Anda di halaman 1dari 140

PENCANTUMAN KLAUSUL ARBITRASE DAN AKIBAT

HUKUMNYA PADA KONTRAK ANTARA


DEVELOPER DAN KONSUMEN

TESIS

Oleh

MHD. ARIF SYAHPUTRA PANJAITAN


137011133 /M.Kn

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016

Universitas Sumatera Utara


PENCANTUMAN KLAUSUL ARBITRASE DAN AKIBAT
HUKUMNYA PADA KONTRAK ANTARA
DEVELOPER DAN KONSUMEN

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada


Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara

Oleh

MHD. ARIF SYAHPUTRA PANJAITAN


137011133 /M.Kn

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
Telah diuji pada :
Tanggal : 03 Februari 2016

PANITIA PENGUJI TESIS


Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
Anggota : 1. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum
2. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum
3. Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn
4. Dr. Dedi Harianto, SH, M.Hum

Universitas Sumatera Utara


SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :


Nama : MHD. ARIF SYAHPUTRA PANJAITAN
Nim : 137011133
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : PENCANTUMAN KLAUSUL ARBITRASE DAN
AKIBAT HUKUMNYA PADA KONTRAK ANTARA
DEVELOPER DAN KONSUMEN

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.

Medan,
Yang membuat Pernyataan

Nama : MHD. ARIF SYAHPUTRA PANJAITAN


Nim : 137011133

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Pencantuman klausul arbitrase yang komprehensif dalam tesis ini


dimaksudkan adalah klausul atau ketentuan arbitrase yang disusun dengan
memasukkan seluruh unsur-unsur penting yang diperlukan dan memenuhi standar
nasional seperti yang termuat di dalam UU. No 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa. Penyusunan isi klausul arbitrase secara
komprehensif dalam arti dapat memenuhi standar nasional, sangat diperlukan agar
instrumen penyelesaian sengketa yang disepakati para pihak yakni melalui arbitrase
dan tidak melalui jalur pengadilan, tidak sia-sia dilakukan. Dengan demikian,
pilihan tersebut dapat diterapkan secara efektif.
Jenis penelitian ini adalah penelitian dengan menggunakan metode yuridis
normatif. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka,
dimana bahan atau data yang diperoleh akan disusun secara sistematis dan dianalisa
dengan menggunakan prosedur logika ilmiah yang sifatnya kualitatis. Hasil penelitian
diharapkan akan dapat menjawab permasalahan yang diteliti, dan pada akhirnya akan
dapat memberikan saran dan solusi terhadap permasalahan tersebut.
Penelitian ini kemudian menghasilkan beberapa kesimpulan yaitu
Pencantuman klausul arbitrase yang komprehensif adalah memasukkan seluruh
unsur-unsur penting yang termuat dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa serta dibuat secara cermat dan teliti, yang
sedikitnya terdapat 9 (Sembilan) elemen yang harus disepakati oleh para pihak
yaitu forum yang akan menyelesaikan sengketa, standart klausul arbitrase, tempat
arbitrase, pilihan forum yang diterapkan, komposisi majelis arbitrase, bahasa
dalam proses arbitrase, putusan akhir yang mengikat, pelaksanaan putusan
arbitrase dan biaya arbitrase. Pelaksanaan klausul arbitrase antara developer dan
konsumen adalah pelaksanaan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis
oleh developer dan konsumen sebelum timbulnya sengketa atau sesudah timbulnya
sengketa, pelaksanaan klausul arbitrase didasarkan pada klausul-klausul arbitrase
yang disusun secara lengkap, jelas dan cermat. Dalam pelaksanaan klausul
arbitrase yang komprehensif terdapat unsur-unsur klausul yang mengaturnya yakni;
kesepakatan para pihak untuk melaksanakan arbitrase, penetapan bentuk arbitrase,
tempat diadakannya arbitrase, pilihan subtantif, bahasa dalam proses arbitrase dan
komitmen para pihak untuk menjankan semua klausul arbitrase dengan itikad baik.
Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini, disarankan
pencantuman klausul arbitrase hendaknya dibuat secara hati-hati dengan
memperhatikan standar nasional yang ada agar tidak terjadi hambatan-hambatan
dalam pelaksanaannya sehingga tujuan para pihak dalam pemilihan forum melalui
arbitrase dapat terwujud.

Kata Kunci : Klausul Arbitrase, Akibat Hukum, Konsumen, Developer.

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

The inclusion of comprehensive arbitration clauses in this thesis is the


arbitration clauses or provisions which are arranged by putting in all the important
elements needed and fulfilled the national standards as stipulated in Law No.30/1999
on Arbitration and Alternative in settling conflicts. The arrangement of the contents
badly needed so that the instruments to settle the conflicts are approved by the
parties; namely, through arbitration, not from the court, is not useless. Consequently,
the choice can be implemented effectively.
The research used judicial normative method. The data were collected
through the library studies where the materials or data obtained were systematically
arranged and analyzed by using the qualitative scientific logic procedures. The
results were expected to be able to answer the problems end, to give suggestions and
solutions to the problems.
Some conclusions; namely, the inclusion of comprehensive arbitration clauses
all the important elements stated in the Law No.30/1999 about arbitration and
alternatives to settle conflicts were cautiously and carefully made. There were at
least nine elements which should be approved by the parties; namely, the forum to
settle the conflicts, the standard of arbitration clause, the location of arbitration, the
choice of forum implemented, the composition of arbitration board, the language of
arbitration process, the final binding verdict, the implementation of the verdict on
arbitration, and cost of arbitration. The implementation of arbitration clauses
between the developer and consumer was the implementation made in written by the
developer and consumer before or after the conflicts occur. The implementation of
arbitration clauses was based on the arbitration clauses arranged completely,
clearly, and cautiously. In the implementation of comprehensive arbitration clauses,
there were elements of clauses which stipulated, namely the parties agreement to
carry out the arbitration, decision of form af arbitration, location of arbitration,
substantive choices, language of arbitration process, and the parties commitment to
implement all the arbitration clauses with good manner.
It is suggested that the inclusion of comprehensive arbitration be carefully made by
looking at the existing national standard so that no obstacle exists in the
implementation, and consequently, the parties objective to choose the forum through
the arbitration can be realized.

Keywords: Arbitration Clause, Legal Consequence, Consumer, Developer.

ii

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan dan
kemudahan sehingga Penulis dapat menyelesaikan penelitian tesis ini yang berjudul
“PENCANTUMAN KLAUSUL ARBITRASE DAN AKIBAT HUKUMNYA
PADA KONTRAK ANTARA DEVELOPER DAN KONSUMEN”
Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam
menyelesaikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
Dalam kesempatan ini dengan kerendahan hati, Penulis menyampaikan
ucapan terimakasih yang tulus kepada :
1. Bapak Prof. Subhilhar, MA, PhD, selaku Pejabat Rektor Universitas Sumatera
Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis untuk
mengikuti pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Studi
Magister Kenotariatan pada Fakultah Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program
Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan
sekaligus pembimbing I yang telah memberikan perhatian, dukungan dan
masukan kepada Penulis .
4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program
Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus
pembimbing II yang telah memberikan perhatian, dukungan dan masukan kepada
Penulis.
5. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum, selaku dosen pembimbing III yang
telah memberikan perhatian, dukungan dan masukan kepada Penulis.

iii

Universitas Sumatera Utara


6. Almarhum Bapak Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn, selaku dosen penguji
yang telah memberikan perhatian, dukungan dan masukan kepada Penulis hingga
akhir hayat beliau tiba dalam proses penulisan tesis ini.
7. Bapak Dr. Dedi Harianto, SH, M.Hum, selaku dosen penguji saya yang telah
memberikan saran dan kritik yang membangun kepada Penulis.
8. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH, MHum, selaku dosen penguji saya yang telah
memberikan saran dan kritik yang membangun kepada Penulis.
9. Para Dosen pada program studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara atas jasa-jasanya dalam memberikan ilmu
pengetahuan yang tanpa lelah pada masa perkuliahan.
10. Para staf dan pegawai di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
11. Kepada yang terhormat dan terkasih kedua orang tua, ayah saya Ramadhan
Panjaitan dan ibu saya Hj. Latifah Hanum Damanik yang dengan penuh
perjuangan selalu mendoakan, membesarkan dan mendukung serta mendidik
yang terbaik sehingga Penulis dapat sampai pada jenjang ini.
12. Kepada yang terhormat dan terkasih kedua mertua, ayah mertua saya D.M Azhar
Sitorus dan ibu mertua Darma Khamsiah Panjaitan yang memberikan doa dan
semangat dalam penulisan tesis ini.
13. Kepada yang terkasih, tersayang, dan tercinta istri saya sepanjang masa Anggi
Pratiwi Sitorus, SE.I yang senantiasa turut aktif membantu, menemani serta
menyelesaikan tesis ini dan untuk calon anakku tersayang yang masih dalam
kandungan usia 4 bulan, dua insan yang menjadi motivasi terbesarku untuk
menyelesaikan tesis ini. Thankyou so deep, sayang.
14. Kepada kakak saya Siti Khadijah Panjaitan yang telah memberikan semangat
serta bantuan lainnya kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan studi ini.
15. Kepada keluarga besar Mahasiswa-Mahasiswi Program Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Angkatan 2013 terkhusus group C

iv

Universitas Sumatera Utara


yang tidak dapat disebutkan satu persatu, semoga kita semua sukses selalu.
Amin.
Kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan perhatiannya
sehingga Penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan penulisan tesis ini Penulis
menyadari tesis ini masih jauh dari kesempurna, namun diharapkan semoga tesis ini
dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Medan, Februari 2016


Penulis

MHD. ARIF S. PANJAITAN


NIM.137011031

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama : Mhd Arif Syahputra Panjaitan


Tempat/Tanggal lahir : Medan, 23 Oktober 1987
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Menikah
Agama : Islam
Alamat : Jl. Garuda, Komplek Garuda Village Blok B No. 18
Medan Kelurahan Sei Kambing, Kecamatan Medan
Sunggal, Kota Medan.

II. KELUARGA
Nama Ayah : Ramadhan Panjaitan
Nama Ibu : Hj. Latifah Hanum Damanik

III. PENDIDIKAN

1. SD Negeri Nomor 060844 Medan (1996-2001)


2. SMP Swasta Pertiwi (2001-2003)
3. SMA Swasta Dharmawangsa Medan (2003-2005)
4. S-1 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Medan (2005-
2009)

5. S-2 Program Studi Magister Kenotariatan (MKn) Fakultas Hukum Universitas


Sumatera Utara (2013-2015)

vi

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ............................................................................................................ i
ABSTRACT ........................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................ vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................... vii
DAFTAR ISTILAH ASING ................................................................................ ix
DAFTAR SINGKATAN ...................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................ 11
C. Tujuan Penelitian ......................................................................... 11
D. Manfaat Penelitian ....................................................................... 12
E. Keaslian Penulisan ....................................................................... 12
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ...................................................... 14
1. Kerangka Teori ..................................................................... 14
2. Kerangka Konsepsi ............................................................... 19
G. Metode Penelitian.......................................................................... 21
1. Sifat dan Jenis Penelitian ...................................................... 21
2. Sumber dan Data Penelitian .................................................. 22
3. Teknik Pengumpulan Data .................................................... 23
4. Analisis Data ......................................................................... 24
BAB II MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI
LEMBAGA ARBITRASE ................................................................ 26

A. Kewenangan Absolut Lembaga Arbitrase ................................... 26


B. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) ............................. 40
C. Badan Arbitrase Syariah Nasional Indonesia (BASYARNAS).... 50

vii

Universitas Sumatera Utara


D. Arbitrase Ad-Hoc ......................................................................... 53
E. Pengangkatan Arbiter Menurut UU No. 30 Tahun 1999 ............. 54
F. Proses Penegakan Hukum Arbitrase ............................................. 59
G. Tahapan dalam Proses Arbitrase................................................... 65
H. Pengaturan Hukum Pelaksanaan Putusan Arbitrase ................... 72
I. Upaya Hukum Terhadap Putusan Arbitrase ................................. 80
J. Berakhirnya Tugas Arbiter ........................................................... 83
BAB III PENCANTUMAN KLAUSUL ARBITRASE YANG
KOMPREHENSIF ANTARA DEVELOPER DAN KONSUMEN 85

A. Pengertian Klausul Arbitrase yang Komprehensif ....................... 85


B. Unsur-unsur Klausul Arbitrase yang Komprehensif .................... 87
BAB IV PELAKSANAAN KLAUSUL ARBITRASE ANTARA
DEVELOPER DAN KONSUMEN ................................................... 103
A. Klausul Arbitrase sebagai Pelengkap Perjanjian Pokok Antara
Developer dan Konsumen ............................................................ 103
B. Klausul Arbitrase dalam PPJB Sebagai Basis Arbitrase .............. 105
C. Klausul Arbitrase Yang Tidak Cermat dalam PPJB .................... 108
D. Akibat Penyusunan Klausul Arbitrase Yang Tidak Cermat ........ 111
E. Penerapan Secara Rinci Unsur-unsur Arbitrase yang
Komprehensif................................................................................ 117

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 119


A. Kesimpulan .................................................................................. 119
B. Saran ............................................................................................. 121
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 123

viii

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISTILAH ASING

Akta van compromis : Kesepakatan yang dibuat setelah timbul


sengketa

Arbitrase award : Eksekusi putusan arbitrase

Choice of law by the parties : Para pihak yang menentukan sendiri hukum
yang akan berlaku dalam penyelesaian
sengketa

Deponir : Tindakan penyerahan dan pendaftaran


putusan arbitrase di Pengadilan Negeri

Dubius : Perbedaan penafsiran atau perbedaan


pengertian

Dwingenderegels : Hukum yang bersifat memaksa

Eenmalig : Arbitrase yang bersifat sekali pakai

Eigenrichting is verboden : Pencegahan agar setiap orang tidak menjadi


hakim sendiri

Niet van openbar orde : Klausul arbitrase terkait dengan bukan


ketertiban umum

Pacta sunt servanda Kontrak yang merupakan undang-undang


bagi para pihak yang membuatnya

Pactum de compromittendo : Kesepakatan yang dibuat sebelum timbul


sengketa

Rechtzekerheid : Kepastian hukum

ix

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR SINGKATAN

ADR : Alternatife Dispute Resolution


BANI : Badan Arbitrase Nasional Indonesia
BASYARNAS : Badan Arbitrase Syariah Nasional
ICC : International Chamber and Commerce
KPPU : Komite Pengawas Persaingan Usaha
PPA : Peraturan Prosedur Arbitrase
PPJB : Perjanjian Pengikatan Jual Beli
YLKI : Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada era globalisasi, perkembangan dunia usaha semakin pesat,

perkembangan dunia usaha tersebut juga sejalan dengan disusulnya pertumbuhan

bisnis dalam industri perumahan dimana perusahaan-perusahaan pengembang

(developer) sangat banyak bermunculan.

Pada saat sekarang ini telah berkembang kebiasaan pemasaran perumahan

dengan rumah-rumah yang dipasarkan tersebut belum selesai dibangun, bahkan tidak

jarang terjadi pada saat masih direncanakan, hal tersebut diatas ditempuh berdasarkan

pertimbangan ekonomi yaitu1:

1. Bagi perusahaan pengembang, guna memperlancar perolehan dana rumah dan

kepastian pasar.

2. Bagi pembeli atau konsumen agar harga jual rumah lebih rendah karena calon

pembeli membayar sebagian dimuka.

Langkah-langkah yang ditempuh perusahaan pengembang (developer) dan

konsumen tersebut diatas menimbulkan adanya jual beli secara pesan lebih dahulu,

sehingga menyebabkan adanya perjanjian jual beli pendahuluan (preliminary

1
N.T.H Siahaan, Hukum Perlindungan Konsumen dan Tanggungjawab Produk, Pantai Rei,
Jakarta, 2005, hlm. 5

Universitas Sumatera Utara


2

purchase), yang selanjutnya dituangkan dalam akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli

(PPJB) rumah.2

Adalah suatu realita dalam menjaga keberlangsungan roda perekonomian

dalam negeri peranan konsumen cuku1\O651`p penting, tetapi ironisnya sebagai

salah satu perilaku ekonomi dalam hal perlindungan hukum dan hak-hak konsumen,

posisi konsumen sangat lemah hal ini karena pada umumnya konsumen dalam

pembelian rumah adalah dengan cara kredit, artinya konsumen belum melihat rumah

yang mereka beli secara nyata baik fisik bangunan dan mutu bangunan yang

diperjanjikan oleh pihak developer.

Salah satu bukti permasalahan yang terjadi antara developer dengan

konsumen dapat dilihat jika terjadi pengaduan pelanggaran hak-hak individual dan

pelanggaran hak-hak kolektif konsumen perumahan.

Dari jenis pengaduan konsumen perumahan yang sampai pada Yayasan

Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) secara umum ada dua yakni 3 :

1. Pengaduan konsumen perumahan sebagai akibat telah terjadinya pelanggaran


hak-hak individual konsumen perumahan seperti mutu bangunan dibawah
standar, ukuran surat tanah tidak sesuai dan lain-lain.
2. Pengaduan konsumen perumahan sebagai akibat pelanggaran hak-hak kolektif
konsumen perumahan, seperti tidak dibangunnya fasilitas sosial umum,
sertifikasi rumah fiktif, banjir dan soal kebenaran klaim/informasi dalam
iklan, brosur dan pameran perumahan.

2
Ibid, hlm. 2
3
Shofie Yusuf, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2009, hlm. 23

Universitas Sumatera Utara


3

Dalam suatu perjanjian biasanya sudah dirumuskan ketentuan mengenai

pilihan forum penyelesaian sengketa yaitu cara yang ditempuh oleh para pihak ketika

diantara mereka dikemudian hari terjadi konflik atau sengketa.

Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) rumah, maka pencantuman

klausul arbitrase yang komprehensif sangat penting pada kontrak antara developer

dan konsumen, agar kemungkinan sengketa di kemudian hari dapat terselesaikan

dengan tepat, cepat dan memberikan solusi yang menguntungkan bagi kedua belah

pihak.

Lembaga arbitrase yang dipilih oleh developer dan konsumen sebagai pilihan

forum penyelesaian sengketa diantara mereka, pada dasarnya mempunyai beberapa

keunggulan dibanding dengan melalui pengadilan, beberapa keunggulan yang ada

antara lain:4

1. Lebih bersifat konfidensial, sehingga tidak merugikan reputasi


perusahaan yang bersangkutan;
2. Lebih cepat dan murah, karena dapat dihindari aspek prosedural dan
administratif birorkatis;
3. Pembuktian yang rileks dan mempunyai prinsip “ Win-win solution “
4. Lebih terjamin kepastian hukumnya, karena para arbiter dipilih atas
persetujuan kedua belah pihak yang bersengketa yang diyakini para pihak
mempunyai pengetahuan, pengalaman yang memadai dan akan berlaku
jujur dan adil;
5. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan
sengketanya, demikian juga mengenai proses serta tempat
penyelenggaran arbitrase;
6. Putusan arbitrase final dan binding (mengikat) artinya putusan tersebut
harus secara sukarela dilaksanakan dan tidak ada upaya hukum lain baik
banding maupun kasasi;

4
Munir Fuady, Arbitrase Nasional; Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Bandung; Citra
Aditya Bakti, 2000, hlm. 42.

Universitas Sumatera Utara


4

7. Prosedur/proses arbitrase lebih mudah dimengerti oleh masyarakat luas;


dan
8. Menutup kemungkinan untuk dilakukan “ Forum Shopping”

Disamping kelebihan-kelebihan tersebut diatas, menurut Sudiarto dan Zaeni

Asyhadie ada beberapa pertimbangan yang melandasi para pihak untuk memilih

arbitrase sebagai upaya penyelesaian perselisihan mereka, pertimbangan tersebut

adalah sebagai berikut5 :

1. Ketidakpercayaan para pihak pada pengadilan negeri


Sebagaimana diketahui, penyelesaian sengketa melalui pengadilan akan
menghabiskan jangka waktu yang relatif panjang. Hal ini disebabkan
biasanya melalui pengadilan umum akan melalui berbagai tingkatan, yaitu
Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, bahkan bisa sampai ke Mahkamah
Agung. Disamping itu dijumpai adanya tunggakan perkara-perkara yang
menyebabkan semakin lamanya penyelesaian perkara di pengadilan,
dengan demikian dapatlah dimengerti mengapa jalur lewat pengadilan
tidaklah menguntungkan bagi dunia bisnis.
2. Prosesnya Cepat
Sebagai suatu proses pengambilan keputusan, arbitrase memerlukan
waktu sekitar 60 (enam puluh) hari sehingga prosesnya relatif cepat,
terutama jika para pihak beritikad baik.
3. Penyelesaian sengketa di pengadilan akan mencari siapa yang salah dan
siapa yang benar, dan hasilnya akan dapat merenggangkan hubungan
developer dengan konsumen, sedangkan putusan melalui arbitrase
dianggap dapat melahirkan putusan yang kompromistis yang dapat
diterima oleh kedua belah pihak yang bersengketa.

Selanjutnya dapat dikemukakan bahwa penyelesaian sengketa melalui

arbitrase harus didasarkan pada perjanjian arbitrase baik berupa klausul arbitrase

yang tercantum dalam perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul

sengketa, maupun suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah

timbul sengketa

5
Ibid, hlm. 56

Universitas Sumatera Utara


5

Pada kenyataannya tidak mudah merumuskan klausul arbitrase dalam

perjanjian. Pencantuman klausul yang tidak komprehensif menimbulkan kendala-

kendala dalam penerapannya sehingga tidak memenuhi tujuan dan harapan oleh para

pihak.

Perlu diketahui bahwa tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui

lembaga arbitrase, dalam ketentuan pasal 5 ayat 1 dan ayat 2 UU. No 30 Tahun 1999

tentang Arbitarse dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang mulai berlaku tanggal

12 agustus 1999, secara jelas disebutkan bahwa :

Pasal 5

(1) Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa


dibidang perdagangan dan mengenai hal yang menurut hukum dan
peraturan perundang–undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa
(2) Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitase adalah sengketa
yang menurut peraturan perundang–undangan tidak diadakan perdamaian.

Selanjutnya walaupun penyelesaian sengketa melalui arbitrase harus

didasarkan pada perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak, dalam realisasinya

masih banyak didengar berbagai permasalahan didalam penerapan atau eksekusi

putusan arbitrase (arbitrase award). Permasalahan yang timbul selain disebabkan

oleh sistem pengadilan nasional, pada umumnya disebabkan karena rumusan klausul

arbitrase yang dibuat oleh para pihak tidak memberikan kejelasan atau dibuat dengan

sangat sederhana atau dengan kata lain tidak komprehensifnya klasul yang tercantum

dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Keadaan yang demikian dapat

merugikan developer dan konsumen, karena sengketa mereka menjadi berlarut-larut

Universitas Sumatera Utara


6

penyelesainnya sampai kedua pihak dapat menyepakati jalan keluar dari sesuatu hal

yang tidak jelas yang terdapat dalam perjanjian yang mereka buat. 6

Kewenangan dan kekuatan hukum lembaga arbitrase terhadap putusannya

menurut UU Nomor 30 Tahun 1999 adalah putusan yang bersifat final, mempunyai

kekuatan hukum tetap, dan mengikat para pihak yang bersengketa, namun faktanya

lembaga arbitrase tidak memiliki kewenangan untuk melakukan eksekusi atau tidak

memiliki kekuatan eksekutorial terhadap putusan yang dibuatnya sendiri, sehingga

putusan tersebut tidak benar-benar mandiri dan sangat tergantung pada kewenangan

eksekutorial dari pengadilan negeri. Hal ini disebabkan oleh syarat yang diatur dalam

UU No. 30 Tahun 1999 itu sendiri, seperti dalam pasal 59 s/d pasal 64 untuk putusan

arbitrase nasional, dan pasal 65 s/d pasal 69 untuk putusan arbitrase internasional.7

Klausul arbitrase yang tercantum dalam perjanjian yang dibuat para pihak

berdasarkan persetujuan mereka tersebut dapat dituangkan dalam perjanjian pokok

atau dalam perjanjian tersendiri yang terpisah, dan setiap perjanjian arbitrase harus

dibuat dalam bentuk tertulis.

Klausul arbitrase harus dirumuskan secara jelas, tidak perlu panjang atau

rumit. Klausul yang jelas, lengkap dan terperinci merupakan konsep dari Erman

Radjagukguk yang disebut dengan klausul arbitrase yang komprehensif yang memuat

6
M. Yahya Harahap, Arbitrase Ditinjau Dari Rv. BANI, ICSID, Konvensi New York 1958,
Pustaka Kartini, Jakarta, hlm. 47
7
Ibid., hlm. 48

Universitas Sumatera Utara


7

syarat-syarat arbitrase, menentukan apakah akan berlangsung suatu arbitrase,

bagaimana dilaksanakannya, hukum substantif apa yang berlaku, dan lain-lain.8

Perumusan klausul arbitrase yang komprehensif akan menghindari berbagai

hambatan dalam pelaksanaan arbitrase. Klausul arbitrase yang lengkap mencakup (1)

komitmen para pihak untuk melaksanakan arbitrase. (2) Ruang lingkup arbitrase, (3)

bentuk arbitrase yang dipilih, (4) aturan prosedural yang berlaku, (5) tempat dan

bahasa yang digunakan, (6) pilihan hukum substansif yang berlaku, dan (7) klausul-

klasul stabilitasi dan kekebalan.9

Pengaturan secara komprehensif dalam klausul-klausul arbitrase merupakan

basis bagi arbitrase sebagai amat menentukan bagi terwujudnya arbitrase artinya tidak

ada satu klausul arbitrase yang lengkap yang dapat digunakan untuk semua

perselisihan yang akan diselesaikan melalui arbitrase, selalu saja ada hal-hal yang

spesifik untuk transaksi tertentu sehingga perlu dirundingkan klausul yang paling

tepat.

Peranan klausul arbitrase dalam kontrak antara developer dan konsumen

adalah sebagai pelengkap perjanjian pokok dan sebagai basis arbitrase yang menjadi

dasar segala wewenang para arbiter untuk memutuskan persoalan sengketa yang

bersangkutan. Jika klausul tidak disusun secara cermat dan jelas maka akan nampak

sebagai “nonsense clause” atau bersifat mendua (ambiguity).10

8
Erman Radjagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, Candra Pratama, Jakarta, 2001.
hlm 30
9
Ibid, hlm. 35
10
M. Yahya Harahap, op.cit, hlm. 49

Universitas Sumatera Utara


8

Developer dan konsumen bebas membuat bentuk perjanjian, bebas

menentukan isi, berlakunya dan syarat-syarat perjanjiannya sebagaimana yang telah

dijamin dalam pasal 1338 KUH Perdata yang memberikan justifikasi asas kebebasan

berkontrak dengan menegaskan semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dalam hukum perjanjian

prinsip ini lazim disebut asas kekuatan mengikat.

Hukum yang dipilih para pihak dalam perjanjian arbitrase harus dihormati dan

ditegakkan. Apa yang dipilih oleh para pihak, waktu mereka mengadakan kontrak dan

persetujuan untuk menyelesaikan sengketa perselisihan dengan melalui arbitrase

harus ditaati dan dijalankan.

