Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH HUKUM ASURANSI

Formalitas Sahnya Perjanjian Asuransi Menurut Ketentuan KUHD

Disusun Oleh:
M.Harry Setiawan Nasution
NIM : 19010000009

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MERDEKA MALANG
2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Asuransi yaitu pertanggungan atau perlindungan atas suatu objek dari ancaman
bahaya yang menimbulkan kerugian.1 Menurut ketentuan Pasal 246 Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang (KUHD) juga menyebutkan, pertanggungan adalah perjanjian
dengan mana penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi,
untuk memberikan penggantian kepadanya karena kerugian, kerusakan atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan yang mungkin dideritanya akibat dari suatu evenemen.
Dalam ruang lingkup keperdataan, hukum Asuransi sangat penting untuk dipelajari,
terutama hal-hal yang mengatur tentang suatu pengambil alihan risiko orang lain serta
syarat-syarat sah untuk melakukan perjanjian asuransi. Maka dengan demikian sangatlah
penting hal tersebut untuk perlu di pahami lebih berlanjut, seperti pengaturan tentang
objeknya, pihak-pihak yang terkait, dan lain sebagainya. Dalam hal asuransi juga
dikatakan bahwa jika kedua belah pihak yakni antara penyedia jasa dan pembeli jasa sudah
saling sepakat dalam melakukan suatu perjanjian serta telah memenuhi unsur-unsur atau
syarat sesuai pasal 1320 Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUHPerdata) maka suatu
perjanjian tersebut dikatakan sah. Akan tetapi dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang
menyatakan, setiap perjanjian termasuk perjanjian asuransi harus memenuhi syarat-syarat
umum sebagai berikut:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.
Dalam point ke-tiga dikatakan syarat sah dalam melakukan suatu perjanjian atau
persetujuan adalah suatu hal tertentu. Akan tetapi suatu hal tertentu tersebut objeknya
haruslah pasti, maka dari itu dalam ketentuan point ke-tiga tersebut objek yang diatur
belum pasti, karena dalam suatu perjanjian, apalagi tentang pengambil alihan risiko orang
lain, tentu saja suatu objek yang diperjanjikan haruslah pasti. Dengan demikian syarat-
syarat sahnya suatu perjanjian atau perikatan menurut ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata
masih belum jelas pengaturan tentang suatu hal tertentu terutama menyangkut suatu objek
yang belum pasti tersebut. Namun ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata tersebut masih
merupakan suatu pedoman dalam melakukan suatu perjanjian yang sah menurut hukum
khususnya dalam hal keperdataan.
sahnya suatu perjanjian khusunya asuransi pengaturan tentang objek tersebut harus
pasti. Metode penelitian dalam tulisan ini menggunakan penelitian hukum normatif,
dimana untuk mencari bahan-bahan yang kemudian dikaji menggunakan peraturan
perundang-undangan serta menggunakan literatur bacaan. Dalam kesimpulan dijelaskan
pada Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Undang-Undang Nomor. 2 Tahun 1992
Tentang Usaha Perasuransian objek yang diatur sudah pasti dan jelas, dengan dasar-dasar
tersebut perjanjian asuransi dikatakan sah dalam hal perjanjian khususnya.
B.Rumusan Masalah
a. Bagaimana proses terjadinya dan sahnya hubungan hukum asuransi menurut ketentuan
KUHD?
b. Apa saja kewajiban-kewajiban penanggung (perusahaan asuransi) setelah terbitnya
perjanjian asuransi secara sah?

