Anda di halaman 1dari 31

PROPOSAL SKRIPSI

PEMENUHAN HAK ANAK KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN MENURUT

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 Tahun 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK (studi kasus

putusan nomor 533/Pid.Sus/2021/Pn Mgl)

Disusun Oleh:
Apri Setia Wiratama
NIM : 19010000053

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MERDEKA MALANG
2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah daerah yang berlandaskan aturan hukum, oleh sebab itu semua aktivitas

yang dilakukan oleh khalayak atau penduduk yang dimana ialah kegiatan hidupnya berlandaskan

kebijakan kepada yang telah tersedia serta aruran- aturan yang berlangsung di tengah khalayak.

Kriminalitas makin meluas lewat berbagai gaya yang berlainan sampai-sarnpai bersama alat

yang kian kompleks serta maju mengakibatkan kriminalitas kian makin menggelisahkan

penduduk. Kriminalitas bisa muncul di manapun dan kapanpun. Bisa didefinisikan bahwasannya

kriminalitas berlangsung dalam tiap kehidupan di masyarakat, sehingga terjadilah kejahatan yang

bisa melebihi batasan kehidupan.

Manusia merupakan makhluk ciptaa yang Maha Esa yang memiliki harkat, martabat dan

kedudukan yang sama di hadapan-Nya. Semenjak menusia dilahirkan, manusia telah bergaul

dengan manusia lainnya dalam wadah yang kita kenal sebagai masyarakat. 1 Dalam menjalani

kehidupan, manusia sebagai makhluk sosial (homo socius) tidak bisa dilepaskan dari kehidupan

yang berinteraksi. Hal ini muncul karena manusia memiliki berbagai keterbatasan, baik itu secara

fisik maupun non-fisik yang secara tidak langsung mendorong masyarakat untuk terlibat aktif

dalam kehidupan sosial.

Permasalahan kejahatan merupakan perubahan sosial yang dilakukan untuk mengikuti

perkembangan zaman sehingga bentuk suatu kejahatan bervariasi dan bermacam – macam mulai

dari kejahatan konvensional yaitu penipuan, pemerkosaan, pencurian, pembunuhan dan

kejahatan yang berbasis menggunakanntekonologinseperti CyberaCrime, serta bentuk kejahatan

1
Teguh Prasetyo, 2013, Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali Pers, hlm 1
lainnya. Peningkatan kejahatan ini sering terjadi dikarenakan adanya perubahan sosial yang

memicunya.

Didalam kehidupan masyarakat salah satu kejahatan atau tindak pidana yang dapat sangat

merugikan dan meresahkan masyarakat dewasa ini adalah bentuk kejahatan seksial seperti

perbutan kesusilaan dan pemerkosaan atau pencabulan. Tindak pidana pemerkosaan merupakan

salah satu bentuk kekerasan terhadap perenpuan dewasa serta anak yang masih dibawah umur

rentan akan menjadi korban pemerkosaan.2

Tindak pidana pemerkosaan adalah suatu perbuatan yang dinilai bertentangan dengan

seluruh norma yang ada, karena hal tersebut dilakukan dengan cara yang memaksa seseorang

(perempuan) untuk bersetubuh di luar perkawinan. Menurut Soetandyo Wignjosoebroto

mengemukakan bahwa tindak pidana pemerkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu

seksual oleh seorang laki-laki terhadap seorang perempuan dengan cara menurut moral dan atau

hukum yang berlaku melanggar.3

Pencabulan merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang terberat. Dalam

Konvensi PBB tentang penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan bahkan sudah menjangkau

perlindungan perempuan sampai ke dalam urusan rumah tangga seperti kasus “marital

rape”(pemerkosaan dalam perkawinan), tidak sebatas hak perempuan di luar atau rumah atau

sektor publik. Pemerkosaan termasuk salah satu perbuatan jahat dan keji yang selain melanggar

HAM, juga mengakibatkan derita fisik, sosial maupun psikologis terhadap perempuan. Artinya

ada derita ganda yang ditanggung oleh pihak korban akibat pemerkosaan tersebut.4 Kejahatan

pemerkosaan dalam KUHP diatur pada Pasal 285 yang menyatakan:

2
Vilta Biljana Bernadethe Lefaan, Yana Suryana, 2019, Tinjauan Psikologi Hukum Dalam Perlindungan Anak,
Yogyakarta: Deepublish, hlm 1
3
Wahid, Abdul dan Irfan, Muhammad, 2001, Perlindungan Terhadap Kekerasan Seksual, Bandung: Refika
Aditama, hlm 40
4
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 285
”Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita
bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.5

Anak wajib dilindungi agar mereka tidak menjadi korban tindakan siapa saja (individu atau

kelompok, organisasi swasta maupun pemerintah) baik secara langsung maupun secara tidak

langsung. Korban adalah mereka yang menderita kerugiaan (mental,fisik,sosial), karena tindakan

yang pasif, atau tindakan aktif orang lain atau kelompok (swasta atau pemerintah), baik langsung

maupun tidak langsung. Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai

macam tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai bidang

kehidupan dan penghidupan. Anak harus dibantu oleh orang lain dalam melindungi dirinya,

mengingat situasi dan kondisinya.

