Anda di halaman 1dari 92

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA & PEMBAHASAN

A. Tinjauan Pustaka

1. Asuransi

a. Pengertian Asuransi

Asuransi dalam sudut pandang hukum dan ekonomi merupakan bentuk

manajemen risiko utama yang digunakan untuk menghindari kemungkinan

terjdinya kerugian yang tidak tentu. Asuransi didefinisikan sebagai transfer yang

wajar (adil) atas risiko kerugian, dari suatu entitas ke entitas lain. Dengan kata lain,

asuransi adalah suatu sistem yang diciptakan untuk melindungi orang, kelompok,

atau aktivitas usaha terhadap risiko kerugian finansial dengan cara membagi atau

menyebarkan risiko melalui pembayaran premi.8

Berdasarkan ketentuan Pasal 246 KUHD menjelaskan bahwa “Asuransi

atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana penanggung

mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi, untuk memberikan

penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan

keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu

peristiwa yang tak tertentu”.

Menurut ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992

tentang Perasuransian, asuransi atau pertanggungan adalah “Perjanjian antara dua

pihak atau lebih, di mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung

8
Mulhadi.2017. Dasar-Dasar Hukum Asuransi, Raja Grafindo Persada, Depok. hlm. 1

11
dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada

tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan yang diharapkan, atau

tanggung jawab kepada pihak ketiga yang mungkin ada diderita oleh tertanggung,

yang timbul dari suatu peristiwa tidak pasti, atau untuk memberikan suatu

pembayaran yang didasarkan atas meninggal seseorang yang dipertanggungkan”.

Berikut perbandingan antara ketentuan Pasal 246 KUHD dan Pasal 1 angka

(1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Perasuransian :

1) Dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang

Perasuransian dijelaskan mengenai asuransi jiwa dan asuransi kerugian.

Asuransi kerugian dijelaskan pada kalimat “penggantian karen kerugian,

kerusakan, kehilangan keuntungan yang diharapkan”. Sedangkan asuransi

jiwa dijelaskan pada kalimat “memberikan pembayaran yang didasarkan

atas meninggal atau hidupnya seseorang”. Asuransi jiwa tidak dijelaskan

dalam Pasal 246 KUHD.

2) Pihak-pihak dalam perjanjian asuransi atau pertanggungan menurut Pasal 1

angka (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Perasuransian

mencakup dua pihak atau lebih. Hal ini berarti bahwa pihak-pihak tersebut

kemungkinan bisa terjadi antara satu Penanggung dengan satu

Tertanggung, atau satu Penanggung dengan dua atau lebih Tertanggung.

Dalam KUHD perjanjian asuransi diadakan hanya oleh satu Penanggung

yang mengikatkan diri kepada satu Tertanggung.

3) Dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang

Perasuransian dijelaskan mengenai pertanggungan untuk kepentingan pihak

ketiga. Hal tersebut dijelaskan pada kalimat “tanggung jawab kepada pihak

12
ketiga yang mungkin ada diderita oleh tertanggung”. Pertanggungan untuk

kepentingan pihak ketiga tidak dijelaskan dalam Pasal 246 KUHD.

4) Dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang

Perasuransian dijelaskan mengenai objek-objek asuransi. Objek asuransi

tersebut berupa benda, kepentingan yang melekat pada suatu benda,

sejumlah uang dan jiwa manusia. Objek asuransi yang dijelaskan dalam

Pasal 246 KUHD tidak teradapat penjelasan mengenai jiwa manusia.

5) Dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang

Perasuransian dijelaskan mengenai evenemen yaitu peristiwa yang tidak

dapat dipastikan terjadi, tidak dapat ditentukan dan juga tidak dapat

diharapkan akan terjadi. Peristwa evenemen dapat mengakibatkan

timbulnya kerugian pada benda objek asuransi dan peristiwa meninggalnya

seseorang. Peristiwa meninggalnya seseorang tidak dijelaskan dalam Pasal

246 KUHD.

Pengertian asuransi yang lebih tepat tentu saja harus mengacu pada

ketentuan undang-undang terbaru, yakni Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014

tentang Perasuransian, di mana pada Pasal 1 angka (1) menyatakan bahwa

“Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu Perusahaan Asuransi dan

Pemegang Polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh Perusahaan

Asuransi sebagai imbalan untuk :

1) Memberikan penggantian kepada Tertanggung atau Pemegang Polis karena

kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau

tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita

13
Tertanggung atau Pemegang Polis karena terjadinya suatu peristiwa yang

tidak pasti; atau

2) Memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung

atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan

manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil

pengelolaan dana.

Dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang

Perasuransian menjelaskan bahwa perjanjian asuransi menjadi dasar bagi peneiman

premi oleh perusahaan asuransi atau dasar bagi Tertanggung (Pemegang Polis)

untuk berprestasi membayar premi sebagai kewajiban baginya, dan dengan premi

yang dibayarkan tersebut kemudian akan mengikat Perusahaan Asuransi untuk

melakukan kontra prestasi sesuai dengan jenis asuransi yang diambilnya, yaitu9 :

1) Pemberian penggantian (ganti) atas kerugian, kerusakan, biaya yang timbul,

kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga.

Pemberian penggantian atau “ganti kerugian” ini ditujukan pada asuransi

kerugian dan sejenisnya seperti asuransi tanggung jawab hukum.

2) Pemberian pembayaran sejumlah uang yang didasarkan atas meninggal atau

hidupnya Tertanggung. Pembayaran ini tentunya berlaku bagi kelompok

asuransi sejumlah uang seperti asuransi jiwa dan sejenis, termasuk di

dalamnya asuransi unit-link sebagai turunannya.

Perjanjian asuransi, pada dasarnya merupakan suatu perjanjian yang

mempunyai karakteristik yang dengan jelas akan memberikan suatu ciri khusus,

9
Ibid. hlm. 7-8.

14
apabila dibandingkan dengan jenis perjanjian yang lain. Hal ini secara jelas dibahas

dalam buku-buku Anglo Saxon yang antara lain menyatakan sebagai berikut :10

1) Perjanjian asuransi adalah perjanjian yang bersifat aleatair (aleatary),

maksudnya ialah bahwa perjanjian ini merupakan perjanjian, yang prestasi

penanggung masih harus digantungkan pada satu peristiwa yang belum

pasti. Dan meskipun tertanggung sudah memenuhi prestasinya dengan

sempurna, pihak penanggung belum pasti berprestasi dengan nyata.

2) Perjanjian asuransi adalah perjanjian bersyarat (conditional), maksudnya

adalah bahwa perjanjian itu merupakan suatu perjanjian yang prestasi

penanggung hanya akan terlaksana apabila syarat-syarat yang ditentukan

dalam perjanjian dipenuhi. Pihak tertanggung pada satu sisi tidak berjanji

untuk memenuhi syarat, tetapi ia tidak dapat memaksa penanggung

melaksanakan, kecuali dipenuhi syarat-syarat.

3) Perjanjian asuransi adalah perjanjian yang bersifat sepihak (unilateral),

maksudnya adalah bahwa perjanjian ini menunjukan bahwa hanya satu

pihak saja yang memberikan janji yaitu pihak penanggung. Penanggung

memberikan janji akan mengganti suatu kerugian, apabila pihak

tertanggung sudah membayar premi dan polis sudah berjalan, sebaliknya

tertanggung tidak menjanjikan suatu apapun.

4) Perjanjian asuransi adalah perjanjian yang bersifat pribadi (personal),

maksudnya ialah bahwa kerugian yang timbul harus merupakan kerugian

orang perorangan, secara pribadi, bukan kerugian kolektif ataupun kerugian

10
Sri Rejeki Hartono. 2008. Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Sinar Grafika, Jakarta.
hlm. 92.

15
masyarakat luas. Kerugian yang bersifat pribadi itulah yang nantinya akan

diganti oleh penanggung.

5) Perjanjian asuransi adalah perjanjian yang melekat pada syarat penanggung

(adhesion), karena di dalam perjanjian asuransi pada hakikatnya syarat dan

kondisi perjanjian hampir seluruhnya ditentukan diciptakan oleh

penanggung/perusahaan asuransi sendiri, dan bukan karena adanya kata

sepakat yang murni atau menawar. Oleh karena itu dapat dianggap bahwa

kondisi perjanjian asuransi sebagian besar ditentukan secara sepihak oleh

penanggung sehingga penanggung dianggap sebagai penyusun perjanjian

dan seharusnya mengetahui apabila timbul pengertian yang tidak jelas,

harus diuntungkan pihak tertanggung.

6) Perjanjian asuransi adalah perjanjian dengan syarat iktikad baik yang

sempurna, maksudnya ialah bahwa perjanjian asuransi merupakan

perjanjian dengan keadaan bahwa kata sepakat dapat tercapai/negosiasi

dengan posisi masing-masing mempunyai pengetahuan yang sama

mengenai fakta, dengan penilaian sama penelaahnya untuk memperoleh

fakta yang sama pula, sehingga dapat bebas dari cacat-cacat tersembunyi.

b. Tujuan Asuransi

Seseorang dalam menjalani kehidupan, pasti mengalami suatu persitiwa

yang tidak pasti. Peristiwa yang tidak pasti ini merupakan keadaan yang selalu ingin

dihindari oleh seseorang. Keadaan tidak pasti atas setiap kemungkinan yang dapat

terjadi baik dalam bentuk atau peristiwa yang belum pasti dan menimbulkan rasa

tidak aman biasa disebut sebagai resiko.

16
Menurut teori pengalihan resiko (risk transfer theory), tertanggung
menyadari bahwa ada ancaman bahaya terhadap harta kekayaan
miliknya atau terhadap jiwanya. Jika bahaya tersebut menimpa harta
kekayaan atau jiwanya, dia akan menderita kerugian atau korban jiwa
atau cacat raganya. Secara ekonomi, kerugian material atau korban
jiwa atau cacat raga akan mempengaruhi perjalanan hidup seseorang
atau ahli warisnya. Tertanggung sebagai pihak yang terancam bahaya
merasa berat memikul beban risiko yang sewaktu-waktu dapat
terjadi.11

Upaya mengurangi atau menghilangkan beban risiko tersebut, pihak

tertanggung berupaya mencari jalan kalau ada pihak lain yang bersedia mengambil

alih beban risiko ancaman bahaya dan dia sanggup membayar kontra prestasi yaitu

pembayaran premi. Pengalihan risiko dari tertanggung kepada penanggung

diimbangi dengan pembayaran premi oleh tertanggung, yang seimbang dengan

berat risiko yang dialihkan, ataupun dapat diperjanjikan tidak perlu seimbang.12

Dalam hal terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian (resiko berubah

menjadi kerugian), maka kepada tertanggung yang bersangkutan akan dibayarkan

ganti kerugian seimbang dengan sejumlah asuransinya. Dengan demikian, tujuan

diadakannya asuransi tersebut agar tertanggung memperoleh pembayaran ganti

kerugian yang sungguh-sungguh didertitanya.

c. Prinsip Asuransi

Dalam asuransi di terapkan berbagai prinsip-prinsip, yaitu sebagai berikut :

1) Prinsiple of Insurable Interest

11
Abdukkadir Muhammad. 2011. Hukum Asuransi Indonesia cetakan ke-V, PT.Citra Aditya Bakti,
Bandung. hlm. 12.
12
Man Suparman Sastrawidjaja.2003, Aspek-Aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga,
Bandung Alumni. hlm. 185

17
Bahwa, seseorang boleh mengansurasikan barang-barang apabila yang

bersangkutan mempunyai kepentingan atas barang yang dipertanggungkan

(Pasal 250 KUHP)

2) Prinsiple of Utmost Good Faith

Penutupan asuransi baru sah, apabila penutupannya didasari itikad baik

sempurna (pasal 251 KUHP)

3) Prinsiple of Indemnity

Dasar penggantian kerugian dari penanggung kepada tertanggung setinggi-

tingginya adalah sebesar kerugian yang sesungguhnya diderita tertanggung

dalam arti tidak dibenarkan mencari keuntungan dari ganti rugi asuransi

4) Prinsiple of Subrogatian

Apabila tertanggung sudah mendapatkan penggantian atas dasar indemnity,

maka si tertanggung tidak berhak lagi memperoleh penggantian dari pihak

lain, walaupun jelas ada pihak lain yang bertanggungjawab pula atas

kerugian yang dideritanya. Penggantian dari pihak lain harus diserahkan

pada penanggung yang telah memberikan ganti rugi dimaksud (pasal 284

KUHP).13

5) Prinsiple of Proximate Cause

13
Kasmir.2001. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Raja Grafindo Persada, Jakarta. hlm. 260.

18
Adalah suatu sebab aktif, efisiensi yang mengakibatkan terjadinya suatu

peristiwa secara berantai atau berurutan dan intervensi kekuatan lain,

diawali dan bekerja dengan aktif dari suatu sumber baru dan independen

6) Prinsiple of Contribution

Suatu prinsip di mana penanggung berhak mengajak penanggung-

penanggung lain yang memiliki kepentingan yang sama untuk ikut bersama

membayar ganti rugi kepada seseorang tertanggung, meskipun jumlah

tanggungan masing-masing penanggung belum tentu sama besarnya.14

d. Risiko dan Evenemen

Asuransi adalah pemindahan risiko murni dari Tertanggung kepada

Penanggung. Penanggung adalah orang atau perusahaan yang mengkhususkan diri

memikul risiko dan Tertanggung adalah orang atau perusahaan yang menghadapi

risiko. Bisnis utama dari penanggung adalah memikul risiko dengan menerima fee.

Penerimaan fee ini membedakannya dengan pemikul risiko lain.15

Yang dimaksud dengan risiko murni adalah suatu peristiwa ketidakpastian

yang apabila terjadi selalu menimbulkan kerugian atas benda atau hilangnya jiwa

manusia.

Gunanto menyatakan bahwa risiko merupakan inti dari asuransi.16 Risiko

adalah ketidaktentuan (ketidakpastian) atau uncertainty yang mungkin melahirkan

kerugian (loss). Risiko juga dapat timbul dari suatu tindakan yang lain (dari orang

14
C.S.T. Kansil. 1996. Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia cetakan ke-IV, Sinar
Grafika, Jakarta. hlm. 429.
15
A. Hasymi Ali.1995. Pengantar Asuransi, Bumi Aksara, Jakarta. hlm. 169
16
Gunanto.1984. Asuransi Kebakaran di Indonesia, Tiara Pustaka, Jakarta. hlm. 22.

19
lain), yaitu risiko atas suatu peristiwa yang timbul karena terjadinya peristiwa lain

yang di luar tindakannya.

Jadi, ciri-ciri risiko dalam asuransi, yaitu :

a. Bahaya yang mengancam benda atau objek asuransi

b. Berasal dari faktor ekonomi, alam atau manusia

c. Dapat menimbulkan kerugian bagi jiwa/raga, kekayaan dan tanggung

jawab).

Sementara itu, yang dimaksud dengan evenemen (peristiwa yang tidak pasti)

adalah suatu peristiwa yang tidak diharapkan terjadinya, dan secara subjektif

diketahui bahwa peristiwa itu belum timbul sebelumnya dan tidak ada kepastian

kapan peristiwa itu akan terjadi, apabila persitiwa tersebut terjadi akan

mengakibatkan kerugian.

Jadi, ciri-ciri evenemen dalam asuransi, yaitu :

a. Peristiwa yang terjadi itu menimbulkan kerugian

b. Terjadnya itu tidak diketahui, tidak dapat direncanakan

c. Berasal dari faktor ekonomi, alam dan manusia

d. Dapat menimbulkan kerugian bagi jiwa/raga, kekayaan dan tanggung

jawab).

e. Objek Asuransi

1) Benda Asuransi

20
Benda asuransi merupakan salah satu objek asuransi, yakni karena terdapat

suatu kepentingan yang dapat dinilai dengan uang. Benda asuransi adalah harta

kekayaan yang mempunyai nilai ekonomi, dan dapat dinilai dengan sejumlah uang.

Menurut teori kepentingan (interest theory), pada asuransi


melekat hak subjektif yang tidak berwujud. Karena benda asuransi
dapat rusak, hilang, musnah, atau berkurang nilainya, maka hak
subjektif juga dapat demikian. Dalam literatur hukum asuransi, hak
subjektif ini disebut kepentingan (interest). Kepentingan itu sifatnya
absolut artinya, harus ada pada setiap objek tersebut dan mengikuti ke
mana saja benda tersebut berada. Kepentingan itu harus sudah ada
pada benda asuransi pada saat asuransi diadakan atau setidak-tidaknya
pada saat terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian (evenemen).17

2) Premi Asuransi

Ketentuan Pasal 256 angka 7 KUHD bahwa, polis harus memuat premi

asuransi yang bersangkutan. Sehubungan dengan hal tersebut, premi merupakan

syarat esesensial dalam perjanjian asuransi.

Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian,

Pasal 1 angka (29) menyatakan bahwa “Premi adalah sejumlah uang yang

ditetapkan oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dan disetujui oleh

Pemegang Polis untuk dibayarkan berdasarkan perjanjian asuransi/perjanjian

reasuransi, ataupun sejumlah uang yang ditetapkan berdasarkan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang mendasari program asuransi wajib untuk

memperoleh manfaat.

3) Peristiwa

17
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit. hlm. 87.

21
Peristiwa yang belum pasti terjadi (evenemen) merupakan salah satu unsur

yang ditentukan harus ada untuk dapat ditutupnya perjanjian asuransi, sesuai

dengan sifat asuransi sebagai perjanjian bersyarat. Hal ini ditegaskan di dalam Pasal

256 KUHD bahwa polis harus menyatakan bahaya-bahaya yang ditanggung oleh si

Penanggung/Perusahaan Asuransi.

Pasal 269 KUHD menjelaskan bahwa “Setiap asuransi yang dilakukan atas

sesuatu kepentingan yang bagaimana pun, yang kerugiannya, terhadap hal tersebut

asuransi diadakan, sudah ada pada saat ditutupnya perjanjian adalah batal, apabila

Tertanggung atau orang yang dengan atau tanpa pemberian kuasa telah

mengadakan asuransi itu, telah mengetahui sudah adanya kerugian tersebut”.

