Anda di halaman 1dari 13

ANALISIS TERKAIT TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BRIGADIR JOSUA

BERDASARKAN HUKUM PIDANA KONTEMPORER

Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Pidana Islam Kontemporer

Dosen Pengampu: Suciyani, M.Sos.

Disusun oleh:
Muhammad Istaqi Maulaka
NIM: 212131071

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID SURAKARTA
TAHUN AKADEMIK 2023
PENDAHULUAN
Awal mula kasus pembunuhan anggota Polri Brigadir Josua dimulai dengan
adanya laporan dari Irjen Pol. Ferdy Sambo. Laporan tersebut diberikan kepada Polres
Metro Jakarta Selatan dan Divisi Propam Polri. Peristiwa yang dilaporkan oleh Ferdy
Sambo adalah peristiwa tembak menembak antara Bharada Richard Eliezer (Bharada E)
dengan Brigadir Josua. Penyebab terjadinya baku tembak antara Bharada Richard
Eliezer dan Brigadir Josua adalah adanya dugaan pelecehan seksual yang dilakukan
Brigadir Josua terhadap istri dari Ferdy Sambo, yaitu Putri Chandrawati.

Sopir dari Ferdy Sambo menghubungi Kasat Bareskrim untuk mendatangi


tempat kejadian perkara (TKP), yang dimana pihak Kasat Bareskrim Polri merupakan
pihak yang datang pertama ke tempat kejadian perkara. Kemudian, Ferdy Sambo
menghubungi Biro Provos Divisi Propam Polri untuk datang ke TKP dalam perihal
melakukan pendataan dan pengamanan barang bukti. Setelah itu, para saksi, seperti
Kuat Ma’ruf, Bripka Ricky Rizal, dan Bharada Richard Eliezer dibawa ke kantor Biro
Paminal Divisi Propam Polri. Sementara itu, pelaksanaan olah TKP selesai sekitar pukul
19.40 WIB.

Dengan terjadinya peristiwa tembak menembak tersebut, maka dibuat laporan


ke Polres Jakarta Selatan, yaitu laporan tentang dugaan percobaan pembunuhan
terhadap Bharada Richard Eliezer dan laporan oleh Putri Chandrawati terkait dugaan
perbuatan pelecehan dan ancaman kekeraasan di Duren Tiga yang dilakukan Brigadir
Josua. Disisi lain, jenazah Brigadir Josua dibawa ke RS Bhayangkara polri tingkat satu
di Kramat Jati dengan menggunakan mobil serta dikawal dengan mobil dinas Biro
Provos Divisi Propam Polri, dan kendaraan operasional Satreskim Polres Jakarta
Selatan. Kemudian, jenazah Brigadir Josua dimasukkan ke RS Polri Kramat Jati untuk
dilakukan pemeriksaan luar setelah menunggu kelengkapan syarat berupa surat
administrasi permintaan visuo dari pihak penyidik. Pemeriksaan luar tersebut selesai
pada hari Sabtu, 9 Juli 2022.

Pihak penyidik Polres Metro Jakarta Selatan mendatangi kantor Biro Paminal
Divisi Propam Polri untuk membuat berita acara pemeriksaan saksi-saksi, yakni
Bharada E, Bripka Ricky, dan Kuat Ma’ruf. Namun. Penyidik mendapatkan intervensi
dari personel Biro Paminal Divisi Propam (Divpropam) Polri. Dalam hal pembuatan
berita acara, pihak penyidik hanya diperbolehkan untuk mengubah format berita acara
interogasi yang dilakukan oleh Biro Paminal Divisi Propam Polri yang diubah menjadi
berita acara pemeriksaan.