Namun dalam praktek, developer dan konsumen dalam membuat klausul

arbitrase sangat sumir dan tidak lengkap bahkan menimbulkan penafsiran ganda

sehingga pada akhirnya masalah tidak dapat dibawa dan diselesaikan di lembaga

arbitrase.

Sebagai contoh, dalam Peraturan Prosedur Arbitrase Badan Arbitrase

Nasional Indonesia (BANI), khususnya pada BAB III, pasal 7 ayat 2 dikatakan

bahwa: “Badan Pengurus BANI akan memeriksa permohonan tersebut untuk

menentukan apakah perjanjian arbitrase atau klausul arbitrase dalam kontrak telah

cukup memberikan dasar kewenangan bagi BANI untuk memeriksa sengketa

tersebut”.

Seandainya pencantuman klausul tersebut tidak dibuat secara jelas, lengkap

dan cermat tentunya lembaga arbitrase sebagai pilihan forum dalam penyelesaian

Universitas Sumatera Utara


9

sengketa antara developer dengan konsumen menjadi sia-sia yang pada akhirnya akan

kembali menjadi kompetensi Lembaga Peradilan Umum.

Arbitrase berasal dari bahasa latin yang berarti kekuasaan untuk

menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan.11 Arbitrase merupakan suatu tindakan

hukum dimana ada pihak yang menyerahkan sengketa atau selisih pendapat antara

dua orang atau lebih maupun dua kelompok atau lebih kepada seorang atau beberapa

ahli yang disepakati bersama dengan tujuan memperoleh suatu keputusan final dan

mengikat.12

Seorang arbiter merupakan seorang hakim swasta bagi para pihak yang

dipilihnya berdasarkan kesepakatan bersama untuk menyelesaikan sengketa diantara

mereka. Sebutan arbiter dipakai karena mereka yang diberi wewenang untuk melerai

dan para pihak wajib taat pada putusan arbitrase.13

Beberapa sarjana dan peraturan perundang-undangan serta prosedur badan

arbitrase yang ada memberikan definisi arbitrase sebagai berikut :

Arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim

atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk kepada atau

akan mentaati keputusan para hakim yang mereka pilih.14

Menurut peraturan prosedur Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI),

Arbitrase adalah penyelesaian sengketa yang timbul dalam hubungan perdagangan,


11
M.Husyein Umar dan A.Supriyani Kardono, Hukum dan Lembaga Arbitrase di Indonesia,
Jakarta, 1995, hlm. 2
12
Priyatna Abdurrasyid, Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional di Luar
Pengadilan, Makalah Seminar Nasional Hukum Bisnis, FH UKSW, Semarang, 1996. hlm. 37
13
Ibid, hlm. 38
14
Ibid, hlm. 39

Universitas Sumatera Utara


10

industri, keuangan jasa serta memberikan suatu pendapat yang mengikat tanpa adanya

suatu sengketa mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian.

Menurut undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum pasal (1) huruf 1, arbitrase adalah cara

penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada

perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. 15

Berdasarkan pengertian arbitrase diatas menunjukkan unsur-unsur yang sama

yaitu, arbitrase merupakan salah satu bentuk perjanjian, perjanjian arbitrase harus

dibuat dalam bentuk tertulis, adanya kesepakatan untuk menyerahkan penyelesaian

sengketa baik yang akan terjadi maupun yang telah terjadi kepada seorang atau

beberapa orang pihak ketiga diluar peradilan umum untuk diputuskan.

Adapun asas-asas arbitrase, yaitu: 16

1. Asas kesepakatan, artinya kesepakatan para pihak untuk menunjuk


seorang atau beberapa orang arbiter.
2. Asas musyawarah, yaitu setiap perselisihan diupayakan untuk
diselesaikan secara musyawarah, baik antara arbiter dengan para pihak
maupun antara arbiter itu sendiri.
3. Asas limitatif, artinya adanya pembatasan dalam penyelesaian
perselisihan melalui arbitrase, yaitu terbatas pada perselisihan-
perselisihan di bidang perdagangan dan hak-hak yang dikuasai
sepenuhnya oleh para pihak.
4. Asas Final and Binding, yaitu suatu putusan arbitrase bersifat putusan
akhir dan mengikat yang tidak dapat dilanjutkan dengan upaya hukum
lain, seperti banding, kasasi dan peninjauan kembali. Asas ini pada
prinsipnya sudah disepakati oleh para pihak dalam klausa atau perjanjian
arbitrase

15
Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
16
Yahya Harahap, Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, BPHN, Jakarta, 1996, hlm.75

Universitas Sumatera Utara


11

Sehubungan dengan asas-asas tersebut, tujuan arbitrase itu sendiri adalah

untuk menyelesaikan perselisihan dalam bidang perdagangan dan hak dikuasai

sepenuhnya oleh para pihak, dengan mengeluarkan suatu putusan yang cepat dan adil.

Tanpa adanya formalitas atau prosedur yang berbelit-belit yang dapat menghambat

penyelesaian perselisihan.17

Berdasarkan dari uraian diatas, menjadi hal yang menarik untuk diangkat

dalam penelitian tesis yang berjudul “ Pencantuman Klausul Arbitrase dan Akibat

Hukumnya Pada Kontrak Antara Developer dengan Konsumen”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian singkat pada latar belakang tersebut diatas maka dapat

dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase?

2. Bagaimana pencantuman klausul arbitrase yang komprehensif dalam PPJB

antara Developer dan Konsumen?

3. Bagaimana pelaksanaan klausul arbitrase antara Developer dan Konsumen?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan diatas maka tujuan yang

hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui mekanisme penyelesaian sengketa melalui lembaga

arbitrase

17
Ibid, hlm. 76

Universitas Sumatera Utara


12

2. Untuk mengetahui pencantuman klausul arbitrase yang komprehensif dalam

PPJB antara Developer dan Konsumen

3. Untuk mengetahui pelaksanaan klausul arbitrase antara Developer dan

Konsumen

D. Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian dan manfaat penelitian merupakan satu rangkaian yang

hendak dicapai bersama, dengan demikian dari penelitian ini diharapkan dapat

memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan memberikan masukan bagi ilmu

pengetahuan khususnya hukum perjanjian di Indonesia.

2. Secara praktis penelitian ini dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi para

pelaku usaha khususnya developer dan konsumen agar terus dapat

menciptakan suasana yang harmonis dalam kaitannya dengan perdagangan

perumahan.

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan informasi pemeriksaan dan penelusuran kepustakaan yang ada di

Lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya pada sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul

“Pencantuman Klausul Arbitrase dan Akibat Hukumnya Pada Kontrak Antara

Developer dengan Konsumen” belum ada yang membahas sehingga tesis ini dapat

dipertanggungjawabkan keasliannya secara akademis. Meskipun terdapat peneliti-

Universitas Sumatera Utara


13

peneliti yang terdahulu yang pernah melakukan penelitian terkait Klausul Arbitrase

antara developer dengan konsumen, namun secara judul dan substansi berbeda

dengan penelitian ini. Adapun penelitian yang berkaitan dengan klausul arbitrase

antara developer dengan konsumen adalah:

1. Fauzi Chairul F, NIM: 982105009, dengan judul penelitian

“Perlindungan Hak-Hak Konsumen Perumahan Atas Ketentuan Klausul Baku

Dengan Pelaku Usaha di Kotamadya Medan Ditinjau dari UU No.8 Tahun

1999”.

2. Riri Oktarian, NIM: 09701107, dengan judul penelitian

“Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Konsumen yang telah Melunasi

Seluruh Kewajibannya Kepada Developer Perumahan (Studi Kasus Atas

Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Medan

Nomor 22/PEN/BPSK-MDN/2010”.

3. Morgan Simanjuntak, NIM: 027005037, dengan judul penelitian

“Putusan Pengadilan Niaga Terhadap Klausul Arbitrase Dalam Perkara

Kepailitan (Studi Kasus Tehadap Putusan-Putusan Pengadilan Niaga di

Indonesia)”.

4. Panary Sitepu, NIM: 087011148, dengan judul penelitian “Perjanjian

Kerjasama Antara Developer Dengan Bank Dalam Pemberian Fasilitas Kredit

Pemilikan Rumah (Suatu Penelitian Di PT. Bank CIMB Niaga Tbk Cabang

Medan Bukit Barisan).

Universitas Sumatera Utara


14

Beberapa judul penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu dengan

permasalahan yang beragam, bahwa tidak ada satupun dari permasalahan yang telah

diteliti sebelumnya yang sama dengan permasalahan dalam penelitian ini, sehingga

dapat dinyatakan bahwa penelitian dengan Judul “Pencantuman Klausul Arbitrase

dan Akibat hukumnya pada kontrak Antara Developer dengan konsumen” adalah asli

dan kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

Seiring dengan perkembangan masyarakat, hukum pun mengalami

perkembangan. Kontinuitas perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada

metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori. 18

1. Kerangka Teori

Kerangka Teori adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat,

teori tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang dijadikan

bahan perbandingan, pegangan teoritis,yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui

yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.19

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan dan

meramalkan serta menjelaskan gejala yang terjadi. Karena penelitian ini merupakan

penelitian hukum normatif, kerangka teori diarahkan secara khas ilmu hukum.20

Penelitian ini berusaha memahami tentang pencantuman klausul arbitrase sebagai

18
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta,
1982, hlm. 6
19
M.SollyLubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, MandarMadju, Bandung, 1994, hlm. 80.
20
Ibid, hlm. 87

Universitas Sumatera Utara


15

proses penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang dalam hal ini objeknya adalah

developer dengan konsumen.

Hukum pada hakikatnya adalah sesuatu yang abstrak, tetapi dalam

manifestasinya bisa berwujud konkrit, suatu ketentuan hukum baru dapat dinilai baik

jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan,

yang sebesar-besarnya dan berkurangnya penderitaan.21

Dalam penelitian ini arah penelitian bertumpu pada pembahasan mengenai

pencantuman klausul arbitrase sebagai proses penyelesaian sengketa diluar

pengadilan berdasarkan peraturan perundang-undangan maupun aturan prosedural

(rules) yang dimiliki oleh arbitrase Ad-Hoc maupun institusional serta permasalahan-

permasalahan pencantuman klausul arbitrase dalam praktek.

Teori yang dipakai dalam penulisan tesis ini adalah teori kepastian hukum.

Van Kan berpendapat bahwa hukum yang bertujuan menjaga kepentingan tiap-tiap

manusia supaya kepentingan-kepentingan itu tidak dapat diganggu. Disini jelaslah

bahwa hukum bertugas untuk menjamin kepastian hukum didalam masyarakat dan

juga menjaga serta mencegah agar setiap orang tidak menjadi hakim sendiri
22
(eigenrichting is verboden). Berdasarkan anggapan Van Kan, E Utrecht

mengemukakan pendapat bahwa hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum

(rechtzekerheid) dalam pergaulan hidup manusia.23

21
Lili Rasjidi dan I.B Wyasan Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya,
Bandung, 1993, hlm. 79
22
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm.59
23
Erwina Riza, Ilmu Hukum, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2012, hlm. 37

Universitas Sumatera Utara


16

Istilah kepastian hukum dalam tataran teori hukum tidak memiliki pengertian

yang tunggal. Hal ini disebabkan oleh adanya sejumlah pendapat yang berusaha

menjelaskan arti dari istilah tersebut dengan argumen dan perspektif tertentu, baik

dalam pengertian yang sempit maupun luas. Kepastian hukum secara normatif adalah

ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara

jelas dan logis. Jelas, dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multitafsir) dan

logis dalam artian menjadi suatu sistem norma, dengan norma lain sehingga tidak

berbenturan atau menimbulkan konflik norma.24

Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk

konstestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Pendapat ini dapat

dikategorikan sebagai pendapat yang berperspektif legal positivism karena lebih

melihat kepastian hukum dari sisi kepastian perundang-undangan. Kepastian hukum

harus diindikasikan oleh adanya ketentuan peraturan yang tidak menimbulkan

multitafsir terhadap formulasi gramatikal dan antinomi antar peraturan, sehingga

menciptakan keadaan hukum yang tidak membawa kebingungan ketika hendak

diterapkan atau ditegakkan oleh para pihak. Gustaf Radbuch, dalam konsep ajaran

prioritas baku mengemukakan bahwa tiga ide dasar hukum atau tiga tujuan utama

hukum adalah keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Keadilan merupakan hal

yang utama dari ketiga hal itu tetapi tidak berarti dua unsur yang lain dapat dengan

serta merta diabaikan. Hukum yang baik adalah hukum yang mampu mensinergikan

24
Yance Arizona, Kepastian Hukum, http://yancearizona.wordpress.com/2008/04/13/apa-itu-
kepastian-hukum/, (diakses tanggal 21 Februari 2014)

Universitas Sumatera Utara


17

ketiga unsur tersebut demi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.25

Keadilan yang dimaksudkan oleh Radbuch adalah keadilan dalam arti yang

sempit yakni kesamaan hak untuk semua orang yang di depan hukum. Kemanfaatan

atau finalitas menggambarkan isi hukum karena isi hukum memang sesuai dengan

tujuan yang mau dicapai oleh hukum tersebut. Kepastian hukum dimaknai dengan

kondisi yang mana hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati.26

Hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum (rechszekerheid) dalam

pergaulan manusia. Dalam tugas itu tersimpul dua tugas lain, yaitu harus menjamin

keadilan serta hukum tetap berguna. Dalam kedua tugas tersebut tersimpul pula tugas

ketiga yaitu hukum menjaga agar masyarakat tidak terjadi main hakim sendiri

(eigerrichting). Dalam penerapan teori hukum tidak dapat hanya satu teori tetapi

harus gabungan dari berbagai teori. Berdasarkan teori hukum yang ada maka tujuan

hukum yang utama adalah untuk menciptakan keadilan, kemanfaatan, kepastian

hukum, ketertiban dan perdamaian.27

Fungsi teori kepastian hukum disini adalah untuk menjamin dan melindungi

hak-hak dari developer dan konsumen yang dituangkan didalam klausul-klausul pada

kontrak antara developer dan konsumen. Rumusan klausul arbitrase perlu dilakukan

secara komprehensif karena pada dasarnya klausul arbitrase merupakan dasar bagi

terwujudnya arbitrase tersebut. Oleh karena itu klausul arbitrase harus terhindar dari

25
Ali Ahmad, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Kencana, Jakarta, 2009, hlm.
287-288.
26
Ibid, hlm. 162
27
Ridwan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Adita Bakti, Bandung. 1999,
hlm. 22

Universitas Sumatera Utara


18

ketidaklengkapan, ketidakjelasan, ketidakcermatan serta timbulnya penafsiran ganda

yang ada dalam klausul tersebut. Sehingga arbitrase sebagai pilihan forum dalam

penyelesaian sengketa dapat terwujud. Dengan demikian klausul arbitrase yang

dirumuskan secara komprehensif dapat menciptakan kepastian hukum bagi developer

dan konsumen serta dapat mencegah penyelesaian sengketa yang berlarut-larut yang

menghabiskan banyak waktu dan biaya, karena segala sesuatunya telah dirumuskan

secara komprehensif.

Melalui kontraktual yang dibuat dan disepakati oleh developer dengan

konsumen mengenai pencantuman klausul arbitrase, maka mengacu pada pasal 1338

Ayat (1) KUH Perdata mengatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah

berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. hukum perjanjian

mengenal dengan asas kekuatan mengikat.

Dari bunyi pasal tersebut sangat jelas terkandung asas :28

1. Konsesualisme adalah perjanjian itu telah terjadi jika telah ada konsensus

antara pihak-pihak yang mengadakan kontrak.

2. Kebebasan berkontrak, artinya seseorang bebas untuk mengadakan

perjanjian, bebas mengenai apa yang diperjanjikan, bebas pula

menentukan bentuk kontraknya.

3. Pacta Sunt Servanda, artinya kontrak itu merupakan undang-undang bagi

para pihak yang membuatnya (mengikat).

Asas kebebasan berkontrak adalah refleksi dari perkembangan paham


28
R, Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1990, hlm .90

Universitas Sumatera Utara


19

pasar bebas yang dipelopori oleh Adam Smith dalam perkembangan ternyata

kebebasan berkontrak dapat mendatangkan ketidakadilan karena prinsip ini

hanya dapat mencapai tujuannya yaitu mendatangkan kesejahteraan seoptimal

mungkin bila para pihak memiliki bargaining power yang seimbang.29

2. Kerangka Konsepsi

Konsepsi merupakan salah satu bagian terpenting dari teori konsepsi yang

diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi satu yang

konkrit yang disebut dengan operational definition. 30 Hal penting dari definisi

operasional tersebut adalah untuk menghindari perbedaan pengertian atau

penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu untuk

menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefiniskan beberapa konsep

dasar, agar hasil penelitian sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan. Definisi

operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Konsumen

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia

dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun

makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Pengertian Konsumen Menurut UU Perlindungan Konsumen - Menurut

pengertian Pasal 1 angka 2 UU PK, "Konsumen adalah setiap orang pemakai barang

dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,

29
Ibid, hlm. 91
30
J. Lexy, Moloeng, Metode Penelitian Kualitatif, PT. Remaaa Rosdakarya, Bandung, 1994,
hlm. 20

Universitas Sumatera Utara


20

keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan

kembali.”

2) Developer

Developer adalah suatu kegiatan yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan

konsumen akan rumah tinggal dan atau ruang usaha dengan cara pengalihan hak atas

produk tersebut dari perusahaan kepada konsumen melalui proses yang telah

ditentukan.

Developer adalah juga sebagai badan usaha yang berbadan hukum,

mempunyai kantor yang tetap, memiliki izin usaha dan terdaftar pada

pemerintahan sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

3) Arbitrase

Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan

umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para

pihak yang bersengketa.31 Dari definisi tersebut, ada 3 hal yang dapat dikemukakan

dari definisi yang diberikan, yaitu Arbitrase merupakan salah satu bentuk perjanjian,

Perjanjian arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis dan Perjanjian arbitrase

tersebut merupakan perjanjian untuk menyelesaikan sengketa yang dilaksanakan di

luar pengadilan umum.32

4) Klausul arbitrase

31
Indonesia, Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, No. 30 Tahun
1999, LN No. 138 Tahun 1999, TLN No. 3872, ps. 1 Angka 10.
32
Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2001, hlm 98.

Universitas Sumatera Utara


21

Klausul arbitrase adalah suatu klausul dalam perjanjian antara para pihak yang

mencantumkan adanya kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul

antara para pihak melalui proses arbitrase.

5) Kontrak

Kontrak atau perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji

kepada seseorang yang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk

melaksanakan suatu hal bentuk perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang

mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis

6) Komprehensif

Komprehensif dalam pengertian ini adalah suatu ruang lingkup atau isi klausul

arbitrase yang memuat secara menyeluruh dan lengkap.

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian merupakan pencarian atas sesuatu (inquiry) secara sistematis

dengan menekankan bahwa pencarian tersebut dilakukan terhadap masalah-masalah

yang dapat dipecahkan.33

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum dengan yuridis

normatif, yaitu penelitian hukum doctrine yang mengacu kepada norma-norma

hukum.34 Dengan kata lain penelitian yuridis normatif dengan menggunakan metode

pendekatan peraturan perundang-undangan (statue approach), khususnya KUH

33
Mohd Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1998,hlm.10
34
Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, PT Grafika Indonesia, 1996,
hlm.13

Universitas Sumatera Utara


22

Perdata dan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa, selanjutnya menganalisis hukum tersebut dalam kaitan dan penerapan di

dalam pencantuman klausul arbitrase pada kontrak antara developer dengan

konsumen dan akibat hukumnya, baik yang tertulis di dalam buku, aturan prosedural

dan melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan

pengaturan hukum dan implikasi pelaksanaanya di Indonesia.35

Tahapan pertama penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan

untuk mendapatkan hukum objektif (norma hukum), yaitu dengan mengadakan

penelitian terhadap masalah hukum dalam pencantuman klausul arbitrase antara

developer dengan konsumen dan akibat hukumnya. Tahapan kedua penelitian hukum

normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum subjektif (hak

dan kewajiban) developer dan konsumen.

2. Sumber dan Data Penelitian

Penelitian ini terutama menggunakan data sekunder dengan menggunakan

bahan hukum sebagai berikut:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum Primer yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan

mengikat sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini yang

diantaranya adalah:

1) Undang-Undang Dasar 1945 beserta perubahannya;


2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia;
3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
35
Mohd. Nazir, Op.Cit, hlm 15

Universitas Sumatera Utara


23

Penyelesaian Sengketa;
4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
5) Undang-Undang Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman
6) Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan-bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya

dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan

hukum primer, misalnya:

1) Hasil karya ilmiah


2) Hasil-hasil penelitian
3) Dokumen dan Buku yang berkaitan dengan Arbitrase
c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer

dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan

hukum lainnya seperti kamus dan ensiklopedia.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penelitian ini, maka

digunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan, yaitu

serangkaian usaha untuk memperoleh data dengan jalan membaca, menelaah,

mengklarifikasi, mengidentifikasi dan melakukan pemahaman terhadap Pengikatan

Perjanjian Jual Beli (PPJB) PT. TANAMAS dan kontrak yang diambil dari kantor

BANI Medan dengan mengaitkannya terhadap bahan-bahan hukum serta peraturan

perundang-undangan maupun literatur yang ada relevansinya dengan permasalahan

penelitian.

Universitas Sumatera Utara


24

4. Analisis Data

Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna

untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data dalam

penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Analisis data penelitian berisi uraian

tentang cara-cara analisis yang menggambarkan bagaimana suatu data dianalisis dan

apa manfaat data yang terkumpul untuk dipergunakan memecahkan masalah yang

dijadikan objek penelitian36 data yang telah dikumpulkan selanjutnya dianalisis

dengan data kualitatif yaitu :

a. Mengumpulkan bahan hukum, berupa inventarisasi perundang-undangan yang

terkait dengan pencantuman klausul arbitrase sebagai penyelesaian sengketa

sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 30 Tahun 1999

b. Memilah-milah bahan hukum yang sudah dikumpulkan dan selanjutnya

melakukan sistematisasi bahan hukum sesuai dengan permasalahan.

c. menganalisis bahan hukum dengan membaca dan menafsirkannya untuk

menemukan kaidah, asas dan konsep yang terkandung di dalam bahan hukum

tersebut.

d. Menemukan hubungan konsep, asas dan kaidah tersebut dengan menggunakan

teori sebagai pisau analisis.

Selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode berpikir

deduktif, yaitu cara berpikir yang dimulai dari hal-hal yang umum untuk selanjutnya

menarik hal-hal yang khusus, dengan menggunakan ketentuan berdasarkan


36
Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, Mandar Maju, Jambi, 2008, hlm. 174

Universitas Sumatera Utara


25

pengetahuan umum seperti teori-teori, dalil-dalil, atau prinsip-prinsip dalam bentuk

proposisi-proposisi untuk menarik kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat

khusus.

Universitas Sumatera Utara


BAB II

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI


LEMBAGA ARBITRASE

A. Kewenangan Absolut Lembaga Arbitrase

Penyelesaian sengketa melalui forum arbitrase sebenarnya bukan suatu yang

baru di Indonesia. Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian

sengketa di luar pengadilan sebenarnya sudah lama dikenal sejak zaman Hindia

Belanda. Arbitrase waktu itu diperkenalkan bersamaan dengan diberlakukannya Rv

(Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering) pada tahun 1847 dalam Pasal 615 s/d

651Rv.37 Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang ini sudah tidak berlaku lagi dengan

diterbitkannya UU No.30 Tahun 1999. Menurut undang-undang ini, yang dimaksud

dengan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan

umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para

pihak yang bersengketa.38

Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman juga telah

memberikan pengaturan tentang diperbolehkannya penyelesaian sengketa melalui

arbitrase. Dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) disebutkan bahwa “ketentuan ini tidak

menutup kemungkinan penyelesaian perkara di luar peradilan negara melalui

perdamaian atau arbitrase”. Dengan demikian, penyelesaian perkara di luar

37
Budhy Budiman, Mencari Model Ideal Penyelesaian Sengketa, Kajian Terhadap Praktek
Peradilan Perdata dan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999,
38
Pasal 1 Butir 1 UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa

26

Universitas Sumatera Utara


27

pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan,

tergantung forum penyelesaian sengketa yang dipilih oleh pihak-pihak yang

beperkara.39 Dalam hal ini berarti inisiatif dan keaktifan para pihak dalam

menentukan pilihan forum penyelesaian sengketa menjadi sangat penting, karena

penentuan pilihan ini terkait dengan kompetensi atau kewenangan absolut lembaga

yang memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara tersebut.

Kewenangan absolut merupakan wewenang badan peradilan atau forum

lainnya untuk memeriksa suatu perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat

diperiksa oleh badan peradilan atau forum lainnya sesuai dengan aturan perundang-

undangan yang berlaku. Misalnya, apa yang menjadi wewenang badan peradilan

umum mutlak tidak dapat dilakukan oleh badan peradilan agama maupun badan-

badan peradilan yang lain. Apa yang menjadi wewenang badan peradilan militer

mutlak tidak dapat dilakukan badan peradilan tata usaha negara maupun badan-badan

peradilan lainnya.40

Kewenangan absolut juga berlaku dalam arbitrase. Sebagai contoh adalah

apabila dalam suatu Pengikatan Perjanjian Jual Beli (PPJB) rumah antara developer

dan konsumen sepakat untuk mengajukan sengketa melalui arbitrase, maka apabila

sengketa timbul para pihak harus mematuhi perjanjian yang telah mereka buat, dan

memajukan sengketa tersebut ke arbitrase. Adanya klausul arbitrase akan

39
Bambang Sutiyoso, Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Gramedia,
Yogyakarta, 2008, hlm 108
40
Sri Wardah dan Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Perdata dan Perkembangannya di
Indonesia, Gramedia, Yogyakarta, 2007, hlm 76

Universitas Sumatera Utara


28

menyebabkan perselisihan yang timbul di antara para pihak menjadi wewenang

absolut arbitrase. Ketika sengketa tersebut sudah jatuh ke dalam wewenang absolut

arbitrase, maka semestinya lembaga peradilan tidak lagi memiliki wewenang untuk

memeriksa perselisihan tersebut.41

Masalah persaingan usaha juga merupakan masalah kewenangan absolut.

