pengurusan Peradilan Lembaga

7
Pasal 2 UU No. 3 Tahun 2006
8 Sulaikin Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2018), hlm 3
9 Ibid, hlm. 4

4
Peradilan Agama baik ditinjau dari segi organisasi, administrasi, financial, teknis
peradilan, serta penambahan kewenangan absolut Peradilan Agama.
Tugas dan wewenang absolut Peradilan Agama tertuang dalam Pasal 49
UU No. 3 Tahun 2006 meliputi memeriksa, memutus, serta menyelesaikan perkara
di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang anatra
lain yakni:
a. Perkawinan
b. Waris
c. Wasiat
d. Hibah
e. Wakaf
f. Zakat
g. Infaq
h. Shadaqah
i. Ekonomi syariah10
Penjelasan masing-masing perkara yang menjadi kewenangan Peradilan
Agama adalah sebagai berikut:
1. Perkawinan
Kewenangan Peradilan Agama telah diatur di dalam UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai berikut:
• Izin beristri lebih dari seorang.
• Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua
puluh satu) tahun dalam hal orang tua atau wali keluarga dalam garis lurus
ada perbedaan pendapat.
• Dispensasi kawin
• Pencegahan perkawinan
• Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah
• Pembatalan perkawinan

10
Suherman, Kedudukan dan Kewenangan Peradilan Agama di Indonesia, Al Mashlahah
Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial Islam (Agustus 2017), hlm. 685

5
• Gugatan kelalaian atas kewajiban atas suami atau istri
• Perceraian karena talak
• Gugatan perceraian
• Penyelesaian harta bersama
• Penguasaan anak-anak
• Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan bilamana bapak
yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya.
• Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas
istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri.
• Putusan tentang sahnya atau tidaknya seorang anak.
• Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua
• Pencabutan kekuasaan wali
• Penunjukkan sebagai wali oleh Pengadilan dalam hal kekuasaan seorang
wali dicabut.
• Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum bercukup umur.
• Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali atas kerugian harta
benda anak yang berada dibawah kekuasaan seorang wali.
• Penetapan asal usul seorang anak.
• Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU No 1 tahun
1974.
2. Waris
Yang dimaksud dengan perkara waris ialah sebagai berikut:
1. Penentuan siapa yang menjadi ahli waris
2. Penentuan mengenai harta peninggalan
3. Penentuan bagian masing-masing ahli waris
4. Melaksanakan pembagian harta peninggalan
5. Penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penenuan siapa
yang menjadi ahli waris.

6
Kewarisan telah diatur dalam KHI: BAB I tentang Ketentuan Umum
Pasal 171; BAB II tentang Ahli Waris Pasal 172-175; BAB III tentang
Besarnya Bagian 172-175; BAB IV tentang pasal 172-175.
3. Wasiat
Wasiat adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau
manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah
yang memberi tersebut meninggal dunia.
Mengenai wasiat dalam UU No. 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah
dengan UU No. 3 Tahun 2006. Namun undang-undang tersebut tidak
mengatur secara rinci mengenai wasiat. Sedangkan secara jelasnya diatur
dalam KHI pada Buku II tentang Hukum Kewarisan BAB V tentang wasiat
Pasal 197-209. Dalam ini diatur tentang.
- Syarat-syarat pihak dalam wasiat
- Harta benda yang diwasiatkan
- Cara-cara wasiat:
- Batalnya wasiat
- Pencabutan wasiat
- Batas besarnya yang diwariskan
- Cara pembukaan surat wasiat
- Wasiat anggota pada waktu perang
- Pihak yang tidak dapat menerima wasiat
- Wasiat wajibah
4. Hibah
Hibah adalah pemberian suatu benda yang dilakukan secara sukarela
dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau
badan hukum untuk dimiliki.
Pengaturan hibah diatur dalam KHI Buku II BAB VI tentang Hibah
(Pasal 210 s.d Pasal 214). Dalam ini diatur tentang:
- Syarat-syarat orang yang menghibahkan
- Batas maksimal harta benda yang dihibahkan
- Harta benda yang dihibahkan

7
- Hibah orang tua kepada anak
- Hibah tidak dapat ditarik kembali
- Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang
dekat dengan kematian
- Cara menghibahkan WNI yang berada di negeri asing
5. Wakaf
Wakaf ialah perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif)
untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya
untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai
dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan
umum menurut syariah.
Wakaf telah diatur dalam UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf dan
peraturan pelaksanaan, yaitu PP No. 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaan
UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Selain itu, pengaturan perwakafan
juga terdapat dalam buku III KHI terdiri dari 4 bab, yaitu Bab I Ketentuan
Umum (Pasal 215); Bab II Fungsi, Unsur-unsur, dan Syarat-syarat wakaf
(Pasal 216-222); Bab III Tata Cara Perwakafan, Pendaftaran Benda Wakaf
(Pasal 223); Bab IV Perubahan, Penyelesaian, dan Pengawasan Benda
Wakaf (Pasal 225-227).
6. Zakat
Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau
badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan
syariah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.
Zakat belum diatur secara terperinci di dalam suatu peraturan
perundanag-undangan yang baru diataur. Namun, pengelolaan zakat telah
diatur dalam UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
7. Infaq
Infaq merupakan perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada
orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman,
mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu
kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah SWT.