Setelah itu, personel Divpropam Polri mengarahkan pihak penyidik dan saksi
untuk melakukan rekontruksi kejadian di TKP. Setelah melakukan rekontruksi di TKP,
para saksi menuju rumah Ferdy Sambo di Saguling. Disaat yang bersamaan, personil
Biro Paminal menyisir TKP dan memerintahkan untuk mengganti hard disk CCTV tang
berada di pos satpam Duren Tiga. Kemudian hard disk tersebut diamankan oleh personil
Divpropam Polri.

Pada hari Sabtu tepatnya pada tanggal 9 Juli 2022, pihak keluarga Brigadir
Josua tidak elah diperbolehkan untuk melihat kondisi jenazah. Hal tersebut
mengkibatkan adanya penolakan penerimaan dan penandatanganan berita acara serah
terima apabila tidak melihat kondisi jenazah Brigadir Josua. Setelah pihak keluarga
Brigadir Josua diberi izin untuk melihta kondisi jenazah tetapi hanya setangah badan ke
atas, pihak keluarga pun melihat adanya luka-luka dan jahitan di wajah Brigadir Josua.
Sehingga, pihak keluarga pun menerima penjelasan bahwa Brigadir Josua meninggal
setelah terlibat tembak-menembak antara Brigadir Josua dengan Bharada Eliezer.
Setelah pihak keluarga Brigadir Josua mendengar penjelasan terkait jumlah tembakan
dan jumlah ditubuh Brigadir Josua, pihak keluarga tidak percaya dan kemudian
mempertanyakan masalah CCTV yang ada di tempat kejadian. Oleh karena itu, muncul
berbagai kejanggalan lain yang kemudian viral di media.

Kemudian, Kepala Biro Penerangan Msyarakat (Karopenmas) Divisi Humas


Polri Brigjen Pol. Ahmad Ramadhan melakukan konferensi pers terkait dengan
peristiwa meninggalnya Brigadir Josua. Saat itu Karo Penmas terkesan kurang
menguasai materi karena mendapatkan bahan yang tidak utuh dan telah direkayasa oleh
personel Divpropam Polri. Oleh karena itu, menyebabkan publik bertanya-tanya (Listyo
Sigit). Kapolres Metro Jakarta Selatan akhirnya melakukan konferensi pers terkait
penanganan perkara yang lebih lengkap. Polres Metro Jakarta Selatan telah melakukan
olah TKP dan memeriksa empat orang saksi di TKP. Akan tetapi, pemeriksaan yang
dilakukan Polres Metro Jakarta Selatan telah mendapatkan intervensi dari Ferdy Sambo,
sehingga proses penyidikan dan olah TKP yang dilaksanakan menjadi tidak profesional.
Dengan berbagai kejanggalan yang ada, maka Kapolri membentuk Tim Khusus
Polri berdasarkan SPRIN Nomor SPRIN/5647/VII/HUK.12.1/2022 tanggal 12 Juli
2022. Tim ini bertugas untuk mengungkap peristiwa yang terjadi seusai fakta, objektif,
transparan, dan akuntabel. Selain itu, Tim Khusus tersebut juga bepegang teguh pada
kaidah-kaidah penyelidikan dan penyidikan dalam scientific crime investigation dan
prinsip-prinsip hak asasi manusia. Investigasi yang dilakukan oleh Tim Khusus tersebut
melibatkan berbagai pihak, yaitu Kompolnas dan Komnas HAM untuk melakukan
pengawasan, pengujian dan pemeriksaan terkait dengan persitwa penembakan di Duren
Tiga.

Selanjutnya, Polri dan Timsus Polri mendapatkan laporan dari kuasa Hukum
Brigadir Josua terkait dugaan pembunuhan dan/atau pembunuhan berencana, dan/atau
penganiayaan berat terdapat Brigadir Josua. Adapun dua laporan yang berada di Polres
Jakarta Selatan, yaitu laporan terkait dugaan percobaan pembunuhan dan laporan terkait
dugaan perbuatan pelecehan, dilimpahkan ke Polda Metro. Kemudian jenazah Brigadir
Josua diautopsi ulang yang dilakukan oleh Tim Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia
(PDFI) yang terdiri atas 8 dokter dengan didampingi Komnas HAM dan Kompolnas.