Dalam sistem hukum Indonesia, forum yang berwenang untuk menangani sengketa

persaingan usaha adalah Komite Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Adapun yang

berwenang mendengar sengketa mengenai kepailitan dan hak kekayaan intelektual

adalah pengadilan niaga. Dengan demikian, kewenangan atau kompetensi absolut

berbicara mengenai kompetensi dari suatu badan peradilan atau forum penyelesaian

sengketa mana yang berwenang untuk menangani sengketa yang terjadi di antara

para pihak. Kewenangan absolut di lingkungan peradilan ini diatur dalam ketentuan

Pasal 133 dan 134 H.I.R.42

Menurut Sudargo Gautama, jauh sebelum berlakunya UU No. 30 Tahun 1999,

Mahkamah Agung telah mengakui dengan jelas eksistensi kompetensi absolut pranata

arbitrase. Berbagai putusan pada tingkat judex factie menyatakan bahwa kewenangan

mengadili pengadilan negeri terhadap sengketa yang dalam perjanjian pokoknya

mengandung klausul arbitrase telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Bahkan

eksistensi pilihan domisili pada kantor panitera pengadilan negeri setempat pun

41
Pasal 3 dan pasal 11 UU Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
42
Gunawan Wijaya, Seri Aspek Hukum dalam Bisnis Arbitrase VS Pengadilan, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 1

Universitas Sumatera Utara


29

bukan merupakan alasan bagi pengadilan negeri untuk ”mengambil” kompetensi atau

wewenang pranata arbitrase untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam

perjanjian yang mengandung klausul arbitrase.43

Meskipun demikian, harus dipahami bahwa karena klausul arbitrase terkait

dengan bukan ketertiban umum (niet van openbaar orde). Artinya, klausul arbitrase

tidak mutlak menyingkirkan kewenangan pengadilan untuk memeriksa dan mengadili

perkara yang timbul dari perjanjian.44

Secara tersirat dapat dilihat dalam putusan Hooge Raad (HR) tanggal 8

Januari 1925. Putusan Hooge Raad menetapkan bahwa klausul arbitrase berkaitan

dengan niet van open baar orde (bukan ketertiban umum). Walaupun sengketa yang

timbul dari perjanjian yang memuat klausul arbitrase dapat diajukan ke pengadilan

negeri, pengadilan dapat tetap berwenang mengadili perkara sepanjang pihak lawan

tidak mengajukan eksepsi akan adanya klausul arbitrase. Dengan tidak adanya

eksepsi yang diajukan, pihak lawan dianggap telah melepaskan haknya atas klausul

arbitrase dimaksud.45

Tergugat dianggap telah melepaskan haknya atas klausul arbitrase dan

kewenangan mengadili sengketa sudah jatuh dan tunduk pada yurisdiksi pengadilan.46

Dengan demikian, putusan ini berpendapat bahwa adanya klausul arbitrase, arbitrase

tidak bersifat absolut. Klausul tersebut harus dipertahankan para pihak jika timbul

43
Sudargo Gautama, Hukum Dagang dan Arbitrase Internasional, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hlm. 297-298
44
Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, op. cit, hlm. 84
45
Ibid, hlm. 85
46
Suyud Margono, ADR dan Arbitrase, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2000, hlm 126

Universitas Sumatera Utara


30

sengketa. Namun apabila salah satu pihak mengajukan sengketa ke pengadilan,

pengadilan tetap berwenang untuk memeriksa dan mengadili sengketa tersebut

selama pihak tergugat tidak mengajukan eksepsi terhadap adanya klausul arbitrase

tersebut.

Dalam praktik, penyimpangan dapat terjadi. Misalnya, salah satu pihak

mengajukan gugatan terhadap perkara dalam kontrak berklausul arbitrase ke

pengadilan negeri, atau salah satu pihak mengajukan gugatan pembatalan putusan

arbitrase ke pengadilan negeri. Sikap pengadilan negeri pada umumnya tidak

seragam; ada yang menyatakan gugatan tidak diterima (N.O.), tetapi ada pula yang

menerima dan mengabulkan gugatan tersebut. Akan tetapi, pada umumnya ketika

kasus tersebut sampai di Mahkamah Agung, Mahkamah Agung tetap berpegang

pada pendiriannya dengan menyatakan gugatan tidak diterima. Mahkamah Agung

sepertinya berpendirian bahwa pengadilan tidak berwenang memeriksa perkara yang

sudah terikat perjanjian arbitrase, karena hal tersebut merupakan wewenang absolut

lembaga arbitrase.47

Pada praktik saat ini juga masih dijumpai pengadilan negeri yang melayani

gugatan pihak yang kalah dalam arbitrase. Beberapa perkara menunjukkan bahwa

walaupun perjanjian telah memuat kalusula arbitrase namun salah satu pihak tetap

mengajukan sengketa ke depan pengadilan karena beberapa alasan.

Sebagai contoh adalah perkara PT. Aji Perkasa Engineering (developer) vs

Ny. Rita (konsumen) yang diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan
47
Bambang Sutiyoso, op. cit, hlm 110

Universitas Sumatera Utara


31

nomor perkara 432/Pdt.G/1984/PN.Jkt.Pst.48 Dalam perkara ini, gugatan didasarkan

pada ketentuan Pasal 615 dan 619 Rv. untuk menegakkan klausul arbitrase dari

suatu sengketa yang timbul dari surat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) rumah

No. APE 28/5/10 tanggal 06 Januari 1981 yang ditandatangani penggugat dan

tergugat. Berdasarkan akta PPJB tersebut, tergugat sebagai pengembang telah

mengerjakan pembangunan sepuluh rumah dengan nama perumahan mutiara damai

di Tangerang bagi kepentingan penggugat. Sesuai dengan ketentuan yang terdapat

dalam Pasal XI surat perjanjian pengikatan jual beli rumah (PPJB) sebagai berikut:49

(1) Jika terjadi perselisihan dikemudian hari antara kedua belah pihak maka
pada dasarnya akan diselesaikan secara musyawarah
(2) Jika tidak tercapai kesepakatan maka perselisihan akan dilanjutkan ke
Badan Arbitrase
(3) Keputusan Badan Arbitrase bersifat final dan mengikat

pengadilan dimohon untuk memerintahkan arbitrase untuk menyelesaikan

sengketa yang bersangkutan di Indonesia di hadapan Badan Arbitrase Nasional

Indonesia (BANI) atau di hadapan pengadilan negeri sekarang ini berkenaan dengan

sisa penyelesaian pekerjaan yang sesuai dengan isi PPJB yang belum seluruhnya

diselesaikan oleh tergugat.

Menurut penggugat, ia telah membayar seluruh dari harga rumah tersebut

dengan type 36,45, dan 70 serta pengadaan air bersih, penyambungan aliran listrik,

dan pemagaran dengan harga sejumlah Rp125.902.000,- sebagaimana tercantum dari

akta PPJB No.APE 28/5/10 tanggal 06 Januari 1981. Pekerjaan pelaksanaan

48
Erman Radjagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, Chandra Pratama, Jakarta,
hlm. 17-18
49
Ibid, hlm. 19

Universitas Sumatera Utara


32

pembangunan rumah-rumah tersebut dibuat berdasarkan kesepakatan jual beli

diantara para pihak.

Dalam Pasal V adendum No.APE 08/2/12 tanggal 31 Oktober 1981

ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak bahwa jumlah harga rumah untuk

pekerjaan tersebut dalam Pasal(1) yang sebelumnya ditetapkan sebesar

Rp125.902.000,- diubah menjadi Rp131.114.675,- sudah termasuk pajak dan biaya

perehapan/perubahan bentuk rumah dari standar developer.

Penggugat mendalilkan bahwa ia telah membayar seluruh pembangunan

rumah-rumah tersebut. Akan tetapi, tergugat belum juga menyelesaikan rumah-

rumah tersebut pada waktu yang telah ditentukan seperti yang tertuang dalam akta

PPJB.

Petitum penggugat bersifat alternatif, dimana gugatan primernya menuntut

agar pengadilan memerintahkan bahwa sengketa antara para pihak harus

diselesaikan melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) di Jakarta dalam

waktu 8 hari setelah putusan diucapkan. Penggugat memohon agar pengadilan

menghukum tergugat untuk membayar uang paksa sebesar Rp1.000.000,- per setiap

hari kelalaian memenuhi perintah tersebut, jumlah mana dapat ditagih seketika dan

sekaligus.

Pengadilan menyatakan bahwa ketentuan yang diatur para pihak dalam Pasal

XI memuat hal yang meragukan, sebab selain memuat ketentuan arbitrase, pasal

tersebut juga memuat pemilihan domisili, yaitu di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Pengadilan memutus bahwa di dalam Pasal XI ayat 2 tidak disebutkan badan arbitrase

Universitas Sumatera Utara


33

mana yang berwenang mendengar sengketa para pihak. Oleh karenanya, dalam hal ini

penggugat tidak dapat membuktikan gugatannya bahwa badan arbitrase ex Pasal XI

tersebut adalah BANI.

Pengadilan menimbang juga bahwa dalam tuntutan subsidernya penggugat

hanya memohon agar para pihak menyelesaikan sengketa di hadapan Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat tanpa memuat petitum lebih lanjut apa yang dimohonkan untuk

diputus oleh pengadilan. Dengan demikian, petitum subsidair ini tidak lengkap atau

tidak sempurna dan karenanya haruslah dinyatakan tidak dapat diterima. Berdasarkan

pertimbangan di atas, Pengadilan memutus keseluruhan gugatan penggugat tidak

dapat diterima.

Kasus di atas menunjukkan bahwa suatu perjanjian yang memuat klausul

arbitrase seharusnya mencantumkan dengan jelas apakah arbitrase tersebut

dilaksanakan melalui arbitrase Ad-Hoc atau melalui arbitase institusional. Bila

perjanjian tersebut menunjuk arbitrase Ad-Hoc, maka perjanjian harus mencantumkan

bagaimana pemilihan para wasit akan dilaksanakan. Bila penyelesaian sengketa

dilakukan melalui arbitrase permanen, maka harus disebutkan dengan jelas badan

arbitrase mana yang ditunjuk oleh para pihak.

Klausul arbitrase harus disusun secara cermaat, akurat dan mengikat.

Tujuannya untuk menghindari klausul arbitrase tersebut digunakan oleh salah satu

pihak sebagai kelemahan yang bisa digunakan untuk memindahkan sengketa tersebut

ke jalan pengadilan, sehingga kepastian hukum dapat terwujud.

Oleh karena itu didalam PPJB sudah seharusnya dengan jelas dan tegas para

Universitas Sumatera Utara


34

pihak hanya menentukan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang akan

menyelesaikan sengketa jika timbul sengketa dikemudian hari dengan tidak

mencantumkan tambahan pengadilan negeri juga sebagai pilihan forum. sehingga hal

ini tidak menimbulkan penafsiran serta memberikan kepastian hukum.

Terbitnya UU No. 30 Tahun 1999 memberikan dasar pengaturan yang tegas

menyangkut kompetensi absolut arbitrase. Berdasarkan undang- undang ini, pranata

arbitrase di Indonesia memiliki kedudukan dan kewenangan yang semakin jelas dan

kuat. Dalam ketentuan Pasal 3 UU No.30 Tahun 1999 disebutkan bahwa pengadilan

negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam

perjanjian arbitrase. Selanjutnya Pasal 11 UU No. 30 Tahun 1999 kembali

mempertegas yurisdiksi absolut arbitrase yang disebut dalam Pasal 3 tersebut, dengan

menegaskan sebagai berikut:

(1) Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak
untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang
termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.
(2) Pengadilan Negeri wajib menolak tidak akan campur tangan didalam suatu
penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali
dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.”

Ketentuan Pasal 11 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999 di atas membuka

kemungkinan adanya intervensi pengadilan terhadap suatu perkara yang mengandung

klausul arbitrase yaitu dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang.

Misalnya dalam hal ini, pelaksanaan putusan arbitrase sebagaimana diatur dalam

Pasal 59 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa :

Universitas Sumatera Utara


35

(1) Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal

putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase

diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada panitera

pengadilan negeri.

Demikian pula apabila para pihak tidak mencapai kesepakatan dalam

pengangkatan arbiter, ketua pengadilan negeri dapat melakukan intervensi, yaitu

dengan menunjuk arbiter atau majelis arbiter.50

Dengan adanya ketentuan pasal tersebut, maka kompetensi absolut arbitrase

lahir ketika para pihak membuat perjanjian dengan tegas bahwa mereka akan

menyelesaikan perselisihan mereka melalui forum arbitrase. Dengan demikian,

pengadilan tidak memiliki wewenang untuk mengadili sengketa tersebut kecuali jika

para pihak sepakat untuk menyelesaikan melalui jalan pengadilan.

Pengadilan tidak berwenang untuk mencampuri suatu sengketa bilamana para

pihak telah mencantumkan sebuah klausul arbitrase dalam kontrak.51 Tujuan arbitrase

sebagai alternatif bagi penyelesaian sengketa melalui pengadilan akan menjadi sia-sia

manakala pengadilan masih bersedia memeriksa sengketa yang sejak semula

disepakati diselesaikan melalui arbitrase.52

Campur tangan pengadilan dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan

sepanjang tindakan campur tangan tersebut dilakukan untuk memperlancar proses

50
Pasal 13 ayat (1) dan (2) UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
51
Priyatna Abdurrasyid, op. cit, hlm. 69
52
Erman Radjagukguk, op. cit, hlm. 79

Universitas Sumatera Utara


36

arbitrase, pelaksanaan putusan arbitrase, atau putusan arbitrase telah diambil

berdasarkan salah satu dari hal-hal berikut: putusan tidak sesuai dengan perjanjian;

putusan dijatuhkan berdasarkan dokumen palsu; ditemukan dokumen yang bersifat

menentukan yang disembunyikan pihak lawan; dan putusan diambil dari hasil tipu

muslihat sebagaimana diuraikan dalam Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999.53

Bilamana salah satu pihak sudah telanjur menyerahkan sengketanya ke

pengadilan, maka pengadilan negeri berdasarkan permohonan pihak lain harus

menolaknya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 3 tersebut di atas. Penyelesaian

sengketa sendiri dapat dimulai setiap saat. Mulai dari saat sengketa itu timbul sampai

pada saat sebelum arbiter memberikan keputusannya.54

Larangan campur tangan pengadilan hanya untuk menegaskan bahwa arbitrase

adalah sebuah lembaga yang independen sehingga pengadilan wajib menghormati

lembaga arbitrase. Meskipun arbitrase merupakan suatu lembaga independen yang

terpisah dari pengadilan, tidak berarti bahwa tidak ada kaitan erat di antara keduanya.

Lembaga arbitrase membutuhkan dan tergantung pada pengadilan, misalnya, dalam

pelaksanaan putusan arbitrase.55

Arbitrase dapat dipilih oleh para pihak dalam menyelesaikan sengketa yang

telah terjadi atau kemungkinan akan timbul. Dalam menyelesaikan sengketa yang

telah terjadi berkenaan persetujuan para pihak sehingga lazim disebut dengan

53
Ibid, hlm. 80
54
Priyatna Abdurrasyid, op. cit, hlm. 63
55
Gatot Sumartono, Arbitrase dan Media Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006,
hlm 71

Universitas Sumatera Utara


37

persetujuan arbitrase atau compromis. Sedangkan persetujuan menyangkut sengketa

yang mungkin akan timbul dilakukan pada waktu penandatanganan, sehingga

dinamakan klausul arbitrase atau arbitration clause. 56

Menurut hukum Indonesia, pada hakekatnya tidak ada suatu perbedaan antara

apa yang dinamakan persetujuan arbitrase dan klausul arbitrase.57 Bahkan Undang-

undang Nomor 30 Tahun 1999 dalam pasal 1 tidak membedakan keduanya,

semuanya disebut perjanjian arbitrase, yang mengandung makna klausul arbitrase

yang dibuat sebelum sengketa ataupun perjanjian tersendiri yang dibuat para pihak

setelah timbul sengketa. Persetujuan arbitrase dan klausul arbitrase mempunyai akibat

hukum yang sama, yaitu :

a. Persengketaan yang timbul atau yang akan timbul itu tidak akan
diperiksa dan diputus oleh pengadilan.
b. Persengketaan itu akan diperiksa dan diputus oleh seorang arbiter
(wasit) atau suatu team arbiter sehingga kedua belahpihak berkewajiban
untuk membantu terselenggaranya arbitrase peradilan wasit.

Undang-undang membolehkan para pihak menyelesaikan sengketa diluar

badan peradilan negara. Hal tersebut antara lain diatur dalam penjelasan pasal 3

Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 yang menjelaskan:

"Bahwa disamping peradilan negara tidak diperkenankan lagi adanya

peradilan-peradilan yang dilakukan oleh bukan badan peradilan negara;

penyelesaian perkara diluar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui

wasit (arbitrase) tetap diperbolehkan".

56
Ibid, hlm. 72
57
R.Soebekti, Arbitrase Perdagangan, Bina Cipta,Bandung, 1984, hlm.10

Universitas Sumatera Utara


38

Pengakuan kewenangan arbitrase ini dalam pasal 3 Undang-undang Nomor 30

Tahun 1999 dirumuskan sebagai berikut :

"Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak

yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase".

Selanjutnya dalam pasal 11 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999

menegaskan sebagai berikut:

(1) Adanya suatu perjanjian tertulis meniadakan hak para pihak untuk
mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat
dalam perjanjian ke Pengadilan Negeri.
(2) Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan didalam
suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase,
kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang ini.

Dalam perjanjian arbitrase para pihak dapat bersepakat untuk

menyerahkan penyelesaian sengketa mereka pada satu arbitase Ad-Hoc maupun

pada suatu arbitrase institusional. Arbitrase Ad-Hoc adalah suatu arbitrase yang

diadakan untuk menyelesaikan suatu sengketa tertentu saja, sedangkan suatu

badan arbitrase institusional merupakan suatu arbitrase perrnanen yang menerima

tugas-tugas penyelesaian sengketa bilamana ditunjuk serta ditentukan oleh

pihak-pihak yang berperkara. Arbitrase institusional di Indonesia yang dimaksud

adalah Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).58

Undang-undang No.30 Tahun 1999 tentang Albitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa mensyaratkan bahwa perjanjian arbitrase harus dibuat secara

tertulis. Syarat tertulis dari perjanjian arbitrase dapat berwujud suatu kesepakatan

58
Ibid, hlm. 11

Universitas Sumatera Utara


39

berupa klausul arbitrase yang tercantum dalam perjanjian tertulis yang dibuat para

pihak sebelum timbulnya sengketa atau perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat

para pihak setelah timbul sengketa. Adanya perjanjian arbitrase tertulis ini berarti

meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda

pendapat yang dimuat dalam perjanjian pokok ke Pengadilan Negeri. Demikian juga

kiranya Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak

yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Ini berarti suatu perjanjian arbitrase

melahirkan kompetensi absolut bagi para pihak, cara penyelesaian sengketa itu, para

pihak itu sendiri yang menentukan sesuai dengan yang dikehendaki.59

Fokus perjanjian arbitrase ditujukan kepada masalah penyelesaian perselisihan

yang timbul dari perjanjian. Perjanjian ini bukan perjanjian bersyarat. Pelaksanaan

perjanjian arbitrase tidak digantungkan pada suatu kejadian tertentu dimasa

mendatang, perjanjian ini tidak mempersoalkan masalah pelaksanaan perjanjian tetapi

hanya mempersoalkan masalah cara dan pranata yang berwenang menyelesaikan

perselisihan yang terjadi antara para pihak.60

Perjanjian arbitrase tidak melekat menjadi satu kesatuan dengan materi

pokok perjanjian. Perjanjian arbitrase merupakan tambahan yang diletakkan pada

perjanjian pokok. Meskipun keberadaannya hanya sebagai tambahan pada perjanjian

pokok, klausul arbitrase maupun perjanjian arbitrase tidak bersifat assesor. Oleh

karena pelaksanaannya sama sekali tidak mempengaruhi atau dipengaruhi oleh

59
Ibid, hlm. 12
60
Ibid, hlm. 13

Universitas Sumatera Utara


40

keabsahan maupun pelaksanaan pemenuhan perjanjian pokok. Yang jelas arbitrase

lahir dengan maksud dan tujuan untuk menyelesaikan suatu perselisihan atau

sengketa yang ada di luar badan pengadilan.

Arbitrase adalah merupakan institusi penyelesaian sengketa alternatif yang

paling populer dan paling luas digunakan orang dibandingkan dengan institusi

penyelesaian sengketa alternatif lainnya. Hal ini disebabkan banyaknya kelebihan

yang dimiliki oleh institusi arbitrase ini.

B. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)

BANI adalah pusat arbitrase institusional yang berwawasan nasional di

Indonesia yang didirikan di Indonesia atas prakarsa Prof. R. Subekti, SH Ketua

Mahkamah Agung dan KADIN Indonesia pada tanggal 3 Desember 1977. Berdirinya

BANI telah direstui oleh Menteri Kehakiman, Ketua Mahkamah Agung RI, Ketua

BAPPENAS, Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian dan juga oleh Presiden RI.

Ketua yang pertama adalah Prof. R. Subekti, SH mantan Ketua Mahkamah Agung.

BANI telah memiliki cabang-cabang di Surabaya, Medan, Denpasar dan Padang

dan kini sedang dalam proses pembentukan ditempat-tempat lainnya. Berkali-kali

BANI diberi tugas oleh International Chamber and Commerce (ICC) untuk

menyelesaikan sengketa-sengketa internasional. BANI telah menjalin kerjasama

dan juga joint arbitration dengan badan-badan arbitrase Jepang, Korea Selatan,

Belanda, Philipina, Hongkong, Singapura, Kanada dan Australia dan berikutnya

masih dalam tahap penyelesaian kerja sama dengan Jerman, USA dan dalam tahap

Universitas Sumatera Utara


41

penyelesaian kerja sama dengan Jerman, USA dan Taiwan.61

Lahirnya BANI tersebut pada hakekatnya tidak terlepas dari berkembangnya

kebutuhan untuk menyelesaikan sengketa perdagangan, dalam arti luas, secara cepat

dan lebih memenuhi apa yang diharapkan oleh dunia perdagangan, yaitu efisiensi

dalam waktu dan biaya dan tetap terpeliharanya profesionalisme dan kepercayaan

dalam penanganan masalah sengketa perdagangan. Tujuan didirikannya BANI adalah

untuk memberikan penyelesaian yang tepat dan adil atas sengketa-sengketa perdata

yang timbul mengenai soal-soal perdagangan, industri dan keuangan baik yang

bersifat nasional maupun internasional. Dalam melaksanakan tugasnya, sebagaimana

ditegaskan dalam pasal 1 AD BANI, bebas (otonom) yang tidak boleh dicampuri oleh

sesuatu kekuasaan lain. Asas otonomi, kemerdekaan dan kebebasan adalah landasan

yang diperlukan untuk menjamin bahwa BANI sebagai lembaga peradilan wasit,

sama seperti lembaga peradilan umum, dapat berdiri diatas segala pihak yang

bersengketa, bersifat objektif, adil dan jujur, atas dasar keyakinan sendiri yang bersih

dan murni.62

BANI berwenang untuk memeriksa dan mengadili semua sengketa perdata

yang timbul dalam bidang perdagangan, Industri dan keuangan, baik yang bersifat

nasional maupun internasional. Struktur organisasi BANI terdiri atas: badan

pengurus, sekretariat, para ahli berbagai bidang yang bertindak sebagai kelompok

arbiter dan penasehat. Agar suatu sengketa dapat diserahkan pemeriksaannya

61
Yahya Harahap, Arbitrase Ditinjau Dari Rv. BANI, ICSID, Konvensi New York 1958,
Pustaka Kartini, Jakarta, 1990, hlm. 21
62
Ibid, hlm. 22

Universitas Sumatera Utara


42

dan keputusannya kepada BANI, maka dalam perjanjian yang dibuat oleh para

pihak dianjurkan untuk memuat satu klausul arbitrase sebagai berikut :63

"Semua sengketa yang timbul dalam perjanjian ini, akan diselesaikan dan
diputus oleh BANI menurut peraturan-peraturan administrasi dan peraturan-
peraturan prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya mengikat kedua belah
pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan
terakhir".

Jika dalam surat perjanjian tidak terdapat klausul arbitrase demikian itu,

namun apabila pihak-pihak yang bersengketa tetap hendak menyerahkan

penyelesaian sengketanya kepada BANI, maka kedua belah pihak harus membuat

pernyataan, yang isinya merupakan persetujuan untuk menyerahkan sengketa

mereka kepada BANI. Penting untuk diperhatikan adalah bahwa dalam klausul

arbiter atau dalam perjanjian arbitrase (arbitration agreement; akte van compromis

) untuk menyingkat proses dinyatakan bahwa keputusan arbitrase, mengikat kedua

belah pihak sebagai putusan tingkat pertama dan terakhir sehingga dapat

dilakukan banding. Peraturan prosedur BANI juga menetapkan demikian, sama

dengan ketentuan pasal 60 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 yang mengatakan

bahwa putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan

mengikat para pihak.

Peraturan prosedur BANI yang digunakan sebagai landasan dan tata cara

kegiatan BANI mulai diberlakukan pada tanggal 3 Desember 1977 dan diperbaharui

pada tanggal 3 Desember 1983.64

63
Ibid, hlm. 72
64
Ibid, hlm. 23

Universitas Sumatera Utara


43

Adapun mekanisme penyelesaian beracara di BANI adalah sebagai berikut:65

1. Permohonan Arbitrase

Prosedur arbitrase dimulai dengan pendaftaran dan penyampaian Permohonan

Arbitrase oleh pihak yang memulai proses arbitrase pada Sekretariat BANI. Di dalam

permohonan tersebut, pemohon menjelaskan baik dari sisi formal tentang kedudukan

pemohon dikaitkan dengan perjanjian arbitrase, kewenangan arbitrase (dalam hal ini

BANI) untuk memeriksa perkara, hingga prosedur yang sudah ditempuh sebelum

dapat masuk ke dalam penyelesaian melalui forum arbitrase.

Penyelesaian sengketa di arbitrase dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan

para pihak berperkara. Kesepakatan tersebut dapat dibuat sebelum timbul sengketa

(Pactum De Compromittendo) atau disepakati para pihak saat akan menyelesaikan

sengketa melalui arbitrase (akta van compromis).

Sebelum mendaftarkan permohonan ke BANI, Pemohon terlebih dahulu

memberitahukan kepada Termohon bahwa sehubungan dengan adanya sengketa

antara Pemohon dan Termohon maka Pemohon akan menyelesaikan sengketa melalui

BANI.

Sesuai dengan Pasal 8 ayat (1) dan (2) UU No. 30 Tahun 1999, pemberitahuan

sebagaimana dimaksud di atas harus memuat dengan jelas:

a. nama dan alamat para pihak;


b. penunjukan kepada klausul atau perjanjian arbitrase yang berlaku;
c. perjanjian atau masalah yang menjadi sengketa;
d. dasar tuntutan dan jumlah yang dituntut, apabila ada;
e. cara penyelesaian yang dikehendaki; dan
65
Umar Husyein, Hukum dan Lembaga Arbitrase di Indonesia, Jakarta, 1995, hlm. 20

Universitas Sumatera Utara


44

f. perjanjian yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah arbiter atau apabila
tidak pernah diadakan perjanjian semacam itu, pemohon dapat mengajukan
usul tentang jumlah arbiter yang dikehendaki dalam jumlah ganjil.

Setelah menerima Permohonan Arbitrase dan dokumen-dokumen serta biaya

pendaftaran yang disyaratkan, Sekretariat harus mendaftarkan Permohonan itu dalam

register BANI. Badan Pengurus BANI juga akan memeriksa Permohonan tersebut

untuk menentukan apakah perjanjian arbitrase atau klausul arbitrase dalam kontrak

telah cukup memberikan dasar kewenangan bagi BANI untuk memeriksa sengketa

tersebut.

