TESIS
Oleh
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016
TESIS
Oleh
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
ii
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan dan
kemudahan sehingga Penulis dapat menyelesaikan penelitian tesis ini yang berjudul
“PENCANTUMAN KLAUSUL ARBITRASE DAN AKIBAT HUKUMNYA
PADA KONTRAK ANTARA DEVELOPER DAN KONSUMEN”
Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam
menyelesaikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
Dalam kesempatan ini dengan kerendahan hati, Penulis menyampaikan
ucapan terimakasih yang tulus kepada :
1. Bapak Prof. Subhilhar, MA, PhD, selaku Pejabat Rektor Universitas Sumatera
Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis untuk
mengikuti pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Studi
Magister Kenotariatan pada Fakultah Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program
Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan
sekaligus pembimbing I yang telah memberikan perhatian, dukungan dan
masukan kepada Penulis .
4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program
Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus
pembimbing II yang telah memberikan perhatian, dukungan dan masukan kepada
Penulis.
5. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum, selaku dosen pembimbing III yang
telah memberikan perhatian, dukungan dan masukan kepada Penulis.
iii
iv
I. IDENTITAS PRIBADI
II. KELUARGA
Nama Ayah : Ramadhan Panjaitan
Nama Ibu : Hj. Latifah Hanum Damanik
III. PENDIDIKAN
vi
Halaman
ABSTRAK ............................................................................................................ i
ABSTRACT ........................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................ vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................... vii
DAFTAR ISTILAH ASING ................................................................................ ix
DAFTAR SINGKATAN ...................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................ 11
C. Tujuan Penelitian ......................................................................... 11
D. Manfaat Penelitian ....................................................................... 12
E. Keaslian Penulisan ....................................................................... 12
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ...................................................... 14
1. Kerangka Teori ..................................................................... 14
2. Kerangka Konsepsi ............................................................... 19
G. Metode Penelitian.......................................................................... 21
1. Sifat dan Jenis Penelitian ...................................................... 21
2. Sumber dan Data Penelitian .................................................. 22
3. Teknik Pengumpulan Data .................................................... 23
4. Analisis Data ......................................................................... 24
BAB II MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI
LEMBAGA ARBITRASE ................................................................ 26
vii
viii
Choice of law by the parties : Para pihak yang menentukan sendiri hukum
yang akan berlaku dalam penyelesaian
sengketa
ix
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
dengan rumah-rumah yang dipasarkan tersebut belum selesai dibangun, bahkan tidak
jarang terjadi pada saat masih direncanakan, hal tersebut diatas ditempuh berdasarkan
kepastian pasar.
2. Bagi pembeli atau konsumen agar harga jual rumah lebih rendah karena calon
konsumen tersebut diatas menimbulkan adanya jual beli secara pesan lebih dahulu,
1
N.T.H Siahaan, Hukum Perlindungan Konsumen dan Tanggungjawab Produk, Pantai Rei,
Jakarta, 2005, hlm. 5
purchase), yang selanjutnya dituangkan dalam akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli
(PPJB) rumah.2
salah satu perilaku ekonomi dalam hal perlindungan hukum dan hak-hak konsumen,
posisi konsumen sangat lemah hal ini karena pada umumnya konsumen dalam
pembelian rumah adalah dengan cara kredit, artinya konsumen belum melihat rumah
yang mereka beli secara nyata baik fisik bangunan dan mutu bangunan yang
konsumen dapat dilihat jika terjadi pengaduan pelanggaran hak-hak individual dan
2
Ibid, hlm. 2
3
Shofie Yusuf, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2009, hlm. 23
pilihan forum penyelesaian sengketa yaitu cara yang ditempuh oleh para pihak ketika
klausul arbitrase yang komprehensif sangat penting pada kontrak antara developer
dengan tepat, cepat dan memberikan solusi yang menguntungkan bagi kedua belah
pihak.
Lembaga arbitrase yang dipilih oleh developer dan konsumen sebagai pilihan
antara lain:4
4
Munir Fuady, Arbitrase Nasional; Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Bandung; Citra
Aditya Bakti, 2000, hlm. 42.
Asyhadie ada beberapa pertimbangan yang melandasi para pihak untuk memilih
arbitrase harus didasarkan pada perjanjian arbitrase baik berupa klausul arbitrase
yang tercantum dalam perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul
sengketa, maupun suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah
timbul sengketa
5
Ibid, hlm. 56
kendala dalam penerapannya sehingga tidak memenuhi tujuan dan harapan oleh para
pihak.
lembaga arbitrase, dalam ketentuan pasal 5 ayat 1 dan ayat 2 UU. No 30 Tahun 1999
tentang Arbitarse dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang mulai berlaku tanggal
Pasal 5
didasarkan pada perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak, dalam realisasinya
oleh sistem pengadilan nasional, pada umumnya disebabkan karena rumusan klausul
arbitrase yang dibuat oleh para pihak tidak memberikan kejelasan atau dibuat dengan
sangat sederhana atau dengan kata lain tidak komprehensifnya klasul yang tercantum
dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Keadaan yang demikian dapat
penyelesainnya sampai kedua pihak dapat menyepakati jalan keluar dari sesuatu hal
yang tidak jelas yang terdapat dalam perjanjian yang mereka buat. 6
menurut UU Nomor 30 Tahun 1999 adalah putusan yang bersifat final, mempunyai
kekuatan hukum tetap, dan mengikat para pihak yang bersengketa, namun faktanya
lembaga arbitrase tidak memiliki kewenangan untuk melakukan eksekusi atau tidak
putusan tersebut tidak benar-benar mandiri dan sangat tergantung pada kewenangan
eksekutorial dari pengadilan negeri. Hal ini disebabkan oleh syarat yang diatur dalam
UU No. 30 Tahun 1999 itu sendiri, seperti dalam pasal 59 s/d pasal 64 untuk putusan
arbitrase nasional, dan pasal 65 s/d pasal 69 untuk putusan arbitrase internasional.7
Klausul arbitrase yang tercantum dalam perjanjian yang dibuat para pihak
atau dalam perjanjian tersendiri yang terpisah, dan setiap perjanjian arbitrase harus
Klausul arbitrase harus dirumuskan secara jelas, tidak perlu panjang atau
rumit. Klausul yang jelas, lengkap dan terperinci merupakan konsep dari Erman
Radjagukguk yang disebut dengan klausul arbitrase yang komprehensif yang memuat
6
M. Yahya Harahap, Arbitrase Ditinjau Dari Rv. BANI, ICSID, Konvensi New York 1958,
Pustaka Kartini, Jakarta, hlm. 47
7
Ibid., hlm. 48
hambatan dalam pelaksanaan arbitrase. Klausul arbitrase yang lengkap mencakup (1)
komitmen para pihak untuk melaksanakan arbitrase. (2) Ruang lingkup arbitrase, (3)
bentuk arbitrase yang dipilih, (4) aturan prosedural yang berlaku, (5) tempat dan
bahasa yang digunakan, (6) pilihan hukum substansif yang berlaku, dan (7) klausul-
basis bagi arbitrase sebagai amat menentukan bagi terwujudnya arbitrase artinya tidak
ada satu klausul arbitrase yang lengkap yang dapat digunakan untuk semua
perselisihan yang akan diselesaikan melalui arbitrase, selalu saja ada hal-hal yang
spesifik untuk transaksi tertentu sehingga perlu dirundingkan klausul yang paling
tepat.
adalah sebagai pelengkap perjanjian pokok dan sebagai basis arbitrase yang menjadi
dasar segala wewenang para arbiter untuk memutuskan persoalan sengketa yang
bersangkutan. Jika klausul tidak disusun secara cermat dan jelas maka akan nampak
8
Erman Radjagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, Candra Pratama, Jakarta, 2001.
hlm 30
9
Ibid, hlm. 35
10
M. Yahya Harahap, op.cit, hlm. 49
dijamin dalam pasal 1338 KUH Perdata yang memberikan justifikasi asas kebebasan
berkontrak dengan menegaskan semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku
Hukum yang dipilih para pihak dalam perjanjian arbitrase harus dihormati dan
ditegakkan. Apa yang dipilih oleh para pihak, waktu mereka mengadakan kontrak dan
arbitrase sangat sumir dan tidak lengkap bahkan menimbulkan penafsiran ganda
sehingga pada akhirnya masalah tidak dapat dibawa dan diselesaikan di lembaga
arbitrase.
Nasional Indonesia (BANI), khususnya pada BAB III, pasal 7 ayat 2 dikatakan
menentukan apakah perjanjian arbitrase atau klausul arbitrase dalam kontrak telah
tersebut”.
dan cermat tentunya lembaga arbitrase sebagai pilihan forum dalam penyelesaian
sengketa antara developer dengan konsumen menjadi sia-sia yang pada akhirnya akan
hukum dimana ada pihak yang menyerahkan sengketa atau selisih pendapat antara
dua orang atau lebih maupun dua kelompok atau lebih kepada seorang atau beberapa
ahli yang disepakati bersama dengan tujuan memperoleh suatu keputusan final dan
mengikat.12
Seorang arbiter merupakan seorang hakim swasta bagi para pihak yang
mereka. Sebutan arbiter dipakai karena mereka yang diberi wewenang untuk melerai
atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk kepada atau
industri, keuangan jasa serta memberikan suatu pendapat yang mengikat tanpa adanya
Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum pasal (1) huruf 1, arbitrase adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. 15
yaitu, arbitrase merupakan salah satu bentuk perjanjian, perjanjian arbitrase harus
sengketa baik yang akan terjadi maupun yang telah terjadi kepada seorang atau
15
Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
16
Yahya Harahap, Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, BPHN, Jakarta, 1996, hlm.75
sepenuhnya oleh para pihak, dengan mengeluarkan suatu putusan yang cepat dan adil.
Tanpa adanya formalitas atau prosedur yang berbelit-belit yang dapat menghambat
penyelesaian perselisihan.17
Berdasarkan dari uraian diatas, menjadi hal yang menarik untuk diangkat
dalam penelitian tesis yang berjudul “ Pencantuman Klausul Arbitrase dan Akibat
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian singkat pada latar belakang tersebut diatas maka dapat
C. Tujuan Penelitian
arbitrase
17
Ibid, hlm. 76
Konsumen
D. Manfaat Penelitian
hendak dicapai bersama, dengan demikian dari penelitian ini diharapkan dapat
2. Secara praktis penelitian ini dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi para
perumahan.
E. Keaslian Penulisan
Developer dengan Konsumen” belum ada yang membahas sehingga tesis ini dapat
peneliti yang terdahulu yang pernah melakukan penelitian terkait Klausul Arbitrase
antara developer dengan konsumen, namun secara judul dan substansi berbeda
dengan penelitian ini. Adapun penelitian yang berkaitan dengan klausul arbitrase
1999”.
Nomor 22/PEN/BPSK-MDN/2010”.
Indonesia)”.
Pemilikan Rumah (Suatu Penelitian Di PT. Bank CIMB Niaga Tbk Cabang
Beberapa judul penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu dengan
permasalahan yang beragam, bahwa tidak ada satupun dari permasalahan yang telah
diteliti sebelumnya yang sama dengan permasalahan dalam penelitian ini, sehingga
dan Akibat hukumnya pada kontrak Antara Developer dengan konsumen” adalah asli
metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori. 18
1. Kerangka Teori
teori tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang dijadikan
Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan dan
meramalkan serta menjelaskan gejala yang terjadi. Karena penelitian ini merupakan
penelitian hukum normatif, kerangka teori diarahkan secara khas ilmu hukum.20
18
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta,
1982, hlm. 6
19
M.SollyLubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, MandarMadju, Bandung, 1994, hlm. 80.
20
Ibid, hlm. 87
proses penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang dalam hal ini objeknya adalah
manifestasinya bisa berwujud konkrit, suatu ketentuan hukum baru dapat dinilai baik
(rules) yang dimiliki oleh arbitrase Ad-Hoc maupun institusional serta permasalahan-
Teori yang dipakai dalam penulisan tesis ini adalah teori kepastian hukum.