Ruang lingkup mengenai korban kejatan mencakup tiga hal, yaitu siapa yang menjadi

korban, penderitaan atau kerugian apakah yang dialami korban kejahatan dan siapa yang

bertanggung jawab dan/atau bagaimana penderitaan dan kerugian yang dialami korban dapat

dipulihkan. Kerugian dan penderitaan korban suatu tindak pidana dapat berupa materi, fifik,

psikologis, dan sosial. Pengelompokan kerugian atau penderitaan tersebut tidak berarti bahwa

seorang korban hanya mengalami salah satu kerugian atau penderitaan saja karena pada beberapa

jenis tindak pidana dapat pula dijumpai berbagai kerugian dan penderitaan yang dirasakan

sekaligus, termasuk korban tindak pidana pencabulan mengalami beberapa kerugian dan

penderitaan sekaligus, kerugian meteriil dan juga penderitaan psikis dan fisik. Kerugian materi

dapat berupa uang dan hilangnya pendapatan yang seharusnya diperoleh. Di samping kerugian

yang diderita saat terjadinya tindak pidana juga dapat terjadi kerugian materi setelah tindak

pidana terjadi. Kerugian atau penderitaan fisik yang mudah terlihat dari penderitaan yang

5
Ibid
lainnya. Ini mempunyai dampak yang bervariasi sesuai dengan tingkat keseriusan luka yang

diderita oleh korban.

Pada dasarnya bentuk-bentuk dan model perlindungan terhadap korban kejahatan dapat

juga diberikan kepada korban tindak pidana pencabulan, untuk lebih mendalami bentuk

perlindungan terhadap korban kejahatan perdagangan orang, maka terdapat beberapa bentuk atau

model perlindungan yang dapat diberikan kepada korban, yaitu sebagai berikut:6

1. Pemberian Restitusi dan Kompensasi

Setiap korban tindak pidana pencabulan atau ahli warisnya berhak memperoleh

restitusi dari pelaku. Restitusi ini merupakan ganti kerugian atas kehilangan kekayaan

atau penghasilan, penderitaan, biaya untuk tindaan perawatan medis dan/atau

psikologis dan/atau kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat pencabulan.

2. Layanan Konseling dan Pelayanan/Bantuan Medis

Pada umumnya perlindungan yang diberikan kepada korban sebagai akibat tindak

pidana pencabulan dapat bersifat fisik maupun psikis. Akibat yang bersifat psikis lebih

lama untuk memulihkan dari pada akibat yang bersifat fisik. Oleh karena itu,

diperlukan pendampingan atau konseling untuk membantu korban dalam rangka

memulihkan kondisi psikologisnya seperti semula..

3. Bantuan hukum

Korban tindak pidana termasuk tindak pidana pencabulan hendaknya diberikan banuan

hukum. Ketika korban memutuskan untuk menyelesaikan kasusnya melalui jalur

hukum, maka Negara wajib memfasilitasinya.

4. Pemberian informasi

6
Farhana, 2010. Aspek Hukum Perdagangan Orang di indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 154
Pemberian infosmasi kepada korban atau keluarganya berkaitan dengan proses

penyelidikan dan pemeriksaan tindak pidana yang dialami korban.

Hak-hak korban dalam undang-undang dinyatakan dalam pasal 5 ayat (1) antara lain

memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari

ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya; ikut serta

dalam memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; memberikan

keteranan tanpa tekanan; mendapat penerjemah; bebas dari pernyataan yang menjerat; mendapat

informasi mengenai perkembangan kasus dan putusan pengadilan; mendapat identitas baru dan

kediaman baru; memperoleh pergantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; mendapat

nasihat hukum; memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan

berakhir.7 Perlindungan kepada korban, selain diwujudkan dalam bentuk dipidananya pelaku

juga diwujudkan dalam bentu pemenuhan hak-hak korban tindak pidana pencabulan.

Sejauh ini undang-undang yang paling banyak digunakan dalam melakukan perlindungan

saksi dan korban adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan

Korban. Adapun perlindungan terhadap korban dan saksi tertera pada Pasal 5 ayat (1)

mengatakan bahwa Seorang Saksi dan Korban berhak:

a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta

bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah

diberikannya

b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan

keamanan

c. memberikan keternagan tanpa tekanan

d. mendapat penerjemah
7
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
e. bebas dari pertanyaan yang menjerat

f. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus

g. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan

h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan

i. mendapat identitas baru

j. mendapatkan tempat kediaman baru

k. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan

l. mendapat nasihat hukum

m. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir

Pada ayat (2) mengatakan bahwa Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan

kepada Saksi dan/atau Korban tindak pidana dalam kasuskasus tertentu sesuai dengan keputusan

LPSK (lembaga perlindungan saksi dan korban). Perlindungan lain dapat ditemukan pada Pasal 6

ayat (1) bahwa Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain berhak atas hak

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak untuk mendapatkan: bantuan medis; dan

bantuan rehabilitasi psiko-sosial. Perlindungan dan hak saksi dan korban diberikan sejak tahap

penyelidikan dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam undang-

undang ini.

Dalam memutuskan suatu perkara yang terpenting adalah fakta atau peristiwanya dengan

mengetahui secara obyektif duduk perkaranya. Peristiwa. Selain itu, dalam menjatuhkan setiap

putusan hakim harus memerlihatkan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Putusan itu

harus adil, mengandung kepastian hukum, tetapi harus pula mengandung manfaat bagi yang

bersangkutan dan masyarakat. Seharusnya dalam putusan tersebut hakim juga harus

mempertimbangkan terhadap hak-hak korban pencabulan. Sehingga penulis tertarik untuk


menganalisis lebih lanjut dalam kasus pencabulan dengan memperhatikan kerugian yang di

perolah oleh korban dengan mengangkat judul PEMENUHAN HAK ANAK KORBAN

TINDAK PIDANA PENCABULAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 35 Tahun

2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK (studi kasus putusan nomor

533/Pid.Sus/2021/Pn Mgl).

