Anda di halaman 1dari 6

ANALISIS PERLINDUNGAN KORBAN BERDASARKAN

VIKTIMOLOGI DALAM DIREKTORI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG


Nomor 841/Pid.B/2021/PN Bks

Muhammad Istaqi Malaka


212131071
Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta
Program Studi Hukum Pidana Islam

Pendahuluan

Indonesia merupakan bukan negara yang diatur oleh kekuasaan tetapi


diatur oleh hukum (undang-undang). Hal tersebut selaras dengan yang telah
disebutkan Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945 yang menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara hukum.
Dalam membicarakan hukum tentunya terdapat pembatasan terhadap perilaku
manusia agar dapat terkontrol, sehingga kehidupan manusia akan bebas dari
adanya penyimpangan perilaku manusia. Selain itu, hukum juga digunakan untuk
menegakkan dan mendapatkan keadilan. Oleh karena itu, siapapun mereka baik
korban ataupun pelaku tetap berhak untuk mendapatkan pembelaan di depan
hukum. Maka dari itu, hukum adalah ketentuan atau peraturan baik tertulis
maupun tertulis yang harus dipatuhi serta bagi orang yang melanggarnya akan
dikenakan sanksi.1

Dalam mempelajari tentang korban kejahatan tidak dapat dilepaskan dari


istilah viktimologi. Dalam mempelajari ruang lingkup tentang viktimologi
terdapat bermacam aspek yang berhubungan dengan korban, diantaranya hak-hak

1
Fazri Maulana, dkk, “Tinjauan Viktimologi Terhadap Korban Tindak Pidana Penganiayaan Yang
Mengakibatkan Luka Berat Di Hubungkan Dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan
Korban”, Jurnal Rechtscienta Hukum, Vol. 3, No. 1, 2023, hlm. 64
dan kewajiban korban, perlindungan terhadap korban, tujuan pengaturan korban
dan lain-lainnya.2

Pembahasan

A. Definisi Viktimologi
Istilah viktimologi berasal dari dua kata, yaitu victim dan logi. Kata
“victim” berarti korban, sedangkan kata “logi” berarti ilmu pengetahuan.
Kedua kata tersebut merupakan berasal dari Bahasa Latin, yaitu victima
(korban) dan logos (ilmu pengetahuan). Jika diambil dalam pengertian yang
mudah, maka viktimologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang korban
kejahatan.
Menurut Abdussalam dalam kamus Crime Dictiobary bahwa victim
ialah perbuatan pidana seseorang yang mengakibatkan munculnya penderitaan
terhadap orang lain baik fisik maupun mental, atau kerugian terhadap harta
benda atau mengakibatkan mati. Adapun definisi victim menurut Arif Gosita,
bahwa yang dimaksud dengan victim ialah mereka yang mengalami
penderitaan jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat perbuatan orang lain untuk
mencari pemenuhan diri sendiri atau orang lain serta bertentangan dengan
kepentingan dan hak asasi bagi yang menderita.3
B. Hasil Analisis
1) Faktor Timbulnya Korban
Dalam suatu tindak pidana sudah dipastikan ada pihak yang
dirugikan. Pihak yang dirugikan tersebut adalah korban dari tindak
kejahatan. Korban tindak pidana mendapatkan hak-hak dihadapan hukum.
Oleh karena itu, korban dari tindak pidana berhak untuk melaporkan pelaku
atas perbuatan yang merugikan si korban.
Adapun faktor yang menjadi penyebab terjadinya penganiayaan
dalam kasus penganiayaan dengan nomor putusan 841/Pid.B/2021/PN Bks