8
Mengenai infaq belum ada ketentuannya di dalam peraturan
perundang-undangan. Sehingga pengaturan mengenai infaq didasarkan
pada dalil-dalil Al-Qur’an, hadits, ijma’, Qiyas serta kitab-kitab fiqih
karangan para ahli fiqih.
8. Shodaqoh
Yang dimaksud dengan “shodaqoh” adalah perbuatan seseorang
memberikan sesuatu kepada orang atau lebaga/badan hukum secara spontan
dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan
mengharap ridho Allah SWT dan pahala semata.
Mengenai shodaqoh tidak ada peraturan yang terperinci di dalam
perundang-undangan sehingga pengaturan mengenai shodaqoh didasarkan
pada dalil-dalil Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, Qiyas, serta kitab-kitab fiqih
karangan para Ahli Fikih.
9. Ekonomi Syari’ah
Ekonomi Syari’ah ialah perbuatan atau kegiatan usaha yang
dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi:
a. Bank syari’ah
b. Lembaga keuangan mikro syari’ah
c. Asuransi syari’ah
d. Reasuransi syari’ah
e. Reksadana syari’ah
f. Obligasi syari’ah dan surat berharga jangka panjang menengah syariah
g. Sekuritas syari’ah
h. Pembiayaan syari’ah
i. Pegadaian syari’ah
j. Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah
k. Bisnis syari’ah
Dalam menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi
syari’ah belum terdapat pedoman yang digunakan para hakim untuk
menyelesaikan terkait hal tersebut. Oleh karena itu, untuk memperlancar
proses penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah, dikeluarkan Peraturan

9
Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2008 tentang Peraturan Mahkamah Agung
Republik Indonesia tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.
1) Hakim pengadilan dalam llingkungan peradilan agama memeriksa,
mengadili dan menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi
syariah, mempergunakan sebagai pedoman prinsip syari’ah dalam
Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.
2) Mempergunakan sebagai pedoman prinsip syari’ah dalam Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah sebagaimana dimaksud ayat (1), tidak
mengurangi tanggung jawab hakim untuk menggali dan menemukan hukum
untuk menjamin putusan yang dan teratur.11

11 Abdullah Tri Wahyudi, Peradlian Agama di Indonesia, hlm. 143-178

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari penjelasan materi diatas dapat disumpulkan sebagai berikut:
1. Peradilan ialah suatu proses yang dilaksanakan oleh lembaga yang diberi
kewenangan untuk menyelsaikanperkara yang dilakukan dengan tata cara
tertentu yang diatur dalam hukum acara demi tegaknya hukum dan keadilan.
2. Peradilan Agama adalah suatu upaya yang dilaksanakan untuk mencari
keadilan atau menyelesaikan perkara-perkara tertentu bagi orang-orang yang
beragama Islam melalui lembaga-lembaga yang berfungsi untuk melaksanakan
kekuasaan kehakiman bedasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
3. Pengadilan dalam pengertian khusus adalah suatu lembaga atau instansi tempat
mengadili atau menyelesaikan sengketa hukum di dalam rangka kekuasaan
kehakiman yang memiliki kekuasaan mutlak dan relatif sesuai dengan
ketentuan hukum.
4. Pengadilan Agama merupakan badan yang dibentuk oleh negara sebagai
tempat untuk mencaru keadilan atau menyelesaikan perkara-perkara tertentu
bagi orang yang beragama Islam.
5. Tugas dari Peradilan Agama, yaitu memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
dari suatu perkara. Sedangkan wewenangnya beraksi dibidang perkawinan,
kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, infaq, zakat, shodaqoh, dan ekonomi syariah.
B. Saran
Demikian yang dapat kami sampaikan mengenai materi yang menjadi
pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahan dalam penulisannya. Penulis berharap kepada para pembaca untuk
memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi
terwujudnya kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bisa berguna
bagi penulis dan juga para pembaca

11
DAFTAR PUSTAKA

Aripin Jaenal, 2008, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di


Indonesia, (Jakarta: Kencana)

Asikin Zainal, 2015, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Jakarta: Kencana)

Bisri Cik Hasan, 1997, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia,
(Bandung, Remaja Rosdakarya)

Lubis Sulaikin, 2018, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia,


(Jakarta: Kencana)

Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 1 angka 1 UU No. 50 Tahun 2009, Pasal 2


UU No. 3 Tahun 2006

Suherman, 2017, Kedudukan dan Kewenangan Peradilan Agama di Indonesia, Al


Mashlahah Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial Islam

Wahyudi Abdullah Tri, Peradlian Agama di Indonesia

Zuhriah Erfaniah, 2009, Peradilan Agama Indonesia Sejarah Pemikiran dan


Realita, (Malang: UIN Malang Press)

12

Anda mungkin juga menyukai