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaturan pemenuhan hak terkait anak yang menjadi korban pencabulan

ditinjau dari putusan nomor 533/Pid.Sus/2021/PN Mgl?

2. Bagaimana penerapan perlindungan hukum terhadap anak korban pencabulan dari

putusan nomor 533/Pid.Sus/2021/PN Mgl?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian merupakan pemikiran sistematis mengenai suatu masalah yang pemecahannya

memerlukan pengumpulan data dan penafsiran kata. Maka penulis secara khusus menuliskan

tujuan penelitian ini sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan hak terkait anak yang menjadi korban

pencabulan ditinjau dari putusan nomor 533/Pid.Sus/2021/PN Mgl

2. Untuk mengetahui dan menganalisis penerapan perlindungan hukum terhadap anak

korban pencabulan dari putusan nomor 533/Pid.Sus/2021/PN Mgl

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan yang terbagi menjadi dua bagian,

yaitu:

1. Manfaat teoritis
Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan gambaran, menambah atau

memperkaya ilmu pengetahuan khususnya pengembangan teori hukum pidana

sekaligus menjadi bahan pemikiran dalam membentuk suatu konsep perlindungan

hukum pidana terhadap perempuan penyandang disabilitas sebagai korban tindak

pidana pemerkosaan. Serta penulisan skripsi ini diharapkan dapat berguna dan menjadi

bahan kepustakaan khususnya mengenai masalah perlindungan hukum bagi perempuan

penyandang disabilitas yang menjadi korban tindak pidana pencabulan.

2. Manfaat Praktis

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi wawasan, pengetahuan,

pemahaman serta pedoman bagi mahasiswa, masyarakat, lembaga fakultas hukum,

maupun pemerintah khususnya mengenai pengetahuan dari segi hukum yang berkaitan

dengan masalah perlindungan hukum pidana pada perempuan penyandang disabilitas

sebagai korban tindak pidana. Serta dapat menjadi masukan bagi penegakan hukum

terhadap perlindungan hukum pidana pada perempuan penyandang disabilitas sebagai

korban tindak pidana.

E. Kerangka Teori

Kerangka teori digunakan sebagai landasan teori atau landasan pemikiran dalam penelitian

yang dilakukan yang memuat teori – teori yang relevan dalam menjelaskan masalah yang sedang

diteliti yang juga memuat pokok – pokok pemikiran yang akan menggambarkan dari sudut mana

suatu masalah akan disoroti.8 Maka penulis mengambil beberapa konsep teori dari kajian hukum

pidana, yakni :

1. Teori perlindungan hukum

8
Hadari Nawawi, 2001, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, hlm 17
Merupakan teori yang sangat penting untuk dikaji yakni teori perlindungan hukum

yang memfokuskan kepada perlindungan hukum yang diberikan kepada masyarakat.

Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada subjek hukum

ke dalam bentuk perangkat baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif,

baik yang lisan maupun tertulis. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa

perlindnungan hukum sebagai suatu gambaran tersendiri dari fungsi hukum itu sendiri,

yang memiliki konsep bahwa hukum memberikan suatu keadilan, kepastian, ketertiban,

kemanfaatan dan kedamaian.

Menurut Satjipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan

pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan

tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak – hak

yang diberikan oleh hukum. Hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum

kuat secara sosial, ekonomi, dan politik untuk memperoleh keadilan sosial.9

Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi

subjek – subjek hukum melalui peraturan perundang – undangan yang berlaku dan

dipaksakan pelaksanaanya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat

dibedakan menjadi dua, yaitu:10

a. Perlindungan hukum preventif

Perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk

mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan

perundang – undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta

9
Satjipto Rahardjo, 2010, Penegakan Hukum Progresif, Jakarta: Kompas, hlm 53
10
Muchsin, 2003, Perlindungan dan Kepastian Hukum Bagi Investor di Indonesia, Magister Ilmu Hukum Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, hlm 14
memberikan rambu – rambu atau batasan – batasan dalam melakukan suatu

kewajiban.

b. Perlindungan Hukum Represif

Merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan

hukum tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah

dilakukan suatu pelanggaran.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian pada dasarnya merupakan langkah yang dimiliki dan dilakukan

oleh peneliti dalam rangka mengumpulkan informasi atau data serta melakukan investigasi

pada data yang telah didapatkan tersebut. Dan penelitian hukum adalah suatu proses untuk

menemukan aturan – aturan hukum, prinsip – prinsip hukum, maupun doktrin – doktrin

hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.11 Sehubungan dengan masalah yang

diteliti maka dalam menyusun skripsi ini, metode yang digunakan ialah metode penelitian

hukum yuridis normatif. Metode penelitian skripsi ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Jenis dan Sumber Bahan

Dalam penulisan skripsi ini, untuk mempermudah mengidentifikasikan sumber

bahan, maka bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis sumber

bahan , yaitu :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer

yang memiliki kekuatan mengikat dan berlaku berupa :

1) Undang – Undang Dasar 1945

2) Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP)


11
Suratman dan H.Philips Dillah, 2014, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Alfabeta, hlm 32
3) Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

4) Undang – Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan

Korban

b. Bahan Hukum Sekunder

Sumber bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang berupa buku – buku

atau artikel – artikel yang dapat mendukung penulis penelitian ini untuk

memperkuat data yang diperoleh dari data primer, yaitu buku – buku hukum,

jurnal – jurnal hukum, karya tulis hukum, pandangan ahli hukum atau doktrin,

hasil penelitian, skripsi dan makalah.12

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan penunjang

di luar bidang hukum seperti kamus besar bahasa Indonesia, ensiklopedia, dan

kamus hukum sepanjang memuat informasi yang relevan dengan objek kajian

dalam penelitian ini.