Maka, ketika ditutupnya perjanjian asuransi tersebut Tertanggung atau

pengambil asuransi sudah mengetahui peristiwa kerugian itu telah terjadi dapat

disimpulkan bahwa asuransi batal. Kemudian apabila ketika diadakan perjanjian

asuransi, peristiwa yang menyebabkan kerugian telah terjadi dan Tertanggung tidak

mengetahui terjadinya peristiwa tersebut, maka asuransi tidak menjadi batal. Hal

tersebut memiliki makna yang lain bahwa, terjadinya suatu peristiwa yang

menyebabkan kerugian tersebut karena adanya unsur ketidaksengajaan dari

Tertanggung.

4) Uang Asuransi

Ditentukannya jumlah uang asuransi pada waktu perjanjian asuransi

diadakan yaitu untuk menetapkan berapa besar jumlah kerugian yang akan

dibayarkan oleh Penanggung kepada Tertanggung. Pasal 256 angka 4 bahwa “Polis

harus dinyatakan jumlah uang untuk berapa diadakan asuransi”.

22
f. Pihak-Pihak dalam Asuransi

Subyek dalam perjanjian asuransi adalah pihak-pihak yang bertindak aktif

yang mengamalkan perjanjian itu, yaitu pihak tertanggung, pihak penanggung dan

pihak-pihak yang berperan sebagai penunjang perusahaan asuransi.

1) Penanggung

Pengertian penanggung secara umum, adalah pihak yang menerima

pengalihan risiko dimana dengan mendapat premi, berjanji akan mengganti

kerugian atau membayar sejumlah uang yang telah disetujui, jika terjadi peristiwa

yang tidak dapat diduga sebelumnya, yang mengakibatkan kerugian bagi

tertanggung. Dari pengertian penanggung tersebut di atas, terdapat hak dan

kewajiban yang mengikat penanggung.

Menurut Prof. Dr. H. Man Suparman Sastrawidjaja, S.H., S.U. hak

penanggung antara lain :18

a. Menuntut pembayaran premi kepada tertanggung sesuai dengan

perjanjian.

b. Meminta keterangan yang benar dan lengkap kepada tertanggung yang

berkaitan dengan obyek yang diasuransikan kepadanya.

c. Memiliki premi dan bahkan menuntutnya dalam hal peristiwa yang

diperjanjikan terjadi tetapi disebabkan oleh kesalahan tertanggung

sendiri. (Pasal 276 KUHD).

18
Man Suparman Sastrawidjaja. Op.Cit. hlm. 22.

23
d. Memiliki premi yang sudah diterima dalam hal asuransi batal atau gugur

yang disebabkan oleh perbuatan curang dari tertanggung. (Pasal 282

KUHD).

e. Melakukan asuransi kembali kepada penanggung yang lain dengan

maksud untuk membagi risiko yang dihadapinya. (Pasal 271 KUHD).

Sedangkan kewajiban dari penanggung adalah :19

a. Memberikan ganti kerugian atau memberikan sejumlah uang kepada

tertanggung apabila peristiwa yang diperjanjian terjadi, kecuali jika

terdapat hal yang dapat menjadi alasan untuk membebaskan dari

kewajiban tersebut.

b. Menandatangani dan menyerahkan polis kepada tertanggung (Pasal 259,

260 KUHD).

c. Mengembalikan premi kepada tertanggung jika asuransi batal atau gugur,

dengan syarat tertanggung belum menanggung risiko sebagian atau

seluruhnya (premi restorno, Pasal 281 KUHD).

d. Dalam asuransi kebakaran, penanggung harus mengganti biaya yang

diperlukan untuk membangun kembali apabila dalam asuransi tersebut

diperjanjikan demikian (Pasal 289 KUHD).

2) Tertanggung

Pengertian tertanggung secara umum adalah pihak yang mengalihkan risiko

kepada pihak lain dengan membayarkan sejumlah premi.

19
Ibid. hlm. 23.

24
Berdasarkan Pasal 250 KUHD yang dapat bertindak sebagai tertanggung

adalah “Bilamana seseorang yang mempertanggungkan untuk diri sendiri, atau

seseorang, untuk tanggungan siapa diadakan pertanggungan oleh seorang yang lain,

pada waktu pertanggungan tidak mempunyai kepentingan atas benda tidak

berkewajiban mengganti kerugian.” Jadi, yang berhak bertindak sebagai

tertanggung adalah pihak yang mempunyai kepentingan terhadap obyek yang

dipertanggungkan. Apabila kepentingan tersebut tidak ada, maka pihak

penanggung tidak berkewajiban memberikan ganti kerugian yang diderita pihak

tertanggung.

Kemudian, Pasal 264 KUHD menentukan selain mengadakan perjanjian

asuransi untuk kepentingan diri sendiri, juga diperbolehkan mengadakan perjanjian

asuransi untuk kepentingan pihak ketiga, baik berdasarkan pemberian kuasa dari

pihak ketiga itu sendiri ataupun di luar pengetahuan pihak ketiga yang

berkepentingan.

Tertanggung dalam pelaksanaan perjanjian asuransi mempunyai hak dan

kewajiban yang harus dilaksanakan, sehingga apabila terjadi peristiwa yang tidak

diharapkan yang terjamin kondisi polis maka penanggung dapat melaksanakan

kewajibannya.

Menurut Prof. Dr. H. Man Suparman Sastrawidjaja, S.H., S.U. hak

tertanggung antara lain : 20

a. Menuntut agar polis ditandatangani oleh penanggung (Pasal 259

KUHD).

20
Ibid. hlm. 20.

25
b. Menuntut agar polis segera diserahkan oleh penanggung (Pasal 260

KUHD).

c. Meminta ganti kerugian bila terjadi hal peristiwa yang tidak diharapkan

yang terjamin dalam polis.

Kewajiban tertanggung adalah :21

a. Membayar premi kepada penanggung (Pasal 246 KUHD).

b. Memberikan keterangan yang benar kepada penanggung mengenai

obyek yang diasuransikan (Pasal 251 KUHD).

c. Mencegah atau mengusahakan agar peristiwa yang dapat menimbulkan

kerugian terhadap obyek yang diasuransikan tidak terjadi atau dapat

dihindari; apabila dapat dibuktikan oleh penanggung, bahwa tertanggung

tidak berusaha untuk mencegah terjadinya peristiwa tersebut dapat

menjadi salah satu alasan bagi penanggung untuk menolak memberikan

ganti kerugian bahkan sebaliknya menuntut ganti kerugian kepada

tertanggung (Pasal 283 KUHD)

d. Memberitahukan kepada penanggung bahwa telah terjadi peristiwa yang

menimpa obyek yang diasuransikan.

3) Agen Asuransi

Agen asuransi adalah pihak yang mewakili Penanggung dalam melakukan

transaksi atas nama Penanggung tersebut, tetapi tidak bertanggung jawab sama

sekali atas apa yang dijanjikan dan hal-hal yang menyangkut ketetapan perjanjian

ketika menawarkan produk asuransi kepada Tertanggung. Menurut Pasal 1 angka

21
Ibid. hlm. 21.

26
28 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, menjelaskan

bahwa agen asuransi adalah “Orang yang bekerja sendiri atau bekerja pada badan

usaha, yang bertindak untuk dan atas nama Perusahaan Asuransi atau Perusahaan

Asuransi Syariah dan memenuhi persyaratan untuk mewakili Perusahaan Asuransi

atau Perusahaan Asuransi Syariah memasarkan produk asuransi atau produk

asuransi syariah”.

Agen asuransi memilik peran dalam terjadinya kesepakatan antara pihak

Tertanggung dengan pihak Penanggung yang mana kesepakatan tersebut akan

dibuat dalam perjanjian asuransi. Peran agen asuransi tersebut yaitu sebagai

penghubung antara Penanggung (Perusahaan Asuransi) dengan Tertanggung

(Konsumen) dalam menawarkan produk asuransi. Jadi, agen adalah seserorang

yang memberikan jasa sebagai perantara untuk melakukan transaksi bisnis tertentu

yang menghubungkan pelaku usaha yang satu dengan yang lain atau yang

menghubungkan pelaku usaha dengan konsumen di pihak yang lain.

Diperlukannya agen asuransi yaitu :

Menurut teori agensi (angency theory), bahwa teori agensi


memberikan pandangan yang terbaru terhadap good corporate
governance (GCG), yaitu para pendiri PT dapat membuat perjanjian
yang seimbang antara principal (Perusahaan Asuransi) dan agen.
Teori agensi menekankan pentingnya principal (Perusahaan
Asuransi) menyerahkan pengelolaan pemasaran jasa asuransi kepada
tenaga profesional (Agen) yang lebih mengerti di bidangnya.22

Agency theory merupakan teori yang menjelaskan tentang hubungan

kontraktual antara pihak yang mendelegasikan pengambilan keputusan tertentu

(principal) dan pihak yang menerima pendelegasian tersebut (agent). Agency

22
Misahardi Wilamarta. 2002. Hak Pemegang Saham Minoritas dalam Rangka Good Corporate
Governance, Program Pasca Sarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. hlm. 27-28.

27
theory memfokuskan pada penentuan perjanjian yang paling efisien yang

mempengaruhi hubungan prinsipal dan agen.23 Hubungan prinsipal dengan agen

pada prinsipnya didasarkan pada suatu kesepakatan, yaitu agen setuju untuk

melakukan suatu perbuatan hukum bagi prinsipal dan pada sisi lain prinsipal setuju

atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh agen tersebut. Sehingga dengan adanya

kesepakatan tersebut, maka tanggung jawab atas perbuatan hukum yang dilakukan

oleh agen dibebankan pada prinsipal.

Perusahaan asuransi (Penanggung) memiliki tanggung jawab kepada agen

asuransi dalam menawarkan produk asuransi milik perusahaan asuransi

(Penanggung) tersebut, hal ini diatur dalam Pasal 18 Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan

Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan

Reasuransi Syariah. “Bahwa Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,

atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi yang mengunakan Agen Asuransi

dalam memasarkan produknya wajib memastikan bahwa dalam kegiatan

pemasarannya, Agen Asuransi paling sedikit telah melakukan tindakan sebagai

berikut” :

a. Menyampaikan identitas sebagai wakil sah dari Perusahaan Asuransi,

Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan

Asuransi dengan menunjukkan lisensi keagenan yang berlaku untuk

Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah

pada Perusahaan Asuransi yang diwakilinya

23
Antonius Alijoyo dan Subiarto Zaini. 2004. Komisaris Independen, Penggerak Praktik GCG di
Perusahaan¸ PT Indeks, Jakarta. hlm. 6.

28
b. Menyampaikan informasi mengenai produk asuransi yang ditawarkan

dan informasi penting yang terkait dengan syarat dan ketentuan polis

dengan memperhatikan ketentuan peraturan OJK mengenai perlindungan

konsumen sektor jasa keuangan

c. Menyampaikan kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta atas

penerimaan atau penolakan surat penutupan asuransi dari Perusahaan

Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada

Perusahaan Asuransi kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta

paling lama 5 (lima) hari kerja sejak ada keputusan penerimaan atau

penolakan pertanggungan

d. Menginformasikan dokumen yang diperlukan untuk pengajuan formulir

e. permohonan penutupan asuransi

f. Meminta dokumen yang diperlukan untuk pengajuan formulir

permohonan dan dokumen lainnya yang dimintakan oleh Perusahaan

Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada

Perusahaan Asuransi untuk penutupan asuransi

g. Memastikan pemegang polis, tertanggung, atau peserta mengisi seluruh

formulir surat permohonan pertanggungan asuransi secara lengkap sesuai

dengan dokumen yang disampaikan.

2. Asuransi Jiwa

a. Pengertian Asuransi Jiwa

Dalam KUHD diatur mengenai asuransi jiwa, Pasal 302 KUHD

menjelaskan bahwa “Jika seseorang dapat guna keperluan seseorang yang

29
berkepentingan, dipertanggungkan, baik untuk selama hidupnya jiwa itu, baik

untuk suatu waktu yang ditetapkan dalam perjanjian”. Jadi, asuransi jiwa adalah

sejenis perjanjian asuransi yang mempertanggungkan jiwa seseorang yang

berkepentingan, baik untuk jangka waktu tertentu maupun untuk sepanjang

hidupnya.24

Kemudian, Pasal 303 KUHD yang berbunyi “Si yang berkepentingan itu

dapat mengadakan pertanggungan tersebut bahkan di luar pengetahuan atau

persetujuan orang yang jiwanya dipertanggungkan”. Menurut Pasal 303 KUHD,

orang yang jiwanya dipertanggungkan atau penikmat (beneficary) tidak perlu tahu

atau tidak perlu pula dimintai izin bila Si yang berkepentingan memiliki niat untuk

menutup asuransi untuk dirinya. Oleh karenanya, wajar saja bila seorang ayah boleh

menutup asuransi asuransi jiwa bagi istri dan anak-anaknya atau kedua

orangtuanya, tanpa perlu memberitahu tahu atau tanpa perlu meminta izin pada

mereka yang akan dipertanggungkan jiwanya. Kebolehan tersebut tentu beralasan

karena Si penutup polis memiliki kepentingan (hubungan hukum) dengan orang-

orang yang dipertanggungkan jiwanya. Baik kepentingan itu terbentuk hubungan

perkawinan (suami menutup polis bagi istrinya), hubungan darah (seorang anak

menutup polis bagi kedua orangtuanya atau seseorang ayah menutup polis bagi

anak-anaknya).25

Menurut H.M.N Purwosutjipto, asuransi jiwa atau disebut juga


dengan pertanggungan jiwa adalah perjanjian timbal-balik antara
penutup asuransi (Tertanggung) dengan Penanggung dengan mana
penutup asuransi mengikatkan diri selama jalannya pertanggungan
dengan membayar uang premi kepada Penanggung. Sedangkan
Penanggung, sebagai akibat langsung dari meninggalnya orang yang

24
Mulhadi. Op.Cit. hlm. 231.
25
Ibid. hlm. 232

30
jiwanya dipertanggungkan atau telah lampaunya suatu jangka waktu
yang diperjanjikan mengikat diri untuk membayar sejumlah uang
tertentu kepada orang yang ditunjuk untuk penutup asuransi sebagai
penikmatnya.26

Jadi, pada asuransi jiwa diperjanjikan demi kepentingan diri sendiri

(Tertanggung) atau untuk orang lain yang jiwanya akan dipertanggungkn. Hal yang

membedakan yang ada pada asuransi jiwa, yaitu, apabila sampai berakhirnya

jangka waktu asuransi tidak terjadi peristiwa kematian atau kecelakann yang

menimpa diri Tertanggung, maka Tertanggung akan memperoleh pengembalian

sejumlah dari Penanggung sesuai dengan isi perjanjian asuransi. Premi yang

dibayar oleh Tertanggung itu seolah-olah sebagai tabungan pada Penanggung.

Kemudian di dalam asuransi jiwa apabila dalam jangka waktu asuransi terjadi

peristiwa kematian atau kecelakaan yang menimpa diri Tertanggung, maka

Penanggung akan membayar jumlah asuransi yang telah disepakati bersama seperti

tercantum dalam polis. Pembayaran tersebut didasarkan karena adanya peristiwa

kematian atau kecelakaan, bukan karena terjadinya kerugian. Maka fungsi

diadakannya asuransi jiwa, yaitu :27

a. Media Proteksi : memberikan santunan kepada ahli waris ketika

tertanggung meninggal dunia dalam periode pertanggungan.

b. Media Investasi : memberikan santunan kepada ahli waris atau pemegang

polis ketika tertanggung tetap hidup sampai usia tertentu atau sampai

akhir masa pertanggungan.

26
H.M.N Purwosutjipto. 1992. Pengertian Pokok Hukum Dagang, Jilid 6, Penerbit Djambatan,
Jakarta. hlm. 9.
27
Dessy Danarti.2011. Jurus Pintar Asuransi, Agar Anda Tenang, Aman, dan Nyaman, Gmedia,
Yogyakarta. hlm. 49.

31
b. Subjek dan Objek Asuransi Jiwa

Dalam asuransi jiwa, asuransi diadakan untuk menjamin apabila

Tertanggung mengalami suatu evenemen yang mengakibatkan Tertanggung

meninggal dunia atau cacat.

Kemudian, setidaknya ada tiga jenis risiko yang memengaruhi diadakannya

perjanjan asuransi jiwa, yaitu risiko kematian, risiko hari tua dan risiko kecelakaan

atau sakit.

Tertanggung dapat mengadakan asuransi jiwa untuk pihak ketiga ataupun

untuk dirinya sendiri, jadi dalam asuransi jiwa terdapat Penanggung, Tertanggung

dan pihak ketiga yaitu orang yang menerima manfaat (beneficiary) dari

Tertanggung.

Pada dasarnya Penanggung merupakan perusahaan asuransi yang

menanggung beban risiko (jiwa/raga) sebagai imbalan premi yang diterimanya dari

Tertanggung. Dalam asuransi jiwa, jika terjadi suatu peristiwa yang mengakibatkan

matinya Tertanggung, maka Penanggung wajib membayar uang santunan sesuai

dengan uang asuransi yang diperjanjikan, atau jika berakhirnya jangka waktu

asuransi tanpa terjadi suatu peristiwa, maka Penanggung wajib membayar sejumlah

uang pengembalian kepada Tertanggung.

Pihak ketiga atau penerima manfaat (beneficiary) adalah orang yang

ditunjuk oleh Tertanggung, baik berdasarkan kuasa umum atau khusus, bahkan

tanpa pengetahuan pihak yang berkepentingan (ahli waris tertanggung). Penerima

manfaat berhak menikmati santunan yang diperjanjikan dalam asuransi apabila

terjadi evenemen yang mengakibatkan Tertanggung meninggal.

32
Akan tetapi jika evenemen tidak terjadi, maka Tertanggung atau Pemegang

polis berhak menikmati pengembalian sejumlah uang yang dibayar oleh

Penanggung atas pembayaran premi dari Tertanggung.

