Anda di halaman 1dari 7

ANALISA KASUS JULIARI BATUBARA

DENGAN KASUS KORUPSI DANA BANSOS

Oleh: Odia Salsabila (212131030)

Muhammad Istaqi Maulaka (212131071)

Revangga Aji Nugroho (212131097)

Mendengar kata korupsi pasti sudah bukan menjadi suatu hal yang tabu untuk
didengar, disebutkan dan dilihat oleh para khalayak ramai. Melihat banyak kasus-kasus yang
terjadi di lingkungan sekitar yang berhubungan dengan kasus tindak pidana korupsi.
Sedangkan, korupsi itu sendiri mempunyai arti bahwa suatu perbuatan yang dilakukan
dengan sebuah maksud untuk mendapatkan beberapa atau sejumlah keuntungan untuk dirinya
sendiri maupun orang lain yang bertentangan dengan tugas resmi dan kebenaran-kebenaran
lainnya. Korupsi sering kali mempunyai hubungan yang berkesinambungan dengan politik,
uang, suap, gratifikasi, kolusi dan nepotisme. Tak jarang kasus tersebut menjadi kasus yang
cukup laris diperdebatkan dikalangan masyarakat karena, dianggap merugikan banyak pihak,
baik dari golongan masyarakat maupun negara. Keuangan negara menjadi sasaran empuk
untuk dijadikan praktek korupsi oleh tikus-tikus berdasi. Retorika yang sering kali
digaungkan tak ayal menjadi sebuah tameng untuk menutupi praktek tercela mereka.
Peraturan perundang-undangan pun menjadi salah satu dari banyaknya jenis retorika yang
digunakannya. Apabila dikaji lebih lanjut mengenai sebab-akibat korupsi di Indonesia, maka
sudah dapat dipastikan hal tersebut hanya menguntungkan para kalangan elite politik saja.

Salah satu contohnya ialah korupsi yang dilakukan oleh salah satu menteri sosial
Indonesia, Juliari Peter Batubara. Juliari P. Batubara menerima lebih dari 32 miliar dari
rekanan penyedia bansos. Mirisnya hal tersebut ia dan bersama beberapa temannya lakukan
disaat Indonesia sedang dilanda bencana nonalam, yakni Covid-19. Dimana, pada saat itu
perekonomian negara hingga warga menurun drastis, karena tidak adanya pemasukan dari
segi manapun. Banyak sekali warga yang di PHK dari pekerjaanya. Jatah bansos yang
seharusnya utuh diterima oleh warga di setiap paketnya, justru berkurang karena adanya
perbuatan tak beretika ini. Kasus ini berawal dari adanya program bansos penanganan Covid-
19 berupa paket sembako di Kemensos pada tahun 2020 wilayah Jabodetabek silam dengan
nilai bantuan sebesar Rp 5,9 triliun, dengan total kontrak sebanyak 272 dan dilaksanakan
dengan dua periode. Kala itu, Juliari P. Batubara menunjuk Matheus dan Adi Wahyono
sebagai PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) dalam pelaksanaan proyek tersebut. Penunjukkan
dilakukan secara langsung kepada para rekanan dan diduga adanya kesepakatan pada fee dari
setiap paket bansos, beberapa dari jumlah atau fee yang terdapat didalam paket bansos harus
disetorkan dari rekanan Kemensos lalu diteruskan kepada Matheus sebagai perantara sebelum
akhirnya diberikan kepada Juliari P. Batubara. Dalam setiap paket sembako dibandrol dengan
jumlah Rp. 10.000 sedangkan untuk setiap paket bansos dibandrol dengan jumlah Rp.
300.000, sesuai kesepakatan fee yang ditetapkan oleh Matheus dan Adi di awal perjanjian,
yaitu pada bulan Mei hingga November 2020. Selain membuat perjanjian atau kontrak
dengan Adi, Matheus juga membuat kontrak dengan beberapa suplier di antaranya Presiden
Direktur PT Tigapilar Agro Utama, Ardian Iskandar, Harry Sidabuke, seorang konsultan
hukum, dan PT RPI yang diduga milik Matheus. Kasus korupsi yang dilakukan oleh Juliari P.
Batubara ini, terungkap pada Desember 2020 silam. Pelaksanaan paket bansos sembako pada
periode pertama Juliari P. Batubara bersama tersangka lainnya mendapat sekitar Rp. 12
miliar, yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh Matheus kepada Juliari melalui
perantara Adi. Dari jumlah yang didapat tersebut, Juliari mendapat setidaknya sekitar Rp. 8,2
miliar. Pemberian uang tersebut selanjutnya langsung dikelola oleh Eko dan Shelvy selaku
orang kepercayaan Juliari, untuk digunakan membayar berbagai kepentingan pribadi Juliari.