2. Penunjukan Arbiter

Pada dasarnya, para pihak dapat menentukan apakah forum arbitrase akan

dipimpin oleh arbiter tunggal atau oleh Majelis.

Dalam hal forum arbitrase dipimpin oleh arbiter tunggal, para pihak wajib

untuk mencapai suatu kesepakatan tentang pengangkatan arbiter tunggal pemohon

secara tertulis harus mengusulkan kepada termohon nama orang yang dapat diangkat

sebagai arbiter tunggal. Jika dalam 14 (empat belas) hari sejak termohon menerima

usul pemohon para pihak tidak berhasil menentukan arbiter tunggal maka dengan

berdasarkan permohonan dari salah satu pihak maka Ketua Pengadilan dapat

mengangkat arbiter tunggal.

Dalam hal forum dipimpin oleh Majelis maka Para Pihak akan mengangkat

masing-masing 1 (satu) arbiter. Dalam forum dipimpin oleh Majelis arbiter yang telah

diangkat oleh Para Pihak akan menunjuk 1 (satu) arbiter ketiga (yang kemudian akan

menjadi ketua majelis arbitrase). Apabila dalam waktu 14 (empat) belas hari setelah

Universitas Sumatera Utara


45

pengangkatan arbiter terakhir belum juga didapat kata sepakat maka atas permohonan

salah satu pihak maka Ketua Pengadilan Negeri dapat mengangkat arbiter ketiga.

Apabila setelah 30 (tiga puluh) hari setelah pemberitahuan diterima oleh

termohon dan salah satu pihak ternyata tidak menunjuk seseorang yang akan menjadi

anggota majelis arbitrase, arbiter yang ditunjuk oleh pihak lainnya akan bertindak

sebagai arbiter tunggal dan putusannya mengikat kedua belah pihak.

3. Tanggapan Termohon

Apabila Badan Pengurus BANI menentukan bahwa BANI berwenang

memeriksa, maka setelah pendaftaran Permohonan tersebut, seorang atau lebih

Sekretaris Majelis harus ditunjuk untuk membantu pekerjaan administrasi perkara

arbitrase tersebut. Sekretariat harus menyampaikan satu salinan Permohonan

Arbitrase dan dokumen-dokumen lampirannya kepada Termohon, dan meminta

Termohon untuk menyampaikan tanggapan tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga

puluh) hari.

Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah menerima penyampaian

Permohonan Arbitrase, Termohon wajib menyampaikan Jawaban. Dalam Jawaban

itu, Termohon dapat menunjuk seorang Arbiter atau menyerahkan penunjukan itu

kepada Ketua BANI. Apabila, dalam Jawaban tersebut, Termohon tidak menunjuk

seorang Arbiter, maka dianggap bahwa penunjukan mutlaktelah diserahkan kepada

Ketua BANI.

Ketua BANI berwenang, atas permohonan Termohon, memperpanjang waktu

pengajuan jawaban dan atau penunjukan arbiter oleh Termohon dengan alasan-alasan

Universitas Sumatera Utara


46

yang sah, dengan ketentuan bahwa perpanjangan waktu tersebut tidak boleh melebihi

14 (empat belas) hari.

4. Tuntutan Balik

Apabila Termohon bermaksud mengajukan suatu tuntutan balik (rekonvensi)

atau upaya penyelesaian sehubungan dengan sengketa atau tuntutan yang

bersangkutan sebagai-mana yang diajukan Pemohon, Termohon dapat mengajukan

tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian tersebut bersama dengan Surat

Jawaban atau selambat-lambatnya pada sidang pertama.

Majelis berwenang, atas permintaan Termohon, untuk memperkenankan

tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian itu agar diajukan pada suatu

tanggal kemudian apabila termohon dapat menjamin bahwa penundaan itu beralasan.

Atas tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian tersebut dikenakan

biaya tersendiri sesuai dengan cara perhitungan pembebanan biaya adminsitrasi yang

dilakukan terhadap tuntutan pokok (konvensi) yang harus dipenuhi oleh kedua belah

pihak berdasarkan Peraturan Prosedur dan daftar biaya yang berlaku yang ditetapkan

oleh BANI dari waktu ke waktu. Apabila biaya administrasi untuk tuntutan balik atau

upaya penyelesaian tersebut telah dibayar para pihak, maka tuntutan balik

(rekonvensi) atau upaya penyelesaian akan diperiksa, dipertimbangkan dan diputus

secara bersama-sama dengan tuntutan pokok.

Kelalaian para pihak atau salah satu dari mereka, untuk membayar biaya

administrasi sehubungan dengan tuntutan balik atau upaya penyelesaian tidak

menghalangi ataupun menunda kelanjutan penyelenggaraan arbitrase sehubungan

Universitas Sumatera Utara


47

dengan tuntutan pokok (konvensi) sejauh biaya administrasi sehubungan dengan

tuntutan pokok (konvensi) tersebut telah dibayar, seolah-olah tidak ada tuntutan balik

(rekonvensi) atau upaya penyelesaian tuntutan.

5. Jawaban Tuntutan Balik

Dalam hal Termohon telah mengajukan suatu tuntutan balik (rekonvensi) atau

upaya penyelesaian, pemohon (yang dalam hal itu menjadi termohon), berhak dalam

jangka waktu 30 hari atau jangka waktu lain yang ditetapkan oleh Majelis, untuk

mengajukan jawaban atas tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian

tersebut.

6. Sidang Pemeriksaan

Dalam sidang pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase

dilakukan secara tertutup. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia, kecuali

atas persetujuan arbiter atau majelis arbitrase para pihak dapat memilih bahasa lain

yang akan digunakan. Para pihak yang bersengketa dapat diwakili oleh kuasanya

dengan surat kuasa khusus.

Pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan

diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase, apabila terdapat unsur

kepentingan yang terkait dan keturut sertaannya disepakati oleh para pihak yang

bersengketa serta disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa

sengketa yang bersangkutan.

Universitas Sumatera Utara


48

Atas permohonan salah satu pihak, arbiter atau majelis arbitrase dapat

mengambil putusan provisionil atau putusan sela lainnya untuk mengatur ketertiban

jalannya pemeriksaan sengketa termasuk penetapan sita jaminan.

Pemeriksaan sengketa dalam arbitrase harus dilakukan secara tertulis.

Pemeriksaan secara lisan dapat dilakukan apabila disetujui para pihak atau dianggap

perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase. Arbiter atau majelis arbitrase dapat

mendengar keterangan saksi atau mengadakan pertemuan yang dianggap perlu pada

tempat tertentu diluar tempat arbitrase diadakan.

Pemeriksaan saksi dan saksi ahli dihadapan arbiter atau majelis arbitrase,

diselenggarakan menurut ketentuan dalam hukum acara perdata.

Arbiter atau majelis arbitrase dapat mengadakan pemeriksaan setempat atas

barang yang dipersengketakan atau hal lain yang berhubungan dengan sengketa yang

sedang diperiksa, dan dalam hal dianggap perlu, para pihak akan dipanggil secara sah

agar dapat juga hadir dalam pemeriksaan tersebut.

Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180

(seratus delapan puluh) hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk. Arbiter atau

majelis arbitrase berwenang untuk memperpanjang jangka waktu tugasnya apabila :

a. diajukan permohonan oleh salah satu pihak mengenai hal khusus tertentu;
b. sebagai akibat ditetapkan putusan provisionil atau putusan sela lainnya; atau
c. dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase untuk kepentingan
pemeriksaan.

Dalam hal para pihak datang menghadap pada hari yang telah ditetapkan,

arbiter atau majelis arbitrase terlebih dahulu mengusahakan perdamaian antara para

Universitas Sumatera Utara


49

pihak yang bersengketa. Dalam hal usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) tercapai, maka arbiter atau majelis arbitrase membuat suatu akta perdamaian

yang final dan mengikat para pihak dan memerintahkan para pihak untuk memenuhi

ketentuan perdamaian tersebut.

Apabila pada hari yang ditentukan sebagaimana dimaksud termohon tanpa

suatu alasan sah tidak datang menghadap, sedangkan termohon telah dipanggil secara

patut, arbiter atau majelis arbitrase segera melakukan pemanggilan sekali lagi.

Paling lama 10 (sepuluh) hari setelah pemanggilan kedua diterima termohon

dan tanpa alasan sah termohon juga tidak datang menghadap di muka persidangan,

pemeriksaan akan diteruskan tanpa hadirnya termohon dan tuntutan pemohon

dikabulkan seluruhnya, kecuali jika tuntutan tidak beralasan atau tidak berdasarkan

hukum.

Majelis wajib menetapkan Putusan akhir dalam waktu paling lama 30 hari

terhitung sejak ditutupnya persidangan, kecuali majelis mempertimbangkan bahwa

jangka waktu tersebut perlu diperpanjang secukupnya. Selain menetapkan putusan

akhir, majelis juga berhak menetapkan putusan-putusan pendahuluan, sela atau

putusan-putusan parsial.

7. Biaya-biaya

Permohonan Arbitrase harus disertai pembayaran biaya pendaftaran dan biaya

administrasi sesuai dengan ketentuan BANI. Biaya administrasi meliputi biaya

administrasi Sekretariat, biaya pemeriksaan perkara dan biaya arbiter serta biaya

Sekretaris Majelis.

Universitas Sumatera Utara


50

Apabila terdapat pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase turut serta dan

menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase seperti

yang dimaksud oleh pasal 30 Undang-undang No. 30/1999 maka pihak ketiga

tersebut wajib untuk membayar biaya administrasi dan biaya-biaya lainnya

sehubungan dengan keikutsertaannya tersebut.

Dalam hal termohon tidak memberikan tanggapan atau diam saja, maka

Pemohon arbitrase berkewajiban untuk membayar beban biaya perkara termohon.

Pemeriksaan perkara arbitrase tidak akan dimulai sebelum biaya administrasi dilunasi

oleh kedua belah pihak.

C. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)

Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah sebuah lembaga

yang berfungsi dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah.66

Karena itu, tujuan pendirian Badan Arbitrase Syariah Nasional

(BASYARNAS) sebagai badan permanen dan independen yang berfungsi

menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa (dispute) dalam urusan muamalat

yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri keuangan, jasa dan lain-lain

antara lembaga-lembaga keuangan syariah dan masyarakat yang berhubungan dengan

lembaga tersebut. Penyelesaian sengketa ini senantiasa merujuk kepada aturan syariat

Islam. 67

66
Husyen Umar, op.cit, hlm. 25
67
Ibid, hlm. 25

Universitas Sumatera Utara


51

Dikalangan umat Islam Indonesia Didalam UU No. 7 tahun 1992 tentang

Perbankan belum diatur tentang bank syariah, akan tetapi dalam menghadapi

perkembangan perekonomian nasional yang senantiasa bergerak cepat, kompetitif dan

terintegrasi dengan tantangan yang semakin maju diperlukan penyesuaian kebijakan

dibidang ekonomi, termasuk perbankan.

Selain BANI, BASYARNAS juga mempunyai tata cara pemeriksaan yang

hampir sama dengan UU No. 30 Tahun 1999, yaitu :68

a. Mulai dengan didaftarkannya surat permohonan untuk mengadakan arbitrase

oleh sekretaris dalam register BASYARNAS yang harus memuat nama lengkap

dan tempat tinggal para pihak, uraian singkat duduk perkara dan apa yang

dituntut (petitum). Dalam surat permohonan tersebut harus dilampirkan salinan

dari naskah kesepakatan yang secara khusus menyerahkan pemutusan sengketa

kepada BASYARNAS.

b. Apabila perjanjian yang menyerahkan pemutusan kepada BASYARNAS

dianggap telah mencukupi, maka Ketua BASYARNAS akan segera menetapkan

arbiter yang akan memeriksa perkara tersebut.

c. Arbiter tersebut memerintahkan untuk mengirim salinan permohonan kepada

termohon serta perintah untuk menanggapi permohonan tersebut dengan

memberikan jawaban selambat – lambatnya dalam waktu 30 hari. Setelah itu,

arbiter memerintahkan mengirim salinan jawaban kepada pemohon serta

68
Ibid, hlm. 26

Universitas Sumatera Utara


52

memerintahkan para pihak untuk menghadap di muka sidang pada tanggal yang

ditetapkan dalam kurun waktu 14 hari setelah dikeluarkannya perintah itu.

d. Pada prinsipnya, pemeriksaan arbitrase dilakukan secara langsung dan tertulis,

namun atas kesepakatan para pihak pemeriksaan dapat dilakukan secara lisan.

Tahap pemeriksaan terdiri atas tanya jawab (replik-duplik), pembuktian dan

tahap putusan. Baik tuntutan konvensi, rekonvensi maupun additional claim akan

diperiksa dan diputus oleh arbiter bersama – sama dan sekaligus dalam satu

putusan.

e. Arbiter terlebih dahulu mengusahakan perdamaian diantara para pihak. Bila

usaha tersebut berhasil, maka arbiter membuat akta perdamaian dan

memerintahkan kepada para pihak untuk menaatinya. Namun apabila usaha

tersebut gagal, maka pemeriksaan sengketa dilanjutkan.

f. Seluruh proses pemeriksaan sampai dengan diucapkannya putusan dilaksanakan

dalam jangka waktu 6 bulan terhitung sejak perintah pertama kepada para pihak

untuk menghadiri sidang pertama.

g. Bila pemeriksaan telah dianggap cukup, arbiter menutup pemeriksaan dan

menetapkan hari untuk mengucapkan putusan. Putusan diucapkan dihadapan para

pihak. Bila para pihak telah dipanggil secara patut namun ada pihak yang tidak

hadir maka putusan tetap diucapkan.

h. Dalam putusan tersebut harus memuat alasan – alasan serta diputus berdasarkan

keadilan dan kepatutan (ex aquo et bono). Setiap putusan harus dimulai dengan

Universitas Sumatera Utara


53

“BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM” dan “DEMI KEADILAN

BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.

D. Arbitrase Ad-Hoc

Arbitrase Ad-Hoc disebut juga sebagai arbitrase volunteer, Ketentuan

dalam Reglement Rechtovordering (Rv) mengenal adanya Arbitrase Ad-Hoc.

Pada pasal 615 ayat (1) Rv. Arbitrase Ad-Hoc adalah arbitrase yang dibentuk

khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu, atau dengan

kata lain arbitrase ad-hoc bersifat insidentil. 69

Menurut Sutan Reny bahwa arbitrase Ad-Hoc bersifat sekali pakai

(eenmalig). Berarti, setelah para wasit atau arbiter menjalankan tugasnya, maka

arbiter atau majelis arbiter yang memeriksa sengketa itu bubar. Para arbiter dari

arbitrase Ad-Hoc dipilih sendiri oleh para pihak yang bersengketa dan para

arbiter menyelesaikan sengketa itu berdasarkan peraturan prosedur yang

ditetapkan sendiri oleh para pihak. 70

Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase

dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyebutkan bahwa:

“Dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai


pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan yang dibuat mengenai
pengangkatan arbiter, ketua pengadilan negeri menunjuk arbiter atau
majelis arbitrase”
Dalam suatu arbitrase ad-hoc bagi setiap ketidaksepakatan dalam
penunjukan seorang atau beberapa arbiter, para pihak dapat mengajukan
permohonan kepada ketua pengadilan negeri”.

69
Sutan Remy Sjahdeini Penyelesaian Sengketa Perbankan Melalui Arbitrase Indonesia
Arbitration Quarterly Newsletter, Number 6/2009, diterbitkan oleh BANI Arbitration Center, hlm. 23
70
Ibid, hlm. 24

Universitas Sumatera Utara


54

Guna mengetahui dan menentukan arbitrase jenis ad-hoc atau

institusional yang disepakati para pihak, dapat dilihat melalui rumusan klausul

arbitrase dalam akta perjanjian yang dibuat sebelum terjadi sengketa atau

perjanjian yang dibuat setelah terjadinya sengketa, yang menyatakan bahwa

perselisihan akan diselesaikan oleh arbitrase. 71

Apabila dalam klausul arbitrase menyebutkan bahwa arbitrase yang akan

menyelesaikan perselisihan adalah arbitrase perorangan, jenis arbitrase yang

disepakati adalah arbitrase ad-hoc.

Ciri pokok arbitrase ad-hoc adalah penunjukan para arbiternya secara

perorangan oleh masing-masing pihak yang bersengketa. Walaupun demikian,

di antara salah satu dari tiga arbiter harus ada arbiter yang netral yang tidak

ditunjuk oleh para pihak. Pada prinsipnya arbitrase ad-hoc tidak terikat atau

terkait dengan salah satu lembaga atau badan arbitrase. Jenis arbitrase ini tidak

memiliki aturan atau cara tersendiri mengenai tata cara pemeriksaan sengketa

seperti halnya arbitrase institusional. Akan tetapi, dalam melaksanakan

acaranya sedapat mungkin mengacu pada undang-undang yang berlaku. 72

E. Pengangkatan Arbiter Menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun


1999

Pasal 12 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa menggariskan bahwa yang dapat ditunjuk atau

71
Sudargo Gautama, Undang-undang Arbitrase Baru, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999,
hlm. 30
72
Ibid, hlm. 31

Universitas Sumatera Utara


55

diangkat sebagai arbiter harus memenuhi syarat :

1. cakap melakukan tindakan hukum;


2. berumur paling rendah 35 tahun;
3. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan
derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa;
4. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lainnya atas putusan
arbitrase; dan
5. memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit
15 tahun.

Apabila para pihak telah bersepakat bahwa sengketa yang timbul akan

diperiksa dan diputus oleh arbiter tunggal, para pihak wajib untuk mencapai suatu

kesepakatan tentang pengangkatan arbiter tunggal. Untuk pengangkatan arbiter

tunggal tersebut salah satu pihak (pemohon) harus mengusulkan kepada pihak

termohon nama orang yang dapat diangkat sebagai arbiter tunggal dengan surat

tercatat, telegram, faksmili, e-mail atau dengan buku ekspedisi.

Undang-undang ini memberikan jangka waktu 14 (empat belas) hari

kepada pihak untuk mencapai kata sepakat dalam hal penunjukkan arbiter tunggal.

Waktu 14 hari dihitung sejak termohon menerima usulan permohonan arbiter dari

pihak pemohon. Apabila dalam jangka waktu 14 hari para pihak tidak berhasil

menyetujui arbiter tunggal, maka salah satu pihak dapat memohon kepada Ketua

Pengadilan Negeri agar ditunjuk seorang arbiter tunggal. Dalam hal demikian

Ketua Pengadilan Negeri dapat menunjuk seorang arbiter yang akan

menyelesaikan sengketa tersebut. Pengangkatan arbiter (tunggal) oleh Ketua

Pengadilan Negeri tersebut dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :

1. Dipilih berdasarkan daftar nama yang disusun oleh para pihak.


2. Dipilih berdasarkan daftar nama yang disusun oleh lembaga atau organisasi

Universitas Sumatera Utara


56

arbitrase yang ditunjuk.


3. Dengan memperhatikan rekomendasi ataupun keberatan yang diajukan oleh
masing-masing pihak terhadap calon arbiter yang bersangkutan (pasal 14
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999).

Undang-undang Arbitrase memilih pendekatan pengadilan dalam hal terjadi

deadlock dalam pemilihan arbitrase. Apabila hal ini terjadi, salah satu pihak dapat

mengajukan masalahnya kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang. Ketua

Pengadilan tersebut akan mengangkat seorang atau lebih arbiter yang akan

menyelesaikan perkara yang bersangkutan. Demikian juga dalam suatu arbitrase ad-

hoc bagi ketidaksepakatan dalam penunjukkan seorang atau beberapa arbiter, para

pihak dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk

menunjuk seorang arbiter atau lebih dalam rangka penyelesaian sengketa para

pihak.73

Pengadilan berperan manakala para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan

mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan yang dibuat mengenai

pengangkatan arbiter, maka Ketua Pengadilan Negeri menunjuk arbiter atau Majelis

Arbitrase. (pasal 13). Dengan adanya ketentuan ini, maka dihindari bahwa dalam

praktek akan terjadi jalan buntu apabila para pihak di dalam syarat arbitrase tidak

mengatur secara baik dan seksama tentang acara yang harus ditempuh dalam

pengangkatan arbiter.

Dalam hal para pihak sepakat bahwa sengketa yang timbul akan diperiksa dan

diputus oleh Majelis Arbitrase, maka penunjukkan 2 orang arbiter oleh para pihak

73
Ibid, hlm 23

Universitas Sumatera Utara


57

tersebut diberi wewenang untuk memilih dan menunjuk arbiter yang ketiga. Arbiter

ketiga tersebut diangkat sebagai Ketua Majelis Arbitrase (pasal 15). Apabila dalam

waktu paling lama 30 hari setelah pemberitahuan diterima oleh termohon, dan

salah satu pihak ternyata tidak menunjuk seseorang yang akan menjadi anggota

majelis arbitrase, arbiter yang ditunjuk oleh pihak lainnya akan bertindak sebagai

arbiter tunggal dan putusannya mengikat kedua belah pihak.

Apabila kedua arbiter yang telah ditunjuk oleh masing-masing pihak tidak

berhasil menunjuk arbiter ketiga dalam waktu paling lama 14 hari setelah arbiter

yang terakhir ditunjuk, atas permohonan salah satu pihak, maka Ketua Pengadilan

Negeri dapat mengangkat arbiter ketiga. Terhadap pengangkatan arbiter yang

dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri tersebut, tidak dapat diajukan upaya

pembatalan (pasal 15). Para pihak tidak dapat menolak dan melakukan upaya hukum

terhadap putusan pengangkatan arbiter tersebut.

Bagi arbiter yang ditunjuk oleh para pihak dapat menerima atau menolak

penunjukan atau pengangkat arbiter. Penerimaan dan penolakan wajib diberitahukan

secara tertulis kepada para pihak dalam waktu paling lama 14 hari terhitung sejak

tanggal penunjukan atau pengangkatan (pasal 16). hal ini guna memberitahukan

kepada para pihak mengenai kepastian arbiter dalam turut serta dan perannya dalam

menyelesaikan sengketa.

Bagi seorang yang ditunjuk sebagai arbiter menerima penunjukannya, maka

harus memberitahukan para pihak mengenai penunjukannya (pasal 18). Dalam hal

arbiter yang telah menerima penunjukan menyatakan menarik diri dengan

Universitas Sumatera Utara


58

mengajukan surat permohonan secara tertulis kepada para pihak dan apabila para

pihak dapat menyetujui permohonan itu, maka yang bersangkutan akan dibebaskan

dari tugas sebagai arbiter, tetapi apabila permohonan penarikan diri tidak dapat

diterima oleh para pihak, rnaka Pengadilan Negeri disini berperan yaitu

membebaskan tugas arbiter dengan penetapan Ketua Pengadilan Negeri (pasal 19).

Hal ini juga berlaku jika selama pemeriksaan sengketa berlangsung arbiter menjadi

tidak mampu (untuk bertindak dalam hukum, maupun secara fisik) atau

mengundurkan diri karena tidak dapat melaksanakan kewajibannya, seorang arbiter

pengganti akan diangkat dengan cara sebagaimana yang berlaku bagi pengangkatan

arbiter nyang bersangkutan.

Terhadap arbiter dapat diajukan tuntutan ingkar apabila terdapat cukup

alasan dan cukup bukti otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan

melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil putusan

(pasal 22). Intinya arbiter yang diajukan hak ingkar dapat dicoret dan diminta tidak

menjadi arbiter dalam suatu perkara.

Hak ingkar arbiter yang diangkat oleh Ketua Pengadilan Negeri diajukan

kepada Pengadilan Negeri yang bersangkutan (pasal 23 ayat 1). Terhadap arbiter

yang diangkat dengan penetapan Pengadilan Negeri hanya dapat diingkari

berdasarkan alasan yang diketahuinya setelah adanya penerimaan penetapan

Pengadilan tersebut. Dalam hal tuntutan ingkar yang diajukan oleh salah satu pihak

tidak disetujui oleh pihak lain dan arbiter yang bersangkutan tidak bersedia

mengundurkan diri, pihak yang berkepentingan dapat mengajukan tuntutan kepada

Universitas Sumatera Utara


59

Ketua Pengadilan Negeri yang putusannya mengikat kedua pihak, tidak dapat

diajukan perlawanan (pasal 25 ayat 3). putusan ketua pengadilan negeri dalam

tuntutan ingkar mengikat kedua belah pihak dan putusan tersebut bersifat final dan

tidak ada upaya hukum perlawanan.

Apabila Ketua Pengadilan Negeri menolak tuntutan ingkar, arbiter

melanjutkan tugasnya (pasal 25 ayat 3). Mengenai putusan ketua pengadilan negeri

ini sifatnya mengikat dan tidak dapat dilakukan upaya hukum.

F. Proses Penegakan Hukum Arbitrase

Secara umum dapat dikatakan bahwa jalannya pemeriksaan atau penyelesaian

dalam arbitrase tidak jauh berbeda dengan jalannya proses pemeriksaan perkara

dalam pranata peradilan pada umumnya, proses jalannya pemeriksaan tersebut

meliputi antara lain acara yang dipergunakan, bahasa yang dipakai, sistem

pembuktian yang diterapkan, hak-hak para pihak dalam proses pemeriksaan serta

alur jalannya pemeriksaan itu sendiri yang dimulai dari sejak permohonan untuk

pemeriksaan sengketa diajukan, hingga pada akhirnya dijatuhkan suatu putusan pada

tingkat akhir yang mengikat para pihak yang meminta penyelesaian perselisihan

atau sengketa mereka melalui lembaga Pranata Arbitrase tersebut.

Sebagai suatu bentuk lembaga peradilan swasta dengan hakim swasta dan

seperti juga telah ditegaskan dalam Undang-undang No.30 Tahun 1999 bahwa

perselisihan atau sengketa yang dapat diperiksa dan karenanya tunduk pada proses

pemeriksaan arbitrase ini adalah perselisihan atau sengketa yang secara hukum dapat

diselesaikan melalui proses perdamaian. Halini menunjukkan bahwa pranata

Universitas Sumatera Utara


60

arbitrase merupakan suatu alternatif penyelesaian sengketa hanya terdapat hal-hal

dimana dimungkinkan adanya kebebasan dari para pihak untuk melakukan

penyimpangan dari ketentuan hukum yang berlaku umum yang dalam hal ini

secara teoritis dapat dikatakan dengan ketentuan sebagaimana yang diatur dalam

buku III KUH Perdata yang bersifat terbuka. Karena berarti proses pemeriksaan

melalui pranata arbitrase ini tidak jauh berbeda dengan proses pemeriksaan peradilan

perdata yang menunjukkan atau menjurus ke arah perniagaan.74

Seperti pernah disinggung dalam tulisan sebelumnya, UU No.30 tahun 1999

mengenal dua macam penyelesaian perselisihan melalui lembaga arbitrase yaitu

arbitrase yang diselenggarakan secara ad-hoc dan arbitrase yang dilaksanakan oleh

suatu lembaga arbitrase tersendiri.