2. Teknik Pengumpulan Bahan

Metode pengumpulan bahan hukum pada penelitian ini meliputi metode

kepustakaan dan dokumentasi. Metode kepustakaan ataupun studi kepustakaan

merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan menggali data dari buku

– buku literatur ilmiah, peraturan perundang – undangan yang berlaku, dokumen –

dokumen dan kepustakaan lain yang berhubungan dengan masalah penelitian.

Dokumentasi dilakukan dengan cara pengumpulan catatan transkip dan buku – buku.

12
Suharsini Arikunto, 2006, Prosedur Penulisan Suatu Pendekatan Praktek, Edisi Revisi VI, Jakarta: Rineka Cipta,
hlm 231
Metode dokumentasi ini penulis lakukan dengan cara memahami isi dan arsip

dokumen putusan berkaitan dengan masalah yang dibahas.13 Sebagai tambahan

lainnya dapat diperoleh pada bacaan buku – buku, pendapat sarjana, surat kabar,

artikel, kamus, dan juga berita yang diperoleh dari internet.

3. Analisis Bahan Hukum

Analisis data adalah mekanisme mengorganisasikan data dan mengurutkan data

ke dalam pola, kategori, dan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan

hipotesis kerja yang diterangkan oleh data. Analisis data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah diarahkan untuk menjawab rumusan masalah yaitu dengan

yuridis normatif bersifat kualitatif adalah penelitian yang mengacu pada norma

hukum yang terdapat dalam peraturan perundang – undangan dan putusan pengadilan

serta norma – norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. 14 Proses dari

dokumen – dokumen dengan cara mengorganisasikan data, memilih mana yang

penting dan akan dipelajari dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami. 15

Adapun analisis data yang dilakukan seperti dengan menggambarkan kronologi

kasus, mengumpulkan data yang diperoleh, disusun, dan diklarifikasi, selanjutnya

dianalisis dan diinterpretasikan dalam bentuk kalimat yang sederhana dan mudah

dipahami sehingga data tersebut dapat dimengerti pengertiannya dan juga bermanfaat

untuk menemukan solusi permasalahan.

4. Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah

dengan menggunakan penarikan kesimpulan deduktif yaitu dengan cara penarikan

13
Zainudin Ali, 2014, Metode Penelitian Hukum , Cet 5, Jakarta: Sinar Grafika, hlm 7
14
Ibid, hlm 105
15
Sugiyono, 2013, Metode Penelitian Kombinasi, Bandung: CV Alvabeta, hlm 333
atau pengambilan aturan – aturan hukum yang bersifat umum dijabarkan dalam

wujud peraturan hukum yang konkrit, sehingga dapat ditafsrikan dan diperoleh

kesimpulan dari pembahasan sebagai upaya untuk mengetahui jawaban dari

permasalahan – permasalahan yang diteliti pada skripsi ini.16

16
Arikunto, 2009, Manajemen Penelitian, Jakarta: Ineka Cipta, hlm 72
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Hukum Terhadap Anak

1. Pengertian perlindungan hukum

Menurut Satjipto Raharjo mendefinisikan Perlindungan Hukum adalah

memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan

perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati

semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.17

Dapat dikatakan bahwa perlindungan hukum sebagai suatu gambaran tersendiri

dari fungsi hukum itu sendiri, yang memiliki konsep bahwa hukum memberikan suatu

keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.

Menurut CST Kansil Perlindungan Hukum adalah berbagai upaya hukum yang

harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara

pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun

Sedangkan pendapat lain Menurut Muktie A. Fadjar Perlindungan Hukum adalah

penyempitan arti dari perlindungan, dalam hal ini hanya perlindungan oleh hukum

saja. Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan adanya hak dan

kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum dalam

interaksinya dengan sesama manusia serta lingkungannya. Sebagai subyek hukum

manusia memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum.18

Menurut Philipus M. Hadjon, bahwa perlindungan hukum ada dua macam, yaitu:19

a. Perlindungan Hukum Preventif

17
Rahardjo Satjipto, 1986, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm 87
18
https://tesishukum.com diakses pada 16 November 2022
19
Philipus M Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Jakarta: Bina Ilmu, hlm 2-5
Pada perlindungan hukum preventif, subyek hukum diberikan kesempatan

untuk mengajukan keberatan (Inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu

keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Dengan demikian

perlindungan hukum preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa.

Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi tindak pemerintahan yang

didasarkan kepada kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan

hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hatihati dalam

mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi.

b. Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.

Penanganan perlindungan hukum oleh pengadilan umum dan pengadilan

administrasi di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum ini. Prinsip

perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari

konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.

Karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan

dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada pembatasan-

pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah Prinsip kedua

yang mendasari perlindungan hukum terhadap tindak pemerintahan adalah prinsip

negara hukum. Dikaitakn dengan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak

asasi manusia, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia

mendapat tempat utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari negara hukum.