2
Yeni Widowaty, Viktimologi: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Lingkungan
Hidup, (Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2011), hlm. 23
3
Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Korban & Saksi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011),
hlm. 9
adalah karena pelaku mengambil telepon genggam milik saudara korban
ketika sedang melakukan tambal ban pada motor pelaku. Kemudian, saudara
korban menghadang pelaku dan teman-temannya untuk pergi dan meminta
telepon genggam yang diambilnya untuk dikembalikan. Setelah itu, korban
meminta jaminan telepon genggam milik pelaku untuk diberikan kepada
korban. Singkat cerita, ketika pelaku menanyakan kepada korban tentang
telepon genggam yang sudah dijadikan jaminan korban tidak
mengetahuinya. Kemudian pelaku melakukan penembakan menggunakan
air softgun ke tubuh korban. perlu diketahui bahwasannya faktor terjadinya
penganiayaan pada kasus tersebut dapat dilihat dari berbagai sisi.
Faktor yang pertama adalah adanya perbuatan dari pelaku yang
seolah-olah mencuri barang milik saudara korban sehingga timbulah rasa
curiga terhadap pelaku dan terjadi penjaminan barang pelaku dengan
saudara korban. Faktor yang kedua adalah tidak adanya kehati-hatian si
korban dalam meletakkan barang berharga sehingga hal tersebut dapat
memancing pelaku untuk mengambilnya. Perlu diperhatikan pula bahwa
timbulnya korban dalam kasus tersebut tidak hanya dari pelaku saja yang
melakukan penganiayaan, namun karena hal lain yaitu adanya ketidak hati-
hatian juga dapat menjadi faktor penyebab terjadinya penganiayaan atau
tindak pidana lain.
2) Perlindungan Hukum Terhadap Korban
Dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang nomor 13 tahun 2006 yang
dimaksud perlindungan ialah segala bentuk usaha untuk pemenuhan hak dan
pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan atau
korban yang harus dilakukan oleh lembaga terkait. Dalam hal ini
perlindungan bagi masyarakat sangat diperlukan baik perlindungan individu
maupun kelompok. Perlindungan hukum pada korban kejahatan dapat
dilakukan dalam berbagai bentuk, misalnya seperti pemberian ganti rugi,
restitusi dan kompensasi, pelayanan medis, dan bantuan hukum.
Untuk mendapatkan perlindungan harus melakukan beberapa tata
cara sebagai berikut:
1. Pihak yang menjadi saksi dan atau korban mengajukan
permohonan secara tertulis kepada Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban (LPSK).
2. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban melakukan
pemeriksaan terhadap permohonan dan waktu keputusan paling
lambat selama 7 hari, serta keputusan dibuat secara tertulis.
3. Jika Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban menerima
permohonan, maka saksi dan atau korban melakukan
penandatanganan untuk menyatakan kesediaannya dalam
mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan saksi dan atau
korban yang memuat, diantaranya (1) kesediaan saksi atau korban
untuk menyampaikan kesaksian ketika proses peradilan, (2)
kesediaan saksi dan atau korban untuk mematuhi aturan yang
berhubungan dengan keselamatannya, (3) kesediaan saksi dan
atau korban untuk tidak menjalankan hubungan dengan orang lain
dan dengan cara apapun, kecuali atas persetujuan Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban, (4) kewajiban saksi dan atau
korban tidak memberikan informasi apapun kepada siapa saja
mengenai keberadaannya dibawah perlindungan Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban.
4. Lembaga terkait wajib memberikan perlindungan terhadap saksi
dan atau korban termasuk orang yang bersangkutan, sejak
pernyataan kesediaan telah ditandatangani. Kesediaan tersebut
meliputi ganti rugi, retitusi, dan kompensasi.
Pada kasus penganiayaan dengan nomor putusan 841/Pid.B/2021/PN
Bks, perlindungan hukum yang didapat oleh korban adalah dalam bentuk
restitusi. Restitusi dalam perlindungan korban adalah bentuk
pertanggungjawaban terhadap pelaku tindak pidana. Maka, pelaku harus
bertanggungjawab atas perbuatannya, yaitu dengan penjara selama 2 tahun
dan 8 bulan. Dalam kasus penganiayaan tersebut korban telah mendapatkan
bantuan medis untuk melakukan perawatan terhadap luka yang ditimbulkan
dari peluru air softgun yang dimana penulis tidak mengetahui apakah
perawatan medis ditanggung oleh korban atau dari pihak lain.4 Dalam
perihal perlindungan korban, seharusnya korban mendapatkan upaya
pencegahan hukum maupun upaya untuk memulihkan adanya distraksi yang
bisa didapat dari masyarakat atau pemerintah yang melalui penegak
hukumnya. Upaya perlindungan tersebut bisa berupa pemberian
perlindungan atau pengawasan, bantuan medis, proses peradilan yang adil
terhadap pelaku dan lain-lainnya. Dalam kasus penganiayaan dengan nomor
putusan 841/Pid.B/2021/PN Bks, korban tidak mendapatkan bantuan medis
dari pihak terkait. Namun, korban hanya mendapatkan perlindungan hukum
secara restitusi.
3) Sumber Hukum
a) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi
dan Korban
Dalam perlindungan yang diberikan korban adalah berdasarkan asas
yang sudah ada di dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006,
yaitu pengahrgaan atas harkat dan martabat, rasa aman, keadilan, tidak
diskriminatif, kepastian hukum. Upaya yang harus dilakukan oleh korban
untuk mendapatkan perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban, yaitu dengan melakukan beberapa prosedur yang telah ditentukan
oleh lembaga tersebut. Selain itu, untuk mendapatkan perlindungan dari
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban harus memenuhi persyaratan yang
sudah termaktub dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32,
Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Dalam Pasal 28 dijelaskan bahwa korban akan mendapatkan
perlindungan apabila sudah memenuhi persyaratan yang telah dijelaskan
dalam pasal tersebut. Adapun ketentuan dalam Pasal 5 Nomor 6 Tahun 2010
tentang tata cara pemberian perlindungan saksi dan korban menjelaskan

4
Candra Firman, “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Penganiayaan Yang
Dilakukan Secara Bersama-sama”, Skripsi, Universitas Medan Area, hlm. 48-49
bahwa terdapat persyaratan lain untuk mendapatkan perlindungan, yaitu
harus memenuhi persyaratan formil dan materil.
Selain itu, dalam Pasal 29 juga menjelaskan pula tentang tata cara
memperoleh perlindungan yang dimaksud dalam Pasal 5, yaitu:
a. Saksi dan/atau Korban yang bersangkutan. Baik atas inisiatif
sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang,
mengajukan permohonan secara tertullis kepada LPSK,
b. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban segera melakukan
pemeriksaan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud huruf
a,
c. Keputusan LPSK diberikan secara tertulis paling lambat 7 hari
sejak permohonan perlindungan diajukan.
Dalam ketentuan pasal tersebut terdapat pengaturan terkait apakah
permohonan perindungan seharusnya bukan cuma dari pihak korban dan
pejabat yang berwenang, namun diperoleh pula oleh keluarga korban serta
pendamping korban.5

5
Mamay Komariah, “Perlindungan Hukum Saksi Dan Korban Oleh Lembaga Perlindungan Saksi
Dan Korban (LPSK)”, hlm. 236-237

Anda mungkin juga menyukai