Van Kan berpendapat bahwa hukum yang bertujuan menjaga kepentingan tiap-tiap
bahwa hukum bertugas untuk menjamin kepastian hukum didalam masyarakat dan
juga menjaga serta mencegah agar setiap orang tidak menjadi hakim sendiri
22
(eigenrichting is verboden). Berdasarkan anggapan Van Kan, E Utrecht
21
Lili Rasjidi dan I.B Wyasan Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya,
Bandung, 1993, hlm. 79
22
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm.59
23
Erwina Riza, Ilmu Hukum, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2012, hlm. 37
Istilah kepastian hukum dalam tataran teori hukum tidak memiliki pengertian
yang tunggal. Hal ini disebabkan oleh adanya sejumlah pendapat yang berusaha
menjelaskan arti dari istilah tersebut dengan argumen dan perspektif tertentu, baik
dalam pengertian yang sempit maupun luas. Kepastian hukum secara normatif adalah
ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara
jelas dan logis. Jelas, dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multitafsir) dan
logis dalam artian menjadi suatu sistem norma, dengan norma lain sehingga tidak
konstestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Pendapat ini dapat
diterapkan atau ditegakkan oleh para pihak. Gustaf Radbuch, dalam konsep ajaran
prioritas baku mengemukakan bahwa tiga ide dasar hukum atau tiga tujuan utama
hukum adalah keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Keadilan merupakan hal
yang utama dari ketiga hal itu tetapi tidak berarti dua unsur yang lain dapat dengan
serta merta diabaikan. Hukum yang baik adalah hukum yang mampu mensinergikan
24
Yance Arizona, Kepastian Hukum, http://yancearizona.wordpress.com/2008/04/13/apa-itu-
kepastian-hukum/, (diakses tanggal 21 Februari 2014)
Keadilan yang dimaksudkan oleh Radbuch adalah keadilan dalam arti yang
sempit yakni kesamaan hak untuk semua orang yang di depan hukum. Kemanfaatan
atau finalitas menggambarkan isi hukum karena isi hukum memang sesuai dengan
tujuan yang mau dicapai oleh hukum tersebut. Kepastian hukum dimaknai dengan
kondisi yang mana hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati.26
pergaulan manusia. Dalam tugas itu tersimpul dua tugas lain, yaitu harus menjamin
keadilan serta hukum tetap berguna. Dalam kedua tugas tersebut tersimpul pula tugas
ketiga yaitu hukum menjaga agar masyarakat tidak terjadi main hakim sendiri
(eigerrichting). Dalam penerapan teori hukum tidak dapat hanya satu teori tetapi
harus gabungan dari berbagai teori. Berdasarkan teori hukum yang ada maka tujuan
Fungsi teori kepastian hukum disini adalah untuk menjamin dan melindungi
hak-hak dari developer dan konsumen yang dituangkan didalam klausul-klausul pada
kontrak antara developer dan konsumen. Rumusan klausul arbitrase perlu dilakukan
secara komprehensif karena pada dasarnya klausul arbitrase merupakan dasar bagi
terwujudnya arbitrase tersebut. Oleh karena itu klausul arbitrase harus terhindar dari
25
Ali Ahmad, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Kencana, Jakarta, 2009, hlm.
287-288.
26
Ibid, hlm. 162
27
Ridwan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Adita Bakti, Bandung. 1999,
hlm. 22
yang ada dalam klausul tersebut. Sehingga arbitrase sebagai pilihan forum dalam
dan konsumen serta dapat mencegah penyelesaian sengketa yang berlarut-larut yang
menghabiskan banyak waktu dan biaya, karena segala sesuatunya telah dirumuskan
secara komprehensif.
konsumen mengenai pencantuman klausul arbitrase, maka mengacu pada pasal 1338
Ayat (1) KUH Perdata mengatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah
1. Konsesualisme adalah perjanjian itu telah terjadi jika telah ada konsensus
pasar bebas yang dipelopori oleh Adam Smith dalam perkembangan ternyata
2. Kerangka Konsepsi
Konsepsi merupakan salah satu bagian terpenting dari teori konsepsi yang
diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi satu yang
konkrit yang disebut dengan operational definition. 30 Hal penting dari definisi
penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu untuk
dasar, agar hasil penelitian sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan. Definisi
1) Konsumen
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun
pengertian Pasal 1 angka 2 UU PK, "Konsumen adalah setiap orang pemakai barang
dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
29
Ibid, hlm. 91
30
J. Lexy, Moloeng, Metode Penelitian Kualitatif, PT. Remaaa Rosdakarya, Bandung, 1994,
hlm. 20
keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan
kembali.”
2) Developer
konsumen akan rumah tinggal dan atau ruang usaha dengan cara pengalihan hak atas
produk tersebut dari perusahaan kepada konsumen melalui proses yang telah
ditentukan.
mempunyai kantor yang tetap, memiliki izin usaha dan terdaftar pada
3) Arbitrase
umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa.31 Dari definisi tersebut, ada 3 hal yang dapat dikemukakan
dari definisi yang diberikan, yaitu Arbitrase merupakan salah satu bentuk perjanjian,
Perjanjian arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis dan Perjanjian arbitrase
4) Klausul arbitrase
31
Indonesia, Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, No. 30 Tahun
1999, LN No. 138 Tahun 1999, TLN No. 3872, ps. 1 Angka 10.
32
Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2001, hlm 98.
Klausul arbitrase adalah suatu klausul dalam perjanjian antara para pihak yang
5) Kontrak
kepada seseorang yang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan suatu hal bentuk perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang
6) Komprehensif
Komprehensif dalam pengertian ini adalah suatu ruang lingkup atau isi klausul
G. Metode Penelitian
hukum.34 Dengan kata lain penelitian yuridis normatif dengan menggunakan metode
33
Mohd Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1998,hlm.10
34
Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, PT Grafika Indonesia, 1996,
hlm.13
Perdata dan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
konsumen dan akibat hukumnya, baik yang tertulis di dalam buku, aturan prosedural
developer dengan konsumen dan akibat hukumnya. Tahapan kedua penelitian hukum
normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum subjektif (hak
mengikat sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini yang
diantaranya adalah:
Penyelesaian Sengketa;
4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
5) Undang-Undang Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman
6) Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)
dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan
Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan
Perjanjian Jual Beli (PPJB) PT. TANAMAS dan kontrak yang diambil dari kantor
penelitian.
4. Analisis Data
Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna
untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data dalam
penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Analisis data penelitian berisi uraian
tentang cara-cara analisis yang menggambarkan bagaimana suatu data dianalisis dan
apa manfaat data yang terkumpul untuk dipergunakan memecahkan masalah yang
menemukan kaidah, asas dan konsep yang terkandung di dalam bahan hukum
tersebut.
deduktif, yaitu cara berpikir yang dimulai dari hal-hal yang umum untuk selanjutnya
khusus.
sengketa di luar pengadilan sebenarnya sudah lama dikenal sejak zaman Hindia
(Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering) pada tahun 1847 dalam Pasal 615 s/d
651Rv.37 Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang ini sudah tidak berlaku lagi dengan
dengan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan
umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
arbitrase. Dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) disebutkan bahwa “ketentuan ini tidak
37
Budhy Budiman, Mencari Model Ideal Penyelesaian Sengketa, Kajian Terhadap Praktek
Peradilan Perdata dan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999,
38
Pasal 1 Butir 1 UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa
26
beperkara.39 Dalam hal ini berarti inisiatif dan keaktifan para pihak dalam
penentuan pilihan ini terkait dengan kompetensi atau kewenangan absolut lembaga
lainnya untuk memeriksa suatu perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat
diperiksa oleh badan peradilan atau forum lainnya sesuai dengan aturan perundang-
undangan yang berlaku. Misalnya, apa yang menjadi wewenang badan peradilan
umum mutlak tidak dapat dilakukan oleh badan peradilan agama maupun badan-
badan peradilan yang lain. Apa yang menjadi wewenang badan peradilan militer
mutlak tidak dapat dilakukan badan peradilan tata usaha negara maupun badan-badan
peradilan lainnya.40
apabila dalam suatu Pengikatan Perjanjian Jual Beli (PPJB) rumah antara developer
dan konsumen sepakat untuk mengajukan sengketa melalui arbitrase, maka apabila
sengketa timbul para pihak harus mematuhi perjanjian yang telah mereka buat, dan
39
Bambang Sutiyoso, Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Gramedia,
Yogyakarta, 2008, hlm 108
40
Sri Wardah dan Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Perdata dan Perkembangannya di
Indonesia, Gramedia, Yogyakarta, 2007, hlm 76
absolut arbitrase. Ketika sengketa tersebut sudah jatuh ke dalam wewenang absolut
arbitrase, maka semestinya lembaga peradilan tidak lagi memiliki wewenang untuk
Dalam sistem hukum Indonesia, forum yang berwenang untuk menangani sengketa
persaingan usaha adalah Komite Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Adapun yang
berbicara mengenai kompetensi dari suatu badan peradilan atau forum penyelesaian
sengketa mana yang berwenang untuk menangani sengketa yang terjadi di antara
para pihak. Kewenangan absolut di lingkungan peradilan ini diatur dalam ketentuan
Mahkamah Agung telah mengakui dengan jelas eksistensi kompetensi absolut pranata
arbitrase. Berbagai putusan pada tingkat judex factie menyatakan bahwa kewenangan
eksistensi pilihan domisili pada kantor panitera pengadilan negeri setempat pun
41
Pasal 3 dan pasal 11 UU Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
42
Gunawan Wijaya, Seri Aspek Hukum dalam Bisnis Arbitrase VS Pengadilan, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 1
bukan merupakan alasan bagi pengadilan negeri untuk ”mengambil” kompetensi atau
dengan bukan ketertiban umum (niet van openbaar orde). Artinya, klausul arbitrase
Secara tersirat dapat dilihat dalam putusan Hooge Raad (HR) tanggal 8
Januari 1925. Putusan Hooge Raad menetapkan bahwa klausul arbitrase berkaitan
dengan niet van open baar orde (bukan ketertiban umum). Walaupun sengketa yang
timbul dari perjanjian yang memuat klausul arbitrase dapat diajukan ke pengadilan
negeri, pengadilan dapat tetap berwenang mengadili perkara sepanjang pihak lawan
tidak mengajukan eksepsi akan adanya klausul arbitrase. Dengan tidak adanya
eksepsi yang diajukan, pihak lawan dianggap telah melepaskan haknya atas klausul
arbitrase dimaksud.45
kewenangan mengadili sengketa sudah jatuh dan tunduk pada yurisdiksi pengadilan.46
Dengan demikian, putusan ini berpendapat bahwa adanya klausul arbitrase, arbitrase
tidak bersifat absolut. Klausul tersebut harus dipertahankan para pihak jika timbul
43
Sudargo Gautama, Hukum Dagang dan Arbitrase Internasional, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hlm. 297-298
44
Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, op. cit, hlm. 84
45
Ibid, hlm. 85
46
Suyud Margono, ADR dan Arbitrase, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2000, hlm 126
selama pihak tergugat tidak mengajukan eksepsi terhadap adanya klausul arbitrase
tersebut.
pengadilan negeri, atau salah satu pihak mengajukan gugatan pembatalan putusan
seragam; ada yang menyatakan gugatan tidak diterima (N.O.), tetapi ada pula yang
menerima dan mengabulkan gugatan tersebut. Akan tetapi, pada umumnya ketika
sudah terikat perjanjian arbitrase, karena hal tersebut merupakan wewenang absolut
lembaga arbitrase.47
Pada praktik saat ini juga masih dijumpai pengadilan negeri yang melayani
gugatan pihak yang kalah dalam arbitrase. Beberapa perkara menunjukkan bahwa
walaupun perjanjian telah memuat kalusula arbitrase namun salah satu pihak tetap
Ny. Rita (konsumen) yang diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan
47
Bambang Sutiyoso, op. cit, hlm 110
pada ketentuan Pasal 615 dan 619 Rv. untuk menegakkan klausul arbitrase dari
suatu sengketa yang timbul dari surat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) rumah
No. APE 28/5/10 tanggal 06 Januari 1981 yang ditandatangani penggugat dan
dalam Pasal XI surat perjanjian pengikatan jual beli rumah (PPJB) sebagai berikut:49
(1) Jika terjadi perselisihan dikemudian hari antara kedua belah pihak maka
pada dasarnya akan diselesaikan secara musyawarah
(2) Jika tidak tercapai kesepakatan maka perselisihan akan dilanjutkan ke
Badan Arbitrase
(3) Keputusan Badan Arbitrase bersifat final dan mengikat
Indonesia (BANI) atau di hadapan pengadilan negeri sekarang ini berkenaan dengan
sisa penyelesaian pekerjaan yang sesuai dengan isi PPJB yang belum seluruhnya
dengan type 36,45, dan 70 serta pengadaan air bersih, penyambungan aliran listrik,
48
Erman Radjagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, Chandra Pratama, Jakarta,
hlm. 17-18
49
Ibid, hlm. 19
ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak bahwa jumlah harga rumah untuk
rumah tersebut pada waktu yang telah ditentukan seperti yang tertuang dalam akta
PPJB.
menghukum tergugat untuk membayar uang paksa sebesar Rp1.000.000,- per setiap
hari kelalaian memenuhi perintah tersebut, jumlah mana dapat ditagih seketika dan
sekaligus.