Pengertian perlindungan menurut ketentuan pasal 1 butir 6 UndangUndang

Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban menentukan bahwa
perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk

memberikan rasa aman kepada saksi/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh

LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.20

Keadilan dibentuk oleh pemikiran yang benar, dilakukan secara adil dan jujur

serta bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan. Rasa keadilan dan hukum

harus ditegakkan berdasarkan hukum positif untuk menegakkan keadilan dalam

hukum sesuai dengan realitas masyarakat yang menghendaki tercapainya

masyarakat yang aman dan damai. Keadilan harus dibangun sesuai dengan cita-

cita hukum (Rechtidee) dalam negara hukum (Rechtsstaat), bukan negara

kekuasaan (Machtsstaat). Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan

manusia, penegakkan hukum harus memperhatikan 4 unsur:21

a. Kepastian Hukum (Rechtssicherkeit)

b. Kemanfaatan Hukum (Zeweckmassigkeit)

c. Keadilan Hukum (Gerechtigkeit)

d. Jaminan Hukum (Doelmatigkeit)

2. Perlindungan Anak

Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak

dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara

optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan

dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana yang diatur dalam pasal 1 angka 2

UUPA No 35 Tahun 2014 jo UUPA 23 Tahun 2002.22

20
Pasal 1 butir 6 undang-undang no 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban
21
Ishaq, 2009, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, hlm 43
22
Pasal 1 angka 2 undang-undang no 35 tahun 2014 tentang perubahan atas undang-undang no 23 tentang
perlindungan anak
Perlindungan hukum dari berbagai pendapat ahli bahwasanya dapat ditarik

kesimpulan bahwa perlindungan yang tidak membedakan antara kaum perempuan

maupun laki-laki, anak-anak maupun orang dewasa, atau melihat keturunan, suku, ras,

budaya. Tetapi perlindungan hukum di maksud perlindungan bagi seluruh rakyat

Indonesia. Dengan perlindungan hukum tersebut akan melahirkan pengakuan dan

perlindungan hak asasi manusia dalam wujudnya sebagai makhluk individu dan

makhluk sosial dalam wadah negara kesatuan yang menjunjung tinggi semangat

kekeluargaan demi mencapai kesejahteraan bersama. Dan prinsip perlindungan hukum

bagi rakyat Indonesia bersumber pada Pancasila dan konsep Negara Hukum, kedua

sumber tersebut mengutamakan pengakuan serta penghormatan terhadap harkat dan

martabat manusia. Sarana perlindungan hukum ada dua bentuk, yaitu sarana

perlindungan hukum preventif dan represif.

3. Pengertian Anak

Pengertian anak menurut beberapa Undang-Undang yang berlaku di Indonesia

meliputi:

a. Menurut Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia di

dalam pasal 1 angka 5 “Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18

(delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam

kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.”23

b. Menurut Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak di dalam pasal 1 angka 4 “Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang

selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan

23
Pasal 1 angka 5 undang-undang no 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia
belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian

ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.”

c. Menurut Undang-Undang No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-

Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak di dalam pasal 1 angka 1

“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk

anak yang masih dalam kandungan.”

Anak harapan masa depan bangsa yang merupakan salah satu sumber daya

manusia yang harus dijaga dan merupakan generasi penerus. Anak sebagai sumber

daya manusia dan potensi penerus cita-cita bangsa dan karenanaya kepada mereka

diupayakan untuk memperoleh tingkat kesejahteraan yang optimal baik mental/rohani,

jasmani maupun kehidupan soisalnya.24

Dari beberapa pengertian diatas penulis menyimpulkan bahwa anak merupakan

salah satu harapan yang sangat tinggi kepada negara, maka dari itu anak perlu adanya

perlindungan baik orangtua maupun masyarakat yang lain. Peran orangtua tidak cukup

untuk melindungi anak sehingga peran masyarakat juga dibutuhkan untuk melindungi

anak supaya tidak menjadi korban kejahatan atas orang dewasa. Anak sangat rentan

terhadap kejahatan baik dari orang terdekat maupun orang yang jauh, tidak menutup

kemungkinan orang yang dapat dipercaya adalah pelaku dari kejahatan yang menimpa

anak. Jadi perlu kesadaran yang sangat tinggi baik dari keluarga, masyarakat,

kepolisian.

B. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Pencabulan

1. Pengertian Tindak Pidana

24
Arif Gosita, 1989, Masalah Perlindungan Anak, Jakarta: Akademika Pressindo, hlm 19
Istilah tindak pidana sebagai terjemahan starbaar feit adalah diperkenalkan

oleh pihak pemerintah Departemen Kehakiman. Istilah ini banyak dipergunakan

dalam undang-undang tindak pidana khusus, misalnya: Undang-Undang tindak

pidana korupsi, undang-undang tindak pidana narkotika, dan undang-undang

mengenai pornografi yang mengatur secara khusus tindak pidana pornografi.

Istilah tindak pidana menunjukkan pengertian gerak-gerik tingkah laku dan

gerak-gerik jasmani seseorang. Hal-hal tersebut terdapat juga seseorang untuk tidak

berbuat, akan tetapi dengan tidak berbuatnya dia, dia telah melakukan tindak pidana.

Mengenai kewajiban untuk berbuat tetapi dia tidak berbuat, yang di dalam

undang-undang menentukan pada pasal 164 KUHP, ketentuan dalam pasal ini

mengharuskan seseorang untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib apabila

akan timbul kejahatan, ternyata dia tidak melaporkan, maka dia dapat dikenai sanksi.