Pihak ketiga atau penerima manfaat (beneficiary) tidak mempunyai

kewajiban membayar premi terhadap Penanggung. Jadi, beneficiary tidak memiliki

tanggung jawab atas asuransi jiwa yang diadakan oleh Tertanggung. Asuransi jiwa

untuk kepentingan pihak ketiga atau penerima manfaat (beneficiary) harus

dicantumkan dalam polis.28

c. Jenis-Jenis Asuransi Jiwa

Terdapat 3 jenis asuransi jiwa tradisional, yaitu :

1) Asuransi Jiwa Berjangka (Term)

Asuransi jiwa berjangka memberikan perlindungan asuransi untuk suatu

jangka waktu tertentu dan membayarkan manfaat hanya jika Tertanggung

meninggal dunia.29 Asuransi jiwa berjangka atau asuransi term life memberikan

proteksi jiwa dalam waktu yang terbatas, memiliki nilai premi atau pembayaran per

bulan yang rendah dengan nilai pertanggungan yang lebih besar, namun jika sampai

masa akhir masa perjanjian asuransi pemegang polis masih dalam keadaan sehat,

maka otomatis perjanjian berakhir dan tidak ada uang yang akan dikembalikan atau

diterima Tertanggung.

28
Abdulkadir Muhammad. Op.Cit. hlm. 199.
29
Achdijat D. 1995. Teknik Pengelolaan Asuransi Jiwa, Gunadarma, Jakarta. hlm. 32.

33
Terdapat berbagai bentuk asuransi jiwa berjangka, yaitu asuransi jiwa

berjangka tetap, asuransi jiwa berjangka menurun, dan asuransi jiwa berjangka

menaik :30

a. Asuransi jiwa berjangka tetap, memberikan perlindungan pada tingkat

jumlah pembayaran asuransi yang tetap sampai jangka waktu berakhir.

b. Asuransi jiwa berjangka menurun, memberikan perlindungan dengan

jumlah pembayaran asuransi yang menurun secara bertahap sepanjang

jangka waktu perlindungan.

c. Asuransi jiwa berjangka menaik, memberikan perlindungan dengan

jumlah pembayaran asuransi yang terus naik pada selang periode tertentu

sepanjang jangka waktu polis.

2) Asuransi Jiwa Seumur Hidup (Whole Life)

Dikatakan seumur hidup karena adanya perlindungan permanen untuk

seumur hidup, dimulai sejak tanggal penerbitan polis hingga pemilik polis

meninggal dunia, asalkan premi dibayar oleh Tertanggung.31

Asuransi jiwa seumur hidup memberikan perlindungan dalam jangka waktu

yang lebih lama dari asuransi jiwa berjangka, karena perlindungan asuransi jiwa

seumur hidup adalah permanen, sehingga adanya jaminan uang kembali (tabungan

jangka panjang), tetapi asuransi jiwa seumur hidup memiliki nilai premi yang lebih

besar.

30
Ibid.
31
Ibid. hlm. 36.

34
Ada beberapa macam asuransi jiwa seumur hidup, yaitu asuransi jiwa

seumur hidup modifikasi, bertingkat, deposit minimum dan tidak tetap :32

a. Asuransi jiwa seumur hidup modifikasi, yang membedakan yaitu

pembayaran premi yang rendah pada beberapa tahun pertama dan akan

lebih besar pada akhir-akhir tahun.

b. Asuransi jiwa seumur hidup bertingkat, premi pada awal tahun lebih

rendah, setelah itu meningkat setiap tahun hingga mencapai tingkat yang

mencukupi.

c. Asuransi jiwa seumur hidup deposit minimum, dimulai dengan

membentuk nilai tunai bersamaan dengan pembayaran premi pertama.

Sejak saat itu, pemegang polis memnjam dari nilai tunai yang terbentuk

untuk membayar sebagian atau seluruh premi yang disyaratkan.

d. Asuransi jiwa seumur hidup dengan premi tidak tetap, yaitu polis dengan

tarif premi yang disesuaikan berdasarkan antisipasi pengalaman masa

mendatang Penanggung. Premi tertinggi, seperti tertuang dalam

perjanjian, sekalipun premi yang dibayarkan pada saat penerbitan lebih

rendah dan bertahan pada suatu jangka waktu tertentu. Setelah jangka

awal dilampaui dan berdasarkan ekspektasi perusahaan atas mortalita,

biaya dan investasi premi dapat meningkat, tetap atau menurun.

3) Asuransi Jiwa Dwiguna (Endowment)

Manfaat yang diberikan dalam asuransi jiwa dwiguna yang pertama yaitu,

berupa penerimaan sejumlah uang pertanggungan jika Tertanggung meninggal

32
Ibid. hlm. 39.

35
dunia dalam periode waktu tertentu sesuai dengan kebijakan polis asuransi yang

dibeli. Kedua, jika Tertanggung masih hidup saat jangka waktu berakhir,

Tertanggung atau ahli waris yang ditunjuk akan mendapatkan seluruh

pertanggungan, atau Tertanggung juga bisa mendapatkan nilai tunai berkala

sebelum masa perjanjian berakhir.33 Tetapi beban pembayaran premi yang

diberikan kepada Tertanggung lebih tinggi.

d. Prinsip-Prinsip dalam Asuransi Jiwa

1) Prinsip kepentingan (Insurable Interest)

Dalam asuransi jiwa yang menjadi objek adalah jiwa atau raga seseorang.

Atas jiwa atau raga tersebut yang berkepentingan adalah dirinya sendiri atau pihak

ketiga. Pihak ketiga memiliki kepentingan terhadap Tertanggung karena

merupakan ahli waris atau orang disebut di dalam polis untuk menerima santunan

atas meninggalnya Tertanggung.

Dalam asuransi jiwa kepentingan Tertanggung terhadap hidup atau matinya

seseorang yang dipertanggungkan dijadikan syarat bagi Tertanggung untuk

menerima jaminan asuransi dari Penanggung akibat adanya kerugian finansial dan

hilangnya hak subjektif yang diberikan Tertanggung kepada keluarganya. 34

2) Prinsip itikad baik (Utmost Good Faith)

Pada hakikatnya asas kejujuran adalah asas bagi setiap perjanjian asuransi

yang ada dalam ketentuan KUH Perdata. Tidak dipenuhi asas akan menutup suatu

perjanjian suatu perjanjian akan menyebabkan cacat kehendak. Pasal 251 KUHD

33
Ibid. hlm. 40.
34
Santanoe Kertonegoro.1991. Asuransi Jiwa dan Pensiun, Jakarta. hlm. 154.

36
mengatur tentang itikad baik atau kejujuran, hal ini disebabkan karena perjanjian

asuransi mempunyai sifat-sifat khusus, dibandingkan dengan perjanjian-perjanjian

lain dalam KUH Perdata. Tertanggung harus menyadari bahwa pihaknya

mempunyai kewajiban untuk memberikan keterangan yang sebenar-benarnya,

sejujur-jujurnya, dan selengkap-lengkapnya mengenai keadaan objek yang

diasuransikan.35 Tetapi itikad baik ini hanya dibebankan kepada Tertanggung.

Kewajiban pemberitahuan merupakan realisasi penerapan teori objektivitas

(objectivity theory) mengenai identitas objek asuransi. Di dalam SPPA dimintakan

kepada Tertanggung untuk menjelaskan secara jelas dan tepat mengenai riwayat

medis Tertanggung. Maka merupakan kewajiban Tertanggung untuk mengisi dan

menjelaskan secara jelas dan tepat mengenai riwayat medis yang akan dicantumkan

dalam SPPA tersebut.

e. Berakhirnya Asuransi Jiwa

1) Karena terjadinya peristiwa (evenemen)

Ketika terjadi peristiwa meninggalnya Tertanggung dalam masa perjanjian

dilaksanakan, maka Penanggung berkewajiban membayar uang santunan kepada

penerima manfaat yang ditunjuk oleh Tertanggung atau kepada ahli warisnya. Sejak

Penanggung melunasi pembayaran uang santunan tersebut, sejak itu pula asuransi

jiwa berakhir.36

Asuransi jiwa berakhir bukan berakhir pada saat tertanggung meninggal

dunia, melainkan setelah penanggung membayarkan uang santunan kepada

35
Angger Sigit Pramukti dan Andre Budiman Panjaitan. 2016. Pokok-Pokok Hukum Asuransi,
Pustaka Yustisia, Yogyakarta. hlm. 22-23.
36
Abdulkadir Muhammad. Op.Cit. hlm. 201.

37
penerima manfaat/ahli waris. Pasal 1234 Kitab Undang-undang Hukum Perdata

menentukan, “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat

sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Dalam konteks perjanjian asuransi,

subjeknya adalah perjanjian untuk berbuat sesuatu. Bagi penanggung yaitu janji

penanggung untuk memberikan penggantian atas kerugian atau kehilangan atau

tanggung jawab yang timbul atau manfaat asuransi yang sah.37 Jadi, asuransi jiwa

berakhir setelah dibayarkannya klaim Tertanggung oleh Penanggung.

2) Karena jangka waktu berkahir

Apabila jangka waktu perjanjian asuransi itu berakhir tanpa terjadi

evenement terhadap tertanggung, maka beban risiko penanggung berakhir. Akan

tetapi, dalam perjanjian asuransi jiwa seringkali ditentukan bahwa penanggung

akan mengembalikan sejumlah uang pada tertanggung apabila sampai jangka waktu

asuransi habis tidak terjadi evenement. Hal ini dikarenakan fungsi dari asuransi jiwa

bukan saja sebagai media proteksi, melainkan media investasi.38

3) Asuransi gugur

Pasal 306 KUHD menjelaskan, “Apabila orang yang diasuransikan jiwanya

pada pada saat diadakan asuransi ternyata sudah meninggal, maka asuransinya

gugur, meskipun Tertanggung tidak mengetahui kematian tersebut, kecuali jika

diperjanjikan lain.”

37
Junaedy Ganie. 2011. Hukum Asuransi Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. hlm. 56.
38
Dessy Danarti. Loc.Cit.

38
Kemudian, Pasal 307 KUHD menjelaskan, “Apabila orang yang

mengasuransikan jiwanya bunuh diri, atau dijatuhi hukuman mati, maka asuransi

jiwa itu gugur.”

4) Asuransi dibatalkan

Asuransi jiwa dapat berakhir karena pembatalan sebelum jangka waktu

perjanjian berakhir. Pembatalan tersebut dapat terjadi karena tertanggung tidak

melanjutkan pembayaran premi sesuai dengan perjanjian atau karena permohonan

tertanggung sendiri.39

3. Polis Asuransi

a. Syarat-Syarat Sah Perjanjian Asuransi

Asuransi didasari atas suatu perjanjian. Ketentuan mengenai perjanjian

diatur dalam 1320 KUH Perdata. Pasal 1320 KUH Perdata memberikan ketentuan

mengenai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu :

1) Adanya persetujuan kehendak antara Penanggung dengan Tertanggung

Persetujuan kehendak merupakan suatu kesepakatan, sepakat menurut

Herlien Budiono, mencakup perngertian tidak saja “sepakat” untuk mengikatkan

diri, tetapi juga “sepakat” untuk mendapatkan prestasi. Dalam perjanjian timbal

balik masing-masing pihak tidak saja mempunyai kewajiban, tetapi juga berhak atas

prestasi yang telah diperjanjiakan. Suatu perjanjian sepihak yang memuat hak atau

kewajiban satu pihak untuk mendapatkan atau memberikan prestasi, tetap

39
Abdulkadir Muhammad. Op.Cit. hlm. 203.

39
mensyaratkan adanya kata sepakat dari kedua belah pihak.40 terjadinya kesepakatan

dimulai dengan proses offer (penawaran) dan acceptance (penerimaan) antara

Penanggung dengan Tertanggung (bergaining theory). Dalam perjanjian asuransi,

penawaran berasal dari Tertanggung, sendangkan penerimaan dalam hal ini berupa

risiko berasal dari Penanggung.

Menurut Bergaining theory, setiap perjanjian hanya akan


terjadi antara kedua pihak apabila penawara (offer) dari pihak yang
satu dihadapkan dengan penerimaan (acceptance) oleh pihak yang
lainnya dan sebaliknya. Titik temu antara penawaran dan penerimaan
secara timbal bali menciptakan kesepakatan yang menjadi dasar
perjanjian antara kedua pihak.41

Dalam bisnis asuransi, acceptancae (penerimaan) timbul pada saat

pertanggungan dimulai atau polis diterbitkan, mana saja yang lebih dahulu, tetapi

proses offer (penawaran) dan acceptance (penerimaan) akan tetap menjadi bagian

tidak terpisahkan dari polis asuransi yang diterbitkan kemudian. Dengan demikian,

tertanggung terikat dengan semua informasi yang diberikan yang menjadi dasar

bagi penanggung untuk melakukan penutupan asuransi.42

2) Kecakapan dan Kewenangan

Para pihak dinyatakan cakap melakukan perbuatan hukum menurut undang-

undang apabila orang tersebut sudah dewasa, sehat ingatan, tidak di bawah

perwalian, atau pemegang kuasa yang sah. Sedangkan yang dimaksud kewenangan

bahwa Tertanggung mempunyai hubungan yang sah dengan benda objek asuransi

karena benda tersebut adalah kekayaan miliknya sendiri. Sedangkan penanggung

40
Harlien Budiono. 2009. Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. hlm. 73-74.
41
Ibid. hlm. 55.
42
Junaedi Ganie. Op.Cit. hlm. 56.

40
adalah pihak yang sah mewakili perusahaan asuransi berdasarkan anggaran dasar

perusahaan.

Pasal 1330 KUH Perdata menentukan kualifikasi orang yang tidak cakap

membuat perjanjian, yaitu :

a. Orang-orang yang belum dewasa

b. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampunan

c. Kemudian ketentuan ketiga yang telah direvisi oleh Mahkamah Agung

RI berdasarkan Surat Edaran No. 3/1963 tanggal 4 Agustus 1963 yang

ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri di

seluruh Indonesia bahwa perempuan adalah cakap sepanjang memenuhi

syarat telah dewasa dan tidak di bawah pengampunan

3) Objek

Objek yang dapat diasuransikan berupa harta kekayaan dan kepentingan

yang melekat pada harta kekayaan, dapat pula berupa jiwa raga manusia. Objek

asuransi harus jelas dan pasti. Tertanggung harus membuktikan bahwa dia memiliki

kepentingan atas objek asuransi tersebut. Apabila Tertanggung tidak dapat

membuktikannya, maka akan timbul anggapan bahwa Tertanggung tidak

mempunyai kepentingan apa-apa, hal mana mengakibatkan asuransi batal (null and

void).43

4) Kausa yang halal

43
Abdulkadir Muhammad. Op.Cit. hlm. 52.

41
Bahwa perjanjian asuransi tersebut diadakan tidak dilarang undang-undang,

tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan tidak bertentangan dengan

kesusilaan. Harlen Budiono menjelaskan bahwa kata “causa” dalam ilmu hukum

mengandung pengertian sebagai dasar yang melandasi hubungan hukum di bidang

kekayaan. Suatu perjanjian hanya akan mempunyai akibat hukum jika memenuhi 2

syarat, pertama, tujuan perjanjian mempunyai dasar yang pantas atau patut; kedua,

harus mengandung sifat yang sah.44

Berdasarkan Pasal 257 KUHD perjanjian pertanggungan, terjadi segera

setelah tercapai persesuaian kehendak antara kedua pihak. Untuk berlaku sah

perjanjian pertanggungan, tidak tergantung pada adanya suatu syarat formalitas

atau akta. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sifat perjanjian asuransi adalah

konsensuil.

b. Penerbitan Polis Asuransi

Berdasarkan acceptance theory (teori penerimaan), perjanjian asuransi

terjadi dan mengikat pihak-pihak pada saat penawaran sungguh-sungguh diterima

oleh Tertanggung.45 Dalam hal ini berarti penawaran tertulis pihak Penanggung

telah diterima oleh Tertanggung walaupun isi tulisan itu belum dibacanya. Diterima

penawaran itu dibuktikan oleh tindakan nyata dari Tertanggung, biasanya dengan

menandatangani SPPA yang disodorkan oleh Penanggung yang disebut nota

persetujuan (cover note). Aplikasi asuransi (SPPA) yang telah diisi dan dilengkapi

44
Harlen Budiono. Op.Cit. hlm. 112.
45
Abdulkadir Muhammad. Op.Cit. hlm. 56.

42
calon Tertanggung atau Pemegang polis dengan benar dan jujur akan menjadi dasar

terbitnya polis.46

Aplikasi asurasni mencantumkan berbagai macam keterangan yang

memuat, identitas calon Tertanggung, jenis pertanggungan, obyek yang

dipertanggungkan, besarnya pertanggungan, lama waktu pertanggungan serta

besarnya premi yang harus dibayar calon tertanggung, serta hal penting lainnya.

Calon Tertanggung dalam perjanjian asuransi dipersyaratkan untuk mengisi dan

mengajukan aplikasi asuransi sebagai permohonan membeli asuransi, meskipun

pada kenyataannya yang melakukan pengisian adalah agen asuransi, namun tanda

tangan harus dibubuhkan oleh calon tertanggung sendiri.