Pada dasarnya para pihak diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri

acara dan proses pemeriksaan sengketa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan

oleh para arbiter yang telah ditunjuk atau diangkat tersebut, hanya saja kehendak

tersebut harus disebutkan secara tegas dan tertulis, sehingga dapat menjadi acuan

yang jelas bagi para arbiter tersebut. Satu hal lagi yang harus diperhatikan adalah

bahwa pemilihan acara dan proses tersebut tidak boleh bertentangan dengan

ketentuan yang diatur dalam UU No.30 Tahun 1999.

Bagi arbitrase ad-hoc UU No.30 Tahun 1999 menyatakan bahwa para pihak

tidak menentukan sendiri ketentuan mengenai acara arbitrase yang akan digunakan

dalam pemeriksaan, arbiter atau majelis arbitrase ad-hoc telah terbentuk, maka semua
74
Felix O. Subagyo, op. cit, hlm.37

Universitas Sumatera Utara


61

sengketa yang penyelesaiannya diserahkan kepada arbiter atau majelis arbitrase ad-

hoc tersebut yang akan diperiksa dan diputuskan menurut ketentuan dalam UU No.30

Tahun 1999 ini.

Khusus untuk penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase, ketentuan

Pasal 34 UU No.30 Tahun1999 menentukan bahwa penyelesaian sengketa melalui

arbitrase dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga arbitrase nasional dan

internasional berdasarkan atas kesepakatan para pihak dalam hal yang demikian,

maka proses pemeriksaan dan penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase

tersebut yang dipilih oleh para pihak, akan dilakukan menurut peraturan dan acara

dari lembaga arbitrase yang dipilih kecuali ditetapkan secara lain oleh para pihak.

Berbeda dengan sidang pemeriksaan peradilan perdata yang terbuka untuk

umum, semua pemeriksaan sengketa yang dilakukan oleh arbiter atau majelis

arbitrase dilakukan secara tertutup, ini merupakan salah satu kelebihan perbedaan dari

lembaga arbitrase terhadap lembaga peradilan pada umumnya, sifat kerahasian ini

cenderung menjadi pilihan utama bagi kalangan developer yang tidak menginginkan

masyarakat umum mengetahui adanya suatu perselisihan, sengketa atau bahkan

perkara perdata yang dialami oleh developer dengan pihak lain yang mungkin juga

merupakan mitra usahanya.

Sejalan dengan pengakuan akan pranata alternatif penyelesaian perselisihan di

Indonesia, menurut ketentuan hukum Indonesia, maka sudah selayaknya jika bahasa

Indonesia, kecuali jika para pihak berdasarkan atas mufakat bersama memilih bahasa

lain yang dipergunakan selama proses pemeriksaan berlangsung.

Universitas Sumatera Utara


62

Sebagaimana halnya proses pemeriksaan peradilan pada umumnya UU No. 30

Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa memungkinkan

masuknya pihak ketiga diluar perjanjian arbitrase, untuk turut serta menggabungkan

diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase, jika terdapat unsur

kepentingan yang terkait, walaupun demikian sedikit berbeda dengan proses

peradilan pada umumnya. Keikutsertaan pihak ketiga ini perlu disepakati oleh para

pihak yang bersengketa serta disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase yang

memeriksa sengketa yang bersangkutan.

Dalam rumusan Pasal 48 UU No. 30 Tahun 1999 mewajibkan pemeriksaan

atas sengketa untuk diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 180 hari terhitung

sejak arbiter atau majelis arbiter terbentuk, walau demikian atas persetujuan para

pihak dan jika memang diperlukan sesuai ketentuan Pasal 33 UU No.30 Tahun 1999

maka jangka waktu tersebut dapat diperpanjang, adapun rumusan ketentuan Pasal 33

ini adalah sebagai berikut :

Arbiter atau majelis arbitrase berwenang untuk memperpanjang jangka

waktu tugasnya apabila:

1. Diajukan permohonan oleh salah satu pihak mengenai hal khusus tertentu.

2. Sebagai akibat ditetapkannya putusan provisionil atau putusan lainnya.

3. Dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase untuk kepentingan

pemeriksaan.

Pada umumnya pilihan hukum ditentukan oleh para pihak dalam perjanjian

awal yang menjadi dasar terbitnya perbedaan pendapat, perselisihan ataupun

Universitas Sumatera Utara


63

sengketa, walau demikian sebagaimana halnya perjanjian arbitrase itu sendiri

dimungkinkan untuk dibuat setelah perbedaan pendapat, perselisihan atau sengketa

terbit, UU No. 30 Tahun 1999 juga memungkinkan atau secara lugas kita katakan

memberikan hak kepada para pihak untuk menentukan sendiri pilihan hukum yang

dipilih untuk menyelesaikan perbedaan pendapat, perselisihan atau sengketa yang

telah ada tersebut. Dalam hal para pihak tidak menentukan hukum mana yang

akan berlaku, penjelasan Pasal 56 ayat (2) UU NO. 30 Tahun 1999 menyatakan

bahwa yang harus diberlakukan adalah ketentuan hukum dari tempat dimana arbitrase

diselenggarakan.

Kebebasan untuk melakukan pilihan hukum tidak begitu saja memberikan

kewenangan yang mutlak bagi para pihak untuk melakukan pilihan atas ketentuan

hukum dari setiap para pihak , jika hukum yang dipilih tersebut tidak memiliki

hubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan perjanjian yang

dibuat. Dalam hal yang demikian hakim bebas untuk menilai apakah suatu pilihan

hukum telah dilakukan secara patut atau tidak. Tempat arbitrase akan ditentukan oleh

arbiter atau majelis arbitrase, kecuali para pihak ingin menentukan sendiri tempat

arbitrase yang telah ditentukan dan akan menjadi pusat dan tempat penyelenggaraan

proses pemeriksaan sengketa. Walaupun demikian Undang-undang No.30 Tahun

1999 membuka kemungkinan bagi arbiter atau majelis arbitrase dapat mendengar

keterangan saksi atau mengadakan pertemuan yang dianggap perlu pada tempat

tertentu diluar tempat arbitrase diadakan. Pemeriksaan saksi dan saksi ahli dihadapan

Universitas Sumatera Utara


64

arbiter atau majelis arbitrase, diselenggarakan menurut ketentuan dalam hukum acara

perdata.

Arbiter atau majelis arbitrase diperkenankan untuk mengadakan

pemeriksaan tempat atau barang yang dipersengketakan atau hak lain yang

berhubungan dengan sengketa yang sedang diperiksa, dan dalam hal dianggap perlu,

para pihak akan dipanggil secara sah agar juga hadir dalam pemeriksaan tersebut.

Undang-undang No. 30 Tahun1999 memberikan kelonggaran bagi para pihak,

termasuk dalam hal para arbiter untuk menentukan sendiri jalannya proses

pemeriksaan arbiter tersebut, selama dan sepanjang hal tersebut relevan dan dianggap

perlu untuk menunjuk jalannya proses pemeriksaan serta dalam kerangka waktu yang

ditentukan, dengan tidak mengurangi makna esensial dari lembaga arbitrase yang

bersifat cepat disamping terjaga kerahasiaannya.

Seperti halnya jalannya proses pemeriksaan persidangan dalam pranata

peradilan, jalannya proses pemeriksaan sengketa dalam pranata arbitrase juga diawali

dengan pemasukan surat permohonan oleh pemohon, yang selanjutnya diikuti dengan

proses penjawaban surat permohonan tersebut oleh pihak termohon, sebagai bagian

dari hak para pihak untuk didengar selama proses pemeriksaan berlangsung. Surat

tuntutan yang diajukan tersebut harus memuat sekurang-kurangnya75:

A. Nama lengkap dan tempat tinggal atau tempat kedudukan para pihak.

B. Uraian singkat tentang sengketa disertai dengan lampiran bukti-bukti.

75
Undang-undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa

Universitas Sumatera Utara


65

C. Isi tuntutan harus yang jelas.

Setelah menerima surat tuntutan dari pemohon, arbiter atau ketua majelis

arbiter akan menyampaikan jawabannya, satu salinan tuntutan tersebut kepada

pemohon. Penyampaian surat berisikan tuntutan wajib disertai perintah bahwa

termohon harus menanggapi dan memberikan jawabannya secara tertulis dalam

waktu paling lama 14 hari terhitung sejak diterimanya salinan tuntutan, oleh

termohon. Apabila lewatnya jangka waktu 14 hari tidak menyampaikan

jawabannya maka arbiter atau ketua majelis arbitrase wajib memanggil termohon

atau kuasanya untuk hadir dalam sidang arbitrase dalam jangka waktu 14 hari

terhitung sejak surat perintah menghadap dikeluarkan.

G. Tahapan-tahapan Dalam Proses Arbitrase

Berbagai ketentuan arbitrase seperti yang dimuat dalam Rv dan BANI,

peraturan arbitrase diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999

mengatur tahapan prosesarbitrase, dalam setiap proses arbitrase pada dasarnya

terdapat persamaan yang terbagi dalam tiga tahapan besar sebagai berikut:

1. Tahap Negosiasi

Pengertian tahap negosiasi yang dimaksudkan adalah negosiasi yang

dilakukan pihak-pihak untuk memperoleh kesepakatan bahwa jika kelak timbul

sengketa akan diselesaikan melalui arbitrase.

Dalam suatu kegiatan bisnis sudah lazim para pihak yang terlibat membuat

dan menandatangani suatu perjanjian. Sebelum PPJB ditandatangani, developer dan

konsumen akan selalu melakukan negosiasi atau praperjanjian terlebih dahulu, yaitu

Universitas Sumatera Utara


66

suatu pembicaraan atau perundingan untuk mencapai suatu kesepakatan tentang hal

yang dirundingkan. Jika negosiasi tersebut berhasil akan melahirkan perjanjian,

dan sebaliknya jika negosiasi tersebut gagal tidak akan lahir perjanjian.

Salah satu bagian yang menjadi objek negosiasi adalah mengenai

bagaimana sengketa akan diselesaikan jika kemudian hari pelaksanaan perjanjian

tidak sesuai dengan syarat-syarat yang diperjanjikan. Pilihan penyelesaian sengketa

yang dinegosiasikan disamping melalui pengadilan juga adakalanya dipilih

penyelesaian melalui arbitrase, manakala penyelesaian pada tahap pertama oleh para

pihak, yaitu dengan cara musyawarah tidak mencapai sepakat.

Berbeda jika para pihak dalam negosiasi memilih penyelesaian melalui

Pengadilan Negeri yang hanya menyebut Pengadilan Negeri mana, dalam hal

memilih arbitrase, para pihak seharusnya juga menentukan hal-hal yang sering

menimbulkan masalah pada saat proses arbitrase dilaksanakan diantaranya

mengenai hal-hal berikut:

Dalam kaitan ini pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menyatakan:

"Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi

antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase".

Dalam tahap negosiasi para pihak dapat menyepakati hal-hal sebagai berikut:

a. Penentuan Rule yang dipilih

Para pihak harus menentukan secara tegas rule apa yang akan digunakan,

apakah Arbitration ad-hoc yang telah dibentuk atau peraturan prosedur BANI. Jika

tidak demikian dapat terjadi, sengketa mengenai rule apa yang harus dipedomani.

Universitas Sumatera Utara


67

Akibatnya sebelum memasuki sengketa pokok, para pihak akan bersengketa dahulu

mengenai rule yang dipakai. Bahkan, jika mengenai rule ini tidak dapat diselesaikan

berdasarkan kata sepakat, terpaksa permasalahannya diajukan ke Pengadilan secara

gugat contentiosa. Hal itu sudah tentu akan menyebabkan penyelesaian arbitrase

menjadi tidak efektif.

b. Penentuan Bentuk Arbitrase

Sama halnya dengan penentuan rule yang akan dipilih, para pihak seharusnya

juga menentukan bentuk arbitrase yang digunakan agar tidak timbul masalah

sebelum memasuki penyelesaian sengketa pokok.

Seperti diketahui, dari sudut kelembagaan dikenal adanya arbitrase ad-hoc

dan arbitrase institusional. Arbitrase ad-hoc (disebut juga arbitrase volunteer) ialah

arbitrase yang khusus dibentuk untuk menyelesaikan sengketa tertentu. Dengan

demikian, arbitrase ad-hoc ini sifatnya insidentil, sedangkan arbitrase institusional

merupakan lembaga arbitrase yang sifatnya permanen atau disebut juga permanent

arbitral body. Arbitrase Institusional tersebut ada yang berskala internasional,

regional dan nasional. Arbitrase institusional yang berskala internasional misal Court

Of Arbitration De Paris yang didirikan berdasarkan ICC rules, ICSID yang

berkedudukan di Washington yang berskala regional seperti misalnya Asia Afrika

Legal Consitative Committee (AALOC) yang berkedudukan di New Delhi. Adapun

arbitrase institusional yang berskala nasional adalah BANI.

Jadi dalam melakukan negosiasi menyangkut arbitrase juga harus disepakati

bentuk arbitrase mana yang dipilih apakah arbitrase ad-hoc atau institusional. Jika

Universitas Sumatera Utara


68

dipilih arbitrase institusional, juga harus ditegaskan arbitrase institusional mana yang

ditunjuk, sebab apabila tidak demikian sebelum menyentuh sengketa pokok, para

pihak dapat terlibat lebih dahulu dengan sengketa mengenai bentuk arbitrase.

c. Penentuan Susunan Arbiter

Penentuan susunan arbiter sangat penting bagi para pihak pada saat

melakukan negosiasi bahwa penyelesaian sengketa akan dilakukan melalui

arbitrase. Apabila tidak ditentukan lebih dahulu, berpeluang timbul sengketa

karena mungkin salah satu pihak bersikeras bahwa sengketa akan diselesaikan oleh

arbiter tunggal, sedangkan pihak lainnya berpendirian harus diselesaikan oleh

beberapa orang arbiter. Semua rule yang berskala nasional dan internasional sudah

mengatur secara rinci tata cara penunjukkan arbiter tersebut. Namun rule manapun

yang disepakati, hanya ada dua altematif yaitu pertama menunjuk arbiter tunggal dan

kedua menunjuk arbiter majelis yang terdiri dari beberapa orang asal ganjil dan

lazimnya tiga orang.

d. Penentuan mengenai Pemberlakuan Sistem Umpire

Para pihak dalam mengadakan negosiasi perlu menegaskan berlakunya

sistem umpire. Hal itu sangat penting terutama jika para pihak sepakat menunjuk

arbiter majelis. Penegasan berlakunya sistem umpire oleh para pihak adalah untuk

mengantisipasi jika majelis arbiter gagal mencapai suara terbanyak dalam

mengambil suatu putusan. Dengan ditegaskannya berlaku sistem umpire, jika

majelis tidak mencapai suara mayoritas, berarti para pihak memberi hak dan

wewenang kepada ketua arbiter mengambil putusan sendiri atas nama majelis.

Universitas Sumatera Utara


69

Dengan kata lain, penerapan sistem umpire merupakan alternatif dari kegagalan

sistem mayoritas. Menurut M. Yahya Harahap76 penegasan sistem ini perlu jika rule

yang disepakati akan digunakan adalah sistem Rv dan Peraturan BANI karena

menganut sistern mayoritas tanpa alternatif.

e. Penentuan Bahasa

Mengenal bahasa yang akan digunakan dalam proses arbitrase masing-

masing rule secara tegas mengaturnya. Arbitraseversi Rv maupun BANI tidak

mempermasalahkan soal penggunaan bahasa dalam proses pemeriksaan.

Sekalipun demikian, adanya kesamaan bahasa yang akan digunakan sangat

penting agar tidak menimbulkan masalah penafsiran. Karena proses penyelesaian

melalui arbitrase itu sendiri berdasarkan kesepakatan, sebaiknya mengenai bahasa

yang digunakan diserahkan kepada kesepakatan masing-masing pihak.

f. Tempat Kedudukan Arbitrase

Yang dimaksud tempat kedudukan arbitrase adalah tempat arbitrase

memeriksa sengketa. Sebaiknya, mengenai tempat ini disepakati oleh para pihak

terlebih dahulu agar para pihak dapat memperhitungkan berbagai kemungkinan

yang dapat menghambat jalannya proses pemeriksaan. Terlebih-lebih jika aturan

arbitrase yang disepakati para pihak untuk memproses sengketa adalah Rv atau

aturan BANI, karena kedua aturan tersebut tidak mengatur masalah tempat

kedudukan arbitrase.

2. Tahap Pemeriksaan
76
M. Yahya Harahap, op. cit, hlm. 125

Universitas Sumatera Utara


70

Dengan adanya berbagai sumber peraturan (rule) mengenai arbitrase, dalam

uraian mengenai pemeriksaan arbitrase, hanya diuraikan pemeriksaan yang dipakai

BANI sebagaimana dimuat dalam Peraturan Prosedur Arbitrase BANI dikaitkan

dengan ketentuan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999. Menurut peraturan

tersebut, proses pemeriksaan arbitrase oleh BANI pada garis besamya dilaksanakan

sebagai berikut :

a. Prosedur arbitrase dimulai dengan didaftarkannya surat permohonan kepada

BANI, yang memuat:

1) nama dan alamat para pihak;


2) uraian tentang sengketa dan tuntutannya;
3) melampirkarn salinan perjanjian yang memuat klausul yang
menyerahkan pemutusan sengketa kepada arbitrase;
4) menunjuk arbiter atau menyerahkan kepada BANI dan membayar
biaya pendaftaran (pasal 1 dan 2).

b. Setelah meneliti permohonan tersebut, Ketua BANI menurut pasal 3 dan 5

dapat menentukan sikap sebagai berikut:

1) Jika dalam perjanjian yang memuat penyerahan sengketa kepada BANI


dianggap tidak cukup dasar kewenangan BANI untuk memeriksa
sengketa, BANI akan menolak permohonan dan memberitahukannya
kepada pemohon.
2) Jika dalam perjanjian tersebut dianggap cukup, Ketua BANI
mengeluarkan perintah untuk menyampaikan salinan permohonan
kepada si termohon disertai perintah untuk menanggapi permohonan
dan memberikan jawabannya secara tertulis. Dalam jawaban tersebut
sekaligus termohon harus menunjuk seorang arbiter.
3) Memerintahkan kepada kedua belah pihak untuk menghadap di
muka sidang arbitrase pada waktu yang ditentukan.
4) Menunjuk seorang arbiter sebagai ketua majelis arbiter (jika para pihak
telah menunjuk arbiter) atau Ketua BANI akan menunjuk suatu tim yang
terdiri dari tiga orang arbiter (jika para pihak belum menunjuk arbiter).

c. Berdasarkan pasal 13,14dan 16 Majelis melaksanakan pemeriksaan yang

Universitas Sumatera Utara


71

berupa:

1) Pengusahaan tercapainya suatu perdamaian, jika tercapai perdamaian


dibuat akta perdamaian, jika tidak majelis akan melanjutkan
pemeriksaan.
2) Masing-masing diberi kesempatan untuk menjelaskan pendiriannya.
3) Pemeriksaan bukti-bukti dan pemanggilan saksi atau ahli.
4) Setelah pemeriksaan dianggap cukup, majelis akan menjatuhkan
putusan.

3. Tahap Pelaksanaan Putusan Arbitrase

Dalam Peraturan Prosedur Arbitrase BANI ketentuan yang berkaitan dengan

tahap pelaksanaan putusan dimuat dalam pasal 17, 18 dan 19 sebagai berikut:

a. Dalam putusan dapat diterapkan suatu jangka waktu dalam mana


putusan harus dipenuhi (pasal 17).
b. Jika dalam jangka waktu tersebut tidak dipenuhi, Ketua BANI akan
menyerahkan putusan kepada Ketua Pengadilan yang berwenang
untuk dijalankan (pasal 18).
c. Putusan dijalankan menurut ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam
HR maupun Rbg.

Klausul Arbitrase merupakan suatu kesepakatan para pihak tentang tata cara

penyelesaian sengketa perdata melalui lembaga arbitrase yang mereka sepakati

(inginkan) bersama. Jurisprudensi di Indonesia mengakui bahwa arbitrase sebagai

extra yudiciar yang lahir dari klausul arbitrase dalam suatu perjanjian mempunyai

legal effect yang memberi kewenangan absolut kepada Badan Arbitrase untuk

menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian berdasar atas berlakunya azas

hukum "Pacta Sunt Servanda".77

Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa antara lain mengatur kewenangan arbitrase dan meniadakan


77
Hasanuddin Rachman, op. cit, hlm. 40

Universitas Sumatera Utara


72

kewenangan pengadilan. Pasal 11 ayat (1) Undang-undang tersebut antara lain

menyatakan :

"adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk

mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam

perjanjiannya ke Pengadilan Negeri''.

Pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase nasional dengan putusan arbitrase

internasional berbeda satu sama lain. UU No.30 Tahun 1999 juga mengaturnya

secara terpisah diantara eksekusi kedua macam arbitrase tersebut.

H. Pengaturan Hukum Pelaksanaan Putusan Arbitrase

Pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase nasional dapat dilakukan baik

secara sukarela atau secara paksa. Eksekusi putusan arbitrase secara sukarela

dimaksudkan sebagai pelaksanaan putusan yang tidak memerlukan campur tangan

dari pihak Ketua Pengadilan Negeri, melainkan para pihak yang berkewajiban

melaksanakan putusan tersebutdan melaksanakan sendiri isi putusan arbitrase

tersebut, sedangkan eksekusi secara paksa dimaksudkan jika pihak yang

berkewajiban tidak melaksanakan kewajibannya, diperlukan campur tangan ketua

Pengadilan Negeri dan aparatnya untuk memaksanakan pelaksanaan eksekusi yang

bersangkutan, agar dapat dieksekusinya suatu putusan arbitrase, harus dilakukan

suatu prosedur hukum yang disebut dengan akta pendaftaran. Yang dimaksud dengan

akta pendaftaran adalah pencatatan dan pendaftaran bagian pinggir atau dipinggir

putusan arbitrase asli atau salinan otentik yang ditanda tangani bersama-sama, oleh

Panitera Pengadilan Negeri dan arbiter atau kuasanya yang menyerahkan putusan

Universitas Sumatera Utara


73

arbitrase tersebut. Penandatangan tersebut dilakukan pada saat pencatatan dan

pendaftaran putusan arbitrase di Pengadilan Negeri dalam jangka waktu paling lama

30 hari terhitung sejak putusan diucapkan.78

Pencatatan tersebut merupakan satu-satunya dasar bagi pelaksanaan putusan

arbitrase oleh pihak yang berkepentingan atas pelaksanaan putusan arbitrase tersebut,

oleh karena Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menentukan bahwa jika

pencatatan tersebut tidak dilakukan sesuai atau dalam jangka waktu yang ditentukan,

maka putusan arbitrase tersebut tidak dapat dilaksanakan.

Selain itu Undang-Undang juga mewajibkan Arbiter atau kuasanya untuk

menyerahkan putusan dan lembar asli pengangkatan sebagai Arbiter atau salinan

otentiknya kepada Panitera Pengadilan Negeri. Perludi sampaikan disini bahwa

pendaftaran dan catatan tersebut akan menjadi sangat berguna bagi pihak yang

berkepentingan atas pelaksanaan putusan arbitrase tersebut.

Perlu pula ditekankan bahwa tanpa dilakukan penyerahan dan pendaftaran

putusan arbitrase di Pengadilan Negeri pada waktunya, maka putusan tersebut tidak

dapat dilakukan eksekusi seandainya pihak yang putusan arbitrasenya dieksekusi

tidak mau melaksanakan sendiri putusan tersebut secara sukarela dan berbuat

kelalaian dalam melakukan penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrasenya di

Pengadilan Negeri tersebut mengakibatkan pelaksanaan putusan arbitrase tidak dapat

dipaksakan oleh aparat pemerintah. Tindakan penyerahan dan pendaftaran putusan

arbitrase di Pengadilan Negeri ini dalam praktek sering disebut dengan istilah
78
Munir Fuady, op. cit, hlm. 47

Universitas Sumatera Utara


74

deponir. Jadi tindakan deponir putusan arbitrase bukan hanya merupakan tindakan

pendaftaran yang bersifat administratif belaka, tetapi telah bersifat konstitutif dalam

arti merupakan satu rangkaian dalam proses arbitrase, dengan resiko tidak dapat di

eksekusi putusan jika tidak dilakukan pendeponiran tersebut.79

Eksekusi secara paksa atas putusan arbitrase tersebut dilakukan sesuai

dengan aturan eksekusi, terhadap aturan ini tidak berbeda dengan cara eksekusi

terhadap putusan pengadilan umum yang telah mempunyi kekuatan hukum dalam

eksekusi. Prinsip hukum dalam eksekusi putusan arbitrase ini yaitu putusan arbitrase

bersifat independen, sehingga tidak dapat dicampuri oleh ketua Pengadilan Negeri

ketika dilaksanakan eksekusi, Pasal 62 ayat (4) dari UU No. 30 Tahun 1999 dengan

tegas melarang Ketua Pengadilan Negeri untuk memeriksa alasan atau pertimbangan

dari putusan arbitrase, dengan demikian Ketua Pengadilan Negeri tidak mempunyai

kewenangan untuk meninjau suatu putusan arbitrase secara formal berdasarkan Pasal

62 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999.

Penolakan eksekusi tidak mempunyai hukum apapun, penolakan eksekusi

oleh Ketua Pengadilan tersebut dilaksanakan jika ada alasan-alasan sebagai berikut :

1. Arbitrase memutus melebihi kewenangan yang diberikan kepadanya.

2. Putusan arbitrase bertentangan dengan kesusilaan.

3. Putusan arbitrase bertentangan dengan ketertiban.

Arbiter memutus perkara tidak memenuhi keseluruhan syarat sebagai berikut:

1. Mengenai perdagangan.
79
Ibid, hlm. 50

Universitas Sumatera Utara


75

2. Mengenai hak yang menurut hukum dan perundang-undangan dikuasai


sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
3. Mengenai sengketa menurut hak dan perundang-undangan tidak dapat
dilakukan perdamaian.

Ketua Pengadilan Negeri sebelum memberikan perintah pelaksanaan,

diberikan hak untuk memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase tersebut

telah diambil dalam suatu proses dimana :

1. Arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa dan memutuskan perkara


telah diangkat oleh para pihak sesuai dengan kehendak mereka.
2. Perkara yang diserahkan untuk diselesaikan oleh arbiter atau majelis
arbitrase tersebut adalah perkara yang menurut hukum memang
dapatdiselesaikan dengan arbitrase.
3. Putusan yang dijatuhkan tersebut tidak bertentangan dengan kesusilaan
dan ketertiban umum.

Satu hal yang perlu diperhatikan disini adalah bahwa selain ketiga hal tersebut

di atas, Ketua Pengadilan Negeri tidak diberikan kewenangan untuk memeriksa

alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase.

Jika menurut pertimbangan Ketua Pengadilan Negeri ada satu atau lebih

syarat dari ketiga tersebut diatas yang tidak dipenuhi, maka Ketua Pengadilan

Negeri dapat menolak permohonan pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan

Ketua Pengadilan Negeri tersebut tidak terbuka upaya hukum apapun.