Sedangkan Prof. Sudarto berpendapat bahwa pembentuk undangundang

sudah tetap dalam pemakaian istilah tindak pidana, dan lebih condong memakai

istilah tindak pidana, yang telah dilakukan oleh pembentuk undangundang. Pendapat

Prof. Sudarto diikuti oleh Teguh Prasetyo karena pembentuk undang-undang

sekarang selalu menggunakan istilah tindak pidana sehingga istilah tindak pidana itu

sudah mempunyai pengertian yang dipahami oleh masyarakat.25 Kemudian menurut

J. Bauman tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat

melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan.26 Sedangkan menurut Bambang

Poernomo, tindak pidana yaitu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan

25
Teguh Prasetyo, 2010, Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persadam Edisi ke 1, hlm 47-48
26
Tongat, 2012, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Malang: UMM Press, edisi ketiga, hlm 95
melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran pidana yang merugikan kepentingan

orang lain atau merugikan kepentingan umum.27

Perbuatan pidana adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang

menimbulkan peristiwa pidana atau perbuatan melanggar hukum pidana dan diancam

dengan hukuman. Peristiwa pidana adalah suatu kejadian yang mengandung unsur-

unsur perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, sehingga siapa yang

menimbulkan peristiwa itu dapat dikenai sanksi pidana (hukuman).28

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum

larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang

siapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana

adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal

saja pada itu diingat bahwa larangan diajukan kepada perbuatan, (yaitu suatu keadaan

atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya

ditunjukan kepada orang yang menimbulkannya kejadian itu.29

Kemudian Menurut D. Simons dalam C.S.T Kansil, peristiwa pidana itu

adalah “Een strafbaargestelde, Onrechtmatige, Met Schuld in Verband Staande

handeling Van een toerekenungsvatbaar person”. Terjemahan bebasnya adalah

perbuatan salah dan melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan oleh

seseorang yang mampu bertanggungjawab.

Menurut D. Simons, unsur-unsur peristiwa pidana adalah:

a. . Perbuatan Manusia (handeling)

b. Perbuatan manusia itu harus melawan hukum (wederrechtelijk)

27
Bambang Poernomo, 1997, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm 86
28
Ibid, hlm 87
29
C.S.T Kansil, 2004, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Jakarta: Praditya Paramita, hlm 37
c. Perbuatan itu diancam dengan pidana (Strafbaar gesteld) oleh UndangUndang

d. Harus dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab

(Toerekeningsvatbaar person)

e. Perbuatan itu harus terjadi karena kesalahan (Schuld) si pembuat.30

Suatu peristiwa agar dapat dikatakan sebagai suatu peristiwa pidana harus

memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Harus ada suatu perbuatan, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang

atau sekelompok orang.

b. Perbuatan harus sesuai sebagaimana yang dirumuskan dalam undangundang.

Pelakunya harus telah melakukan suatu kesalahan dan harus

mempertanggungjawabkan perbuatannya.

c. Harus ada kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan. Jadi perbuatan itu

memang dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar ketentuan

hukum.

d. Harus ada ancaman hukumannya. Dengan kata lain, ketentuan hukum yang

dilanggar itu dicantumkan sanksinya.31

Berdasarkan pendapat para sarjana mengenai pengertian tindak

pidana/peristiwa pidana dapat diketahui unsur-unsur tindak pidana adalah harus ada

sesuatu kelakuan (gedraging), kelakuan itu harus sesuai dengan uraian Undang-

undang (wettelijkeomschrijving), kelakuan itu adalah kelakuan tanpa hak, kelakuan

itu dapat diberatkan kepada pelaku, dan kelakuan itu diancam dengan hukuman.

2. Jenis-jenis Tindak Pidana

30
Ibid, hlm 38
31
J.B Daliyo, 2001, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Prenhalindo, hlm 93
Menurut J.B. Daliyo, perbuatan pidana dibedakan menjadi beberapa macam,

yaitu:32

a. Perbuatan pidana (delik) formal adalah suatu perbuatan yang sudah dilakukan

dan perbuatan itu benar-benar melanggar ketentuan yang dirumuskan dalam

Pasal undang-undang yang bersangkutan.

b. Delik material adalah suatu pebuatan pidana yang dilarang, yaitu akibat yang

timbul dari perbuatan itu.

c. Delik dolus adalah suatu perbuatan pidana yang dilakukan dengan sengaja.

d. Delik culpa adalah perbuatan pidana yang tidak sengaja, karena kealpaannya

mengakibatkan matinya seseorang.

e. Delik aduan adalah suatu perbuatan pidana yang memerlukan pengaduan orang

lain. Jadi sebelum ada pengaduan belum merupakan delik.

J.B. Daliyo, lebih lanjut menyatakan bahwa tiga jenis peristiwa pidana di

dalam KUHP yang berlaku di Indonesia sebelum tahun 1918 yaitu:

a) Kejahatan (Crimes)

b) Perbuatan buruk (Delict)

c) Pelanggaran (Contravention)

Sedangkan menurut KUHP yang berlaku sekarang, peristiwa pidana itu ada

dua jenis yaitu “Misdrijf” (kejahatan) dan “Overtreding” (pelanggaran).33

3. Unsur-Unsur Tindak Pidana

a. Unsur Objektif

32
Ibid, hlm 94
33
Moeljatno, 2005, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, hlm 40
Unsur yang terdapat di luar si pelaku. Unsur-unsur yang ada hubungannya

dengan keadaan, yaitu dalam keadaan-keadaan di mana tindakan-tindakan si

pelaku itu harus dilakukan. Terdiri dari:

1) Sifat melanggar hukum

2) Kualitas dari si pelaku. Misalnya keadaan sebagai pegawai negri di dalam

kejahatan jabatan menurut pasal 415 KUHP atas keadaan sebagai pengurus

atau komisaris dari suatu perseroan terbatas di dalam kejahatan menurut

pasal 398 KUHP.

3) Kausalitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan

suatu kenyataan sebagai akibat.

b. Unsur subjektif

Unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku, atau yang

dihubungkan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala sesuatu yang

terkandung di dalam hatinya. Unsur ini terdiri dari:

1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).

2) Maksud pada suatu percobaan, seperti ditentukan dalam pasal 53 ayat (1)

KUHP.

3) Macam-macam maksud seperti terdapat dalam kejahatan-kejahatan

pencurian, penipuan, pemerasan.

4) Merencanakan terlebih dahulu, seperti tercantum dalam pasal 340 KUHP,

yaitu pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu.

5) Perasaan takut seperti terdapat di dalam pasal 308 KUHP.

4. Pengertian Pencabulan
Pengertian pencabulan atau cabul dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

diartikan sebagai berikut: pencabulan adalah kata dasar dari cabul, yaitu kotor dan

keji sifatnya tidak sesuai dengan sopan santun (tidak senonoh) tidak susila, bercabul:

berzinah, melakakukan tindak pidana asusiala, mencabul: menzinahi, memperkosa,

mencemari kehormatan perempuan, film cabul: film porno. Keji dan kotor, tidak

senonoh ( melanggar kesusilaan, kesopanan).34 Pengertian perbuatan cabul adalah

segala macam wujud perbuatan, baik yang dilakukan pada diri sendiri maupun

dilakaukan pada orang lain mengenai dan yang berhubungan dengan alat kelamin

atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu seksual.

Sejalan dengan pengertian perbuatan cabul menurut Adami Chazawi perbuatan

cabul segala macam wujud perbuatan baik dilakukan sendiri maupun pada orang lain

mengenai yang berhubungan dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang

dapat merangsang sesorang terhadap nafsu birahinya, seperti mengelus-mengelus

vagina atau penis, mencium mulut perempuan, memegang buah dada dll, yang tidak

sampai dengan hubungan badan atau alat kelamin laki-laki masuk ke alat kelamin

perempuan.35 Jadi lebih ditegaskan hanya memegang, meraba, mencium, mengelus

tubuh sesorang wanita.

Sedangkan menurut R. Soesilo menjelasakn mengenai perbuatan cabul adalah

“segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanaan) atau perbuatan yang keji,

semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya: cium-ciuman,

meraba-raba anggota tubuh dada alat kelamin dll.” 36 Selanjutnya menurut Moeljatno

menjelaskan “pencabulan dikatakan sebagai segala perbuatan yg melanggar asusila


34
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1994, Kamus besar bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Edisi ke
2, hlm 893
35
Adami Chazawi, 2005, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm 80
36
R. Soesilo, 1981, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bogor: Politea, hlm 212
atau perbuatan keji yang berhubungan dengan nafsu kelaminnya”. 37 Menurut PAF

lamintang dan djisman samosir pencabulan adalah “perbuatan seseorang yang

dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita utuk melakukan

persetubuhan diluar perkawinan dengan dirinya.”38

5. Tindak Pidana Pencabulan

Perbuatan cabul untuk anak lebih di terangkan dalam UUPA No 35 Tahun

2014 Jo UUPA No 23 Tahun 2002 berdasarkan pasal 82 Jo pasal 76 E sebagaimana

berikut:39

Pasal 76E UU Perlindungan Anak 2014:

“Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan,

memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau

membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan

cabul”.

Pasal 82 UU Perlindungan Anak 2014:

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan

paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak

Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan,

37
Moeljatno, 2003, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP, Jakarta: Bumi Aksara, hlm 106
38
P.A.F Lamintag, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm 193
39
Pasal 82 Jo Pasal 76 E undang-undang np 35 tahun 2014 tentang perubahan atas undang-undang no 23 tentang
perlindungan anak
maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana

sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Secara umum unsur-unsur pencabulan terdiri dari dua unsur yaitu unsur

bersifat obyektif dan bersifat subyektfi seperti yang tercantum dalam pasal 289:40

“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa

seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dihukum

karena salahnya melakukan perbuatan melanggar kesopanan dengan hukuman

penjara selama-lamanya Sembilan tahun”.

Dari bunyi pasal di atas, dapat dirincikan unsur-unsur sebagai berikut

a. Unsur-unsur obyektif

1. Perbuatan Pencabulan

Unsur-unsur pencabulan merupakan unsur yang terpenting dalam

tindak pidana pencabulan terhadap anak dibawah umur, hal ini

disebabkan apabila perbuatan pencabulan tidak terjadi maka perbuatan

tersebut belumlah dapat dikatakan telah terjadi perbuatan percabulan.

2. Perbuatannya yaitu orang dewasa

3. Objeknya yaitu orang sesama jenis kelamin

b. Unsur Subyektif

Sedangkan unsur subyektifnya ada satu, yaitu yang diketahuinya belum

dewasa atau patut diduganya belum dewasa. Sama seperti persetubuhan, untuk

kejahatan ini diperlukan dua orang yang terlibat. Kalau persetubuhan terjadi

antara dua orang yang berlainan jenis, tetapi pada perbuatan ini terjadi diantara

40
Pasal 289Kitab undang-undang hukum pidana
dua orang yang sesama kelamin baik itu laki-laki sama laki-laki (Sodomi atau

Homoseksual) ataupun perempuan dengan perempuan (Lesbian).