Kemudian tanggal 21 Juli sampai 5 Agustus 2022, Kapolri memimpin Anev


(Analisa dan Evaluasi Bersama Timsus Polri. Anev ini doselenggarakan dengan
mengundang satuan kerja terkait untuk mengetahui perkembangan pemeriksaan yang
suadh berjalan. Pada saat Anev tersebut mengungkapkan adanya hambatan penyidikan,
yakni adanya intimidasi, tekanan, intervensi, upaya mengaburkan fakta dan
menghilangkan barang bukti yang dilakukan oleh beberapa oknum personil Divisi
Propam Polri. Berdasarkan hasil dari introgasi, Timsus mendapatkan kejelasan bahwa
CCTV di pos satpam diambil oleh anggota ataupun petugas dari personil Divpropam
Polri, serta terdapat personil dari Bareskrim Polri yang terlibat dalam pengambilan
CCTV di pos satpam.

Berdasarkan temuan tersebut, maka dapat diakatakan bahwasannya perbuatan


tersebut adalah perbuatan yang melanggar kode etik terhadap profesi Polri. Kemudian,
pada 3 Agustus 2022, Bharada Eliezer ditetapkan sebagai tersangka dengan sangkaan
Pasal 338 jo Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. Pada 4 Agustus 2022, terdapat laporan hasil
pemeriksaan internal dan ditemukan perbuatan personil-personil yang menghambat
proses penyidik. Dengan demikian, ditetapkan 25 orang pelanggar yang tidak
profesional dalam penanganan olah TKP pada saat penanganan awal. Adapun yang
dimaksud dengan tidak profesional adalah adanya upaya untuk menghilangkan barang
bukti, merekayasa kasus, dan menghalangi proses penegakan hukum atau yang
obstruction of justice. Setelah terjadinya pergantian, mutasi, dan diisi dengan para
pejabat baru, sehingga hambatan-hambatan yang selama ini dirasakan oleh penyidik
mulai berkurang. Penyidikan berjalan lancar dan membuahkan hasil.

Pada 5 Agustus 2022, Bharada Eliezer yang telah ditetapkan sebagai tersangka
menyampaikan perubahan terkait pengakuan sebelumnya. Pengakuan tersebut berubah,
karena terkait dengan pangakuan awal, Bharada Eliezer mendapatkan janji dari Ferdy
Sambo akan membantu melakukan atau memberikan Surat Penghentian Penyidikan
Perkara (SP3) terhadap kasus itu. Hasilnya, Bharada Eliezer tetap menajdi tersangka.
Atas dasar tersebut, ia menyampaikan akan mengatakan atau memberikan keterangan
secara jujur dan terbuka.

Setelah itu, Bharada Eliezer menuangkan pengakuannya secara tulis dengan


urut, yakni dari peristiwa di Magelang, Jawa tengah, hingga peristiwa di Duren Tiga
pada 6 Agustus 2022. Bharada Eliezer kemudian meminta perlindungan ke LPSK untuk
menjadi justice collaborator. Kemudian, Kapolri mengumumkan penetapan tersangka
pada Ferdy Sambo, Bripka Ricky Rizal atau Bripka R, dan Kuat Ma’ruf. Sebelumnya,
Ferdy Sambo sempat tidak mengakui perbuatannya. Akan tetapi, setelah tiga tersangka
lainnya memberikan pengakuan, Ferdy Sambo akhirnya mengakui segala perbuatannya.
Ferdy Sambo memerintahkan Bharada Eliezer untuk Brigadir Josua, kemudian Ferdy
Sambo membuat skenario dan merekayasa seolah-olah terjadi peristiwa tembak-
menembak. Timsus kemudian melakukan pemeriksaan secara profesional dan cermat,
sesuai dengan konstruksi peristiwa yang terjadi. Timsus melakukan pemeriksaan dengan
memperhatikan fakta-fakta yang didapatkan dan kesesuaian alat bukti. Dari proses
pemeriksaan kode etik, sebanyak 97 personil Polri telah diperiksa, 35 personil diduga
melakukan pelanggaran kode etik profesi Polri, dan 18 personil telah dilakukan
penempatan khusus.