Tentang syarat sahnya suatu perjanjian khususnya dalam hal asuransi, menyangkut Pasal
1320 dalam KUHPerdata tentunya merupakan suatu pedoman yang dianggap sah. Akan tetapi
masih terdapat syarat dalam pasal tersebut yang kurang pasti, dalam artian pengaturannya masih
tidak jelas terutama menyangkut objek. Sehingga dalam hal ini sahnya perjanjian asuransi
diragukan. Karena dalam hal perasuransian khususnya, objek sangatlah penting untuk diatur.
Akan tetapi Perjanjian asuransi adalah sah hukumnya jika dilihat dalam Pasal 256 KUHD
khususnya point ke-tiga mengenai polis, yaitu suatu uraian yang cukup jelas mengenai barang
yang dipertanggungkan.
Jadi dalam pasal 256 KUHD barang yang menjadi objek perjanjian asuransi khusunya
haruslah jelas, dengan penggaturan mengenai kejelasan objek atau barang tersebut, maka
perjanjian asuransi sudah pasti dikatakan sah khusunya yang diatur dalam KUHD. Namun syarat
khusus bagi perjanjian asuransi harus memenuhi ketentuan-ketentuan dalam buku I Bab IX Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang yaitu:

A. Asas idemnitas
B. Asas kepentingan
C. Asas kejujuran yang sempurna
D. Asas subrogasi pada penanggung.

Dilihat dari Undang-Undang Nomor. 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian Pasal 1
point ke-dua yang menyatakan objek asuransi adalah benda dan jasa, jiwa dan raga, kesehatan
manusia, tanggung jawab hukum, serta semua kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak, rugi,
dan atau berkurang nilainya. Jadi dengan penjelasan tersebut, objek yang dijelaskan dalam
Undang-undang tersebut sudahlah pasti dan tentunya jika objek yang diatur sudah pasti dan jelas
pengaturannya, maka perjanjian asuransi dikatakan sah khususnya mengenai objek didalamnnya.
Kemudian perjanjian asuransi dilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebut sah
dalam pasal 1320, akan tetapi pengaturan tentang objek yang jelas sudah tertuang dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang dan pengaturannya dalam Undang-Undang Nomor. 2 tahun
1992 Tentang Usaha Perasuransian.
ketentuan yang tertulis dalam Pasal 246 KUHD, dengan jelas dikatakan bahwa
asuransi atau pertanggungan adalah sebuah perjanjian yang mengikat penanggung kepada
tertanggung dengan cara menerima sejumlah premi yang dimaksudkan untuk menjamin
penggantian terhadap tertanggung akibat adanya kerugian yang timbul, terjadinya
kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, hal tersebut mungkin akan terjadi
akibat terjadinya suatu evenemen (peristiwa yang tidak pasti).
Sedangkan di dalam Undang-Undang No.2 Tahun 1992 Tertanggal 11 Februari 1992
Tentang Usaha Perasuransian (UU asuransi) dikatakan bahwa:
Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian yang terjadi di antara dua pihak atau
lebih, di mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada pihak tertanggung dengan cara
menerima sejumlah premi asuransi untuk memberikan layanan penggantian kepada
tertanggung akibat adanya kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita
tertanggung akibat terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu
pembayaran yang dilakukan karena meninggal atau hidupnya seseorang yang
dipertanggungkan.
Jika merunut pada defenisi di atas, maka bisa dikatakan bahwa asuransi adalah sebuah
bentuk perjanjian di mana harus memenuhi syarat sebagaimana tertuang dalam Pasal 1320
KUH Perdata, namun dengan karakteristik “khusus” sebagai mana dijelaskan dalam Pasal
1774 KUH Perdata yang menyatakan bahwa:
Suatu persetujuan untung-untungan (kans overeenkomst) adalah suatu perbuatan yang
hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak,
bergantung kepada kejadian yang belum tentu.  