Yang menjadi subyek hukum kejahatan dan dibebani tanggungjawab

pidana adalah siapa yang diantara dua orang yang telah dewasa, sedangkan

yang lain haruslah belum dewasa.

Maka dari itu penulis dapat memberi kesimpulan bahwa yang disebut

dengan tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan

diancam dengan pidana, di mana pengertian perbuatan yang bersifat aktif

(melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga perbuatan

yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh

hukum). Dan dari beberapa pengertian tindak pidana maupun perbuatan pidana,

tetapi pada dasarnya mempunyai pengertian, maksud yang sama yaitu

perbuatan yang melawan hukum pidana dan diancam dengan hukuman/sanksi

pidana yang tegas.

Kemudian menurut penulis dari berbagai tindak pidana pencabulan

penulis menyimpulkan bahwa yang dinamakan pencabulan ketika ada

seseorang yang telah melecehkan bagian tertentu seorang wanita misalnya

mencium, meraba bagian tertentu wanita. Dan pencabulan bisa diadukan

kepada siapa saja yang melihatnya tidak harus diadukan oleh korbanyya saja,

karena pencabulan termasuk delik biasa, karena bisa dilihat terdapat di pasal 82

Jo pasal 76 E UUPA 2014 jo UUPA 2002.

C. Tinjauan Umum Tentang Korban

1. Pengertian Korban
Secara terminologis viktimologi berarti suatu studi yang mempelajari tentang

korban, penyebab timbulnya korban dan akibat-akibat timbulnya korban yang

merupakan masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial.41

Menurut kamus Crime Dictionary yang dikutip seorang ahli yang menyatakan

bahwa victim adalah ”orang yang telah mendapat penderitaan fisik atau penderitaan

mental, kerugian harta benda atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha

pelanggaran ringan dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan lainya.”42

Kemudian Arif Gosita mengartikan korban kejahatan dalam arti luas, yang tidak

hanya dirumuskan oleh undang-undang pidana, tetapi juga tindakan-tindakan yang

menimbulkan penderitaan dan tidak dapat dibenarkan serta dianggap jahat, tidak atau

belum dirumuskan dalam undang-undang karena situasi dan kondisi tertentu.

Korban kejahatan secara tipologis memiliki ragam makna, antara lain:

a) Primary victimization, yaitu korban individual. Jadi dalam primary

victimization yang menjadi korban adalah perorangan, bukan kelompok.

b) Secondary victimization, yaitu korban kelompok atau yang menjadi korb an

adalah kelompok, misalnya badan hukum.

c) Tertiary victimization, yaitu yang menjadi korban adalah masyarakat luas

d) Mutual victimization, yaitu yang menjadi korban adalah si pelaku sendiri.

Misalnya pelacuran, perxinahan, dan narkotika.

e) No victimization, yaitu yang dimaksud bukan berarti tidak ada korban

melainkan korban tidak segera dapat diketahui. Misalnya konsumen yang

tertipu dalam menggunakan suatu hasil produksi.43


41
Muhammad Topan, Kejahatan Korporasi di Bidang Lingkungan Hidup Perspektif Viktimologi Dalam
Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Nusamedia, 2009, hlm 15
42
Bambang Waluyom 2012, Viktimologi Perlindungan Saksi Dan Korban, Jakarta: Sinar Grafika, hlm 9
43
Mahrus Ali, 2012, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika Cetakan Kedua, hlm 57
2. Hak dan Kewajiban Anak Sebagai Korban

Dalam konteks kejahatan dan hubungannya dengan pelaku, korban memiliki hak

dan kewajiban tertentu. Sebagaimana di sebutkan dalam Undang-Undang No 23

Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga memberikan

aturan mengenai perlindungan korban di Pasal 10 bahwa korban berhak mendapatkan:

1) Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat,

lembaga sosial, atau pihakLainnya baik sementara maupun berdasarkan

penetapan perintah perlindungan dari pengadilan

2) Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis.

3) Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban.

4) Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses

pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan

5) Pelayanan bimbingan rohani.44

Kemudian hak dan kewajiban korban juga di atur dalam Pasal 18, 19, 22, 23

Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak menyebutkan :45

1) Pasal 18

“Dalam menangani perkara Anak, Anak Korban, dan/atauAnak Saksi,

Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga

Kesejahteraan Sosial, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Advokat atau

pemberi bantuan hukum lainnya wajib memperhatikan kepentingan terbaik bagi

Anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan tetap terpelihara”.

2) Pasal 19

44
Pasal 10 undang-undang no 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
45
Pasal 18 undang-undang no 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak
a. Identitas Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi wajib dirahasiakan

dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik.

b. Identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi nama Anak, nama

Anak Korban, nama Anak Saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal

lain yang dapat mengungkapkan jati diri Anak, Anak Korban, dan/atau

Anak Saksi.

3) Pasal 22

“Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Pembimbing Kemasyarakatan, Advokat

atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan petugas lain dalam memeriksa perkara

Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi tidak memakai toga atau atribut

kedinasan.”

4) Pasal 23

a. Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak wajib diberikan bantuan hukum

dan didampingi oleh Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lain

sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

b. Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak Korban atau Anak Saksi wajib

didampingi oleh orang tua dan/atau orang yang dipercaya oleh Anak Korban

dan/atau Anak Saksi, atau Pekerja Sosial.

c. Dalam hal orang tua sebagai tersangka atau terdakwa perkara yang sedang

diperiksa, ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi

orang tua.46

46
Ibid

Anda mungkin juga menyukai