Pasal 255 KUHD menjelaskan bahwa “Perjanjian pertanggungan harus

diadakan dengan membuat suatu akta, yang disebut polis.” Polis berfungsi sebagai

alat bukti tertulis yang menyatakan bahwa telah terjadi perjanjian asuransi antara

Tertanggung dan Penanggung Sebagai alat bukti tertulis, isi yang tercantum dalam

polis harus jelas, tidak boleh mengandung kata-kata atau kalimat yang

memungkinkan perbedaan interpretasi, sehingga mempersulit Tertanggung dan

Penanggung merealisasikan hak dak kewajiban mereka dalam pelaksanaan

asuransi. Di samping itu, polis juga memuat kesepakatan mengenai syarat-syarat

khusus dan janji-janji khusus yang menjadi dasar pemenuhan hak dan kewajiban

untuk mencapai tujuan asuransi.47

Pasal 259 ayat 1 KUHD menjelaskan bahwa “Polis harus ditawarkan kepada

Penanggung supaya ditandatangani dan didalam waktu 24 jam setelah ditawarkan

46
Ketut Sendra.2009. Klaim Asuransi: Gampang, BMAI & PPM, Jakarta. hlm. 43.
47
Abdulkadir Muhammad. Op.Cit. hlm. 55.

43
harus diserahkan kembali kepada Tertanggung. Dari bunyi pasal 259 itu maka dapat

ditarik kesimpulan bahwa yang membuat polis itu adalah pihak Tertanggung.48

Jadi, menurut Emmy P. Simanjuntak, ketentuan ini


merupakan perlindungan kepada pihak Tertanggung. Klasulua-
klausula yang tertera di dalam polis yang telah bersifat baku
merupakan undang-undang bagi para pihak jika mengenai itu telah
disetujui oleh mereka, terutama dalam hal ini bagi Tertanggung.
Tertanggung perlu sekali dengan seksama meneliti syarat-syarat atau
kondisi-kondisi atau klausula-klausula yang disodorkan kepadanya ke
dalam polis itu, sebab bagaimanapun juga syarat-syarat tersebut
adalah buatan dari Penanggung sebagai perusahaan-perusahaan besar
yang tentunya mempunyai kepentingan memperoleh kemajuan-
kemajuan di dalam menjalankan perusahaannya dan khusus untuk
memperoleh keuntungan.49 Yang menentukan isi dari polis tersebut
sebetulnya adalah Tertanggung, karena Tertanggung sebelumnya
telah mengisi SPPA yang menjadi dasar pertimbangan bagi
Penanggung untuk menerbitkan polis.

c. Penandatanganan Polis

Polis bukan merupakan syarat esensial dalam perjanjian asuransi, tetapi

hanya berfungsi sebagai alat bukti, selain itu terdapat SPPA sebagai alat bukti

permulaan.

Menurut Pasal 258 ayat 1 KUHD bahwa “Untuk membuktikan hal

ditutupnya perjanjian asuransi, diperlukan pembuktian dengan tulisan (polis),

namun demikian bolehlah lain-lain alat pembuktian dipergunakan juga, manakala

sudah ada suatu permulaan pembuktian dengan tulisan.”

Diterbitkannya polis tersebut merupakan sebuah alat pembuktian yang

diberikan Penanggung kepada Tertanggung, hal tersebut demi kepentingan

48
Emmy Pangaribuan Simanuntak.1990. Hukum Pertanggungan, Cetakan ke-10, Sesi Hukum
Dagang Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. hlm.20
49
Ibid. hlm. 21.

44
Tertanggung ketika mengajukan klaim asuransi. Maka berdasarkan Pasal 256 ayat

2 KUHD bahwa polis dibuat secara sepihak dan hanya ditandatangani oleh

Penanggung.50 Tetapi tidak menutup kemungkinan apabila polis tersebut

ditandatangani oleh Tertanggung sendiri.

d. Polis Asuransi Jiwa

Polis asuransi jiwa diatur di dalam Pasal 304 KUHD yang menyebutkan

beberapa hal yang menjadi isi dari polis yaitu :

1) Hari diadakan asuransi

2) Nama Tertanggung

3) Nama orang yang jiwanya diasuransikan

4) Saat mulai dan berakhirnya evenemen

5) Jumlah asuransi

6) Premi asuransi

Mengenai rancangan jumlah dan penentuan syarat-syarat asuransi sama

sekali bergantung pada persetujuan antara kedua belah pihak seperti yang

dijelaskan dalam Pasal 305 KUHD.

4. Klausula Baku

a. Pengaturan

Menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen bahwa klausula baku adalah “setiap aturan atau ketentuan

dan syaratsyarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara

50
Ibid. hlm.26.

45
sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau

perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.

Ketentuan pencantuman klausula baku terdapat pada Pasal 18 ayat 1

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, bahwa

“Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk

diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap

dokumen dan/atau perjanjian apabila :

1) Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha

2) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali

barang yang dibeli konsumen

3) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang

yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen

4) Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik

secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan

sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara

angsuran

5) Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau

pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen

6) Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau

mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa

7) Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan

baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak

oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya

46
8) Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk

pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang

yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

Dengan adanya Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen merupakan upaya dalam pemberdayaan

konsumen dari kedudukan sebagai pihak yang lemah di dalam perjanjian dengan

pelaku usaha.

Kemudian, Pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen memuat ketentuan limitatif yang melarang pelaku usaha

mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak

dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

Pengertian klasula baku tidak sama dengan pengertian klausula eksonerasi.

Artinya, klasula baku adalah klausula yang dibuat atau dicantumkan secara sepihak

dalam perjanjian oleh pelaku usaha, tetapi isinya tidak boleh mengarah kepada

klausula eksonerasi.51 Jadi, klausula baku penekanannya pada prosedur pembuatan

atau pencantumannya secara sepihak dalam perjanjian, bukan pada isi

perjanjiannya.

Sedangkan klausula eksonerasi tidak hanya menekankan pada prosedur

pembuatan atau pencantumannya dalam perjanjian, tetapi juga isinya yang

bertujuan pengalihan kewajiban atau tanggung jawab pelaku usaha.52

51
Muhammad Syaiffuddin. 2012. Hukum Kontrak : Memahami Kontrak dalam Perspektif Filsafat,
Teori, Dogmatik dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan), Mandar Maju, Bandung.
hlm. 236.
52
Ibid. hlm. 237.

47
Konsekuensi apabila terdapat suatu perjanjian yang melanggar ketentuan

Pasal 18 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, maka perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada dan

tidak mengikat para pihak.

b. Klausula Eksonerasi

Menurut Rijken bahwa klausula eksonerasi adalah klausula yang

dicantumkan dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri

untuk memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang

terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melanggar hukum.53

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian baku dengan klausula

eksonerasi yang meniadakan atau membatasi kewajiban salah satu pihak

(Penanggung) untuk membayar ganti kerugian kepada Tertanggung, memiliki ciri-

ciri sebagai berikut :54

1) Isiniya ditetapkan secara sepihak oleh Penanggung yang posisinya relatif

kuat daripada Tertanggung

2) Tertanggung sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian itu

3) Terdorong oleh kebutuhannya, Tertanggung terpaksa menerima perjanjian

tersebut

4) Bentuknya tertulis

5) Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau individual

53
Mariam Darus Badrulzaman.1994. Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung. hlm. 47.
54
Ibid. hlm. 50.

48
Selain itu, salah satu ciri perjanjian baku yang dikemukakan oleh Mariam

Darus Badrulzaman, yaitu bahwa Debitur sama sekali tidak menentukan isi

perjanjian itu, juga tidak dibenarkan, karena perjanjian baku pada umumnya dibuat

dengan tetap memungkinkan pihak lain (Bukan pihak yang merancang perjanjian

baku) untuk menentukan unsur esensial dari perjanjian, sedangkan klausula yang

pada umumnya tidak dapat adalah klausula yang merupakan unsur aksidentalia

dalam perjanjian.55

Pihak yang lebih kuat (Penanggung) biasanya menggunakan kesempatan

tersebut untuk menentukan klausula-klausula tertentu dalam perjanjian baku,

sehingga perjanjian yang seharusnya dibuat oleh para pihak yang terlibat dalam

perjanjian, tidak ditemukan lagi dalam perjanjian baku, karena format dan isi

perjanjian dibuat oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat.

Maka dapat dipastikan bahwa perjanjian tersebut memuat klausula-klausula

yang menguntungkan seperti meringankan atau menghapuskan kewajiban-

kewajiban yang menjadi tanggung jawab Penanggung. Hal yang yang dilakukan

oleh Penanggung tersebut dikenal dengan penyalahgunaan keadaan.56

Sluijter mengatakan bahwa perjanjian baku bukan merupakan merupakan

perjanjian, sebab kedudukan pengusaha dalam perjanjian itu adalah seperti

pembentuk undang-undang swasta (legio particuliere wetgever). Syarat-syarat

55
Ahmad Miru. 2000. Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia,
Disertasi, Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya. hlm.160-161.
56
Ahmad Miru dan Sutarman Yodo. 2015. Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo
Persada, Jakarta. hlm. 117.

49
yang ditentukan pengusaha dalam perjanjian itu adalah undang-undang, bukan

perjanjian.57

Jadi, perjanjian baku yang memuat klausul-klausul baku merupakan

perjanjian yang mengikat para pihak yang mengadakannya, apabila timbul suatu

kerugian dikemudian hari akan tetap ditanggung oleh para pihak yang harus

melakukan suatu prestasi berdasarkan klausula perjanjian tersebut, kecuali jika

klausula tersebut merupakan klausula yang dilarang berdasarkan Pasal 18 ayat 1

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

c. Intervensi Negara dalam Perjanjian Baku

Menurut Sutan Remy Sjahdeini, agar tidak terjadi penyalahgunaan terhadap

asas kebebasan membuat perjanjian oleh pihak yang berkedudukan lebih kuat,

maka diperlukan intervensi atau campur tangan negara menggunakan undang-

undang dan pengadilan.58

Intervensi negara dalam perjanjian asuransi dapat dilakukan oleh

pemerintah. Melalui OJK (Otoritas Jasa Keuangan), OJK dapat membuat suatu

peraturan yang mempertimbangan untuk dilakukannya standarisasi perjanjian

dalam perjanjian asuransi.

Anggota Dewan Komisioner Bidang Perlindungan dan


Edukasi Konsumen OJK, Tirta Segara, mengatakan pihaknya
mempertimbangkan untuk menyeragamkan perjanjian polis asuransi
agar tercipta standar perjanjian yang seimbang antara perusahaan
asuransi dengan nasabah atau konsumen. Selama ini OJK telah

57
Ibid. hlm. 119.
58
Muhammad Syaifuddin. Op. Cit. hlm. 229.

50
memiliki perangkat hukum yang mengatur perjanjian produk jasa
keuangan terkait larangan penyusunan klausula baku.59

Sehingga dengan adanya intervensi negara tersebut perjanjian baku dapat

menciptakan sutu perjanjian yang memenuhi keseimbangan, keadilan, dan

kewajaran sehingga tidak merugikan konsumen (Tertanggung).

Kemudian, dijelaskan mengenai penyalahgunaan keadaan yang dapat

merugikan konsumen melalui Woeker Ordonantie tahun 1938. Berdasarkan Pasal

2 Ordonansi tersebut, para hakim diberikan kewenangan untuk mengurangi

kewajiban pihak yang dirugikan atau membatalkan perjanjian dalam hal hakim

menemukan adanya ketidakseimbangan yang mencolok antara kewajiban-

kewajiban para pihak.60

Untuk melaksanakan kewenangan hakim tersebut, maka disyaratkan

bahwa:61

1) Pihak yang dirugikan mengajukan permohonan untuk itu

2) Pihak yang dirugikan tidak secara penuh menyadari segala akibat perjanjian

yang telah diadakannya, dan

3) Pihak yang dirugikan ternyata bertindak ceroboh, tanpa pengalaman, atau

dalam keadaan darurat

Upaya tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu upaya untuk membatasi

kerugian akibat penggunaan klausula eksonerasi dalam perjanjian.

59
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt59d49a552d535/ojk-akan-atur-standardisasi-
perjanjian-polis-asuransi, diakses pada tanggal 13 Oktober 2017.
60
Ahmad Miru dan Sutarman Yodo. Op. Cit. hlm. 126.
61
Ibid.

51
d. Klausula Polis

Perjanjian asuransi selalu memuat janji-janji khusus yang dirumuskan

dengan tegas dalam polis, yang lazim disebut klausula polis. Maksud klausula

tersebut adalah untuk mengetahui batas tanggung jawab Penanggung dalam

pembayaran ganti kerugian, apabila terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian.

Jenis-jenis klausulan asuransi itu ditentukan oleh sifat objek asuransi, bahaya yang

mengancam dalam setiap asuransi.

Klausula-klausula dimaksud dirumuskan dan diuraikan sebagai berikut :

1) Klausula Premier Risque

Klausula ini menyatakan bahwa apabila pada asuransi di bawah nilai benda

terjadi kerugian sebagian (partial loss), Penanggung akan membayar ganti kerugian

seluruhnya sampai maksimum jumlah yang diasuransikan (Pasal 253 ayat 3

KUHD). Klausula ini biasa digunakan pada asuransi pembongkaran dan pencurian

serta asuransi tanggung jawab.62

2) Klausula All Risk

Klausula ini menentukan bahwa Penanggung memikul segala risiko atas

benda yang diasuransikan. Ini berarti penanggung akan mengganti semua kerugian

yang timbul akibat peristiwa apapun, kecuali kerugian yang timbul karena

kesalahan tertanggung sendiri (Pasal 276 KUHD) dan karena cacat sendiri

bendanya (Pasal 249 KUHD).63

62
Mulhadi. Op. Cit. hlm. 67.
63
Ibid. hlm. 68.

52
3) Klausula Total Loss Only (TLO)

Klausula ini menentukan bahwa Penanggung hanya menanggung kerugian

yang merupakan kerugian keseluruhan/total atas benda yang diasuransikan.64

4) Klausula Sudah Diketahui (All Seen)

Klausula ini digunakan pada asuransi kebakaran. Klausula ini menentukan

bahwa Penanggung sudah mengetahui keadaan, konstruksi, letak, dan cara

pemakaian bangunan yang diasuransikan.65

5) Klausula Renunsiasi (Renunciation)

Menurut klausula, Penanggung tidak akan menggugat Tertanggung dengan

alasan pasal 251 KUHD, kecuali jika hakim menetapkan bahwa pasal tersebut harus

diberlakukan secara jujur (fair) atau iktikad baik (good faith) dan sesuai dengan

kebiasaan. Berarti apabila timbul kerugian akibat evenemen, Tertanggung tidak

memberitahukan keadaan benda objek asuransi kepada Penanggung, maka

Penanggung tidak akan mengajukan Pasal 251 KUHD dan Penanggung akan

membayar klaim ganti kerugian kepada Tertanggung.66

6) Klausula Free Form Particular Average (FPA)

Bahwa penanggung dibebaskan dari kewajban membayar ganti kerugian

yang timbul akibat peristiwa khusus di laut (particular average) seperti ditentukan

dalam Pasal 709 KUHD, dengan kata lain Penanggung menolak pembayaran ganti

kerugian yang diklaim oleh Tertanggung yang sebenarnya timbul dari akibat

64
Zian Farodis.2014. Pintar Asuransi, Yogyakarta, Penerbit Laksana. hlm. 18.
65
Ibid. hlm. 19.
66
Mulhadi. Op. Cit. hlm. 69.

53
peristiwa khusus yang sudah dibebaskan klausula Free Form Particular Average

(FPA).67

7) Klausula Riot, Strike & Civil Commotion (RSCC)

Riot (kerusuhan), Strike (pemogokan) dan Civil Commotion (huru-hara)

adalah klausula yang menyatakan apabila pada asuransi terjadi keadaan yang

menimbulkan suasana gangguan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan

kegaduhan dan menggunakan kekerasan serta rentetan pengrusakan sejumlah besar

harta benda.68

5. Perlindungan Konsumen

a. Pengaturan

Hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen tercipta akibat

adanya proses penawaran dan penerimaan. Proses tersebut harus diadakan bagi para

pihak dalam kedudukan yang seimbang, dengan maksud agar tidak ada pihak yang

mengalami kerugian. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen merupakan langkah pemerintah memberikan kesimbangan antara

pelaku usaha dengan konsumen serta memberikan kepastian hukum kepada

konsumen terhadap hak-haknya. Esensi dari undang-undang ini adalah mengatur

perilaku pelaku usaha dengan tujuan agar konsumen terlindungi secara hukum.

Apabila dikaitkan dengan perjanjan asuransi maka pemegang polis atau

Tertanggung dalam perjanjian asuransi dapat dikatakan sebagai konsumen sebagai

pemakai jasa dari perusahaan asuransi atau Penanggung dan perusahaan asuransi

67
Ibid.
68
Zian Farodis. Op. Cit. hlm. 20.

54
atau Penanggung dapat dikatakan sebagai pelaku usaha yang menjalankan kegiatan

usaha dalam bidang jasa, yaitu industri asuransi.

Akibat dari diadakannya suatu perjanjian menimbulkan suatu hak dan

kewajiban bagi para pihak yang mengadakannya. Hak dan kewajiban pelaku usaha

dengan konsumen dijelaskan pada Pasal 4 – Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :

1) Hak Konsumen

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jasa

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan

yang dijanjikan

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa

yang digunakan

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secara patut

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif

55
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,

apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian

atau tidak sebagaimana mestinya

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

2) Kewajiban Konsumen

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian

atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau

jasa

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen

secara patut.

3) Hak Pelaku Usaha

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan

mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang

beritikad tidak baik

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatunya di dalam penyelesaian

hukum sengketa konsumen

56
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa

kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

4) Kewajiban Pelaku Usaha

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,

perbaikan dan pemeliharaan

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau

jasa yang berlaku

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau

mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau

garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian

akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa

yang diperdagangkan

g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang

dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan

perjanjian.

57
b. Asas-Asas Perlindungan Konsumen

Asas-asas yang mendasari perlindungan konsumen dijelaskan dalam Pasal

2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :

1) Asas manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya

dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan

manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha

secara keseluruhan.

2) Asas keadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat

diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada

konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan

kewajibannya secara adil.

3) Asas keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara

kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil

ataupun spiritual.

4) Asas keamanan dan keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk

memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen

dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang

dikonsumsi atau digunakan.

5) Asas kepastian hukum, dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun

konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam

penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian

hukum.

58
Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan

substansinya, dapat dibagi menjadi 3 asas yaitu :69

1) Asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan

keselamatan konsumen

2) Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan, dan

3) Asas kepastian hukum.

c. Tanggung Jawab Pelaku Usaha

Berdasarkan penjelasan Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa “ Pelaku usaha bertanggung jawab

memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen

akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”.

Maka perusahaan asuransi bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerugian

yang diderita pemegang polis. Namun hal ini tidak berlaku apabila perusahaan

asuransi dapat membuktikan bahwa kerugian yang diderita oleh pemegang polis

merupakan kesalahan dari pemegang polis itu sendiri.