Kewajiban dan hak para pihak berjalan seiringan dimana kewajiban tertanggung
adalah membayar premi dan hak tertanggung adalah menerima santunan ganti rugi apabila
terjadi klaim. Sedangkan kewajiban penanggung adalah membayarkan santunan ganti rugi
apabila terjadi klaim dan menerima premi sebagai haknya. Dalam praktek asuransi
terdapat istilah tidak ada premi tidak ada klaim.
Pengertian penanggung secara umum, adalah pihak yang menerima pengalihan risiko
dimana dengan mendapat premi, berjanji akan mengganti kerugian atau membayar
sejumlah uang yang telah disetujui, jika terjadi peristiwa yang tidak dapat diduga
sebelumnya, yang mengakibatkan kerugian bagi tertanggung. Dari pengertian penanggung
tersebut di atas, terdapat hak dan kewajiban yang mengikat penanggung. Hak-hak dari
penanggung adalah : 1. menerima premi 2. mendapatkan keterangan dari tertanggung
berdasar prinsip itikad terbaik. (Pasal 251 KUHD) 3. hak-hak lain sebagai imbalan dari
kewajiban tertanggung Menurut Prof. Dr. H. Man Suparman Sastrawidjaja, S.H., S.U. hak
penanggung antara lain :
a. menuntut pembayaran premi kepada tertanggung sesuai dengan perjanjian.
b. meminta keterangan yang benar dan lengkap kepada tertanggung yang berkaitan
dengan obyek yang diasuransikan kepadanya.
c. memiliki premi dan bahkan menuntutnya dalam hal peristiwa yang diperjanjikan
terjadi tetapi disebabkan oleh kesalahan tertanggung sendiri. (Pasal 276 KUHD)
d. memiliki premi yang sudah diterima dalam hal asuransi batal atau gugur yang
disebabkan oleh perbuatan curang dari tertanggung. (Pasal 282 KUHD)
e. melakukan asuransi kembali kepada penanggung yang lain, dengan maksud untuk
membagi risiko yang dihadapinya. (Pasal 271 KUHD)
Sedangkan kewajiban dari penanggung adalah :
a. memberikan polis kepada tertanggung
b. membayar ganti rugi atas kerugian yang diderita tertanggung dalam hal asuransi
kerugian dan membayar santunan pada asuransi jiwa sesuai dengan kondisi polis.
Menurut Prof. Dr. H. Man Suparman Sastrawidjaja, S.H., S.U. kewajiban penanggung
antara lain :
a. memberikan ganti kerugian atau memberikan sejumlah uang kepada tertanggung
apabila peristiwa yang diperjanjian terjadi, kecuali jika terdapat hal yang dapat
menjadi alasan untuk membebaskan dari kewajiban tersebut.
b. Menandatangani dan menyerahkan polis kepada tertanggung (Pasal 259, 260
KUHD).
c. Mengembalikan premi kepada tertanggung jika asuransi batal atau gugur, dengan
syarat tertanggung belum menanggung risiko sebagian atau seluruhnya (premi
restorno, Pasal 281 KUHD).
d. Dalam asuransi kebakaran, penanggung harus mengganti biaya yang diperlukan
untuk membangun kembali apabila dalam asuransi tersebut diperjanjikan demikian
(Pasal 289 KUHD).
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian menyebutkan
bahwa penyelenggara usaha perasuransian atau pihak yang bertindak sebagai pihak
penanggung hanya boleh dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk Perusahaan
Perseroan (persero), Koperasi, Perseroan Terbatas dan Usaha Bersama (mutual).

B. Sistematika Penulisan

Adapun untuk kejelasan dan gambaran tentang tesis ini, penulis memandang perlu
untuk mengemukakan sistematikanya, yaitu :
Bab I Pendahuluan, memuat tentang latar belakang penulisan, perumusan masalah,
tujuan penulisan, manfaat penulisan, kerangka pemikiran, sistematika penulisan .
Bab II Tinjauan Pustaka, Dan Pembahasan Berisi: Kajian tentang sahnya perjanjian
asuransi seperti yang disebutkan pasal 1320 KUHPerdata, dan ditambah kewajiban
membayar premi dalam pasal 246 KUHD , ketentuan unsur kepentingan pasal 250
KUHD, ketentuan tentang kejujuran yang sempurna pasal 251 KUHD, dan sifat-sifat
formalitas perjanjian asuransi yang ditentukan dalam pasal 257 KUHD serta pasal 255
KUHD, pasal 258 KUHD, pasal 259 KUHD dan pasal 260 KUHD.
Bab III Kesimpulan dan Saran
Bab II
TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN

Banyak perjanjian tertulis namun perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat sahnya
perjanjian yang terkandung dalam pasal 1320 KUH Perdata. Mengingat begitu pentingnya
sebuah perjanjian, agar tidak timbul permasalahan di kemudian hari akibat kurang
pahamnya seseorang dalam membuat suatu perjanjian, maka kami akan menjelaskan
beberapa persyaratan yang harus dipenuhi agar perjanjian menjadi sah dan mengikat para
pihak. Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan adanya 4 (empat ) syarat sahnya suatu
perjanjian, yakni:
1. Adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu; dan
4. Suatu sebab (causa) yang halal.
Persyaratan yang pertama dan kedua disebut syarat subjektif karena berkenaan dengan
subjek perjanjian. Sedangkan, persyaratan yang ketiga dan keempat berkenan dengan
objek perjanjian dinamakan syarat objektif.
Perbedaan kedua persyaratan tersebut dikaitkan pula dengan masalah batal demi
hukumnya (nieteg atau null and ab initio) dan dapat dibatalkannya (vernietigbaar =
voidable) suatu perjanjian. Apabila syarat objektif dalam perjanjian tidak terpenuhi maka
Perjanjian tersebut batal demi hukum atau perjanjian yang sejak semula sudah batal,
hukum menganggap perjanjian tersebut tidak pernah ada. Apabila syarat subjektif tidak
terpenuhi maka Perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau sepanjang perjanjian tersebut
belum atau tidak dibatalkan pengadilan, maka perjanjian yang bersangkutan masih terus
berlaku.
Menurut Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), yang dimaksud
dengan asuransi / pertanggungan adalah :
“Perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang
tertanggung dengan memperoleh premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena
suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin
akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu”
Peristiwa yang tidak pasti dalam pengertian asuransi tersebut di atas adalah peristiwa
terhadap mana asuransi diadakan, tidak dapat dipastikan terjadi dan tidak diharapkan akan
terjadi.Peristiwa yang tidak pasti ini adalah risiko yang harus ditanggung oleh perusahaan
asuransi (penanggung) selama jangka waktu pertanggungan berjalan.
Berdasar Pasal 250 KUHD yang dapat bertindak sebagai tertanggung adalah sebagai
berikut :
“Bilamana seseorang yang mempertanggungkan untuk diri sendiri, atau seseorang,
untuk tanggungan siapa diadakan pertanggungan oleh seorang yang lain, pada waktu
pertanggungan tidak mempunyai kepentingan atas benda tidak berkewajiban mengganti
kerugian.”
Berdasarkan Pasal 250 KUHD tersebut yang berhak bertindak sebagai tertanggung
adalah pihak yang mempunyai interest (kepentingan) terhadap obyek yang
dipertanggungkan. Apabila kepentingan tersebut tidak ada, maka pihak penanggung tidak
berkewajiban memberikan ganti kerugian yang diderita pihak tertanggung.
Kepentingan yang terdapat dalam Pasal 250 KUHD harus memenuhi syarat yang
diatur dalam Pasal 268 KUHD di mana kepentingan tersebut dapat dinilai dengan uang,
dapat diancam oleh suatu bahaya dan tidak dikecualikan oleh undang-undang.
Dari keterangan di atas, maka terdapat 4 (empat) hal penting yang harus dikandung
dalam prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan, yaitu :
a. Bahwa harus ada harta benda, hak, kepentingan, jiwa, anggota tubuh, atau tanggung
gugat yang dapat dipertanggungkan.
b. Bahwa harta benda, hak, kepentingan, jiwa, anggota tubuh, atau tanggung gugat itu
harus menjadi pokok pertanggungan.
c. Bahwa tertanggung harus mempunyai hubungan dengan pokok pertanggungan,
dengan hubungan mana tertanggung tidak akan mengalami kerugian apabila pokok
pertanggungan itu selamat atau bebas dari tanggung gugat, dan akan menderita
kerugian apabila pokok pertanggungan itu mengalami kerusakan atau menimbulkan
tanggung gugat.
d. Bahwa hubungan antara tertanggung dengan pokok pertanggungan itu diakui oleh
hakim.

Penekanan terhadap berlakunya prinsip itikad terbaik dalam perjanjian asuransi diatur
secara tegas delam Pasal 251 KUHD yang menyatakan bahwa :
“Setiap keterangan yang keliru atau tidak benar, ataupun setiap memberitahukan hal-
hal yang diketahui oleh si tertanggung, betapapun itikad baik ada padanya, yang demikian
sifatnya, sehingga, seandainya si penanggung telah mengetahui keadaan yang sebenarnya,
perjanjian itu tidak akan ditutup atau tidak ditutup dengan syarat-syarat yang sama
mengakibatkan batalnya perjanjian.”
Pasal 251 KUHD secara sepihak menekankan kewajiban untuk melaksanakan itikad
terbaik hanya kepada pihak tertanggung karena adanya anggapan bahwa tertanggunglah
yang paling mengetahui mengenai obyek yang diasuransikan. Menurut M. Suparman
Sastrawijaya, Pasal 251 KUHD terlalu memberatkan tertanggung disebabkan karena
ancaman dapat dibatalkannya asuransi terhadap tertanggung yang beritikad baik dan tidak
diberikannya kesempatan bagi tertanggung untuk memperbaiki kekeliruan dalam
memberikan keterangan.
Kontrak dianggap telah terjadi pada saat pihak tertanggung dan penanggung mencapai
kata sepakat (konsensus), sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 257 KUHD sebagai berikut :
” Perjanjian pertanggungan diterbitkan seketika setelah ia ditutup; hak-hak dan
kewajiban-kewajiban bertimbal balik dari si penanggung dan si tertanggung mulai berlaku
semenjak saat itu, bahkan sebelum polisnya ditandatangani.”
” Ditutupnya perjanjian menerbitkan kewajiban bagi si penanggung untuk
menandatangani polis tersebut dalam jangka waktu yang ditentukan dan menyerahkannya
kepada si tertanggung.”
Perjanjian asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, dimana sebelum terjadi
kesepakatan, calon tertanggung mempelajari lebih dulu syarat-syarat yang berlaku pada
asuransi. Apabila syaratsyarat yang ditawarkan penanggung disetujui maka pihak
tertanggung mengajukan surat permohonan penutupan asurasi dan kemudian
ditandatangani. Atau dibuatkan nota penutupan asuransi (covernote) yang ditandatangani
oleh kedua belah pihak, sebagai bukti telah terjadi kesepakatan mengenai syarat-syarat
asuransi.
Hal-hal yang telah disepakati oleh pihak tertanggung dan pihak penanggung
berkenaan dengan risiko yang hendak dipertanggungkan dituangkan dalam suatu dokumen
atau akta yang disebut polis. Hal ini tercantum dalam Pasal 255 KUHD yang menyatakan
bahwa :
”Suatu pertanggungan harus dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang dinamakan
polis.”
Polis asuransi merupakan dokumen hukum utama yang dibuat secara sah memenuhi
syarat-syarat yang ditetapkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 251 KUHD. Polis
bukanlah suatu kontrak atau perjanjian asuransi, melainkan sebagai bukti adanya kontrak
atau perjanjian itu. Hal ini tercantum dalam Pasal 258 KUHD ayat (1) dan (2) yang
menyatakan :
” Untuk membuktikan hal ditutupnya perjanjian tersebut, diperlukan pembuktian
tulisan, namun demikian bolehlah lainlain alat pembuktian dipergunakan juga, manakala
sudah ada suatu permulaan pembuktian dengan tulisan.”
” Namun demikian bolehlah ketetapan-ketetapan dan syaratsyarat khusus, apabila
tentang itu timbul suatu perselisihan, dalam jangka waktu antara penutupan perjanjian dan
penyerahan polisnya, dibuktikan dengan segala alat bukti, tetapi dengan pengertian bahwa
segala hal yang dalam beberapa macam pertanggungan oleh ketentuan undang-undang
atas ancaman-ancaman batal, diharuskan penyebutannya dengan tegas dalam polis, harus
dibuktikan dengan tulisan.”
Polis menurut Pasal 259 ayat (1) KUHD seharusnya ditawarkan kepada penanggung
untuk ditandatangani dan di dalam waktu 24 jam. Dalam hal ini penanggung memiliki
posisi yang lebih rendah dibanding tertanggung karena yang membuat polis adalah pihak
tertanggung.
Pasal 260 KUHD Bila pertanggungan diadakan dengan perantaraan seorang makelar
asuransi, polisnya yang ditandatangani harus diserahkan dalam delapan hari setelah
mengadakan perjanjian.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan uraian-uraian dan hasil penelitian yang telah di kemukakanpada bab
sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan dan saran-sarandalam penelitian ini, yaitu
sebagai berikut :
A. KESIMPULAN
Kewajiban utama penanggung dalam perjanjian asuransi, khususnya asuransi
kecelakaan diri adalah memberi ganti kerugian berupa santunan, yang merupakan hak dari
tertanggung. Meskipun demikian kewajiban memberi ganti rugi itu merupakan suatu
kewajiban bersyarat atas terjadi atau tidak terjadinya suatu peristiwa yang diperjanjikan
yang mengakibatkan timbulnya suatu kerugian karena kecelakaan. Kewajiban utama
penanggung harus diimbangi dengan kewajiban utama tertanggung yaitu kewajiban untuk
membayar premi sesuai dengan ketentuan yang diperjanjikan dalam polis.
Karena dalam asuransi dikenal dengan prinsip no premium no claim. Apabila premi
tidak dibayarkan sesuai ketentuan, apabila terjadi klaim tidak dapat diproses lebih lanjut
atau no claim. Selain kewajiban untuk membayar premi, apabila terjadi klaim tertanggung
wajib untuk : melaporkan kejadian sesuai dengan tenggang waktu yang tercantum dalam
polis, melengkapi dokumen pendukung klaim yang dibutuhkan yang sesuai dengan polis.
B. SARAN
Pentingnya menyadari bahwa keterlibatan tertanggung maupun penanggung secara
pro aktif dalam proses penyelesaian klaim akan membuat proses tersebut menjadi lebih
cepat dari yang diharapkan sehingga akan memberikan kepuasan bagi kedua belah pihak.
Jadi sahnya perjanjian Asuransi tidak serta merta hanya dilihat dalam ketentuan Pasal
1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata saja, namun dapat dilihat dalam ketentuan
Pasal yang terkait dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan UndangUndang
Nomor. 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian, bahwa perjanjian asuransi tersebut
sah khusunya mengenai objek yang diatur haruslah jelas pengaturannya. Serta dalam
perjanjian asuransi pihak tertanggung membayarkan sejumlah premi kepada pihak
penanggung yakni perusahaan asuransi dan pihak tertanggung menerima polis asuransi
sebagai bukti bahwa perjanjian tersebut sah dilakukan serta pengaturan mengenai
objeknya sudah sangat jelas.

DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
A. Hasyim Ali., 2002, Pengantar Asuransi. Bumi Aksara , Jakarta.
Agus Sudjiono & Abdul Sudjanto., 1997, Prinsip dan Praktek Asuransi, LPAI,
Jakarta.
Bambang Sunggono., 1997, Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Pustaka,
Jakarta.
Literatur Abdulkadir Muhammad,2011,Hukum Asuransi Indonesia, PT.CitraAditya
Bakti,Bandung.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Normatif :Suatu Tinjauan
Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Mariam Barus Badrulzaman., 1994, Aneka Hukum Bisnis, PT Alumni, Bandung.
Sri Rejeki Hartono,1995,Hukum Asuransi Dan Perusahaan Asuransi,Jakarta
B.Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang diterjemahkan oleh R. Subekti dan R.
Tjitrosudibio, 2006, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diterjemahkan oleh R. Subekti dan R.
Tjitrosudibio, 1985, Pradnya Paramita, Jakarta.
Undang-Undang Nomor. 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian.
Undang – Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian
Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan Usaha
Perasuransian yang telah dirubah beberapa kali dan terakhir dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 81 Tahun 2008
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan
Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
C. INTERNET
www.hukumonline.com
www.jasindo.co.id
www.kompas.com
www.ri.go.id
www.yahoo.com

Anda mungkin juga menyukai