Perintah Ketua Pengadilan Negeri ditulis pada lembar asli dan salinan

otentik putusan arbitrase. Putusan arbitrase yang telah di bubuhi perintah Ketua

Pengadilan Negeri tersebut, dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan

dalam perkara perdata yang putusanya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Universitas Sumatera Utara


76

dalam hal ini maka berlakulah ketentuan Umum yang berlaku bagi pelaksanaan

putusan perkara perdata.

Dalam membicarakan pelaksanaan putusan arbitrase ini perlu diingat

kembali, bahwa arbitrase memiliki dua sifat, yaitu ad-hoc dan institusional. Oleh

karena itu, dalam pembahasan pelaksanaan putusan arbitrase maksudnya adalah

pelaksanaan putusan arbitrase, baik maupun arbitrase ad-hoc maupun arbitrase

institusional.80

Disamping itu, dalam pembahasan eksekusi/pelaksanaan putusan arbitrase di

Indonesia, akan di bedakan ke dalam putusan arbitrase Nasional dan putusan

arbitrase Internasional. Untuk menentukan apakah suatu putusan arbitrase itu

putusan arbitrase Nasional dapat dilihat dari patokan berikut ini:

1. Faktor wilayah dimana putusan dikeluarkan. Dikatakan sebagai putusan

arbitrase Nasional apabila putusan itu dikeluarkan di wilayah Negara Republik

Indonesia.

2. Rules yang digunakan untuk menyelesaikan perselisihan dalam hal ini,

meskipun putusan itu dikeluarkan di wilayah Indonesia, dan para pihak yang

berselisih adalah sama-sama warga Negara Indonesia, tetapi rules yang

digunakan adalah rules Internasional (misalnya rules International Chamber

of Commerce), putusan arbitrase ini adalah putusan arbitrase Internasional

(asing).

80
Sudarto Gautama, op. cit, hlm. 88

Universitas Sumatera Utara


77

Jadi suatu putusan arbitrase adalah putusan arbitrase Nasional apabila di

putuskan di wilayah Indonesia dan menggunakan rules yang berlaku di Indonesia,

tanpa mempersoalkan para pihak yang berselisih.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa yang menentukan suatu putusan

arbitrase itu adalah putusan arbitrase Nasional apabila putusan tersebut memenuhi

dua syarat atau patokan tersebut di atas.

Sementara itu, putusan arbitrase Internasional adalah sebagaimana tercantum

dalam Pasal 1 ayat (1) konvensi New York 1998, yaitu putusan arbitrase

Internasional adalah putusan yang dibuat di suatu Negara yang pengakuan dan

pelaksanaannya di luar negeri.

Dasar hukum eksekusi putusan arbitrase nasional dapat ditemukan dalam

Pasal 59 dan seterusnya dari UU Nomor 30 Tahun 1999, sedangkan dasar hukum

eksekusi putusan arbitrase Internasional diatur dalam konvensi New York 1958

yang oleh Negara Republik Indonesia telah di ratifikasi dengan keputusan

Presiden Nomor 34 Tahun 1981, dan juga dalam konvensi ICSID 1968.

Lebih lanjut, mengenai pelaksanaan arbitrase asing ini diatur dalam Peraturan

Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990, yang kemudian diperbarui dengan

Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999.

Tujuan dari arbitrase atau penundaan ini yaitu memberikan kepada arbitrase

apabila majelis tersebut masih berwenang untuk bertindak, artinya belum melampaui

jangka waktu kesempatan untuk memulai lagi dengan penyelenggaraan arbitrase

supaya menunda sidangnya untuk memberi kesempatan bagi arbitrase

Universitas Sumatera Utara


78

mengupayakan dasar-dasar dari penolakan. Bahwa tujuan terhadap putusan Ketua

Pengadilan Negeri untuk mengetahui pelaksanaan putusan arbitrase tidak dapat

dilakukan banding. Baik Mahkamah Agung maupun pengadilan tidak boleh

menangani atau mempertimbangkan permohonan banding atas putusan tersebut.81

Sebaliknya jika Ketua Pengadilan Negeri menolak untuk mengakui dan

melaksanakan putusan arbitrase dapat dilakukan banding. Mahkamah Agung akan

menanganinya dan mempertimbangkan untuk mengambil keputusan atas banding

tersebut secara cepat dan tidak melampaui 90 hari sejak permohonan banding

disampaikan kepada Mahkamah Agung. Mahkamah Agung menyatakan tata cara

untuk mempercepat penyelesaian banding ini, jika tidak adanya tata cara demikian

akan mempengaruhi kewajiban Mahkamah Agung untuk menangani,

mempertimbangkan dan memutuskan banding tersebut sesuai dengan syarat yang

ditetapkan dalam ketentuan ini. Di sini terlihat adanya kemungkinan banding

langsung ke Mahkamah Agung dan tidak lagi melalui Pengadilan Tinggi.

Alasannya tentu untuk mempersingkat kemungkinan dapat diselesaikan dan

dilaksanakannya putusan bersangkutan. Perlu mendapat penjelasan tentang batasan

waktu untuk melaksanakan eksekusi jika putusan arbitrase dinyatakan oleh

pengadilan dapat dilaksanakan.

Akan tetapi hal itu tidak terdapat di dalam UU No. 30 Tahun 1999 namun

demikian ada penjelasan yang menyatakan bahwa ditetapkan waktu untuk

81
Shofie, Yusuf, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2009, hlm. 39.

Universitas Sumatera Utara


79

melaksanakan eksekusi, disini ada hal menarik karena jangka waktu untuk

melakukan hal yang baru dan tidak terdapat didalam acara pelaksanaannya putusan

dari pengadilan biasa melalui Pengadilan Negeri.

Dalam prakteknya justru tidak adanya ketegasan mengenai jangka waktu

berapa lama, harus sudah diselesaikan eksekusi ini dan pelaksanaannya dalam

praktek, maka timbullah penguluran-penguluran waktu yang tidak terhingga.

Penetapan ini atau batasan waktu penting untuk kepentingan hukum,

memang jika ditetapkan jangka waktu untuk terlaksananya suatu eksekusi melalui

Pengadilan Negeri, adalah sesuatu hal yang ideal karena semua kelambatan eksekusi

yang dialami pada waktu sekarang ini, dengan dijalankan proses eksekusi dihadapan

Pengadilan Negeri yang sering kali tertunda sampai bertahun-tahun karena berbagai

faktor, menurut kenyataan merupakan salah satu sebab mengapa dalam perkara

perdata seringkali putusannya tidak dapat dieksekusi.

Sering kalinya putusan tidak dapat dieksekusi atau sangat lambatnya

eksekusi ini hanya karena menetapkan secarik kertas belaka. Jangka waktu yang

telah ditentukan dalam eksekusi pelaksanaan putusan arbitrase adalah salah satu

kemajuan yang besar dan patut dihargai tetapi melihat struktur keadaan pada waktu

sekarang ini hal itu sangat sulit untuk dicapai dalam prakteknya. 82

Instansi atau pejabat yang berwenang untuk melaksanakan atau

mengeksekusi putusan arbitrase adalah Pengadilan Negeri, sedangkan majelis

82
Sudargo Gautama, op. cit, hlm. 89

Universitas Sumatera Utara


80

arbitrase yang mengeluarkan atau menjatuhkan putusan tidak memiliki kewenangan

untuk memerintahkan dan menjalankan eksekusi.

Ketidakadaan kewenangan majelis arbitrase ini disebabkan karena majelis

tersebut tidak berfungsi yudisial, dan tidak mempunyai perangkat juru sita yang

bertugas melaksanakan eksekusi.

Kewajiban mendaftarkan harus dilakukan paling lambat 30 hari terhitung

sejak tanggal putusan diucapkan. Yang berkewajiban untuk mendaftarkan putusan

tersebut adalah salah seorang arbiter, atau seorang kuasa untuk dan atas nama para

anggota arbiter.

Semua biaya yang menyangkut pendaftaran ini sesuai dengan ketentuan Pasal

59 UU Nomor 30 Tahun 1999 di atas, ditanggung oleh para pihak yang bersengketa

sendiri, bukan arbiter. Permohonan pendaftaran harus dilampiri dengan lembar asli

pengangkatannya sebagai arbiter atau salinan domestiknya.

I. Upaya Hukum Terhadap Putusan Arbitrase

Meskipun undang-undang menetapkan bahwa putusan arbitrase bersifat final

dan mengikat, tidak ada upaya hukum banding maupun kasasi. Akan tetapi UU No.

30 Tahun 1999 juga mengatur adanya upaya hukum yang luar biasa terhadap

putusan yang dihasilan oleh lembaga arbitrase yaitu berupa upaya perlawanan ke

Pengadilan Negeri. Upaya perlawanan tersebut hanya dapat dilakukan kepada Ketua

Pengadilan Negeri, itupun sangat terbatas yaitu sebagai berikut :

1. Surat atas dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan

dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu.

Universitas Sumatera Utara


81

2. Setelah putusan diambil, ditemukan semacam ”novum” yakni ditemukan

dokumen bersifat menentukan yang disembunyikan lawan.

3. Putusan arbitrase diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu

pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Upaya-upaya perlawanan yang diajukan ke Pengadilan Negeri itu bukanlah

merupakan upaya hukum banding biasa tetapi upaya hukum di dalam putusan

arbitrase adalah merupakan upaya hukum yang luar biasa di mana terhadap putusan

arbitrase tersebut dimohonkan untuk dilakukan pembatalan. Tanpa alasan-alasan

yang spesifik sebagaimana disebutkan di atas tidak akan bisa dilakukan perlawanan,

namun demikian apabila putusan arbitrase tersebut memang benar ada mengandung

salah satu dari unsur tersebut maka tentunya dapat dilakukan perlawanan untuk

segera dilakukan pembatalan.

Menurut Pasal 71 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa bahwa permohonan pembatalan putusan arbitrase harus

diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak

hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase ke Panitera Pengadilan Negeri.

Menurut UU No. 30 Tahun 1999 pada Pasal 72 ayat (1), bahwa permohonan

pembatalan terhadap suatu putusan arbitrase haruslah diajukan kepada Ketua

Pengadilan Negeri. Yang menjadi pertanyaan adalah Pengadilan Negeri mana yang

berkompeten untuk itu, karena undang-undang tidak mengatur dan mengindikasikan

Pengadilan Negeri yang berkompeten tersebut.

Universitas Sumatera Utara


82

Bahwa apabila permohonan pembatalan tersebut diterima dan dikabulkan

oleh Pengadilan Negeri maka Ketua Pengadilan Negeri akan menentukan lebih

lanjut akibat dari pembatalan tersebut, apakah untuk sebahagian atau seluruhnya.

Putusan pembatalan itupun baru bisa diputuskan oleh Ketua Pengadilan Negeri

paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya permohonan pembatalan

tersebut. Terhadap putusan Pengadilan Negeri ini dapat diajukan permohonan

banding ke Mahkamah Agung di mana Mahkamah Agung akan memutus untuk

tingkat pertama dan terakhir dalam permasalahan ini.83

Untuk memutuskan permohonan banding inipun Mahkamah Agung

memerlukan waktu untuk mempertimbangkannya paling lama 30 (tiga puluh) hari

sejak diterima permohonan banding tersebut. Oleh karena itu sangat jelas

sekali bahwa tidak semudah itu mencari temuan dalam rangka melakukan

perlawanan terhadap putusan arbitrase tersebut, karena sesungguhnya putusan

arbitrase tersebut telah bersifat final sehingga seharusnya sedini mungkin disadari

benar-benar akan konsekuensi logis dari pada putusan yang bersifat final tersebut.

Perlawanan yang dilakukan terhadap putusan arbitrase bukanlah terhadap hal-hal

yang dicari-cari tetapi karena memang benar-benar mengandung persoalan-persoalan

sebagaimana telah disebutkan di atas.84

83
Ibid, hlm. 95
84
Margono, Suyud, ADR dan Arbitrase, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2000, hlm. 21

Universitas Sumatera Utara


83

J. Berakhirnya Tugas Arbitrase

Bahwa idealnya, tugas-tugas arbiter baru berakhir setelah seluruh apa yang

menjadi tugasnya telah selesai dilaksanakan. Tetapi di pihak lain Undang-undang

Arbitrase No. 30 Tahun 1999 membuka juga kemungkinan untuk berhentinya tugas

arbitrase di tengah jalan.85

Menurut Undang-undang Arbitrase No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa memberikan kemungkinan berakhirnya tugas

arbiter dalam hal-hal sebagai berikut :

1. Jika arbiter telah memberi putusan dan mengucapkan putusannya.


2. Dicapai perdamian diantara para pihak ketika pemeriksaan perkara sedang
berlangsung.
3. Jangka waktu yang telah ditentukan dalam kontrak arbitrase atau sesudah
diperpanjang oleh para pihak telah lampau.
4. Para pihak sepakat untuk menarik kembali penunjukanarbiter.
5. Jika telah dilakukan koreksi penambahan atau pengurangan dalam hal
permintaan koreksi, penambahan atau pengurangan atas putusan yang telah
diucapkan.
6. Menarik diri dari arbiter atas persetujuan dari para pihak.
7. Menarik diri dari arbiter atas penetapan Ketua Pengadilan Negeri
8. Arbiter dibebastugaskan bilamana terbukti berpihak atau menunjukkan sikap
tercela yang harus dibuktikan melalui jalur hukum.
9. Arbiter tersebut menjadi tidak mampu, berhalangan tetap atau meninggal dunia.
dalam hal ini kewenangannya dilanjutkan oleh arbiter penggantinya.

Apabila salah satu pihak yang bersengketa meninggal dunia tidaklah

mengakibatkan berakhirnya tugas arbiter namun demikian tugas arbiter hanya

ditunda paling lama 60 (enam puluh) hari setelah meninggal dunianya salah satu

pihak tersebut.

85
Felix O. Subagyo dan Faireah Jatrio, Arbitrase di Indonesia Beberapa Contoh Kasus dan
Pelaksanaan dalam Praktek, Cipta Media Tama, Bandung, 2000. hlm. 16

Universitas Sumatera Utara


84

Dengan berakhirnya tugas-tugas arbiter sebagaimana hal-hal tersebut di atas,

maka sesungguhnya sudah berakhirlah pekerjaan seorang arbiter di dalam upayanya

melakukan penyelesaian sengketa antara para pihak dan para arbiter ini akan

menerima honor sebagaimana yang telah diperjanjikan sebelumnya. Dalam arbitrase

ad-hoc jika tugasnya sudah berakhir maka dengan sendirinya arbiter ad-hoc itupun

menjadi bubar.86

86
Ibid, hlm. 20

Universitas Sumatera Utara


BAB III

PENCANTUMAN KLAUSUL ARBITRASE YANG KOMPREHENSIF

A. Pengertian Klausul Arbitrase Yang Komprehensif

lsi klausul arbitrase yang komprehensif dalam tesis ini dimaksudkan adalah

klausul atau ketentuan arbitrase yang disusun dengan memasukkan seluruh

unsur-unsur penting yang diperlukan dan memenuhi standar nasional seperti yang

termuat di dalam UU. No 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa.

Penyusunan isi klausul arbitrase secara komprehensif dalam arti dapat

memenuhi standar nasional, sangat diperlukan agar instrumen penyelesaian sengketa

yang disepakati para pihak yakni melalui arbitrase dan tidak melalui jalur

pengadilan, tidak sia-sia dilakukan. Dengan demikian, pilihan tersebut dapat

diterapkan secara efektif.

Klausul arbitrase secara prinsip harus menjadi bagian yang tidak

dipisahkan dari Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dibuat oleh developer

dan konsumen sebelum terjadinya sengketa atau yang dibuat dalam perjanjian

tersendiri yang terpisah dari kontrak yang dibuat. Perjanjian tersebut dapat juga

dibuat setelah sengketa diantara mereka terjadi atau timbul.

Pengetahuan dan pengalaman yang luas (knowledge and wider experiences)

juga dibutuhkan ketelitian dan kecermatan dalam menyusun kata demi kata.

Dalam praktek guna menyusun klausul arbitrase yang komprehensif

terdapat beberapa kesulitan dalam memformulasikannya. Erman Radjagugkuk

85

Universitas Sumatera Utara


86

mengemukakan beberapa kesulitan tersebut sebagai berikut :87

“Pertama, seperti yang telah dikatakan terlalu sering klausul penyelesaian


sengketa dilakukan sebagai renungan tanpa banyak berpikir padahal persiapan
untuk mempelajari hal ini sangat penting.
Kedua, pihak lain mungkin memiliki ide yang berbeda dalam menentukan
klausul-klausul yang ideal, tawar-menawar antara negosiator juga merupakan
hal terpenting untuk menimbulkan rasa aman sampai proses hukum selesai.
Ketiga, semua tujuan klausul yang tidak memungkinkan, sebenarnya cocok
untuk semua situasi.”

Dari tulisan Erman Radjagugkuk tersebut lebih memperjelas suatu pendapat

bahwa menyusun klausul arbitrase yang komprehensif tidaklah gampang atau mudah.

Sejalan dengan adanya kenyataan tersebut, Erman Radjagukguk

mengemukakan lagi bahwa :

“Klausul arbitrase tidak hanya basis bagi arbitrase, tetapi juga format

menentukan bagi terwujudnya arbitrase. Oleh karenanya klausul arbitrase

harus disusun dengan hati-hati dan jelas kata-katanya”.88

Penyusunan klausul arbitrase tidak selalu harus panjang lebar, yang penting

adalah kata-katanya disusun secara tegas dan jelas sehingga tidak menimbulkan

makna ganda (ambiguity).

Merumuskan klausul arbitrase yang komprehensif mempunyai arti yang

sangat penting, karena sebagaimana dikemukakan dalam pembahasan terdahulu,

ketidakjelasan rumusan klausul arbitrase setelah terbukti dapat menyebabkan

pemilihan forum arbitrase oleh para pihak menjadi sia-sia.

87
Erman Radjagukguk, op. cit, hlm. 99
88
Ibid, hlm. 100

Universitas Sumatera Utara


87

Ketidak jelasan suatu klausul arbitrase dapat ditemui, misalnya terdapat

klausul yang hanya menyebut bahwa "bila timbul sengketa akan diselesaikan

melalui arbitrase". Klausul tersebut menimbulkan kerancuan penafsiran, antara lain

yang berkaitan dengan siapa atau forum mana yang ditunjuk untuk menyelesaikan

sengketa yang ada. Penyebutan arbitrase dalam klausul tersebut, dapat ditafsirkan

apakah badan arbitrase (institusional arbitration) yaitu Badan Arbitrase Nasional

Indonesia (BANI) ataukah majelis arbitrase yang akan dibentuk (Ad-Hoc

Arbitration). Kerancuan yang dicontohkan, baru dari satu bagian kecil dari

keseluruhan klausul arbitrase. Oleh karena itu, dapat dibayangkan betapa perlunya

kehati-hatian dan kecermatan di dalam menyusun suatu klausul arbitrase agar

terhindar dari kerancuan makna.

Dalam contoh tersebut, jika yang dimaksud adalah majelis arbitrase, maka

masih harus ada kejelasan pula berapa jumlah anggota majelis dan berapa lama

majelis arbitrase tersebut sudah harus dibentuk.

Kesulitan juga akan timbul apabila selama penyusunan klausul arbitrase tanpa

mempertimbangkan adanya perjanjian lain yang sebenarnya mempunyai kaitan

dengan PPJB yang sedang dirundingkan.

Dalam penyelesaian suatu proyek perumahan misalnya, tidak mustahil akan

diperlukan berbagai kontrak sesuai dengan bidang pekerjaan yang perlu

diselesaikan.

B. Unsur-unsur Klausul Arbitrase yang Komprehensif

Dalam usaha menyusun suatu isi klausul arbtirase yang komprehensif,

Universitas Sumatera Utara


88

menurut Erman Radjagukguk sedikitnya ada 9 (sembilan) elemen yang harus

disepakati oleh para pihak yang harus tertuang di dalam klausul arbitrase.

Adapun 9 (sembilan) elemen yang dikemukakan Erman Radjagukguk adalah

sebagai berikut89:

1. Forum yang akan menyelesaikan sengketa

Developer dan konsumen harus jelas menetapkan apakah penyelesaian

sengketa yang mungkin timbul akan diselesaikan oleh majelis arbitrase yang

dibentuk setelah sengketa terjadi (oleh Ad-Hoc Arbitration) atau akan diserahkan

pada suatu Badan· Arbitrase yang ada (Institusional Arbitration) yaitu BANI.

Dalam hal developer dan konsumen yang mengadakan PPJB setuju untuk

menyerahkan sengketa yang mungkin timbul kepada Ad-hoc Arbitration, maka

beberapa elemen yang perlu secara tegas ditentukan adalah:

a. berapa jumlah arbiter;


b. bagaimana cara menunjuk dan mengangkat arbiter;
c. mulai kapan arbiter ditunjuk;
d. untuk waktu berapa lama arbiter tersebut ditunjuk;
e. siapa yang menunjuk arbiter ketiga bila kedua arbiter tidak berhasil
menunjuk arbiter ketiga tersebut.

Mengenai arbiter ini, kerancuan atau kesulitan akan timbul misalnya apabila

para pihak daIam klausul yang dibuat hanya menyebutkan bahwa "rnasing-masing

arbiter akan menunjuk arbiter ketiga yang akan bertindak sebagai Ketua Majelis

Arbiter".

lsi klausul seperti tersebut, akan tidak ada artinya atau kesulitan

89
Erman Radjagukguk, op. cit, hlm 116

Universitas Sumatera Utara


89

penerapannya manakala kedua arbiter tidak berhasil menunjuk arbiter ketiga.

Oleh karena itu, perlu dilengkapi dengan ketentuan siapa yang diberi otoritas

untuk menunjuk arbiter ketiga, dalam hal masing-masing arbiter yang telah ditunjuk

para pihak tidak berhasil menunjuk arbiter ketiga.

Di Indonesia, setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 30 Tahun

1999 tentang Arbitrase dan Altematif Penyelesaian Sengketa, sudah terdapat jalan

keluar untuk mengatasi kelalaian dalam hal tidak ditentukanya siapa yang diberi

otoritas menunjuk arbiter ketiga dalam klausul arbitrase, yakni sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 15 ayat (4), yang berbunyi sebagai berikut :

"Dalam hal kedua arbiter yang telah ditunjuk masing- masing pihak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berhasil menunjuk arbiter ketiga
dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah arbiter terakhir
ditunjuk, atas permohonan salah satu pihak, Ketua Pengadilan Negeri
dapat mengangkat arbiter ketiga".

Guna memperkuat posisi pengangkatan arbiter ketiga oleh Ketua Pengadilan

Negeri tersebut, ayat (5) dari Pasal 15 menentukan bahwa "Terhadap

pengangkatan arbiter yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana

dimaksud dalam ayat (4), tidak dapat diajukan upaya pembatalan".

Namun demikian, sejalan dengan era reformasi hukum, terutama

penghormatan terhadap hak asasi manusia, ketentuan dalam Pasal 15 ayat (4)

tersebut tidak berlaku mutlak.

Dalam pengertian, bahwa bagi arbiter yang ditunjuk oleh Ketua

Pengadilan Negeri tersebut dapat menerima atau menolak. Ketentuan mengenai hal

ini secara tegas diatur dalam Pasal 16 ayat (1) yang berbunyi : "Arbiter yang

Universitas Sumatera Utara


90

ditunjuk atau diangkat dapat menerima atau menolak penunjukan atau pengangkatan

tersebut".

Selanjutnya mengenai penerimaan atau penolakan tersebut wajib

diberitahukan secara tertulis kepada para pihak dalam waktu paling lama 14

(empat belas) hari terhitung sejak tanggal penunjukan atau pengangkatan (Pasal 16

ayat (2).

2. Standar klausul arbitrase.

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa penetapan atau pemilihan siapa yang

akan menyelesaikan sengketa sebagaimana telah diperjanjikan oleh para pihak,

adalah sangat penting. Hal tersebut di samping adanya kepastian hukum mengenai

siapa yang diberi otoritas menyelesaikan sengketa yakni Ad-Hoc Arbitration

ataukah Institusional Arbitration, juga akan menentukan model klausul arbitrase

yang harus diterapkan.

Jika para pihak dalam perjanjian arbitrase yang dibuat telah memilih

"Institusional Arbitration" untuk menyelesaikan sengketa yang mungkin timbul

diantara mereka, badan tersebut biasanya telah mempunyai standar kIausula arbitrase

yang akan dipakai, misalnya para pihak memilih Badan Arbitrase Nasional Indonesia

(BANI), badan tersebut telah memiliki model kIausul standart tersendiri yang disebut

dengan Peraturan Prosedur Arbitrase (PPA).

3. Tempat arbitrase

Tempat arbitrase merupakan salah satu elemen yang tidak boleh dihiraukan

begitu saja dalam penyusunan klausul arbitrase. Tempat arbitrase merupakan

Universitas Sumatera Utara


91

faktor yang akan menentukan pengadilan nasional mana yang akan berperan atau

mempunyai kompetensi dalam penyelesaian proses arbitrase apabila terdapat

kesulitan di dalam penerapannya.

Berkaitan dengan tempat arbitrase ini, dalam Undang- undang Nomor 30

Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa diatur dalam

Pasal 31 ayat (3) dan Pasa1 37 ayat (1).

Pasal 31 ayat (3) antara lain menentukan bahwa harus ada kesepakatan para

pihak mengenai ketentuan tempat diselenggarakannya arbitrase dan apabila

mengenai tempat tersebut tidak ditentukan, arbiter atau majelis arbitrase yang

akan menentukan.

Pasal 37 ayat (1) mempertegas lagi mengenai masalah tempat arbitrase ini

dengan menentukan bahwa "Tempat arbitrase ditentukan oleh arbiter atau majelis

arbitrase, kecuali ditentukan sendiri oleh para pihak".

Pada dasarnya para pihak mempunyai kebebasan untuk menentukan sendiri

tempat dilangsungkannya arbitrase. Oleh karena itu, sebagai prinsip yang selama ini

telah diakui adalah bahwa sebagai tempat arbitrase adalah tempat yang disepakati

oleh para pihak.

Arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa para pihak, dalam

menentukan tempat dilangsungkannya arbitrase, biasanya akan selalu memperhatikan

situasi dan kondisi dari persoalan yang akan diperiksa atau diselesaikan. Jadi,

arbiter atau majelis arbitrase akan memperhatikan segala keadaan sekitar arbitrase

dilaksanakan (Circum stances of the arbitration).

Universitas Sumatera Utara


92

Unsur-unsur yang diperhatikan dalam pemilihan tempat penyelesaian

sengketa ini antara lain adanya kemudahan untuk mendapatatau memperoleh

pembuktian, antara lain pemeriksaan saksi-saksi atau kemudahan untuk mengadakan

pertemuan untuk konsultasi diantara para anggota arbitrase.

Kemungkinan yang lain yang biasanya dijadikan pertimbangan dalam

menentukan tempat arbitrase, adalah tempat para pihak yang bersengketa memiliki

tempat usaha.

Mengenai masalah pemilihan tempat arbitrase ini Erman Radjagukguk

mengingatkan hendaknya harus cermat dalam merumuskan klausul arbitrase,

sehingga tidak menimbulkan kerancuan interpretasi.