Pada periode kedua pelaksanaan paket bansos sembako, terkumpul biaya sekitar Rp.
8,8 miliar. Biaya tersebut didapat mulai bulan Oktober hingga Desember 2020. Yang diduga
juga digunakan untuk keperluan pribadi Juliari P. Batubara. Sehingga total uang suap yang
didapatkan oleh Juliari menurut KPK, selaku badan yang menangani kasus korupsi negara
menyatakan sebesar Rp. 17 miliar. Seluruh uang tersebut diduga digunakan oleh Juliari untuk
keperluan pribadi. Penangkapan Juliari P. Batubara beserta kelima tersangka lainnya
dilakukan melalui proses OTT (Operasi Tangkap Tangan). Dengan barang bukti berupa tujuh
koper berisi uang, tiga tas ransel dan amplop dengan total kurang lebih 14,5 miliar. Dengan
berbagai macam jenis mata uang, yakni dollar Amerika, dollar Singapura dan Rupiah. Yang
masing-masing 11,9 miliar rupiah, 171.85 dollar Amerika (2,4 miliar rupiah), dan 23.000
dollar Singapura (243 juta).

Atas perbuatannya tersebut, sesuai dengan yang tercantum dalam pasal 19 tahun
1999 Juliari disangkakan melanggar Pasal 12a dan 12b Jo dan Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun
1999 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 Jo, Pasal 64 ayat 1 KUHP, dan
Pasal 22 ayat 4, Pasal 46 ayat 1, Pasal 193 ayat 1 dan 2b, dan Pasal 197 ayat 1 UURI Nomor
8 Tahun 1981. Sehingga, majelis hakim tipikor (Tindak Pidana Korupsi) menjatuhkan pidana
kepada terdakwa, Juliari P. Batubara dengan 1) Pidana penjara selama 12 tahun dan pidana
denda sejumlah 500 juta rupiah, dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka,
diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan, 2) Menjatuhkan pidana tambahan kepada
terdakwa, Juliari P. Batubara untuk membayar uang pengganti sejumlah 14 miliar 597 juta
450 ribu rupiah, dengan ketentuan apabila tidak dibayar paling lambat 1 bulan setelah perkara
yang telah ditentukan. Maka, harta benda terpidana dirampas untuk menutupi kerugian
keuangan negara. Dan apabila harta bendanya tidak mencukupi untuk membayar uang
pengganti maka, diganti dengan pidana penjara selama 2 tahun. Perkara tersebut mempunyai
kekuatan hukum yang tetap. 3) Menjatuhkan pidana tambahan kepada terdakwa berupa
pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 4 tahun setelah terdakwa usai
menjalani pidana pokok.

Tuntutan KPK ini terkesan ganjil dan mencurigakan. Sebab, pasal yang menjadi alas
tuntutan, yaitu Pasal 12 huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
sebenarnya mengakomodir penjatuhan hukuman hingga penjara seumur hidup dan denda Rp
1 miliar. Tuntutan pembayaran pidana tambahan uang pengganti sebesar Rp14,5 miliar juga
jauh dari memuaskan, karena besaran tersebut kurang dari 50% dari total nilai suap yang
diterima Juliari P. Batubara. Tuntutan yang rendah ini kontradiktif dengan semangat
pemberantasan korupsi. Padahal, pimpinan KPK telah sesumbar menyatakan akan
menghukum berat koruptor bansos Covid-19.

Penting diingat, penegak hukum merupakan representasi negara dan korban yang
bertugas meminta pertanggungjawaban atas kejahatan pelaku. Hal ini pun telah ditegaskan
dalam Pasal 5 huruf d UU No. 19 tahun 2019 tentang KPK. Regulasi itu menjelaskan bahwa
dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPK mengedepankan asas kepentingan umum.
Alih-alih dijalankan, KPK justru lebih terlihat seperti perwakilan pelaku yang sedang
berupaya semaksimal mungkin agar terdakwa dijatuhi hukuman rendah.

Perkara ini menguak peran Juliari yang didakwa telah menerima suap Rp 32,4
miliar. Ia pun disebut telah menarik fee dari 109 penyedia bansos melalui Kuasa Pengguna
Anggaran (KPA) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang juga menjadi terdakwa dalam
kasus ini.

Perbuatan korupsi yang diduga terjadi dalam distribusi bansos Covid-19 ini, diduga
kuat tidak hanya terkait dengan suap-menyuap, tetapi juga berpotensi merugikan keuangan
atau perekonomian negara. Potensi tersebut dapat muncul dari besaran keuntungan yang tidak
wajar yang diambil oleh para penyedia, yang minim pengalaman atau bahkan tidak memiliki
pengalaman sama sekali, sebagai produsen utama program bansos.

Sebagaimana diketahui, Juliari diduga kuat turut mengoordinasikan atau membagi-


bagi pengadaan agar dilakukan oleh penyedia tertentu, yang proses penunjukannya
mengabaikan ketentuan pengadaan darurat. Para penyedia minim pengalaman tersebut,
kemungkinan dipilih karena ada kedekatan atau afiliasi politik tertentu.

Uraian perbuatan di atas, menggambarkan kesengajaan para terdakwa dalam


menghambat upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan sosial kepada warga dalam
rangka menangani dampak pandemi Covid-19, kondisi yang semestinya menjadi dasar
pemberat bagi penuntut umum, dalam menyusun dan membaca surat tuntutan kepada Juliari.
Namun, JPU KPK gagal mewakili kepentingan negara dan korban.

Melihat rendahnya tuntutan JPU terhadap Juliari, hakim harus mengambil langkah
progresif dengan menjatuhkan hukuman maksimal yaitu, pidana penjara seumur hidup
kepada mantan Menteri Sosial tersebut. Penjatuhan hukuman yang maksimal terhadap Juliari
Batubara, sudah sepatutnya dilakukan, mengingat ada banyak korban bansos yang haknya
dilanggar di tengah pandemi Covid-19, akibat praktik korupsi ini. Ke depannya, vonis
maksimal tersebut diharapkan berdaya cegah terhadap potensi terjadinya kasus serupa,
terutama di tengah kondisi pandemi.

ANALISIS KASUS KORUPSI BERDASARKAN TEORI UQUBAT WA AFWU

a. Analisis Berdasarkan Uqubat (hukuman)

Jika dalam kasus pembunuhan maka uqubatnya (sanksi hukum) berupa qishash atau
diyat dan tentunya agak berbeda dengan kasus korupsi. Tindak pidana korupsi sama dengan
perbuatan pencurian. Di dalam istilah fiqh, pencurian disebut dengan sariqah. Sariqah adalah
mengambil harta milik orang lain dengan cara yang licik atau dengan menipu. Imam al-
Mawardi menguraikan dalam kitabnya yang berjudul Al-Ahkam Al-Sultaniyyah bahwa
sariqah sebagai jarimah maksudnya jika harta yang jumlahnya senishab zakat serta disimpan
ditempat tertentu dan harta tersebut dicuri oleh orang yang sudah baligh dan berakal
(mukallaf), serta tidak ada kesamaran antara tempat dan hartanya, maka tangan kanannya
dipotong. Dalam hukuman pemotongan tangan tersebut terdapat aturannya, yaitu mulai dari
tulang pergelangan tangannya.1 Dalam pembahasan mengenai tindak pidana korupsi masih
belum mendapatkan pembahasan yang memadai. Menurut konsep fuqaha bahwa delik
korupsi dianalogikan dengan konsep kejahatan memakan harta anak yatim yang telah
diharamkan dalam Al-Qur’an.2 Tindak pidana korupsi juga disamakan dengan ghulul, yaitu
sama dalam penggelapan harta. Sementara ghulul sebagai jarimah tidak dapat dikategorikan
sebagai perbuatan yang diancam dengan hukuman had, maka dari itu dalam menetukan status
hukum untuk perbuatan korupsi tidak dapat disamakan atau diqiyaskan dengan jarimah yang
diancam dengan hukuman had atau qishash.3

Dalam menentukan pidana untuk tindak pidana korupsi tidak dapat diberlakukan
hukuman had, karena dalam sudut pandang fiqh jinayah korupsi merupakan perbuatan yang
merusak (fasad) yang mempunyai dampak yang sama dengan perbuatan ghulul.4 Oleh karena
itu, tindak pidana korupsi dapat diancam dengan hukuman ta’zir. Maka, penentuan
hukumannya baik jenis, bentuk, dan jumlahnya didelegasikan kepada hakim mau dipotong
tangan, dera ataupun penyitaan harta. Sebagaimana dalam dalil yang menjelaskan mengenai
perbuatan ghulul adalah ketidaksukaan Nabi dalam hal penggelapan harta, mau itu dalam
jumlah yang kecil. Pada zaman dahulu, ketika ada sahabat yang korupsi setelah ditunjuk
menjadi wali disuatu daerah, maka harta yang bertambah setelah kembali ke daerahnya
tersebut dimasukkan ke dalam kas negara. Maka dari itu, hukuman atas korupsi tersebut
diserahkan kepada hakim untuk diproses hukumnya dan hakim dapat menentukan hukuman
yang pantas untuk pelaku korupsi. Sedangkan dalam hukum positif, untuk tindak pidana di
Indonesia yang didasarkan pada ketetapan UU tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
sanksi tindak pidana korupsi yaitu dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun penjara dan juga
dikenakan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan denda paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliyar rupiah). Namun, dalam pasal UU tenang Korupsi

1
Muhaki, Problem Delik Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, Vol. 12, No.2, Jurnal Studi Islam, 2017, Hal, 28
2
Ibid, Hal. 29
3
Ibid, Hal. 32
4
Ibid, Hal. 33
bahwa pidana korupsi dapat diancam pidana penjara seumur hidup atau paling singkat 1
(satu) tahun dan paling singkat 20 tahun (dua puluh) tahun atau dikenakan denda paling
sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta) dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah) serta mendapatkan sanksi dalam bentuk pengembalian kerugian
keuangan negara atau perekonomian negara dan tidak mengahapuskan dipidananya pelaku
tindak pidananya.5

b. Analisis Berdasarkan Afwu (pemaafan)

REKOMENDASI HUKUM

Tindak pidana korupsi disebut juga dengan tindakan kejahatan yang luar biasa
(extra-ordinary crime), maka dari itu dalam penanggulannya juga harus memerlukan
penanggulangan yang luar biasa juga (extra-ordinary enforcement). Korupsi adalah kejahatan
yang memiliki dampak luas, yang di mana korupsi dapat merugikan keuangan negara serta
dampaknya juga bisa menjalar ke negara lain. Dalam kasus korupsi BanSos pada saat
pandemi Covid 19 yang dilakukan oleh Yuliandri Batubara mendapatkan hukuman 12 tahun
penjara dan denda Rp 500 juta (lima ratus juta) serta pidana tambahan uang pengganti sebesar
Rp 14,5 miliar. Hukuman yang dijatuhkan masih terbilang ringan, karena seharusnya
diajtuhkan pidana mati. Dikatakan dijatuhakan pidana mati karena penyalahgunaan alokasi
dana dilakukan dalam keadaan tertentu. Maksud dari keadaan tertentu adalah keadaan dalam
darurat dan keadaan non bencana alam nasional, yang di mana pada saat itu sedang pandemi
Covid 19. Dalam tindak pidana korupsi yang dilakukan pada keadaan darurat tersebut harus
dijatuhkan hukuman mati yang didasarkan pada Pasal 2 ayat (2) dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menjelaskan bahwa siapa saja yang
melakukan tindak pidana korupsi dalam keadaan tertentu dapat dijatuhkan hukuman mati. 6
Maka dari itu, hakim seharusnya menjatuhkan hukuman mati kepada Juliari Batubara sesuai
ketentuan pasal 2 ayat (2) dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
atas Undang-Undang nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

5
Ibid, Hal. 33-34
6
Sigar Aji Poerana, Pidana Mati bagi Koruptor Dana Penanggulangan COVID-19,
https://www.hukumonline.com/klinik/a/pidana-mati-bagi-koruptor-dana-penanggulangan-covid-19-
lt5ecf866fd71bd, diakses pada tanggal 17 Maret 2023
DAFTAR PUSTAKA

https://www.kompasiana.com/amp/ramzit/55087ad68133113e22b1e120/pemaafan-koruptor

https://antikorupsi.org/id/article/tuntutan-juliari-p-batubara-terlalu-rendah-dan-semakin-
melukai-korban-korupsi-bansos

Poerana Sigar Aji, 2021, Pidana Mati bagi Koruptor Dana Penganggulangan COVID-19,
https://www.hukumonline.com/klinik/a/pidana-mati-bagi-koruptor-dana-
penanggulangan-covid-19-lt5ecf866fd71bd

Muhaki, 2017, Problem Delik Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, Vol. 12, No.2, Jurnal Studi Islam, Hal, 28

Anda mungkin juga menyukai