Pengadilan menyatakan bahwa ketentuan yang diatur para pihak dalam Pasal
XI memuat hal yang meragukan, sebab selain memuat ketentuan arbitrase, pasal
tersebut juga memuat pemilihan domisili, yaitu di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Pengadilan memutus bahwa di dalam Pasal XI ayat 2 tidak disebutkan badan arbitrase
mana yang berwenang mendengar sengketa para pihak. Oleh karenanya, dalam hal ini
Negeri Jakarta Pusat tanpa memuat petitum lebih lanjut apa yang dimohonkan untuk
diputus oleh pengadilan. Dengan demikian, petitum subsidair ini tidak lengkap atau
tidak sempurna dan karenanya haruslah dinyatakan tidak dapat diterima. Berdasarkan
dapat diterima.
dilakukan melalui arbitrase permanen, maka harus disebutkan dengan jelas badan
Tujuannya untuk menghindari klausul arbitrase tersebut digunakan oleh salah satu
pihak sebagai kelemahan yang bisa digunakan untuk memindahkan sengketa tersebut
Oleh karena itu didalam PPJB sudah seharusnya dengan jelas dan tegas para
pihak hanya menentukan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang akan
mencantumkan tambahan pengadilan negeri juga sebagai pilihan forum. sehingga hal
arbitrase di Indonesia memiliki kedudukan dan kewenangan yang semakin jelas dan
kuat. Dalam ketentuan Pasal 3 UU No.30 Tahun 1999 disebutkan bahwa pengadilan
negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam
mempertegas yurisdiksi absolut arbitrase yang disebut dalam Pasal 3 tersebut, dengan
(1) Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak
untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang
termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.
(2) Pengadilan Negeri wajib menolak tidak akan campur tangan didalam suatu
penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali
dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.”
klausul arbitrase yaitu dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang.
Misalnya dalam hal ini, pelaksanaan putusan arbitrase sebagaimana diatur dalam
Pasal 59 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa :
(1) Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
pengadilan negeri.
lahir ketika para pihak membuat perjanjian dengan tegas bahwa mereka akan
pengadilan tidak memiliki wewenang untuk mengadili sengketa tersebut kecuali jika
pihak telah mencantumkan sebuah klausul arbitrase dalam kontrak.51 Tujuan arbitrase
sebagai alternatif bagi penyelesaian sengketa melalui pengadilan akan menjadi sia-sia
50
Pasal 13 ayat (1) dan (2) UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
51
Priyatna Abdurrasyid, op. cit, hlm. 69
52
Erman Radjagukguk, op. cit, hlm. 79
berdasarkan salah satu dari hal-hal berikut: putusan tidak sesuai dengan perjanjian;
menentukan yang disembunyikan pihak lawan; dan putusan diambil dari hasil tipu
menolaknya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 3 tersebut di atas. Penyelesaian
sengketa sendiri dapat dimulai setiap saat. Mulai dari saat sengketa itu timbul sampai
terpisah dari pengadilan, tidak berarti bahwa tidak ada kaitan erat di antara keduanya.
Arbitrase dapat dipilih oleh para pihak dalam menyelesaikan sengketa yang
telah terjadi atau kemungkinan akan timbul. Dalam menyelesaikan sengketa yang
telah terjadi berkenaan persetujuan para pihak sehingga lazim disebut dengan
53
Ibid, hlm. 80
54
Priyatna Abdurrasyid, op. cit, hlm. 63
55
Gatot Sumartono, Arbitrase dan Media Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006,
hlm 71
Menurut hukum Indonesia, pada hakekatnya tidak ada suatu perbedaan antara
apa yang dinamakan persetujuan arbitrase dan klausul arbitrase.57 Bahkan Undang-
yang dibuat sebelum sengketa ataupun perjanjian tersendiri yang dibuat para pihak
setelah timbul sengketa. Persetujuan arbitrase dan klausul arbitrase mempunyai akibat
a. Persengketaan yang timbul atau yang akan timbul itu tidak akan
diperiksa dan diputus oleh pengadilan.
b. Persengketaan itu akan diperiksa dan diputus oleh seorang arbiter
(wasit) atau suatu team arbiter sehingga kedua belahpihak berkewajiban
untuk membantu terselenggaranya arbitrase peradilan wasit.
badan peradilan negara. Hal tersebut antara lain diatur dalam penjelasan pasal 3
56
Ibid, hlm. 72
57
R.Soebekti, Arbitrase Perdagangan, Bina Cipta,Bandung, 1984, hlm.10
(1) Adanya suatu perjanjian tertulis meniadakan hak para pihak untuk
mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat
dalam perjanjian ke Pengadilan Negeri.
(2) Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan didalam
suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase,
kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang ini.
pada suatu arbitrase institusional. Arbitrase Ad-Hoc adalah suatu arbitrase yang
tertulis. Syarat tertulis dari perjanjian arbitrase dapat berwujud suatu kesepakatan
58
Ibid, hlm. 11
berupa klausul arbitrase yang tercantum dalam perjanjian tertulis yang dibuat para
pihak sebelum timbulnya sengketa atau perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat
para pihak setelah timbul sengketa. Adanya perjanjian arbitrase tertulis ini berarti
meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda
pendapat yang dimuat dalam perjanjian pokok ke Pengadilan Negeri. Demikian juga
kiranya Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak
yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Ini berarti suatu perjanjian arbitrase
melahirkan kompetensi absolut bagi para pihak, cara penyelesaian sengketa itu, para
yang timbul dari perjanjian. Perjanjian ini bukan perjanjian bersyarat. Pelaksanaan
pokok, klausul arbitrase maupun perjanjian arbitrase tidak bersifat assesor. Oleh
59
Ibid, hlm. 12
60
Ibid, hlm. 13
lahir dengan maksud dan tujuan untuk menyelesaikan suatu perselisihan atau
paling populer dan paling luas digunakan orang dibandingkan dengan institusi
Mahkamah Agung dan KADIN Indonesia pada tanggal 3 Desember 1977. Berdirinya
BANI telah direstui oleh Menteri Kehakiman, Ketua Mahkamah Agung RI, Ketua
BAPPENAS, Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian dan juga oleh Presiden RI.
Ketua yang pertama adalah Prof. R. Subekti, SH mantan Ketua Mahkamah Agung.
BANI diberi tugas oleh International Chamber and Commerce (ICC) untuk
dan juga joint arbitration dengan badan-badan arbitrase Jepang, Korea Selatan,
masih dalam tahap penyelesaian kerja sama dengan Jerman, USA dan dalam tahap
kebutuhan untuk menyelesaikan sengketa perdagangan, dalam arti luas, secara cepat
dan lebih memenuhi apa yang diharapkan oleh dunia perdagangan, yaitu efisiensi
dalam waktu dan biaya dan tetap terpeliharanya profesionalisme dan kepercayaan
untuk memberikan penyelesaian yang tepat dan adil atas sengketa-sengketa perdata
yang timbul mengenai soal-soal perdagangan, industri dan keuangan baik yang
ditegaskan dalam pasal 1 AD BANI, bebas (otonom) yang tidak boleh dicampuri oleh
sesuatu kekuasaan lain. Asas otonomi, kemerdekaan dan kebebasan adalah landasan
yang diperlukan untuk menjamin bahwa BANI sebagai lembaga peradilan wasit,
sama seperti lembaga peradilan umum, dapat berdiri diatas segala pihak yang
bersengketa, bersifat objektif, adil dan jujur, atas dasar keyakinan sendiri yang bersih
dan murni.62
yang timbul dalam bidang perdagangan, Industri dan keuangan, baik yang bersifat
pengurus, sekretariat, para ahli berbagai bidang yang bertindak sebagai kelompok
61
Yahya Harahap, Arbitrase Ditinjau Dari Rv. BANI, ICSID, Konvensi New York 1958,
Pustaka Kartini, Jakarta, 1990, hlm. 21
62
Ibid, hlm. 22
dan keputusannya kepada BANI, maka dalam perjanjian yang dibuat oleh para
pihak dianjurkan untuk memuat satu klausul arbitrase sebagai berikut :63
"Semua sengketa yang timbul dalam perjanjian ini, akan diselesaikan dan
diputus oleh BANI menurut peraturan-peraturan administrasi dan peraturan-
peraturan prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya mengikat kedua belah
pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan
terakhir".
Jika dalam surat perjanjian tidak terdapat klausul arbitrase demikian itu,
penyelesaian sengketanya kepada BANI, maka kedua belah pihak harus membuat
mereka kepada BANI. Penting untuk diperhatikan adalah bahwa dalam klausul
arbiter atau dalam perjanjian arbitrase (arbitration agreement; akte van compromis
belah pihak sebagai putusan tingkat pertama dan terakhir sehingga dapat
bahwa putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan
Peraturan prosedur BANI yang digunakan sebagai landasan dan tata cara
kegiatan BANI mulai diberlakukan pada tanggal 3 Desember 1977 dan diperbaharui
63
Ibid, hlm. 72
64
Ibid, hlm. 23
1. Permohonan Arbitrase
Arbitrase oleh pihak yang memulai proses arbitrase pada Sekretariat BANI. Di dalam
permohonan tersebut, pemohon menjelaskan baik dari sisi formal tentang kedudukan
pemohon dikaitkan dengan perjanjian arbitrase, kewenangan arbitrase (dalam hal ini
BANI) untuk memeriksa perkara, hingga prosedur yang sudah ditempuh sebelum
para pihak berperkara. Kesepakatan tersebut dapat dibuat sebelum timbul sengketa
antara Pemohon dan Termohon maka Pemohon akan menyelesaikan sengketa melalui
BANI.
Sesuai dengan Pasal 8 ayat (1) dan (2) UU No. 30 Tahun 1999, pemberitahuan
f. perjanjian yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah arbiter atau apabila
tidak pernah diadakan perjanjian semacam itu, pemohon dapat mengajukan
usul tentang jumlah arbiter yang dikehendaki dalam jumlah ganjil.
register BANI. Badan Pengurus BANI juga akan memeriksa Permohonan tersebut
untuk menentukan apakah perjanjian arbitrase atau klausul arbitrase dalam kontrak
telah cukup memberikan dasar kewenangan bagi BANI untuk memeriksa sengketa
tersebut.
2. Penunjukan Arbiter
Pada dasarnya, para pihak dapat menentukan apakah forum arbitrase akan
Dalam hal forum arbitrase dipimpin oleh arbiter tunggal, para pihak wajib
secara tertulis harus mengusulkan kepada termohon nama orang yang dapat diangkat
sebagai arbiter tunggal. Jika dalam 14 (empat belas) hari sejak termohon menerima
usul pemohon para pihak tidak berhasil menentukan arbiter tunggal maka dengan
berdasarkan permohonan dari salah satu pihak maka Ketua Pengadilan dapat
Dalam hal forum dipimpin oleh Majelis maka Para Pihak akan mengangkat
masing-masing 1 (satu) arbiter. Dalam forum dipimpin oleh Majelis arbiter yang telah
diangkat oleh Para Pihak akan menunjuk 1 (satu) arbiter ketiga (yang kemudian akan
menjadi ketua majelis arbitrase). Apabila dalam waktu 14 (empat) belas hari setelah
pengangkatan arbiter terakhir belum juga didapat kata sepakat maka atas permohonan
salah satu pihak maka Ketua Pengadilan Negeri dapat mengangkat arbiter ketiga.
termohon dan salah satu pihak ternyata tidak menunjuk seseorang yang akan menjadi
anggota majelis arbitrase, arbiter yang ditunjuk oleh pihak lainnya akan bertindak
3. Tanggapan Termohon
Termohon untuk menyampaikan tanggapan tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari.
Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah menerima penyampaian
itu, Termohon dapat menunjuk seorang Arbiter atau menyerahkan penunjukan itu
kepada Ketua BANI. Apabila, dalam Jawaban tersebut, Termohon tidak menunjuk
Ketua BANI.
pengajuan jawaban dan atau penunjukan arbiter oleh Termohon dengan alasan-alasan
yang sah, dengan ketentuan bahwa perpanjangan waktu tersebut tidak boleh melebihi
4. Tuntutan Balik
tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian tersebut bersama dengan Surat
tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian itu agar diajukan pada suatu
tanggal kemudian apabila termohon dapat menjamin bahwa penundaan itu beralasan.
biaya tersendiri sesuai dengan cara perhitungan pembebanan biaya adminsitrasi yang
dilakukan terhadap tuntutan pokok (konvensi) yang harus dipenuhi oleh kedua belah
pihak berdasarkan Peraturan Prosedur dan daftar biaya yang berlaku yang ditetapkan
oleh BANI dari waktu ke waktu. Apabila biaya administrasi untuk tuntutan balik atau
upaya penyelesaian tersebut telah dibayar para pihak, maka tuntutan balik
Kelalaian para pihak atau salah satu dari mereka, untuk membayar biaya
tuntutan pokok (konvensi) tersebut telah dibayar, seolah-olah tidak ada tuntutan balik
Dalam hal Termohon telah mengajukan suatu tuntutan balik (rekonvensi) atau
upaya penyelesaian, pemohon (yang dalam hal itu menjadi termohon), berhak dalam
jangka waktu 30 hari atau jangka waktu lain yang ditetapkan oleh Majelis, untuk
tersebut.
6. Sidang Pemeriksaan
dilakukan secara tertutup. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia, kecuali
atas persetujuan arbiter atau majelis arbitrase para pihak dapat memilih bahasa lain
yang akan digunakan. Para pihak yang bersengketa dapat diwakili oleh kuasanya
Pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan
diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase, apabila terdapat unsur
kepentingan yang terkait dan keturut sertaannya disepakati oleh para pihak yang
bersengketa serta disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa
Atas permohonan salah satu pihak, arbiter atau majelis arbitrase dapat
mengambil putusan provisionil atau putusan sela lainnya untuk mengatur ketertiban
Pemeriksaan secara lisan dapat dilakukan apabila disetujui para pihak atau dianggap
perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase. Arbiter atau majelis arbitrase dapat
mendengar keterangan saksi atau mengadakan pertemuan yang dianggap perlu pada
Pemeriksaan saksi dan saksi ahli dihadapan arbiter atau majelis arbitrase,
barang yang dipersengketakan atau hal lain yang berhubungan dengan sengketa yang
sedang diperiksa, dan dalam hal dianggap perlu, para pihak akan dipanggil secara sah
Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180
(seratus delapan puluh) hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk. Arbiter atau
a. diajukan permohonan oleh salah satu pihak mengenai hal khusus tertentu;
b. sebagai akibat ditetapkan putusan provisionil atau putusan sela lainnya; atau
c. dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase untuk kepentingan
pemeriksaan.
Dalam hal para pihak datang menghadap pada hari yang telah ditetapkan,
arbiter atau majelis arbitrase terlebih dahulu mengusahakan perdamaian antara para
pihak yang bersengketa. Dalam hal usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) tercapai, maka arbiter atau majelis arbitrase membuat suatu akta perdamaian
yang final dan mengikat para pihak dan memerintahkan para pihak untuk memenuhi
suatu alasan sah tidak datang menghadap, sedangkan termohon telah dipanggil secara
patut, arbiter atau majelis arbitrase segera melakukan pemanggilan sekali lagi.
dan tanpa alasan sah termohon juga tidak datang menghadap di muka persidangan,
dikabulkan seluruhnya, kecuali jika tuntutan tidak beralasan atau tidak berdasarkan
hukum.
Majelis wajib menetapkan Putusan akhir dalam waktu paling lama 30 hari
putusan-putusan parsial.
7. Biaya-biaya
administrasi Sekretariat, biaya pemeriksaan perkara dan biaya arbiter serta biaya
Sekretaris Majelis.
Apabila terdapat pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase turut serta dan
yang dimaksud oleh pasal 30 Undang-undang No. 30/1999 maka pihak ketiga
Dalam hal termohon tidak memberikan tanggapan atau diam saja, maka
Pemeriksaan perkara arbitrase tidak akan dimulai sebelum biaya administrasi dilunasi
yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri keuangan, jasa dan lain-lain
lembaga tersebut. Penyelesaian sengketa ini senantiasa merujuk kepada aturan syariat
Islam. 67
66
Husyen Umar, op.cit, hlm. 25
67
Ibid, hlm. 25
Perbankan belum diatur tentang bank syariah, akan tetapi dalam menghadapi
oleh sekretaris dalam register BASYARNAS yang harus memuat nama lengkap
dan tempat tinggal para pihak, uraian singkat duduk perkara dan apa yang
kepada BASYARNAS.
68
Ibid, hlm. 26
memerintahkan para pihak untuk menghadap di muka sidang pada tanggal yang
namun atas kesepakatan para pihak pemeriksaan dapat dilakukan secara lisan.
tahap putusan. Baik tuntutan konvensi, rekonvensi maupun additional claim akan
diperiksa dan diputus oleh arbiter bersama – sama dan sekaligus dalam satu
putusan.
dalam jangka waktu 6 bulan terhitung sejak perintah pertama kepada para pihak
pihak. Bila para pihak telah dipanggil secara patut namun ada pihak yang tidak
h. Dalam putusan tersebut harus memuat alasan – alasan serta diputus berdasarkan
keadilan dan kepatutan (ex aquo et bono). Setiap putusan harus dimulai dengan
D. Arbitrase Ad-Hoc
Pada pasal 615 ayat (1) Rv. Arbitrase Ad-Hoc adalah arbitrase yang dibentuk
(eenmalig). Berarti, setelah para wasit atau arbiter menjalankan tugasnya, maka
arbiter atau majelis arbiter yang memeriksa sengketa itu bubar. Para arbiter dari
arbitrase Ad-Hoc dipilih sendiri oleh para pihak yang bersengketa dan para
Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase
69
Sutan Remy Sjahdeini Penyelesaian Sengketa Perbankan Melalui Arbitrase Indonesia
Arbitration Quarterly Newsletter, Number 6/2009, diterbitkan oleh BANI Arbitration Center, hlm. 23
70
Ibid, hlm. 24
institusional yang disepakati para pihak, dapat dilihat melalui rumusan klausul
arbitrase dalam akta perjanjian yang dibuat sebelum terjadi sengketa atau
di antara salah satu dari tiga arbiter harus ada arbiter yang netral yang tidak
ditunjuk oleh para pihak. Pada prinsipnya arbitrase ad-hoc tidak terikat atau
terkait dengan salah satu lembaga atau badan arbitrase. Jenis arbitrase ini tidak
memiliki aturan atau cara tersendiri mengenai tata cara pemeriksaan sengketa
71
Sudargo Gautama, Undang-undang Arbitrase Baru, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999,
hlm. 30
72
Ibid, hlm. 31
Apabila para pihak telah bersepakat bahwa sengketa yang timbul akan
diperiksa dan diputus oleh arbiter tunggal, para pihak wajib untuk mencapai suatu
tunggal tersebut salah satu pihak (pemohon) harus mengusulkan kepada pihak
termohon nama orang yang dapat diangkat sebagai arbiter tunggal dengan surat
kepada pihak untuk mencapai kata sepakat dalam hal penunjukkan arbiter tunggal.
Waktu 14 hari dihitung sejak termohon menerima usulan permohonan arbiter dari
pihak pemohon. Apabila dalam jangka waktu 14 hari para pihak tidak berhasil
menyetujui arbiter tunggal, maka salah satu pihak dapat memohon kepada Ketua
Pengadilan Negeri agar ditunjuk seorang arbiter tunggal. Dalam hal demikian
deadlock dalam pemilihan arbitrase. Apabila hal ini terjadi, salah satu pihak dapat
Pengadilan tersebut akan mengangkat seorang atau lebih arbiter yang akan
menyelesaikan perkara yang bersangkutan. Demikian juga dalam suatu arbitrase ad-
hoc bagi ketidaksepakatan dalam penunjukkan seorang atau beberapa arbiter, para
menunjuk seorang arbiter atau lebih dalam rangka penyelesaian sengketa para
pihak.73
mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan yang dibuat mengenai
pengangkatan arbiter, maka Ketua Pengadilan Negeri menunjuk arbiter atau Majelis
Arbitrase. (pasal 13). Dengan adanya ketentuan ini, maka dihindari bahwa dalam
praktek akan terjadi jalan buntu apabila para pihak di dalam syarat arbitrase tidak
mengatur secara baik dan seksama tentang acara yang harus ditempuh dalam
pengangkatan arbiter.
Dalam hal para pihak sepakat bahwa sengketa yang timbul akan diperiksa dan
diputus oleh Majelis Arbitrase, maka penunjukkan 2 orang arbiter oleh para pihak
73
Ibid, hlm 23
tersebut diberi wewenang untuk memilih dan menunjuk arbiter yang ketiga. Arbiter
ketiga tersebut diangkat sebagai Ketua Majelis Arbitrase (pasal 15). Apabila dalam
waktu paling lama 30 hari setelah pemberitahuan diterima oleh termohon, dan
salah satu pihak ternyata tidak menunjuk seseorang yang akan menjadi anggota
majelis arbitrase, arbiter yang ditunjuk oleh pihak lainnya akan bertindak sebagai
Apabila kedua arbiter yang telah ditunjuk oleh masing-masing pihak tidak
berhasil menunjuk arbiter ketiga dalam waktu paling lama 14 hari setelah arbiter
yang terakhir ditunjuk, atas permohonan salah satu pihak, maka Ketua Pengadilan
dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri tersebut, tidak dapat diajukan upaya
pembatalan (pasal 15). Para pihak tidak dapat menolak dan melakukan upaya hukum
Bagi arbiter yang ditunjuk oleh para pihak dapat menerima atau menolak
secara tertulis kepada para pihak dalam waktu paling lama 14 hari terhitung sejak
tanggal penunjukan atau pengangkatan (pasal 16). hal ini guna memberitahukan
kepada para pihak mengenai kepastian arbiter dalam turut serta dan perannya dalam
menyelesaikan sengketa.
harus memberitahukan para pihak mengenai penunjukannya (pasal 18). Dalam hal
mengajukan surat permohonan secara tertulis kepada para pihak dan apabila para
pihak dapat menyetujui permohonan itu, maka yang bersangkutan akan dibebaskan
dari tugas sebagai arbiter, tetapi apabila permohonan penarikan diri tidak dapat
diterima oleh para pihak, rnaka Pengadilan Negeri disini berperan yaitu
membebaskan tugas arbiter dengan penetapan Ketua Pengadilan Negeri (pasal 19).
Hal ini juga berlaku jika selama pemeriksaan sengketa berlangsung arbiter menjadi
tidak mampu (untuk bertindak dalam hukum, maupun secara fisik) atau
pengganti akan diangkat dengan cara sebagaimana yang berlaku bagi pengangkatan
alasan dan cukup bukti otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan
melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil putusan
(pasal 22). Intinya arbiter yang diajukan hak ingkar dapat dicoret dan diminta tidak
Hak ingkar arbiter yang diangkat oleh Ketua Pengadilan Negeri diajukan
kepada Pengadilan Negeri yang bersangkutan (pasal 23 ayat 1). Terhadap arbiter
Pengadilan tersebut. Dalam hal tuntutan ingkar yang diajukan oleh salah satu pihak
tidak disetujui oleh pihak lain dan arbiter yang bersangkutan tidak bersedia
Ketua Pengadilan Negeri yang putusannya mengikat kedua pihak, tidak dapat
diajukan perlawanan (pasal 25 ayat 3). putusan ketua pengadilan negeri dalam
tuntutan ingkar mengikat kedua belah pihak dan putusan tersebut bersifat final dan
melanjutkan tugasnya (pasal 25 ayat 3). Mengenai putusan ketua pengadilan negeri
dalam arbitrase tidak jauh berbeda dengan jalannya proses pemeriksaan perkara
meliputi antara lain acara yang dipergunakan, bahasa yang dipakai, sistem
pembuktian yang diterapkan, hak-hak para pihak dalam proses pemeriksaan serta
alur jalannya pemeriksaan itu sendiri yang dimulai dari sejak permohonan untuk
pemeriksaan sengketa diajukan, hingga pada akhirnya dijatuhkan suatu putusan pada
tingkat akhir yang mengikat para pihak yang meminta penyelesaian perselisihan
Sebagai suatu bentuk lembaga peradilan swasta dengan hakim swasta dan
seperti juga telah ditegaskan dalam Undang-undang No.30 Tahun 1999 bahwa
perselisihan atau sengketa yang dapat diperiksa dan karenanya tunduk pada proses
pemeriksaan arbitrase ini adalah perselisihan atau sengketa yang secara hukum dapat
penyimpangan dari ketentuan hukum yang berlaku umum yang dalam hal ini
secara teoritis dapat dikatakan dengan ketentuan sebagaimana yang diatur dalam
buku III KUH Perdata yang bersifat terbuka. Karena berarti proses pemeriksaan
melalui pranata arbitrase ini tidak jauh berbeda dengan proses pemeriksaan peradilan
arbitrase yang diselenggarakan secara ad-hoc dan arbitrase yang dilaksanakan oleh
acara dan proses pemeriksaan sengketa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan
oleh para arbiter yang telah ditunjuk atau diangkat tersebut, hanya saja kehendak
tersebut harus disebutkan secara tegas dan tertulis, sehingga dapat menjadi acuan
yang jelas bagi para arbiter tersebut. Satu hal lagi yang harus diperhatikan adalah
bahwa pemilihan acara dan proses tersebut tidak boleh bertentangan dengan
Bagi arbitrase ad-hoc UU No.30 Tahun 1999 menyatakan bahwa para pihak
tidak menentukan sendiri ketentuan mengenai acara arbitrase yang akan digunakan
dalam pemeriksaan, arbiter atau majelis arbitrase ad-hoc telah terbentuk, maka semua
74
Felix O. Subagyo, op. cit, hlm.37
sengketa yang penyelesaiannya diserahkan kepada arbiter atau majelis arbitrase ad-
hoc tersebut yang akan diperiksa dan diputuskan menurut ketentuan dalam UU No.30
internasional berdasarkan atas kesepakatan para pihak dalam hal yang demikian,
tersebut yang dipilih oleh para pihak, akan dilakukan menurut peraturan dan acara
dari lembaga arbitrase yang dipilih kecuali ditetapkan secara lain oleh para pihak.
umum, semua pemeriksaan sengketa yang dilakukan oleh arbiter atau majelis
arbitrase dilakukan secara tertutup, ini merupakan salah satu kelebihan perbedaan dari
lembaga arbitrase terhadap lembaga peradilan pada umumnya, sifat kerahasian ini
cenderung menjadi pilihan utama bagi kalangan developer yang tidak menginginkan
perkara perdata yang dialami oleh developer dengan pihak lain yang mungkin juga
Indonesia, menurut ketentuan hukum Indonesia, maka sudah selayaknya jika bahasa
Indonesia, kecuali jika para pihak berdasarkan atas mufakat bersama memilih bahasa
masuknya pihak ketiga diluar perjanjian arbitrase, untuk turut serta menggabungkan
diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase, jika terdapat unsur
peradilan pada umumnya. Keikutsertaan pihak ketiga ini perlu disepakati oleh para
pihak yang bersengketa serta disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase yang
atas sengketa untuk diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 180 hari terhitung
sejak arbiter atau majelis arbiter terbentuk, walau demikian atas persetujuan para
pihak dan jika memang diperlukan sesuai ketentuan Pasal 33 UU No.30 Tahun 1999
maka jangka waktu tersebut dapat diperpanjang, adapun rumusan ketentuan Pasal 33
1. Diajukan permohonan oleh salah satu pihak mengenai hal khusus tertentu.
pemeriksaan.
Pada umumnya pilihan hukum ditentukan oleh para pihak dalam perjanjian
terbit, UU No. 30 Tahun 1999 juga memungkinkan atau secara lugas kita katakan
memberikan hak kepada para pihak untuk menentukan sendiri pilihan hukum yang
telah ada tersebut. Dalam hal para pihak tidak menentukan hukum mana yang
akan berlaku, penjelasan Pasal 56 ayat (2) UU NO. 30 Tahun 1999 menyatakan
bahwa yang harus diberlakukan adalah ketentuan hukum dari tempat dimana arbitrase
diselenggarakan.
kewenangan yang mutlak bagi para pihak untuk melakukan pilihan atas ketentuan
hukum dari setiap para pihak , jika hukum yang dipilih tersebut tidak memiliki
hubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan perjanjian yang
dibuat. Dalam hal yang demikian hakim bebas untuk menilai apakah suatu pilihan
hukum telah dilakukan secara patut atau tidak. Tempat arbitrase akan ditentukan oleh
arbiter atau majelis arbitrase, kecuali para pihak ingin menentukan sendiri tempat
arbitrase yang telah ditentukan dan akan menjadi pusat dan tempat penyelenggaraan
1999 membuka kemungkinan bagi arbiter atau majelis arbitrase dapat mendengar
keterangan saksi atau mengadakan pertemuan yang dianggap perlu pada tempat
tertentu diluar tempat arbitrase diadakan. Pemeriksaan saksi dan saksi ahli dihadapan
arbiter atau majelis arbitrase, diselenggarakan menurut ketentuan dalam hukum acara
perdata.
pemeriksaan tempat atau barang yang dipersengketakan atau hak lain yang
berhubungan dengan sengketa yang sedang diperiksa, dan dalam hal dianggap perlu,
para pihak akan dipanggil secara sah agar juga hadir dalam pemeriksaan tersebut.
termasuk dalam hal para arbiter untuk menentukan sendiri jalannya proses
pemeriksaan arbiter tersebut, selama dan sepanjang hal tersebut relevan dan dianggap
perlu untuk menunjuk jalannya proses pemeriksaan serta dalam kerangka waktu yang
ditentukan, dengan tidak mengurangi makna esensial dari lembaga arbitrase yang
peradilan, jalannya proses pemeriksaan sengketa dalam pranata arbitrase juga diawali
dengan pemasukan surat permohonan oleh pemohon, yang selanjutnya diikuti dengan
proses penjawaban surat permohonan tersebut oleh pihak termohon, sebagai bagian
dari hak para pihak untuk didengar selama proses pemeriksaan berlangsung. Surat
A. Nama lengkap dan tempat tinggal atau tempat kedudukan para pihak.
75
Undang-undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa
Setelah menerima surat tuntutan dari pemohon, arbiter atau ketua majelis
waktu paling lama 14 hari terhitung sejak diterimanya salinan tuntutan, oleh
jawabannya maka arbiter atau ketua majelis arbitrase wajib memanggil termohon
atau kuasanya untuk hadir dalam sidang arbitrase dalam jangka waktu 14 hari
terdapat persamaan yang terbagi dalam tiga tahapan besar sebagai berikut:
1. Tahap Negosiasi
Dalam suatu kegiatan bisnis sudah lazim para pihak yang terlibat membuat
konsumen akan selalu melakukan negosiasi atau praperjanjian terlebih dahulu, yaitu
suatu pembicaraan atau perundingan untuk mencapai suatu kesepakatan tentang hal
dan sebaliknya jika negosiasi tersebut gagal tidak akan lahir perjanjian.
penyelesaian melalui arbitrase, manakala penyelesaian pada tahap pertama oleh para
Pengadilan Negeri yang hanya menyebut Pengadilan Negeri mana, dalam hal
memilih arbitrase, para pihak seharusnya juga menentukan hal-hal yang sering
"Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi
Dalam tahap negosiasi para pihak dapat menyepakati hal-hal sebagai berikut:
Para pihak harus menentukan secara tegas rule apa yang akan digunakan,
apakah Arbitration ad-hoc yang telah dibentuk atau peraturan prosedur BANI. Jika
tidak demikian dapat terjadi, sengketa mengenai rule apa yang harus dipedomani.
Akibatnya sebelum memasuki sengketa pokok, para pihak akan bersengketa dahulu
mengenai rule yang dipakai. Bahkan, jika mengenai rule ini tidak dapat diselesaikan
gugat contentiosa. Hal itu sudah tentu akan menyebabkan penyelesaian arbitrase
Sama halnya dengan penentuan rule yang akan dipilih, para pihak seharusnya
juga menentukan bentuk arbitrase yang digunakan agar tidak timbul masalah
dan arbitrase institusional. Arbitrase ad-hoc (disebut juga arbitrase volunteer) ialah
merupakan lembaga arbitrase yang sifatnya permanen atau disebut juga permanent
regional dan nasional. Arbitrase institusional yang berskala internasional misal Court
bentuk arbitrase mana yang dipilih apakah arbitrase ad-hoc atau institusional. Jika
dipilih arbitrase institusional, juga harus ditegaskan arbitrase institusional mana yang
ditunjuk, sebab apabila tidak demikian sebelum menyentuh sengketa pokok, para
pihak dapat terlibat lebih dahulu dengan sengketa mengenai bentuk arbitrase.
Penentuan susunan arbiter sangat penting bagi para pihak pada saat
karena mungkin salah satu pihak bersikeras bahwa sengketa akan diselesaikan oleh
beberapa orang arbiter. Semua rule yang berskala nasional dan internasional sudah
mengatur secara rinci tata cara penunjukkan arbiter tersebut. Namun rule manapun
yang disepakati, hanya ada dua altematif yaitu pertama menunjuk arbiter tunggal dan
kedua menunjuk arbiter majelis yang terdiri dari beberapa orang asal ganjil dan
sistem umpire. Hal itu sangat penting terutama jika para pihak sepakat menunjuk
arbiter majelis. Penegasan berlakunya sistem umpire oleh para pihak adalah untuk
majelis tidak mencapai suara mayoritas, berarti para pihak memberi hak dan
wewenang kepada ketua arbiter mengambil putusan sendiri atas nama majelis.
Dengan kata lain, penerapan sistem umpire merupakan alternatif dari kegagalan
sistem mayoritas. Menurut M. Yahya Harahap76 penegasan sistem ini perlu jika rule
yang disepakati akan digunakan adalah sistem Rv dan Peraturan BANI karena
e. Penentuan Bahasa
memeriksa sengketa. Sebaiknya, mengenai tempat ini disepakati oleh para pihak
arbitrase yang disepakati para pihak untuk memproses sengketa adalah Rv atau
aturan BANI, karena kedua aturan tersebut tidak mengatur masalah tempat
kedudukan arbitrase.
2. Tahap Pemeriksaan
76
M. Yahya Harahap, op. cit, hlm. 125
tersebut, proses pemeriksaan arbitrase oleh BANI pada garis besamya dilaksanakan
sebagai berikut :
berupa:
tahap pelaksanaan putusan dimuat dalam pasal 17, 18 dan 19 sebagai berikut:
Klausul Arbitrase merupakan suatu kesepakatan para pihak tentang tata cara
extra yudiciar yang lahir dari klausul arbitrase dalam suatu perjanjian mempunyai
legal effect yang memberi kewenangan absolut kepada Badan Arbitrase untuk
menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian berdasar atas berlakunya azas
menyatakan :
"adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk
internasional berbeda satu sama lain. UU No.30 Tahun 1999 juga mengaturnya
secara sukarela atau secara paksa. Eksekusi putusan arbitrase secara sukarela
dari pihak Ketua Pengadilan Negeri, melainkan para pihak yang berkewajiban
suatu prosedur hukum yang disebut dengan akta pendaftaran. Yang dimaksud dengan
akta pendaftaran adalah pencatatan dan pendaftaran bagian pinggir atau dipinggir
putusan arbitrase asli atau salinan otentik yang ditanda tangani bersama-sama, oleh
Panitera Pengadilan Negeri dan arbiter atau kuasanya yang menyerahkan putusan
pendaftaran putusan arbitrase di Pengadilan Negeri dalam jangka waktu paling lama
arbitrase oleh pihak yang berkepentingan atas pelaksanaan putusan arbitrase tersebut,
pencatatan tersebut tidak dilakukan sesuai atau dalam jangka waktu yang ditentukan,
menyerahkan putusan dan lembar asli pengangkatan sebagai Arbiter atau salinan
pendaftaran dan catatan tersebut akan menjadi sangat berguna bagi pihak yang
putusan arbitrase di Pengadilan Negeri pada waktunya, maka putusan tersebut tidak
tidak mau melaksanakan sendiri putusan tersebut secara sukarela dan berbuat
arbitrase di Pengadilan Negeri ini dalam praktek sering disebut dengan istilah
78
Munir Fuady, op. cit, hlm. 47
deponir. Jadi tindakan deponir putusan arbitrase bukan hanya merupakan tindakan
pendaftaran yang bersifat administratif belaka, tetapi telah bersifat konstitutif dalam
arti merupakan satu rangkaian dalam proses arbitrase, dengan resiko tidak dapat di
dengan aturan eksekusi, terhadap aturan ini tidak berbeda dengan cara eksekusi
terhadap putusan pengadilan umum yang telah mempunyi kekuatan hukum dalam
eksekusi. Prinsip hukum dalam eksekusi putusan arbitrase ini yaitu putusan arbitrase
bersifat independen, sehingga tidak dapat dicampuri oleh ketua Pengadilan Negeri
ketika dilaksanakan eksekusi, Pasal 62 ayat (4) dari UU No. 30 Tahun 1999 dengan
tegas melarang Ketua Pengadilan Negeri untuk memeriksa alasan atau pertimbangan
dari putusan arbitrase, dengan demikian Ketua Pengadilan Negeri tidak mempunyai
kewenangan untuk meninjau suatu putusan arbitrase secara formal berdasarkan Pasal
oleh Ketua Pengadilan tersebut dilaksanakan jika ada alasan-alasan sebagai berikut :
1. Mengenai perdagangan.
79
Ibid, hlm. 50
diberikan hak untuk memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase tersebut
Satu hal yang perlu diperhatikan disini adalah bahwa selain ketiga hal tersebut
Jika menurut pertimbangan Ketua Pengadilan Negeri ada satu atau lebih
syarat dari ketiga tersebut diatas yang tidak dipenuhi, maka Ketua Pengadilan
Perintah Ketua Pengadilan Negeri ditulis pada lembar asli dan salinan
otentik putusan arbitrase. Putusan arbitrase yang telah di bubuhi perintah Ketua
dalam perkara perdata yang putusanya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
dalam hal ini maka berlakulah ketentuan Umum yang berlaku bagi pelaksanaan
kembali, bahwa arbitrase memiliki dua sifat, yaitu ad-hoc dan institusional. Oleh
institusional.80
Indonesia.
meskipun putusan itu dikeluarkan di wilayah Indonesia, dan para pihak yang
(asing).
80
Sudarto Gautama, op. cit, hlm. 88
arbitrase itu adalah putusan arbitrase Nasional apabila putusan tersebut memenuhi
dalam Pasal 1 ayat (1) konvensi New York 1998, yaitu putusan arbitrase
Internasional adalah putusan yang dibuat di suatu Negara yang pengakuan dan
Pasal 59 dan seterusnya dari UU Nomor 30 Tahun 1999, sedangkan dasar hukum
eksekusi putusan arbitrase Internasional diatur dalam konvensi New York 1958
Presiden Nomor 34 Tahun 1981, dan juga dalam konvensi ICSID 1968.
Lebih lanjut, mengenai pelaksanaan arbitrase asing ini diatur dalam Peraturan
Tujuan dari arbitrase atau penundaan ini yaitu memberikan kepada arbitrase
apabila majelis tersebut masih berwenang untuk bertindak, artinya belum melampaui
tersebut secara cepat dan tidak melampaui 90 hari sejak permohonan banding
untuk mempercepat penyelesaian banding ini, jika tidak adanya tata cara demikian
Akan tetapi hal itu tidak terdapat di dalam UU No. 30 Tahun 1999 namun
81
Shofie, Yusuf, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2009, hlm. 39.
melaksanakan eksekusi, disini ada hal menarik karena jangka waktu untuk
melakukan hal yang baru dan tidak terdapat didalam acara pelaksanaannya putusan
berapa lama, harus sudah diselesaikan eksekusi ini dan pelaksanaannya dalam
memang jika ditetapkan jangka waktu untuk terlaksananya suatu eksekusi melalui
Pengadilan Negeri, adalah sesuatu hal yang ideal karena semua kelambatan eksekusi
yang dialami pada waktu sekarang ini, dengan dijalankan proses eksekusi dihadapan
Pengadilan Negeri yang sering kali tertunda sampai bertahun-tahun karena berbagai
faktor, menurut kenyataan merupakan salah satu sebab mengapa dalam perkara
eksekusi ini hanya karena menetapkan secarik kertas belaka. Jangka waktu yang
telah ditentukan dalam eksekusi pelaksanaan putusan arbitrase adalah salah satu
kemajuan yang besar dan patut dihargai tetapi melihat struktur keadaan pada waktu
sekarang ini hal itu sangat sulit untuk dicapai dalam prakteknya. 82
82
Sudargo Gautama, op. cit, hlm. 89
tersebut tidak berfungsi yudisial, dan tidak mempunyai perangkat juru sita yang
tersebut adalah salah seorang arbiter, atau seorang kuasa untuk dan atas nama para
anggota arbiter.
Semua biaya yang menyangkut pendaftaran ini sesuai dengan ketentuan Pasal
59 UU Nomor 30 Tahun 1999 di atas, ditanggung oleh para pihak yang bersengketa
sendiri, bukan arbiter. Permohonan pendaftaran harus dilampiri dengan lembar asli
dan mengikat, tidak ada upaya hukum banding maupun kasasi. Akan tetapi UU No.
30 Tahun 1999 juga mengatur adanya upaya hukum yang luar biasa terhadap
putusan yang dihasilan oleh lembaga arbitrase yaitu berupa upaya perlawanan ke
Pengadilan Negeri. Upaya perlawanan tersebut hanya dapat dilakukan kepada Ketua
3. Putusan arbitrase diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu
merupakan upaya hukum banding biasa tetapi upaya hukum di dalam putusan
arbitrase adalah merupakan upaya hukum yang luar biasa di mana terhadap putusan
yang spesifik sebagaimana disebutkan di atas tidak akan bisa dilakukan perlawanan,
namun demikian apabila putusan arbitrase tersebut memang benar ada mengandung
salah satu dari unsur tersebut maka tentunya dapat dilakukan perlawanan untuk
diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
Menurut UU No. 30 Tahun 1999 pada Pasal 72 ayat (1), bahwa permohonan
Pengadilan Negeri. Yang menjadi pertanyaan adalah Pengadilan Negeri mana yang
oleh Pengadilan Negeri maka Ketua Pengadilan Negeri akan menentukan lebih
lanjut akibat dari pembatalan tersebut, apakah untuk sebahagian atau seluruhnya.
Putusan pembatalan itupun baru bisa diputuskan oleh Ketua Pengadilan Negeri
sejak diterima permohonan banding tersebut. Oleh karena itu sangat jelas
sekali bahwa tidak semudah itu mencari temuan dalam rangka melakukan
arbitrase tersebut telah bersifat final sehingga seharusnya sedini mungkin disadari
benar-benar akan konsekuensi logis dari pada putusan yang bersifat final tersebut.
83
Ibid, hlm. 95
84
Margono, Suyud, ADR dan Arbitrase, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2000, hlm. 21
Bahwa idealnya, tugas-tugas arbiter baru berakhir setelah seluruh apa yang
Arbitrase No. 30 Tahun 1999 membuka juga kemungkinan untuk berhentinya tugas
ditunda paling lama 60 (enam puluh) hari setelah meninggal dunianya salah satu
pihak tersebut.
85
Felix O. Subagyo dan Faireah Jatrio, Arbitrase di Indonesia Beberapa Contoh Kasus dan
Pelaksanaan dalam Praktek, Cipta Media Tama, Bandung, 2000. hlm. 16
melakukan penyelesaian sengketa antara para pihak dan para arbiter ini akan
ad-hoc jika tugasnya sudah berakhir maka dengan sendirinya arbiter ad-hoc itupun
menjadi bubar.86
86
Ibid, hlm. 20
lsi klausul arbitrase yang komprehensif dalam tesis ini dimaksudkan adalah
unsur-unsur penting yang diperlukan dan memenuhi standar nasional seperti yang
Penyelesaian Sengketa.
yang disepakati para pihak yakni melalui arbitrase dan tidak melalui jalur
dipisahkan dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dibuat oleh developer
dan konsumen sebelum terjadinya sengketa atau yang dibuat dalam perjanjian
tersendiri yang terpisah dari kontrak yang dibuat. Perjanjian tersebut dapat juga
juga dibutuhkan ketelitian dan kecermatan dalam menyusun kata demi kata.
85
bahwa menyusun klausul arbitrase yang komprehensif tidaklah gampang atau mudah.
“Klausul arbitrase tidak hanya basis bagi arbitrase, tetapi juga format
Penyusunan klausul arbitrase tidak selalu harus panjang lebar, yang penting
adalah kata-katanya disusun secara tegas dan jelas sehingga tidak menimbulkan
87
Erman Radjagukguk, op. cit, hlm. 99
88
Ibid, hlm. 100
klausul yang hanya menyebut bahwa "bila timbul sengketa akan diselesaikan
yang berkaitan dengan siapa atau forum mana yang ditunjuk untuk menyelesaikan
sengketa yang ada. Penyebutan arbitrase dalam klausul tersebut, dapat ditafsirkan
Arbitration). Kerancuan yang dicontohkan, baru dari satu bagian kecil dari
keseluruhan klausul arbitrase. Oleh karena itu, dapat dibayangkan betapa perlunya
Dalam contoh tersebut, jika yang dimaksud adalah majelis arbitrase, maka
masih harus ada kejelasan pula berapa jumlah anggota majelis dan berapa lama
Kesulitan juga akan timbul apabila selama penyusunan klausul arbitrase tanpa
diselesaikan.
disepakati oleh para pihak yang harus tertuang di dalam klausul arbitrase.
sebagai berikut89:
sengketa yang mungkin timbul akan diselesaikan oleh majelis arbitrase yang
dibentuk setelah sengketa terjadi (oleh Ad-Hoc Arbitration) atau akan diserahkan
pada suatu Badan· Arbitrase yang ada (Institusional Arbitration) yaitu BANI.
Dalam hal developer dan konsumen yang mengadakan PPJB setuju untuk
Mengenai arbiter ini, kerancuan atau kesulitan akan timbul misalnya apabila
para pihak daIam klausul yang dibuat hanya menyebutkan bahwa "rnasing-masing
arbiter akan menunjuk arbiter ketiga yang akan bertindak sebagai Ketua Majelis
Arbiter".
lsi klausul seperti tersebut, akan tidak ada artinya atau kesulitan
89
Erman Radjagukguk, op. cit, hlm 116
Oleh karena itu, perlu dilengkapi dengan ketentuan siapa yang diberi otoritas
untuk menunjuk arbiter ketiga, dalam hal masing-masing arbiter yang telah ditunjuk
1999 tentang Arbitrase dan Altematif Penyelesaian Sengketa, sudah terdapat jalan
keluar untuk mengatasi kelalaian dalam hal tidak ditentukanya siapa yang diberi
"Dalam hal kedua arbiter yang telah ditunjuk masing- masing pihak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berhasil menunjuk arbiter ketiga
dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah arbiter terakhir
ditunjuk, atas permohonan salah satu pihak, Ketua Pengadilan Negeri
dapat mengangkat arbiter ketiga".
penghormatan terhadap hak asasi manusia, ketentuan dalam Pasal 15 ayat (4)
Pengadilan Negeri tersebut dapat menerima atau menolak. Ketentuan mengenai hal
ini secara tegas diatur dalam Pasal 16 ayat (1) yang berbunyi : "Arbiter yang
ditunjuk atau diangkat dapat menerima atau menolak penunjukan atau pengangkatan
tersebut".
diberitahukan secara tertulis kepada para pihak dalam waktu paling lama 14
(empat belas) hari terhitung sejak tanggal penunjukan atau pengangkatan (Pasal 16
ayat (2).
adalah sangat penting. Hal tersebut di samping adanya kepastian hukum mengenai
Jika para pihak dalam perjanjian arbitrase yang dibuat telah memilih
diantara mereka, badan tersebut biasanya telah mempunyai standar kIausula arbitrase
yang akan dipakai, misalnya para pihak memilih Badan Arbitrase Nasional Indonesia
(BANI), badan tersebut telah memiliki model kIausul standart tersendiri yang disebut
3. Tempat arbitrase
Tempat arbitrase merupakan salah satu elemen yang tidak boleh dihiraukan
faktor yang akan menentukan pengadilan nasional mana yang akan berperan atau
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa diatur dalam
Pasal 31 ayat (3) antara lain menentukan bahwa harus ada kesepakatan para
mengenai tempat tersebut tidak ditentukan, arbiter atau majelis arbitrase yang
akan menentukan.
Pasal 37 ayat (1) mempertegas lagi mengenai masalah tempat arbitrase ini
dengan menentukan bahwa "Tempat arbitrase ditentukan oleh arbiter atau majelis
tempat dilangsungkannya arbitrase. Oleh karena itu, sebagai prinsip yang selama ini
telah diakui adalah bahwa sebagai tempat arbitrase adalah tempat yang disepakati
Arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa para pihak, dalam
situasi dan kondisi dari persoalan yang akan diperiksa atau diselesaikan. Jadi,
arbiter atau majelis arbitrase akan memperhatikan segala keadaan sekitar arbitrase
menentukan tempat arbitrase, adalah tempat para pihak yang bersengketa memiliki
tempat usaha.
Hukum yang diterapkan dalam arbitrase, juga merupakan elemen yang perlu
melalui arbitrase. Mengenai hukum yang diterapkan perlu ada kejelasan, karena
hukum itulah yang akan digunakan oleh arbiter atau oleh majelis arbitrase sebagai
Mengenai pilihan hukum yang akan diterapkan oleh abiter atau majelis
arbitrase untuk menentukan masalah yang substantif dari suatu perjanjian arbitrase
bukan merupakan faktor yang menentukan bagi sah atau tidaknya perjanjian
arbitrase tersebut. Hal tersebut karena mengenai penentuan hukum yang akan
Pada dasarnya, para pihak dapat menentukan sendiri hukum yang akan
berlaku untuk sengketa mereka (choiceof law by the parties) atau dikenal juga
dengan istilah “proper law of a contract” dimana seluruh kontrak atau unsur-
Hak para pihak yang bersengketa untuk memilih hukum yang akan
Alternatif Pilihan Sengketa, secara tegas diatur dalam Pasal 56 ayat (2) yang
berbunyi sebagai berikut: "Para pihak berhak menentukan pilihan hukum yang akan
berlaku terhadap penyelesaian sengketa yang mungkin atau telah timbul antara para
pihak”.
Dalam pilihan hukum ini, berlaku autonomi para pihak atau kebebasan para
pihak untuk menentukan sendiri hukum yang berlaku baginya. Arbiter atau majelis
arbitrase tidak dapat menerapkan hukum lain selain yang telah disepakati oleh para
pihak. Arbiter atau majelis arbiter selalu akan mendasarkan pada hukum yang telah
Dalam hal para pihak entah karena suatu kelalaian dalam perjanjian arbitrase
tidak memuat suatu klausul untuk memilih hukum yang akan digunakan atau
atau majelis arbitrase biasanya akan memakai hukum yang ditentukan oleh kaedah-
90
Yansen Dewanto Latip, Pilihan Hukum dan Pilihan Forum dalam Kontrak Internasional,
Program Pasca Sarjana FHUI, Jakarta, 2002, hlm. 32
Hukum yang dipilih ini adalah hukum materiil. Hal ini karena bila mengenai
hukum formil atau prosedur arbitrase yang akan digunakan, maka akan tunduk pada
mengenai sah atau tidaknya perjanjian arbitrase, tetapi hal tersebut biasanya akan
menimbulkan kekecewaan dari salah satu atau bahkan dari para pihak, berkaitan
arbitrase, tetapi kewenangan tersebut tidak berarti dapat dilakukan secara semena-
memberi batasan yang jelas bagi kebebasan arbiter dengan ketentuan sebagai berikut:
keadilan dan kepatutan, sesuai dengan penjelasan PasaI 56 ayat (1), maka peraturan
arbiter.
"Para pihak berhak menentukan pilihan hukum yang akan berlaku terhadap
penyelesaian sengketa yang mungkin atau telah timbul antara para pihak".
ayat (2) antara lain disebutkan bahwa hukum yang diterapkan adalah hukum
elemen yang juga mendapat perlakuan khusus dalam penyusunan klausul arbitrase.
tertentu.
seperti yang telah dikemukakan. Hal tersebut karena sulit untuk merumuskan
Pada dasarnya, tidak terdapat suatu ketentuan yang melarang para pihak
seorang arbiter dan arbiter ketiga dipilih oleh kedua orang arbiter pilihan para
pihak. Bagaimanapun juga pendapat majelis arbitrase, relatif akan lebih baik
dari pada arbiter tunggal, walaupun ada konsekwensi lain, yakni biayanya akan lebih
mahal.
arbiter ketiga yang akan menjadi ketua majelis, secara tegas diatur dalam
Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, yang berbunyi sebagai
berikut :
kepada dua arbiter untuk memilih dan menunjuk arbiter ketiga. Selanjutnya
Dalam praktek, tidak selalu kedua arbiter tersebut dapat menunjuk arbiter
ketiga. Oleh karena itu, untuk mengatasi hal tersebut Pasal 15 ayat (4) memberi
kewenangan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk dapat mengangkat arbiter ketiga.
Selanjutnya Pasal 15 ayat (5) menentukan bahwa pengangkatan arbiter ketiga oleh
dapat digunakan dalam proses arbitrase. Keadaan yang demikian sering kurang
dipahami oleh para pihak yang melakukan perjanjian. Penentuan bahasa yang
digunakan dalam proses arbitrase sangat penting, agar terdapat kepastian hukum
Lebih dari untuk adanya kepastian hukum, penentuan bahasa yang digunakan
adalah untuk menghemat biaya. Sebab dapat dibayangkan berapa biaya yang harus
dikeluarkan oleh para pihak untuk penterjemahan dari semua dokumen yang
diperlukan, apabila dokumen tersebut terdiri dari dua atau lebih bahasa yang
digunakan.
dalam bahasa yang diinginkan oleh para pihak, akan ditanggung bersama oleh kedua
belah pihak.
yang digunakan dalam semua proses arbitrase adalah bahasa Indonesia, kecuali atas
persetujuan arbiter atau majelis arbitrase para pihak dapat memilih bahasa lain yang
akan digunakan.
mengenai bahasa yang digunakan dalam proses arbitrase seperti juga mengenai
pilihan hukum yang akan diterapkan, juga masih terbuka adanya pilihan. Namun
terdapat perbedaan dengan pilihan bagi hukum yang diterapkan. Mengenai hukum
yang akan diterapkan, yang memilih adalah para pihak yang bersengketa, sedangkan
mengenai bahasa yang akan digunakan, pilihan bahasa ditentukan oleh arbiter atau
majelis arbitrase.
Bahasa yang digunakan dalam kontrak tidak selalu menjadi bahasa dalam
proses arbitrase. Banyak pihak yang salah mengerti dan menduga bahwa bahasa dari
penting agar terdapat pemahaman yang sama dari arbiter atau majelis arbitrase
terhadap suatu masalah. Hal tersebut dapat dipahami, sebab istilah dalam bahasa
tertentu belum tentu mempunyai makna yang sama persis dengan istilah dalam
arbitrase adalah bahwa proses penyelesaian sengketa tersebut bebas dari campur
tangan pengadilan, dan putusan arbitrase bersifat final, artinya substansi putusan
Pasal 17 ayat (2) ".....arbiter atau para arbiter akan memberikan putusannya
secara jujur, adil, dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan para pihak akan
menerima putusannya secara final dan mengikat seperti yang telah diperjanjikan
bersama.
Pasal (60), putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum
tetap dan mengikat para pihak. Selanjutnya penjelasan Pasal (60) 1ebih
mempertegas lagi dengan menentukan bahwa putusan tersebut tidak dapat diajukan
para pihak mematuhi putusan arbitrase, maka pencantuman klausul bahwa putusan
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Altematif Penyelesaian Sengketa diatur
dalam:
Ketentuan dalam Pasal 56 ayat (1) tersebut berbeda dengan ketentuan dalam
Pasal 613 Rv. Pasal 613 Rv. menentukan bahwa arbiter harus memutus sengketa
Lain halnya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 56 ayat (1) Undang-
undang Nomor 30 Tahun 1999, bagi arbiter atau majelis arbitrase tidak ada
langsung dihadapkan pada dua pilihan yang dapat dipilih yakni berdasarkan :
dikemukakan bahwa :
Pasal 56 tadi terdapat kekeliruan atau perlu ditambah atau dikurangi tuntutan
yang terdapat dalam putusan yang bersangkutan, untuk hal tersebut, Pasal 58
menentukan bahwa dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah putusan
diterima, para pihak dapat mengajukan permohonan kepada arbiter atau majelis
putusan arbitrase diatur dalam Bab tersendiri yakni dalam BabVI "Pelaksanaan
Putusan Arbitrase yang dibagi dalam dua bagian, yakni Bagian Pertama
Pengadilan Negeri tanpa disebut Pengadilan Negeri tertentu, sedangkan bagi putusan
Pusat.
9. Biaya arbitrase
Biaya arbitrase ditentukan oleh Arbiter dan dibebankan kepada pihak yang
kalah. Namun apabila tuntutan hanya dikabulkan sebagian, maka biaya arbitrase
arbitrase bahwa biaya akan ditanggung berdua dalam jumlah yang sama.
terwujudnya arbitrase. Oleh karena itu harus dihindari adanya celah yang dapat
efektifnya perjanjian atau PPJB yang telah dibuat. Dengan demikian klausul arbitrase
menghabiskan waktu dan biaya, karena segala sesuatunya telah dirumuskan secara
Perjanjian Perikatan Jual Beli (PPJB), sehingga hak dan kewajiban, prestasi dan
bisnis tersebut sekaligus merupakan hubungan kontraktual. Selain itu para pihak
forum arbitrase sebagai perjanjian tambahan diatur dalam klausul arbitrase. Oleh
karena itu setiap perjanjian atau kontrak mempunyai arti penting, paling tidak akan
1. Untuk mengetahui perikatan apa yang dilakukan dan kapan serta dimana
kontrak tersebut dilakukan;
2. Untuk mengetahui secara jelas siapa yang saling mengikatkan dirinya tersebut
dalam kontrak dimaksud;
3. Untuk mengetahui hak dan kewajiban para pihak, apa yang harus, apa yang
boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh para pihak tersebut;
4. Untuk mengetahui syarat-syarat berlakunya kontrak tersebut;
91
Hasanuddin Rahmat, Legal Drafting, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 3
92
Ibid, hlm. 5
103
dengan konsumen tentang cara penyelesaian yang mungkin timbul dimasa yang akan
datang. Oleh karenannya perjanjian arbitrase tidak melihat pada perjanjian pokok,
tetapi terlepas dan merupakan tambahan yang didekatkan pada perjanjian pokok.
pokok.93
Suatu perjanjian yang disertai dengan klausul arbitrase, maka ketentuan dalam
93
Ibid, hlm. 7
94
Ibid, hlm. 8
akan diperiksa dan diputus oleh lembaga arbitrase sesuai wewenang yang diberikan
Jadi perjanjian pokok dapat berdiri sendiri dengan sempurna tanpa perjanjian
arbitrase, sebaliknya tanpa adanya perjanjian pokok developer dan konsumen tidak
dinyatakan95 :
Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) antara developer dan konsumen
yang bersifat transaksional tersebut yang dituangkan dalam perjanjian tambahan atau
perjanjian arbitrase yang berbentuk lisan dianggap tidak sah dan tidak mengikat.
Pasal 1 angka (3) Undang-undang No. 30 Tahun 1999 secara expressis verbis
95
Ibid, hlm. 9
mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Lebih
jauh ditegaskan lagi oleh pasal 11 undang-undang No.30 Tahun 1999 sebagai berikut:
kepada lembaga yang berwenang, selain itu diikuti beberapa ketentuan yang
96
Periksa Pasal 9 ayat (3) UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
mengatur cara atau proses itu dijalankan. Cara arbitrase itu dijalankan setidak-
tidaknya disimpulkan dari rumusan hukum yang dipilih dalam penyelesaian sengketa,
cara penunjukan arbiter atau majelis arbitrase, dan kepada siapa biaya-biaya arbitrase
dibebankan.
Dengan demikian klausul arbitrase akan menjadi petunjuk arah atau pemandu
lain sebagai berikut, “bahwa klausul arbitrase tidak hanya basis bagi arbitrase, tetapi
itu meliputi99:
2. Diserahkan kepada arbiter yang netral yang dipilih oleh mereka sendiri;
3. Sejak semula mereka menyetujui putusan tersebut sebagai “final and binding”
sebagai basis yang merupakan dasar dari segala kewenangan arbiter untuk
97
Sudarto Gautama, Kesulitan dalam Menyusun Perjanjian Arbitrase Dagang Internasional,
Majalah Hukum dan Pembangunan No.5, tahun ke XVII, Oktober, 1987, hlm. 56
98
Erman Radjagukguk, op. cit, hlm. 89
99
Ibid, hlm. 93
“Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan
diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-
peraturan prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya mengikat kedua belah
pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan
terakhir”.
bersama secara tertulis setelah timbul sengketa. Hal tersebut dikenal dengan istilah
disepakati sebagai tata cara menyelesaikan sengketa yang timbul dikemudian hari.
Klausul arbitrase itu merupakan sumber filsafat, sumber hukum, dan sumber
yurisdiksi bagi semua pihak yang terkait dalam suatu sengketa yang diselesaikan
100
http://m.hukumonline.com/berita/baca/hol1905/arbitrase-sebagai-forum-penyelesaian-
sengketa, diakses pada tanggal 10 Januari 2016.
101
Priyatna Abdurrasyid, Pengusaha Indonesia Perlu Meningkatkan Minatnya Terhadap
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jurnal Hukum Bisnis, 2002, Volume 21, hlm. 20
Sengketa atau konflik dapat terjadi dimanapun tanpa dibatasi ruang dan
bisa termasuk:
c. Ketidaksepakatan (disagreement)
4. Klaim (claim) mengenai ganti rugi atas wanprestasi atau perbuatan melawan
hukum.
Rumusan klausul arbitrase harus disusun dengan hati-hati dan jelas kata-
102
M. Yahya Harahap, Arbitrase Ditinjau dari Rv. BANI, hlm 108
timbul dalam praktek apabila klausul arbitrase tidak disusun secara cermat”. Jika
klausul arbitrase disusun secara tidak jelas, maka akan tampak sebagai “nonsense
clauses”.104
Klausul arbitrase yang tidak secara jelas dalam penunjukan arbitrase mana
yang akan menyelesaikan sengketa antara developer dengan konsumen dapat dilihat
pada kontrak antara PT. TANAMAS (Developer) dengan konsumen Moy Betty
PASAL 12
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
(1) Jika terjadi perselisihan antara kedua belah pihak, maka dicari jalan
musyawarah.
(2) Jika Musyawarah tidak tercapai maka akan diselesaikan melalui Badan
arbitrase.
(3) Keputusan Badan Arbitrase bersifat final dan mengikat kedua belah
pihak.
Tentang apa yang dimaksud sebenarnya dan apa yang harus ditafsirkan
sebagai “Badan arbitrase” ini adalah dubius dan menjadi sumber berbagai kesulitan,
karena tidak secara tegas dan jelas dinyatakan badan arbitrase mana yang dipilih,
yaitu antara Arbitrase Ad-Hoc atau Arbitrase Institusional yang dalam hal ini adalah
103
Sudargo Gautama, op. cit, hlm. 120
104
Erman Radjagukguk, op. cit, hlm. 111
105
Pengikatan Perjanjian Jual Beli Rumah antara PT TANAMAS dengan Ny. Betty Siringo-
ringo, Perumahan Griya Nusa Tiga, Medan Tuntungan.
(ambiguity) dapat dilihat pada kontrak antara PT. Karya Putra dengan (developer)
PASAL 20
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
(1) Jika terjadi perselisihan antara kedua belah pihak, maka pada dasarnya
akan diselesaikan secara musyawarah.
(2) Jika perselisihan ini tidak dapat diselesaikan secara musyawarah maka
kedua belah pihak sepakat untuk membawa ke Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI).
(3) Keputusan BANI bersifat mengikat kedua belah pihak, dan biaya
penyelesaian perselisihan yang dikeluarkan/dipikul oleh PIHAK KEDUA,
(4) Jika keputusan sebagaimana dimaksud ayat 3 pasal ini tidak dapat
diterima oleh salah satu atau kedua belah pihak, maka perselisihan akan
diteruskan melalui Pengadilan Negeri.
Dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 dengan tegas menyatakan
bahwa adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk
para pihak dengan tegas dan jelas memastikan bahwa hanya BANI satu-satunya yang
menjadi pilihan forum dalam penyelesaian sengketa antara mereka tanpa ada
106
PPJB yang diambil dari Kantor BANI kota Medan, pasal 20 ayat 1 s/d 4, pada tanggal 17
September 2015.
Dari contoh klausul arbitrase yang tidak jelas dan klausul arbitrase yang
selalu dapat diwujudkan secara cepat, mudah, dan murah sebagaimana diharapkan.
Berbagai kendala biasanya muncul berkaitan dengan klausul arbitrase yang tidak jelas
atau komprehensif yang tercantum dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak.107
Suatu klausul arbitrase yang secara tidak lengkap tanpa menentukan badan
tentang badan arbitrase. Klausul tersebut tidak jelas antara lain menyangkut hal-hal
berbagai hambatan dalam proses arbitrase, apalagi perumusan dibuat secara tidak
cermat ditambah dengan tidak didukungnya itikad baik dari para pihak sehingga
107
Garry Good Pasters, Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa Seri Dasar Hukum
Ekonomi Arbitrase di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2001, hlm. 35
108
Rachmadi Usman, Hukum Arbitrase Nasional, PT. Grasindo, Jakarta, 2002, hlm. 21
klausul arbitrase yang tidak cermat ini dapat dimanfaatkan oleh salah satu pihak
dalam praktek akan membingungkan, persoalannya jika satu pihak memilih forum
memerlukan waktu yang relatif lama, karena persoalan kewenangan akan diputus
Dalam ketentuan Pasal 1342 KUH Perdata disebutkan bahwa “ Jika kata-kata
dalam suatu kontrak sudah jelas maka tidak lagi diperkenankan untuk menyimpang
daripadanya dengan jalan penafsiran”. Hal ini mengisyaratkan bahwa apapun kontrak
yang dibuat para pihak hendaknya jelas isinya sehingga memberikan kepastian hal ini
yang dalam hal ilmu hukum kontrak disebut dengan asas sens clair atau doktrin
kejelasan makna.110
Idealnya suatu kontrak tidak memerlukan penafsiran apapun, oleh karena itu
kalimat atau kata-kata dalam kontrak seharusnya sudah dengan sendirinya dapat
menjelaskan maksud dari klausula-klausula yang ada. Karena itu, jika semuanya
sudah jelas ditulis dalam kontrak, maka penafsiran kontrak bukan hanya tidak
109
Ibid, hlm. 36
110
Suhardana, Contract Drafting Kerangka Dasar dan Teknik Penyusunan Kontrak,
Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2008, hlm. 65
diperlukan tetapi memang tidak diperbolehkan jika dengan penafsiran tersebut justru
akan mempunyai arti yang menyimpang dari yang tersirat tersebut. 111
Adapun yang harus dimuat dalam klausul arbitrase meliputi komitmen atau
kesepakatan para pihak untuk melaksanakan arbitrase; tempat dan bahasa yang
digunakan dalam arbitrase; pilihan terhadap hukum substantif yang berlaku bagi
arbitrase, komposisi arbiter, putusan akhir final dan mengikat, serta biaya arbitrase.
digantungkan pada suatu kejadian tertentu di masa yang akan datang. Perjanjian ini
“sengketa” yang terjadi antara pihak yang berjanji. Di samping itu, perjanjian
pokoknya. Tanpa perjanjian arbitrase, perjanjian pokok dapat berdiri sendiri dengan
sempurna. Sebaliknya tanpa adanya perjanjian pokok, para pihak tidak mungkin
mengadakan ikatan perjanjian arbitrase. Ini berarti perjanjian pokok menjadi dasar
111
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2007, hlm. 53
perjanjian pokoknya, jika perjanjian pokok yang tidak sah, maka dengan sendirinya
dalam PPJB dan klausul arbitrase harus dibuat secara tertulis ,dengan ada suatu
perjanjian klausul arbitrase dalam PPJB berarti meniadakan hak para pihak untuk
Ada dua teori mengenai kekuatan berlakunya perjanjian arbitrase, yaitu :113
1. Teori yang menyatakan perjanjian arbitrase bukan public policy. dalam hal ini
berwenang mengadili sejauh tidak ada eksepsi dari pihak lawan, karena
klausula arbitrase bukanlah open baar orde (Klausul arbitrase terkait dengan
pula pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak. Ada dua bentuk perjanjian
112
Madjedi Hasan, Membuat Konsep Klausula Arbitrase, Indonesia Arbitration Quarterly
Newletter, Nomor 7/2009, Badan Arbitrase Indonesia, 2009, hlm. 20
113
Ibid, hlm. 35
yang mungkin timbul melalui forum arbitrase. Perjanjian ini melekat pada suatu
perjanjian yang dibuat para pihak, seperti di dalam PPJB yang dibuat antara
developer dengan konsumen. Oleh karena perjanjian ini merupakan bagian dari suatu
perjanjian tertentu, maka perjanjian ini disebut sebagai klausula arbitrase. Pada
saat para pihak mengikatkan diri dan menyetujui klausula arbitrase sama sekali belum
mengantisipasi perselisihan yang mungkin timbul pada yang akan datang. Jadi,
sebelum terjadi perselisihan para pihak telah bersepakat dan mengikatkan diri untuk
menyelesaikan perselisihan yang akan terjadi oleh arbitrase.114 Klausul arbitrase tidak
Bentuk perjanjian yang kedua adalah akta kompromis, Akta kompromis ini
dibuat setelah timbul perselisihan antara para pihak. Setelah para pihak
perselisihan. Sedang sebelumnya, baik dalam perjanjian ataupun akta tersendiri, tidak
diadakan perjanjian atau klausul arbitrase. Dalam PPJB yang dibuat antara developer
melalui forum arbitrase atau ada klausul yang tidak lengkap ataupun tidak cermat,
114
M. Yahya Harahap, op.cit, hlm. 65
115
Ibid, hlm. 66
arbitrase atau ada klausul yang tidak lengkap maupun tidak cermat baru diikat dan
penyelesaian sengketa yang disepakati para pihak melalui arbitrase dan tidak melalui
jalur pengadilan tidak sia-sia dilakukan. Artinya, pilihan tersebut dapat diterapkan
secara efektif. Klausul arbitrase yang demikian dapat dilihat pada kontrak antara PT.
PASAL 12
Dalam klausul PPJB diatas, terlihat secara jelas dan lengkap mengenai
diantaranya adalah forum yang akan menyelesaikan sengketa yaitu BANI, standart
klausul arbitrase yang mengarah pada arbitrase institusional, tempat arbitrase yang
diselenggarakan dikantor BANI Jakarta, pilihan hukum yang akan diterapkan adalah
hukum di Indonesia, komposisi majelis arbitrase yang terdiri atas 3 susunan majelis
arbiter, bahasa dalam proses arbitrase yang digunakan adalah Bahasa Indonesia, serta
biaya arbitrase yang ditanggung oleh kedua belah pihak. Dengan jelas dan lengkap
klausul arbitrase yang termuat dalam PPJB tersebut maka penerapannya dapat efektif
dilakukan dan tidak ada celah dari salah satu pihak untuk tidak membawa
penyelesaian sengketa ini melalui arbitrase yang telah dipilih. Pada akhirnya
A. Kesimpulan
(akta van compromis) dengan menentukan jenis arbitrase yang bersifat ad-hoc
aturan tentang prosedur arbitrase ad-hoc dapat disusun oleh para pihak sendiri
atau oleh majelis arbitrase atau kombinasi diantara keduanya. Arbitrase ad-hoc
bersifat sementara dan berakhir pada saat dijatuhkannya putusan atas sengketa
bersifat permanen dan para pihak tidak dapat secara bebas mengatur prosedur
yang bersifat mengatur arbitrase tersebut. Jika para pihak telah mencantumkan
BANI sebagai lembaga arbitrase yang akan menangani sengketa maka ketentuan-
ketentuan arbitrase BANI berlaku bagi mereka, baik mengenai pemilihan arbiter,
tata cara pelaksanaan arbitrase, biaya yang harus dibayar, dan lain-lain.
119
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa serta dibuat secara cermat dan
teliti, yang sedikitnya terdapat 9 (Sembilan) elemen yang harus disepakati oleh
para pihak yaitu forum yang akan menyelesaikan sengketa, standart klausul
masa yang akan datang. Perjanjian ini tidak mempersoalkan masalah pelaksanaan
sengketa yang akan terjadi ke lembaga arbitrase yang telah disepakati sebelum
PPJB tersebut, dengan disusunnya klausul arbitrase secara lengkap, jelas, dan
arbitrase dan biaya arbitrase. Pelaksanaan klausul arbitrase pada PPJB yang
arbitrase secara lengkap, jelas dan cermat, maka mereka dapat membuat
B. Saran
dibuat secara tegas dan jelas dengan memperhatikan pilihan lembaga arbitrase
arbitrase yang sudah dipilih para pihak hendaknya melaksanakan tugas dan
fungsi sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan dalam klausul arbitrase
sengketa antara developer dan konsumen serta pihak yang kalah dapat secara
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Kencana, Jakarta, 2009.
Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.
Budiarjo, Meriam, Aneka Hukum Bisnis, Graha Cipta, Bandung, 1999.
Bungin, Burhan, Analisa Data Penelitan, Pemahaman Filosofis, dan Metodologi
Kearah Pengusaha Modal Aplikasi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.
Dewanto, Latip, Yansen, Pelatihan Hukum dan Pilihan Forum dalam Kontrak
Internasional, FH UI, Jakarta, 2002.
Good Pasters, Gerry, Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa, Seri Dasar Hukum
Ekonomi Arbitrase di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2001.
123
Syahrani, Ridwan, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Adita Bakti, Bandung,
1999.
Yahya, M. Harahap, Arbitrase Ditinjau Dari Rv. BANI, ICSID, Konvensi New York
1958, Pustaka Kartini, Jakarta, 1990.