4. Pilihan hukum yang akan diterapkan

Hukum yang diterapkan dalam arbitrase, juga merupakan elemen yang perlu

disepakati apabila suatu sengketa telah dipilih penyelesaiannya akan dilakukan

melalui arbitrase. Mengenai hukum yang diterapkan perlu ada kejelasan, karena

hukum itulah yang akan digunakan oleh arbiter atau oleh majelis arbitrase sebagai

dasar penyelesaian sengketa yang dipercayakan kepadanya.

Mengenai pilihan hukum yang akan diterapkan oleh abiter atau majelis

arbitrase untuk menentukan masalah yang substantif dari suatu perjanjian arbitrase

bukan merupakan faktor yang menentukan bagi sah atau tidaknya perjanjian

arbitrase tersebut. Hal tersebut karena mengenai penentuan hukum yang akan

berlaku dalam proses arbitrase bila timbul sengketa, pemilihannya diserahkan

kepada para pihak.

Universitas Sumatera Utara


93

Pada dasarnya, para pihak dapat menentukan sendiri hukum yang akan

berlaku untuk sengketa mereka (choiceof law by the parties) atau dikenal juga

dengan istilah “proper law of a contract” dimana seluruh kontrak atau unsur-

unsumya tunduk pada hukum tersebut.90

Hak para pihak yang bersengketa untuk memilih hukum yang akan

diterapkan, dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Pilihan Sengketa, secara tegas diatur dalam Pasal 56 ayat (2) yang

berbunyi sebagai berikut: "Para pihak berhak menentukan pilihan hukum yang akan

berlaku terhadap penyelesaian sengketa yang mungkin atau telah timbul antara para

pihak”.

Dalam pilihan hukum ini, berlaku autonomi para pihak atau kebebasan para

pihak untuk menentukan sendiri hukum yang berlaku baginya. Arbiter atau majelis

arbitrase tidak dapat menerapkan hukum lain selain yang telah disepakati oleh para

pihak. Arbiter atau majelis arbiter selalu akan mendasarkan pada hukum yang telah

dipilih atau disepakati oleh para pihak.

Dalam hal para pihak entah karena suatu kelalaian dalam perjanjian arbitrase

tidak memuat suatu klausul untuk memilih hukum yang akan digunakan atau

diterapkan dalam penyelesaian sengketa yang kemungkinan timbul, maka arbiter

atau majelis arbitrase biasanya akan memakai hukum yang ditentukan oleh kaedah-

kaedah Hukum Perdata.

90
Yansen Dewanto Latip, Pilihan Hukum dan Pilihan Forum dalam Kontrak Internasional,
Program Pasca Sarjana FHUI, Jakarta, 2002, hlm. 32

Universitas Sumatera Utara


94

Hukum yang dipilih ini adalah hukum materiil. Hal ini karena bila mengenai

hukum formil atau prosedur arbitrase yang akan digunakan, maka akan tunduk pada

hukum dari tempat arbitrase dilangsungkan.

Walaupun kelalaian mencantumkan klausul pilihan hukum tidak rnenentukan

mengenai sah atau tidaknya perjanjian arbitrase, tetapi hal tersebut biasanya akan

mempunyai pengaruh terhadap penambahan waktu dan biaya arbitrase.

Di samping terjadinya penambahan waktu dan biaya arbitrase, tidak

dicantumkannya ketentuan mengenai pilihan hukum dalam klausul arbitrase, sering

menimbulkan kekecewaan dari salah satu atau bahkan dari para pihak, berkaitan

dengan pilihan hukum yang diputuskan sendiri oleh arbiter.

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka mengenai pilihan hukum sebaiknya

dicantumkan dalam klausul arbitrase (PPJB).

Sebagaimana dikemukakan, Arbiter juga mempunyai kewenangan untuk

memutuskan pilihan hukum yang akan diterapkan dalam penyelesian sengketa

arbitrase, tetapi kewenangan tersebut tidak berarti dapat dilakukan secara semena-

mena oleh para arbiter.

Pasal 56 ayat (1) dari Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tersebut,

memberi batasan yang jelas bagi kebebasan arbiter dengan ketentuan sebagai berikut:

"Arbiter atau majelis arbitrase mengambil putusan berdasarkan ketentuan

hukum , atau berdasarkan keadilan dan kepatutan".

Dalam hal arbiter diberi kebebasan untuk memberikan putusan berdasarkan

keadilan dan kepatutan, sesuai dengan penjelasan PasaI 56 ayat (1), maka peraturan

Universitas Sumatera Utara


95

perundang-undangan dapat dikesampingkan. Akan tetapi dalam hal tertentu, hukum

memaksa (dwingenderegels) harus diterapkan dan tidak dapat disimpangi oleh

arbiter.

Selanjutnya mengenai hak para pihak untuk menentukan pilihan hukum

secara tegas diatur dalam PasaI 56 ayat (2) yang berbunyi :

"Para pihak berhak menentukan pilihan hukum yang akan berlaku terhadap

penyelesaian sengketa yang mungkin atau telah timbul antara para pihak".

Mengenai ketentuan "hukum yang diterapkan", dalam penjelasan Pasal 56

ayat (2) antara lain disebutkan bahwa hukum yang diterapkan adalah hukum

tempat arbitrase dilakukan.

5. Komposisi majelis arbitrase

Mengenai penentuan terhadap komposisi arbiter, merupakan salah satu

elemen yang juga mendapat perlakuan khusus dalam penyusunan klausul arbitrase.

Beberapa elemen yang perlu diperhatikan berkaitan dengan penentuan komposisi

arbiter antara lain adalah mengenai:

a. berapa orang arbiter yang diinginkan;

b. bagaimana mereka harus dipilih; dan

c. apakah para arbiter tersebut harus memilih kualifikasi persyaratan

tertentu.

Mengenai penentuan komposisi arbiter memang perlu dirinci secara jelas

seperti yang telah dikemukakan. Hal tersebut karena sulit untuk merumuskan

Universitas Sumatera Utara


96

secara umum yang dapat mencakup berbagai elemen tersebut.

Pada dasarnya, tidak terdapat suatu ketentuan yang melarang para pihak

untuk memperjanjikan penunjukan arbiter tunggal. Namun biasanya, para pihak

lebih menyukai dalam bentuk majelis, yakni masing-masing pihak memilih

seorang arbiter dan arbiter ketiga dipilih oleh kedua orang arbiter pilihan para

pihak. Bagaimanapun juga pendapat majelis arbitrase, relatif akan lebih baik

dari pada arbiter tunggal, walaupun ada konsekwensi lain, yakni biayanya akan lebih

mahal.

Mengenai kewenangan kedua arbiter pilihan para pihak untuk memilih

arbiter ketiga yang akan menjadi ketua majelis, secara tegas diatur dalam

Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, yang berbunyi sebagai

berikut :

"Penunjukkan dua orang arbiter oleh para pihak memberi kewenangan

kepada dua arbiter untuk memilih dan menunjuk arbiter ketiga. Selanjutnya

Pasal 15ayat (2) menentukan bahwa "Arbiter ketiga sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) diangkat sebagai ketua majelis".

Dalam praktek, tidak selalu kedua arbiter tersebut dapat menunjuk arbiter

ketiga. Oleh karena itu, untuk mengatasi hal tersebut Pasal 15 ayat (4) memberi

kewenangan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk dapat mengangkat arbiter ketiga.

Selanjutnya Pasal 15 ayat (5) menentukan bahwa pengangkatan arbiter ketiga oleh

Ketua Pengadilan Negeri tersebut tidak dapat diajukan upaya pembatalan.

6. Bahasa dalam proses arbitrase

Universitas Sumatera Utara


97

Bahasa yang digunakan dalam kontrak sendirinya menjadi bahasa yang

dapat digunakan dalam proses arbitrase. Keadaan yang demikian sering kurang

dipahami oleh para pihak yang melakukan perjanjian. Penentuan bahasa yang

digunakan dalam proses arbitrase sangat penting, agar terdapat kepastian hukum

dalam proses penyelesaian sengketa.

Lebih dari untuk adanya kepastian hukum, penentuan bahasa yang digunakan

adalah untuk menghemat biaya. Sebab dapat dibayangkan berapa biaya yang harus

dikeluarkan oleh para pihak untuk penterjemahan dari semua dokumen yang

diperlukan, apabila dokumen tersebut terdiri dari dua atau lebih bahasa yang

digunakan.

Kemungkinan lain, apabila tidak dapat dicapai kesepakatan untuk memilih

bahasa yang digunakan, maka biaya yang dikeluarkan untuk penterjamahan ke

dalam bahasa yang diinginkan oleh para pihak, akan ditanggung bersama oleh kedua

belah pihak.

Pasal 28 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 menentukan bahwa bahasa

yang digunakan dalam semua proses arbitrase adalah bahasa Indonesia, kecuali atas

persetujuan arbiter atau majelis arbitrase para pihak dapat memilih bahasa lain yang

akan digunakan.

Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 28 tersebut menunjukkan bahwa

mengenai bahasa yang digunakan dalam proses arbitrase seperti juga mengenai

pilihan hukum yang akan diterapkan, juga masih terbuka adanya pilihan. Namun

terdapat perbedaan dengan pilihan bagi hukum yang diterapkan. Mengenai hukum

Universitas Sumatera Utara


98

yang akan diterapkan, yang memilih adalah para pihak yang bersengketa, sedangkan

mengenai bahasa yang akan digunakan, pilihan bahasa ditentukan oleh arbiter atau

majelis arbitrase.

Bahasa yang digunakan dalam kontrak tidak selalu menjadi bahasa dalam

proses arbitrase. Banyak pihak yang salah mengerti dan menduga bahwa bahasa dari

kontrak otomatis menjadi bahasa yang dipergunakan dalam proses arbitrase.

Penentuan bahasa yang akan dipergunakan dalam proses arbitrase sangat

penting agar terdapat pemahaman yang sama dari arbiter atau majelis arbitrase

terhadap suatu masalah. Hal tersebut dapat dipahami, sebab istilah dalam bahasa

tertentu belum tentu mempunyai makna yang sama persis dengan istilah dalam

bahasa yang lain.

7. Putusan akhir yang mengikat

Keuntungan yang diharapkandari pemilihan penyelesaian sengketa melalui

arbitrase adalah bahwa proses penyelesaian sengketa tersebut bebas dari campur

tangan pengadilan, dan putusan arbitrase bersifat final, artinya substansi putusan

arbitrase merupakan putusan akhir yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan

lagi atau diajukan banding ke pengadilan.

Pasal 17 ayat (2) ".....arbiter atau para arbiter akan memberikan putusannya

secara jujur, adil, dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan para pihak akan

menerima putusannya secara final dan mengikat seperti yang telah diperjanjikan

bersama.

Pasal (60), putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum

Universitas Sumatera Utara


99

tetap dan mengikat para pihak. Selanjutnya penjelasan Pasal (60) 1ebih

mempertegas lagi dengan menentukan bahwa putusan tersebut tidak dapat diajukan

banding, kasasi, atan peninjauan kembali.

Berdasarkan keuntungan dan manfaat yang dapat memberikan jaminan agar

para pihak mematuhi putusan arbitrase, maka pencantuman klausul bahwa putusan

arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak sangat diperlukan.

Selain dari pasal diatas mengenai putusan Arbitrase dalam Undang-undang

Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Altematif Penyelesaian Sengketa diatur

dalam:

1. Bab V mengenai Pendapat dan Putusan Arbitrase mulai Pasal 52 sampai


dengan Pasal 58.
2. Bab IV Pelaksanaan Putusan Arbitrase yang dibagi dalam dua bagian yakni:
Bagian Pertama mengenai Arbitrase Nasional mulai Pasal 59 sampai dengan
Pasal 64; dan
Bagian Kedua mengenai Arbitrase Internasional mulai Pasal65 sampai
dengan Pasal 69; dan
3. Bab VII mengenai Pembatalan Putusan Arbitrase, mulai Pasal 70 sampai
dengan Pasal 72.

Pelaksanaan Pasal dalam Pasal 56 ayat (1) Undang-undang tersebut, diatur

bahwa arbiter atau Majelis Arbitrase mengambil putusan berdasarkan ketentuan

hukum atau berdasarkan keadilan atau kepatutan.

Ketentuan dalam Pasal 56 ayat (1) tersebut berbeda dengan ketentuan dalam

Pasal 613 Rv. Pasal 613 Rv. menentukan bahwa arbiter harus memutus sengketa

menurut peraturan hukum kecuali apabila perjanjian arbitrase telah memberikan

kewenangan kepada mereka arbiter untuk memutus menurut kepatutan dan

Universitas Sumatera Utara


100

kebijaksanaan (ex aequo et bono).

Ketentuan Pasal 613 RV lebih memberikan kepastian hukum karena ada

keharusan bagi arbiter untuk memberikan putusan sesuai dengan peraturan

hukum, baru terdapat pengecualian apabila kepada arbiter memang diberikan

kewenangan untuk memutus tidak berdasarkan peraturan hukum, tetapi berdasarkan

kepatutan dan kebijaksanaan.

Lain halnya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 56 ayat (1) Undang-

undang Nomor 30 Tahun 1999, bagi arbiter atau majelis arbitrase tidak ada

ketentuan "kaharusan" untuk memutus berdasarkan peraturan hukum, tetapi

langsung dihadapkan pada dua pilihan yang dapat dipilih yakni berdasarkan :

a. ketentuan hukum; atau

b. keadilan dan kepatutan

Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) di alinea kedua

dikemukakan bahwa :

"Dalam hal arbiter diberi kebebasan untuk memberikan putusan berdasarkan


keadilan dan kepatutan, maka peraturan perundang-undangan dapat
dikesampingkan, akan tetapi dalam hal tertentu, hukum memaksa
(dwingende regel) harus diterapkan dan tidak dapat disimpangi oleh arbiter.
Rumusan dalam Penjelasan Pasal 56 ini juga masih mengandung
berbagai interpretasi, khususnya mengenai frasa "dalam hal tertentu" karena
tidak terdapat ketegasan mengenai masalah tersebut”.

Bagaimana apabila dalam putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 56 tadi terdapat kekeliruan atau perlu ditambah atau dikurangi tuntutan

yang terdapat dalam putusan yang bersangkutan, untuk hal tersebut, Pasal 58

menentukan bahwa dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah putusan

Universitas Sumatera Utara


101

diterima, para pihak dapat mengajukan permohonan kepada arbiter atau majelis

arbitrase untuk melakukan koreksi terhadap kekeliruan administratif dan atau

menambah atau mengurangi sesuatu tuntutan putusan.

8. Pelaksanaan putusan arbitrase

Mengenai pelaksanaan putusan arbitrase merupakan suatu hal yang sangat

penting bagi para pihak untuk mendapatkan kepastian hukum.

Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 mengenai pelaksanaan

putusan arbitrase diatur dalam Bab tersendiri yakni dalam BabVI "Pelaksanaan

Putusan Arbitrase yang dibagi dalam dua bagian, yakni Bagian Pertama

mengatur mengenai Arbitrase Nasional dan Bagian Kedua Arbitrase Internasional.

Diadakannya pembedaan diantara kedua hal tersebut, karena memang terdapat

perbedaan yang sangat mendasar antara lain mengenai:

1. tempat pelaksanaan putusan;

2. persyaratan yang harus dipenuhi;dan

3. prosedur yang diterapkan

Bagi pelaksanaan putusan arbitrase nasional hanya ditetapkan di

Pengadilan Negeri tanpa disebut Pengadilan Negeri tertentu, sedangkan bagi putusan

arbitrase internasional secara tegas ditentukan adalah Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat.

9. Biaya arbitrase

Biaya arbitrase ditentukan oleh Arbiter dan dibebankan kepada pihak yang

kalah. Namun apabila tuntutan hanya dikabulkan sebagian, maka biaya arbitrase

Universitas Sumatera Utara


102

dibebankan kepada para pihak secara seimbang.

Ketentuan sebagaimana diuraikan tersebut, dijumpai dalam Pasal 76 dan

Pasal 77 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Altematif

Penyelesaian Sengketa. Dalam arbitrase nasional, mengenai penetapan biaya

arbitrase terdapat tiga kemungkinan yakni :

a. ditentukan oleh majelis arbiter;

b. dibebankan pada pihak yang kalah;

c. para pihak telah sepakat sebelumnya yang dicantumkan dalam klausul

arbitrase bahwa biaya akan ditanggung berdua dalam jumlah yang sama.

Perumusan klausul arbitrase perlu secara komprehensif, karena pada dasarnya

klausul arbitrase merupakan basis bagi arbitrase yang sangat menentukan

terwujudnya arbitrase. Oleh karena itu harus dihindari adanya celah yang dapat

menimbulkan perbedaan penafsiran di kemudian hari yang mengakibatkan tidak

efektifnya perjanjian atau PPJB yang telah dibuat. Dengan demikian klausul arbitrase

yang dirumuskan secara komprehensif selain dapat menciptakan kepastian hukum

juga dapat menghindari penyelesaian sengketa yang berlarut-larut ataupun

menghabiskan waktu dan biaya, karena segala sesuatunya telah dirumuskan secara

jelas dan lengkap (komprehensif).

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

PELAKSANAAN KLAUSUL ARBITRASE ANTARA


DEVELOPER DAN KONSUMEN

A. Klausul Arbitrase Sebagai Pelengkap Perjanjian Pokok Antara Developer


dan Konsumen

Kegiatan bisnis yang dilakukan developer dan konsumen dengan tujuan

memenuhi kebutuhan ekonomi, hubungan bisnis tersebut akan diatur dalam

Perjanjian Perikatan Jual Beli (PPJB), sehingga hak dan kewajiban, prestasi dan

kontra prestasi masing-masing pihak menjadi jelas. Dengan demikian hubungan

bisnis tersebut sekaligus merupakan hubungan kontraktual. Selain itu para pihak

dapat mengadakan perjanjian tambahan (assesor) terhadap kemungkinan timbulnya

sengketa (dispute atau different), bahwa mereka bersepakat untuk menyelesaikan

melalui forum arbitrase.91

Hubungan kontraktual diatur dalam perjanjian pokok, sedangkan pilihan

forum arbitrase sebagai perjanjian tambahan diatur dalam klausul arbitrase. Oleh

karena itu setiap perjanjian atau kontrak mempunyai arti penting, paling tidak akan

diketahui hal-hal sebagai berikut92 :

1. Untuk mengetahui perikatan apa yang dilakukan dan kapan serta dimana
kontrak tersebut dilakukan;
2. Untuk mengetahui secara jelas siapa yang saling mengikatkan dirinya tersebut
dalam kontrak dimaksud;
3. Untuk mengetahui hak dan kewajiban para pihak, apa yang harus, apa yang
boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh para pihak tersebut;
4. Untuk mengetahui syarat-syarat berlakunya kontrak tersebut;

91
Hasanuddin Rahmat, Legal Drafting, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 3
92
Ibid, hlm. 5

103

Universitas Sumatera Utara


104

5. Untuk mengetahui cara-cara yang dipilih untuk menyelesaikan perselisihan


dan domisili hukum yang dipilih bila terjadi perselisihan antara para pihak.

Perjanjian arbitrase atau klausul arbitrase merupakan kesepakatan developer

dengan konsumen tentang cara penyelesaian yang mungkin timbul dimasa yang akan

datang. Oleh karenannya perjanjian arbitrase tidak melihat pada perjanjian pokok,

tetapi terlepas dan merupakan tambahan yang didekatkan pada perjanjian pokok.

Keberadaan perjanjian assesor tersebut sifatnya assessor atau tambahan dari

perjanjian pokok dan sama sekali tidak mempengaruhi pelaksanaan perjanjian

pokok.93

Ketentuan tentang pilihan cara penyelesaian itu tidak menyangkut

pelaksanaan perjanjian, ia merupakan perjanjian tambahan mengenai perselisihan

perjanjian. Dengan demikian letaknya bukan pada masalah pelaksanaan perjanjian

tetapi berhubungan dengan penyelesaian sengketa perjanjian.94

Tanpa klausul arbitrase, pemenuhan perjanjian pokok tidak terhalang. Tetapi

ia berpengaruh terhadap cara penyelesaian sengketa manakala terjadi perselisihan.

Ketiadaan klausul arbitrase dan perjanjian arbitrase setelah terjadinya sengketa

berakibat perselisihan antara developer dengan konsumen menjadi kewenangan

absolute peradilan umum sebagai Badan Peradilan Negara.

Suatu perjanjian yang disertai dengan klausul arbitrase, maka ketentuan dalam

klausul arbitrase benar-benar dilaksanakan dan sengketa mereka diselesaikan melalui

forum arbitrase. Dengan demikian klausul arbitrase akan memainkan peranannya

93
Ibid, hlm. 7
94
Ibid, hlm. 8

Universitas Sumatera Utara


105

manakala benar-benar timbul sengketa mengenai perjanjian pokok. Sengketa mereka

akan diperiksa dan diputus oleh lembaga arbitrase sesuai wewenang yang diberikan

kepadanya sebagaimana diatur dalam klausul arbitrase.

Jadi perjanjian pokok dapat berdiri sendiri dengan sempurna tanpa perjanjian

arbitrase, sebaliknya tanpa adanya perjanjian pokok developer dan konsumen tidak

mungkin mengadakan perjanjian arbitrase, berdasarkan hal-hal tersebut maka dapat

dinyatakan95 :

1. Perjanjian arbitrase atau klausul arbitrase bersifat assessor

2. Perjanjian arbitrase tidak mungkin berdiri sendiri

3. Perjanjian arbitrase berfungsi manakala timbul sengketa (perselisihan)

B. Klausul Arbitrase dalam PPJB Sebagai Basis Arbitrase

Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) antara developer dan konsumen

yang bersifat transaksional tersebut yang dituangkan dalam perjanjian tambahan atau

klausul arbitrase, artinya perjanjian pengikatan jual beli tersebut dilengkapi

persetujuan arbitrase yang saling mengikat kedua belah pihak.

Perjanjian arbitrase tersebut selalu dalam bentuk tertulis, dengan demikian

perjanjian arbitrase yang berbentuk lisan dianggap tidak sah dan tidak mengikat.

Pasal 1 angka (3) Undang-undang No. 30 Tahun 1999 secara expressis verbis

menyatakan bahwa : “Perjanjian arbitrase tercantum dalam perjanjian tertulis yang

dibuat para pihak”

95
Ibid, hlm. 9

Universitas Sumatera Utara


106

Klausul atau perjanjian arbitrase harus memuat 96:

1. Masalah yang dipersengketakan;


2. Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
3. Nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase;
4. Tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan;
5. Nama lengkap sekretaris;
6. Jangka waktu penyelesaian sengketa;
7. Pernyataan kesediaan dari arbiter; dan
8. Pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menaggung
segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui
arbitrase.

Keberadaan klausul arbitrase dalam perjanjian pokok memberikan

kewenangan absolute bagi arbitrase untuk memeriksa dan mengadili sengketa

tersebut. Pengakuan kewenangan arbitrase dirumuskan dalam pasal 3 Undang-undang

No. 30 Tahun 1999.

Pasal 3 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa menegaskan “pengadilan negeri tidak berwenang untuk

mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Lebih

jauh ditegaskan lagi oleh pasal 11 undang-undang No.30 Tahun 1999 sebagai berikut:

1) Adanya suatu perjanjian tertulis meniadakan hak para pihak untuk


mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam
perjanjian ke pengadilan negeri.
2) Pengadilan negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam
penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam
hal-hal tertentu.

Pilihan forum arbitrase dalam perjanjian atau klausul arbitrase menunjuk

kepada lembaga yang berwenang, selain itu diikuti beberapa ketentuan yang

96
Periksa Pasal 9 ayat (3) UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa

Universitas Sumatera Utara


107

mengatur cara atau proses itu dijalankan. Cara arbitrase itu dijalankan setidak-

tidaknya disimpulkan dari rumusan hukum yang dipilih dalam penyelesaian sengketa,

cara penunjukan arbiter atau majelis arbitrase, dan kepada siapa biaya-biaya arbitrase

dibebankan.

Dengan demikian klausul arbitrase akan menjadi petunjuk arah atau pemandu

bagaimana persoalan sengketa harus diselesaikan. Dalam kaitan ini sudargo

Gautama97, menyatakan bahwa:“….klausul arbitrase menjadi dasar daripada segala

wewenang para arbiter untuk memutuskan persoalan sengketa bersangkutan”.

Erman Radjagukguk juga memberikan komentar atas klausul arbitrase, antara

lain sebagai berikut, “bahwa klausul arbitrase tidak hanya basis bagi arbitrase, tetapi

juga amat menentukan bagi terwujudnya arbitrase”.98

Klausul arbitrase dibuat atas dasar kehendak para pihak, kehendak-kehendak

itu meliputi99:

1. Proses yang dipilih secara sukarela;

2. Diserahkan kepada arbiter yang netral yang dipilih oleh mereka sendiri;

3. Sejak semula mereka menyetujui putusan tersebut sebagai “final and binding”

Dengan demikian dapat dinyatakan klausul arbitrase mempunyai peranan

sebagai basis yang merupakan dasar dari segala kewenangan arbiter untuk

menyelesaikan persoalan sengketa yang bersangkutan. Tanpa klausul arbitrase

97
Sudarto Gautama, Kesulitan dalam Menyusun Perjanjian Arbitrase Dagang Internasional,
Majalah Hukum dan Pembangunan No.5, tahun ke XVII, Oktober, 1987, hlm. 56
98
Erman Radjagukguk, op. cit, hlm. 89
99
Ibid, hlm. 93

Universitas Sumatera Utara


108

sengketa developer dan konsumen menjadi yurisdiksi peradilan umum untuk

memeriksa dan menyelesaikan sengketa tersebut.

Sebagai basis arbitrase, klausul arbitrase dalam perjanjian dicantumkan dalam

rumusan yang dikeluarkan oleh BANI yang berbunyi100:

“Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan
diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-
peraturan prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya mengikat kedua belah
pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan
terakhir”.

Apabila tidak ada klausul-klausul tersebut, developer dan konsumen sebagai

pihak yang bersengketa dapat saja mengajukan ke arbitrase melalui kesepakatan

bersama secara tertulis setelah timbul sengketa. Hal tersebut dikenal dengan istilah

“Submission Clause”atau Acta Van Compromise yaitu klausul arbitrase yang

disepakati sebagai tata cara menyelesaikan sengketa yang timbul dikemudian hari.