Memerhatikan substansi Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat diketahui bahwa tanggung jawab

pelaku usaha, meliputi :70

1) Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan

2) Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran, dan

3) Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen

69
Ahmad Miru dan Sutarman Yodo. Op. Cit. hlm. 26.
70
Ibid. 129.

59
Jadi, ganti kerugian dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen,

hanya meliputi pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang

sejenis atau setara nlainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan

yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.71

Kemudian, apabila pelaku usaha menolak atau tidak menanggapi untuk

melakukan pembayaran ganti kerugian, konsumen dapat menggugat pelaku usaha

melalui jalur litigasi maupun non-litigasi, hal ini tercantum dalam Pasal 23

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

menjelaskan bahwa “Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi

tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen ... , dapat

digugat melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau mengajukan ke

badan peradilan di tempat kedudukan”.

d. Penyelesaian Sengketa

Berdasarkan ketentuan Pasal 23 dan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa penyelesaian sengketa antara

pelaku usaha dengan konsumen dapat dilakukan melalui litigasi maupun non-

litigasi.

Litigasi atau melalui pengadilan berarti penyelesaian sengketa konsumen

melalui pengadilan mengacu kepada ketentuan peradilan umum yang berlaku di

Indonesia. Sedangkan non-litigasi berarti penyelesaian sengketa konsumen diluar

pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan

besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan

71
Ibid. 140.

60
terjadinya kembali kerugian yang diderita konsumen, berdasarkan penjelasan Pasal

47 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku

usaha yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

Ada 3 cara penyelesaian sengketa melalui non-litigasi, berdasarkan

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001

tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Konsumen, yaitu :

1) Konsiliasi

Pasal 1 angka 9 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor

350/MPP/Kep/12/2001 di dalam kepmen tersebut menjelaskan bahwa konsiliasi

adalah “Proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan

perantaraan BPSK untuk mempertemukan pihak yang bersengketa, dan

penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak”. Penyelesaiaan dengan cara ini

dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh majelis

yang bertindak pasif sebagai konsiliator, berdasarkan Pasal 5 ayat 1 Keputusan

Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001.

2) Mediasi

Penyelesaian sengketa dengan cara mediasi berdasarkan Pasal 1 angka 10

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001

menjelaskan bahwa mediasi merupakan, “Proses penyelesaian sengketa konsumen

di luar peradilan dengan peraturan BPSK sebagai penasehat dan penyelesaiannya

diserahkan kepada para pihak. Penyelesaian dengan cara ini dilakukan sendiri oleh

para pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh majelis yang bertindak aktif

61
sebagai mediator, berdasarkan Pasal 5 ayat 2 Keputusan Menteri Perindustrian dan

Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001.

3) Arbitrase

Berdasarkan Pasal 1 angka 11 Keputusan Menteri Perindustrian dan

Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 arbitrase adalah, “Proses penyelesaian

sengketa konsumen di luar pengadilan yang dalam ini para pihak yang bersengketa

menyerahkan sepenuhnya penyelesaian kepada BPSK”. Arbitrase merupakan cara

penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada

perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa.72 Jika para pihak

tersebut telah mencantumkan klausula arbitrase dalam perjanjian yang menjadi

pokok sengketa atau mengadakan perjanjian arbitrase setelah timbulnya sengketa

di antara para pihak, penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan.

Cara mediasi hampir sama dengan cara konsiliasi dan dilakukan karena para

pihak secara sukarela memilih mediasi dan konsiliasis, yang membedakan di antara

keduanya adalah dalam mediasi majelis yang dibentuk BPSK bertindak secara aktif,

sedangkan cara konsiliasi majelis yang dibentuk BPSK bertindak secara pasif.

Sedangkan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrase, majelis yang

dibentuk BPSK bersikap aktif dalam mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa

dan hasil akhir penyelesaian melalui aribtrase adalah sebuah putusan. Putusan

arbitrase mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Putusan

arbitrase ini memiliki kekuatan eksekutorial, sehingga apabila pihak yang

72
Ahmad Miru.2000. Op.Cit.hlm. 126-127.

62
dikalahkan tidak memenuhi putusan secara sukarela, maka pihak yang menang

dapat meminta eksekusi ke pengadilan.73

BPSK menurut Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen adalah “Badan yang bertugas menangani dan

menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen”. Tugas dari BPSK

sendiri diantaranya adalah melakukan penyelesaian sengketa antara pelaku usaha

dengan konsumen, dengan cara mediasi atau konsiliasi atau arbitrase; konsultasi;

pengawasan; melaporkan pada penyidik; menerima pengaduan; meneliti dan

memeriksa; memanggil pelaku usaha; menghadirkan saksi dan ahli; meminta

bantuan penyidik untuk menghadirkan saksi dan saksi ahli; meneliti surat dokumen;

menetapkan ada atau tidaknya kerugian konsumen; memberikan putusan;

menjatuhkan sanksi adminitrasi. Maka fungsi BPSK yaitu sebagai alternatif

penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan untuk melindungi hak-hak

konsumen karena konsumen pada dasarnya tidak dapat menentukan substansi

perikatan, tetapi konsumen hanya tunduk dengan pelaku usaha, sehingga konsumen

hanya dapat bersikap “take it or leave it”, dan sebagai tambahan bahwa lembaga ini

dibentuk di kabupaten atau kota.

Dalam mengajukan gugatan, ada empat kelompok penggugat yang bisa

menggugat atas pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha sebagai berikut :74

1) Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan

2) Sekelompok konsumen mempunyai kepentingan yang sama

73
Ahmad Miru dan Sutarman Yodo. Op. Cit. hlm. 254.
74
Abdul Halim Barkatullah. 2010. Hak-Hak Konsumen. Nusa Media, Bandung. hlm. 85.

63
3) Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi

syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran

dasar menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi

tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah

melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya

4) Pemerintah dan/atau instansi terkait yang jika barang dan/atau jasa yang

dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar

dan/atau korban yang tidak sedikit.

Gugatan yang diajukan oleh Sekelompok konsumen, Lembaga

perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau Pemerintah diajukan ke

peradilan umum. Selain itu, konsumen dapat mengajukan gugatan kepada pelaku

usaha di tempat konsumen yang bersangkutan berdomisili.

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen dijelaskan mengenai penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui

non-litigasi, khususnya melalui perantara BPSK. Penyelesaian masalah sengketa

konsumen melalui badan ini dapat dikatakan dilakuan dengan cepat, murah,

sederhana dan tidak berbelit-belit. Sistem penyelesaian yang demikian sangat

dibutuhkan dalam dunia bisnis, termasuk dalam penyelesaian sengketa konsumen.

Kritikan-kritakan terhadap penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui litigasi,

yaitu : 75

1) Penyelesaian sengketa melalui pengadilan sangat lambat

2) Biaya perpekara yang mahal

75
Ahmad Miru dan Sutarman Yodo. Op. Cit. hlm. 242.

64
3) Pengadilan pada umumya tidak responsif

4) Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah

5) Kemampuan para hakim yang bersifat generalis

Tetapi apabila terhadap suatu putusan peradilan yang menurut salah satu

pihak tidak adil, terdapat proses lain dalam sistem peradilan di Indonesia, yaitu

adanya upaya hukum terhadap sebuah putusan, baik upaya hukum biasa maupun

upaya hukum luar biasa. Maka hal tersebut dapat memperpanjang proses

penyelesaian sengketa, tetapi di sisi lain akan menghasilkan suatu putusan yang

sedail-adilnya.

6. Teori Eksaminasi

Terminologi eksaminasi berasal dari bahasa Inggris “examination” yang

berarti ujian atau pemeriksaan.76 Dengan demikian eksaminasi putusan pengadilan

berarti melakukan pengujian terhadap putusan pengadilan tersebut. Esensi dari

eksaminasi adalah pengujian atau penilaian dari sebuah putusan apakah

pertimbangan-pertimbangan hukumnya sudah benar.77

Materi eksaminasi mencakup, pertama, kesesuaian putusan


dengan norma hukum positif. Sebab hukum positif digunakan sebagai
standar dalam proses membuat keputusan pengadilan, kedua, analisis
terhadap proses pembuktian dalam hal ini dilakukan pengujian
kebenaran fakta menjadi fakta hukum dihubungkan dengan undang-
undang yang hendak diterapkan, ketiga, penerapan ilmu pengetahun
atau asas-asas hukum dalam penegakan hukum.78

76
Kamus Bahasa Inggris
77
Wasingatu Zakiyah. 2003. Panduan Eksaminasi Publik. Pengalaman Eksaminasi Kasus PK
Tomi Soeharto, Kasus “off the record” Arifin Wardiyanto. Indonesian Coruption Watch (ICW),
Jakarta. hlm. 15.
78
Harjono. 2003.Eksaminasi Putusan Pengadilan sebagai Manifestasi Kepedulian dan
Keterlibatan Masyarakat terhadap Peradilan. Yustitia Edisi Nomor 63 Oktober-Desember,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta. hlm. 625-626.

65
Tujuan eksaminasi publik diantaranya yaitu : 79

1) Agar dalam mengambil putusan mempertimbangkan aspek prinsip-prinsip

hukum legal justice, moral justice dan social justice

2) Mendorong dan memberdayakan partisipasi publik melakukan kontrol

terhadap proses peradilan, khususnya yang dinilai kontroversial dan

melukai rasa keadilan serta menjadi perhatian masyarakat

3) Mendorong terciptanya independensi lembaga peradilan dan akuntabilitas

serta transparansi kepada publik

4) Mendorong kualitas profesionalisme dan integritas moral hakim maupun

aparat penegak hukum.

Manfaat dari kegiatan eksaminasi adalah : 80

1) Sebagai sebuah hasil studi, hasil eksaminasi merupakan bahan untuk

memperkaya pengetahuan hukum mahasiswa Fakultas Hukum.

2) Kegiatan eksaminasi dapat menjadi wahana peningkatan kapasitas

profesionalisme bagi para akademisi. Sementara hasil eksaminasi dapat

dijadikan bahan perkuliahan ataupun diskusi dengan mahasiswa ataupun

sesama akademisi.

3) Dengan eksaminasi akan dapat dilihat tingkat profesionalisme aparat hukum

(hakim, jaksa, dan advokat), sejauhmana penguasaan hukum, kemampuan

filosofis dan pertimbangan hukum yang digunakan. Dengan demikian

eksaminasi akan berdampak pada peningkatan kualitas hakim, jaksa dan

79
Wasingatu Zakiyah. Op.Cit. hlm. 23.
80
Harjono. Op.Cit. hlm. 628.

66
advokat sehingga dalam menjalankan profesinya menjadi lebih hati-hati dan

senantiasa mengedepankan rasa keadilan masyarakat.

B. PEMBAHASAN

1. Duduk Perkara

a. Pemohon Kasasi (dahulu terlawan/penggugat) Hermi Sinurat, bertempat

tinggal di Perumahan Permata Balaraja Blok A 101 No. 29, RT. 06/01,

Balaraja, Tanggerang, dalam perkara ini memberi kuasa kepada

Hermansyah, AK.,SH., dan kawan-kawan, para advokat, berkantor di

Gedung Thamrin City Lantai Blok G.1a No. 21, Jalan Thamrin

Boulevard, Tanah Abang, Jakarta Pusat.

b. Termohon kasasi (dahulu pelawan/tergugat) PT. Avrist Assurancce,

beralamat di Gedung Bank Panin Senayan Lantai 3, 7 dan 8, Jalan

Jenderal Sudirman, Jakarta.

Pada kasus tersebut, Tertanggung (Alm. Mardi Simarmata) mengadakan

perjanjian dengan Penanggung (PT. Avrist Assurance) yaitu mengenai penerbitan

polis asuransi jiwa.

 Tertanggung mengisi Surat Permohonan Penutupan Asuransi (SPPA) pada

tanggal 31 Maret 2007 dan telah diterima oleh Penanggung pada tanggal 16

April 2007. Dalam pengisian SPPA tersebut Tertanggung menyatakan tidak

diperlukannya pemeriksaan medis dan memberikan informasi bahwa

Tertanggung tidak pernah menderita penyakit apapun, tidak memiliki

riwayat penyakit keturunan, dan tidak pernah menjalani tindakan medis

apapun sebelum SPPA ditandatangani.

67
 Kemudian setelah SPPA diterima oleh Penanggung, pada tanggal 17 April

2007 Penanggung menerbitkan polis asuransi jiwa Nomor U020761662.

 Pada tanggal 27 September 2007 Tertanggung melakukan pemulihan

pertanggungan polis dengan mengisi formulir pemulihan polis dan

Tertanggung menyatakan tidak pernah menderita penyakit apapun, tidak

memiliki riwayat penyakit keturunan, dan tidak pernah menjalani tindakan

medis.

 Pada tanggal 2 Februari 2008 Tertanggung meninggal dunia, berdasrkan

dokumen klaim bahwa Tertanggung meninggal dunia karena penyakit

Karsinoma Nasofaring yang telah diderita Tertanggung sejak 6 Oktober

2006. Ditemukannya bukti konsultasi, diagnosa, dan bukti tindakan medis

kemotherapi sebanyak 6 seri yang dilakukan oleh Tertanggung di Rumah

Sakit Usada Insani, Tangerang pada tanggal 6 Oktober 2006 dengan dokter

yang menangani adalah dr. Noorwati, SpPD. Kemudian didapat juga

keterangan bahwa pada tanggal 29 September 2007, Tertanggung mejalani

tindakan medis berupa pemasangan Gastrostomy di Rumah Sakit Usada

Insani, Tangerang pada tanggal 29 September 2007 dengan dokter yang

menangani adalah dr. Noorwati, SpPD.

Di dalam SPPA dicantumkan secara jelas mengenai peringatan bahwa calon

Tertanggung harus menyampaikan informasi dan fakta yang sebenar-benarnya

mengenai kondisinya di mana hal ini menentukan, diantaranya, apakah polis

asuransi akan diterbitkan atau tidak. Bunyi peringatan tersebut adalah :

68
“Jika fakta yang bersifat material tidak dinyatakan dalam formulir permohonan ini,

maka polis yang dikeluarkan akan dianggap tidak berlaku. Jika anda ragu-ragu

apakah suatu fakta material atau tidak, anda dianjurkan untuk menyatakannya. Hal

ini juga meliputi segala informasi yang mungkin telah anda berikan kepada agen

anda tetapi tidak dinyatakan dalam permohonan ini. Mohon diperiksa kembali

apakah anda sudah benar-benar puas dengan informasi yang anda nyatakan dalam

permohonan ini. Jangan menandatangani formulir permohonan yang masih

kosong/belum diisi”.

“(B) Semua pernyataan dan jawaban yang diberikan dalam formulir permohonan

asuransi ini, beserta semua pernyataan dan jawaban yang diberikan dalam

pemeriksaan kesehatan, kuisioner, atau amandemen, adalah lengkap dan benar, dan

saya/kami mengerti bahwa Perusahaan akan mempercayai dan bertindak atas dasar-

dasar tersebut, apabila pernyataan atau jawaban yang diberikan tidak benar maka

polis yang dikeluarkan atas dasar tersebut menjadi batal.”

Penanggung memberikan masa cooling off kepada Tertanggung yaitu

Pemilik Polis berhak untuk membatalkan Polis ini dengan memberikan

pemberitahuan tertulis kepada Perusahaan dan menerima nilai Unit yang terbentuk

setelah: a) dikurangi biaya apapun yang terjadi dalam penerbitan Polis ini (misalnya

biaya medis); dan b) dikurangi semua pembayaran yang dibuat atas Polis ini atau

Perjanjian Tambahan yang dilampirkan. Pemberitahuan tersebut harus

ditandatangani oleh Pemilik Polis dan diterima langsung oleh Perusahaan dalam

waktu 14 (empat belas) hari setelah Pemilik Polis menerima Polis ini.

69
Sebelumnya PT. Avris Assurance bernama PT. AIA (American

International Assurance) Indonesia. Dalam kasus tersebut, mengenai riwayat

penerbitan polis, pemohon kasasi memberikan keterangan bahwa Pemegang polis

(Alm. Sdr. Mardi Simarmata) didatangi oleh Agen PT. Avrist Assurance yang

namanya Maureen Ingrid Gantini, yang mana agen dimaksud menawarkan program

asuransi kesehatan, pada awalnya Alm. Sdr. Mardi Simarmata menolak untuk

berasuransi dengan memberikan berbagai pertimbangan-pertimbangan, penolakan

yang demikian tidak membuat Agen berhenti menawarkan sampai disitu, tawaran

terus dilakukan, akhirnya Alm. Sdr. Mardi Simarmata memutuskan dan menyetujui

akan berasuransi dengan syarat semua urusan mulai dari pengisian SPPA (Surat

Permohonan Penutupan Asuransi), pembayaran premi asuransi pertama,

pengambilan Polis dan seterusnya di urus oleh Agen, tidak hanya itu pengurusan

Klaim asuransi atas meninggalnya Alm. Sdr. Mardi Simarmata juga di urus oleh

Agen Maureen Ingrid Gantini. Permasalahannya bahwa keterangan medis yang

dicantumkan dalam SPPA dan di dalam pemulihan pertanggungan polis bertolak

belakang dengan riwayat medis Tertanggung yang sebenarnya, serta polis asuransi

yang diterbitkan oleh PT. Avrist Assurance secara faktual hanya ditandatangani

secara sepihak oleh PT. Avrist Assurance tanpa diikutsertakan tanda tangan Alm.

Sdr. Mardi Simarmata sebagai pemegang polis.

2. Dalil Penggugat dan Tanggapan Tergugat

Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Provinsi DKI

Jakarta Nomor 092/Pts.A/BPSK-DKI/II/2012 tanggal 28 Februari 2012 telah

memutuskan amar putusan yang pada pokoknya mengabulkan Gugatan Penggugat

dan menghukum tergugat untuk membayar klaim asuransi jiwa, sesuai Total Sum

70
Insured sebesar Rp. 50.801598,40 (lima puluh juta delapan ratus ribu lima ratus

sembilan puluh delapan Rupiah dan empat puluh sen) kepada penggugat yaitu

Hermi Sinurat (penerima manfaat asuransi jiwa) PT. Avrist Assurance menolak

putusan tersebut dan mengajukan keberatan atas putusan BPSK tersebut kepada

Pengadilan Negeri Tanggerang dengan alas hak ataupun duduk perkara sebagai

berikut :

1) Alm. Mardi Simarmata telah mengajukan permohonan sebagai tertanggung

asuransi pada Pelawan (PT. Avrist Assurance) yang ditandatangani pada

tanggal 31 Maret 2007 dan diterima oleh pelawan pada tanggal 16 April

2007;

2) Di dalam SPPA Alm. Mardi Simarmata menyatakan kehendaknya untuk

mendapatkan uang pertanggungan asuransi sebesar Rp.50.000.000,-;

3) Alm. Mardi Simarmata memberikan informasi bahwa yang bersangkutan

tidak pernah menderita penyakit apapun, tidak memiliki penyakit keturunan,

dan tidak pernah menjalani tindakan medis apapun sebelum SPPA

ditandatangani;

4) SPPA mencantumkan secara jelas mengenai peringatan bahwa calon

tertanggung harus menyampaikan informasi dan fakta yang sebenar-

benarnya mengenai kondisi dirinya dimana hal ini akan menentukan,

diantaranya, apakah polis asuransi akan diterbitkan atau tidak oleh tergugat;

5) Atas dasar SPPA yang diberikan oleh Alm. Mardi Simarmata, Pelawan

menerbitkan polis asuransi nomor U020761662 pada tanggal 17 April 2007

yang merupakan perjanjian antara Alm. Mardi Simarmata dengan pelawan;

71
6) Dalam Polis dicantumkan bahwa kewajiban pelawan menjadi terbatas pada

100% nilai polis pada Tanggal Perhitungan Harga Unit yang jatuh segera

sesudah tanggal diterimanya oleh pelawan pemberitahuan kematian

tertanggung (Alm. Mardi Simarmata) dengan kata lain hilangnya kewajiban

pelawan apabila tertanggung bunuh diri dan melakukan penipuan berupa

pernyataan yang salah yang bersifat material dan penyembunyian fakta;

7) Pada tanggal 27 September 2007 Alm. Mardi Simarmata melakukan

pemulihan pertanggungan Polis dengan mengisi formulir pemulihan Polis

dan, seperti dalam SPPA, kembali menyatakan bahwa yang bersangkutan

tidak pernah menderita penyakit apapun, tidak memiliki riwayat penyakit

keturunan, dan tidak pernah menjalani tindakan medis apapun sebelum

pemulihan Polis ditandatangani;

8) Alm. Mardi Simarmata meninggal pada tanggal 2 Februari 2008 dimana

dalam dokumen klaim disebutkan bahwa yang bersangkutan meninggal

karena penyakit karsinoma nasofaring atau kanker yang menyerang alat

pernapasan. Atas keadaan meninggal tersebut ahli waris Alm. Mardi

Simarmata mengajukan klaim kepada pelawan;

9) Bahwa atas klaim tersebut pelawan melakukan cross check kebenaran

informasi atau pemberitahuan yang diberikan dalam dokumen yang

mendapatkan Alm. Mardi Simarmata meninggal disebabkan oleh karsinoma

nasofaring atau kanker alat pernapasan dimana penyakit ini setidaknya telah

diderita sejak 6 Oktober 2006 atau sebelumnya. Kemudian didapat juga

keterangan bahwa pada tanggal 29 September 2007 Alm. Mardi Simarmata

juga menjalani tindakan medis berupa pemasangan gastronomy yaitu

72
pemasangan alat bantu pencernaan sebagaimana semuanya dinyatakan

dalam surat keterangan dokter yang memeriksa Alm. Mardi Simarmata

yang dikeluarkan pada tanggal 14 April 2008. Pada dasarnya dalam

keterangan dokter tersebut menunjukkan bahwa penyakit yang diderita

Alm. Mardi Simarmata tersebut terjadi sebelum Alm. Mardi Simarmata

menyatakan dirinya tidak pernah menderita penyakit apapun dalam SPPA

yang ditandatangani tanggal 31 Maret 2007 dan pemulihan Polis yang

ditandatangani pada tanggal 27 September 2007;

10) Ahli waris Sdri. Hermi Sinurat, melalui kuasa hukumnya, menyampaikan

keberatan atas ketentuan polis tersebut dan menuntut agar pelawan

membayar klaim sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)

11) Proses persidangan yang dilakukan oleh BPSK DKI Jakarta dianggap

pelawan bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum dan keadilan yang

berlaku dan juga dianggap melampaui jangka waktu yang ditetapkan dalam

Pasal 7 ayat (1) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan

Republik Indonesia Nomor 350/MPP/KEP/12/2001 tahun 2001 tentang

Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK harus diselesaikan paling lambat

21 hari sejak gugatan diterima dan pada kenyataannya gugatan diterima 3

Oktober 2011 sedangkan putusan baru diberikan tanggal 28 Februari 2012;

12) Menurut pelawan sidang BPSK hanya berpedoman pada Surat Permohonan

Penyelesaian Sengketa Sdri. Hermi Sinurat yang memuat dalil-dalil Sdri.

Hermi Sinurat secara sepihak tanpa bisa menguji kebenarannya pada

pembelaan pelawan;

73
13) Putusan yang dikeluarkan oleh BPSK dianggap pelawan didasarkan atas

fakta-fakta yang bertentangan dengan fakta yang sesungguhnya

dikarenakan adanya dokumen atau bukti-bukti yang bersifat menentukan

disembunyikan Sdri. Hermi Sinurat seperti bukti diagnosa dan rujukan Dr.

Asrul Harsal dari RS. Kanker Dharmis Jakarta dan bukti diagnosa lainnya;

14) Oleh karena hal di atas pelawan menganggap putusan dalam pemeriksaan

sengketa yang dilakukan BPSK diambil dari hasil tipu muslihat dan adanya

tipu muslihat juga terlihat pada halaman 2 paragraf terakhir putusan BPSK

yang menyebutkan bahwa BPSK mempertimbangkan adanya dokumen

Sertifikat Medis Penyebab Kematian yang dikeluarkan oleh Dinas

Kesehatan Propinsi DKI Jakarta padahal dokumen tersebut tidak disertakan

sebagai bukti di persidangan oleh Sdri. Hermi Sinurat;

15) Dalam Putusan BPSK menyatakan membebaskan tertanggung dari

kesalahan akibat adanya fakta atau informasi yang disembunyikan.

Kesalahan tertanggung dibebankan kepada Pelawan padahal adanya fakta

bahwa Alm. Sdr. Mardi Simarmata telah memberikan pilihannya sendiri

untuk membeli produk asuransi yang tidak memerlukan medical check up.

3. Permohonan Kasasi

Terlawan/Penggugat dengan perantaraan kuasanya mengajukan

permohonan kasasi secara lisan pada tanggal 31 Mei 2012 sebagaimana ternyata

dalam akte permohonan kasasi No. 135/Pdt.Plw/2012/PN.TNG yang dibuat oleh

Panitera Negeri Tangerang. Permohonan kasasi tersebut disertai dengan memori

kasasi yang memuat alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan

74
Negeri tersebut pada tanggal 14 Juni 2012. Dan alasan-alasan yang diajukan oleh

pemohon kasasi dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya ialah :

1) Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tangerang Nomor:

135/PDT.PLW.BPSK /2012/PN.TNG, tanggal 10 Mei 2012, telah terjadi

cara mengadili perkara perlawanan yang melampaui batas kewenangan atas

Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ( BPSK ) DKI Propinsi

Jakarta Nomor : 092/ Pts.A /BPSK-DKI/II/2012, tanggal 28 Februari 2012.

2) Objek terperkara adalah Polis Asuransi Jiwa yang diterbitkan oleh PT.

Asuransi AIA pada tanggal, 17 April 2007 dengan masa tempo polis sampai

dengan tanggal 15 April 2060. Polis Asuransi Nomor: U020761662. yang

mana dalam polis dimaksud meletakkan Alm. Sdr. Mardi Simarmata

sebagai Tertanggung ( pemegang polis asuransi jiwa ) dan dalam polis

asuransi jiwa dimaksud menyebutkan salah satu yang dapat menerima

manfaat jika pemegang polis asuransi jiwa meninggal dunia adalah “

HERMI SINURAT “ (isteri sah Alm. Sdr. Mardi Simaramata), Nilai

pertanggungan/harga pertanggungan adalah sebesar Rp. 50.801.598,40

(limapuluh juta delapan ratus satu ribu limaratus sembilan puluh delapan

Rupiah dan empat puluh sen ). Dan premi perbulannya adalah sebesar Rp.

250.000,- ( dua ratus lima puluh ribu Rupiah) pembayarannya didebet

langsung melalui rekening tertanggung (alm. Mardi Simarmata) yang ada di

BCA, dengan nomor rekening : 1081331150.

3) Pengadilan Negeri Tangerang telah menerapkan hukum yang keliru, tidak

cermat dan tidak teliti dalam keputusannya dalam memandang perselisihan

mengenai hak klaim asuransi jiwa antara Pemohon Kasasi semula Terlawan/

75
Pemohon dengan Termohon Kasasi semula Pelawan/ Termohon. Putusan

Pengadilan Negeri Tangerang dalam pertimbangannya tidak

mempersoalkan tentang status hukum dengan cara bagaimana pengambil

alihan dan atau perubahan nama perseroan yang semula PT. IAI Indonesia

dan sekonyong - konyong menjadi PT. AVRIST ASSURANCE sebagai

pihak yang menolak pembayaran klaim asuransi jiwa atas meninggalnya

Alm. Sdr.Mardi Simarmata ( nama tertera dalam polis asuransi jiwa ).

4) Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tangerang tersebut sangat keliru

dan tidak cermat sehingga putusan a quo telah bertentangan dengan

Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

5) Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor: 135/PDT.PLW.BPSK/

2012/PN.TNG tentang polis asuransi jiwa terperkara kurang cukup

pertimbangan (onvoldoende gemotiveerd) karena pertimbangan-

pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tangerang dalam perkara

a quo yang menolak putusan BPSK dan mengadili perkara a quo telah

menyimpulkan keterangan Termohon Kasasi secara keliru/tidak tepat dan

tidak dapat membuktikan dalilnya secara sempurna.

6) Menurut hemat Pemohon Kasasi semula Terlawan/Pemohon,

pertimbangan-pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tangerang

tersebut bertentangan dengan hukum dan dilakukan dengan sewenang-

wenang.

7) Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tangerang tidak menguasai, tidak

memahami benar tentang inti pokok dari undang-undang perasuransian dan

undang-undang perlindungan konsumen dan aturan lain yang mengaturnya,

76
sehingga dengan demikian Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tangerang

telah salah dan keliru dalam memutuskan permohonan perlawan atas

putusan BPSK dalam perkara a quo.

8) Pada halaman 59 alinea ke 1 Putusan Pengadilan Negeri Tangerang, dalam

pertimbangannya berbunyi :Menimbang, bahwa dalam putusan tersebut

BPSK DKI Jakarta telah menggabungkan BPSK dengan ARBITRASE yang

terlihak dalam pertimbangan hukum yang menyebutkan, bahwa para pihak

yang bersengketa telah sepakat penyelesaian sengketa diselesaikan dengan

cara arbitrase dan selanjutnya

9) Arbitrase dan arbiter diatur dalam Undang-Undang RI Nomor : 30 Tahun

1999 tentang Arbitrase dan Alternative penyelesaian sengekata sedangkan

tentang BPSK dan tata cara penyelesaian sengeketa konsumen diatur dalam

Undang-Undang RI Nomor : 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen sehingga putusan tersebut menjadi rancu.

10) Pada halaman 59 alinea ke 4 Putusan Pengadilan Negeri Tangerang, dalam

pertimbangannya berbunyi : Menimbang dalam putusan BPSK DKI Jakarta

Nomor : 092 /Pts.A/BPSK- DKI/II/2012 Subjek Hukum adalah Hermi

Sinurat yang diberi kedudukan sebagai Konsumen dan PT. AVRIST

ASSURANCE yang diberi kedudukan sebagai Pelaku Usaha. Bahwa

pertimbangan hukum BPSK DKI Jakarta adalah pertimbangan hukum yang

benar dikarenakan, HERMI SINURAT adalah pihak yang menerima

manfaat akibat meninggalnya Alm. Sdr. MARDI SIMARMATA, ( nama

yang tercantum dalam polis asuransi) HERMI SINURAT merupakan istri

sah dari Alm. Sdr. Mardi Simarmata. dalam Asuransi yang memiliki

77
insurable interest adalah tertanggung, tertanggung adalah pihak yang

namanya tercetak dalam polis asuransi jiwa, dan oleh karena nama yang

tercetak dalam polis asuransi telah dinyatakan meninggal dunia maka pihak

yang menerima manfaat (beneficiary) atas meninggalnya pemegang polis

asuransi adalah para ahli waris yakni isteri, anak-anak, dan oleh karena

HERMI SINURAT adalah isteri sah dari alm. Sdr. Mardi Simarmata, maka

berhak atas klaim asuransi, dan berhak disebut sebagai Konsumen.

11) Pada halaman 60 alinea ke 2 (dua) putusan Pengadilan Negeri Tangerang,

dalam pertimbangannya berbunyi, Menimbang, bahwa asuransi (jiwa) atau

pertangungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih (pasal 1 angka

1 UU No. 2 Tahun 1992 tentang usaha Perasuransian). Dalam perkara ini

adalah sangat wajar jika Hermi Sinurat akan mendapatkan manfaat akibat

meninggalnya suami/bapak dari anak-anak yang di tinggalkan oleh alm.

Sdr. Mardi Simarmata.

12) Pada halaman 60 alinea ke 3 (tiga) Putusan Pengadilan Negeri Tangerang,

dalam pertimbangannya berbunyi : Menimbang, bahwa oleh karena

asuransi adalah suatu perjanjian yang diatur secara khusus dalam Undang-

Undang RI nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, maka belum/

tidak dipenuhinya prestasi yang diperjanjikan oleh salah satu pihak, dalam

perkara ini pihak pemohon/keberatan dahulu tergugat adalah perbuatan

hukum “wanprestasi” sehingga tidak termasuk dalam pengertian barang

ataupun jasa sebagaimana dimaksud dalam UU RI No. 8 tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, sehingga Mardi Simarmata (alm) ataupun Hermi

Sinurat isterinya bukan orang yang berkedudukan sebagai konsumen.

78
Pertimbangan hukum majelis hakim disebutkan diatas adalah sangat tidak

cermat/keliru. Sesuai Undang-Undang Nomor 2 tahun 1992 tentang usaha

perasuransian menyebutkan polis asuransi adalah perjanjian, tetapi fakta

hukum menunjukan bahwa polis asuransi jiwa yang diterbitkan oleh PT.

AVRIST ASSURANCE, tidak cukup unsur disebut sebagai perjanjian

sebagaimana yang diatur dalam pasal 1320 KUHPedata, jo Undang-Undng

Nomor : 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian karena polis asuransi

jiwa yang diterbitkan oleh Termohon Kasasi/ Pelawan/ Termohon, secara

factual hanya ditanda tangani sendiri oleh Termohon kasasi/Pelawan/

Termohon, Polis asuransi jiwa yang diterbitkan Termohon Kasasi/Pelawan/

Termohon telah tidak memenuhi unsur-unsur sebagaimana yang diatur

dalam pasal 1320 KUH Perdata, dan oleh karena polis asuransi telah tidak

memenuhi unsur sebagaimana disebutkan dalam pasal 1320 KUHPerdata,

maka hal itu tidak dapat disebut sebagai perbuatan hukum “wanprestasi “.

13) Bahwa pada halaman 60 alinea ke 4, Putusan Pengadilan Negeri Tangerang,

dalam pertimbangannya berbunyi : Menimbang, bahwa yang dimaksud

dengan pelaku usaha pasal 1 angka 3 UU RI No.8 Tahun 1999 adalah : yang

menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Bahwa

pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tangerang diatas

mengandung makna yang sangat tidak objektif dan terkesan asal- asalan

14) Pada halaman 60 alinea ke 5, Putusan Pengadilan Negeri Tangerang, dalam

pertimbangannya berbunyi berikut : Menimbang, bahwa PT. AVRIST

Assurance adalah badan hukum yang bergerak dibidang asuransi, bukan

dibidang ekonomi sehingga PT. Avrist Assurance tidak termasuk dalam

79
pengertian pelaku usaha. Pertimbangan hukum majelis hakim Pengadilan

Negeri Tangerang diatas, adalah pertimbangan yang sangat menyesatkan,

perlu ditegaskan bahwa perusahaan asuransi merupakan perseroan yang

membantu perputaran ekonomi, baik yang bersifat nasional maupun yang

bersifat internasional, fungsi asuransi itu sangat penting dalam

menggerakan ekonomi dunia, sehingga dengan demikian dapat disebut

sebagai pelaku usaha, oleh karenanya maka pemegang polis dapat disebut

sebagai konsumen.

15) Pada halaman 60 alinea ke 6 Putusan Pengadilan Negeri Tangerang, dalam

pertimbangannya berbunyi : Menimbang, bahwa subjek hukum (para pihak)

dalam putusan BPSK DKI Jakarta No. 092/Pts.A/BPSK – DKI/II/2012,

bukan dalam pengertian Konsumen dan Pelaku usaha, dan tidak / belum

dibayarkannya klaim asuransi adalah perbuatan hukum “ wanprestasi , maka

sengketa yang ada diantara para pihak adalah bukan merupakan sengketa

konsumen. Pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Negeri

Tangerang diatas adalah pertimbangan yang keliru dan tidak cermat.

16) Pada halaman 61 alinea ke 1 Putusan Pengadilan Negeri Tangerang, dalam

pertimbangannya berbunyi : Menimbang, bahwa oleh karena sengketa

dalam bidang asuransi bukan merupakan sengketa konsumen, maka bukan

merupakan kewenangan BPSK. Pertimbangan mejelis hakim Pengadilan

Negeri Tangerang diatas tidak cermat, sengketa asuransi merupakan

sengketa konsumen, oleh karenanya jika timbul masalah hukum dalam

asuransi dapat ditempuh melalui cara penyelesaian melalui Arbitrase BPSK.

Pemegang polis merupakan / dan dapat disebut konsumen, sehingga BPSK

80
DKI Propinsi Jakarta berkompetensi mengadili perkara ini, sehingga

pertimbangan majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang dengan tegas

harus ditolak.

17) Pada halaman 61 alinea ke 2 Putusan Pengadilan Negeri Tangerang, dalam

pertimbangannya berbunyi : Menimbang, bahwa oleh karena sengketa para

pihak bukan merupakan kewenagan BPSK, maka putusan No.

092/Pts.A/BPSK/DKI/II/2012 harus dinyatakan batal demi hukum.

Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tangerang yang

menyatakan putusan BPSK DKI Jakarta batal demi hukum, adalah

merupakan putusan yang salah dan sangat merugikan Pemohon Kasasi/

Terlawan/Pemohon. PT. Avrist Assurance merupakan badan usaha maka

sekaligus dapat disebut sebagi pelaku usaha, sedangkan tertanggung

(pemegang polis) dapat juga disebut sebagai konsumen, orang yang

menikmati manfaat akibat meninggalnya pemegang polis ( tertanggung ).

18) Pada halaman 61 alinea ke 4, Putusan Pengadilan Negeri Tangerang, dalam

pertimbangannya berbunyi : Menimbang, bahwa oleh karena Putusan BPSK

dinyatakan batal demi hukum, sehingga petitum keberatan pelawan / dahulu

tergugat patut untuk dikabulkan. Bahwa pertimbangan mejelis hakim

Pengadilan Negeri Tangerang yang menyatakan / mengabulkan perlawanan

Termohon Kasasi / tidak didasarkan pada pertimbangan hukum yang benar,

sehingga dengan demikian putusan majelis hakim Pengadilan Negeri

Tangerang yang mengabulkan petitum termohon kasasi/pelawan/termohon

harus di tolak.

81
19) Tentang riwayat penerbitan polis asuransi jiwa atas nama Alm. Sdr. Mardi

Simarmata (Tertanggung) sebagai berikut Alm. Mardi Simarmata didatangi

oleh Agen Pelawan yang namanya Sdr (i) Maureen Ingrid Gantini, yang

mana agen dimaksud menawarkan program asuransi kesehatan, pada

awalnya Alm. Mardi Simarmata menolak untuk berasuransi dengan

memberikan berbagai pertimbangan-pertimbangan, penolakan yang

demikian tidak membuat Agen berhenti menawarkan sampai disitu, tawaran

terus dilakukan, oleh karena Alm. Sdr. Mardi Simarmata merasa kasihan

pada Agen dimaksud akhirnya Alm. Sdr. Mardi Simarmata memutuskan

dan menyetujui akan berasuransi dengan syarat semua urusan mulai dari

pengisian SPPA, pembayaran premi asuransi pertama, pengambilan Polis

dan seterusnya di urus oleh Agen, tidak hanya itu pengurusan Klaim

asuransi atas meninggalnya Alm. Sdr. Mardi Simarmata juga di urus oleh

Agen yang sama.

20) Pengadilan Negeri Tangerang telah tidak menerapkan hukum acara perdata

yang berlaku karena Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tangerang telah

mengabulkan petitum gugatan perlawanan yang tidak jelas yaitu

menghukum Pemohon Kasasi semula Terlawan/Pemohon untuk

melepaskan segala haknya. Pertimbangan hukum yang demikian adalah

tidak cermat karena telah menyimpang / bertentangan dengan Keputusan

Mahkamah Agung tanggal 21 November 1970 Nomor : 492 K/Sip/1970.

4. Pertimbangan Hakim dan Putusan Hakim

Tabel. 1. Pertimbangan Hakim

82
BPSK Pengadilan Negeri Mahkamah Agung

Tangerang

1. Menimbang bahwa 1. Menimbang, bahwa Menimbang, bahwa


dalam persidangan, selain fakta-fakta terhadap alasan-alasan
Penggugat dan persidangan tersebut, tersebut Mahkamah
Tergugat telah terdapat beberapa hal Agung berpendapat :
diberikan hak yang yang perlu dibuktikan Mengenai alasan ke 1 s/d
sama untuk adalah : a Apakah tidak ke 20 tersebut :
mengajukan alat- dibayarnya klaim Bahwa alasan-alasan
alat bukti untuk asuransi oleh Pelawan kasasi tersebut dapat
menguatkan dalil dahulu Tergugat adalah dibenarkan, Judex Facti
masing-masing merupakan sengketa telah salah menerapkan
yang singkatnya konsumen dan menjadi hukum dengan
semua surat-surat kewenangan BPSK ?. b pertimbangan sebagai
diajukan pula Apakah berikut:
Berita Acara Pelawan/dahulu 1. Bahwa tidak ada satu
Persidangan Tergugat mempuyai ketentuan/pasal dalam
dianggap sudah kewajiban untuk Undang Undang No. 2
termasuk dalam membayar klaim Tahun 1992 tentang
Putusan ini, dan kepada Terlawan/ Perlindungan
pada akhirnya dahulu Penggugat Konsumen yang
kedua belah Pihak 2. Menimbang, bahwa menyatakan
mohon Putusan. dalam putusan tersebut Perselisihan dalam
2. Bahwa Pelaku BPSK DKI Jakarta pelaksanaan
Usaha bertanggung telah menggabungkan perjanjian asuransi
jawab memberikan BPSK dengan tidak dapat
ganti rugi atas ARBITRASE yang diselesaikan melalui
kerusakan, terlihak dalam BPSK;
pencemaran pertimbangan hukum 2. Bahwa, Termohon
dan/atau kerugian yang menyebutkan, Kasasi/Pelawan-
konsumen akibat bahwa para pihak yang Tergugat telah

83
mengkonsumsi bersengketa telah bersedia menghadiri
barang dan/atau sepakat penyelesaian persidangan BPSK
jasa yang sengketa diselesaikan dan telah
dihasilkan atau dengan cara arbitrase menandatangani
diperdagangkan. dan selanjutnya. Berita Acara Sidang
3. Bahwa 3. Menimbang dalam pada tanggal 08
Tertanggung (Alm putusan BPSK DKI Nopember 2011, pada
Sdr. Mardi Jakarta Nomor : 092 diktumnya
Simarmata) /Pts.A/BPSK- menyatakan
dibebaskan dari DKI/II/2012 Subjek kesepakatan
kesalahan akibat Hukum adalah Hermi penyelesaikan
adanya fakta atau Sinurat yang diberi sengketa dilakukan
informasi yang kedudukan sebagai dengan cara Arbitrase
disembunyikan. Konsumen dan PT. yang dilaksanakan
Kesalahan AVRIST oleh BPSK;
Tertanggung (Alm. ASSURANCE yang 3. Bahwa sesuai isi
Sdr. Mardi diberi kedudukan ketentuan pasal 2 butir
Simarmata) sebagai Pelaku Usaha. a Undang-Undang No.
dibebankan pada 4. Menimbang, bahwa 2 Tahun 1992
Pelawan. asuransi (jiwa) atau Menyatakan : …
pertangungan adalah usaha asuransi yaitu
perjanjian antara dua usaha jasa keuangan
pihak atau lebih (pasal 1 yang dapat
angka 1 UU No. 2 menghimpun…. Dst,
Tahun 1992 tentang harus diartikan
usaha Perasuransian). sebagai salah satu
5. Menimbang, bahwa bentuk kegiatan yang
oleh karena asuransi berkaitan dengan
adalah suatu perjanjian keuangan secara
yang diatur secara mutatis mutandis
khusus dalam Undang- harus diartikan
Undang RI nomor 2

84
Tahun 1992 tentang “bergerak dalam
Usaha Perasuransian, bidang ekonomi”.
maka belum/tidak 4. Bahwa, dengan
dipenuhinya prestasi mengacu pada Surat
yang diperjanjikan oleh Keputusan Menteri
salah satu pihak, (dalam Perindustrian dan
perkara ini pihak Perdagangan RI No.
pemohon / keberatan 350/MPP/Kep/12/200
dahulu tergugat adalah 1 tentang pelaksanaan
perbuatan hukum Tugas dan wewenang
“wanprestasi” sehingga Badan Penyelesaian
tidak termasuk dalam Sengketa Konsumen
pengertian barang pada Bab I Ketentuan
ataupun jasa Umum Pasal 1 butir 8
sebagaimana dimaksud “ sengketa konsumen
dalam UU RI No. 8 adalah sengketa antara
tahun 1999 tentang Pelaku Usaha dengan
Perlindungan Konsumen yang
Konsumen, sehingga menuntut ganti rugi
Mardi Simarmata (alm) atas kerusakan,
ataupun Hermi Sinurat pencemaran dan/atau
isterinya bukan orang yang “menderita
yang berkedudukan kerugian” akibat
sebagai konsumen. mengkonsumsi barang
6. Menimbang, bahwa dan/atau
yang dimaksud dengan memanfaatkan jasa;
pelaku usaha ( pasal 1 5. Bahwa, para pihak
angka 3 UU RI No.8 telah menentukan
Tahun 1999 adalah : pilihan hukum (choice
yang of law) yaitu dengan
menyelenggarakan memilih cara
kegiatan usaha dalam penyelesaian sengketa

85
berbagai bidang dengan cara Arbitrase
ekonomi. No.
7. Menimbang, bahwa PT. 092/PCP/BPKSDKI/
AVRIST Assurance XI/2011 tanggal 8
adalah badan hukum Nopember 2001,
yang bergerak dibidang sehingga perkara a
asuransi, bukan quo termasuk dalam
dibidang ekonomi kewenangan BPSK;
sehingga PT. Avrist
Assurance tidak ter
masuk dalam
pengertian pelaku
usaha.
8. Menimbang, bahwa
subjek hukum (para
pihak) dalam putusan
BPSK DKI Jakarta No.
092/Pts.A/BPSK/DKI/I
I/2012, bukan dalam
pengertian Konsumen
dan Pelaku usaha, dan
tidak / belum
dibayarkannya klaim
asuransi adalah
perbuatan hukum “
wanprestasi , maka
sengketa yang ada
diantara para pihak
adalah bukan
merupakan sengketa
konsumen.

86
9. Menimbang, bahwa
oleh karena sengketa
dalam bidang asuransi
bukan merupakan
sengketa konsumen,
maka bukan merupakan
kewenangan BPSK
10. Menimbang, bahwa
oleh karena sengketa
para pihak bukan
merupakan
kewenagan BPSK,
maka putusan No.
092/
Pts.A/BPSK/DKI/II/2
012 harus dinyatakan
batal demi hukum.
11. Menimbang, bahwa
oleh karena Putusan
BPSK dinyatakan
batal demi hukum,
sehingga petitum
keberatan pelawan
/dahulu tergugat patut
untuk dikabulkan.
Sumber : Data Sekunder.

Tabel. 2. Putusan Hakim

BPSK Pengadilan Negeri Mahkamah Agung

Tangerang

87
1. Mengabulkan 1. Mengabulkan Mahkamah Agung
Gugatan permohonan keberatan mengadili sendiri perkara
Penggugat Pelawan/Dahulu Tergugat ini dengan amar putusan
2. Menghukum untuk seluruhnya sebagaimana yang akan
Tergugat untuk 2. Menyatakan putusan disebutkan dibawah ini :
membayar BPSK DKI Jakarta Nomor 1. Mengabulkan
Klaim Asuransi : 092/Pts.A/BPSK- permohonan kasasi
Jiwa, sesuai DKI/II/2012 batal demi dari Pemohon Kasasi :
Total Sum hukum HERMI SINURAT
Insured sebesar 3. Menghukum tersebut
Rp. Terlawan/Dahulu 2. Membatalkan putusan
50.801.598,40 Penggugat untuk Pengadilan Negeri
(Lima puluh juta membayar biaya perkara Tangerang No. 135/
delapan ratus sebesar Rp. 366.000,- (tiga Pdt.Plw.BPSK/2012/
satu ribu lima ratus enam puluh enam PN.TNG. tanggal 10
ratus sembilan ribu rupiah) Mei 2012;
puluh delapan MENGADILI SENDIRI
Rupiah dan 1. Mengabulkan gugatan
empat puluh sen) Penggugat sebagian;
kepada 2. Menghukum Tergugat
Penggugat untuk membayar
Klaim Asuransi Jiwa,
atas nama Mardi
Simarmata (Alm)
Nomor Polis
U020761662 tanggal
Polis 16 April 2007
Asuransi Jiwa PT.
AVRIST
ASSURANCE sesuai
Total Sum Insured
sebesar Rp.

88
50.801.598,40 (Lima
puluh juta delapan
ratus satu ribu lima
ratus sembilan puluh
delapan Rupiah dan
empat puluh Sen)
kepada Penggugat;
3. Menolak gugatan
Penggugat selebihnya;
Sumber : Data Sekunder.

5. Analisis

Penulis dalam bagian ini akan menganalisis putusan No.

560K/Pdt.Sus/2012 sehingga mengetahui dasar hukum mendudukkan perjanjian

yang tidak ditandatangani oleh Tertanggung adalah sah menurut hukum dan

menjadi dasar hubungan hukum antara perusahaan asuransi dengan Alm. Mardi

Simarmata (Tertanggung) serta sudah tepatkah putusan hakim berdasarkan asas-

asas hukum perjanjian dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang

Perasuransian. Kasus sengketa asuransi antara Hermi Sinurat dengan PT. Avrist

Assurance terjadi karena penolakan pembayaran klaim asuransi oleh Penanggung

kasus tersebut telah diputus dalam Putusan No. 560 K/Pdt.Sus/2012 pada tanggal

24 September 2012.

a. Tanda Tangan dalam Polis Asuransi

Terjadinya perjanjian asuransi berbeda dengan perjanjian nomina yang

dijelaskan dalam KUH Perdata maupun perjanjian inomina. Tetapi KUH Perdata

tetap dipakai terkait ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan perjanjian asuransi

89
dalam Buku ketiga, yaitu mengenai syarat sah diadakannya suatu perjanjian

menurut 1320 KUH Perdata :

1. Sepakat bagi para pihak yang mengadakan perikatan

2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian

3. Adanya objek yang dapat ditentukan

4. Sebab atau causa yang tidak dilarang

Mengenai perjanjian asuransi dijelaskan pengaturan yang bersifat umum

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUH Dagang) Buku kesatu Bab

kesembilan tentang asuransi atau pertanggungan pada umumnya dan Undang-

Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Dalam KUH Dagang Buku

kesatu Bab kesembilan tentang asuransi atau pertanggungan pada umumnya

dijelaskan proses diterbitkannya sebuah polis. Berdasarkan Pasal 257 KUHD

perjanjian pertanggungan, terjadi segera setelah tercapai persesuaian kehendak

antara kedua pihak. Untuk berlaku sah perjanjian pertanggungan, tidak tergantung

pada adanya suatu syarat formalitas atau akta. Dengan demikian dapat dikatakan

bahwa sifat perjanjian asuransi adalah konsensuil. Polis diperlukan sebagai

dokumen pembuktian akan adanya suatu perjanjian asuransi, polis bukan

merupakan syarat esensial. Didalam penerbitan polis menjelaskan terjadinya proses

offer (penwaran) yaitu ketika Tertanggung menjelaskan mengenai keadaan objek

asuransi serta risko yang ada melalui SPPA. Kemudian terjadi acceptance yaitu

Penanggung menerima penawaran tersebut dengan penerbitan polis. Jadi, SPPA

menjadi satu kesatuan dengan polis.

90
Yang menandatangani polis adalah Penanggung, hal tersebut dijelaskan

dalam Pasal 256 ayat 2 KUHD, bahwa “Polis tersebut harus ditandatangani oleh

setiap Penanggung”. Karena dasar penerbitan polis berdasarkan informasi yang ada

di dalam SPPA yang diisi oleh Tertanggung, maka tidak perlu lagi meminta tanda

tangan dari pihak Tertanggung.

Pasal 257 ayat 1 KUHD menjelaskan bahwa “Perjanjian pertanggungan

diterbitkan seketika setelah perjanjian tersebut ditutup, hak-hak dan kewajiban-

kewajiban bertimbal-balik dari Penanggung dan Tertanggung mulai berlaku

semenjak saat itu, bahkan sebelum polis ditandatangani”. Kemudian Pasal 257 ayat

2 KUHD menjelaskan bahwa “Ditutupnya perjanjian menerbitkan kewajiban bagi

Penanggung untuk menandatangani polis dalam waktu yang telah ditentukan dan

menyerahkannya kepada Tertanggung.

Berdasarkan ketentuan tersebut ditutupnya perjanjian asuransi

mengakibatkan segera timbulnya hak dan kewajiban timbal-balik antara

Penanggung dan Tertanggung walaupun Tertanggung belum menerima polis yang

diterbitkan oleh Penanggung. Masing-masing pihak sudah dapat menjalankan

segala kewajiban maupun meminta haknya dalam menuntut pembayaran klaim bagi

Tertanggung ataupun menuntut pembayaran premi bagi Penanggung. Dapat

disimpulkan bahwa perjanjian asuransi telah terjadi dengan adanya kata sepakat

para pihak, meskipun polis belum ada.81 Berdasarkan acceptance theory (teori

penerimaan), menjelaskan juga ketika SPPA telah ditandatangani oleh Tertanggung

maka perjanjian asuransi telah terjadi.

81
Ibid. hlm. 58

91
Dalam teori penerimaan dijelaskan mengenai saat kapan perjanian asuransi

terjadi dan mengikat Tertanggung dan Penanggung, yaitu saat adanya persetujuan

kehendak. Adanya suatu perjanjian bergantung pada kondisi konkret yang

dibuktikan oleh perbuatan nyata (menerima) atau dokumen perbuatan hukum (bukti

menerima). Melalui perbuatan nyata atau dokumen perbuatan hukum, baru dapat

diketahui saat terjadi perjanjian, yaitu di tempat, pada hari dan tanggal perbuatan

nyata (penerimaan itu dilakukan), atau dokumen perbuatan hukum (bukti

penerimaan) itu ditandatangani/diparaf oleh Tertanggung.

Meski begitu, kedudukan polis tetap penting sebab, di dalamnya memuat isi

lengkap perjanjian diadakan, termasuk hak dan kewajiban para pihak. Oleh sebab

itu, polis merupakan alat bukti sempurna mengenai perjanjian yang bersangkutan,

dan ketiadaan polis kemungkinan dapat mempersulit pembuktian.82

Perjanjian asuransi mengikat bagi Penanggung dan Tertanggung apabila

telah memehuhi syarat-syarat Subjektif dan Objektif berdasarkan 1320 KUH

Perdata. Pertama syarat subjektif terdiri dari adanya kata sepakat dan kecakapan

dari masing-masing pihak. Kedua syarat objektif mengenai kepentingan sebagai

objek asuransi dan kausa yang halal. Di dalam KUH Dagang terdapat ketentuan

bahwa timbulnya hak dan kewajiban Penanggung dan Tertanggung ketika terjadi

penutupan asuransi berdasarkan pasal 257 ayat 1 KUH Dagang sehingga

penandatanganan polis oleh salah satu pihak yaitu Penanggung bukan menjadi

dasar sah atau tidaknya suatu perjanjian asuransi. Hal-hal tersebut merupakan dasar

pertimbangan hakim dalam mendudukkan perjanjian asuransi yang diadakan oleh

82
Ibid. hlm. 59

92
Alm. Mardi Simarmata dengan PT. Avrist Assurance tersebut adalah sah menurut

hukum. Perjanjian asuransi tersebut sah karena diterbitkannya polis didasarkan dari

SPPA yang telah ditandatangani oleh Tertanggung, yakni Alm. Mardi Simarmata.

b. Kewajiban Pemberitahuan

SPPA merupakan formulir isian yang harus diisi oleh calon Tertanggung

dalam rangka penutupan asuransi. SPPA akan digunakan oleh Penanggung sebagai

sebuah informasi dan data yang dibutuhkan seorang underwriter untuk menerima

suatu permohonan asuransi dan menetapkan ketentuan dan syarat-syarat, atau bisa

juga menolak permohonan tersebut.

Pertanyaan-pertanyaan umum yang dapat ditemukan dalam formulir

tersebut yaitu mengenai :

1) Nama Tertanggung

2) Alamat Tertanggung

3) Pekerjaan Tertanggung

4) Riwayat Asuransi

Sedangkan pertanyaan-pertanyaan khusus dalam asuransi jiwa yaitu

mengenai :

1) Usia, Pekerjaan dan Riwayat kesehatan atas jiwa yang dipertanggungkan

2) Tinggi dan Berat badan

Tertanggung yakni Alm. Mardi Simarmata mengisi SPPA yang dibuat oleh

PT. Avrist Assurance sebagai permohonan untuk menjadi Tertanggung,

Tertanggung menyatakan kehendaknya untuk tidak dilakukannya pemeriksaan

93
medis. Akibat dari hal tersebut, Alm. Mardi Simarmata harus memberikan

informasi mengenai riwayat kesehatannya mengenai penyakit yang dideritanya,

riwayat penyakit turunan, tindakan medis yang pernah dilakukan.

Tetapi pada saat ahli waris mengajukan klaim asuransi, Penanggung

menolak pembayaran klaim karena Penanggung menganggap dalam pengisian

SPPA yang dilakukan oleh Tertanggung telah terjadi misrepresentaion. Dengan

bukti, yaitu Tertanggung meninggal dunia karena penyakit Karsinoma Nasofaring

yang telah diderita Tertanggung sejak 6 Oktober 2006. Ditemukannya bukti

konsultasi, diagnosa, dan bukti tindakan medis kemotherapi sebanyak 6 seri yang

dilakukan oleh Tertanggung di Rumah Sakit Usada Insani, Tangerang pada tanggal

6 Oktober 2006 dengan dokter yang menangani adalah dr. Noorwati, SpPD.

Kemudian didapat juga keterangan bahwa pada tanggal 29 September 2007,

Tertanggung mejalani tindakan medis berupa pemasangan Gastrostomy di Rumah

Sakit Usada Insani, Tangerang pada tanggal 29 September 2007 dengan dokter

yang menangani adalah dr. Noorwati, SpPD, maka berdasarkan bukti-bukti tersebut

Penanggung berkesimpulan bahwa Tertanggung telah terbukti beritikad tidak baik

dan melakukan misrepresentasi. Selanjutnya berdasarkan fakta yang disebutkan

dalam Putusan Mahkamah Agung No. 560K/Pdt.Sus/2012 bahwa pengisian SPPA

dilakukan oleh agen asuransi Tertanggung.

Dari kronologi kasus yang dijelaskan di atas seharusnya menjadi kewajiban

tertanggung untuk menjelaskan informasi mengeni riwayat kesehatan Tertanggung

mengenai penyakit yang dideritanya, riwayat penyakit turunan, tindakan medis

yang pernah dilakukan oleh Tertanggung. Hal tersebut berdasarkan ketentuan Pasal

251 KUHD yaitu “Setiap keterangan yang keliru atau tidak benar, ataupun setiap

94
tidak memberitahukan hal-hal yang diketahui oleh si tertanggung, betapapun

iktikad baik ada padanya, yang demikian sifatnya, sehingga, seandainya si

penanggung telah mengetahui keadaan yang sebenarnya, perjanjian itu tidak akan

ditutup atau tidak ditutup dengan syarat-syarat yang sama, mengakibatkan batalnya

pertanggungan”.

Berdasarkan prinsip atau asas itikad baik yang sempurna dapat diartikan,

bahwa masing-masing pihak dalam suatu perjanjian yang akan disepakati demi

hukum mempunyai kewajiban untuk memberikan keterangan atau informasi

selengkap-lengkapnya, yang akan dapat memengaruhi keputusan atau informasi

pihak lain untuk memasuki perjanjian atau tidak, baik keterangan yang demikian

itu diminta atau tidak.83 Jadi, Tertanggung mempunyai kewajiban memberikan

informasi sejujur-jujurnya mengenai riwayat kesehatan Tertanggung mengenai

penyakit yang dideritanya, riwayat penyakit turunan, tindakan medis yang pernah

dilakukan oleh Tertanggung baik hal itu diminta atau tidak. Karena dalam hal ini

Tertanggung ketika akan menutup asuransi telah mengetahui fakta-fakta yang ada

terhadap objek asuransi tersebut, sedangkan Penanggung tidak mengetahuinya dan

informasi yang diberikan oleh Tertanggung dapat membantu Penanggung dalam

menganalisis risiko yang akan diasuransikan.

Tetapi dalam dalam rangka melindungi Tertanggung Pasal 31 ayat 2

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, menjelaskan bahwa

“Agen Asuransi, Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, dan Perusahaan

Perasuransian wajib memberikan informasi yang benar, tidak palsu dan/atau tidak

83
Mulhadi. Op. Cit, hlm. 83.

95
menyesaatkan kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta mengenai risiko,

manfaat, kewajiban, dan pembebanan biaya terkait dengan produk asuransi atau

produk asuransi syariah yang ditawarkan”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 31 ayat 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun

2014 tentang Perasuransian, itikad baik tidak hanya dibebankan kepada

Tertanggung tetapi juga kepada pihak Penanggung termasuk agen asuransi, pialang

asuransi dan pialang reasuransi. Itikad baik tersebut berupa penulisan klausul-

klausul yang jelas dan tidak menyesatkan, mencantumkan peringatan atau instruksi

secara jelas mengenai kewajiban yang harus dilakukan oleh calon Tertanggung

ketika akan menutup perjanjian asuransi. Hal-hal tersebut harus dilakukan oleh

Penanggung, tujuannya agar tidak menimbulkan kerugian bagi masing-masing

pihak.

Dalam SPPA yang diisi oleh Alm. Mardi Simarmata, Penanggung telah

mencantumkan peringatan dengan jelas bahwa :

“Jika fakta yang bersifat material tidak dinyatakan dalam formulir permohonan ini,

maka polis yang dikeluarkan akan dianggap tidak berlaku. Jika anda ragu-ragu

apakah suatu fakta material atau tidak, anda dianjurkan untuk menyatakannya. Hal

ini juga meliputi segala informasi yang mungkin telah anda berikan kepada agen

anda tetapi tidak dinyatakan dalam permohonan ini. Mohon diperiksa kembali

apakah anda sudah benar-benar puas dengan informasi yang anda nyatakan dalam

permohonan ini. Jangan menandatangani formulir permohonan yang masih

kosong/belum diisi”.

96
“(B) Semua pernyataan dan jawaban yang diberikan dalam formulir permohonan

asuransi ini, beserta semua pernyataan dan jawaban yang diberikan dalam

pemeriksaan kesehatan, kuisioner, atau amandemen, adalah lengkap dan benar, dan

saya/kami mengerti bahwa Perusahaan akan mempercayai dan bertindak atas dasar-

dasar tersebut, apabila pernyataan atau jawaban yang diberikan tidak benar maka

polis yang dikeluarkan atas dasar tersebut menjadi batal.”

Terdapat suatu kewajiban bagi Tertanggung yaitu membaca atau mengikuti

informasi dan prosedur yang sudah ditetapkan oleh Penanggung ketika mengisi

SPPA. Berdasarkan pencantuman peringatan tersebut Alm. Mardi Simarmata telah

menyatakan bahwa ia telah memberikan keterangan dengan sejujurnya dan sesuai

kenyataan. Dan itu berarti bahwa ia telah menunaikan kewajibannya untuk

mengungkapkan fakta yang sesungguhnya dan fakta yang seharusnya ia tahu (Duty

of disclosure of material facts). Tertanggung sadar bahwa permohonan ini akan

menjadi dasar dan bagian yang tak terpisahkan dari polis. Tertanggung juga sadar

bahwa jika keterangan yang diberikannya tidak benar, pertanggungan dapat

menjadi batal dan klaimnya dapat ditolak. Jika pada saat pengajuan klaim, terbukti

ada keterangan yang diberikan tidak benar, Penanggung tidak mempunyai kesulitan

untuk menjelaskan alasan penolakan tuntutan ganti kerugian, sebab Tertanggung

telah menyadari konsekuensinya sejak awal sebelum polis diterbitkan jika terjadi

kesalahan dalam pengungkapan riwayat medis.

Berdasarkan pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen dalam melakukan penutupan asuransi, Tertanggung

memiliki kewajiban untuk membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan

prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan

97
keselamatan. Maka kewajiban Tertanggung yaitu, mematuhi petunjuk pengisian

SPPA sesuai petunjuk yang dibuat oleh Penanggung, dan saran yang diberikan oleh

pihak asuransi dengan benar, jujur dan cermat. Karena, dalam perjanjian asuransi

pihak Tertanggung diposisikan sebagai orang yang mengetahui mengenai objek

asuransi, maka Tertanggung harus menjelaskan secara jelas dan teliti tanpa ada hal

yang disembunyikan mengenai objek asuransi sesuai dengan Pasal 251 KUHD.

Adanya pasal 251 KUHD adalah untuk melindungi pihak Penanggung dari adanya

itikad tidak baik dari Tertanggung, perlindungan tersebut berupa hilangnya

kewajiban Penanggung dalam membayar klaim asuransi.

Berdasarkan kasus di atas Penanggung telah memberi peringatan kepada

Tertanggung untuk mengisi SPPA dengan benar sesuai dengan fakta riwayat medis

yang ada, kemudian apabila terjadi kesalahan mengenai pencantuman riwayat

medis dalam polis maka Tertanggung diberikan kesempatan untuk membatalkan

polis asuransi tersebut. Penanggung dalam hal ini telah memiliki itikad baik dengan

mengimbau atau memberi peringatan kepada Tertanggung dalam mengisi SPPA.

Pengisian SPPA pada dasarnya diisi oleh Tertanggung karena Tertanggung

merupakan orang yang memiliki kepentingan terhadap objek asuransi tersebut.

Dalam SPPA kejelasan Tertanggung dalam menjelaskan riwayat medisnya secara

jelas dan tepat mengenai sangat berguna bagi Penanggung.

Dalam mengadakan perjanjian asuransi pihak yang terlibat dalam

penutupan asuransi adalah Penanggung, Tertanggung dan biasanya terdapat

perantara yaitu Agen asuransi.

98
Berdasarkan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014

tentang Perasuransian merupakan pasal yang yang melindungi Tertanggung dari

Agen asuransi yaitu “Agen Asuransi, Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, dan

Perusahaan Perasuransian wajib menerapkan segenap keahlian, perhatian, dan

kecermatan dalam melayani atau bertransaksi dengan Pemegang Polis,

Tertanggung, atau Peserta.

Dalam Pasal 18 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

69/POJK.05/2016 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi,

Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi

Syariah. “Bahwa Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit

Syariah pada Perusahaan Asuransi yang mengunakan Agen Asuransi dalam

memasarkan produknya wajib memastikan bahwa dalam kegiatan pemasarannya,

Agen Asuransi paling sedikit telah melakukan tindakan sebagai berikut” :

a. Menyampaikan identitas sebagai wakil sah dari Perusahaan Asuransi,

Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi

dengan menunjukkan lisensi keagenan yang berlaku untuk Perusahaan

Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan

Asuransi yang diwakilinya

b. Menyampaikan informasi mengenai produk asuransi yang ditawarkan dan

informasi penting yang terkait dengan syarat dan ketentuan polis dengan

memperhatikan ketentuan peraturan OJK mengenai perlindungan

konsumen sektor jasa keuangan

c. Menyampaikan kepada pemegang atau Unit Syariah pada Perusahaan

Asuransi kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta paling lama 5

99
(lima) hari kerja sejak ada keputusan penerimaan atau polis, tertanggung,

atau peserta atas penerimaan atau penolakan surat penutupan asuransi dari

Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, penolakan

pertanggungan

d. Menginformasikan dokumen yang diperlukan untuk pengajuan formulir

permohonan penutupan asuransi

e. Meminta dokumen yang diperlukan untuk pengajuan formulir permohonan

dan dokumen lainnya yang dimintakan oleh Perusahaan Asuransi,

Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi

untuk penutupan asuransi

Dalam Pasal 18 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

69/POJK.05/2016 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi,

Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi

Syariah, Penanggung tidak memberikan wewenang kepada agen asuransi untuk

mengisi SPPA karena wewenang tersebut merupakan kewajiban dari Tertanggung

sendiri. Tugas agen asuransi berdasarkan ketentuan diatas, hanya sebatas membantu

Tertanggung dalam mengisi SPPA tersebut, yaitu berupa: menyampaikan

informasi mengenai produk asuransi yang ditawarkan dan informasi penting yang

terkait dengan syarat dan ketentuan, menyampaikan kepada pemegang atau Unit

Syariah pada Perusahaan Asuransi kepada pemegang polis, tertanggung, atau

peserta, menginformasikan dokumen yang diperlukan untuk pengajuan formulir

permohonan penutupan asuransi, serta meminta dokumen yang diperlukan untuk

pengajuan formulir permohonan dan dokumen lainnya yang dimintakan oleh

Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada

100
Perusahaan Asuransi untuk penutupan asuransi. Sehingga apabila terjadi kesalahan

pengisian mengenai riwayat medis Tertanggung maka hal tersebut merupakan

tanggung jawab dari Tertanggung sendiri walaupun terdapat perlindungan hukum

yang telah dijelaskan dalam pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun

2014 tentang Perasuransian.

Dalam perjanjian asuransi diterapkan asas itikad baik yang sempurna

(utmost good faith) karena perjanjian asuransi merupakan perjanjian bersyarat

(alletair), sehingga hukum asuransi dianggap perlu menyimpang dari asas hukum

yang menguasai perjanjian lainnya.84Maka karena bersifat khusus, di dalam

perjanjian asuransi pihak Tertanggung yang memberikan segala keterangan

mengenai riwayat medis ke dalam SPPA, karena Tertanggung sendiri yang

mengetahui segala keterangan mengenai riwayat medisnya sendiri, sedangkan

Penanggung tidak mengetahui. Sehingga Tertanggung harus aktif dalam

memberitahukan riwayat medis, sedangkan Agen asuransi sebagai perantara secara

pasif mendengarkan keterangan-keterangan mengenai riwayat medis yang

diberitahukan kepadanya.

Tetapi dalam pertimbangan Hakim BPSK dalam putusan BPSK No.

092/Pts.A/BPSK/DKI/II/2012, Hakim BPSK menyatakan dalam pertimbangannya

bahwa Bahwa Tertanggung (Alm Sdr. Mardi Simarmata) dibebaskan dari kesalahan

akibat adanya fakta atau informasi yang disembunyikan. Kesalahan Tertanggung

(Alm. Sdr. Mardi Simarmata) dibebankan pada Pelawan. Berdasarkan

84
Kanon Armiyanto. “Fraud dalam Industri Asuransi : Suatu Tinjauan Hukum”, Makalah,
Seminar Sehari “Kecurangan (fraud) dalam Jamina/Asuransi Kesehatan” diselenggarakan oleh
PAMJAKI (Perhimpunan Ahli Manajemen Jaminan dan Asuransi Kesehatan Indonesia) di Hotel
Bumi Karsa, pada tanggal 13 Desember 2007. hlm. 2.

101
pertimbangan tersebut, Hakim BPSK tidak menerapkan prinsip umum asuransi

dalam putusan No. 092/Pts.A/BPSK/DKI/II/2012. Tertanggung tidak dapat

dibebaskan dari kesalahannya karena Tertanggung memiliki kewajiban

memberitahukan riwayat medis secara jelas dan benar tanpa ada hal-hal yang

disembunyikan (utmost good faith).

Jadi, SPPA berisi fakta-fakta yang diketahui oleh Tertanggung, maka SPPA

harus diisi dengan lengkap dan ditandatangani oleh oleh Tertanggung sendiri.

Dalam hal pengisian tersebut dilakukan oleh agen asuransi, keputusan dibebankan

kepada Tertanggung karena Tertanggung yang berhak menandatangani SPPA

tersebut. Jikalau agen asuransi yang mengisi dan menandatangani SPPA tersebut

menimbulkan kerugian bagi Tertanggung hal tersebut merupakan kelalaian dari

Tertanggung, karena Tertanggung yang berkepentingan dalam mengisi SPPA

tersebut.

102

Anda mungkin juga menyukai