Dengan demikian, Kapolri menyatakan bahwa kronologi awal terjadinya


pelecehan yang mengakibatkan peristiwa tembak menembak di rumah dinas tidaklah
benar. Terdapat upaya merekayasa TKP. Listyo Sigit menegaskan bahwa peristiwa
penembakan yang terjadi di Duren Tiga diduga dilakukan perencanaan terlebih dahulu
oleh Ferdy Sambo di rumah Saguling yang diketahui oleh Putri Chandrawati dan
Bharada Eliezer. Bharada Eliezer melakukan penembakan Brigadir Josua atas perintah
Ferdy Sambo, disaksikan oleh Bripka R dan Kuat Ma’ruf, juga perannya untuk ikut
membantu. Setelah penembakan, Ferdy Sambo melakukan penembakan ke arah tembok.
Motif peristiwa ini, berdasarkan Kapolri terkait dengan kesusilaan yang masih belum
dapat dipastikan apakah pelecehan atau perselingkuhan. Pihaknya baru bisa memastikan
motif perencanaan setelah memeriksa Putri Candrawati selaku tersangka.

Kemudian, Irjen Ferdy Sambo dinyatakan bersalah karena telah melanggar


kode etik profesi Polri dalam sidang yang digelar di Transnational Crime Center
(TNCC). Kadiv humas Mabes Polri Irjen Dedi Prasetyo mengatakan keterangan saksi
dan pelanggar telah disumpah sehingga pimpinan sidang menetapkan Ferdy Sambo
bersalah. Irjen Dedi menjelaskan seidang komisi kode etik telah menjatuhkan sanksi
kepada Ferdy Sambo. Dia mengatakan perbuatan Ferdy Sambo dinyatakan sebagai
perbuatan tercela dengan melanggar kode etik profesi Polri. Selanjutnya, Dedi
menuturkan sanksi administratif diberikan kepada Ferdy Sambo dengan ditempatkan
ditempat khusus selama 21 hari. Meski demikian, Ferdy Sambo mengajukan banding
terkait putusan tersebut. Menurut Dedi, hal tersebut merupakan hak pelanggar yang
akan diberikan kesempatan selama tiga hari untuk banding.1

ISU HUKUM

Istilah “tindak pidana” berasal dari Bahasa Belanda, yaitu “strafbaarfeit”. Para
sarjana Indonesia memiliki terjemahan masing-masing dalam mengartikan istilah
tersebut, yaitu tindak pidana, delik, perbuatan pidana. Sedangkan di dalam perundang-
undangan juga menggunakan istilah tersebut, namun dengan istilah yang berbeda tetapi
menunjukan kepada pengertian strafbaarfeit. Misalnya, peristiwa pidana, hal yang
diancam dengan hukum, perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, dan tindak pidana.

1
Muhammad Zaenuddin, https://www.tvonenews.com/berita/nasional/63620-kronologi-
lengkap-kasus-brigadir-j-dari-skenario-palsu-hingga-dikumpulkannya-5-tersangka-di-lokasi-penembakan,
Diakses pada 7 Oktober 2023
Pompe menyatakan bahwa pengertian strafbaarfeit dibedakan menjadi dua,
yaitu:

1. Definisi berdasarkan teori, yaitu suatu perbuatan yang melanggar norma,


yang disebabkan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana
dalam rangka mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan atau
mempertahankan kesejahteraan umum.
2. Definisi berdasarkan hukum positif, yaitu suatu persitiwa (feit) yang telah
diatur di dalam undang-undang sebagai perbuatan yang dapat dikenakan
pidana.

Dalam hukum pidana terdapat konsep pertanggungjawaban (liability) yang


merupakan konsep utama. Kemudian dikenal dalam bahasa Latin dengan sebutan “mens
rea”. Mens rea ini merupakan suatu perbuatan yang tidak menyebabkan seseorang
bersalah dengan pengecualian orang itu jahat. Dalam hal ini, pertanggungjawaban
pidana merupakan penentuan apakah tindak pidana yang dilakukan seseorang dapat
dipertanggungjawabkan atau tidak.2 Dalam kasus pembunuhan Brigadir J, penulis
menyatakan bahwa pelaku dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana, karena telah
memenuhi unsur pertanggungjawaban pidana.

Dalam berbagai macam tindak pidana yang diatur oleh undang-undang, dalam
hal ini salah satunya adalah pembunuhan. Menurut terminologi, pembunuhan adalah
perkara membunuh. Berbeda dengan pengertian dalam istilah pidana. Dalam istilah
pidana, pembunuhan merupakan suatu kesengajaan atau ketidaksengajaan
mengilangkan nyawa seseorang.3 Dalam kasus ini yang difokuskan penulis adalah
pembunuhan berencana. Mitchell dan Robert menyatakan tindak pidana pembunuhan
dengan berencana harus diperberat sebagai bentuk keseriusan terhadap pelanggaran
dengan pertanggungjawaban yang lebih tinggi.4

Dalam kasus Pembunuhan Brigadir Joshua merupakan kategori pembunuhan


berencana. Jika dilihat dalam KUHP Tahun 2023 pembunuhan berencana telah diatur

2
Munajat, Kartono, “Pertanggungjawababn Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana
Penganiayaan Yang Mengakibatkan Luka Berat”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2, No. 2, 2019, hlm. 659-661
3
Bagus Hadi Mustofa, “Perbedaan Hukuman Bagi Pelaku Pembunuhan Dalam Islam Dan
Pidana”, Journal of Islamic Studies, Vol. 1, No. 2, 2020, hlm. 148
4
Echwan Iriyanto dan Halif, “Unsur Rencana Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Berencana”,
Jurnal Komisi Yudisial, Vol. 14, No. 1, 2021, hlm 28
dalam Pasal 459, bahwasannya “Setiap orang yang dengan rencana terlebih dahulu
merampas nyawa orang lain, dipidana karena pembunuhan berencana, dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua
puluh) tahun”.5

Selanjutnya penulis akan membahas terkait bukti dalam kasus tersebut. Dari
kasus tesebut terdapat pula bukti-bukti yang dapat dijadikan sebagai dasar terjadinya
tindak pidana. Walaupun CCTV yang mengalami kerusakan, namun hal tersebut tidak
menjadi sebuah permasalahan yang serius. Pada kasus pembunuhan Brigadir Joshua
dalam rangka mengetahui bukti pembunuhan tersebut dapat dilakukan dengan cara
mengambil keterangan atau pengakuan dari saksi pelaku satu dengan yang lainnya serta
bekerjasama (justice collabolator). Pada dasarnya, justice collabolator bersumber dari
Pasal 37 ayat (2) Konvensi PBB Anti Korupsi yang telah disetujui oleh pemerintah
Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Pengesashan
Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun 2003. Namun, hal tersebut juga berlaku dalam
hukum pidana.6

Sebelum adanya pengakuan dari para pelaku, kasus tersebut telah dibuat
skenario oleh Ferdy Sambo yang dimana seolah-olah pada saat itu terjadi baku tembak
antara polisi dengan polisi. Baku tembak antara polisi dengan polisi tersebut merupakan
pernyataan yang tidak benar dari pengakuan Ferdy Sambo serta Richard Erliezer yang
berperan sebagai suruhannya. Dari pernyataan tersebut dapat dijadikan sebagai
keterangan bukti untuk mengetahui terbunuhnya Brigadir J. Pada akhirnya, keterangan
saksi yang didapat dari para pelaku menemukan titik terang dalam kasus tersebut.
Sehingga, Penuntut Umum dan Hakim dapat mengetahui kronologi yang sebenarnya.

PEMBAHASAN

Dalam Islam, istilah pembunuhan disebut “al-qatlu”. Ancaman hukuman bagi


pelaku pembunuhan adalah qishash. Dari segi bahasa qisash berasal dari Bahasa Arab,
yang berasal dari kata qassa, yaqussu, qasasan. Kata-kata tersebut memiliki arti, yaitu
mengikuti, menelusuri jejak atau langkah. Sedangkan menurut istilah, definisi qisash

5
Lihat Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 459 Tentang Pembunuhan Yang Disertai
Rencana Tahun 2023
6
Totok Sugiarto, dkk, Pembunuhan Berencana dalam Pasal 340 KUHP dalam Perspektif Justice
Collaborator, Jurnal Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Islam, Vol. 26, No. 1, 2023, hlm. 129
yang dikemukakan oleh Al-Jurjani adalah dikenakannya sebuah tindakan berupa sanksi
hukum yang dijatuhkan kepada pelaku persis dengan perbuatan yang dilakukan oleh
pelaku terhadap korban. Adapun definisi qisash dalam Al-Mu’jam Al-Wasit, bahwa
qisash adalah menjatuhkan sanksi terhadap pelaku tindak pidana yang sama persis
dengan perbuatannya, nyawa dibalas dengan nyawa, anggota tubuh dibalas dengan
anggota tubuh.7

Hukuman pada jarimah qisash diberikan sesuai dengan perbuatan kejahatan


yang dilakukan. Maka, sanksinya adalah dibunuh. Penjatuhan sanksi diberikan jika
seseorang melakukan pembunuhan sengaja. Selain itu, tindak pidana seperti
penganiayaan sengaja juga dapat dikenakan qisash, tetapi dalam hal tersebut tidak sama
dengan hukuman qisash pada tindak pidana pembunuhan disengaja. Melainkan akan
mendapatkan hukuman yang sama dengan akibat dari perbuatan penganiayaan secara
sengaja. Misalnya, jika korban penganiayaan mengalami cacat pada salah satu bagian
tubuhnya (contohnya patah tulang pada bagian tangan), maka pelaku akan mendapatkan
hukuman patah tulang pada bagian tangan pula. Namun demikian, pelaksanaan qisash
tidak dapat dilakukan oleh keluarga korban, melainkan dilaksanakan oleh pengadilan
yang membuat putusan dan tentunya terdapat aparat hukum yang berwenang untuk
mengambil eksekusi. Disamping itu, keluarga korban dapat pula untuk memaafkan
perbuatan pelaku dengan membayar diyat yang sudah ditentukan dalam syara’.8

Dalam setiap tindak pidana terdapat pertanggungjawaban terhadap tindakan


yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana merupakan dasar atas
kesalahan. Hal ini berarti yang menjadi acuan pertanggungjawaban yang diberikan
kepada seseorang dapat dilihat dari terbukti atau tidaknya unsur-unsur pidana.9 Adapun
orang yang dapat diberikan pertanggungjawaban pidana merupakan orang yang bukan
hilang akal (gila), melainkan orang yang berakal sehat, baligh, serta atas kemauan
sendiri. Jika orang yang melakukan suatu tindak pidana tetapi tidak memiliki akal yang

7
M. Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), hlm. 4
8
Marfuatul Latifah, “Upaya Transformasi Konsep Jarimah Qisash-Diyat Pada Hukum Positif Melalui
RUU KUHP”, Negara Hukum, Vol. 2, No. 1, 2011, hlm. 139-141
9
Rasyid Ariman, Fahmi Raghib, Hukum Pidana, (Malang: Setara Press, 2015), hlm. 205
sehat alias orang gila atau pelakunya masih anak-anak, maka mereka tidak dapat
dikenakan hukuman.10

Adapun teori pertanggungjawaban menurut Ahmad Hanafi, bahwa


pertanggungjawaban merupakan suatu pembebanan atas seseorang yang telah
melakukan tindak pidana dengan dasar kemauannya sendiri serta telah mengetahui
akibat dari perbuatannya tersebut. Dalam syariat Islam, harus terdapat dasar yang
menjadi acuan seseorang dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana, yaitu:

1. Melakukan perbuatan yang telah dilarang.


2. Suatu perbuatan dilakukan terhadap kemauan sendiri.
3. Pelaku telah mengetahui akibat dari perbuatannya tersebut.11

Apabila ketiga hal tersebut telah terpenuhi semua, maka pertanggungjawaban


dapat diberikan oleh pelaku. Jika sebaliknya pelaku tidak memenuhi ketiga hal tersebut,
maka pertanggungjawaban tidak dapat diberikan oleh pelaku. Jika ketiga hal tersebut
dikaitkan dengan para pelaku dalam kasus pembunuhan Brigadir J merupakan orang
yang memiliki akal sehat, serta sudah baligh dan atas kemauan sendiri. Maka dari itu,
mereka dapat dikenakan pertanggungjawaban terhadap apa yang telah diperbuatnya.
Dalam sudut pandang hukum Islam, para pelaku dapat dikenakan hukuman qishas
berupa penghilangan nyawa atau hukuman mati.

Dalam Bahasa Belanda, pertanggungjawaban disebut teorekenbaardheid atau


dalam Bahasa Inggris criminal responbility. Van Hamel menyatakan bahwa
pertanggungjawaban pidana merupakan suatu kondisi yang normal terhadap psikis serta
kecakapan terhadap tiga kemampuan, yaitu (1) mampu mengerti atas akibat dari
perbuatannya sendiri, (2) mampu menyadari bahwa suatu perbuatan yang dilarang dapat
bertentangan dengan kedamaian, kenyamanan, serta keamanan masyarakat, (3) mampu
menentukan kemauan atas perbuatannya.12 Menurut penulis, pernyataan Van Hamel
dapat disimpulkan bahwasannya pertanggungjawaban merupakan hal yang normal
ketika terjadi suatu peristiwa tindak pidana. Dalam hal ini perlu ditentukannya apakah
seseorang yang melakukan tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan atau tidak. Oleh

10
Zulhamdi, “Konsep Pertanggungjawaban Pidana Dalam Fiqh Jinayah”), hlm. 3
11
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 154
12
Fitri Wahyuni, Dasar-Dasar Hukum Pidana DI Indonesia, (Tangerang Selatan: PT Nusantara Persada
Utama, 2017), hlm. 67
karena itu, Van Hamel menyebutkan tiga hal macam kemampuan seseorang untuk dapat
dipertangungjawabkan atas perbuatannya.

ANALISIS KASUS PEMBUNUHAN BRIGADIR J BERDASARKAN KITAB


UNDANG-UNDANG TINDAL PIDANA TAHUN 2023

Pembunuhan merupakan suatu perbuatan yang melanggar hukum, baik hukum


positif maupun hukum Islam. Karena pembunuhan merupakan perbuatan yang dapat
mengganggu keamanan dan kenyamanan kehidupan bermasyarakat. Di Indonesia telah
mengatur hukuman bagi siapa saja yang melakukan tindak pidana pembunuhan, baik
pembunuhan yang tulen maupun pembunuhan yang diawali dengan suatu tindak pidana
lain terlebih dahulu.

Sebelum penulis memasukkan kasus ini ke dalam ranah KUHP baru, penulis
akan memasukkan kasus ini ke dalam ranah KUHP lama terlebih dahulu. Kasus tersebut
merupakan kasus pembunuhan yang sebelumnya sudah dilakukan perencanaan
pembunuhan terlebih dahulu, artinya sebelum para pelaku melakukan pembunuhan
mereka menyusun rencana untuk membunuh korban. Ketika rencana para pelaku sudah
dilakukan dan menghasilkan akibat yang dilarang dalam peraturan perundang-undangan
lahirlah skenario untuk memanipulasi dari berbagai pihak. Pada kasus ini penulis hanya
menekankan terhadap tindakan pembunuhan berencana yang dilakukan oleh para
pelaku. Dalam hal ini, para pelaku dijerat Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 juncto Pasal 56 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana.

Pada Pasal 340 menjelaskan tentang pembunuhan berencana yang berbunyi,


“Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain,
diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 (dua puluh) tahun”.
Selain itu, para pelaku juga dijerat Pasal 338 tentang pembunuhan sengaja yang
berbunyi, “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena
pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun penjara”.
Sedangkan Pasal yang lainnya yaitu, Pasal 55 dan 56 KUHP tentang persekongkolan
dalam pembunuhan dan perbantuan dalam hal penghilangan nyawa orang lain.
Apabila kasus pembunuhan Brigadir J dimasukkan ke dalam ranah KUHP
baru, maka para pelaku akan dijerat Pasal 458 ayat (1) tentang pembunuhan juncto Pasal
459 tentang pembunuhan berencana. Yang di mana para pelaku dapat dikenakan
hukuman pidana penjara 15 tahun atau paling lama 20 tahun, atau pidana seumur hidup
atau pidana mati. Namun pada esensinya, KUHP baru tidak menjadikan pidana mati
sebagai pidana pokok. Oleh karena itu, para pelaku akan mendapatkan vonis yang
berbeda-beda sesuai dengan perannya masing-masing.

REKOMENDASI HUKUM

Untuk rekomendasi hukum bagi pelaku pembunuhan berencana terhadap


Brigadir J adalah berdasarkan peraturan yang sedang berlaku pada saat ini. Oleh karena
itu, penulis tetap menjeratkan pada Pasal 340 dan 338, yang dimana para pelaku harus
dikenakan hukuman yang berat, yakni hukuman pidana mati atau serendah-rendahnya
pidana penjara sumur hidup atau 20 tahun. Hukuman tersebut diberikan oleh siapa saja
yang terlibat dalam kasus tersebut, maka baik pelaku memberikan keterangan atau bukti
yang dianggap sebagai titik terang harus dikenakan hukuman yang cukup berat.

KESIMPULAN

Dari uraian diatas penulis simpulkan bahwasannya pembunuhan merupakan


suatu perbuatan yang amat sangat dibenci serta dilaknat oleh Allah SWT. Maka dari itu,
demi terciptanya kenyamanan, keamanan, dan kedamaian dalam hidup bermasyarakat
terdapat hukum atau peraturan yang bertujuan untuk mengatur perbuatan manusia agar
tidak sewenangnya sendiri. Di Indonesia sendiri telah diatur oleh undang-undang
tentang pembunuhan. Adanya pembentukan peraturan tersebut adalah untuk
memberikan peringatan bagi siapa saja yang ingin melakukan pembunuhan serta
menciptakan kehidupan bermasyarakat yang aman supaya dijauhi dari hal-hal yang
dapat merugikan masyarakat.

Esensinya adalah peraturan perundang-undangan dibentuk untuk menghukum


para pelaku yang telah berbuat tindak pidana. Menghukum para pelaku adalah upaya
pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya tersebut, agar bertujuan untuk
menciptakan rasa jera pada si pelaku. Dalam teori pertanggungjawaban, suatu perbuatan
dapat dipertanggungjawabakan apabila telah memenuhi unsurnya. Maka dari itu,
penulis menganggap bahwa para pelaku pembunuhan Brigadir J sudah memenuhi unsur
pertanggungjawaban, sehingga para pelaku dapat diberikan pertanggungjawaban
pidana.

Anda mungkin juga menyukai