Klausul arbitrase itu merupakan sumber filsafat, sumber hukum, dan sumber

yurisdiksi bagi semua pihak yang terkait dalam suatu sengketa yang diselesaikan

melaui arbitrase-ADR.101 Oleh karena itu ada perbedaan antara:

1. General Arbitration Clause, yaitu yang bertujuan meliputi semua sengketa


yang timbul dari hubungan kontrak antara developer dengan konsumen
2. Restricted Arbitration Clause, yaitu yang meliputi segala bentuk sengketa
kecuali sengketa-sengketa tertentu tidak diselesaikan melalui arbitrase-ADR.
3. Narrow Arbitration Clause, yaitu hanya sengketa-sengketa tertentu saja yang
dapat diselesaikan melalui arbitrase-ADR

C. Klausul Arbitrase Yang Tidak Cermat dalam PPJB

100
http://m.hukumonline.com/berita/baca/hol1905/arbitrase-sebagai-forum-penyelesaian-
sengketa, diakses pada tanggal 10 Januari 2016.
101
Priyatna Abdurrasyid, Pengusaha Indonesia Perlu Meningkatkan Minatnya Terhadap
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jurnal Hukum Bisnis, 2002, Volume 21, hlm. 20

Universitas Sumatera Utara


109

Sengketa atau konflik dapat terjadi dimanapun tanpa dibatasi ruang dan

waktu, sengketa merupakan hal yang dapat diprediksi (predictable) karena

menyangkut perjanjian timbal balik. Dalam perjanjian (agreement) hal-hal yang

sering terjadi dapat disebut antara lain :102

1. Perbedaan penafsiran (dispute) mengenai pelaksanaan perjanjian, didalamnya

bisa termasuk:

a. Kontroversi pendapat (controversy)

b. Kesalahan pengertian (misunderstanding)

c. Ketidaksepakatan (disagreement)

2. Pelanggaran perjanjian (break of contract), didalamnya termasuk:

a. Sah atau tidak sahnya perjanjian

b. Berlaku atau tidak perjanjian

3. Pengakhiran perjanjian (termination of contract)

4. Klaim (claim) mengenai ganti rugi atas wanprestasi atau perbuatan melawan

hukum.

Dalam rangka mengantisipasi timbulnya sengketa pada masa akan datang,

PPJB dilengkapi dengan klausul arbitrase. Penyusunan klausul arbitrase diserahkan

kepada para pihak yang membuat perjanjian.

Rumusan klausul arbitrase harus disusun dengan hati-hati dan jelas kata-

katanya. Penyusunan yang tidak jelas membawa konsekwensi pelaksanaannya akan

102
M. Yahya Harahap, Arbitrase Ditinjau dari Rv. BANI, hlm 108

Universitas Sumatera Utara


110

timbul berbagai kesulitan. Sudargo gautama103 menyatakan “berbagai kesulitan akan

timbul dalam praktek apabila klausul arbitrase tidak disusun secara cermat”. Jika

klausul arbitrase disusun secara tidak jelas, maka akan tampak sebagai “nonsense

clauses”.104

Klausul arbitrase yang tidak secara jelas dalam penunjukan arbitrase mana

yang akan menyelesaikan sengketa antara developer dengan konsumen dapat dilihat

pada kontrak antara PT. TANAMAS (Developer) dengan konsumen Moy Betty

Siringo-Ringo sebagai berikut: 105

PASAL 12

PENYELESAIAN PERSELISIHAN

(1) Jika terjadi perselisihan antara kedua belah pihak, maka dicari jalan
musyawarah.
(2) Jika Musyawarah tidak tercapai maka akan diselesaikan melalui Badan
arbitrase.
(3) Keputusan Badan Arbitrase bersifat final dan mengikat kedua belah
pihak.

Tentang apa yang dimaksud sebenarnya dan apa yang harus ditafsirkan

sebagai “Badan arbitrase” ini adalah dubius dan menjadi sumber berbagai kesulitan,

karena tidak secara tegas dan jelas dinyatakan badan arbitrase mana yang dipilih,

yaitu antara Arbitrase Ad-Hoc atau Arbitrase Institusional yang dalam hal ini adalah

Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).

103
Sudargo Gautama, op. cit, hlm. 120
104
Erman Radjagukguk, op. cit, hlm. 111
105
Pengikatan Perjanjian Jual Beli Rumah antara PT TANAMAS dengan Ny. Betty Siringo-
ringo, Perumahan Griya Nusa Tiga, Medan Tuntungan.

Universitas Sumatera Utara


111

Selain itu perumusan klausul arbitrase yang mengandung kemenduaan

(ambiguity) dapat dilihat pada kontrak antara PT. Karya Putra dengan (developer)

dengan Fachrul Rozi (konsumen) sebagai berikut: 106

PASAL 20

PENYELESAIAN PERSELISIHAN

(1) Jika terjadi perselisihan antara kedua belah pihak, maka pada dasarnya
akan diselesaikan secara musyawarah.
(2) Jika perselisihan ini tidak dapat diselesaikan secara musyawarah maka
kedua belah pihak sepakat untuk membawa ke Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI).
(3) Keputusan BANI bersifat mengikat kedua belah pihak, dan biaya
penyelesaian perselisihan yang dikeluarkan/dipikul oleh PIHAK KEDUA,
(4) Jika keputusan sebagaimana dimaksud ayat 3 pasal ini tidak dapat
diterima oleh salah satu atau kedua belah pihak, maka perselisihan akan
diteruskan melalui Pengadilan Negeri.

Dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 dengan tegas menyatakan

bahwa adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk

mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam

perjanjiannya ke pengadilan negeri. Seharusnya demi menciptakan kepastian hukum

para pihak dengan tegas dan jelas memastikan bahwa hanya BANI satu-satunya yang

menjadi pilihan forum dalam penyelesaian sengketa antara mereka tanpa ada

mencantumkan atau melibatkan pengadilan negeri dalam klausul.

D. Akibat Penyusunan Klausul Arbitrase Yang Tidak Cermat

106
PPJB yang diambil dari Kantor BANI kota Medan, pasal 20 ayat 1 s/d 4, pada tanggal 17
September 2015.

Universitas Sumatera Utara


112

Dari contoh klausul arbitrase yang tidak jelas dan klausul arbitrase yang

ambigu menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaannya, sehingga

memperpanjang proses penyelesaiannya.

Dalam penyelesaian sengketa di bidang perdagangan melalui arbitrase, tidak

selalu dapat diwujudkan secara cepat, mudah, dan murah sebagaimana diharapkan.

Berbagai kendala biasanya muncul berkaitan dengan klausul arbitrase yang tidak jelas

atau komprehensif yang tercantum dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak.107

Suatu klausul arbitrase yang secara tidak lengkap tanpa menentukan badan

arbitrase mana yang diberi wewenang dalam pelaksanaannya memerlukan penafsiran

tentang badan arbitrase. Klausul tersebut tidak jelas antara lain menyangkut hal-hal

sebagai berikut :108

1. Apakah akan diselesaikan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)

atau arbitrase Ad-hoc.

2. Belum menunjuk arbitor yang akan duduk dalam arbitrase.

3. Belum menentukan secara tegas bagaimana tata cara penunjukan arbitor.

Klausul arbitrase yang dirumuskan secara tidak terinci akan mendatangkan

berbagai hambatan dalam proses arbitrase, apalagi perumusan dibuat secara tidak

cermat ditambah dengan tidak didukungnya itikad baik dari para pihak sehingga

107
Garry Good Pasters, Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa Seri Dasar Hukum
Ekonomi Arbitrase di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2001, hlm. 35
108
Rachmadi Usman, Hukum Arbitrase Nasional, PT. Grasindo, Jakarta, 2002, hlm. 21

Universitas Sumatera Utara


113

klausul arbitrase yang tidak cermat ini dapat dimanfaatkan oleh salah satu pihak

untuk mempersulit proses terselenggaranya arbitrase.109

Demikian pula klausul arbitrase yang mengandung kemenduaan (ambiguity)

dalam praktek akan membingungkan, persoalannya jika satu pihak memilih forum

arbitrase, sedangkan pihak yang lain berkehendak menyelesaikan sengketa melalui

lembaga peradilan sebagai lembaga yang berwenang mengadili, akibatnya

memerlukan waktu yang relatif lama, karena persoalan kewenangan akan diputus

terlebih dahulu melalui lembaga peradilan.

Dalam ketentuan Pasal 1342 KUH Perdata disebutkan bahwa “ Jika kata-kata

dalam suatu kontrak sudah jelas maka tidak lagi diperkenankan untuk menyimpang

daripadanya dengan jalan penafsiran”. Hal ini mengisyaratkan bahwa apapun kontrak

yang dibuat para pihak hendaknya jelas isinya sehingga memberikan kepastian hal ini

yang dalam hal ilmu hukum kontrak disebut dengan asas sens clair atau doktrin

kejelasan makna.110

Idealnya suatu kontrak tidak memerlukan penafsiran apapun, oleh karena itu

kalimat atau kata-kata dalam kontrak seharusnya sudah dengan sendirinya dapat

menjelaskan maksud dari klausula-klausula yang ada. Karena itu, jika semuanya

sudah jelas ditulis dalam kontrak, maka penafsiran kontrak bukan hanya tidak

109
Ibid, hlm. 36
110
Suhardana, Contract Drafting Kerangka Dasar dan Teknik Penyusunan Kontrak,
Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2008, hlm. 65

Universitas Sumatera Utara


114

diperlukan tetapi memang tidak diperbolehkan jika dengan penafsiran tersebut justru

akan mempunyai arti yang menyimpang dari yang tersirat tersebut. 111

Untuk mencegah diterapkannya prosedur litigasi dan untuk menghindari

kemungkinan hal yang tidak menyenangkan di kemudian hari bilamana arbitrase

dilangsungkan, para pihak harus menyusun klausul-klausul arbitrase dengan cermat.

Adapun yang harus dimuat dalam klausul arbitrase meliputi komitmen atau

kesepakatan para pihak untuk melaksanakan arbitrase; tempat dan bahasa yang

digunakan dalam arbitrase; pilihan terhadap hukum substantif yang berlaku bagi

arbitrase, komposisi arbiter, putusan akhir final dan mengikat, serta biaya arbitrase.

Secara umum, perjanjian arbitrase mempunyai karakteristik sebagai bukan

perjanjian “bersyarat”. Oleh karena itu, pelaksanaan perjanjian arbitrase tidak

digantungkan pada suatu kejadian tertentu di masa yang akan datang. Perjanjian ini

tidak mempersoalkan masalah pelaksanaan perjanjian, tetapi hanya mempersoalkan

masalah cara dan lembaga yang berwenang menyelesaikan “perselisihan” atau

“sengketa” yang terjadi antara pihak yang berjanji. Di samping itu, perjanjian

arbitrase ini hakekatnya merupakan perjanjian tambahan (accessoir) dari perjanjian

pokoknya. Tanpa perjanjian arbitrase, perjanjian pokok dapat berdiri sendiri dengan

sempurna. Sebaliknya tanpa adanya perjanjian pokok, para pihak tidak mungkin

mengadakan ikatan perjanjian arbitrase. Ini berarti perjanjian pokok menjadi dasar

lahirnya klausul arbitrase. Pelaksanaan perjanjian pokok tidak bergantung pada

111
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2007, hlm. 53

Universitas Sumatera Utara


115

perjanjian arbitrase. Sebaliknya, pelaksanaan perjanjian arbitrase bergantung pada

perjanjian pokoknya, jika perjanjian pokok yang tidak sah, maka dengan sendirinya

perjanjian arbitrase batal dan tidak mengikat para pihak.112

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini harus secara tegas dicantumkan

dalam PPJB dan klausul arbitrase harus dibuat secara tertulis ,dengan ada suatu

perjanjian klausul arbitrase dalam PPJB berarti meniadakan hak para pihak untuk

mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam

perjanjiannya ke pengadilan negeri.

Ada dua teori mengenai kekuatan berlakunya perjanjian arbitrase, yaitu :113

1. Teori yang menyatakan perjanjian arbitrase bukan public policy. dalam hal ini

ditegaskan, sungguhpun ada klausul arbitrase, tetapi pengadilan tetap

berwenang mengadili sejauh tidak ada eksepsi dari pihak lawan, karena

klausula arbitrase bukanlah open baar orde (Klausul arbitrase terkait dengan

bukan ketertiban umum).

2. Teori yang menekankan asas “Pacta Sunt Servanda” pada klausul/perjanjian

arbitrase. Teori ini mengajarkan bahwa klausul/perjanjian arbitrase mengikat

para pihak dan dapat dikesampingkan hanya dengan kesepakatan bersama

para pihak yang tegas untuk itu.

Kompetensi absolut arbitrase untuk menyelesaikan suatu perkara bergantung

pula pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak. Ada dua bentuk perjanjian

112
Madjedi Hasan, Membuat Konsep Klausula Arbitrase, Indonesia Arbitration Quarterly
Newletter, Nomor 7/2009, Badan Arbitrase Indonesia, 2009, hlm. 20
113
Ibid, hlm. 35

Universitas Sumatera Utara


116

arbitrase, yakni factum de compromitendo dan akta kompromis. Di dalam factum de

compromitendo ini dijumpai dalam Pasal 7 Undang-undang arbitrase, yang

menyatakan bahwa para pihak membuat kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa

yang mungkin timbul melalui forum arbitrase. Perjanjian ini melekat pada suatu

perjanjian yang dibuat para pihak, seperti di dalam PPJB yang dibuat antara

developer dengan konsumen. Oleh karena perjanjian ini merupakan bagian dari suatu

perjanjian tertentu, maka perjanjian ini disebut sebagai klausula arbitrase. Pada

saat para pihak mengikatkan diri dan menyetujui klausula arbitrase sama sekali belum

terjadi sengketa atau perselisihan. Klausul arbitrase dipersiapkan untuk

mengantisipasi perselisihan yang mungkin timbul pada yang akan datang. Jadi,

sebelum terjadi perselisihan para pihak telah bersepakat dan mengikatkan diri untuk

menyelesaikan perselisihan yang akan terjadi oleh arbitrase.114 Klausul arbitrase tidak

hapus atau berakhir dengan hapus atau berakhirnya perjanjian pokok.115

Bentuk perjanjian yang kedua adalah akta kompromis, Akta kompromis ini

dibuat setelah timbul perselisihan antara para pihak. Setelah para pihak

mengadakan perjanjian, dan perjanjian sudah berjalan, kemudian timbul

perselisihan. Sedang sebelumnya, baik dalam perjanjian ataupun akta tersendiri, tidak

diadakan perjanjian atau klausul arbitrase. Dalam PPJB yang dibuat antara developer

dengan konsumen, apabila para pihak menghendaki agar perselisihan diselesaikan

melalui forum arbitrase atau ada klausul yang tidak lengkap ataupun tidak cermat,

114
M. Yahya Harahap, op.cit, hlm. 65
115
Ibid, hlm. 66

Universitas Sumatera Utara


117

mereka dapat membuat perjanjian/klausul itu dikemudian hari (setelah timbulnya

sengketa). Dengan demikian, akta kompromis merupakan kebalikan dari factum de

compromitendo. Pada factum de compromitendo, perjanjian penyelesaian perselisihan

melalui arbitrase telah disepakati sejak semula sebelum perselisihan terjadi.

Sedangkan, pada akta kompromis, perjanjian penyelesaian perselisihan melalui

arbitrase atau ada klausul yang tidak lengkap maupun tidak cermat baru diikat dan

disepakati setelah terjadi perselisihan.

E. Penerapan Secara Rinci Unsur-unsur Klausul Arbitrase Yang


Komprehensif

Klausul arbitrase yang komprehensif sangat diperlukan agar instrumen

penyelesaian sengketa yang disepakati para pihak melalui arbitrase dan tidak melalui

jalur pengadilan tidak sia-sia dilakukan. Artinya, pilihan tersebut dapat diterapkan

secara efektif. Klausul arbitrase yang demikian dapat dilihat pada kontrak antara PT.

INNOVENTRY (Developer) dengan I Putu Eka Wardana (Konsumen).

PASAL 12

MUSYAWARAH DALAM HAL-HAL YANG BELUM DIATUR DALAM


PERJANJIAN

(1) Apabila terjadi perbedaan pendapat atau perselisihan antara PT.


INNOVENTRY (developer) dengan I Putu Eka Wardana (konsumen)
maka kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikan secara musyawarah
untuk mufakat.
(2) Apabila penyelesaian sebagaimana tersebut pada ayat (1) perselisihan ini
tidak mendapat kemufakatan, maka kedua belah pihak yaitu PT.
INNOVENTRY dengan I Putu Eka Wardana sepakat untuk meneruskan
perselisihan tersebut kepada Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
di Jakarta dengan menggunakan ketentuan-ketentuan dan prosedur yang
ditetapkan oleh BANI diantaranya adalah bahasa yang digunakan adalah

Universitas Sumatera Utara


118

Bahasa Indonesia, memakai hukum yang berlaku di Indonesia dan


keputusan BANI adalah bersifat final dan mengikat.
(3) Segala biaya yang diperlukan untuk menyelesaikan perselisihan
ditanggung oleh kedua belah pihak yaitu PT. INNOVENTRY dengan I
Putu Eka Wardana
(4) Adapun arbitrator yang diberi amanah untuk membantu menyelesaikan
perselisihan ini kedua belah pihak sepakat untuk menyerahkan ke BANI
Jakarta dalam hal pemilihan arbiter berdasarkan keahliannya dan
menetapkan bentuk susunan majelis (3 arbiter).

Dalam klausul PPJB diatas, terlihat secara jelas dan lengkap mengenai

pencantuman klausul arbitrase yang komprehensif antara developer dan konsumen

diantaranya adalah forum yang akan menyelesaikan sengketa yaitu BANI, standart

klausul arbitrase yang mengarah pada arbitrase institusional, tempat arbitrase yang

diselenggarakan dikantor BANI Jakarta, pilihan hukum yang akan diterapkan adalah

hukum di Indonesia, komposisi majelis arbitrase yang terdiri atas 3 susunan majelis

arbiter, bahasa dalam proses arbitrase yang digunakan adalah Bahasa Indonesia, serta

biaya arbitrase yang ditanggung oleh kedua belah pihak. Dengan jelas dan lengkap

klausul arbitrase yang termuat dalam PPJB tersebut maka penerapannya dapat efektif

dilakukan dan tidak ada celah dari salah satu pihak untuk tidak membawa

penyelesaian sengketa ini melalui arbitrase yang telah dipilih. Pada akhirnya

kepastian hukum mengenai pilihan forum BANI sebagai lembaga penyelesaian

sengketa dapat terwujud.

Universitas Sumatera Utara


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Mekanisme penyelesaian sengketa melalui arbitrase harus didasarkan pada

perjanjian tertulis yang perjanjian pokoknya mengandung klausul arbitrase

sebagai pilihan forum penyelesaian sengketa dikemudian hari baik sebelum

terjadinya sengketa (pactum de compromittendo) atau setelah timbulnya sengketa

(akta van compromis) dengan menentukan jenis arbitrase yang bersifat ad-hoc

(sementara) atau institusi (permanen), mekanisme arbitrase ad-hoc dilaksanakan

berdasarkan aturan-aturan yang sengaja dibentuk untuk tujuan berarbitrase,

aturan tentang prosedur arbitrase ad-hoc dapat disusun oleh para pihak sendiri

atau oleh majelis arbitrase atau kombinasi diantara keduanya. Arbitrase ad-hoc

bersifat sementara dan berakhir pada saat dijatuhkannya putusan atas sengketa

tersebut. Sedangkan mekanisme penyelesaian sengketa melalui arbitrase institusi

bersifat permanen dan para pihak tidak dapat secara bebas mengatur prosedur

penyelesaian sengketa karena developer dan konsumen terikat pada lembaga

yang bersifat mengatur arbitrase tersebut. Jika para pihak telah mencantumkan

BANI sebagai lembaga arbitrase yang akan menangani sengketa maka ketentuan-

ketentuan arbitrase BANI berlaku bagi mereka, baik mengenai pemilihan arbiter,

tata cara pelaksanaan arbitrase, biaya yang harus dibayar, dan lain-lain.

2. Pencantuman klausul arbitrase yang komprehensif adalah memasukkan seluruh

119

Universitas Sumatera Utara


120

unsur-unsur penting yang termuat dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa serta dibuat secara cermat dan

teliti, yang sedikitnya terdapat 9 (Sembilan) elemen yang harus disepakati oleh

para pihak yaitu forum yang akan menyelesaikan sengketa, standart klausul

arbitrase, tempat arbitrase, pilihan forum yang diterapkan, komposisi majelis

arbitrase, bahasa dalam proses arbitrase, putusan akhir yang mengikat,

pelaksanaan putusan arbitrase dan biaya arbitrase.

3. Pelaksanaan perjanjian arbitrase tidak tergantung pada suatu kejadian tertentu di

masa yang akan datang. Perjanjian ini tidak mempersoalkan masalah pelaksanaan

perjanjian, tetapi hanya mempersoalkan masalah cara dan lembaga yang

berwenang menyelesaikan “perselisihan” atau “sengketa” yang terjadi antara

developer dan konsumen. Pelaksanaan klausul arbitrase antara developer dan

konsumen adalah pelaksanaan pada perjanjian arbitrase yang didasarkan

kesepakatan secara tertulis oleh developer dan konsumen untuk menyerahkan

sengketa yang akan terjadi ke lembaga arbitrase yang telah disepakati sebelum

timbulnya sengketa (Pactum de compromittendo). Sesuai dengan PPJB antara

PT Innoventry (developer) dengan I Putu Eka Wardana (konsumen) pada Pasal

12 tentang musyawarah mengenai hal-hal yang belum diatur dalam perjanjian

yang isinya menunjukkan bahwa telah komprehensifnya klausul arbitrase pada

PPJB tersebut, dengan disusunnya klausul arbitrase secara lengkap, jelas, dan

cermat dengan memasukkan unsur-unsur klausul yang mengaturnya yakni;

kesepakatan para pihak untuk melaksanakan arbitrase, standart klausul

Universitas Sumatera Utara


121

arbitrase, penetapan bentuk arbitrase (arbitrase ad-hoc atau institusional),

tempat diadakannya arbitrase, pilihan hukum subtantif, bahasa dalam proses

arbitrase dan biaya arbitrase. Pelaksanaan klausul arbitrase pada PPJB yang

dibuat antara developer dan konsumen dengan tidak menyusun klausul

arbitrase secara lengkap, jelas dan cermat, maka mereka dapat membuat

perjanjian/klausul itu dikemudian hari setelah timbulnya sengketa (akta

compromis), dengan adanya suatu perjanjian klausul arbitrase dalam PPJB

berarti meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa

atau beda pendapat

B. Saran

1. Mekanisme penyelesaian sengketa antara developer dan konsumen hendaknya

dibuat secara tegas dan jelas dengan memperhatikan pilihan lembaga arbitrase

mana yang akan menyelesaikan sengketa tersebut. Kemudian lembaga

arbitrase yang sudah dipilih para pihak hendaknya melaksanakan tugas dan

fungsi sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan dalam klausul arbitrase

dengan menjunjung tinggi profesionalisme dan independen serta PPJB yang

dibuat antara developer dengan konsumen hendaknya dibuat dihadapan notaris

agar memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.

2. Pencantuman klausul arbitrase hendaknya dibuat secara hati-hati dengan

memperhatikan standar nasional yang ada agar tidak terjadi hambatan-

hambatan dalam pelaksanaannya sehingga tujuan para pihak dalam pemilihan

Universitas Sumatera Utara


122

forum melalui arbitrase dapat terwujud.

3. Pelaksanaan klausul arbitrase dengan itikad baik hendaknya dapat

dilaksanakan secara konsisten dari awal hingga akhir proses penyelesaian

sengketa antara developer dan konsumen serta pihak yang kalah dapat secara

sukarela melaksanakan putusan arbitrase tersebut.

Universitas Sumatera Utara


123

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrasyid, Priyatna, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT Fikahati


Aneska, Jakarta, 2002.

_________________, Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional di Luar


Pengadilan, Makalah Seminar Nasional Hukum Bisnis, FH UKSW,
Semarang, 1996

Ahmad, Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Kencana, Jakarta, 2009.
Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.
Budiarjo, Meriam, Aneka Hukum Bisnis, Graha Cipta, Bandung, 1999.
Bungin, Burhan, Analisa Data Penelitan, Pemahaman Filosofis, dan Metodologi
Kearah Pengusaha Modal Aplikasi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai


Pustaka bangsa Press, Jakarta, 2004.

Dewanto, Latip, Yansen, Pelatihan Hukum dan Pilihan Forum dalam Kontrak
Internasional, FH UI, Jakarta, 2002.

Erwina, Liza, Ilmu Hukum, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2012.


Fuady, Munir, Arbitrase Nasional; Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2003.

Good Pasters, Gerry, Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa, Seri Dasar Hukum
Ekonomi Arbitrase di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2001.

Husyein, Umar, Hukum dan Lembaga Arbitrase di Indonesia, Jakarta, 1995.


Ichsan, Akhmad, Kompendium Tentang Arbitrase. Perdagangan Internasional,
Pradya Paramitha, Jakarta, 1993.

Indonesia, Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, No.30


Tahun 1999, LN No. 138 Tahun 1999, TLN No. 3872.

Jumiadi, F, Perjanjian Pemborongan, Bina Aksara, Jakarta, 1987.


Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, Mandar Madju, Bandung, 1994.
Margono, Suyud, ADR dan Arbitrase, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2000.

123

Universitas Sumatera Utara


124

Marzuki, Mahmud, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005.


Moleong, J. Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaa Rosdakarya,
Bandung, 1994.

Mulya, T. Lubis, Hukum dan Ekonomi, Sinar Harapan, Jakarta, 1992.


Nazir, Mohd, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1998.
Perma No. 1 Tahun 1990, Pustaka Kartini, Jakarta, 1991.
Rahman, Hasanuddin, Legal Drafting, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
Rahmat Rosyadi dan Ngatino, Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif,
PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.

Rajagukguk, Erman, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, Candra Pratama, Jakarta,


2001.
Remy Sjahdeini, Sutan, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang
Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Bankir
Indonesia, Jakarta, 1993.

Satrio, J., Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992.


Shofie, Yusuf, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, PT
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009.

Setiawan, R., Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1989.


Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press,
Jakarta, 1982.

Soemitro, Ronny Hanityo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia


Indonesia, Jakarta, 1998.

Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.


Subekti, R, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1990.
Sudargo, Gautama, Kesulitan dalam Menyusun Perjanjian Arbitrase Dagang
Internasional, Majalah Hukum dan Pembangunan, Jakarta, 1987.

Subagyo, O. Felix, Arbitrase di Indonesia Beberapa Contoh Kasus dan Pelaksanaan


dalam Praktek, Cipta Media Tama, Bandung, 2000.

Suparman, Erman, Perkembangan Doktrin Penyelesaian Sengketa di Indonesia,


Makalah Diskusi Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, 2006.

Universitas Sumatera Utara


125

Syahrani, Ridwan, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Adita Bakti, Bandung,
1999.

Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, No. 30 Tahun


1999, LN No. 138 Tahun 1999, TLN No. 3872.

Usman, Rachmadi, Hukum Arbitrase Nasional, PT. Grasindo, Jakarta, 2002.

Widjaja, Gunawan, Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT Raja Grafindo Persada,


Jakarta, 2001.

Waluyo, Bambang, Metode Penelitian Hukum, PT Grafika Indonesia, Jakarta, 1996.


Wirartha, I. Made, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian. Skripsi, dan Tesis, CV.
Andi Offset, Yogyakarta, 2005.

Yahya, M. Harahap, Arbitrase Ditinjau Dari Rv. BANI, ICSID, Konvensi New York
1958, Pustaka Kartini, Jakarta, 1990.

Yance Arizona, Kepastian Hukum,


http://yancearizona.wordpress.com/2008/04/13/apa-itu-kepastian-hukum/,
(diakses tanggal 21 februari 2014)

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai